II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus (DM)
1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang
berlangsung kronik progresif, ditandai dengan adanya hiperglikemia
yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, gangguan kerja insulin,
ataupun keduanya (Darmono, 2007).
2. Diagnosis DM
Gejala DM yang sangat khas atau gejala klasik yaitu poliuri,
polidipsi dan polifagi. Selain itu juga penderita akan mengalami
penurunan berat badan dan pruritus (Hadisaputro & Setyawan, 2007).
3. Klasifikasi DM
Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut American Diabetes
Association (American Diabetes Association , 2010):
a. DM tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Pada DM tipe 1 terjadi kerusakan sel β pankreas akibat
proses autoimun yang umumnya menimbulkan defisiensi insulin
absolut. Akan tetapi, terdapat pula beberapa DM tipe 1 yang
penyebabnya tidak diketahui atau disebut juga idiopatik. DM tipe 1
biasanya muncul pada masa kanak-kanak dan penyebabnya adalah
destruksi sel β-pankreas karena proses autoimun, yang
mengakibatkan defisiensi insulin yang absolut oleh karena itu
4
5
penderita DM tipe 1 harus diberi insulin eksogen. Frekuensi kejadian
DM tipe 1 lebih rendah dibandingkan dengan DM tipe 2.
b. DM tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
DM tipe 2 disebabkan adanya defek sekresi insulin, defek
kerja insulin ataupun keduanya. DM tipe 2 lebih banyak terjadi pada
usia dewasa, walaupun sekarang sudah cukup sering ditemukan pula
pada anak-anak dan remaja. DM tipe 2 ditandai dengan adanya
resistensi insulin dan/atau sekresi insulin yang abnormal. Penderita
DM tipe 2 tidak bergantung pada insulin eksogen, tapi hanya
digunakan untuk mengontrol kadar glukosa darah jika diet dan obat
hipoglikemik oral tidak lagi efektif (Thévenod, 2008).
c. Tipe Spesifik lain
DM tipe lain disebabkan adanya defek genetik fungsi sel β,
defek genetik aksi insulin, penyakit eksokrin pankreas,
endokrinopati, infeksi, penggunaan obat steroid, dan sebagainya.
d. DM Gestasional
DM yang timbul pada masa kehamilan.
4. Diabetes Melitus Tipe 2 Obesitas (DM tipe 2 obes)
DM tipe 2 terjadi pada individu yang memiliki gen yang rentan
dan dipengaruhi oleh pola hidup diabetogenik, yaitu asupan kalori yang
berlebihan, pengeluaran kalori yang tidak memadai sehingga terjadi
kondisi obesitas. Faktor risiko utama DM tipe 2 adalah sebagai berikut
(Khardori, 2011) :
6
a. Umur lebih dari 45 tahun (meskipun seperti disebutkan di atas,
frekuensi DM tipe 2 meningkat pada orang muda).
b. Berat badan lebih dari 120% dari berat badan ideal atau normal.
c. Riwayat keluarga dengan DM tipe 2.
d. Hipertensi (>140/90 mmHg) dan atau dislipidemia (HDL <40 mg/dl,
Trigliserida >150 mg/dl).
Obesitas merupakan faktor risiko primer pada penyakit metabolik,
yang terdiri dari penyakit jantung koroner, hipertensi dan juga DM tipe 2.
Obesitas sendiri didefinisikan sebagai suatu keadaan dari akumulasi
lemak tubuh yang berlebihan. Penyebabnya yaitu ketidakseimbangan
antara asupan energi dengan penggunaan energi sehingga terjadi
kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Pada
obesitas kemungkinan terkena DM 2,9 kali lebih sering bila
dibandingkan dengan yang tidak obesitas (Thévenod, 2008).
Patogenesis DM tipe 2 obes akan lebih mudah dipahami melalui
fisiologi jaringan adiposa. Jaringan adiposa atau disebut juga jaringan
lemak, merupakan tempat penyimpanan energi yang berlebih. Jaringan
adiposa terdiri dari sel-sel adiposit yang mengeluarkan berbagai protein
yang disebut adipositokin yang berfungsi mengatur keseimbangan energi,
homeostasis glukosa, inflamasi, metabolisme lipid dan fibrinolisis atau
hemostasis vaskuler. Protein adipositokin ini terdiri dari adiponektin,
leptin, plasminogen activator inhibitor type 1 (PAI-1), tumor necrosis
factor-alpha (TNF-α), interleukin 6 (IL-6), retinol-binding protein 4
(RBP4), nonesterified fatty acids (NEFAs) atau free fatty acids (FFAs),
7
dan sebagainya (Arner, 2003; Fasshauer & Paschke, 2003; Thévenod,
2008).
Adiponektin memiliki efek yang baik yaitu mempertahankan
homeostasis glukosa dan lipid, meningkatkan sensitivitas insulin dan
menurunkan inflamasi. Leptin berpengaruh pada keseimbangan energi.
PAI-1 berpengaruh pada fibrinolisis atau hemostasis vaskuler (Arner,
2003). TNF-α, IL-6 dan RBP4 dapat meningkatkan glukosa darah. TNF-
α menurunkan kerja insulin, IL-6 dan RBP4 memiliki efek resistensi
insulin oleh karena itu glukosa darah dapat meningkat. NEFAs
diproduksi cepat oleh sel adiposit ke sirkulasi jika kadar glukosa terbatas
dan tidak mencukupi kebutuhan organ-organ penting. Peningkatan kadar
NEFAs dapat menyebabkan resistensi insulin, terutama pada otot, hepar
dan jaringan adiposa (Thévenod, 2008).
Gambar 2.1. Obesitas mempengaruhi Resistensi Insulin
8
Insulin berperan dalam perubahan glukosa dalam darah menjadi
cadangan energi berupa glikogen (glikogenesis) yang disimpan dalam
hati dan otot serta berupa lemak dalam jaringan adiposa. Insulin juga
mengatur kesanggupan glukosa untuk masuk ke dalam sel-sel yang
membutuhkan dan membantu proses oksidasi glukosa menjadi energi.
Jika tubuh mengalami resistensi insulin atau defisiensi insulin, glukosa
tidak dapat masuk ke dalam sel-sel sehingga kadar glukosa dalam darah
akan menjadi sangat tinggi melebihi angka normal (Wijayakusuma,
2004).
Hiperglikemia pada DM dapat menyebabkan kerusakan
mikrovaskuler dan makrovaskuler. Keadaan hiperglikemia akan
menyebabkan proses glikasi non enzimatik pada semua protein, dan
glikasi pada protein yang terdapat di membran basal pembuluh darah dan
endotel dapat menerangkan terjadinya komplikasi pada DM, baik
mikrovaskuler maupun makrovaskuler. Hiperglikemi akan memacu
glikosilasi non enzimatik yang terjadi pada berbagai jaringan tubuh, salah
satunya ginjal. Adanya molekul-molekul glukosa yang melekat pada
protein di membran basal glomerulus ginjal akan menyebabkan
kerusakan pada ginjal itu sendiri (Subiyantoro, 2002).
5. Nefropati Diabetik
Nefropati Diabetik adalah penyakit ginjal yang merupakan salah
satu komplikasi dari penyakit DM yang dapat berakhir pada gagal ginjal.
Sekitar 35-45% penderita DM mengalami nefropati diabetik (American
Diabetes Association, 2004). Nefropati diabetik merupakan sindroma
9
klinis pada penderita DM yang ditandai dengan albuminuria menetap
(>300mg/jam atau >200µg/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan
dalam kurun waktu 3-6 bulan. Terdapat 5 tahapan nefropati diabetik oleh
Mogensen, dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Hendromartono, 2006).
Tabel 2.1. Tahapan Nefropati Diabetik oleh Mogensen (Hendromartono, 2006)
Tahap Kondisi Albumin Excretion Rate
LFG Tekanan Darah
1 Hipertrofi, hiperfiltrasi, hiperperfusi
Normal ↑ Normal
2 Kelainan struktur Normal ↑/Normal
↑/Normal
3 Mikroalbuminuria persisten
20-200µg/menit
↑ ↑
4 MakroalbuminuriaProteinuria
>200 µg/menit ↓ Hipertensi
5 UremiaGagal ginjal
Tinggi/rendah <10 ml/menit
Hipertensi
Faktor risiko Nefropati Diabetik diantaranya yaitu hipertensi,
kepekaan terhadap Nefropati Diabetik yang ditandai dengan adanya
antigen Human Leukosit Antigen (HLA) dan Glucose Transporter
(GLUT), hiperglikemia, konsumsi protein hewani (Sukandar, 1997).
Penyebab utama terjadinya Nefropati Diabetik pada penderita DM yaitu
hipertensi (Walaa, 2004).
Patogenesis terjadinya nefropati diabetik belum dapat dijelaskan
dengan pasti. Gangguan awal pada jaringan ginjal sebagai dasar
terjadinya nefropati diabetik adalah terjadinya hiperfiltrasi dan
hiperperfusi membran basal glomerulus. Gambaran histologi jaringan
10
keadaan tersebut memperlihatkan adanya penebalan membran basal
glomerulus dan ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya
menyebabkan glomerulosklerosis. Keadaan glukotoksisitas atau
meningkatnya glukosa darah yang menahun pada penderita DM disertai
dengan faktor lainnya, menimbulkan nefropati. Efek glukotoksisitas
terhadap membran basal dapat melalui 2 jalur yaitu (Bethesda, 2010):
a. Jalur Metabolik
Pada jalur metabolik diawali dengan terjadinya hiperglikemia,
glukosa dapat bereaksi dengan asam amino bebas secara proses non
enzimatik menghasilkan Advance Glycosilation End-Products
(AGE’s). Peningkatan AGE’s akan menimbulkan kerusakan
glomerulus ginjal. Selain itu terjadi akselerasi jalur poliol dan aktivasi
Protein Kinase-C (PKC). Pada jalur poliol terjadi peningkatan sorbitol
yang disebabkan oleh peningkatan reduksi glukosa oleh enzim aldose
reduktase. Peningkatan sorbitol akan menurunkan kadar inositol yang
dapat menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal (Bethesda,
2010).
Aktivasi dari Protein Kinase-C (PKC) menyebabkan beberapa
akibat patogenik melalui pengaruhnya terhadap Endothelial Nitric
Oxide Synthetase (eNOS) dan endotelin-1 (ET-1), Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF), Transforming Growth Factor-β
(TGF-β), Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1), NF-kβ dan
NAD(P)H oksidase. Penurunan eNOS dan peningkatan ET-1 akan
menyebabkan abnormalitas aliran darah. Peningkatan VEGF akan
11
menyebabkan angiogenesis dan gangguan permeabilitas vaskuler.
Peningkatan TGF-β yang akan menyebabkan peningkatan kolagen dan
fibronektin dapat menimbulkan oklusi kapiler. Peningkatan dari PAI-1
dapat menurunkan fibrinolisis yang akan menyebabkan oklusi
vaskuler (Bethesda, 2010).
b. Jalur Hemodinamik
Glukotoksisitas menyebabkan gangguan hemodinamik baik
sistemik maupun renal pada penderita DM, hal ini menimbulkan
kelainan pada sel endotel pembuluh darah. Faktor hemodinamik
diawali dengan peningkatan hormon vasoaktif yaitu Angiotensin II.
Angiotensin II berperan merangsang vasokonstriksi sistemik,
meningkatkan tahanan arteriol glomerulus, meningkatkan tekanan
kapiler glomerulus, meningkatkan permeabilitas kapiler glomuruls,
penurunan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks ekstra
seluler, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik
(DeFronzo, 1996).
Hipertensi dan nefropati diabetik merupakan dua hal yang
memiliki hubungan timbal balik, dimana hipertensi dapat menyebabkan
nefropati diabetik dan nefropati diabetik juga dapat menyebabkan
hipertensi sekunder. Hipertensi pada nefropati diabetik disebabkan
karena keterlibatan sistem renin angiotensin, dan dalam hal ini
angiotensin II. Mekanismenya sendiri dari angiotensin II menyebabkan
nefropati diabetik tidak terlalu jelas. Pada jalur hemodinamik,
angiotensin II berperan meningkatkan tekanan darah sistemik dan
12
glomerulus, sehingga menyebabkan proteinuria dan vasokonstriksi ginjal.
Selain itu juga angiotensin II merangsang proliferasi sel, hipertrofi,
ekspansi matriks dan sintesis sitokin terutama TGF-β (Bethesda, 2010).
B. Hipertensi
Regulasi tekanan darah diatur oleh berbagai faktor yaitu vaskuler,
renal, neurogenik dan mekanisme endokrin yang berinteraksi secara
kompleks. Tekanan darah itu sendiri adalah tekanan yang dihasilkan oleh
darah terhadap pembuluh darah. Peningkatan tekanan darah disebabkan
karena adanya peningkatan volume darah atau elastisitas pembuluh darah.
1. Definisi dan Klasifikasi
The seventh Report of the Joint National Commite on Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC-VII) 2003 telah
memperbaharui klasifikasi, definisi, serta stratifikasi risiko untuk
menentukan prognosis jangka panjang dari hipertensi. Hipertensi
menurut JNC VII adalah jika didapatkan tekanan darah sistol (TDS) ≥
140 mmHg atau tekanan darah diastol (TDD) ≥ 90 mmHg. Klasifikasi
hipertensi tersebut merupakan klasifikasi untuk orang dewasa berumur ≥
18 tahun, dan dilakukan berdasarkan rata-rata 2 kali pengukuran tekanan
darah pada posisi duduk (Tjokroprawiro, 2007).
13
Tabel 2.2. Klasifikasi dan Definisi Tekanan Darah menurut JNC-VII, 2003
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 dan < 80Prehipertensi 120-139 atau 80-89Hipertensi Derajat 1 Derajat 2
140-159≥ 160
atauatau
90-99≥ 100
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu (Schrier, 2000) :
a. Hipertensi esensial
Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95%
kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik,
lingkungan, hiperaktivitas sistem saraf simpatis, sistem renin
angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca
intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti
obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer
biasanya timbul pada umur 30-50 tahun (Schrier, 2000).
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5% kasus.
Penyebab spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit
ginjal, hipertensi vaskuler renal, hiperaldosteronisme primer, dan
sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang
berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain (Schrier, 2000).
14
2. Patogenesis
Tingkat tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang
ditentukan oleh interaksi berbagai faktor genetik, lingkungan dan
demografik yang mempengaruhi dua variabel hemodinamik yaitu curah
jantung dan resistensi perifer. Total curah jantung dipengaruhi oleh
volume darah, sementara volume darah sangat bergantung pada
homeostasis natrium. Resistensi perifer total terutama ditentukan di
tingkat arteriol dan bergantung pada efek pengaruh saraf dan hormon.
Tonus vaskular normal mencerminkan keseimbangan antara pengaruh
vasokonstriksi humoral (termasuk angiotensin II dan katekolamin) dan
vasodilator (termasuk kinin, prostaglandin, dan oksida nitrat) (Kumar et
al, 2007).
Resistensi pembuluh juga memperlihatkan autoregulasi;
peningkatan aliran darah memicu vasokonstriksi agar tidak terjadi
hiperperfusi jaringan. Faktor lokal lain seperti pH dan hipoksia, serta
interaksi saraf (sistem adrenergik α- dan β-), mungkin penting. Ginjal
berperan penting dalam pengendalian tekanan darah, melalui sistem
renin-angiotensin, ginjal mempengaruhi resistensi perifer dan
homeostasis natrium. Angiotensin II meningkatkan tekanan darah dengan
meningkatkan resistensi perifer (efek langsung pada sel otot polos
vaskular) dan volume darah (stimulasi sekresi aldosteron, peningkatan
reabsorbsi natrium dalam tubulus distal). Ginjal juga menghasilkan
berbagai zat vasodepresor atau antihipertensi yang mungkin melawan
efek vasopresor angiotensin. Bila volume darah berkurang, Laju Filtrasi
15
Glomerulus (LFG) turun, sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi
natrium oleh tubulus proksimal sehingga natrium ditahan dan volume
darah meningkat (Kumar et al, 2007).
3. Hipertensi pada DM tipe 2 Obes
Pada penderita DM tipe 2, hipertensi berhubungan dengan
resistensi insulin dan abnormalitas pada sistem renin-angiotensin. Hal ini
berkaitan pada kelainan fungsi endotel. Sel endotel mensintesis beberapa
substansi bioaktif kuat yang mengatur struktur dan fungsi pembuluh
darah. Substansi bioaktif ini diantaranya yaitu Nitrit Oksida (NO),
prostaglandin, endothelin, dan angiotensin II. Pada individu tanpa DM,
NO membantu melindungi pembuluh darah dan menghambat
aterogenesis. Pada penderita DM, bioavailabilitas pada endotelium yang
diperoleh dari NO, mengalami penurunan (Rodbard, 2007).
Patogenesis hipertensi pada obesitas masih belum jelas benar.
Beberapa ahli berpendapat peranan faktor genetik sangat menentukan
kejadian hipertensi pada obesitas, tapi yang lain berpendapat bahwa
faktor lingkungan mempunyai peranan lebih utama. Obesitas merupakan
faktor risiko independen untuk terjadinya hipertensi (Rahmouni et al,
2005).
Obesitas berhubungan dengan peningkatan aliran darah regional,
cardiac output, dan tekanan arteri. Peningkatan cardiac output
disebabkan karena tambahan aliran darah yang disebabkan adanya
jaringan lemak tambahan, aliran darah pada jaringan non-adiposa
termasuk jantung, ginjal, saluran cerna dan otot skelet juga meningkat
16
bersamaan peningkatan berat badan. Vasodilatasi pada jaringan ini
tampaknya menjadi bagian peningkatan metabolic rate dan akumulasi
setempat metabolit vasodilator seperti juga pada pertumbuhan organ dan
jaringan sebagai respon peningkatan kebutuhan metabolik (Abe-Aizawa
et al, 2000).
Saat ini dugaan yang mendasari timbulnya hipertensi pada
obesitas adalah peningkatan volume plasma dan peningkatan curah
jantung yang terjadi pada obesitas. Adanya disfungsi ginjal dengan
karakteristik peningkatan reabsorbsi natrium tubulus dan pengaturan
ulang natriuresis memegang peranan penting terhadap peningkatan
tekanan darah pada obesitas (Kopojos, 2003).
C. Laju Filtrasi Glomerulus
Darah yang masuk ke dalam ginjal melalui arteriol aferen dan menuju
ke glomerulus akan mengalami filtrasi. Tekanan darah pada arteri yang relatif
cukup tinggi dan tekanan arteriol eferen yang relatif lebih rendah akan
manimbulkan filtrasi pada glomerulus. Kemampuan ginjal, tepatnya pada
glomerulus, menyaring darah dinilai dengan penghitungan Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) atau juga dikenal sebagai Glomerular Filtration Rate
(GFR). LFG dihitung dari jumlah kadar kreatinin yang menunjukkan
kemampuan fungsi ginjal menyaring darah dalam satuan ml/menit/1,73m2
(Alam & Hadibroto, 2007).
17
Proses terjadinya filtrasi pada glomerulus dipengaruhi oleh beberapa
tekanan sebagai berikut (Alam & Hadibroto, 2007):
1. Tekanan kapiler pada glomerulus (50 mmHg)
2. Tekanan pada kapsula Bowman (10 mmHg)
3. Tekanan osmotik koloid plasma (25 mmHg)
Ketiga faktor diatas berperan penting dalam laju filtrasi. Semakin tinggi
tekanan kapiler pada glomerulus maka semakin meningkat filtrasi dan
sebaliknya, semakin tinggi tekanan pada kapsula Bowman serta tekanan
osmotik koloid plasma, akan menyebabkan semakin rendahnya filtrasi yang
terjadi pada glomerulus (Alam & Hadibroto, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi LFG diantaranya adalah (Alam &
Hadibroto, 2007):
1. Tekanan glomerulus
Semakin tinggi tekanan glomerulus, semakin tinggi LFG. Semakin tinggi
tekanan osmotik koloid plasma dan tekanan pada kapsula Bowman,
semakin menurun LFG.
2. Aliran darah ginjal
Semakin cepat aliran darah ke glomerulus maka semakin meningkat
LFG.
3. Perubahan arteriol aferen
Apabila terjadi vasokonstriksi arteriol aferen akan menyebabkan aliran
darah ke glomerulus menurun. Keadaan ini akan menyebabkan LFG
menurun, begitupun sebaliknya.
18
4. Perubahan arteriol eferen
Pada keadaan vasokonstriksi arteriol eferen akan terjadi
peningkatanLFG, begitupun sebaliknya.
5. Pengaruh perangsangan simpatis
Rangsangan simpatis ringan dan sedang akan menyebabkan
vasokonstriksi arteriol aferen sehingga menyebabkan penurunan LFG.
6. Perubahan tekanan arteri
Peningkatan tekanan arteri melalui autoregulasi akan menyebabkan
vasokonstriksi arteriol aferen sehingga menyebabkan penurunan LFG.
Menurut National Kidney Foundation – Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative (NKF-KDOQI, 2000), gangguan fungsi ginjal dapat
dikelompokkan menjadi empat stadium menurut keparahannya, yaitu:
1. Kondisi Normal
Ginjal tidak mengalami kerusakan, nilai LFG normal. Ginjal berfungsi
di atas 90%. Nilai LFG di atas 90 ml/menit/1,73m2.
2. Stadium 1
Kerusakan ginjal ringan dengan penurunan nilai LFG, belum terasa
gejala yang mengganggu. Ginjal berfungsi 60-89%, dan nilai LFG 60-
89 ml/menit/1,73m2.
3. Stadium 2
Kerusakan ginjal sedang dan masih bisa dipertahankan. Ginjal
berfungsi 30-59%. Nilai LFG 30-59 ml/menit/1,73m2.
19
4. Stadium 3
Kerusakan ginjal berat, tingkat membahayakan. Ginjal berfungsi 15-
29% dan nilai LFG 15-29 ml/menit/1,73m2.
5. Stadium 4
Kerusakan parah, harus dilakukan hemodialisa. Fungsi ginjal kurang
dari 15% dengan nilai LFG kurang dari 15 ml/menit/1,73m2.
Penghitungan LFG dapat menggunakan beberapa metode. Rumus
yang paling umum dan banyak digunakan adalah rumus Cockroft-Gault
yaitu :
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – usia) x Berat Badan
(72 x Kadar kreatinin Plasma)
Dan untuk jenis kelamin wanita, hasil dikalikan 0,85.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widiana (2007), didapatkan
bahwa rumus dari The Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) lebih
akurat digunakan untuk menentukan prevalensi penderita penyakit ginjal
kronik dibandingkan dengan rumus Cockroft-Gault. Rumus tersebut adalah :
LFG (ml/menit) = 175 x (sCr)-1,154 x (Usia)-0,203 x (0,742 jika wanita)
Keterangan : sCr (kadar kreatinin serum).
D. DM tipe 2 Obes dengan Hipertensi dan LFG
Peningkatan insidensi DM dan obesitas akan meningkatkan
insidensi komplikasi-komplikasinya. Dari berbagai penelitian didapatkan
sebanyak 30-40% penderita DM tipe 2 obes akan mengalami kerusakan
20
ginjal berupa nefropati diabetik, selain komplikasi pada organ ginjal, DM
tipe 2 obes juga merupakan penyebab peningkatan insidensi morbiditas
dan mortalitas penyakit kardiovaskuler. Dengan meningkatnya insidensi
DM tipe 2 obes maka secara signifikan akan meningkatkan pula insidensi
gagal ginjal dan penyakit kardiovaskuler (Permana, 2009).
Pada umumnya pada pasien DM ditemukan pula pasien tersebut
menderita hipertensi. Patogenesis hipertensi pada penderita DM tipe 2
obes sangat kompleks karena banyak sekali faktor yang berpengaruh pada
peningkatan tekanan darah. Pada DM, faktor-faktor yang mempengaruhi
hipertensi selain obesitas yaitu juga adanya resistensi insulin, kadar
glukosa darah plasma dan juga faktor-faktor lain pada sistem autoregulasi
pengaturan tekanan darah (Permana, 2009).
Secara fisiologis sistem renin angiotensin melibatkan hormon-
hormon seperti angiotensinogen, yang akan berubah menjadi Angiotensin I
dengan bantuan Renin. Angiotensin I dengan adanya Angiotensin-
Converting Enzyme (ACE) berubah menjadi Angiotensin II. Setelah itu
Angiotensin II akan aktif bila tertangkap oleh reseptornya yaitu AT1 dan
AT2, yang paling banyak ditemukan yaitu AT1. Angiotensin II pada
reseptor AT1 akan memicu proses yang sangat komplek pada organ-organ,
salah satunya adalah ginjal (Permana, 2009).
Pada DM, selain keadaan hiperglikemia dan obesitas sebagai faktor
risiko, juga dapat ditemukan faktor risiko kardiovaskuler lain, seperti
hipertensi, resistensi insulin, hiperinsulinemia, dislipidemia,
hiperkoagulasi, dan mikroalbuminuria. Dasar patofisiologi kelainan
21
tersebut adalah adanya gangguan pada metabolisme yang sering
dikemukakan akhir-akhir ini sebagai sindroma metabolik (National
Cholesterol Education Program, 2001; American Diabetes Association,
2003).
Hubungan sindroma metabolik dengan faktor risiko penyakit
kardiovaskuler adalah dengan terjadinya proses aterosklerosis yang
menggambarkan terjadinya disfungsi endotel. Faktor-faktor yang terkait
yaitu tekanan darah, obesitas abdominal, hiperinsulinemia, hiperkoagulasi
dan dislipidemia, diawali dengan keadaan resistensi insulin (National
Cholesterol Education Program, 2001; American Diabetes Association,
2003).
Gambar 2.2. Diabetes pada patogenesis aterosklerosis (Feener & Dzau, 2006)
Aterosklerosis merupakan salah satu penyebab utama dari
kesakitan dan kematian pada pasien dengan penyakit ginjal kronis
22
(Massay, 2005). Pada penderita DM dengan hipertensi yang tidak
terkontrol akan mengalami komplikasi pada ginjal atau disebut juga
nefropati diabetik. Pada keadaan nefropati diabetik dan penyakit ginjal
kronis, ginjal sudah mengalami gangguan baik dari fungsi maupun
strukturnya. Adanya gangguan fungsi ginjal akan mempengaruhi LFG
(Walaa, 2004).
23
E. Kerangka Teori Penelitian
Obesitas
Adipositokin :Adiponektin, leptin, TNF-α, IL-6, PAI-1, RBP4, NEFAs, dll
HipertensiAktivitas RAAS
AterosklerosisGlomerulosklerosisResistensi Insulin
Hiperinsulinemia + Toleransi Glukosa
Normal
Hiperinsulinemia + Hiperglikemi postpandrial
↓ Fungsi Sel β Pankreas
-Genetik-Lingkungan-Glukotoksisitas-Lipotoksisitas-Autoimun
↑ Produksi Glukosa Hepar
DM Tipe 2
Kerusakan Glomerulus
LFG
24
Gambar 2.3. Kerangka Teori
F. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 2.4. Kerangka Konsep
G. Hipotesis
Terdapat hubungan antara hipertensi dengan Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) pada pasien DM tipe 2 Obes di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto.
Hipertensi pada pasien DM tipe 2 Obes
LFG
Top Related