BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
2.1.1 Pengertian ISPA
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut
yang menyerang salah satu bagian atau lebih di saluran napas mulai dari
hidung (saluran atas), hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan
adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan selaput pleura yang
kurang dari dua minggu (Depkes, 2009). ISPA merupakan suatu penyakit
yang ditandai dengan batuk, pilek, paling sedikit dua hari berturut-turut
diikuti salah satu atau lebih gejala-gejala seperti Erythematous mucusa,
tangisan atau suara parau, kesulitan bernafas, dengan atau tanpa demam
(Lopez-Alarcon 1997 dalam Kusumawati 2005). Pada penelitian ini ISPA
dilihat dari frekuensi kejadiannya pada balita dalam waktu satu bulan atau
paling tidak pernah mengalami 1-2 kali periode ISPA dalam kurun waktu
satu bulan. Dikatakan episode baru yaitu suatu keadaan terbebas
(dinyatakan sehat) dari gejala penyakit yang pernah diderita sekurang-
kurangnya dua hari (Lopez-Alarcon 1997 dalam kusumawati 2005) dan
tiga hari (Baqui et.al 1991, Alam et.al 2000, Thaha, 1995 dalam
Kusumawati 2005).
2.1.2 Etiologi ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut dapat disebabkan oleh infeksi jasad
renik bakteri, virus maupun riketsia, dan polutan udara (Alsagaff 1989
dalam Wijayanti 2007). Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah Genus
Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus, Hemofilus, Bordetella
dan Corynebacterium (Kusumawati, 2005). Virus penyebab ISPA paling
utama adalah Respiratory Synctial Virus (RSV). Agen lain melakukan
serangan pertama atau kedua melibatkan grup A β-Hemolytic Strepto-
coccus, Staphylococci, Haemophilus influenzae, Chlamydia trachomatis,
Mycoplasma, dan pneumococci (Hartono, 2012).
2.1.3 Faktor Risiko ISPA Berulang
1. Agen penginfeksi
Sistem pernafasan menjadi terpengaruh oleh bermacam-macam
organisme terinfeksi. Banyak infeksi disebabkan oleh virus, terutama
respiratory synctial virus (RSV). Agen lain melakukan serangan pertama
atau kedua melibatkan grup A β-Hemollytic Streptococcus, Staphylococci,
Haemophilus influenzae, Chlamydia trachomatis, mycoplasma, dan
pneumococci (Hartono, 2012).
2. Daya tahan
Kekurangan sistem kekebalan tubuh pada anak beresiko ter-
infeksi. Kondisi lain yang mengurangi daya tahan tubuh adalah malnutrisi,
anemia, dan kelelahan. Kondisi yang melemahkan pertahanan pada
sistem pernafasan dan cenderung yang menginfeksi melibatkan alergi
(seperti alergi rhinitis), asma, kelain-an jantung yang disebabkan
tersumbatnya paru-paru, dan cystic fibrosis (Hartono, 2012). Menurut
teori Depkes RI, imunisasi merupakan strategi spesifik untuk mengurangi
angka kesakitan ISPA pada balita. ISPA dapat dicegah dengan imunisasi
difteri, campak dan pertusis. Vaksin pertusis dalam imunisasi DPT akan
mencegah batuk rejan dan imunisasi campak dapat melindungi anak dari
infeksi (Habel 1990 dalam Wijayanti 2007).
3. Variasi Musim
Banyaknya patogen pada sistem pernafasan yang muncul dalam
wabah selama bulan musim semi dan dingin, tetapi infeksi mycoplasma
sering muncul pada musim gugur dan awal musim semi. Infeksi yang
berkaitan asma (seperti asma bronchitis) frekuensi banyak muncul
selama cuaca dingin. Musim dingin dan semi adalah tipe “Musim RSV”
(Hartono, 2012).
4. Pengetahuan orang tua
Pendidikan sangat berperan dalam menentukan sikap dan
mengambil suatu keputusan yang cepat dan tepat apabila terdapat salah
satu keluarga yang menderita sakit pernafasan (Depkes RI 1996 dalam
Wijayanti 2007).
5. Gizi
Mempunyai arti penting dalam penentuan tingginya angka
morbiditas dan mortalitas, misalnya vitamin A berperan dalam daya tahan
tubuh lokal pada saluran pernafasan (Depkes RI, 2005).
6. Tempat Tinggal
Kondisi tempat tinggal mempengaruhi terjadinya penularan
penyakit, bibit penyakit mudah ditularkan karena kondisi tempat tinggal
yang tidak sehat, misalnya : TBC, penyakit-penyakit kulit dan penyakit
saluran pernafasan (Azwar 1990 dalam Wijayanti 2007).
7. Sanitasi Perumahan
Keadaan ventilasi yang kurang, kepadatan hunian dan jenis lantai
yang tidak sesuai bisa menimbulkan penyakit ISPA (Depkes RI, 2006).
2.1.4 Gambaran Klinik ISPA
Menurut Alsagaff 1989 dalam Wijayanti 2007 gambaran klinik
secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : Rinitis, nyeri
tenggorokan, batuk-batuk dengan dahak kuning/kental, nyeri retrostrenal,
dan konjunktivitis. Suhu meningkat antara 4-7 hari lamanya. Malaise,
mialgia, nyeri kepala, anoreksia, nausea maupun muntah-muntah,
insomnia. Kadang-kadang juga terjadi diare. Di dalam klinik dikenal 6
gambaran sindroma ISPA :
1. Sindroma korisa (Coryzal/common cold syndrome).
Sekresi hidung yang meningkat, bersin-bersin, hidung buntu, kadang-
kadang terdapat sekresi air mata dan konjunktivitas ringan. Sekresi
hidung mula-mula cairan/mukoid dan selanjutnya purulen. Obstruksi
sinus paranasalis/tuba Eustachii karena sembab mukosa, sering
diawali dengan rasa nyeri dan serak pada tenggorokan.
2. Sindroma faring (Pharyngeal syndroma)
Terdapat keradangan faring dan pembesaran adenoid serta tonsil,
kadang-kadang begitu besar sehingga menimbulkan obstruksi saluran
hidung. Bercak-bercak serta eksudasi berwarna, didapatkan pada
tonsil dan disertai juga dengan pembesaran kelenjar limfe dileher.
Sering didaptkan batuk-batuk namun tanpa korisa.
3. Sindroma faringokonjunktiva (the pharyngoconjunctival syndrome)
Diawali dengan faringitis yang berat dan diikuti oelh konjunktivitis
yang umumnya bilateral. Dapat pula dimulai dengan konjunktivitis
yang berlangsung lebih lama 1-2 minggu daripada gejala faringitis itu
sendiri.
4. Sindroma influensa
Gejala-gejalanya antara lain meriang, panas badan, lemah badan,
nyeri kepala, nyeri tubuh yang menyeluruh, malaise, dan anoreksia.
gejala lain adalah adanya rasa nyeri tenggorokan, batuk dan nyeri
retrostrenal.
5. Sindroma herpangina
Gambaran klinik terjadi secara singkat dan dengan cepat pula terjadi
kesembuhan. Didapatkan vesikel-vesikel pada faring dan mulut yang
kemudian mengalami ulserasi dengan tepi yang sembab. Umumnya
terdapat pada anak-anak.
6. Sindroma laringotrakeobronkitis obstruktif akuta (croup syndrome)
Pada anak-anak merupakan gambaran klinik yang gawat dan berupa
batuk-batuk, sesak napas dan stridor inspirasi yang disertai sianosis
dan gangguan-gangguan sistemik lainnya.
2.1.5 Klasifikasi ISPA
Menurut Depkes RI (2002) derajat klasifikasi ISPA dibagi dalam dua
kelompok umur yaitu : bayi umur kurang dari dua bulan dan umur dua
bulan sampai 5 tahun.
1. Bayi umur kurang dari 2 bulan
Untuk bayi umur kurang dari 2 bulan, tanda dan gejala penyakit
ISPA digolongkan menjadi dua klasifikasi penyakit :
- Pneumonia berat :
Batuk atau juga disertai kesulitan bernafas
Nafas sesak/penarikan dinding dada sebelah bawah
kedalam (severe care indrowing)
Dahak berwarna kehijauan atau seperti karet.
- Bukan pneumonia (batuk pilek)
Tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke-
dalam
Tidak ada nafas cepat. Batas nafas cepat adalah 60
kali permenit atau lebih pada usia kurang dari 2 bulan,
50 kali permenit atau lebih pada usai 2 bulan sampai
kurang dari 1 tahun, 40 kali permenit atau lebih pada
usia 1 sampai 5 tahun.
Kadang disertai demam.
2. Anak umur 2 bulan sampai umur 5 tahun
Tanda dan gejala ISPA untuk anak yang berumur 2 bulan sampai
5 tahun digolongkan menjadi 3 klasifikasi penyakit yaitu :
a. Pneumonia berat :
batuk atau juga disertai kesulitan bernafas
nafas sesak/penarikan dinding dada sebelah bawah
kedalam (severe care indrowing)
dahak berwarna kehijauan seperti karet.
b. Pneumonia :
Adanya retraksi (penarikan dinding dada bagian
bawah kedalam saat bernafas, bersama dengan
peningkatan frekwensi nafas) perkusi pekak
fremitur melemah
suara nafas melemah dan ronki.
c. Bukan pneumonia (batuk-pilek) :
Tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah
kedalam
Tidak ada nafas cepat. Batas nafas cepat adalah 60
kali permenit atau lebih pada usia kurang dari 2 bulan,
50 kali permenit atau lebih pada usai 2 bulan sampai
kurang dari 1 tahun, 40 kali permenit atau lebih pada
usia 1 sampai 5 tahun
Kadang disertai demam.
2.1.6 Patofisiologi ISPA
Ketahanan saluran pernafasan terhadap infeksi maupun partikel
dan gas yang ada di udara tergantung pada 3 faktor yaitu :
1. Keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia.
2. Makrofag alveoli.
3. Antibodi.
Sudah menjadi kecenderungan bahwa infeksi bakteri mudah terjadi
pada saluran nafas yang sel-sel mukosanya telah rusak, akibat infeksi
yang terdahulu. Selain itu, hal-hal yang dapat mengganggu keutuhan
lapisan mukosa dan gerak silia adalah :
1. Asap rokok dan gas SO2, polutan utama dalam pencemaran udara.
2. Sindroma Imotil
3. Pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25% atau lebih).
Makrofag banyak terdapat di alveoli dan akan dimobilisasi ketempat
lain bila terjadi infeksi. Gas (SO2, H2S) dapat menurunkan kemampuan
makrofag dalam membunuh bakteri dan bisa menurunkan mobilitas sel-
sel ini. Antibodi setempat yang ada pada saluran pernafasan adalah Ig A
yang banyak di dapatkan di mukosa. Kekurangan antibodi ini akan
memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Alsagaff 1995 dalam
Wijayanti 2007).
2.1.7 Prevalensi ISPA
ISPA merupakan salah satu penyakit infeksi yang menduduki
peringkat pertama dari sepuluh besar penyakit terbanyak di Indonesia
(Andarini, 2011). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007, menunjukkan prevalensi nasional ISPA 25,5% (16 provinsi di
atas angka nasional), angka kesakitan (morbiditas) pada bayi 2,2%; balita
3%, angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8%, dan balita 15,5%. Hasil
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) penyebab utama kematian bayi
adalah ISPA.
Di Jawa Timur pada tahun 2006 dilaporkan sebanyak 98.050 kasus
ISPA. Berdasarkan data BPS pada tahun 2004 menunjukkan kematian
balita akibat ISPA sebesar 28%, artinya 28 dari 100 anak dapat
meninggal akibat penyakit ISPA (Dinkes Provinsi Jatim, 2010). Di
Puskesmas porong sebelum terjadinya banjir lumpur Lapindo tahun 2005
pada balita sebanyak 1.630 kasus sedangkan pada tahun 2007 atau
setelah kejadian banjir lumpur Lapindo penderita ISPA yang berusia balita
(0-5 tahun) terdapat 3.326 kasus.
2.1.8 Komplikasi ISPA
Menurut Alsagaff 1989 komplikasi yang sering terjadi antara lain :
1. Infeksi Bakterial
Otitis media, sinusitis, bronkitis, bronkopneumonia dan pleuritis. Juga
dapat diamati dari sputum yang semula berwarna kuning berubah
menjadi hijau
2. Pneumonia oleh karena virus
Sangat banyak terjadi. Banyak yang menyebut oelh karena perluasan
infeksi virus itu sendiri. Pendapat lain yang banyak dianut bahwa
sebenarnya pneumonia adalah oleh karena infeksi sekunder bakteri.
3. Induksi bronkokontriksi/peningkatan bronkokontriksi pada para
penderita P.P.O.M
Para penderita ini sering akan mengalami sesak napas dengan adanya
ISPA oleh karena virus. Pada ISPA oleh karena influensa, dapat terjadi
penyulit-penyulit infeksi bakterial dengan diplokokus pneumonia,
stafilokokus aureus, hemofilus influensa, dan neiseria kataralis.
Kelompok penderita yang selalu terancam dengan komplikasi-
komplikasi bakterial tersebut adalah :
- Penderita penyakit jantung kronis (stenosis mitral, pem-
bendungan paru menahun).
- Penderita penyakit paru menahun : P.P.O.M, TB paru,
silikosis, bronkiektasis, penderita-penderita pnemektomi.
- Penderita nerologis dengan gangguan faal paru.
- Penderita disbetes mellitus.
- Penderita ginjal dengan kegagalan faal ginjal menahun
- Penderita infeksi stafilokok (furunkulosis, panaratium) dan
para anggota keluarganya.
- Balita, orang-orang lanjut usia, dan para wanita hamil.
Harus diperhatikan bahwa seorang muda dengan infeksi virus
influensa yang tampak sehat-sehat saja dapat dengan mendadak
menjadi sakit berat karena menderita bronkopneumonia terutama bila
orang dalam lingkungan/dia sendiri, ada yang terjangkit infeksi
stafilokok. Penyakit pneumonia stafilokok ini berjalan dengan cepat,
suhu badan dalam beberapa jam saja dapat meningkat lebih dari 40°C,
penderita tampak sakit berat dengan batuk-batuk dahak yang berdarah
serta bernanah. Kasus kematian dalam 24 jam sangat terkenal pada
komplikasi ini. Karenanya pengenalan adanya infeksi stafilokok sangat
penting dalam tindak pencegahan komplikasi-komplikasi yang dapat
terjadi.
2.2 Konsep Bencana Lumpur Lapindo
2.2.1 Sejarah Lumpur Lapindo
Peristiwa meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo terjadi sejak 29
sejak Mei 2006. Terjadinya musibah banjir lumpur Lapindo ini dikarena-
kan pihak PT. Lapindo tidak memasang casing pada saat pengeboran
gas alam. Bencana banjir lumpur Lapindo merupakan fenomena yang
khas, baik dari sisi penyebab kejadian, lama kejadian, penanganan atau
penghentian luepan lumpur yang hingga kini belum teratasi. Peristiwa ini
telah mengakibatkan korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak terhadap psikologis dan kesehatan
pada warga disekitarnya.
2.2.2 Dampak Lumpur Lapindo Terhadap Kesehatan
Berdasarkan investigasi yang dilakukan Wahana Lingkungan
Hidup (WALHI) Jawa Timur pada tanggal 31 Mei 2006 menemukan
bahwa gas warna putih campur air yang terkadung dalam lumpur Lapindo
merupakan zat kimia yang mengandung gas Hidrogen Sulfida (H2S),
Amonis (NH2), Nitrit Nitrat, Timbal (Tb), dan fenol (C6H5OH) serta
mengandung merkuri yang kadarnya lebih dari 2,465 mg/lt yang
semuanya itu beracun dan sangat berbahaya bagi manusia.
Musibah lumpur lapindo mengakibatkan warga mengalami sesak
nafas setelah menghirup hembusan H2S yang terkandung di dalam
lumpur. Menurut Prof. Dr. Dr Mukono., M.PH, gas asam sulfida (H2S)
pada awalnya hanya mengakibatkan iritasi, jika itu berlanjut maka
tenggorokan akan terasa panas dan tercekat. Selanjutnya, gas tersebut
bisa mengakibatkan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), dosis tinggi
dan pada manusia yang peka bisa mengakibatkan kematian (Jawa Pos,
2006). Tingginya kadar H2S berbanding lurus dengan kejadian ISPA pada
balita di kecamatan Porong dan sekitarnya.
2.3 Konsep Kecemasan
2.3.1 Pengertian Kecemasan
Kecemasan merupakan respon emosional (misalnya ketakutan,
ketegangan, kegelisahan) untuk mengantisipasi bahaya, yang sebagian
besar sumbernya tidak diketahui atau tidak dikenal. Kegelisahan dapat
dianggap sebagai patologis ketika hal itu mengganggu efektivitas dalam
hidup, pencapaian tujuan yang diinginkan atau kepuasan, atau
kenyamanan emosional yang wajar (Shahrokh & hales, 2003 dalam
Townsend, 2009). Ansietas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan
tidak didukung oleh situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa tidak
nyaman atau takut atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka
padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut
terjadi. Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus
ansietas (Comer, 1992 dalam videbeck, 2008).
2.3.2 Tingkat Kecemasan
Kecemasan mempunyai berbagai tingkat, (Stuart & Sundeen 1998
dalam Townsend, 2009) menggolongkan sebagai berikut:
a. Kecemasan ringan
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari. Pada
tingkat ini lahan perspsi melebar dan individu akan behati-hati serta
waspada. Individu akan terdorong untuk belajar yang akan
menghasilkan pertumbuhan orang agar dapat mengatasi suatu
kejadian. Seseorang dengan kecemasan ringan dapat dijumpai
berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
1) Persepsi dan perhatian meningkat, waspada.
2) Mampu mengatasi situasi bermasalah.
3) Dapat mengatakan pengalaman masa lalu, saat ini dan masa
mendatang, menggunakan belajar, dapat memvalidasi secara
konsensual, merumuskan makna.
4) Intin tahu, megulang pertanyaan.
5) Kecenderungan untuk tidur.
b. Kecemasan sedang
Memungkinkan seseorang untuk memuaskan pada hal yang penting
dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami
perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih
terarah. Orang dengan kecemasan sedang biasanya menunjukkan
keadaan seperti:
1) Persepsi agak menyempit, secara selektif tidak perhatian tetapi
dapat mengarahkan perhatian.
2) Sedikit lebih sulit untuk konsentrasi, belajar menuntut upaya
lebih.
3) Memandang pengalaman ini dengan masa lalu.
4) Dapat gagal untuk mengenali sesuatu apa yang terjadi pada
situasi, akan mengalami beberapa kesulitan dalam beradaptasi
dan menganalisa.
5) Perubahan suara atau ketinggian suara.
6) Peningkatan frekuensi pernafasan dari jantung.
7) Tremor, gemetar.
c. Kecemasan berat
Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi. Individu
cenderung memikirkan pada hal-hal yang kecil saja dan
mengabaikan hal-hal yang lain. Individu tidak mampu berpikiran berat
lagi dan membutuhkan banyak pengarahan. Hal-hal dibawah ini
sering dijumpai pada seseorang dengan kecemasan berat, yaitu:
1) Persepsi sangat berkurang/berfokus pada hal-hal detail, tidak
dapat berkonsentrasi lebih bahkan ketika diinstrusikan untuk
melakukannya.
2) Belajar sangat terganggu, sangat mudah mengalihkan perhatian,
tidak mampu untuk memahami situasi saat ini.
3) Memandang pengalaman memahami situasi ini.
4) Berfungsi secara buruk, komunikasi sulit dipahami.
5) Hiperventilasi, takikardi, sakit kepala, pusing, mual.
d. Tingkat panik
Pada tingkat ini persepsi terganggu individu, sangat kacau, hilang
kontrol, tidak dapat berpikir secara sistematis dan tidak dapat
melakukan apa-apa walaupun telah diberi pengarahan. Tingkat ini
tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terus dalam
waktu lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian.
Seseorang dengan panik akan dapat dijumpai adanya:
1) Persepsi yang menyimpang, fokus pada hal yang tidak jelas
2) Belajar tidak dapat terjadi
3) Tidak mampu mengikuti, dapat berfokus hanya pada hal saat ini,
tidak mampu malihat atau memahami situasi, hilang kemampuan
mengingat.
4) Tidak mampu berpikir, biasanya aktivitas motorik meningkat atau
respon yang tidak dapat diperkirakan bahkan pada stimuli minor,
komunikasi yang tidak dapat dipahami
5) Muntah, perasaan mau pingsan.
2.3.3 Rentang Respon Kecemasan
Rentang respon kecemasan dapat dikonseptualkan dalam
reantang respon. Respon ini dapat digambarkan dalam rentang respon
adaptive sampai maladaptive. Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat
konstruksi dan destruktif. Konstruktif adalah motivasi seseorang untuk
belajar memahami terhadap perubahan-perubahan terutama tentang
perubahan terhdapa perasaan tidak nyaman dan berfokus pada
kelangaungan hidup. Sedangkan reaksi destruktif adalah reaksi yang
dapat menyangkut kecemasan berat atau panik (Stuart dan Sundeen,
1998 dalam Townsend, 2009). Rentang respon kecemasan dapat dilihat
pada gambar dibawah ini
Gambar 2.1 Rentang Respon Kecemasan Stuart
2.3.4 Respon Terhadap Kecemasan
Menurut Stuart dan Sundeen 1998 dalam Townsend 2009 respon
terhadap kecemasan meliputi:
a) Respon fisiologis
1) Sistem kardiovaskular
Palpitasi, meningkat tekanan darah, rasa mau pingsan, pusing-
pusing tekanan darah munurun, nadi menurun.
2) Sistem respiratory
Nadi cepat dan pendek, rasa tertekan pada dada, perasaan
tercekik, terengah-engah, pembengkakan pada tenggorokan
3) Sistem neuromuskuler
Reflek meningkat, insomnia, tremor, rigid, gelisah, muka tercekik,
ketakutan, reaksi kejutan, wajah tegang, gerakan lambat,
kelemahan secara umum.
4) Sistem gastrointestinal
Rasa tidak nyaman pada abdomen, nafsu makan menurun, mual,
diare, rasa penuh di perut, rasa terbakar pada epigastrum.
5) Sistem urinary
Tekanan pada sistem, frekuensi buang air kecil (BAK) menigkat.
6) Sistem integumen
Wajah merah, rasa panas, dingin pada kulit, kering setempat/
telapak tangan, wajah pucat dan berkeringat seluruh tubuh.
.
2.3.5 Cara Pengukuran Kecemasan
Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) adalah satu dari skala
penelitian utama yang dikembangkan untuk mengukur tingkat keseriusan
atau keparahan gejala anxiety. Sejak pertama kali dikenalkan Max
Hamilton pada tahun 1959, dan sudah digunakan secara meluas dan
diterima untuk evaluasi kecemasan pada uji coba klinik yang termasuk
dalam National institute of menthal health’s early clinical drug evaluation
program assesement manual yang dibentuk untuk menyediakan
sederetan penilaian standart yang digunakan dalam evaluasi obat
psikotropika.
Adapun gejala-gejala sebagai berikut:
a. Perasaan cemas
1) Firasat buruk
2) Takut akan pikiran sendiri
3) Mudah tersinggung
b. Ketegangan
1) Merasa tegang
2) Lesu
3) Mudah terkejut
4) Tidak dapat istirahat dengan nyenyak
5) Mudah menangis
6) Gemetar
7) Gelisah
c. Ketakutan
1) Takut akan gelap
2) Ditinggal sendiri
3) Pada orang asing
4) Pada biantang besar
5) Pada keramaian lalu lintas
6) Pada kerumunan banyak orang
d. Gangguan tidur
1) Sukar memulai tidur
2) Terbangun pada malam hari
3) Tidak pulas
4) Mimpi buruk
5) Mimpi yang menakutkan
6) Bangun tidur yang pulas
e. Gangguan kecerdasan
1) Daya ingat buruk
2) Sulit berkonsentrasi
3) Sering bingung
f. Perasaan depresi
1) Kehilangan minat
2) Sedih
3) Bangun dini hari
4) Berkurnagnya kesukaan pada hobi
5) Perasaan berubah-ubah pada hobi
g. Gejala somatik
1) Nyeri otot
2) Kaku
3) Kedutan otot
4) Gigi gemeretak
5) Suara tidak stabil
h. Gejala sensorik
1) Telingan berdengung
2) Pengelihatan kabur
3) Muke merah dan pucat
4) Merasa lemah
5) Perasaan ditusuk-tusuk
i. Gejala kardiovaskuler
1) Denyut nadi cepat
2) Berdebar-debar
3) Nyeri dada
4) Denyut nadi mengeras
5) Rasa lemas seperti mau pingsan
j. Gejala pernapasan
1) Rasa tertekan di dada
2) Perasaan tercekik
3) Merasa napas pendek/sesak
4) Sering menarik napas panjang
k. Gejala gastrointestinal
1) Sulit menelan
2) Mual/muntah
3) Berat badan menurun
4) Sulit buang air besar
5) Perut melilit
6) Gangguan pencernaan misalnya diare
7) Nyeri lambung seseudah dan sebelum makan
8) Rasa panas diperut
9) Perut terasa penuh
l. Gejala urogenital
1) Sering kencing
2) Tidak dapat menahan kencing
3) Menstruasi tidak teratur
4) Firginitas menjadi dingin
m. Gejala vegetatif
1) Mulut kering
2) Muka kering
3) Mudah berkeringat
4) Pusing/sakit kepala
5) Bulu roma berdiri
n. Tingkah laku saat wawancara
1) Gelisah
2) Tidak tenang
3) Mengerutkan dahi, muka tegang
4) Tonus/ketegangan otot menigkat
5) Nafas pendek dan cepat
6) Muka merah
Gejala kecemasan berdasarkan HARS diukur berdasarkan skala
yang bergerak 0 hingga 4. Skor 0 berarti tidak ada gejala atau keluhan,
skor 1 berarti ringan (1gejala dari pilihan yang ada), skor 2 berarti sedang
(separuh dari gejala yang ada), skor berat (lebih dari separuh yang ada)
dan skor 4 berarti sangat berat (semua gejala ada).
2.4 Hubungan Antara Frekuensi Kejadian ISPA Pada Balita Usia 0-5 Tahun
Dengan Tingkat Kecemasan Orang Tua
ISPA merupakan salah satu penyakit infeksi yang menduduki peringkat
pertama dari sepuluh besar penyakit terbanyak di Indonesia (Andarini, 2011).
Penyakit ISPA ditentukan berdasarkan gejala batuk, pilek (ingus), batuk pilek,
sesak nafas karena hidung tersumbat dengan atau tanpa demam. ISPA
dikatakan berulang jika bayi mengalami episode baru apabila terbebas dari
gejala penyakit ISPA yang pernah di derita sekurang-kurangnya 3 hari (Baqui
et.al 1991, Alam et.al 2000, Thaha, 1995:98 dalam Kusumawati, 2005).
Di Jawa Timur pada tahun 2006 dilaporkan sebanyak 98.050 kasus ISPA
(Dinkes Provinsi Jatim, 2010). Di Puskesmas porong sebelum terjadinya banjir
lumpur Lapindo tahun 2005 pada balita sebanyak 1.630 kasus sedangkan pada
tahun 2007 atau setelah kejadian banjir lumpur Lapindo penderita ISPA yang
berusia balita (0-5 tahun) terdapat 3.326 kasus. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Radhyallah tahun 2009 ditemukan bahwa kejadian ISPA berulang
sebanyak 20 kasus (40,0%) dan yang tidak berulang hanya 3 kasus (6,0%).
Banyak faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya ISPA berulang
pada anak-anak, diantaranya umur, gizi, jumlah keluarga, pendidikan orang tua,
sosial ekonomi, lingkungan dan fasilitas kesehatan (Depkes RI 1993, Zain MS
1994 dalam Wantania 2006). Seperti yang terjadi pada warga di kecamatan
Porong dan sekitarnya sejak kejadian bencana banjir lumpur Lapindo pada
tanggal 29 Mei 2006. Musibah lumpur lapindo mengakibatkan warga mengalami
sesak nafas setelah menghirup hembusan H2S yang terkandung di dalam
lumpur. Menurut Prof. Dr. Dr Mukono., M.PH, gas asam sulfida (H2S) pada
awalnya hanya mengakibatkan iritasi, jika itu berlanjut maka tenggorokan akan
terasa panas dan tercekat. Selanjutnya, gas tersebut bisa mengakibatkan Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA), dosis tinggi dan pada manusia yang peka bisa
mengakibatkan kematian (Jawa Pos, 2006).
Tingginya kadar H2S berbanding lurus dengan kejadian ISPA berulang pada
balita di kecamatan Porong dan sekitarnya. ISPA berulang dapat menyebabkan
anoreksia, malabsorbsi dan gangguan metabolisme. Anoreksia dan sesak nafas
dapat mengakibatkan problem makan pada anak-anak. Pada anak tidak
cukupnya konsumsi makanan akan menyebabkan turunnya berat badan,
pertumbuhan terhambat, menurunnya imunitas dan kerusakan mukosa.
Perubahan dalam sirkulasi paru menyebabkan perubahan sistem pernafasan
disertai penurunan kekebalan seluler setempat yang memudahkan pasien
terserang infeksi saluran pernafasan berulang tersedia (Depkes RI 1993, Zain
MS 1994 dalam Wantania 2006).
ISPA yang terjadi berulang-ulang, khususnya pada balita dapat
mengakibatkan gangguan fungsi pernafasan. Akibatnya pada masa dewasa
anak tersebut akan menderita batuk dan sesak nafas yang menahun (kronis).
Selain itu apabila ISPA berulang tidak segera ditangani maka akan terjadi
komplikasi yaitu terjadi infeksi pada saluran nafas bagian bawah, sehingga anak
mengalami bronkitis, radang paru-paru ataupun asmatik bronkitis (Dinkes RI
1996 dalam Andarini, 2011)
Angka kejadian ISPA berulang pada balita yang semakin meningkat
memicu terjadinya kecemasan pada orang tua terutama ibu. Kecemasan
merupakan perasaan yang paling umum dialami orang tua ketika ada masalah
kesehatan pada anaknya. Kecemasan adalah respon emosional (misalnya
ketakutan, ketegangan, kegelisahan) untuk mengantisipasi bahaya, yang
sebagian besar sumbernya tidak diketahui atau tidak dikenal (Shahrokh & hales,
2003 dalam Townsend, 2009).
Kondisi yang menegangkan bagi orang tua dapat dilihat dari respon fisik
dan psikologisnya. Respon fisik dan psikologis yang muncul merupakan tanda
dan gejala adanya kecemasan orang tua terhadap anaknya yang sedang
mengalami masalah kesehatan (Sukoco, 2002). Kecemasan yang bervariasi dari
ringan sampai panik, ekspresi cemas orang tua berupa berjalan mondar-mandir,
sering bertanya pada petugas kesehatan, bicara cepat, gelisah, ekspresi wajah
sedih, murung dan lain-lain.
Jika ditinjau dari teori-teori yang ada, dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara frekuensi kejadian ISPA dengan tingkat kecemasan orang tua.
Kecemasan yang dirasakan setiap orang tua tersebut berbeda-beda tingkatan-
nya. Maka dari itu untuk mengetahui tingkat kecemasan pada orang tua dengan
terhadap kejadian ISPA berulang pada balita peneliti bermaksud untuk
melakukan penelitian tentang hubungan antara frekuensi kejadian ISPA pada
balita usia 0-5 tahun dengan tingkat kecemasan orang tua terkait dampak dari
ISPA berulang. Studi akan dilakukan di puskesmas Porong Kabupaten Sidoarjo
karena menurut hasil studi pendahuluan di puskesmas tersebut kejadian ISPA
pada balita mengalami kenaikan yang signifikan sejak kejadian lumpur Lapindo.