8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Botani Kopi
Kopi merupakan salah satu tumbuhan yang termasuk dalam family
Rubiaceae yang bernilai ekonomi tinggi. Kopi pertama kali ditemukan pada abad
IX di Ethiopia, dimana biji-bijian asli ditanam oleh orang Ethiopia dataran tinggi.
Pada saat itu, banyak orang di Benua Afrika, terutama bangsa Ethiopia, yang
mengkonsumsi biji kopi yang dicampurkan dengan lemak hewan dan anggur
untuk memenuhi kebutuhan protein dan energi tubuh. Akan tetapi, ketika bangsa
Arab mulai meluaskan perdagangannya, biji kopi pun telah meluas sampai ke
Afrika Utara dan biji kopi disana ditanam secara massal. Dari Afrika Utara itulah
biji kopi mulai meluas dari Asia sampai pasaran Eropa dan ketenarannya sebagai
minuman mulai menyebar. Kopi kemudian terus berkembang hingga saat ini
menjadi salah satu minuman paling populer di dunia yang dikonsumsi oleh
berbagai kalangan masyarakat (National Geographic, 2013).
Di Indonesia, kopi yang pertama kali dibudidayakan pada tahun 1696 adalah
kopi arabika. Namun, karena adanya serangan penyakit Hemileia vastatrik atau
penyakit karat daun, maka pada tahun 1875 Indonesia membudidayakan kopi
liberika. Kopi tersebut juga tidak tahan terhadap penyakit karat daun, sehingga
pada tahun 1900 mulai dibudidayakan jenis kopi robusta yang tahan terhadap
penyakit karat daun. Sampai saat ini, diperkirakan 95 % dari areal perkebunan
kopi di Indonesia membudidayakan jenis kopi robusta (Muljana, 1986).
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
9
2.1.1. Morfologi Kopi
Kopi adalah tanaman perdu yang memiliki tinggi antara 2 - 4 meter. Kopi
memiliki sistem perakaran yang dangkal, lebih dari 90 % akar berada pada lapisan
tanah dengan kedalaman kurang dari 30 cm (Gambar 2.1.A). Oleh karena itu
tanaman kopi peka terhadap kandungan bahan organik maupun perubahan musim
(Najiyati & Danarti, 1990).
Batang tanaman kopi memiliki dua tipe percabangan, yaitu cabang yang
tumbuh tegak (orthotrop) dan cabang yang tumbuh mendatar (plagiotrop;
Gambar 2.1.B.). Cabang plagiotrop berfungsi sebagai penghasil bunga,
sedangkan cabang ortotrop tumbuhnya pesat dengan ruas yang relatif panjang
sehingga banyak digunakan sebagai sumber stek (van Steenis et al., 2008).
Kopi mempunyai daun berbentuk bulat telur dengan ujung yang agak
meruncing sampai bulat (Gambar 2.1.C). Pada ortotrop, daun tersusun berselang-
seling pada ruas-ruas berikutnya, sedangkan pada plagiotrop daun tersusun
mendatar dan tidak berselang-seling (Najiyati & Danarti, 1990). Daun kopi rata-
rata berukuran panjang 20 - 30 cm dan lebar sekitar 10 - 16 cm dengan urat daun
tenggelam sehingga permukaan daun nampak berlekuk-lekuk (van Steenis et al.,
2008).
Tanaman kopi umumnya berbunga setelah berumur lebih kurang dua tahun.
Tanaman kopi berbunga majemuk yang muncul dari ketiak daun pada cabang
plagiotrop. Setiap bunga tersusun atas 3 - 5 kuntum bunga yang bertangkai
pendek. Setiap buku dapat menghasilkan lebih dari 30 kuntum bunga. Bunga kopi
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
10
akan mekar pada permulaan musim kemarau, berwarna putih dan harum dengan
panjang tabung dapat mencapai 1,8 cm. Petala berjumlah 5 – 7 dengan ukuran
panjang mencapai 1,3 cm dan lebar mencapai 0,4 cm (Gambar 2.1.D). Benang
sari tertancap pada tabung mahkota berjumlah lima sampai tujuh tangkai yang
berukuran pendek. Tangkai putik memanjang jauh di luar tabung mahkota dan
bercabang dua. Bakal buah mengandung dua bakal biji (van Steenis et al, 2008).
Setelah terjadi penyerbukan dan pembuahan, bakal buah kemudian
berkembang menjadi buah. Buah tersebut akan terus tumbuh dan siap panen
setelah sembilan bulan sampai satu tahun (Muljana, 1986). Tanaman kopi hanya
menghasilkan buah satu kali dalam satu tahun dan dipanen pada bulan Maret
sampai September (Gambar 2.1.E; Siahaan, 2008). Buah kopi bertipe drupa dan
berbentuk bulat telur, terdiri atas 4 lapisan yaitu lapisan kulit luar (exocarp),
daging buah (mesocarp), kulit tanduk (parchment), dan biji (endosperm; Gambar
2.1.F). Kulit buah kopi sangat tipis dan mengandung klorofil serta zat – zat warna
lainnya sehingga sewaktu muda biji kopi berwarna hijau dan berubah menjadi
merah jika telah tua (van Steenis et al., 2008).
Setiap buah terdapat dua buah biji kopi. Biji kopi mengandung protein,
minyak aromatis, dan asam- asam organik. Pada umumnya, biji kopi mengandung
air (48%), zat bahan kering (50 –52%), karbohidrat (60%), minyak (13%), protein
(13%), asam-asam non volatil (8%), abu (4%), trigonelin (1%) dan kafein (arabika
1,0%; robusta 2,0%) (Simanjuntak, 2011).
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
11
Gambar 2.1. akar tanaman kopi (A; Kuit et al., 2004), batang kopi (B), daun kopi
(C), bunga kopi (D), buah kopi (E), dan biji kopi (F;
Cafedecolombia.com, 2013)
2.1.2. Varietas Kopi
Ada sekitar 100 jenis kopi yang ditemukan di dunia, tetapi hanya dua jenis
kopi yang dikenal memiliki nilai ekonomis dan diperdagangkan secara komersial,
yaitu kopi arabika (Coffea arabica L.) dan kopi robusta (Coffea canephora Pierre
ex Froehner; Etienne, 2006). Dua jenis kopi yang lain yang dibudidayakan dalam
skala lebih kecil adalah kopi liberika (Coffea liberica) dan kopi excelsa (Coffea
dewevrei).
A B
C
F
D
E
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
12
Kopi arabika (Gambar 2.2.A) merupakan kopi yang paling banyak
diproduksi (60 % produksi kopi dunia) karena memiliki harga yang lebih baik.
Kopi arabika umumnya tumbuh ideal di tempat pada ketinggian di atas 1.000
meter di atas permukaan (Sofyana, 2011). Kopi arabika tidak tahan terhadap
penyakit karat daun dan perubahan musim, namun biji kopi arabika memiliki rasa
yang lebih manis dan aroma yang kurang kuat sehingga banyak digemari
masyarakat di dunia (Anggara et al., 2011).
Kopi robusta lebih tahan terhadap cuaca dan hama penyakit, serta mudah
pemeliharaannya dibandingkan kopi arabika. Kopi robusta juga bisa hidup di
bawah ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut dan mampu menghasilkan
biji lebih banyak dibandingkan dengan kopi arabika sehingga banyak
dibudidayakan di Indonesia (Sofyana, 2011). Biji kopi robusta memiliki kadar
kafein lebih tinggi dibandingkan dengan kopi arabika dengan aroma kopi yang
lebih kuat. Saat ini sekitar sepertiga produksi kopi dunia adalah kopi robusta
(Gambar 2.2.B).
Gambar 2.2. Perbandingan antara kopi arabika (A) dan kopi robusta (B; Rogers,
2013)
A B
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
13
2.1.3. Manfaat Kopi
Kopi merupakan tanaman yang memiliki berbagai khasiat untuk kesehatan
dan kecantikan. Kafein yang terdapat dalam biji kopi merupakan stimulan bagi
sistem saraf pusat sehingga dapat meningkatkan kinerja otak. Kafein mampu
melindungi kerusakan sel kulit akibat radiasi (Panggabean, 2011). Kopi juga
mengandung chlorogenic acid yang merupakan senyawa polyphenol yang
berfungsi sebagai antioksidan kuat. Adanya antioksidan dapat membantu tubuh
dalam menangkal efek perusakan oleh senyawa radikal bebas dalam tubuh dan
memperbaiki sel-sel yang rusak. Kopi juga dapat memberi efek relaksasi karena
aromanya yang wangi dan menyegarkan (Johnston et al., 2003). Putri (2012)
menambahkan bahwa serbuk biji kopi dapat digunakan sebagai sunblock untuk
mencegah sengatan matahari dan mencegah kulit keriput (Gambar 2.3.A).
Bagian dari tanaman kopi yang bermanfaat bagi manusia selain biji adalah
daun kopi (Gambar 2.3.B). Daun kopi mengandung antioksidan yang tinggi serta
memiliki kandungan kafein yang rendah sehingga banyak dimanfaatkan untuk
minuman seperti pada daun teh (Setiono, 2013). Selain daun, batang tanaman kopi
juga dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar atau bahan baku arang (Gambar
2.3.C). Kulit buah kopi juga bermanfaat sebagai pupuk organik dan dapat juga
dijadikan sebagai pakan ternak (Gambar 2.3.D; Arnawa et al., 2010).
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
14
Gambar 2.3. masker dengan bubuk kopi (A; Kobylanski, 2010), minuman dari
kopi (B; Brown, 2012), arang dari tanaman kopi (C), dan limbah
kulit buah kopi (D; Arnawa et al., 2010)
2.2. Budidaya Kopi dan Permasalahannya
2.2.1. Produksi Kopi Dunia dan Indonesia
Kopi merupakan salah satu komoditas pertanian yang paling banyak
diperdagangkan di pasar dunia. Total produksi kopi di dunia mencapai 8 juta ton
dengan nilai penjualan melebihi dari US$ 22,7 milyar selama tahun 2011 (ICO,
2010). Luas areal perkebunan kopi di dunia mencapai 10,2 juta hektar lahan yang
mencakup lebih dari 80 negara dan diproduksi oleh petani kecil hingga mencapai
70% (Santos-Briones et al., 2006).
A B
D C
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
15
Indonesia merupakan negara produsen kopi utama ketiga di dunia setelah
Brazil dan Vietnam, sementara pada posisi keempat adalah negara Kolombia
(Gambar 2.4). Keempat negara tersebut menghasilkan 63,48% produksi kopi
dunia (ICO, 2013). Produksi kopi Indonesia dan Vietnam lebih didominasi kopi
robusta, sementara kopi utama yang dihasilkan oleh Brazil dan Kolombia adalah
kopi arabika.
Gambar 2.4. Produksi kopi di negara-negara penghasil kopi terbesar di dunia
pada tahun 2011 (FAO, 2013).
Perkebunan kopi di Indonesia dikelola dalam tiga bentuk pengusahaan yaitu
perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Dari
seluruh luas areal perkebunan kopi Indonesia, 93,07 % luas areal perkebunan
kopi dimiliki oleh perkebunan rakyat, sedangkan sisanya oleh perkebunan besar
negara dan perkebunan besar swasta masing-masing sebesar 3,93 % dan 3,62 %
(AEKI, 2013).
Menurut data AEKI (2013), produksi kopi Indonesia saat ini telah mencapai
lebih kurang 650.000 ton per tahun, dimana sektor perkebunan rakyat merupakan
penghasil utama kopi Indonesia (96,2%), sisanya dari sektor perkebunan swasta
lebih kurang sebesar 10.000 ton (1,5%) dan dari sektor perkebunan negara
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
3000000
Brazil Vietnam Indonesia Colombia
Negara
Pro
du
ksi K
op
i (T
on
)
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
16
menyumbang rata-rata 15.000 ton (2,3%) per tahun. Dari total produksi kopi
Indonesia, 550.000 ton (81,2%) berupa kopi robusta dan 125.000 ton (18,8%)
berupa kopi arabika. Luas areal perkebunan kopi di Indonesia pada tahun 2011
hampir mencapai 1,3 juta hektar dan merupakan yang terluas kedua di dunia
setelah Brazil dengan luas areal 2,1 juta hektar (Gambar 2.5).
Gambar 2.5. Luas Areal perkebunan kopi di negara-negara penghasil kopi
terbesar di dunia tahun 2011
2.2.2. Permasalahan Budidaya Kopi di Indonesia
Indonesia merupakan negara dengan luas area perkebunan kopi terbesar
kedua di dunia setelah Brazil. Namun, bila ditinjau dari produksi, Indonesia
menempati urutan ketiga setelah Brazil dan Vietnam. Keadaan ini terjadi karena
produktivitas kopi Indonesia per hektarnya hanya mencapai sekitar 500 kg. Angka
tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan negara penghasil kopi di
dunia lainnya, seperti Sierra Leone dan Vietnam yang mampu menghasilkan kopi
per hektarnya mencapai lebih dari 2 Ton/Ha (Gambar 1.1).
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
Brazil Indonesia Colombia Mexico Viet Nam
Negara
Lu
as
Area
(H
a)
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
17
Rendahnya produktivitas kopi disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
adalah gangguan penyakit karat daun (Hemileia vastatrix), yang merupakan
penyakit paling merugikan usaha tani kopi di Indonesia (Mahfud, 2012). Faktor
lain yang menyebabkan rendahnya produktivitas kopi di Indonesia adalah
perkebunan kopi Indonesia sebagian besar adalah perkebunan rakyat yang
penanamannya masih secara tradisional dengan pengelolaan budidaya dan
penanganan pasca panen masih kurang memadai (Gisca, 2012).
Kendala lain dari permasalahan kopi di Indonesia adalah kurangnya
ketersediaan bibit kopi yang bermutu. Priyono (2010) mengungkapkan bahwa
rendahnya produktivitas kopi di Indonesia salah satunya disebabkan oleh
terbatasnya penggunaan bahan tanam hasil perbanyakan vegetatif dari material
genetik unggul.
2.3. Pembibitan Kopi di Indonesia
Pada umumnya petani kopi di Indonesia membudidayakan tanaman tersebut
dengan menggunakan bibit yang diperoleh secara generatif melalui biji (Prastowo
et al., 2010). Biji kopi yang diambil dari buah masak dari tanaman induk unggul
dikecambahkan selama 30 - 40 hari. Kecambah kemudian ditanam pada medium
kompos dan diletakkan dibawah naungan selama sekitar 8 bulan. Bibit yang
diperoleh kemudian siap ditanam di lahan perkebunan (Gambar 2.6). Teknik
tersebut banyak dilakukan oleh petani karena tekniknya mudah dan tidak
membutuhkan biaya besar (Prastowo et al., 2010). Namun demikian, teknik
pembibitan melalui biji memiliki kemungkinan tingginya tingkat heterogenitas
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
18
tanaman yang dihasilkan. Hal tersebut karena tanaman kopi khususnya jenis
robusta memiliki sifat menyerbuk silang (Santoso & Rahardjo, 2011).
Gambar 2.6. Pembibitan kopi secara generatif (Muljana, 1986)
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan di atas
adalah dengan menggunakan perbanyakan bibit secara vegetatif. Secara
konvensional, perkembangbiakkan kopi melalui cara vegetatif dengan
menggunakan teknik stek, okulasi dan sambung pucuk.
Perkembangbiakkan melalui stek dilakukan dengan cara memilih cabang
yang masih hijau dan lentur (Gambar 2.7.A). Cabang atau ranting kopi yang
digunakan dalam stek adalah cabang atau ranting yang memiliki 2 - 4 daun dari
pucuk. Stek yang sudah disiapkan kemudian ditanam di media tumbuh dan
disungkup. Setelah stek umur ± 3 bulan dilakukan penyesuaian dengan membuka
sungkup secara bertahap, dan pada umur ± 4 bulan setek dipindahkan ke
pembibitan dengan menggunakan kantong plastik yang berisi media pasir : tanah :
pupuk kandang perbandingan 1 : 2 : 1. Bibit stek siap tanam setelah berumur ± 7
bulan (Prastowo et al., 2010). Teknik stek akan menghasilkan tanaman yang sama
dengan induknya, namun teknik stek tidak dapat menghasilkan bibit dalam jumlah
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
19
besar karena keterbatasan jumlah batang atau ranting dari tanaman induk. Selain
itu, teknik tersebut juga akan merusak tanaman induk serta bibit yang dihasilkan
juga akan memiliki akar serabut sehingga tidak tahan terhadap perubahan musim
(Prastowo et al., 2010).
Teknik perkembangbiakkan vegetatif yang lain adalah teknik okulasi.
Teknik tersebut dilakukan dengan cara menyiapkan batang bawah berupa bibit
yang berasal dari perbanyakan biji serta menyiapkan mata tunas yang berasal dari
pohon induk unggul (Gambar 2.7.B). Mata tunas ditempelkan pada batang
bawah, setelah ditutup atau diselubungi plastik dilanjutkan dengan pemeliharaan
selama sekitar 20 hari. Bibit siap ditanam di lahan setelah 15 bulan (Prastowo et
al., 2010).
Gambar 2.7 perkembangbiakkan kopi secara vegetatif, stek (A;
smallhousebiggarden.html, 2012), okulasi (B; Arteaga, 2011),
dan sambung pucuk (Prastowo et al., 2010; C)
Teknik ini memiliki keunggulan berupa bibit yang dihasilkan memiliki akar
tunggang dan memiliki sifat sama dengan tanaman induknya. Namun, jumlah
mata tunas yang terbatas, waktu pembuatan bibit yang lama serta memiliki tingkat
keberhasilan yang rendah maka teknik ini tidak mampu menghasilkan bibit dalam
A B C
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
20
jumlah masal. Selain itu teknik ini juga merusak tanaman induknya (Santoso &
Raharjo, 2011).
Teknik vegetatif lain yang sering digunakan oleh petani untuk menghasilkan
bibit adalah teknik sambung pucuk. Teknik ini mirip seperti okulasi namun tidak
digunakan mata tunas melainkan digunakan cabang yang masih muda. Cabang
muda dengan 1 - 3 pasang daun disambungkan ke bibit kopi yang digunakan
sebagai bawang bawah (Gambar 2.7.C). Keberhasilan sambungan dapat
diketahui setelah dua minggu dan bibit dapat ditanam ke lahan setelah 6 - 8 bulan.
(Prastowo et al., 2010). Teknik perbanyakan tersebut mampu menghasilkan bibit
dengan kualitas yang seragam dan sama dengan induknya (Prastowo et al., 2010).
Namun, teknik tersebut tidak mampu menghasilkan bibit dalam jumlah yang
masal serta merusak tanaman induk yang digunakan sebagai sumber batang atas
(Oktavia et al., 2003).
Alternatif lain yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai kendala
perbanyakan bibit kopi secara konvensional tersebut adalah dengan menggunakan
teknik kultur jaringan. Teknik kultur jaringan atau kultur in vitro adalah suatu
teknik untuk menumbuhkan bagian tanaman tertentu pada medium yang
mengandung nutrisi dan dilakukan secara aseptik, sehingga bagian-bagian
tersebut dapat memperbanyak diri dan berregenerasi menjadi tanaman sempurna
(Nugrahani et al., 2011). Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan ini
mempunyai keunggulan seperti tingginya homogenitas tanaman, tingginya vigor
tanaman, memiliki genetik yang sama dengan induknya (Nursyamsi, 2010).
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
21
Secara umum, ada lima teknik dasar kultur jaringan, yaitu kultur meristem,
proliferasi tunas aksilar, induksi pucuk adventif, organogenesis dan
embryogenesis somatik (Zulkarnain, 2009). Kultur meristem adalah teknik kultur
jaringan yang menggunakan potongan tunas yang sangat kecil, terdiri atas satu
kubah meristem dan beberapa primordial daun. Teknik tersebut digunakan untuk
mendapatkan tanaman bebas virus dari bahan induk yang terinfeksi (Zulkarnain,
2009).
Teknik lainnya adalah proliferasi tunas aksilar merupakan teknik kultur
jaringan yang menggunakan tunas – tunas terminal dan lateral yang proliferasi
tunas aksilarnya dipacu dan pertumbuhan tunas terminalnya ditekan. Teknik
tersebut diterapkan secara luas pada spesies tanaman angiospermae (Zulkarnain,
2009).
Induksi pucuk adventif termasuk inisiasi perkembangan pucuk adventif dari
eksplan maupun dari kalus yang dihasilkan eksplan sebagai akibat adanya
perlukaan dan perlakuan zat pengatur tumbuh. Perbanyakan melalui induksi
pucuk adventif menghasilkan regenerasi yang jauh lebih besar daripada metode
perbanyakan vegetatif secara konvensional (Zulkarnain, 2009).
Organogenesis merupakan proses pembentukan organ yang berlangsung
setelah periode pertumbuhan kalus. Teknik ini dapat menghasilkan tanaman
dalam jumlah yang banyak, tetapi tanaman yang dikulturkan tidak selalu
memperlihatkan ekspresi gen yang stabil (Zulkarnain, 2009). Salah satu teknik
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
22
yang mulai dikembangkan untuk memperbanyak kopi secara in vitro adalah
melalui teknik embryogenesis somatik (Oktavia et al., 2003).
2.4. Perkembangan Penelitian Embryogenesis Somatik Kopi
Embryogenesis somatik adalah menumbuhkan embryo (calon tanaman) dari
sel somatik secara aseptis (Nugrahani et al., 2011). Pada umumnya tahapan
kegiatan dalam melaksanakan perbanyakan tanaman melalui teknik
embryogenesis somatik adalah tahap induksi sel dan kalus embryogenik, tahap
induksi embryo somatik, tahap perkecambahan, dan tahap aklimatisasi (Gambar
2.8; Purnamaningsih, 2002).
Gambar 2.8 Induksi kalus (A,B), induksi embryo globular (C), embryo tahap hati
(D), embryo tahap torpedo (E), tahap embryo pra kotiledon (F),
embryo tahap kotiledon (G), perkecambahan (H,I) dan tanaman kopi
yang siap diaklimatisasi (J), tahap aklimatisasi (K; Afreent et al.,
2002; Gatica et al., 2008)
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
23
Pada tahap induksi kalus embryogenik dilakukan isolasi eksplan dan
penanaman pada media tumbuh. Pada umumnya eksplan ditumbuhkan pada media
yang mengandung auksin dan sitokinin yang mempunyai daya aktivitas kuat atau
dengan konsentrasi tinggi (Purnamaningsih, 2002). Kalus yang tumbuh dengan
ciri-ciri tertentu seperti mudah dilepas-lepas (friabel) dan berwarna putih
kekuningan merupakan kalus yang kemungkingan besar mampu membentuk
embryo atau biasa disebut kalus embryogenik (Lizawati, 2012).
Tahap induksi embryo adalah tahap perkembangan dari kalus mulai
membentuk embryo somatik. Pembentukan embryo somatik dapat digambarkan
melalui beberapa tahap, yaitu embryo globular (Gambar 2.8.C), embryo tahap
hati (Gambar 2.8.D), embryo tahap torpedo (Gambar 2.8.E), tahap embryo pra
kotiledon (Gambar 2.8.F), serta tahap kotiledon (Gambar 2.8.G). Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa tahap induksi embryo somatik ini merupakan
tahapan yang paling sulit pada kultur jaringan. Pada tahap ini sering digunakan
medium dengan konsentrasi sitokinin tinggi dengan auksin yang rendah atau tanpa
penambahan auksin (Purnamaningsih, 2002).
Tahap perkecambahan adalah fase di mana embrio somatik dikecambahkan
pada medium tanam membentuk tunas dan akar (Gambar 2.8.H,I). Pada medium
perkecambahan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan sangat rendah
atau bahkan tidak diberikan sama sekali (Purnamaningsih, 2002).
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
24
Tahap terakhir adalah tahap aklimatisasi dimana embryo yang telah
dikecambahkan membentuk bibit dengan 2 - 3 daun kemudian dipindahkan dari
kondisi in vitro ke lingkungan ex vitro di rumah kaca (Gambar 2.8.K). Tahapan
ini merupakan tahapan penentu keberhasilan teknik embryogenesis somatik agar
bisa diaplikasikan dalam skala masal untuk produksi bibit suatu tanaman. Pada
tahap ini bibit disesuaikan secara perlahan dengan perubahan lingkungan dari
lingkungan dengan suhu yang konstant dan kelembapan yang tinggi ke
lingkungan dengan suhu yang tidak stabil dan kelembapan yang rendah
(Purnamaningsih, 2002).
Teknik embryogenesis somatik sudah banyak digunakan untuk perbanyakan
pada berbagai jenis tanaman seperti kelapa sawit (Sumaryono et al., 2007), kakao
(Winarsih et al., 2003), sagu (Kasi & Sumaryono, 2006), kacang tanah (Lestari,
2005), cendana (Sukmadjaja, 2005), dan pule pandak (Sugito, 2006).
Penerapan teknik embryogenesis somatik pada tanaman kopi memiliki
banyak keuntungan di antaranya adalah jumlah propagula yang dihasilkan tidak
terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu yang lebih singkat serta tidak merusak
tanaman induk. Di samping itu, untuk mendukung program pemuliaan tanaman
kopi melalui rekayasa genetika, penggunaan embryo somatik dapat mempercepat
keberhasilan dengan peluang transformasi yang lebih tinggi karena embryo
somatik dapat berasal dari satu sel somatik (Purnamaningsih, 2002). Di samping
keuntungan, terdapat beberapa kendala dalam penerapan embryogenesis somatik
pada tanaman kopi diantaranya adalah tingkat regenerasi planlet dari eksplan
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
25
yang dikulturkan masih relatif rendah (Oktavia et al., 2003) dan persentase
keberhasilan berkisar antara 0 - 70% (Quiroz-Figueroa et al., 2002).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan teknik
embryogenesis somatik pada tanaman kopi, di antaranya adalah dengan
menggunakan berbagai jenis ekplan (Oktavia et al., 2003) modifikasi medium
dasar (Gatica et al., 2008), maupun penambahan air kelapa ke dalam medium
tanam (Priyono & Danimihardja, 1991).
Beberapa jenis eksplan telah dicobakan untuk meningkatkan keberhasilan
induksi embryo somatik pada tanaman kopi. Eksplan biji matang juga pernah
diujikan Coyne (1990) untuk menginduksi embrio dengan persentase keberhasilan
yang masih rendah juga 14 % (Coyne, 1990). Eksplan integumen biji juga telah
diujikan untuk menginduksi embryo somatik pada kopi, namun waktu yang
dibutuhkan untuk munculnya embryo sangat lama, yaitu lebih dari 15 bulan
dengan persentase keberhasilan yang relatif rendah pula (Sreenath et al., 1993).
Penggunaan eksplan akar, epikotil dan hipokotil yang ditumbuhkan dari biji juga
telah diujikan dan berhasil menginduksi embryo tingkat keberhasilan 50 %
(Oktavia et al., 2003). Namun teknik ini belum bisa diaplikasikan untuk memilih
bibit yang unggul karena eksplan tersebut diisolasi dari biji yang belum teruji
keunggulannya.
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
26
Eksplan alternatif yang berasal dari sel vegetatif adalah eksplan batang.
Eksplan tersebut telah diujikan untuk digunakan dalam induksi embryo somatik
kopi, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan induksi
embryo dari eksplan batang masih relatif rendah yaitu berkisar antara 0 – 64 %
(Priyono & Danimiharja, 1991).
Salah satu eksplan yang paling banyak digunakan dan memiliki prospek
yang cerah untuk diinduksi embryo somatik karena merupakan organ vegetatif
adalah daun. Eksplan tersebut telah diujikan dengan hasil yang lebih baik dari
jenis eksplan yang lain. Namun demikian, tingkat keberhasilan induksi embryo
dari eksplan tersebut sangat tergantung kepada genotip tanaman kopi yang
digunakan. Beberapa genotip berhasil diperbanyak melalui teknik embryogenesis
somatik dengan tingkat keberhasilan tinggi (70 %), namun genotip-genoptip lain
tidak berhasil diinduksi pembentukan embryo somatik (Arimarsetyowati, 2011;
Murni, 2010; Riyadi, 2004; Priyono, 2004; Hatanaka et al., 1991; Oktavia et
al.,2003; Neuenschwander & Baumann, 1992; Quiroz-Figueroa, 2002).
Upaya peningkatan keberhasilan induksi embryo somatik kopi juga telah
dilakukan dengan menggunakan beberapa media dasar seperti penggunaan garam
makro dan mikro pada medium MS (Murashige & Skoog, 1962) yang dilengkapi
dengan vitamin B5 (Gamborg et al., 1976) seperti yang telah dilaporkan oleh
Arimarsetyowati (2011), Neuenschwander & Baumann (1991) maupun Oktavia et
al. (2003). Beberapa modifikasi juga telah dilakukan untuk menginduksi
pembentukan embryo somatik kopi seperti dengan menggunakan setengah
konsentrasi media MS dan setengah konsentrasi vitamin B5 (Priyono, 2010),
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
27
seperempat konsentrasi garam makro dan setengah konsentrasi garam mikro dari
media MS yang dilengkapi medium B5 (Hatanaka et al., 1991), media MS
dilengkapi dengan vitamin Morel (Gatica et al., 2007), setengah konsentrasi
medium MS yang dilengkapi dengan triakontanol (TRIA, Gatica et al., 2008).
Dari semua hasil penelitian tersebut, embryo somatik berhasil diinduksi dengan
tingkat keberhasilan yang bervariasi, tergantung dari genotip yang ditanam.
Upaya lain untuk meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik kopi
adalah dengan menggunakan medium cair (Gatica et al., 2008), dan medium semi
padat (Gatica et al., 2008). Hasil dari semua penelitian tersebut menunjukkan
tingkat keberhasilan induksi embryo somatik yang cukup tinggi, namun waktu
yang dibutuhkan relatif lama yaitu lebih dari 3 bulan.
Upaya lainnya juga telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan
induksi embryogenesis somatik, yaitu dengan penambahan air kelapa ke dalam
medium tanam (Priyono & Danimihardja, 1991). Hasil penelitian menunjukan
persentase yang cukup tinggi dalam menginduksi embryo yaitu sekitar 80 %, dan
juga embryo berhasil dikecambahkan, namun tingkat keberhasilan pada tahap
aklimatisasi masih cukup rendah, yaitu hanya 18 %.
Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa meskipun ada
peningkatan keberhasilan induksi embryo yang signifikan, namun tingkat
regenerasi planlet dari eksplan yang dikulturkan masih relatif rendah (Oktavia et
al., 2003) persentase keberhasilan berkisar antara 0 - 70% (Quiroz-Figueroa et al.,
2002).
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
28
Beberapa faktor diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat keberhasilan
embryogenesis somatik kopi, diantaranya adalah pemilihan jenis eksplan yang
tepat sebagai sumber eksplan, genotif dan zat pengatur tumbuh (Oktavia et al.,
2003). Salah satu cara yang diduga mampu meningkatkan keberhasilan induksi
embryo somatik kopi adalah dengan menambahkan zat pengatur tumbuh (ZPT)
yang tepat ke dalam medium tanam (Oktavia et al., 2003; Zulkarnain & Lizawati,
2011).
2.5. Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh (ZPT) didefinisikan sebagai senyawa organik bukan
nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (sekitar 10-6 M) baik disintesis pada bagian
tertentu suatu tanaman (hormon) maupun senyawa sintetik yang dapat diangkut ke
bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia,
fisiologis dan morfologis (Wattimena, 1988).
Terdapat lima kelompok ZPT yang banyak digunakan dalam kultur jaringan
yaitu auksin, sitokinin, gibberellin, etilen, dan asam absisat. Setiap ZPT tersebut
mempunyai ciri khas dan pengaruh yang berbeda terhadap proses fisiologis
tanaman (Salisburry dan Ross, 1995). Auksin merupakan ZPT yang digunakan
secara luas untuk merangsang pembelahan sel, pemanjangan sel, dan
pembentukan akar adventif. Pada kultur jaringan, auksin sering digunakan untuk
merangsang pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ (Gunawan, 1995).
Beberapa macam auksin yang banyak digunakan dalam kultur jaringan
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
29
diantaranya, indole-3-acetic acid (IAA), 2,4 - dichlorophenoxyacetic acid (2,4 -
D), dan α-naftalenacetic acid (NAA; Zulkarnain, 2009).
Sitokinin merupakan salah satu ZPT yang memiliki peran dalam memacu
pembelahan sel (sitokinesis), mempercepat pematangan buah, merangsang
pembungaan dan merangsang pembentukan buah, Sitokinin juga dilaporkan
mampu menambah daya perkecambahan tunas, menunda penuaan pada tanaman,
dan memacu pertumbuhan tunas aksiler (Salisbury & Ross, 1995). Pada kultur
jaringan, sitokinin sering digunakan untuk merangsang pembentukan tunas
ataupun merangsang pembentukan embryo somatik. Sitokinin yang biasa
digunakan dalam kultur jaringan adalah kinetin, zeatin, 2iP (N6-2-isopentanyl
adenin) , BAP (6-benzylamino purine), dan TDZ (thidiazuron; Gunawan, 1995).
Gibberellin berperan meningkatkan perkecambahan biji dan pemanjangan
pucuk. Semua giberelin bersifat asam oleh karena itu dinamakan GA (asam
giberelat). Pada kultur kutlur jaringan gibberellin sering digunakan untuk
memacu pertumbuhan tunas, meningkatkan perkecambahan biji dan pemanjangan
pucuk (Zulkarnain, 2009). Golongan gibberellin yang paling umum digunakan
dalam kultur jaringan adalah GA3, GA4 dan GA7 (Salisbury & Ross, 1995).
Etilen merupakan ZPT yang berbentuk gas yang berfungsi dalam proses
pematangan buah. Pada teknik kultur jaringan, etilen digunakan untuk
meningkatkan pembentukan pucuk (Salisbury & Ross, 1995). Namun, etilen
jarang digunakan dalam kultur jaringan karena tidak tahan panas sehingga tidak
dapat diautoklaf (Zulkarnain, 2009). Asam absisat merupakan ZPT yang berfungsi
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
30
untuk membantu proses pembentukan embryo secara normal dan pembentukan
simpanan protein pada biji serta menghambat perkecambahan pada banyak jenis
biji (Salisbury & Ross, 1995).
Diantara kelima golongan ZPT tersebut, auksin dan sitokinin merupakan
ZPT yang paling sering digunakan pada teknik embryogenesis somatik. Sitokinin
dan auksin memiliki peran yang sangat penting dalam hal menginduksi tunas
adventif. Nisbah keduanya akan menentukan apakah suatu kalus akan membentuk
tunas adventif, akar, atau tunas adventif dan akar (Armini et al., 1991). Salah satu
golongan auksin yang sering digunakan adalah asam naftalena asetat (NAA)
sedangkan salah satu golongan sitokinin yang sering digunakan adalah 6-
benzylamino Purine (BAP).
2.5.1. Asam Naftalena Asetat (NAA)
NAA merupakan salah satu auksin yang berperan dalam pemanjangan sel.
NAA memiliki berat molekul 186.21 dengan rumus molekul C12H10O2 (Gambar
2.9; Salisbury dan Ross, 1995). NAA merupakan auksin sintetik yang sering
digunakan dalam kultur jaringan karena memiliki sifat yang lebih tahan terhadap
suhu tinggi dan tidak terdegradasi ketika diotoklaf serta lebih murah.
Gambar 2.9. Rumus bangun asam naftalena asetat
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
31
Mekanisme kerja NAA dalam pemanjangan sel adalah NAA menyebabkan
sel penerima mengeluarkan ion H ke dinding sel primer yang mengelilinginya.
Ion tersebut akan menurunkan pH dinding sel sehingga mengaktifkan beberapa
enzim hidrolisis polisakarida. Akibatnya dinding sel akan mengendur sehingga
proses pemanjangan sel menjadi lebih mudah terjadi dan pertumbuhan yang cepat
(Salisbury dan Ross, 1995).
Penelitian tentang penambahan NAA ke dalam medium tanam telah banyak
dilaporkan dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi seperti yang dilaporkan
pada tanaman anggrek (Utami et al., 2007), lamtoro (Sapsuha, 2009), alfalfa
(Hayati et al., 2010), gandarusa (Ikhwan, 2007), kemiri (Haloho, 2004), opium
(Ovecka et al., 1996), dan jagung (Joshi et al., 2010).
Pada tanaman kopi, penambahan NAA ke dalam medium tanam juga telah
dilaporkan dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi. Quiroz-Figueroa et al.
(2002) melaporkan bahwa penambahan NAA ke dalam medium tanam dengan
konsentrasi 0.54 μM mampu menginduksi pembentuk embryo somatik tanaman
kopi arabika dengan tingkat keberhasilan mencapai 70 %. Penambahan NAA
dengan konsentrasi 0,1 mg/L ke dalam medium tanam juga berhasil menginduksi
pembentukan embryo somatik kopi dari eksplan kotiledon dengan tingkat
keberhasilan mencapai 37% (Arimarsetyowati, 2012). Coyne (1990)
menggunakan biji matang sebagai sumber eksplan dan penambahan NAA dengan
konsentrasi 2,5 µM menghasilkan embrio somatik pada C. canephora (27 - 53%),
C. congensis (39%) dan C. Arabica (0-14%).
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
32
2.5.2. 6-benzylamino purine (BAP)
Salah satu sitokinin yang banyak digunakan dalam perbanyakan tanaman
melalui kultur jaringan adalah 6-benzylamino purine (BAP). BAP merupakan
generasi pertama sitokinin sintetik yang memiliki kandungan karbon, hidrogen
dan oksigen dengan rumus kimia C12H11N5 dengan berat molekul 225,31 gr/mol
(Gambar 2.10; Salisbury & Ross, 1995). BAP banyak digunakan untuk
merangsang pembelahan sel, multiplikasi tunas, dan menghambat penuaan. Selain
itu BAP juga mampu meningkatkan plastisitas dinding sel sehingga sel mudah
mengembang dengan adanya tekanan turgor (Salisbury dan Ross, 1995).
Gambar 2.10. Rumus bangun 6-benzylamino purine
Kemampuan BAP dalam meningkatkan pembelahan sel maupun
multiplikasi tunas diduga karena BAP merupakan salah satu basa purin. Basa
tersebut merupakan komponen struktural dari asam deoksiribonukleat (DNA)
maupun asam ribinukleat (RNA). Dengan adanya BAP maka sintesis RNA dan
DNA akan meningkat sehingga dapat merangsang sintesis protein dan
pembelahan sel (George & Sherrington, 1984).
BAP telah banyak digunakan untuk merangsang pembentukan embryo
somatik berbagai tanaman seperti pada tumbuhan lily (Priyono, 2001), alfalfa
(Hayati et al,. 2010), anturium (Marlina, 2009), dan kapas (Sudarmadji, 2003).
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
33
Pada tanaman kopi, Priyono dan Danimihardja (1991) melaporkan keberhasilan
induksi embryo somatik dengan tingkat keberhasilan tinggi (58,5-78,4 %) dengan
menambahkan BAP dengan konsentrasi 1-5 mg/l ke dalam medium tanam.
Priyono (2010) juga melaporkan keberhasilan induksi embryo somatik dengan
tingkat keberhasilan tinggi (85 %) dengan menggunakan medium tanam yang
ditambahkan BAP pada konsentrasi 30 mg/l. Gatica et al., (2008) juga
melaporkan keberhasilan induksi embryogenesis somatik dengan menggunakan
BAP yang ditambahkan ke dalam medium tanam.
Semua penelitian tersebut menggunakan ekplan daun yang diisolasi dari
tanaman kopi arabika. Pada penelitian ini dilaporkan uji pengaruh penambahan
NAA dan BAP ke dalam medium tanam terhadap keberhasilan induksi kalus dan
induksi embryo somatik tanaman kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex
Froehner).
Pengaruh Penambahan Zat…, Sumaryono, FKIP UMP, 2013
Top Related