7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Asma
2.1.1 Definisi Asma
Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh
dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan
kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing),
sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan
batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari (PDPI, 2006; GINA, 2009).
Asma adalah gangguan pada bronkhial dengan ciri bronkospasme periodik
(kontraksi spasme pada saluran nafas). Asma merupakan penyakit kompleks yang
dapat diakibatkan oleh faktor biokimia, endokrin, infeksi, otonomik, dan psikologi
(Somantri, 2007). Asma adalah penyakit pernafasan obstruktif yang ditandai oleh
inflamasi saluran nafas dan spasme akut otot polos bronkiolus (Corwin, 2009).
Asma adalah penyakit paru yang di dalamnya terdapat obstruksi jalan nafas,
inflamasi jalan nafas, dan jalan nafas yang hiperresponsif atau spasme otot polos
bronkial (Betz & Swoden, 2009).
2.1.2 Patofisiologi Asma
Asma ditandai dengan konstriksi spastik dari otot polos bronkiolus yang
menyebabkan sulit bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas
bronkiolus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma
8
tipe alergi diduga terjadi dengan cara: seseorang alergi membentuk sejumlah
antibodi IgE abnormal. Antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat
pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus pada
penderita asma. Bila seseorang terpapar alergen maka antibodi IgE orang tersebut
meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya
histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrien),
faktor kemotaktik eosinofilik, dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor ini
akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkiolus maupun sekresi mukus
yang kental dalam lumen bronkhiolus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga
menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat (Smeltzer & Bare,
2010).
Peningkatan permeabilitas dan sensitivitas terhadap alergen yang terhirup, iritan
dan mediator inflamasi merupakan konsekuensi dari adanya cedera pada epitel.
Inflamasi kronis pada saluran pernafasan dapat menyebabkan penebalan membran
dasar dan deposisi kolagen pada dinding bronkial. Perubahan ini dapat
menyebabkan sumbatan saluran nafas secara kronis seperti yang dijumpai pada
penderita asma. Pelepasan berbagai mediator inflamasi menyebabkan
bronkokonstriksi, sumbatan vaskuler, permeabilitas vaskuler, edema, produksi
dahak yang kental dan gangguan mukosiliar (Zullies, 2011). Adanya obstruksi
pada klien asma dapat berupa sumbatan yang menyeluruh dan penyempitan jalan
nafas berat. Kondisi ini menyebabkan ketidaksesuaian rasio perfusi dan ventilasi
(National Institute of Health, 2004).
9
2.1.3 Klasifikasi Asma
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting
bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang. Semakin berat
asma semakin tinggi tingkat pengobatan (Depkes RI, 2007). Pengklasifikasian
asma dapat dilakukan dengan pengkajian terhadap gejala dan kemampuan fungsi
paru. Semakin sering gejala yang dialami, maka semakin parah asma tersebut,
Begitu juga dengan kemampuan fungsi paru yang diukur dengan spirometer untuk
mengukur dengan kapasitas vital paru (KPV). Semakin rendah kemampuan fungsi
paru, maka semakin parah asma tersebut (GINA, 2009).
Menurut Somantri (2007), berdasarkan etiologinya, asma bronkial dapat
diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Ekstrinsik (alergik)
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan reaksi alergi oleh
karena faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu
binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik
sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.
Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma. Gejala asma umumnya
dimulai saat kanak-kanak.
2. Intrinsik (idiopatik atau non alergik)
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan adanya reaksi non
alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui,
seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran
10
pernapasan, emosi dan aktivitas. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering
sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronik
dan emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini dapat berkembang menjadi
asma gabungan. Bentuk asma ini biasanya dimulai pada saat dewasa (usia> 35
tahun).
3. Asma gabungan
Jenis asma ini merupakan bentuk asma yang paling umum dan sering ditemukan.
Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergi maupun bentuk idiopatik
atau nonalergik.
Sedangkan klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahannya dapat dilihat pada
tabel berikut:
11
Tabel 1. Klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahan
Derajat Asma Gejala Gejala malam Faal paru
I. Intermitten Bulanan APE ≥ 80 %
1. Gejala <1x /
minggu
2. Tanpa gejala di
luar serangan
3. Serangan singkat
≤ 2 kali sebulan
1. VEP1 ≥ 80 %
nilai prediksi
2. APE ≥ 80 %
nilai terbaik
3. Variabiliti APE
< 20 %
II. Persisten ringan Mingguan APE ≥ 80 %
1. Gejala >1x/
minggu, tetapi < 1x
/ hari
2. Serangan dapat
mengganggu
aktivitas dan tidur
> 2 kali sebulan
1. VEP1 ≥80 %
nilai prediksi
2. APE ≥80 % nilai
terbaik
3. Variabiliti APE
20-30 %
III. Persisten
Sedang
Harian APE 60-80 %
1. Gejala setiap hari
2. Serangan
mengganggu
aktivitas dan tidur
3. Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
> 1x / seminggu 1. VEP1 60-80 %
nilai prediksi
2. APE 60-80 %
nilai terbaik
3. Variabiliti APE
>30 %
IV. Persisten Berat Kontinyu APE ≤ 60 %
1. Gejala terus
menerus
2. Sering kambuh
3. Aktivitas fisik
terbatas
Sering 1. VEP1 ≤60 %
nilai prediksi
2. APE ≤60 % nilai
terbaik
3. Variabiliti APE
>30 %
(Sumber: PDPI,2006)
2.1.4 Faktor Risiko Terjadi Asma
Menurut PDPI (2006), risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara
faktor penjamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor penjamu disini
termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma,
yaitu genetik asma, alergi (atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras.
Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi
12
asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan
atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor
lingkungan, yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara,
infeksi pernafasan, diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi
faktor genetik/penjamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan:
1. Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan
genetik asma
2. Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma
Faktor lingkungan lebih berperan dalam memicu kekambuhan asma. Beberapa
diantaranya adalah alergen, infeksi, obat/bahan sensitizer, asap rokok dan polusi
udara, baik di dalam maupun di luar ruangan. Selain itu, ada faktor lain yang
dapat meningkatkan keparahan asma. Beberapa diantaranya adalah rinitis yang
tidak diobati atau sinusitis, gangguan refluks gastroesofagal, sensitivitas terhadap
aspirin, pemaparan teradap senyawa sulfit atau obat golongan beta bloker dan
influenza, faktor mekanik dan faktor psikis (Zulies, 2011).
2.1.5 Manifetasi Klinis Penyakit Asma
Gejala asma sering timbul pada waktu malam dan pagi hari. Gejala yang di
timbulkan berupa batuk-batuk pada pagi, siang, dan malam hari, sesak napas,
mengi, rasa tertekan di dada, dan gangguan tidur karena batuk atau sesak napas.
Gejala ini terjadi secara reversibel dan episodik berulang (Yayasan Asma
Indonesia, 2008; PDPI, 2006). Pada keadaan asma yang parah gejala yang
ditimbulkan dapat berupa peningkatan distress pernapasan (tachycardia, dyspnea,
13
tachypnea, retraksi iga, pucat), pasien susah berbicara dan terlihat lelah. Gejala
yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa, yang termasuk
gejala yang berat adalah serangan batuk yang hebat, sesak napas yang berat dan
tersengal-sengal, sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut), sulit
tidur dengan posisi tidur yang dianggap nyaman adalah dalam keadaan duduk, dan
kesadaran menurun ( Depkes RI, 2007).
2.1.6 Penatalaksanaan Asma
Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi:
a. Asma Intermiten
1) Umumnya tidak diperlukan pengontrol
2) Bila diperlukan pelega, agonis β-2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan.
Alternatif dengan agonis β-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja
singkat dan agonis β-2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi
3) Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan,
maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan
b. Asma Persisten Ringan
1) Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah
progresivitas asma, dengan pilihan:
a) Glukokortikosteroid dan agonis β-2
b) Teofilin lepas lambat
c) Kromolin
d) Leukotriene modifiers
2) Pelega bronkodilator (Agonis β-2) dapat diberikan bila perlu
14
c. Asma Persisten Sedang
1) Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah
progresivitas asma, dengan pilihan:
a) Glukokortikosteroid dan agonis β-2
b) Budenoside: 400–800 μg/hari
c) Fluticasone propionate : 250–500 μg/hari
d) Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah teofilin lepas
e) Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 μg/hari)
f) Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah leukotriene
modifiers
2) Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu Agonis β-2 kerja singkat
inhalasi: tidak lebih dari 3–4 kali sehari, atau
a) Agonis β-2 kerja singkat oral, atau
b) Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat
c) Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah
menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol
3) Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah
dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis β-2 kerja lama inhalasi
4) Dianjurkan menggunakan alat bantu/spacer pada inhalasi bentuk IDT atau
kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah
d. Asma Persisten Berat
1) Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala
seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru
15
(APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek
samping obat seminimal mungkin
2) Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol
asma, dengan pilihan:
a) Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan
agonis β-2 kerja lama inhalasi
b) Beclomethasone dipropionate: >800 μg/hari
c) Selain itu teofilin lepas lambat, agonis β-2 kerja lama oral, dan leukotriene
modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis β-2 kerja lama
inhalai ataupun sebagai tambahan terapi
d) Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat
mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan
batuk karena iritasi saluran napas atas
2.1.7 Kapasitas Vital Paru pada Pasien Asma
Kapasitas vital paru (KVP) adalah penambahan volume tidal, volume cadangan
inspirasi dan cadangan ekspirasi (KV = VI +VCI + VCE) yang merupakan jumlah
udara maksimum yang dapat dikeluarkan seseorang dari paru, setelah terlebih
dahulu mengisi paru secara maksimum dan kemudian mengeluarkan sebanyak-
banyaknya. Kapasitas vital paru dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti postur
tubuh, ukuran rongga toraks, jaringan elastis paru dan compliance paru. Nilai rata-
rata dari kapasitas vital ini adalah 4.600 mL (4,6 L) (Sloane, 2004; Guyton &
Hall, 2006).
16
Penurunan kapasitas vital paru pada pasien asma terjadi karena adanya
hiperinflasi pulmoner yaitu terjebaknya udara akibat saluran nafas yang
menyempit, keadaan ini mengakibatkan peningkatan diameter anteropoterior dada
sehingga dada akan menyerupai barel (Barrel Chest). Peningkatan ukuran
anteposterior dada dapat menurunkan compliance dinding dada, sehingga
mengakibatkan pernafasan menjadi kurang efektif dan dapat memperburuk
keadaan pasien asma saat mengalami sesak nafas (Price & Wilson, 2006).
2.1.8 Faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Vital Paru
Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas vital paru, antara lain:
1. Usia
Maryam (2008) menyatakan bahwa pertambahan usia seseorang mempengaruhi
jaringan pada tubuh. Fungsi elastisitas jaringan paru berkurang, sehingga
kekuatan otot pernafasan menjadi lemah, akibatnya volume udara pada saat
pernafasan akan menurun. Sifat elastisitas paru cenderung menurun saat
memasuki usia dewasa akhir. Penurunan tersebut terjadi karena paru, jantung, dan
pembuluh darah juga mengalami penurunan fungsi.
2. Kebiasaan merokok
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran pernafasan
dan jaringan paru. Kebiasaan merokok akan mempercepat penurunan faal paru.
Penurunan volume ekspirasi paksa pertahun adalah 28,7 mL untuk non perokok,
38,4 mL untuk perokok yang sudah berhenti dan 41,7 mL untuk perokok aktif.
Pengaruh asap rokok dapat lebih besar daripada debu hanya sekitar sepertiga dari
pengaruh buruk rokok (Depkes RI, 2007). Inhalasi asap tembakau baik primer
17
maupun sekunder dapat menyebabkan penyakit saluran nafas pada orang dewasa.
Asap rokok mengiritasi paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah. Merokok
menunjukkan penurunan kapasitas paru yang lebih tinggi dibandingkan beberapa
bahaya kesehatan akibat pekerjaan (Suyono, 2001).
3. Indeks massa tubuh (IMT)
Seseorang dengan kelebihan berat badan (IMT ≥ 25,0) mempunyai persentasi
kapasitas vital yang lebih rendah daripada individu dengan berat badan normal
(IMT 18,5 - 24,9). Penurunan persentase kapasitas vital pada individu dengan
berat badan berlebih disebabkan karena menurunnya elastisitas dan kemampuan
mengembang dinding dada serta karena berkurangnya kemampuan diafragma
untuk turun pada levelnya pada individu dengan berat badan berlebih dan individu
dengan kegemukan sentral (Ristianingrum et al, 2010). Indeks massa tubuh
dihitung dengan rumus dan kategori sebagai berikut:
IMT = Berat badan (kg)
Tinggi badan (m)2
Tabel 2. Klasifikasi IMT
IMT KATEGORI
< 18,5 Berat badan kurang
18,5-24,9 Berat badan normal
25,0-29,9 Kelebihan berat badan
≥ 30,0 Obesitas Sumber: WHO, 2004
4. Kelainan patologi pada paru
Paralisis otot pernafasan yang sering terjadi setelah cedera medula spinal atau
poliomielitis, dapat menyebabkan penurunan besar dalam kapasitas vital, menjadi
serendah 500 sampai 1000 mL hampir tidak cukup untuk mempertahankan
18
kehidupan ataupun sampai nol pada kasus mana terjadi kematian. Keadaan seperti
tuberkulosis, emfisema, asma, kanker paru, bronkitis, pleuritis fibrosa bahkan
proses penuaan sekalipun dapat menurunkan compliance paru-paru dan dengan
demikian menurunkan kapasitas vital (Guyton & Hall, 2006).
2.1.9 Pengukuran Kapasitas Vital Paru
Menurut Smeltzer & Bare (2010), kapasitas vital dapat diukur dengan meminta
pasien bernafas maksimal dan menghembuskan dengan penuh melalui spirometer.
Sebagian besar pasien dapat menimbulkan kapasitas vital dua kali volume yang
biasa mereka hembuskan (volume tidal). Jika kapasitas kurang dari 10 ml per
kilogram berat badan, pasien tidak akan mampu mempertahankan ventilasi
spontan dan akan dibutukan pernafasan bantuan.
Menurut Potter & Perry (2006), volume dan kapasitas paru dapat diukur melalui
pemeriksaan fisik pulmonari. Spirometer digunakan untuk mengukur kapasitas
paru dan volume udara yang memasuki atau yang meninggalkan paru-paru.
Variasi volume dan kapasitas paru dapat dihubungkan dengan status kesehatan,
seperti kehamilan, latihan fisik, obesitas, atau kondisi paru yang obstruktif dan
restriktif. Jumlah surfaktan, tingkat komplians dan kekuatan otot pernafasan
mempengaruhi tekanan dan volume di dalam paru-paru.
Tahap- tahap pengukuran kapasitas vital paru, antara lain:
1. Mengatur posisi pasien senyaman mungkin
2. Siapkan alat spirometer dan lakukan kalibrasi sebelum pemeriksaan
19
3. Pasien harus menghindari memakai pakaian yang ketat dan makan makanan
berat dalam waktu 2 jam.
4. Masukkan data yang diperlukan , yaitu umur, tinggi badan dan jenis kelamin.
5. Beri pentunjuk dan demonstrasikan maneuver pada pasien, yaitu pernafasan
melalui mulut, tanpa ada udara lewat hidung dan celah bibir yang mengatup
mouth piece.
6. Pasien dalam posisi duduk atau berdiri, lakukan pernapasan biasa tiga kali
berturut-turut, dan langsung menghisap sekuat dan sebanyak mungkin udara
ke dalam paru-paru, dan kemudian dengan cepat dan sekuat-kuatnya
dihembuskan udara melalui mouth piece.
7. Catat hasil kapasitas vital paru pasien.
2.2 Diaphragmatic Breathing Exercise
2.2.1 Pengertian
Pernafasan adalah upaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan dan membuat
paru berkontraksi. Kerja pernafasan ditentukan oleh tingkat compliance paru,
tahanan jalan nafas, dan penggunaan otot-otot bantu pernafasan (Potter & Perry,
2006)
Latihan pernafasan terdiri atas latihan dan praktik pernafasan yang dirancang dan
dijalankan untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta untuk
mengurangi kerja pernafasan. Latihan ini dapat meningkatkan inflasi alveolar
maksimal; meningkatkan relaksasi otot; menghilangkan ansietas; melambatkan
frekuensi pernafasan dan mengurangi kerja bernafas (Smeltzer & Bare, 2010).
20
Dalam hal ini, latihan nafas yang akan diberikan yaitu latihan nafas diafragma.
Menurut Nurachman (2000), latihan nafas diafragma adalah suatu pola pernafasan
yang dilakukan dengan cara menggunakan otot perut dan diafragma. Tujuan
pernafasan diafragma adalah untuk menggunakan, menguatkan dan meningkatkan
elastisitas diafragma selama pernafasan, merelaksasikan otot, memulihkan
kecemasan, mengurangi kegiatan otot yang tidak terkoordinasi, dan menurunkan
beban kerja pernafasan.
Pernafasan normal dan tenang dapat dicapai dengan hampir sempurna melalui
gerakan diafragma. Selama inspirasi, kontraksi diafragma menarik permukaan
bawah paru ke arah bawah. Kemudian selama ekspirasi diafragma mengadakan
relaksasi, dan sifat daya lenting paru (recoil elastic) dinding dada, dan struktur
abdominal akan menekan paru-paru.
Menurut Smith (2004), pernafasan diafragma yang dilakukan berulang kali
dengan rutin dapat membantu seseorang menggunakan diafragmanya secara benar
ketika dia bernafas. Teknik ini berguna untuk menguatkan diafragma,
menurunkan kerja pernafasan, melalui penurunan laju pernafasan, menggunakan
sedikit usaha dan energi untuk bernafas, dengan pernafasan diafragma maka akan
terjadi peningkatan volume tidal, penurunan kapasitas residu fungsional, dan
peningkatan pengambilan oksigen yang optimal.
21
2.2.2 Tahap Pelaksanaan
Pernafasan diafragma dapat dilakukan dengan otomatis dengan latihan dan
konsentrasi yang cukup. Untuk melakukan pernafasan diafragma, pasien
diinstruksikan seperti yang di uraikan sebagai berikut:
Menurut Potter & Perry (2006); Smeltzer & Bare (2010):
1. Bantu klien ke posisi duduk senyaman mungkin
2. Instruksikan klien untuk meletakkan telapak tangannya berseberangan satu
sama lain, dibawah dan sepanjang batas bawah tulang rusuk anterior.
Letakkan ujung jari ketiga kedua tangan dengan saling bersentuhan.
3. Minta klien mengambil nafas dalam secara lambat, menghirup nafas melalui
hidung. Minta klien untuk merasakan bahwa kedua jari tengah tangan terpisah
selama inhalasi.
4. Jelaskan pada klien agar jangan menggunakan dada dan bahu saat menghirup
nafas
5. Minta klien menahan nafas sampai hitungan ketiga dan perlahan-lahan
hembuskan nafas melalui mulut. Jelaskan pada klien bahwa kedua ujung jari
tengahnya akan bersentuhan kembali.
2.3 Pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap Kapasitas Vital
Paru pada Pasien Asma
Terdapat beberapa perubahan fungsi anatomi dan fisiologi yang terjadi pada
sistem pernafasan pada pasien asma termasuk peningkatan kekakuan dinding dada
dan peningkatan diameter anteriorposterior dada karena pendataran diafragma dan
22
elevasi iga, hal tersebut dapat menurunkan compliance dinding dada, sehingga
kemampuan pengembangan dinding dada menurun.
Dalam sistem respirasi, diafragma merupakan otot pernafasan yang paling
penting. Otot ini berbentuk menyerupai kubah yang berlokasi di dasar paru. Otot
abdomen membantu menggerakkan diafragma dan membuat seseorang lebih kuat
untuk mengosongkan udara dari paru. Kerja otot diafragma akan menjadi tidak
efektif pada pasien yang mengalami gangguan fungsi pulmonal (Sloane, 2004).
Menurut Smith (2004), pernafasan diafragma yang dilakukan berulang kali
dengan rutin dapat membantu seseorang menggunakan diafragmanya secara benar
ketika dia bernafas. Teknik ini berguna untuk menguatkan diafragma,
menurunkan kerja pernafasan melalui penurunan laju pernafasan, menggunakan
sedikit usaha dan energi untuk bernafas. Pernafasan diafragma akan
meningkatkan volume tidal, penurunan kapasitas residu fungsional, dan
peningkatan pengambilan oksigen yang optimal.
Pasien dengan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) yang diberikan
diaphragmatic breathing selama 2 minggu menunjukkan peningkatan yang
signifikan pada volume tidal dan menurunkan frekuensi pernafasan pada semua
kelompok penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan hasil peningkatan
minute ventilation (VE), dan pertukaran gas yang ditunjukkan dengan peningkatan
saturasi oksigen (SpO2) (Fernandes et al., 2011).
23
Penelitian yang dilakukan oleh Nurdiansyah (2013) mengenai pengaruh teknik
pernafasan butekyo terhadap penurunan gejala pasien asma di Kota Tanggerang
Selatan, menunjukkan adannya beda rata-rata skor gejala asma sebelum dan
setelah diberikan intervensi selama 2 minggu intervensi dan 2 kali kunjungan
pada minggu I dan minggu II mengalami penurunan skor gejala asma. Latihan
nafas buteyko ini dilakukan dua kali sehari selama dua minggu yaitu pada pagi
hari dan sebelum makan siang/malam (Brindley, 2010).
Top Related