8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes melitus
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya (Anonim, 2011). Diabetes Melitus ditandai dengan hiperglikemia
karena glukosa beredar dalam sirkulasi darah dan tidak seluruhnya masuk ke dalam
sel karena insulin yang membantu masuknya glukosa ke dalam sel terganggu
sekresinya, glukosa diperlukan dalam metabolisme seluler dalam proses pembentukan
energi. Secara garis besar diabetes melitus terkait dengan supply dan demand insulin
berdasarkan kualitas dan kuantitas dari insulin itu sendiri (Soegondo, 2005).
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam penelitian Soegondo
(2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen
yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah atau hiperglikemia. Sedangkan
menurut WHO, diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronis yang
disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama, mempunyai
karakteristik hiperglikemia kronis yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat
dikontrol (Soegondo, 2005). Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang
disebabkan oleh ketidakmampuan pankreas untuk menghasilkan insulin dalam jumlah
9
yang cukup atau ketidakmampuan tubuh untuk menggunakan insulin yang diproduksi
secara efektif (Suyono, 2005).
Diabetes Melitus merupakan masalah kesehatan utama di dunia dan mencapai
proporsi epidemik. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang
diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi
kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes
Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM
dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat
perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukan adanya peningkatan
jumlah peyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Anonim, 2011).
Menurut laporan terakhir, jumlah penderita DM di dunia telah meningkat secara
mengkhawatirkan dan biaya pengelolaannya pun menjadi 3 kali lipat termasuk biaya
pemeriksaan laboratorium yang merupakan bagian penting dalam penanggulangan
mortalitas dan morbiditas DM. Pemeriksaan laboratorium ini dapat dilakukan untuk
uji saring, diagnosis, pemantauan perjalanan penyakit maupun deteksi dini adanya
komplikasi DM (Anonim, 2011; Anonim, 2015 ).
2.1.1 Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi Diabetes Mellitus menurut PERKENI (2011) adalah yang sesuai
dengan anjuran klasifikasi diabetes mellitus American Diabetes Association (ADA),
yang membagi klasifikasi diabetes mellitus menjadi 4 kelompok yaitu diabetes
10
mellitus tipe 1, diabetes mellitus tipe 2, diabetes mellitus tipe lain, dan diabetes
mellitus gestasional (Anonim, 2011). Diabetes mellitus tipe 1 disebabkan karena
terjadinya destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolute seperti
autoimun (melalui proses imunologik) dan idiopatik (Anonim, 2011). Diabetes
mellitus tipe 2 bervariasi mulai dari yang dominan resistensi insulin disertai
defesiensi insulin relative, sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin (Anonim, 2011). Diabetes mellitus tipe lain yang dikarenakan defek
genetik fungsi sel beta karena gangguan pada kromosom seperti kromosom 12, HNF
- 1α, kromosom 7, glukokinase, kromosom 20, HNF - 4α, kromosom 13, Insulin
promoter factor, kromosom 17, HNF - 1β, kromosom 2, Neuro D1, DNA
Mitochondria. Defek genetik kerja insulin mengakibatkan resistensi insulin tipe A,
Leprechaunism, Sindrom Rabson Mandenhall, diabetes liproatrofik, lainnya. Penyakit
Eksokrin Pankreas seperti pankreatitis, pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik,
hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus lainnya. Endokrinopati seperti
acromegaly, cushing syndrome, feocromocytoma, hyperthyroidism, somatostatinoma,
aldosteronoma. Karena obat / zat kimia yang mempengaruhi kerja insulin seperti
vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, agonis β
adrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa, lainnya. Infeksi akibat rubella congenital,
cmv, lainnya. Gangguan imunologi seperti sindrom “stiff-man”, insulin antibody –
antireseptor, dan lainnya. Sindrom genetik lain seperti Sindrom Down, Sindrom
Klinefelter, Sindrom Turner, Sindrom Wolfram’s, Ataksia Friedreich’s, Chorea
Huntington, Distrofi Miotonik, Porfiria, Sindrom Prodder Willi, lainnya (Anonim,
11
2011). Diabetes kehamilan ialah diabetes yang terjadi pada saat kehamilan yang
menyebabkan gangguan hormonal sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula
darah (Anonim, 2011).
2.1.2 Diagnosis Diabetes Melitus.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM
seperti keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, keluhan lain dapat berupa lemah badan,
kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae
pada wanita (Anonim, 2011). Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar
glukosa darah Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu
(GDS) ≥ 200 mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan
Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman
diagnosis DM . Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma
vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan
pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada
penyandang diabetes. Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa
darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM
(Ndraha, et al. 2014). Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2013,
12
kriteria diagnosis diabetes mellitus meliputi satu dari beberapa tes laboratorium
berikut (Anonim, 2013):
Glukosa plasma puasa ≥ 7,0 mmol/L (≥ 126 mg/dL)
Gejala klinis diabetes disertai dengan kadar glukosa darah acak ≥ 11,1
mmol/L (≥ 200 mg/dL)
2 jam setelah pemberian glukosa 75 g oral, kadar glukosa plasma ≥ 11,1
mmol/L (≥ 200 mg/dL)
HbA1C ≥ 6,5 %
2.2 Kaki Diabetes
2.2.1 Definisi
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi diabetes yang paling
memberatkan penderita diabetes. Ulkus yang tidak kunjung sembuh disebabkan oleh
adanya neuropati dan vaskulopati di jaringan perifer. Berdasarkan WHO dan
International Working Group on the Diabetic Foot kaki diabetes adalah ulkus,
infeksi, dan atau kerusakan dari jaringan, yang berhubungan dengan kelainan
neurologi dan penyakit pembuluh darah perifer pada ekstremitas bawah
(Katsilambros, et al. 2010). Gangguan pada saraf dan aliran darah ini disebabkan
karena hiperglikemia yang tidak terkontrol. Kesimpulannya, kaki diabetes adalah
kerusakan jaringan pada kaki diakibatkan karena neuropati dan atau vaskulopati
13
perifer yang timbul karena gula darah yang tidak terkontrol (Katsilambros, et al.
2010).
Di Amerika Serikat, prevalensi kaki diabetes pada penderita diabetes
diperkirakan sebesar 4% (Anonim, 2005). Diperkirakan sebesar 5% psien dengan
diabetes pernah menderita kaki diabetes, dengan lifetime risk sebesar 15% (CDC,
2015). Sebagian besar (60-80%) dari ulkus yang timbul dapat sembuh, sedangkan
sebesar 10-15% tidak sembuh dan sisanya sebesar 5-24% berakhir pada amputasi
dalam kurun waktu 6-18 bulan (Katsilambros, et al. 2010).
Terdapat 3 macam bentuk ulkus diabetes yaitu ulkus neuropati, ulkus iskemia
dan ulkus neuroiskemia (campuran). Karakteristik ulkus neuropati adalah bulat,
dikelilingi oleh kalus, tidak nyeri dan berlokasi di atas tulang-tulang yang menenjol
pada jari-jari kaki atau di daerah plantar. Ulkus iskemia biasanya pucat, nekrosis,
sangat sakit, tidak terbentuk kalus dan lokasinya sering pada jari-jari kaki, tepi-tepi
kaki dan tumit (Pinzur, et al. 2009). Luka yang disebabkan oleh neuropati akan lebih
mudah sembuh dibandingkan luka karena neuroiiskemia. Diperkirakan bahwa sekitar
40-70% amputasi non-trauma dikerjakan pada pasien dengan diabetes (Moxey, et al.
2011).
2.2.2 Patogenesis
Faktor risiko paling signifikan terjadinya kaki diabetes adalah, neuropati,
penyakit arteri perifer dan trauma yang terjadi pada kaki (Alexiadou, et al. 2011).
Neuropati diabetes adalah keadaan yang umum dijumpai pada penderita diabetes,
14
sekitar 90% penderita kaki diabetes menderita neuropati. Kerusakan saraf pada
diabetes mengenai saraf motoris, sensoris dan otonom. Neuropati motoris
menyebabkan kelemahan otot, atropi dan paresis. Neuropati sensoris menyebabkan
hilangnya sensasi protektif terhadap nyeri, tekanan dan panas. Disfungsi sistem saraf
otonom menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan produksi keringat berlebih yang
melembabkan, merusak integritas kulit sehingga membuat penderita rentan terhadap
infeksi. Penyakit arteri perifer (PAD) lebih sering terjadi 2-8 kali pada pasien dengan
diabetes. Biasanya PAD terjadi pada segmen antara lutut dengan pergelangan kaki
(TASC, 2000). Cidera pada kaki terutama bila disertai infeksi akan meningkatkan
kebutuhan darah, pada pasien diabetes dengan PAD, akan terjadi gangguan suplai
darah yang menghambat penyembuhan ulkus dan mempermudah terjadinya infeksi
yang dapat berujung pada amputasi (Alexiadou, et al. 2011). Pada pasien dengan
neuropati diabetes, hilangnya sensasi dapat menimbulkan cidera minor yang berulang
ytang tidak dirasakan oleh pasien dan seiring waktu terjadilah ulkus pada kaki yang
sering kali disertai infeksi (Alexiadou, et al. 2011).
2.2.2.1 Neuropati Diabetik
Neuropati menyebabkan lebih dari 60% dari ulkus kaki diabetes dan dapat
mengenai pada pasien dengan DM tipe 1 dan tipe 2. Hiperglikemia menyebabkan
peningkatan produksi enzim seperti aldose reductase dan sorbitol dehydrogenase,
yang mengubah glukosa menjadi sorbitol dan fruktosa. Penumpukan glukosa
menurunkan produksi myonositol yang akhirnya menurunkan konduktivitas sel saraf.
15
Hiperglikemia juga menimbulkan mikroangiopati yang mengakibatkan kelainan
metabolik, kerusakan sistem imun dan iskemik dari saraf autonom, motorik, dan
sensorik (Singh, et al. 2013).
Peningkatan kadar sorbitol intraseluler, menyebabkan pembengkakan saraf
dan gangguan fungsi saraf. Penurunan kadar insulin sejalan dengan perubahan kadar
peptida neurotropik, perubahan metabolisme lemak, stres oksidatif, perubahan kadar
bahan vasoaktif seperti nitrit oxide mempengaruhi fungsi dan regenerasi saraf. Kadar
glukosa yang tidak teregulasi meningkatkan kadar advanced glycosylated end product
(AGE) yang terlihat pada molekul kolagen yang mengeraskan ruangan-ruangan yang
sempit pada ekstremitas superior dan inferior (carpal, cubital, dan tarsal tunnel).
Kombinasi antara pembengkakan saraf yang disebabkan berbagai mekanisme dan
penyempitan kompartemen karena glikosilasi kolagen menyebabkan double crush
syndrome dimana dapat menimbulkan kelainan fungsi saraf motorik, sensorik dan
autonomik .Hal ini yang menyebabkan penurunan sensasi perifer dan kerusakan saraf
yang menginervasi otot pada kaki dan vasomotor pada sistem sirkulasi. Penurunan
sensasi menyebabkan pasien rentan terhadap timbulnya cidera yang disebabkan oleh
hal-hal kecil seperti kalus, deformitas kuku, gesekan dengan sepatu dan lain
sebagainya. Cidera-cidera minor ini biasanya tidak disadari oleh pasien sampai terjadi
infeksi dan timbul ulkus. Resiko terjadinya ulkus kaki diabetes pada pasien dengan
gangguan sensoris meningkat hingga 7 kali lipat, dibandingkan dengan pasien DM
tanpa kelainan neuropati (Singh, et al. 2013)
Hilangnya fungsi sudomotor pada neuropati otonomik menyebabkan
16
anhidrosis dan hiperkeratosis. Kulit yang terbuka akan mengakibatkan masuknya
bakteri dan menimbulkan infeksi. Berkurangnya sensibilitas kulit pada penonjolan
tulang dan sela-sela jari sering menghambat deteksi dari luka-luka kecil pada kaki.
Perubahan ini pada akhirnya berakibat terjadinya perkembangan ulkus, gangrene, dan
resiko kehilangan anggota tubuh (Singh, et al. 2013; Robolledo, et al. 2011).
2.2.2.2 Vaskulopati Diabetik
Penderita diabetes, seperti orang tanpa diabetes, kemungkinan akan menderita
penyakit atherosklerosis pada arteri besar dan sedang, misalnya pada aortailiaca, dan
femoropoplitea. Alasan dugaan bentuk penyakit arteri ini pada penderita diabetes
adalah hasil beberapa macam kelainan metabolik, meliputi kadar Low Density
Lipoprotein (LDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL), peningkatan kadar faktor
von Willbrand plasma, inhibisi sintesis prostasiklin, peningkatan kadar fibrinogen
plasma, dan peningkatan adhesifitas platelet. Secara keseluruhan, penderita diabetes
mempunyai kemungkinan besar menderita atherosklerosis, terjadi penebalan
membran basalis kapiler, hialinosis arteriolar, dan proliferasi endotel (Stillman, et al.
2002).
Peningkatan viskositas darah yang terjadi pada pasien diabetes timbul berawal
pada kekakuan mernbran sel darah merah sejalan dengan peningkatan aggregasi
eritrosit, Karena sel darah merah bentuknya harus lentur ketika melewati kapiler,
kekakuan pada membran sel darah merah dapat menyebabkan hambatan aliran dan
kerusakan pada endotelial. Glikosilasi non enzimatik protein spectrin membran sel
17
darah merah bertanggungjawab pada kekakuan dan peningkatan aggregasi yang telah
terjadi. Akibat yang terjadi dari dua hal tersebut adalah peningkatan viskositas darah.
Mekanisme glikosilasi hampir sama seperti yang terlihat dengan hemoglobin dan
berbanding lurus dengan kadar glukosa darah. Penurunan aliran darah sebagai akibat
perubahan viskositas memacu meningkatkan kompensasinya dalam tekanan perfusi
sehingga akan meningkatkan transudasi melalui kapiler dan selanjutnya akan
meningkatkan viskositas darah. Iskemia perifer yang terjadi lebih lanjut disebabkan
peningkatan afinitas hemoglobin terglikolasi terhadap molekul oksigen. Efek
merugikan yang ditimbulkan oleh hiperglikemia terhadap aliran darah dan perfusi
jaringan sangatlah signifikan (Mathes,2006).
Gambar 2.1
Pengaruh peningkatan gula darah terhadap aliran darah dan perfusi jaringan
(Mathes, 2006).
18
Keadaan Hiperglikemia menyebabkan disfungsi sel endotel dan kelainan sel
otot polos pada arteri perifer. Sel endotel mensintesis nitric oxide yang menyebabkan
vasodilatasi dan melindungi pembuluh darah dari cedera endogen. Oleh karena itu,
pada hiperglikemia terjadi gangguan sifat fisiologis dari nitric oxide yang biasanya
mengatur homeostasis endothelial, antikoagulan, adhesi leukosit, proliferasi sel otot
polos, dan kapasitas antioksidan. Penurunan vasodilator endotelium dan nitric oxide
menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan kecendrungan untuk terjadinya
aterosklerosis, dan pada akhirnya menyebabkan iskemia. Sistem mikrosirkulasi juga
terganggu yang disebabkan karena arteriol venular shunting, dimana mengurangi
sirkulasi darah ke tempat yang membutuhkan. Hiperglikemia pada DM juga
berhubungan dengan peningkatan thromboxane A2 menyebabkan hiperkoagulabilitas
plasma. Secara klinis pasien memiliki gejala-gejala dari kelainan pembuluh darah
seperti: klaudikasio, nyeri pada saat istirahat (rest pain), tidak teraba pulsasi,
penipisan kulit, hilangnya rambut pada kaki, dan lain-lain (Singh, et al. 2013).
2.2.2.3 Imunopati Diabetik
Dibandingkan dengan orang yang sehat sistem kekebalan tubuh pada pasien
dengan DM jauh lebih lemah. Dengan demikian infeksi kaki diabetes pada pasien
dengan diabetes adalah mengancam nyawa. Dalam keadaan hiperglikemia
menyebabkan peningkatan dari sitokin pro inflamasi dan penurunan fungsi sel
polimorfonuklear, seperti kemotaksis, fagositosis, dan lain-lain (Singh, et al. 2013).
Fagositosis dan aktivitas bakterisidal intraselular dipengaruhi oleh kontrol glikemia.
19
Peningkatan kadar glukosa darah pada pasien diabetes menyebabkan gagalnya fungsi
neutrofil dan sistem imunologi. Selama fagositosis terjadi peningkatan terhadap
pemakaian glukosa, konsumsi O2 dan produksi laktat. Tetapi energi yang disimpan
PMN relatif sedikit dan memerlukan glukosa eksogen untuk mempertahankan
aktivitasnya, dengan perkiraan kemotaksis PMN dalam keadaan normal berlangsung
selama 4 jam tanpa memerlukan tambahan glukosa. Insulin melekat erat pada sel
PMN dan dapat secara terus-menerus menyumbangkan energi yang besar melalui
jalur Embden-Meyerhof yang diperlukan sel pada proses kemotaksis. Pemakaian
glukosa, produksi laktat, dan sintesis glikogen menurun pada PMN pasien diabetes
yang kehilangan insulin selama 36 sampai 72 jam. Pemakaian glukosa, produksi
laktat, dan sintesis glikogen akan meningkat bila PMN diinkubasi kembali dengan
insulin (Sapico, et al. 2000).
Pasien dengan defisiensi kemotaksis PMN dapat menjadi lebih berat apabila
disertai penebalan membran basalis kapiler. Penebalan membran basalis disebabkan
peningkatan produk akhir glikosilasi yang akan menyebabkan terjadinya
aterosklerosis. Produk akhir glikosilasi akan berinteraksi dengan reseptor pada
makrofag dan sel endotel yang akan menginduksi terjadinya penumpukan bahan
berlebihan dan trombosis setempat. Selain itu makrofag tersebut dapat melepaskan
sitokin yang akan melukai sel endotel dan meningkatkan pembentukan plak.
Penebalan ini akan menghalangi gerakan keluar masuknya leukosit dan mencegah
difusi insulin serta glukosa yang dibutuhkan leukosit dalam jaringan pada tempat
masuknya bakteri (Sapico, et al. 2000; Smith, et al. 2006).
20
Selain itu tingginya kadar gula dalam darah merupakan media yang baik
untuk pertumbuhan bakteri. Organisme yang paling dominan pada infeksi kaki
diabetes adalah kuman aerob gram positif seperti Staphylococcus aureus dan
Streptococcus β hemoliticus.Jaringan lunak pada kaki seperti plantar aponeurosis,
tendon, otot, dan fasia tidak bisa menahan infeksi. Selain itu, beberapa kompartemen
di kaki saling berhubungan dan tidak bisa membatasi penyebaran infeksi dari yang
satu ke yang lain. Infeksi pada jaringan lunak ini dengan cepat dapat menyebar ke
tulang menyebabkan osteoitis. Jadi ulkus sederhana pada kaki dapat dengan mudah
mengakibatkan komplikasi seperti osteitis atau osteomyelitis dan gangren tanpa
perawatan yang tepat (Singh, et al. 2013)
2.2.2.4 Perubahan Struktur Tulang dan Sendi
Perubahan struktural pada anatomi kaki dan persendian menyebabkan
kelemahan dan musclewasting pada otot-otot intrinsik kecil. Hal ini menyebabkan
hilangnya keseimbangan pada saat berjalan, clawing of toes, dan plantar fleksi
metatarsal head (charcot foot). Musculus interosseous dan otot-otot intrinsic
berfungsi sebagai penyeimbang dan menahan phalang agar ekstensi (Rebolledo, et al.
2010).
Gangguan morfologi dan fungsional struktur kaki, jari-jari kaki, dan sendi
mempengaruhi absorbsi dan distribusi tekanan saat berjalan.Efek pada kaki meliputi
reduksi gerakan dan perubahan terhadap sudut subtalar dan sendi
metatarsophalangeal pertama.Pada pasien diabetes, tendon fleksor dan ekstensor
21
cenderung lurus dan kaku. Deformitas equinus dapat terjadi akibat pemendekan
tendon Achilles dan kolaps fascia plantaris, memfasilitasi abduksi dan adduksi kaki
depan. Hal ini menyebabkan terjadinya hammer toes dan tekanan beban tubuh
terpusat pada permukaan anterior jari-jari kaki (Rebolledo, et al. 2010).
Charcot foot merupakan deformitas ulkus diabetes akibat neuropati yang
klasik dengan empat tahap perkembangan. Pada tahap pertama biasanya disertai
riwayat trauma ringan disertai kaki yang panas, merah, dan bengkak. Keadaan ini
harus dibedakan dari selulitis. Tahap kedua terjadi fragmentasi dan fraktur pada
persendian tarsometatarsal. Selanjutnya pada tahap ketiga terjadi fraktur dan kolaps
persendian. Bila pasien tetap berjalan dengan posisi kaki yang tidak tepat maka akan
terjadi tahap keempat yaitu ulserasi plantar (Andrew, et al. 2004).
Diabetes dapat memberikan dampak buruk pada beberapa sistem organ
termasuk sendi dan tendon. Hal biasanya tejadi pada tendon achiles dimana advanced
glycosylated end prodruct (AGEs) berhubungan dengan molekul kolagen pada
tendon sehingga menyebabkan hilangnya elastisitas dan bahkan pemendekan tendon.
Akibat ketidakmampuan gerakan dorsofleksi telapak kaki, dengan kata lain arkus dan
kaput metatarsal mendapatkan tekanan tinggi dan lama karena adanya gangguan
berjalan (gait) (Thorne, et al. 2006). Hilangnya sensasi pada kaki akan menyebabkan
tekanan yang berulang, injuri dan fraktur, kelainan struktur kaki, misalnya
hammertoes, callus, kelainan metatarsal, atau kaki Charcot; tekanan yang terus
menerus dan pada akhirnya terjadi kerusakan jaringan lunak. Tidak terasanya panas
dan dingin, tekanan sepatu yang salah, kerusakan akibat benda tumpul atau tajam
22
dapat menyebabkan pengelepuhan dan ulserasi. Faktor ini ditambah aliran darah yang
buruk meningkatkan resiko kehilangan anggota gerak pada penderita diabetes
(Frykberg, et al. 2002; Amstrong, et al. 2008).
2.2.3 Klasifikasi Penyakit Kaki Diabetes
Terdapat beberapa macam klasifikasi ulkus kaki diabetes yang telah
dipergunakan selama ini. Beberapa sistem klasifikasi ulkus telah dibuat yang
didasarkan pada beberapa parameter yaitu luasnya infeksi, neuropati, iskemia,
kedalaman atau luasnya luka, dan lokasi. Sistem klasifikasi yang paling umum
dipergunakan adalah sistem klasifikasi wagner. Selain itu terdapat pula sistem
klasifikasi of Texas wound classification system, dan lain-lain. Sistem Klasifikasi
Ulkus Wagner-Meggit yang didasarkan pada kedalaman luka dan terdiri dari 6 grade
luka (Tabel 2.1) (Frykberg, et al. 2002).
23
Tabel 2.1
Sistem klasifikasi kaki diabetes menurut Wagner
Kategori Derajat Lesi
Ringan
0
1
2
Kulit utuh, ada kelainan bentuk kaki akibat neuropati
Ulkus superfisial terlokalisir
Ulkus lebih dalam, mengenai tendon, ligament, otot, sendi,
belum mengenai tulang, tanpa selulitis atau abses
Berat
3
4
5
Abses yang dalam dengan atau tanpa osteomyelitis
Gangren jari atau kaki bagian distal
Gangren seluruh kaki
University of Texas membagi ulkus berdasarkan dalamnya ulkus dan
membaginya lagi berdasarkan adanya infeksi atau iskemi. Adapun sistem Texas ini
meliputi (Tabel 2.2) (Doupis, et al. 2008).
Tabel 2.2
Klasifikasi University of Texas
Klasifikasi University of Texas
Grade Lesi
0 Pra atau pasca ulcerasi
1 Luka superfisial mencapai dermis atau epidermisatau keduanya
tetapi belum menembus tendon, kapsul sendi atau tulang.
2 Luka menembus tulang atau sendi tetapi belum mencapai tulang
atau sendi
3 Luka mencapai tulang atau sendi
24
Setiap tingkatan dibagi menjadi 4 stadium, meliputi:
1. A : luka bersih
2. B : luka iskemik
3. C : luka terinfeksi non iskemik
4. D : luka terinfeksi dan iskemik
2.2.4 Gambaran Klinis Kaki Diabetes
Teradapat 3 macam bentuk ulkus diabetes yaitu ulkus neuropati, ulkus
iskemia dan ulkus neuroiskemia (campuran). Karakteristik ulkus neuropati adalah
bula, dikelilingi oleh kalus, tidak nyeri dan berlokasi di atas tulang–tulang yang
menonjol pada jari–jari kaki atau di plantar pedis. Ulkus iskemia biasanya pucat,
nekrosis, sangat sakit, tidak berbentuk kalus dan lokasinya sering pada jari–jari kaki,
tepi–tepi kaki dan tumit (Payne, et al. 2002).
Pertimbangan yang diperlukan dalam mengevaluasi krepitasi pada luka yaitu
membedakan penyebabnya, nonbakteri atau bakteri. Krepitasi nonbakteri dapat
berkaitan dengan fisik atau kimia. Krepitasi yang berkaitan dengan fisik disebabkan
penetrasi dan perforasi udara, sedang yang berkaitan dengan kimia disebabkan kontak
antara tubuh dengan gas, termasuk hidrogen peroksida, benzine, dan kompleks
magnesium tertentu.Krepitasi oleh karena bakteri dapat disebabkan oleh Clostridia
atau non-Clostridia. Krepitasi non-Clostridia dapat disebabkan oleh bakteri anaerob
fakultatif misalnya Klebsiella dan Enterobacter atau bakteri anaerob obligat misalnya
25
Peptostreptococcus danBacteroides. Membedakan kedua macam infeksi ini penting
karena penanganan kedua keadaan ini sangat berbeda (Sapico, et al. 2000;
Hendromartono, et al. 2003).
2.2.5 Pemeriksaan Kaki Diabetes
Pada anamnesa informasi yang penting adalah pasien telah mengidap DM
sejak lama. Gejala neuropati diabetes yang sering ditemukan adalah kesemutan, rasa
panas di telapak kaki, kram, badan sakit semua terutama malam hari. Gejala neuropati
menyebabkan hilang atau menurunnya rasa nyeri pada kaki. Manifestasi gangguan
pembuluh darah berupa nyeri tungkai sesudah berjalan pada jarak tertentu akibat
aliran darah ke tungkai yang berkurang (klaudikasio intermiten). Manifestasi lain
berupa ujung jari terasa dingin, nyeri kaki diwaktu malam, denyut arteri hilang dan
kaki menjadi pucat bila dinaikkan (Frykberg, et al. 2009).
2.2.5.1 Pemeriksaan Fisik
Kesan umum akan tampak kulit kaki yang kering dan pecah-pecah akibat
berkurangmya produksi keringat. Tampak pula hilangnya rambut kaki atau jari kaki,
penebalan kuku, kalus pada daerah daerah yang mengalami penekanan seperti pada
tumit, plantar aspek kaput metatarsal. Adanya deformitas berupa claw toe sering pada
ibu jari (Pinzur, 2006). Pada daerah yang mengalami penekanan tersebut merupakan
lokasi ulkus diabetikum karena trauma yang berulang-ulang tanpa atau sedikit
26
dirasakan pasien (Supartondo, 1998). Tergantung dari derajatnya saat kita temukan,
ulkus yang terlihat mungkin hanya suatu ulkus superfisial yang hanya terbatas pada
kulit dengan dibatasi kalus yang secara klinis tidak menunjukkan tanda–tanda infeksi
(Payne, et al. 2002).
Pada palpasi dinilai ada atau tidaknya denyut atau pulsasi arteri perifer, tidak
terabanya pulsasi dan kaki teraba dingin dapat diasumsikan bahwa terjadi oklusi
arteri. Palpasi dilakukan pada a. femoralis, a. poplitea, a. dorsalis pedis dan a. tibialis
posterior, dibandingkan kanan dan kiri. Kulit yang kering serta pecah-pecah mudah
dibedakan dengan kulit yang sehat. Kalus disekeliling ulkus akan teraba sebagai
daerah yang tebal dan keras. Deskripsi ulkus harus jelas karena sangat mempengaruhi
prognosis serta tindakan yang akan dilakukan. Apabila pus tidak tampak maka
penekanan pada daerah sekitar ulkus sangat penting untuk mengetahui ada tidaknya
pus. Ulkus harus dibuka lebar untuk melihat luasnya kavitas serta jaringan bawah
kulit, otot, tendo serta tulang yang terlibat (Yasa, 2003).
Disamping gejala serta tanda adanya kelainan vaskuler, perlu diperiksa
dengan test vaskuler noninvasif, ankle-brachial index (ABI), dan toe systolic
pressure (tekanan darah ibu jari). ABI didapat dengan cara membagi tekanan sistolik
betis dengan tekanan sistolik lengan. Pada orang normal ABI > 1, bila ABI < 0,5
menunjukan iskemia yang berat. Toe systolic pressure (tekanan darah ibu jari) lebih
akurat dibandingkan ABI. Mereka menemukan bahwa 25 mmHg merupakan batas
minimal untuk penyembuhan ulkus pada kaki (N: >40 mmHg) (Edmond, 2001).
27
Arteriografi perlu dilakukan untuk memastikan terjadinya oklusi arteri (Pinzur, et al.
2006).
2.2.5.2 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi akan dapat mengetahui apakah didapat gas subkutan,
benda asing serta adanya osteomielitis (Levin, et al. 2006). Untuk mengetahui adanya
oklusi pada pembuluh darah maka dilakukan pemeriksaan penujang radiologi seperti
ultrasonografi doppler/duplex, angiografi, MR angiografi, dan CT angiografi.
Ultrasonografi doppler yang merupakan prosedur pemeriksaan yang paling sederhana
dan non invasif. Pemeriksaan dengan ultasonografi doppler cukup sensitif untuk
mendiagnosis adanya penyakit arteri perifer oklusif tungkai bawah. Angioografi
merupakan baku emas pemeriksaan vaskular karena akan memberikan informasi
mengenai ada tidaknya sumbatan, luas sumbatan, serta kolateral. Kelemahan
angiografi adalah bersifat invasif, memerlukan waktu dan mahal serta menggunakan
kontras yang nefrotoksik, maka arteriografi jarang dipakai (Payne, et al. 2002; Singh,
2013). Untuk menentukan adanya osteomilitis dapat dikerjakan pemeriksaan seperti
CT Scan, MRI, Gallium Scintigrahy yang semua ini memiliki resolusi yang sangat
baik untuk melihat tulang dan jaringan (Gerhard, et al. 2005).
2.2.6 Penanganan Kaki Diabetes
Tujuan utama penanganan penyakit kaki diabetes adalah, menghilangkan atau
menutup luka yang ada. Penanganan secara umum di biddang bedah dapat hanya
28
berupa perawatan luka, debridement secara bedah maupun biologi, sampai amputasi
ekstremitas. Pemilihan metoda penanganan kaki diabetes sangat bergantung dari
derajat penyakit kaki dibetes, ada tidaknya infeksi dan ada tidaknya penyakit arteri
perifer yang menyertai (Stillman, et al. 2008). Selain perawatan di bidang bedah,
sangat diperlukan kerjasama team dalam penatalaksanaan diabetes seabagai penyakit
primer dan komplikasi lain yang menyertai. Regulasi glukosa darah perlu dilakukan,
meskipun belum ada bukti adanya hubungan langsung antara regulasi glukosa darah
dengan penyembuhan luka. Hal itu disebabkan fungsi leukosit terganggu pada pasien
dengan hiperglikemia kronik. Perawatan meliputi beberapa faktor sistemik yang
berkiatan yaitu hipertensi, hiperlipidemia, penyakit jantung koroner, obesitas, dan
insufisiensi ginjal (Schwart, et al. 1999; Boulton, et al. 2004).
Perawatan ulkus pada kaki diabetes sangat komplek. Perawatan luka terus
menerus dan kontinyu, menghindari area luka dari beban (off-loading), debridement
berulang, penanganan infeksi dan penanganan iskemia merupakan prodesur yang
harus dilakukan pada pasien dengan kaki diabetes. Lamanya penyembuhan penyakit
kaki diabetes sangat bervariasi dengan rentangan waktu beberapa minggu hingga
beberapa bulan bahkan menahun. Penyembuhan ulkus kaki diabetes, dipengaruhi oleh
penyebab dasar dari ulkus tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Yotsu, et al
(2014) di Jepang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata kesembuhan (healing
rate) antara ulkus neuropati, iskemia dan ulkus neuro-iskemia. Berdasarkan penelitian
tersebut didapatkan bahwa rerata waktu dimana 50% pasien telah sembuh adalah 70
hari pada ulkus neuropati, 113 hari pada pada ul;kus neuroiskemia dan 233 hari pada
29
ulkus iskemia. Sedangkan rerata kesembuhan secara kumulatif dalam 1 bulan adalah
32% untuk ulkus neuropati, 0% untuk ulkus neuro-iskemia dan 11% untuk ulkus
iskemia. Sedangkan dalam 3 bulan rerata kesembuhan secara kumulatif adalah 58%,
42% dan 16% (Yotsu, et al. 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Sheehan, et al
(2003) menyimpulkan bahwa penyembuhan luka kaki diabetes pada minggu keempat
dapat memprediksi kesembuhan luka pada minggu ke dua belas (Sheehan, et al.
2003).
2.2.6.1 Debridement
Bedridement adalah tindakan pembedahan yang bertujuan untuk membuang
jaringan mati (nekrosis), nanah, jaringan fibrotik, dan kalus. Jaringan mati yang
dibuang sekitar 2-3 mm dari tepi luka ke jaringan sehat. Debridement meningkatkan
pengeluaran faktor pertumbuhan yang membantu proses penyembuhan luka. Metode
debridement yang sering dilakukan yaitu surgical (sharp), autolitik, enzimatik, kimia,
mekanis dan biologis. Metode surgical, autolitik dan kimia hanya membuang jaringan
nekrosis (debridement selektif), sedangkan metode mekanis membuang jaringan
nekrosis dan jaringan hidup (debridement non selektif) (Jones, 2007; Bloomgarden,
2008).
Surgical debridement merupakan standar baku pada ulkus diabetes dan
metode yang paling efisien, khususnya pada luka yang banyak terdapat jaringan
nekrosis atau terinfeksi. Pada kasus dimana infeksi telah merusak fungsi kaki atau
membahayakan jiwa pasien, amputasi diperlukan untuk memungkinkan kontrol
30
infeksi dan penutupan luka selanjutnya. Debridement enzimatis menggunakan agen
topikal yang akan merusak jaringan nekrotik dengan enzim proteolitik seperti papain,
colagenase, fibrinolisin-Dnase, papainurea, streptokinase, streptodornase dan tripsin.
Agen topikal diberikan pada luka sehari sekali, kemudian dibungkus dengan balutan
tertutup. Penggunaan agen topikal tersebut tidak memberikan keuntungan tambahan
dibanding dengan perawatan terapi standar. Oleh karena itu, penggunaannya terbatas
dan secara umum diindikasikan untuk memperlambat ulserasi dekubitus pada kaki
dan pada luka dengan perfusi arteri terbatas (Bloomgarden, 2008).
Debridement mekanis mengurangi dan membuang jaringan nekrotik pada
dasar luka. Teknik debridement mekanis yang sederhana adalah pada aplikasi kasa
basah-kering (wet-to-dry saline gauze). Setelah kain kasa basah dilekatkan pada dasar
luka dan dibiarkan sampai mengering, debris nekrotik menempel pada kasa dan
secara mekanis akan terkelupas dari dasar luka ketika kasa dilepaskan (Bloomgarden,
2008).
2.2.6.2 Amputasi pada Kaki Diabetes
Diabetes merupakan penyebab utama terjadinya amputasi di seluruh dunia.
Dan di India ulkus kaki diabetes ini menyebabkan lebih dari 80% amputasi pada
ekstremitas bawah (Jain, et al. 2012).
Amputasi pada kaki diabetes diindikasikan bila terdapat neuropati diabetes,
penyakit pembuluh darah, dan deformitas ulseratif yang telah menyebabkan nekrosis
jaringan lunak, osteomyelitis, sepsis, atau nyeri. Secara keseluruhan, diabetes adalah
31
penyebab utama untuk amputasi non traumatik tungkai bawah (Sage, 2006; Weledji,
2014). Selain itu terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi amputasi pada kaki
diabetes antara lain seperti riwayat ulkus kaki diabetes sebelumnya, usia lanjut,
tekanan darah tinggi, jenis kelamin laki-laki, peningkatan kadar glycosidic
hemoglobin, proteinuria (Santos, et al. 2006).
Penyakit oklusi arteri perifer atau peripheral arterial disease (PAD)
merupakan komplikasi yang paling sering pada diabetes melitus dibandingkan
dengan subyek normal.Prevalensi PAD meningkat pada pasien dengan diabetes dan
berhubungan dengan manifestasi klinis yang berat dan resiko tinggi untuk terjadinya
critical limb ischemia(CLI) dan amputasi ektremitas bawah. PAD pada pasien dengan
diabetes berbeda dalam hal histologi, anatomi dari oklusi pembuluh darah (Graziani,
et al. 2007).
Amputasi pada ekstremitas bawah pada penyakit oklusi pembuluh darah harus
dipertimbangkan luas jaringan nekrosis, infeksi sekunder yang menyebabkan gangren
atau osteomyelitis , dan gejala-gejala sepsis. Waktu dan prosedur tindakan tergantung
dari kondisi klinis pasien. Bila terjadi kerusakan jaringan dan berhubungan dengan
infeksi dan sepsis, tindakan amputasi dikerjakan segera untuk menyelamatkan nyawa
(Sefranek, et al. 2007).
Tindakan revaskularisasi pada ekstremitas bawah merupakan terapi pilihan
pada kebanyakan pasien dengan penyakit oklusi arteri perifer.Tindakan rekontruksi
vaskular juga bermanfaat untuk menyelamatkan ekstremitas bawah dari
amputasi.(Sefranek, et al. 2007).
32
Adapun tipe-tipe amputasi yang dilakukan pada ekstremitas bawah (Sage, et
al. 2006; Sefranek, et al. 2007)
1. Amputasi minor: toe amputation, Ray amputation, transmetatarsal
amputation, dan Syme’s amputation
2. Amputasi mayor: below knee amputation, above knee amputation.
2.3 PenyakitOklusi Arteri Perifer (PAD)
2.3.1 Definisi
Penyakit Oklusi Arteri Perifer atau Peripheral Arterial Disease (PAD) adalah
penyakit karena oklusi pembuluh darah perifer bisa pada aorta, iliaka maupun arteri
pada ektremitas bawah. Sementara itu PAD merupakan faktor resiko utama terjadinya
amputasi pada ekstremitas bawah (Anonim, 2003). .
PAD pada tungkai bawah merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
pasien DM. Prevalensi PAD meningkat secara signifikan pada pasien dengan DM
(Graziani, et al. 2007). PAD dan diabetes memerlukan perhatian sebab dibandingkan
dengan PAD dengan faktor risiko lain, PAD pada diabetes berbeda dalam biologi,
gambaran klinik dan penatalaksanaan. Keterlibatan vaskular sedikit unik dimana
tersering pada pembuluh darah dibawah lutut dan hampir selalu disertai dengan
neuropati. Oleh sebab itu, sering tanpa gejala atau hanya merasakan keluhan yang
tidak jelas tidak seperti gejala klasik PAD seperti klaudikasio intermiten. Sehingga
sebagai konsekuensi dari adanya neuropati, sering penderita PAD dan diabetes datang
33
terlambat dan sudah dengan gejala rest pain, ulkus sampai gangren dan pada akhirnya
berakhir dengan amputasi (Anonim, 2003).
2.4 Skoring Sistem Tardivo Pada Penyakit Kaki Diabetes
Skor algoritme Tardivo adalah suatu algoritma yang dikembangkan oleh
ilmuwan Brazil Jao Paolo Tardivo, untuk memprediksi prognosis pasien dengan
ulkus kaki diabetes. Perhitungan skor Tardivo berdasarkan pada tiga variabel yaitu
klasifikasi Wagner, tanda tanda Peripheral Artery Disease (PAD) yang dinilai
berdasarkan Peripheral Artery DIsease Classification dan lokasi dari ulkus. Nilai
total didapatkan dengan mengalikan skor dari masing-masing variabel tersebut dan
menghasilkan rentang nilai 1 - 32. (Tardivo, 2015).
Beberapa sistem skoring telah dikemukakan sebelumnya oleh beberapa
peneliti. Penelitian yang dilakukan oleh beckert, et al (2006) mengemukakan sistem
skoring yang dikenal sebagai DUSS (Diabetic ulcer severity score). Pada penilaian
DUSS, masing-masing parameter memiliki nilai 1 atau 0, dan hasil penjumlahan
seluruhnya bervariasi anatar 0 sampai 4. Semakin tinggi nilai yang diperoleh maka
prognosis akna semakin buruk, namun pasien dengan nilai yang sama dapat
dimasukkan dalam kategori yang berbeda, sehingga seringkali membingungkan
pemeriksa (Beckert, et al. 2006).
Lipsky dan kawan-kawan mengembangkan dan memvalidasi suatu sistem
skoring amputasi untuk pasien yang dirawat dengan penyakit kaki diabetes.
Penelitian ini meliputi 14 faktor risiko yang berhubungan dengan amputasi.
34
Beberapa faktor yang berperan penting terhadap keajadian amutasi antara lain, infeksi
luka operasi, vaskulopaty, riwayat amputasi sebelumnya dan leukosit > 11.000/ mm3
(Lipsky, et al. 2011). Skor dari Lipsky mampu memprediksi kemungkinan amputasi
pada pasien kaki diabetes, namun sistem skoring Lipsky adalah sistem yang rumit
terdiri dari lima lapis penilaian dengan rentangan nilai 0 sampai 21. Selain itu tidak
terdapat panduan tentang cara penggunaan sistem skor ini (Tardivo, et al. 2015).
Skor algoritma Tardivo menghasilkan nilai prognosis terhadap kejadian
amputasi. Skoring ini berdasarakan atas tiga faktor yaitu klasifikasi wagner, tanda
klinis PAD, dan lokasi ulkus pada penyakit kaki diabetes (Tardivo, et al. 2015).
Klasiifikasi penyakit kaki diabetes menurut Wagner-Meggit terdiri dari 5
tingkat (grade) dari 0 sampai dengan 5. Tingkat yang digunakan adalah wagner
tingkat 1 sampai tingkat 4. Wagner 0 tidak dipergunakan karena belum terbentuk
ulkus, dan hanya terdapat kelainan neuropathy. Pasien dengan derajat wagner 1
sampai 4 diberi nilai 1 sampai 4 (Tardivo, et al. 2015).
Gambar 2.2.
Klasifikasi penyakit kaki diabetes berdasarkan klasifikasi Wagner
(Tardivo, et al. 2015).
35
Klasifikasi PAD mengacu kepada Peripheral Arterial Disease Classification
yang terdiri dari pucat (pallor) pada ekstremitas, Tidak terabanya pulsasi distal, ABI
dibawah 0.7, tidak adanya perfusi distal, sianosis dan ganggrene berkepanjangan.
Pasien tanpa gejala PAD mendapatkannilai 1 (PAD 1) dan pasien dengan gejala PAD
mendapatkan nilai 2 (PAD 2) (Tardivo, et al. 2015).
Lokasi ulkus ditentukan berdasarkan lokasinya seperti ditunjukkan pada
gambar 2.2. Forefoot 1 (FF1) merupakan region dari jari-jari kaki. Forefoot 2 (FF2)
di regio metatarsal, midfoot 3(MF3) merupakan regio yang terdiri dari cuneiform,
cuboid, dan tulang naviculare dibatai oleh sendi Lisfranc dan Chopart. Dan hindfoot
(HF4) merupakan area tumit meliputi kalkaneus dan talus. Masing -masing lokasi
memiliki nilai 1,2,3 atau 4 tanpa melihat apakah lokasi di bagian dorsal atau plantar
dan kedalaman ulkus (Tardivo, et al. 2015).
Gambar 2.3.
Lokasi ulkus. FF, Fore foot; MF, midfoot; HF, hindfoot. Lokasi dari ulkus sangat
penting dalam menghitung skor Tardivo (Tardivo, et al. 2015).
36
Nilai akhir dari skor Tardivo adalah perkalian total dari masing-masing nilai
dari tiga variabel tersebut dengan rentangan nilai 1 sampai 32. Pada penelitian
sebelumnya, Tardivo dan kawan kawan melakuakan penelitian terhadap 62 pasien
kaki diabetes, didapatkan bahwa pasien dengan skor lebih dari atau sama dengan 12
memiliki kemungkinan mengalami amputasi sebesar 152 kali dibanding pasien
dengan skor lebih rendah (CI 95%, 12,2 -1886,5) (Tardivo, et al. 2015).
Tabel 2.3.
Skor Tardivo berdasarkan klasifikasi Wagner, gejala klinis PAD dan lokasi ulkus
Klasifikasi Wagner Gejala klinis PAD Lokasi Ulkus
Skor Skor Skor
1 1 PADS (+) 2 FF1 1
2 2 PAD (-) 1 FF2 2
3 3 MF3 3
4 4 HF4 4
5 4 Ankle/cruris 4
Total (Skor wagner X Skor PAD X Skor lokasi ulkus) = ....................
Top Related