10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Financial Literacy (Literasi Keuangan)
Di abad ke 21 ini, kemampuan untuk mengelola uang dan keuangan secara
efektif menjadi semakin penting, tidak hanya untuk para profesional di sektor
investasi dan perbankan, namun bagi setiap orang yang bertanggung jawab dalam
mengelola urusan keuangan dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan ini
termasuk dalam istilah literasi keuangan (C. Aprea et al., 2016: 1). Literasi
keuangan tidak terbatas pada pengertian pegetahuan, keterampilan dan keyakinan
akan lembaga, produk dan layanan jasa keuangan yang ada, namun sikap dan
perilaku juga memberikan pengaruh dalam meningkatkan literasi keuangan demi
terwujudnya kesejahteraan masyarakat (OJK, 2017).
Tingkat literasi keuangan sangat penting bagi setiap individu, sebab apabila
seorang individu memiliki tingkat literasi keuangan yang baik (well literate) maka
individu tersebut akan mampu mengelola keuangannya dengan baik. Istilah melek
finansial mengacu pada seperangkat keterampilan dan pengetahuan individu yang
memungkinkannya membuat keputusan yang tepat dan efektif melalui pemahaman
tentang keuangan (Sinha & Gupta, 2013: 67). Melek keuangan mengacu pada
kemampuan untuk menilai informasi dan mengambil keputusan yang efektif
mengenai penggunaan dan pengelolaan uang (Ramachandran, 2011: 2). Menurut
Lusardi dan Mitchell (2014) dalam Amagir, Groot, Maassen van den Brink, &
Wilschut (2017: 2) menyatakan bahwa literasi keuangan dapat dilihat sebagai
investasi modal manusia dan dapat membantu dalam konteks mengenai keputusan
tentang pensiun, tabungan, kredit, dan keputusan keuangan lainnya.
Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD (2016)
mendefinisikan literasi keuangan sebagai pengetahuan dan pemahaman atas konsep
dan risiko keuangan, berikut keterampilan, motivasi, serta keyakinan untuk
menerapkan pengetahuan dan pemahaman tersebut untuk membuat keputusan
11
keuangan yang efektif, meningkatkan kesejahteraan keuangan (financial well
being) individu dan masyarakat, serta berpartisipasi dalam bidang ekonomi (OJK,
2017: 15).
Garman dan Forgue (2010: 4) mengatakan bahwa literasi keuangan merupakan
pengetahuan mengenai fakta, konsep, prinsip dan alat teknologi yang mendasari
untuk cerdas dalam menggunakan uang. Menurut Robert T. Kiyosaki (2003: 57)
menjelaskan bahwa literasi keuangan merupakan kemampuan untuk membaca dan
memahami hal-hal yang berhubungan dengan masalah finansial/keuangan.
Menurut Pailella (2016), melek keuangan merupakan kemampuan untuk
mengumpulkan informasi penting serta memiliki kemampuan membedakan antara
pilihan keuangan yang beragam, membahas masalah keuangan, perencanaan dan
solusi yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan keuangan (Firli, 2017: 1).
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa literasi keuangan
merupakan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk
mengelola keuangan guna meningkatkan kesejahteraan hidup, di mana
keputusannya dapat berdampak pada masyarakat, negara, dan ekonomi secara
global.
2.1.1 Kerangka Kerja Literasi Keuangan
Berdasarkan kerangka kerja Organisation for Economic Cooperation and
Development (OECD), untuk mengukur literasi keuangan di berbagai negara di
seluruh dunia terdapat tiga variabel utama, yaitu: (1) pengetahuan dan
keterampilan (knowledge & skills), (2) perilaku (behavior), (3) sikap (attitude).
Pengetahuan dan keterampilan mengukur pengetahuan dan keterampilan
seseorang tentang keuangan. Perilaku mengukur perilaku seseorang mengenai
pengelolaan keuangan dasar, seperti perilaku menabung dan partisipasi finansial.
Sikap mengukur bagaimana seseorang bersikap dan bertanggung jawab terhadap
uang. Kerangka kerja literasi keuangan berdasar OECD dapat dilihat pada tabel
berikut:
12
Tabel 2.1 OECD Framework
(1) Knowledge and Skills (2) Behavior
Knowledge of financial concepts
- Inflation & investment risk
Basic money management
- Decision maker
- Household budget incidence
- Decision making – P2Y new
ownership
- Sources of information –
P2Y new ownership
Financial numeracy
- Division & time
- Return
- Simple & compound interest
Savings Behavior
- Past 12 months savings
method
- Savings sustaining power in
the event of income loss
- Financial deficit –
incidence/response
Financial Participation
- Financial products
awareness
- Current holdings
- Past 2 years purchase
(3) Attitude
Attitude towards money
Financial responsibility
Sumber: OECD 2012, Data diolah
Namun, berdasarkan penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Firli (2017)
variabel yang mempengaruhi literasi keuangan kemudian dikembangkan menjadi
lima variabel. Menurut Firli, variabel-variabel yang mempengaruhi literasi
keuangan dapat dikelompokkan menjadi lima variabel, yaitu: (1) Personal Socio-
demographic characteristics; (2) Financial knowledge; (3) Financial Behavior;
(4) Financial Attitude; (5) Financial Training.
13
Tabel 2.2 Proposed Framework of Financial Literacy
(1) Personal Socio Demographic
Characteristics
• Age
• Gender
• Education
• Marital status
• Nationality
• Income
• Personal level (motivation, online
tools, attitude and volition)
• Occupation
• Wealth
• Qualification
• Hopelessness
• Religiosity
• Parent’s education
• Parent’s occupation
• Family member opinion
• Workplace activity
(2) Financial Knowledge
• Knowledge about current
product and services
• Educational of financial
• Basic knowledge
• Money management
• Savings & investment
• Risk management
• Perception & opinion
(3) Financial Behavior
• Basic Money Management
• Savings Behavior
• Investment behavior
• Portfolio and diversification
• Financial participation (bonds,
bills, repo, stocks, hedge funds,
gold, foreign currency, term
deposit and none).
(4) Financial Attitude
• Attitude towards money
• Financial responsibility
(5) Financial Training
• Received training in finance
Sumber: A Firli (2017), Data diolah
Berdasarkan kerangka kerja literasi keuangan yang diungkapkan Firli,
terdapat dua variabel tambahan, yaitu; (1) Personal Socio-demographic
characteristics dan (2) Financial Training yang sebelumnya tidak termasuk ke
dalam kerangka kerja literasi keuangan berdasar OECD.
2.1.1.1 Personal Socio-demographic characteristics
Argawalla S K et. al., (2015); Bashir T. et. al., (2013) mengemukakan
bahwa jenis kelamin, usia, status perkawinan, pendapatan keluarga, proses
pengambilan keputusan keuangan, penganggaran dan pengeluaran, jabatan,
kualifikasi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi literasi keuangan (A
Firli, 2017: 4). Sinha dan Gupta (2013: 72) juga berpendapat bahwa terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi tingkat financial literacy seperti
pekerjaan, latar belakang pendidikan, pendapatan rumah tangga, faktor
14
demografi yang ternyata berpengaruh signifikan secara statistik dengan
tingkat financial literacy. Lusardi & Mitchell (2011: 15) mengemukakan
bahwa tingkat pengetahuan keuangan rata-rata perempuan dewasa di Amerika
lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pengetahuan keuangan rata-rata
laki-laki. Seseorang yang sudah menikah dianggap akan lebih memiliki
motivasi untuk menambah kekayaan, misalnya dengan investasi, dana
pensiun, dan rencana jangka lainnya. Orang yang memiliki kekayaan yang
lebih juga cenderung tertarik dengan produk keuangan seperti asuransi,
pensiun, produk pasar modal seperti saham. Faktor-faktor yang telah
disebutkan pada tabel di atas akan berpengaruh pada tingkat literasi keuangan
seseorang, sehingga harus dipertimbangkan dalam mengukur tingkat literasi
keuangan seseorang.
2.1.1.2 Financial Knowledge
Beberapa penelitian membuktikan bahwa rendahnya literasi keuangan
merupakan akibat dari kurangnya pengetahuan keuangan (Chen dan Volpe,
1998; Carpena, et al., 2011). Oleh karena itu, negara-negara yang ada di dunia
biasanya meningkatkan literasi keuangan masyarakatnya dengan
meningkatkan pengetahuan mereka melalui lembaga pendidikan. Lusardi &
Mitchell (2011: 15) menyatakan bahwa seseorang yang tingkat literasi
keuangannya rendah biasanya berkorelasi dengan penghasilan rendah,
pendidikan rendah, dan kekayaan yang rendah. Oleh karena itu, peningkatan
pengetahuan keuangan bagi rumah tangga diperlukan agar mereka dapat
berpartisipasi secara berkelanjutan di pasar uang (Ramachandran, 2011).
2.1.1.3 Financial Behavior
Firli (2017: 6) menyatakan bahwa literasi keuangan juga berhubungan
dengan perilaku. Perilaku keuangan seseorang dapat diukur dengan perilaku
mereka dalam mengelola keuangan dasar, misalnya dalam hal menabung,
konsumsi, bahkan investasi. Perilaku keuangan seseorang juga dapat
ditunjukkan dengan berpartisipasinya seseorang dalam membeli produk
keuangan, seperti membeli saham, obligasi, emas, valuta asing, deposito
15
berjangka. Van Rooij, Lusardi, & Alessie (2011: 467) menemukan bahwa
seseorang yang berpartisipasi di pasar saham cenderung memiliki tingkat
literasi keuangan yang tinggi.
2.1.1.4 Financial Attitude
Variabel lain yang mempengaruhi literasi keuangan adalah sikap
keuangan (financial attitude). Sikap keuangan diukur dari sikap seseorang
terhadap uang dan tanggung jawab keuangan (Firli, 2017: 6). Van Rooij,
Lusardi, & Alessie (2011: 467) menemukan bahwa sikap responden terhadap
risiko berkorelasi dengan kepemilikan saham. Mereka yang tidak mau
mengambil risiko cenderung tidak berpartisipasi di pasar saham. Oleh karena
itu, financial attitude menjadi salah satu ukuran untuk mengukur tingkat
literasi keuangan seseorang. Hayhoe, et.al (1999); Lim dan Theo (1997)
mengemukakan bahwa financial attitudes berkorelasi dengan tingkat masalah
keuangan (Herdjiono & Damanik, 2016: 227).
2.1.1.5 Financial Training
Orang yang mendapat pelatihan keuangan akan memiliki pengetahuan
yang lebih dalam di bidang keuangan dan akan membuat keputusan yang
lebih baik, sehingga dapat dikatakan bahwa orang tersebut lebih melek
keuangan (A Firli, 2017: 6). Financial training yang dilakukan terhadap
petani di Desa Rwanda (India) menemukan bahwa pelatihan yang dilakukan
meningkatkan tabungan, mendorong petani untuk mengambil pinjaman, dan
meningkatkan kegiatan baru yang menghasilkan pendapatan, serta
mendorong petani membayar hutangnya (Sayinzoga, Bulte, & Lensink, n.d.).
Pendidikan keuangan yang berhubungan dengan keuangan pribadi
memungkinkan individu untuk mengambil tindakan efektif guna
meningkatkan kesejahteraan keuangan dan menghindari masalah keuangan
(Ramachandran, 2011: 3).
2.1.2 Literasi Keuangan di Indonesia
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan
oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan
16
Indonesia pada tahun 2016 meningkat dari 21,84% di tahun 2013 menjadi
29,66%, yang berarti dari setiap 100 penduduk Indonesia hanya sekitar 30 orang
yang termasuk ke kategori well literate. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan pemahaman keuangan (well literate) di tahun 2016. Pada tahun 2016,
hanya terdapat tiga belas provinsi dari total tiga puluh empat provinsi yang
memiliki tingkat literasi keuangan di atas rata-rata nasional.
Grafik 2.1 Indeks Literasi Keuangan Masyarakat Indonesia Tahun 2016
Sumber: OJK (2017), Data diolah
2.1.3 Tingkat Literasi Keuangan
Tingkat literasi keuangan di Indonesia dibagi menjadi 4 bagian oleh Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), yakni:
1. Well Literate
Yakni memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang lembaga jasa keuangan
serta produk jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat dan risiko, hak dan kewajiban
terkait produk dan jasa keuangan, serta memiliki keterampilan dalam menggunakan
produk dan jasa keuangan.
29.70%
30.50%
30.50%
31.30%
31.30%
32.70%
33.00%
33.50%
35.60%
37.10%
37.50%
38.20%
38.50%
40.00%
Rata-Rata Nasional
Kalimantan Timur
Kalimantan Barat
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Aceh
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Kepulauan Riau
Bali
Banten
DI Yogyakarta
DKI Jakarta
17
2. Suffiecient Literate
Yakni memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang lembaga jasa keuangan
serta produk dan jasa keuangan, termasuk fitur, manfaat dan risiko, hak dan
kewajiban terkait produk dan jasa keuangan.
3. Less Literate
Yakni hanya memiliki pengetahuan tentang lembaga jasa keuangan, produk
dan jasa keuangan.
4. Not Literate
Yakni tidak memiliki pengetahuan dan keyakinan terhadap lembaga jasa
keuangan serta produk dan jasa keuangan, serta tidak memiliki keterampilan dalam
menggunakan produk dan jasa keuangan.
2.3 Financial Management Practices (Praktik Manajemen Keuangan)
Manajemen keuangan menurut Bambang Riyanto dalam buku Dasar-Dasar
Pembelanjaan Perusahaan adalah keseluruhan aktivitas yang bersangkutan dengan
usaha untuk mendapatkan dana dan menggunakan atau mengalokasikan dana
tersebut. Menurut Meredith (2006), manajemen keuangan adalah salah satu dari
beberapa bidang fungsional manajemen yang penting bagi keberhasilan usaha kecil
(Jennifer & Dennis, 2015: 66). Manajemen keuangan membuat pelaku usaha dapat
mengelola keuangan usahanya untuk dapat mencapai tujuan keuangan usaha.
Definisi lain mengenai manajemen keuangan diungkapkan oleh McMahon et al.,
(2008) dalam penelitian Jennifer & Dennis (2015: 66), mendefinisikan manajemen
keuangan berdasarkan perpindahan dan penggunaan sumber dana yang terkait
dengan penggalangan dana yang diperlukan untuk membiayai aset dan aktivitas
perusahaan, alokasi dana yang terbatas, dan memastikan bahwa dana tersebut dapat
digunakan secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan perusahaan. Praktik
manajemen keuangan dalam penelitian ini terdiri dari lima komponen yang meliputi
18
manajemen modal kerja (working capital management) terdiri dari manajemen kas,
manajemen piutang, dan manajemen persediaan. Kemudian, empat komponen
lainnya terdiri dari investasi, pembiayaan, sistem informasi akuntansi serta analisa
dan laporan keuangan. Hal tersebut dirangkum dari penelitian-penelitian terdahulu,
misalnya berdasar Ross et al., (2009) dalam penelitian Jennifer & Dennis (2015:
66) yang mengindikasikan tiga keputusan penting bagi seorang manajer keuangan,
yaitu meliputi keputusan pembiayaan, keputusan pembiayaan jangka pendek, dan
juga memperhatikan net working capital perusahaan, investasi dan laporan
keuangan. Penelitian lainnya yang serupa dilakukan oleh Ang (2002) dalam
penelitian (Jennifer & Dennis, 2015: 66) yang menggolongkan tiga keputusan
keuangan penting yang meliputi keputusan investasi, keputusan pembiayaan, dan
keputusan dividen. Menurut Meredith (2006), pengelolaan keuangan berkaitan
dengan semua bidang manajemen yang tidak hanya melibatkan sumber keuangan
dan penggunaan keuangan di perusahaan tetapi juga implikasi atau akibat yang
diperoleh dari pengambilan keputusan investasi, produksi, pemasaran atau personil
dan kinerja total dari perusahaan (Jennifer & Dennis, 2015: 66). Oleh karena itu,
manajemen keuangan sangat penting bagi setiap pelaku usaha sebab kurangnya
kemampuan manajer dalam mengelola keuangan usahanya akan menjadi penyebab
utama dalam gagalnya sebuah UMKM untuk dapat tumbuh dan berkembang.
2.3.1 Working Capital Management
2.3.1.1 Pengelolaan Kas (Cash Management)
Kas menurut Ikatan Akuntansi Indonesia dalam PSAK No. 2
mengenai arus kas (IAI, 2015) adalah:
“Kas terdiri dari saldo kas (cash on hand) dan rekening giro.
Setara kas (cash equivalent) adalah investasi yang sifatnya sangat
liquid, berjangka pendek dan dengan cepat dapat dijadikan sebagai kas
dalam jumlah tertentu tanpa menghadapi risiko perubahan nilai yang
signifikan”.
19
PSAK No. 2 paragraf enam, menjelaskan bahwa setara kas yang
dimiliki digunakan untuk memenuhi komitmen kas jangka pendek dan bukan
untuk investasi atau tujuan lain. Untuk memenuhi persyaratan setara kas,
investasi harus dapat segera diubah menjadi kas dalam jumlah yang diketahui
tanpa menghadapi risiko perubahan nilai yang signifikan. Karenanya, suatu
investasi baru dapat memenuhi syarat sebagai setara kas jika segera akan jatuh
tempo dalam kurun waktu tiga bulan atau kurang dari tanggal perolehan
investasi tersebut. Kas merupakan komponen aktiva (asset) lancar yang paling
likuid atau cair di dalam neraca dan juga kas sering kali mengalami mutasi
atau perpindahan di mana hampir semua transaksi kas yang terjadi dalam
perusahaan akan mempengaruhi posisi kas. Kas adalah mata uang kertas dan
logam, baik dalam valuta rupiah maupun valuta asing yang masih berlaku
sebagai alat pembayaran yang sah. Kas perlu diatur sehingga tidak terjadi
kekurangan dan tidak juga berlebihan. Untuk itu, pelaku UMKM harus dapat
mengelola kasnya dengan baik demi terjaganya kelancaran transaksi kas
usahanya.
2.3.1.2 Pengelolaan Piutang (Account Receivable Management)
Piutang menurut PSAK No. 9, yaitu:
“Piutang usaha meliputi piutang yang timbul karena penjualan
produk atau penyerahan jasa dalam rangka kegiatan usaha
normal perusahaan. Piutang usaha dan lain-lain yang
diharapkan tertagih dalam satu atau siklus usaha normal
diklasifikasikan sebagai aktiva lancar”.
Selain menurut PSAK No. 9, terdapat beberapa pengertian piutang
menurut para ahli ekonomi. Menurut Munawir (2004: 15) berpendapat bahwa
piutang dagang merupakan tagihan kepada pihak lain (kepada kreditor atau
pelanggan) sebagai akibat adanya penjualan barang dagangan secara kredit.
Dari semua definisi piutang menurut para ahli yang berbeda-beda,
dapat disimpulkan bahwa piutang adalah tagihan perusahaan kepada pihak
20
ketiga dalam bentuk uang, jasa maupun barang yang semuanya akan
membawa pengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan dan hubungan
langsung dengan langganan penerimaan kredit. Pelaku UMKM harus dapat
mengelola piutang usahanya agar tetap terjaga kelancaran usahanya.
2.3.1.3 Pengelolaan Persediaan (Inventory Management)
Pengertian persediaan menurut PSAK No. 14 (IAI, 2015), Persediaan
adalah aset:
(1) tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha biasa;
(2) dalam proses produksi untuk penjualan tersebut; atau
(3) dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam
proses produksi atau pemberian jasa.
Persediaan merupakan bagian dari modal kerja. Setiap perusahaan
baik yang bergerak dalam bidang manufaktur, perdagangan, maupun
perusahaan jasa memiliki persediaan. Begitu juga dengan UMKM, para
pelaku UMKM harus mampu mengelola persediaannya agar tidak merugi dan
terjaga kelancaran usahanya.
2.3.2 Investasi (Investment)
Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia dalam PSAK No. 2 mengenai Arus
Kas (IAI, 2015), aktivitas investasi adalah perolehan dan pelepasan aset jangka
panjang serta investasi lain yang tidak termasuk setara kas.
Menurut Brigham (1995) dalam Jennifer & Dennis (2015: 68)
mengemukakan bahwa penganggaran modal bagi perusahaan yang lebih kecil,
mungkin lebih penting daripada perusahaan yang lebih besar karena kurangnya
akses ke pasar publik untuk mendapatkan pendanaan. Pengelolaan keuangan yang
baik oleh pelaku UMKM dibutuhkan agar keuangan usahanya dapat
diinvestasikan ke dalam aset jangka panjang dan dapat menjadi tambahan modal
usaha. Investasi yang dilakukan oleh pelaku usaha dapat dianalisis dan dievaluasi
dengan menggunakan Payback Period, metode sederhana yang digunakan untuk
21
menilai apakah suatu investasi layak ataukah tidak berdasar jangka waktu
pengembalian modal yang diinvestasikan. Menurut Block’s (1997) dalam
Jennifer & Dennis (2015: 68) yang mengadakan survei kepada 232 UMKM di
USA menyatakan bahwa payback period merupakan teknik yang paling banyak
digunakan oleh usaha kecil dalam memilih investasi, sedangkan perusahaan besar
umumnya menggunakan model arus kas diskonto.
2.3.3 Pembiayaan/Pendanaan (Financing)
Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia dalam PSAK No. 2 mengenai Arus
Kas (IAI, 2015), aktivitas pendanaan adalah aktivitas yang mengakibatkan
perubahan dalam jumlah serta komposisi kontribusi ekuitas dan pinjaman entitas.
Perusahaan kecil sering mengalami masalah keuangan yang berhubungan
dengan modal usaha. Hal tersebut dikarenakan usaha kecil biasanya dikelola
secara mandiri oleh pemiliknya, selain itu modal yang tersedia pun terbatas untuk
mengakses pasar ekuitas. Di tahap awal memulai usaha mikro, kecil, dan
menengah akan terasa sulit apabila pelaku usaha tidak memiliki cukup modal
untuk mengembangkan usahanya.
Thevaruban (2009) meneliti industri skala kecil dan masalah keuangannya
di Sri Lanka, dan menyatakan bahwa UKM di Sri Lanka merasa sangat sulit
memperoleh kredit dari luar karena arus masuk kas dan tabungan UKM di sektor
kecil secara signifikan rendah (Jennifer & Dennis, 2015: 69). Penelitian lain
mengenai pembiayaan UKM dilakukan oleh Pettit dan Singer (1985) yang
mengemukakan bahwa pembiayaan adalah masalah paling sulit dari UKM yang
berada di Amerika Serikat (Jennifer & Dennis, 2015: 69). Hal tersebut
dikarenakan pembiayaan eksternal lebih mahal daripada pembiayaan internal
(Watson et al., 1998; Datta, 2010; Jennifer & Dennis, 2015: 69).
Sulitnya akses kredit bagi UMKM juga dirasakan oleh pelaku UMKM di
Indonesia. Pada tahun 2014, tercatat dari 56,4 juta UMKM yang ada di Indonesia,
22
baru 30% yang mendapatkan akses pembiayaan, dengan persentase 76,1%
mendapatkan pembiayaan dari Bank dan 23,9% mendapatkan pembiayaan dari
lembaga keuangan non-bank. Artinya, 60-70% dari total UMKM yang ada di
Indonesia belum mendapatkan akses pembiayaan (Bank Indonesia dan LPPI,
2015).
Sseundaula (2002) dalam Jennifer & Dennis (2015: 69) mencantumkan
faktor-faktor yang membuat bank enggan memberikan kredit kepada UMKM di
antaranya adalah pencatatan dan penyimpanan arsip yang buruk; teknologi yang
kuno; kurangnya profesionalisme dan networking; kurangnya jaminan; kurangnya
gerai pasar karena produknya tidak memiliki standar kualitas; hubungan yang
buruk dan keterbatasan pengetahuan mengenai peluang bisnis. Oleh karena itu,
masalah pembiayaan merupakan masalah keuangan yang penting bagi pelaku
UMKM sehingga hal tersebut harus menjadi salah satu perhatian pelaku UMKM
dalam mengelola keuangan UMKM.
2.3.4 Sistem Informasi Akuntansi (Accounting Information System)
Sistem Informasi Akuntansi (accounting information system) menurut
Romney & Steinbart (2016: 10) adalah:
“Sistem informasi akuntansi adalah suatu sistem yang
mengumpulkan, mencatat, menyimpan, dan mengolah data untuk
menghasilkan informasi bagi para pengambil keputusan. Sistem ini
meliputi orang, prosedur dan instruksi, data, perangkat lunak,
infrastruktur teknologi informasi, serta pengendalian internal dan
ukuran keamanan.”
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem informasi
akuntansi adalah suatu kumpulan sumber daya yang dibuat untuk mengolah data
finansial dan data-data lainnya menjadi informasi akuntansi. Sering dikatakan
bahwa akuntansi merupakan bahasa bisnis. Jika demikian, maka sistem informasi
23
akuntansi merupakan kecerdasan atau sebuah alat yang menyediakan informasi
dari bahasa tersebut (Romney dan Steinbart, 2016: 10). Sistem informasi
akuntansi (SIA) dapat menjadi sistem manual dengan menggunakan pensil dan
kertas maupun sistem kompleks yang menggunakan teknologi informasi terbaru.
Berdasarkan penelitian Williams (1986) dalam Jennifer & Dennis (2015:
70) yang mengevaluasi kecukupan catatan akuntansi untuk 10.570 usaha kecil
yang bertahan dan beroperasi di Australia, menyatakan bahwa sebagian besar
manajer atau pemilik usaha tidak memiliki catatan akuntansi yang memadai.
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Peacock’s (1986,
1987 dan 1988). Penelitian yang lain adalah mengenai persyaratan informasi
akuntansi yang dilakukan oleh Holmes pada tahun 1987 terhadao 928 usaha kecil
yang beroperasi di Sydney, Melbourne dan Bribane. Hasil dari penelitian tersebut
adalah sebanyak lima puluh tujuh persen responden menunjukkan bahwa mereka
menggunakan sistem jurnal atau buku besar (double entry). Namun, temuan ini
agak berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Peacock’s (1987) mengenai
catatan yang dikelola oleh perusahaan yang gagal, di mana hanya 2,1 persen
responden yang ditemukan menggunakan sistem jurnal atau buku besar (double
entry) Jennifer & Dennis (2015: 70).
Perkembangan sistem informasi akuntansi untuk UMKM di Indonesia
cukup baik sejauh ini. Dapat dikatakan demikian sebab sudah banyak perusahaan
berbasis digital (start up) yang bergerak di bidang jasa keuangan untuk UMKM
maupun Individu, seperti PT Jurnal Consulting Indonesia (Jurnal.id) yang
menyediakan pelayanan software akuntansi untuk UMKM, lalu terdapat
AKUN.biz yang merupakan aplikasi pembukuan online sederhana yang ditujukan
untuk mengatur keuangan personal hingga pengusaha. Namun sejauh ini belum
terdapat penelitian mengenai berapa banyak UMKM yang sudah well literate
terkait sistem informasi akuntansi berbasis digital ini.
24
2.3.5 Analisa dan Laporan Keuangan (Financial Reporting and Analysis)
Pembukuan tanpa disertai menyiapkan laporan keuangan kemungkinan
tidak dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan bagi manajer atau
pelaku UMKM. D’Amboise dan Gasse (1980) dalam Jennifer & Dennis (2015:
70) mempelajari penggunaan analisis laporan keuangan oleh produsen kecil di
Quebec, Kanada dan menemukan bahwa produsen kecil di industri sepatu dan
plastik secara formal melakukan analisis berdasarkan laporan keuangan dan
temuan tersebut mengungkapkan bahwa keputusan manajerial perusahaan
manufaktur sebagian besarnya didasarkan pada laporan keuangan yang telah
disiapkan. Penelitian lain yang dilakukan oleh DeThomas dan Fredenberger
(1985) dalam Jennifer & Dennis (2015: 70) menemukan bahwa 81 persen
perusahaan kecil secara teratur memperoleh ringkasan informasi keuangan, di
mana 91 persen dari ringkasan informasi keuangan tersebut berupa laporan
keuangan tradisional yang terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan dana dan
sisanya merupakan rekonsiliasi bank dan ringkasan operasi serta tidak ada bisnis
yang secara teratur membuat laporan mengenai arus kas. Hal tersebut sama
dengan SAK EMKM atau Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro, Kecil, dan
Menengah yang telah disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan
(DSAK) IAI dalam rapatnya pada tanggal 18 Mei 2016 dan aktif pada 1 Januari
2018.
SAK EMKM merupakan standar akuntansi keuangan yang jauh lebih
sederhana bila dibandingkan dengan SAK ETAP (Standar Akuntansi Keuangan
Entitas tanpa Akuntabilitas Publik) karena hanya terdiri dari laporan neraca,
laporan laba rugi, dan catatan atas laporan keuangan sebagai komponennya. Oleh
karena itu, SAK EMKM diharapkan dapat membantu sekitar 57,9 juta pelaku
UMKM di Indonesia dalam menyusun laporan keuangannya dengan tepat tanpa
harus terjebak dalam kerumitan standar akuntansi keuangan yang ada. SAK
EMKM mengacu pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah dalam mendefinisikan dan memberikan rentang
kuantitatif EMKM.
25
2.4 Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
2.4.1 Pengertian Pelaku Usaha (Entrepreneur)
Secara umum diakui bahwa pengusaha, terlepas dari usia mereka, pasti
terlibat dalam kegiatan pengambilan keputusan mengenai perolehan, alokasi dan
pemanfaatan sumber daya. Oleh karenanya, kegiatan tersebut memiliki implikasi
finansial dan agar berfungsi secara efektif, maka pengusaha perlu melek secara
finansial (Kojo Oseifuah, 2010: 164). Menurut Global Entrepreneurship Monitor
Report tahun 2006 dalam Kojo Oseifuah (2010: 164) mengungkapkan bahwa
literasi keuangan yang buruk dan praktik manajemen yang tidak memadai
membatasi aktivitas kewirausahaan di kalangan pemuda Afrika Selatan.
Schumpeter (1934) mendefinisikan pengusaha sebagai inovator yang
mengembangkan teknologi yang belum dicoba, di mana merujuk dalam artian
produk baru, metode produksi baru, pasar baru, atau bentuk organisasi baru
sehingga kekayaan tercipta saat inovasi tersebut menghasilkan permintaan baru
(Kojo Oseifuahm 2010: 165).
2.4.2 Profil Bisnis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Di Indonesia, sebanyak 57,9 juta unit UMKM diatur dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2008. Berdasarkan undang-undang tersebut, UMKM
didefinisikan sebagai sebuah perusahaan yang digolongkan sebagai UMKM
adalah perusahaan kecil yang dimiliki dan dikelola oleh seseorang atau dimiliki
oleh sekelompok kecil orang dengan jumlah kekayaan dan pendapatan tertentu.
Dalam penelitian ini, klasifikasi UMKM didasarkan pada hasil penjualan tahunan
yang kemudian dikonversikan ke bulan.
UMKM dalam penelitian ini memiliki definisi dan kriteria
berdasarkan UU No. 20 tahun 2008:
a. Usaha Mikro
Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
26
a) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
b. Usaha Kecil
Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah
atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua
milyar lima ratus juta rupiah).
c. Usaha Menengah
Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil
atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan
tahunan seperti kriteria berikut:
a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua
milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
27
*) Kriteria tersebut nilai nominalnya dapat diubah sesuai dengan
perkembangan perekonomian yang diatur dengan Peraturan Presiden.
Penggolongan UMKM di Indonesia mengikuti konsep ISIC (International
Standard Classification of All Economic Activities) yang direvisi tahun 1968, di
mana UMKM di Indonesia digolongkan menjadi sembilan golongan utama sektor
ekonomi, yaitu:
1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan;
2) Pertambangan dan Penggalian;
3) Industri Pengolahan;
4) Listrik, Gas dan Air Bersih;
5) Bangunan;
6) Perdagangan, Hotel dan Restoran;
7) Pengangkutan dan Komunikasi;
8) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan;
9) Jasa-jasa.
2.5 Penelitian Terdahulu
Berikut ini disajikan tabel yang berhubungan dengan penelitian pengaruh
tingkat literasi keuangan terhadap praktik manajemen keuangan.
Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu
No
Peneliti Variabel Model
Analisis
Hasil
1. Brent A.
Marsh
(2006)
Independen:
- Personal
finance
attitudes
- Personal
finance
behavior
- Knowledge
levels
Descriptive
statistics, t
test
statistics,
and one-way
analysis of
variance
(ANOVA)
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa
senior students memiliki
sikap, perilaku, dan
pengetahuan keuangan
pribadi yang lebih baik
daripada first-year
students.
28
No
Peneliti Variabel Model
Analisis
Hasil
Dependen:
- Personal
demographic:
Age (first-year
students and
senior-year
students)
2. Sabana
(2014)
Independen:
- Entrepreneur
financial
literacy
Intervening:
- Financial
access
Moderat:
- Transaction
Cost
Dependen:
- Microenterprise
performance
Multiple
Linear
Regression
Hasil dari penelitian
menunjukkan bahwa
entrepreneur financial
literacy memiliki
pengaruh yang
signifikan terhadap
performance of micro
enterprises.
Entrepreneur financial
memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap
financial access, dan
financial access
memiliki pengaruh yang
signifikan dalam
hubungannya sebagai
variabel intervening
antara financial literacy
dan performance of
microenterprises.
3. Jennifer
& Dennis
(2015)
Independen:
- Working capital
- Investment
- Financing
- Accounting
information
system
- Financial
reporting and
analysis
Multiple
regression
analysis
Praktik manajemen
keuangan yang terdiri
dari working capital
management, investment
practices, financial
planning practices,
accounting information
systems and financial
reporting and analysis
menjadi faktor paling
menentukan dan
berpengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan
UKM di Kenya.
29
No
Peneliti Variabel Model
Analisis
Hasil
Dependen:
- SME’s Growth
4. Aribawa,
D. (2016)
Independen:
- Financial
literacy
Dependen:
- Performance
- Sustainability
PLS SEM
(Structural
Equation
Modelling)
Hasil penelitian ini
mengemukakan bahwa
literasi keuangan
berpengaruh signifikan
terhadap kinerja dan
keberlanjutan usaha
pada UMKM kreatif di
Jawa Tengah.
5. Eniola &
Entebang,
(2017)
Independen:
- Financial
knowledge
- Financial
awareness
- Financial
attitudes
Dependen:
- Financial
performance
Structural
Equation
Modelling
(SEM)
Financial knowledge
berpengaruh signifikan
terhadap financial
performance, financial
awareness berpengaruh
signifikan terhadap
financial performance,
dan financial attitudes
berpengaruh tidak
signifikan terhadap
financial performance.
6. Wangeci
Mwathi,
A. (2017)
Independen:
- Financial
knowledge
- Financial skills
- Financial
attitudes
Dependen:
- Financial
decision
Multiple
regression
analysis
Hasil penelitian
menyatakan bahwa
financial knowledge dan
financial skills memiliki
pengaruh signifikan
terhadap personal
financial decision.
Namun, financial
attitude memiliki
pengaruh tidak
signifikan terhadap
personal financial
decision.
30
Berdasarkan literature review yang telah dilakukan, dapat diambil
kesimpulan bahwa masih belum terdapat penelitian mengenai pengaruh financial
literacy level terhadap financial management practices. Oleh karena itu, penulis
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh financial literacy level
terhadap financial management practices pada pelaku usaha mikro, kecil, dan
menengah di mana penelitian ini merupakan penelitian murni dari peneliti yang
belum pernah dilakukan penelitian yang sama sebelumnya.
2.6 Kerangka Pemikiran dan Paradigma Penelitian
Tingkat literasi keuangan sangat penting bagi setiap individu, sebab apabila
seorang individu memiliki tingkat literasi keuangan yang baik (well literate) maka
individu tersebut akan mampu mengelola keuangannya dengan baik. Menurut
Bosma dan Harding (2006) dalam Eniola & Entebang (2017: 6) banyak perusahaan
UKM yang gagal karena mereka (pelaku usaha) kurang melek keuangan, ketajaman
bisnis yang tidak mencukupi, serta lemahnya pengetahuan finansial dan hal tersebut
dapat melemahkan aktivitas kewirausahaan.
Joo dan Grable (2000) dalam Eniola & Entebang (2017: 4) menyatakan bahwa
alasan mengapa business people membuat keputusan keuangan yang tidak tepat,
tidak memadai dan tidak efektif adalah karena kurangnya pengetahuan keuangan
pribadi, kurangnya waktu untuk belajar tentang pengelolaan keuangan pribadi,
kompleksitas dalam transaksi keuangan dan beragam variasi pilihan dan produk dan
layanan keuangan. Oleh karena itu, kurangnya keterampilan manajemen bisnis
dapat meningkatkan hambatan finansial bagi UMKM.
Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan untuk mengukur pengaruh
literasi keuangan terhadap praktik manajemen keuangan pada pelaku UMKM
terdiri dari empat variabel yang tercantum dalam penelitian Firli (2017) yaitu: (1)
Financial Knowledge, (2) Financial Behavior, (3) Financial Attitude, (4) Financial
Training. Sedangan untuk Pengelolaan keuangan UMKM biasanya meliputi
pengelolaan kas (cash management), pengelolaan piutang (account receivable
31
management), pengelolaan persediaan (inventory management), investasi
(investment), pembiayaan (financing), sistem informasi akuntansi (accounting
information system), serta analisa dan laporan keuangan (financial reporting and
analysis) (Jennifer dan Dennis, 2015).
2.6.1 Pengaruh Secara Langsung Pengetahuan Keuangan Terhadap Praktik
Manajemen Keuangan
Menurut Marsh (2006); Kholilah dan Iramani (2013) dalam Herdjiono &
Damanik (2016: 229), Pengetahuan keuangan mengacu pada apa yang diketahui
individu tentang masalah keuangan pribadi yang diukur dengan tingkat
pengetahuan mereka tentang berbagai konsep keuangan pribadi dan penguasaan
seseorang atas berbagai hal tentang dunia keuangan. Sehingga, pengetahuan
keuangan akan mempengaruhi seseorang dalam mengelola keuangannya secara
personal maupun dalam bisnis. Hal tersebut dibuktikan oleh Hilgert, Hogarth, &
Beverly (2003: 309) yang menyatakan bahwa pengetahuan keuangan dan
pendapatan terkait dengan praktik-praktik keuangan memiliki hubungan dengan
manajemen arus kas, manajemen kredit, tabungan, dan investasi.
2.6.2 Pengaruh Secara Langsung Perilaku Keuangan Terhadap Praktik
Manajemen Keuangan
Menurut Firli (2017: 6) perilaku keuangan dapat diukur dengan bagaimana
perilaku seseorang dalam mengelola keuangannya, seperti bagaimana seseorang
mengalokasikan keuangannya untuk menabung dan konsumsi serta perilaku
dalam mengelola portofolio keuangan dan membeli produk keuangan seperti
saham dan obligasi. Dari penelitian tersebut dapat ditarik hipotesis bahwa
perilaku keuangan mempengaruhi seseorang dalam mengelola keuangannya, baik
secara pribadi maupun bisnis.
2.6.3 Pengaruh Secara Langsung Sikap Keuangan Terhadap Praktik
Manajemen Keuangan
Menurut Marsh (2006) sikap keuangan mengacu pada bagaimana seseorang
menyikapi masalah keuangan pribadi yang diukur dengan tanggapan atas sebuah
32
pernyataan atau opini. Sedangkan financial attitude menurut Pankow (2003)
dalam Herdjiono & Damanik (2016: 229) merupakan keadaan pikiran, pendapat
serta penilaian tentang keuangan. Oleh karena itu, sikap keuangan seseorang
dapat menentukan bagaimana seseorang mengelola keuangannya termasuk dalam
keuangan bisnis. Hal tersebut dibuktikan oleh Mien dan Thao (2015: 1) dalam
penelitiannya terhadap masyarakat Vietnam, bahwa sikap keuangan dan
pengetahuan keuangan memiliki hubungan signifikan positif dengan perilaku
manajemen keuangan. Namun belum terdapat penelitian yang secara langsung
meneliti hubungan sikap keuangan terhadap praktik manajemen keuangan.
2.6.4 Pengaruh Secara Langsung Pelatihan Keuangan Terhadap Praktik
Manajemen Keuangan
Menurut Firli (2017: 5) pelatihan keuangan mengacu pada pernah atau
tidaknya seseorang mendapatkan pelatihan mengenai keuangan, di mana
pelatihan keuangan dapat meningkatkan pengetahuan keuangan seseorang
sehingga menghasilkan keputusan bijak dalam hal keuangan. Dari penelitian
tersebut, dapat ditarik sebuah hipotesis bahwa pelatihan keuangan mempengaruhi
seseorang dalam mengelola keuangannya, baik secara pribadi maupun bisnis.
Menurut Mensah & Benedict (2010: 159) dan King dan McGrath (2002) dalam
Chepngetich (2016: 27) menyatakan bahwa pelatihan keuangan merupakan salah
satu faktor yang berdampak positif terhadap pertumbuhan UKM karena
pengusaha dengan tingkat literasi keuangan yang baik akan dapat menempatkan
diri untuk menyesuaikan perusahaan mereka dengan lingkungan bisnis yang terus
berubah serta secara tidak langsung meningkatkan praktik manajemen keuangan
seseorang.
2.6.5 Pengaruh Secara Tidak Langsung Pengetahuan Keuangan Terhadap
Praktik Manajemen Keuangan Melalui Perilaku Keuangan
Menurut penelitian dari Hilgerth, Hogarth, and Beverly (2003) dan Lusardi
dan Mitchell (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat diantara
financial knowledge dan financial behavior (Mitchell et al., 2011: 2). Menurut
Hilgert, Hogarth, & Beverly (2003: 311), Seseorang yang mendapat nilai lebih
33
tinggi pada tes literasi keuangan (terkait pengetahuan keuangan) lebih cenderung
mengikuti praktik keuangan yang direkomendasikan seperti membayar semua
tagihan tepat waktu, melakukan rekonsiliasi checkbook setiap bulan serta
memiliki dana darurat. Beberapa penelitian seperti (Robb and Woodyard, 2011;
Zakaria et al., 2012) juga menemukan bahwa pengetahuan keuangan memang
mempengaruhi individu untuk berperilaku dengan cara lebih bertanggung jawab
secara finansial (Thi et al., 2015: 4). Beberapa peneliti lain juga menegaskan
hubungan positif antara pengetahuan dan perilaku keuangan, seperti Calvert,
Campbell, dan Sodini (2005) dalam (Lusardi & Mitchelli, 2007: 39) yang
menemukan bahwa rumah tangga yang melek keuangan lebih cenderung membeli
aset keuangan berisiko dan berinvestasi lebih efisien, sehingga secara tidak
langsung meningkatkan praktik manajemen keuangan seseorang.
2.6.6 Pengaruh Secara Tidak Langsung Pengetahuan Keuangan Terhadap
Praktik Manajemen Keuangan Melalui Sikap Keuangan
Menurut penelitian (Bryant et al., 2006) dalam (Shim, Barber, Card, Xiao,
& Serido, 2010) mengemukakan bahwa pengetahuan keuangan seseorang
diharapkan dapat mempengaruhi sikap individu. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian mengenai literasi keuangan yang dilakukan Mandell (2009) bahwa
seseorang yang memiliki tingkat literasi keuangan yang baik mengarah pada
peningkatan pengambilan keputusan keuangan yang baik (Shim et al., 2010).
Shim, Xiao, Barber, & Lyons (2009: 722) dalam penelitiannya mengemukakan
bahwa pengetahuan keuangan yang diperoleh melalui Pendidikan formal
cenderung meningkatkan pengetahuan finansial dan mengarah pada sikap dan
motivasi yang lebih positif, sehingga secara tidak langsung meningkatkan praktik
manajemen keuangan seseorang.
2.6.7 Pengaruh Secara Tidak Langsung Pengetahuan Keuangan Terhadap
Praktik Manajemen Keuangan Melalui Pelatihan Keuangan
Menurut Hogarth, Beverly, & Hilgert (2003: 5) jika peningkatan
pengetahuan keuangan memperbaiki perilaku keuangan, maka pendidikan
keuangan berpotensi untuk memperbaiki perilaku keuangan melalui peningkatan
34
pengetahuan. Selain itu, program pendidikan keuangan biasanya lebih dari
sekedar memberikan informasi keuangan karena membantu seseorang
mengidentifikasi tujuan keuangan yang realistis, menunjukkan bahwa tabungan
terakumulasi dari waktu ke waktu, serta sering kali bertujuan untuk memberikan
motivasi.
Berdasar penelitian yang dilakukan (Shim et al., 2009) menyatakan bahwa
Pendidikan formal dalam keuangan pribadi juga dapat berkontribusi pada
pengetahuan finansial. Para siswa yang mengambil kelas keuangan dan ekonomi
pribadi selama SMA maupun Perguruan tinggi menganggap bahwa dirinya
memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai masalah keuangan. Berdasar
penelitian Hospido, Villanueva, & Zamarro (2015: 23) menemukan bahwa
pelatihan literasi keuangan meningkatkan kinerja dalam kompetensi keuangan.
Sejumlah studi juga telah menganalisis apakah pelatihan keuangan di SMA
memiliki dampak jangka panjang terhadap keputusan keuangan selama siklus
hidup, seperti Bernheim et al., (2001) yang mendokumentasikan bahwa individu
yang belajar di negara bagian AS, di mana sekolahnya memiliki kurikulum
pendidikan keuangan telah mengumpulkan tingkat kekayaan yang lebih tinggi
dari yang lainnya. Brown et al., (2013) juga menemukan bahwa individu yang
menjalani pendidikan keuangan cenderung tidak memiliki hutang atau memiliki
rasio hutang yang rendah. Kesimpulan dari kedua studi tersebut menunjukkan
bahwa kurikulum keuangan di SMA telah membentuk suatu keputusan portofolio
melalui peningkatan pengetahuan keuangan para siswa. Sehingga secara tidak
langsung meningkatkan praktik manajemen keuangan seseorang.
2.6.8 Pengaruh Secara Tidak Langsung Perilaku Keuangan Terhadap
Praktik Manajemen Keuangan Melalui Sikap Keuangan
Menurut penelitian Thi, Mien, & Thao (2015: 12) menunjukkan bahwa
sikap keuangan memiliki pengaruh besar terhadap praktik pengelolaan keuangan.
Hasil serupa juga ditemukan dalam beberapa studi seperti Parotta dan Johnsin
(1998) dan Joo et al., (2003) yang menyatakan bahwa temuan ini dapat menjadi
titik kunci bagi inisiatif pendidikan agar lebih sadar akan pengaruh sikap
35
keuangan terhadap perilaku keuangan kaum muda saat memberikan program
pelatihan (Thi et al., 2015: 12). Seseorang dengan sikap keuangan yang tidak
takut mengambil risiko akan lebih berani dalam berperilaku keuangan terkait
risiko, seperti trading saham. Menurut theory of planned behavior (Ajzen 1991)
menjelaskan mengenai kerangka kerja bagaimana perilaku seseorang dipengaruhi
oleh tiga faktor, yaitu sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan kontrol
perilaku yang dirasakan. Shim et al., (2009) menemukan hubungan hierarki
antara pengetahuan keuangan, komponen sikap (kontrol perilaku dan sikap yang
dirasakan) serta maksud perilaku. Shim et al., (2010: 1466) dalam penelitiannya
yang berjudul Financial Socialization of First-year College Students: The Roles
of Parents, Work, and Education menemukan bahwa sikap keuangan juga
memprediksi perilaku keuangan dan secara tidak langsung meningkatkan praktik
manajemen keuangan seseorang.
2.6.9 Pengaruh Secara Tidak Langsung Perilaku Keuangan Terhadap
Praktik Manajemen Keuangan Melalui Pelatihan Keuangan
Giné dan Mansuri (2011) dalam (Sayinzoga et al., n.d.) menunjukkan
bahwa pelatihan bisnis, yang berfokus pada perencanaan bisnis, pemasaran, dan
manajemen keuangan, meningkatkan pengetahuan bisnis dan meningkatkan
praktik bisnis di kalangan pengusaha di pedesaan Pakistan. Sayinzoga et al., n.d.
dalam penelitiannya menemukan bahwa pelatihan keuangan memberikan efek
pada perilaku keuangan yang signifikan secara statistik dan ekonomi. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa pelatihan meningkatkan tabungan, mendorong
petani untuk mengambil pinjaman, dan meningkatkan dimulainya kegiatan yang
menghasilkan pendapatan baru. Peneliti lain seperti Bayer, Bernheim, dan Scholz
(1996) menemukan bahwa seminar tentang pensiun yang diperuntukkan bagi
pengusaha meningkatkan partisipasi dan kontribusi terhadap rencana tabungan
(Mandell & Klein, 2009: 17). Hal tersebut secara tidak langsung meningkatkan
praktik manajemen keuangan seseorang.
36
2.6.10 Pengaruh Secara Tidak Langsung Sikap Keuangan Terhadap Praktik
Manajemen Keuangan Melalui Pelatihan Keuangan
Beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan antara sikap
keuangan dan pelatihan keuangan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Choi,
Laibson, Madrian, & Metrick (2006) dan Madrian & Shea (2001) yang
menemukan bahwa para peserta seminar pensiun memiliki niat yang jauh lebih
baik daripada menindaklanjutinya (Mandell & Klein, 2009: 17). Artinya,
pelatihan keuangan yang dilakukan dengan cara seminar maupun workshop
memberikan dampak positif terhadap sikap seseorang terhadap keputusan
finansial yang lebih baik dan secara tidak langsung meningkatkan praktik
manajemen keuangan seseorang.
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Financial
Knowledge Financial
Behaviour Financial Attitude Financial Training
Financial Literacy
Financial
Management
Practices
Working Capital
Management Investment Financing Accounting
Information
System
Financial
Reporting &
Analysis
Cash Management
Receivable
Management
Inventory
Management
37
Gambar 2.2
Paradigma Penelitian
Financial
knowledge
(X1)
Financial
Behavior
(X2)
Financial
Attitude
(X3)
Financial
Training
(X4)
Financial
Management
Practices
(Y)
pyx1
pyx2
pyx3
pyx4
e
rx1x3
rx1x4 rx2x4
rx2x3
rx1x2
rx3x4
2.7 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti merumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
H1 : Pengetahuan Keuangan, Sikap Keuangan, Perilaku Keuangan, dan
Pelatihan Keuangan berpengaruh signifikan secara bersama-sama
terhadap praktik manajemen keuangan
H2 : Pengetahuan keuangan berpengaruh positif signifikan terhadap praktik
manajemen keuangan
H3 : Perilaku keuangan berpengaruh positif signifikan terhadap praktik
manajemen keuangan
H4 : Sikap keuangan berpengaruh positif signifikan terhadap praktik
manajemen keuangan
H5 : Pelatihan keuangan berpengaruh positif signifikan terhadap praktik
manajemen keuangan
Top Related