13
Universitas Indonesia
BAB IIPERMASALAHAN HUKUM DALAM LELANG TERHADAP JAMINANFIDUSIA KENDARAAN BERMOTOR PADA PERUSAHAAN LEASING
A. Leasing
1. Pengertian Leasing
Leasing adalah merupakan suatu ”kata atau peristilahan” baru dari bahasa
asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia, yang sampai sekarang padanannya
dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak atau belum ada yang dirasa
cocok untuk itu. Istilah leasing ini sangat menarik oleh karena ia bertahan dalam
nama tersebut tanpa diterjemahkan dalam bahasa setempat, baik di Amerika yang
merupakan asal-usul adanya lembaga leasing ini, maupun di negara-negara yang
telah mengenal lembaga leasing ini.14
Kata ”leasing” berasal dari bahasa Inggris ”lesse” yang dalam arti biasa atau
umum adalah menyewakan.15 Dalam bahasa Indonesia leasing sering diistilahkan
dengan nama ”sewa guna usaha”. Sampai saat ini belum ada undang-undang khusus
yang mengatur tentang leasing, namun demikian praktek bisnis leasing telah
berkembang dengan cepat, dan untuk mengantisipasi kebutuhan agar secara hukum
mempunyai pegangan yang pasti, maka pada tanggal 7 Pebruari 1974 telah
dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan
dan Menteri Perindustrian. Dalam Surat Keputusan Bersama itu juga disebutkan
apa yang dimaksud dengan leasing, yaitu:
”Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentukpenyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaanuntuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkaladisertai dengan hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli
14 AminWidjaya Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis Dalam Leasing, (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 1994) hlm. 7.
15 Komar Andasasmita, Serba-Serbi Tentang Leasing (Teori dan Praktek), Cet. 3, (Bandung:Ikatan Notariat Indonesia, 1984), hlm. 34.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
14
Universitas Indonesia
barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktuleasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.”Selanjutnya menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
1169/KMK/01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing), yang dimaksud
dengan leasing adalah :
”Suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara sewa guna usaha tanpa hak opsi (finance leasing) maupun sewa guna
usahan tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama
jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.”
Namun disamping itu, terdapat suatu Keputusan Presiden yang mengatur
mengenai lembaga pembiayaan, yaitu Keputusan Presiden No. 61 tahun 1988
tentang Lembaga Pembiayaan, yang dimaksud dengan leasing adalah :16
Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing Company) adalah badan usaha yangmelakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baiksecara ”Finance Lease” maupun Operating Lease”untuk digunakan olehPenyewa Guna Usaha selama Jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaransecara berkala.
Dalam Pasal 8 Keputusan Presiden tersebut dinyatakan, bahwa : ”Dengan
ditetapkannya Keputusan Presiden ini, segala peraturan mengenai Sewa Guna
Usaha yang telah ada, dinyatakan tidak berlaku.”
Hal ini berarti segala peraturan yang berhubungan dengan sewa guna usaha
yang terbentuk sebelum berlakunya Keputusan Presiden ini, dengan adanya
Keputusan Presiden ini dinyatakan tidak berlaku, dan sebagai dasar hukum
mengenai Lembaga Pembiayaan maupun mengenai Sewa Guna Usaha, maka
peraturan yang berlaku adalah yang terbentuk setelah Keputusan Presiden ini
berlaku, yaitu :
1. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 61 Tahun 1988 tentang
Lembaga Pembiayaan.
16 Presiden Republik Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang LembagaPembiayaan, KEPRES No. 61 Tahun 1988, Ps. 1 ayat (9).
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
15
Universitas Indonesia
2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
1251/KMK/013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan
Lembaga Pembiayaan.
3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
1169/KMK/01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha.
Dari definisi tersebut di atas dapat disebutkan unsur-unsur dari leasing adalah
sebagai berikut :17
1. Pembiayaan Perusahaan
Leasing memang dimaksudkan sebagai usaha yang memberikan
kemudahan pembiayaan kepada perusahaan tertentu yang
memerlukannya.
2. Penyediaan Barang Modal
Barang modal ini sangat bervariasi, dapat berupa mesin-mesin, alat-
alat berat, traktor, kapal, pesawat terbang, peralatan kantor seperti
komputer, mesin foto kopi, kendaraan bermotor dan sebagainya.
3. Keterbatasan Jangka waktu
Salah satu unsur penting dari lembaga leasing adalah jangka waktu
yang terbatas. Biasanya dalam kontrak leasing ditentukan untuk
beberapa tahun leasing tersebut dilakukan. Dalam Keputusan Menteri
Keuangan No. 1169/KMK/01/1991, tentang Kegiatan Sewa Guna
Usaha (leasing) ditentukan bahwa jangka waktu leasing diterapkan
dalam tiga kategori sebagai berikut :
”(1) Jangka Singkat, yaitu minimal dua tahun, (2) Jangka menengah,
yaitu minimal tiga tahun, dan (3) Jangka panjang, yaitu minimal tujuh
tahun.”
4. Pembayaran Kembali Secara Berkala
Besarnya dan lamanya angsuran sesuai dengan kesepakatan yang telah
dituangkan dalam perjanjian atau kontrak leasing.
17 Ibid., hlm. 12 - 13.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
16
Universitas Indonesia
5. Hak Opsi untuk Membeli
Di akhir masa leasing, diberikan hak kepada lessee(Perusahaan atau
Peorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari
Lessor) untuk membeli barang modal tersebut dengan harga yang telah
terlebih dahulu ditetapkan dalam kontrak leasing yang bersangkutan.
Namun demikian tidak semua jenis leasing memberikan hak opsi dan
hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian selanjutnya mengenai
jenis-jenis leasing.
6. Nilai Sisa (Residu)
Nilai sisa merupakan besarnya jumlah uang yang harus dibayar
kembali kepada lessor (Perusahaan Pembiayaan atau Perusahaan Sewa
Guna Usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan
dan melakukan kegiatan sewa-guna-usaha) oleh lessee di akhir masa
berlakunya leasing atau pada saat lessee mempunyai hak opsi. Nilai
sisa biasanya sudah terlebih dahulu ditentukan bersama dalam kontrak
leasing.
Leasing sebagai pranata hukum perjanjian merupakan perjanjian in-nominat
(perjanjian tidak bernama) dimana ketentuan mengenai perjanjian itu tidak diatur
dalam KUHPerdata. Meskipun demikian, leasing ini tetap tunduk pada ketentuan-
ketentuan umum mengenai perjanjian yang diatur dalam Buku III Bab I dan Bab II
KUHPerdata. Hal ini seperti yang ditentukan dalam Pasal 1319 KUHPerdata.
Ketentuan-ketentuan umum yang masih berlaku terhadap perjanjian leasing
itu khususnya adalah mengenai Pasal 1338 KUHPerdata yaitu mengenai asas
kebebasan berkontrak yang menentukan bahwa perjanjian itu dapat diadakan
mengenai hal apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang,
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
umum. Dengan kata lain perjanjian leasing itu dapat diadakan sepanjang klausa
yang ada dalam perjanjian leasing itu tidak bertentangan dengan tiga hal tersebut.
Dan sebagai akibatnya, klausa-kalusa yang ada dalam perjanjian leasing itu berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak yang terlibat dalam perjanjian leasing itu.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
17
Universitas Indonesia
Selain hal tersebut, ketentuan umum yang harus ditaati dalam perjanjian
leasing adalah Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian. Artinya
perjanjian leasing itu harus memenuhi syarat sahnya perjanjian seperti yang
dicantumkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang apabila salah satu syarat itu
tidak terpenuhi maka perjanjian leasing itu dapat dimintakan pembatalannya oleh
salah satu pihak atau dapat dibatalkan demi hukum.
Syarat sahnya perjanjian itu sendiri menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah :
a. Sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c. Dua syarat pertama ini dinamakan syarat subyektif dan jika syarat ini
tidak terpenuhi maka dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu
pihak yang merasa dirugikan.
d. Suatu hal tertentu
e. Sebab yang halal/Sah
Dua syarat ini disebut juga syarat objektif yang apabila syarat ini tidak
terpenuhi maka perjanjian leasing itu menjadi batal demi hukum.
Leasing ini berbeda dengan perjanjian sewa menyewa yang diatur dalam
Pasal 1548 KUHPerdata dan perjanjian jual beli yang diatur dalam Pasal 1457
KUHPerdata yang merupakan perjanjian nominat atau perjanjian bernama.
Sedangkan leasing sebagai perjanjian in-nominat pegaturannya tidak ada dalam
KUHPerdata dan dasarnya adalah kebiasaan dan yurisprudensi, yang mana
perjanjian leasing ini sama halnya dengan perjanjian sewa beli dan perjanjian. Oleh
karena itu perjanjian leasing tidak dapat dikategorikan dalam salah satu perjanjian
yang diatur dalam KUHPerdata perjanjian in-nominat.
2. Jenis-jenis Leasing
Kalau dilihat secara umum, jenis-jenis leasing dapat dibedakan menjadi dua
kelompok utama. Hal yang paling penting yang membedakan kedua jenis tersebut
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
18
Universitas Indonesia
adalah hak pemilikan secara hukum, cara pencatatan dalam akuntansi dan besarnya
rental.18 Dua jenis leasing tersebut adalah :
1. Finance Lease, adalah suatu bentuk cara pembayaran dimana :
a. Lessor mendapatkan hak milik atas benda bergerak yang kemudian
diserahkan untuk dipakai lessee, untuk suatu jangka waktu yang maksimal
sama dengan masa kegunaan ekonomis benda yang bersangkutan, dan
sebaliknya. Lessee berkewajiban membayar kepada lessor, seluruh biaya
lessor ditambah dengan ongkos-ongkos pembiayaan lessor dan
keuntungan bagi lessor;
b. Perjanjian untuk memakai benda itu dapat diakhiri oleh lessee, sehingga
lessee-lah yang memikul resiko ekonomis benda itu. Yang dimaksud
dengan resiko ekonomis adalah resiko atas pertambahan atau penurunan
nilai benda yang bersangkutan;
c. Lessee membukukan benda itu sebagai aktivanya dan lessee juga
mencatatkan hutangnya pada lessor;
d. Pada saat berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan, lessee dapat
mengembalikan benda itu kepada lessor atau dapat membelinya dengan
harga yang relatif rendah sebagaimana telah diperjanjikan terlebih dahulu,
atau lessee dapat memperpanjang jangka waktu leasing dengan syarat-
syarat yang disetujui bersama.
2. Operating Lease
Merupakan suatu bentuk pemberian jasa pembiayaan, dimana :
a. Lessor membeli suatu benda bergerak atau benda tidak bergerak,
kemudian menyerahkan kepada lessee untuk dipakainya selama jangka
waktu yang lebih pendek dari masa kegunaan ekonomis benda itu atau
maksimal sepanjang masa kegunaan benda yang bersangkutan dan sebagai
imbalan lessee wajib membayar kepada lessor suatu imbalan berkala;
18 Eddy P. Soekadi, Mekanisme Leasing, Cet. 2, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 15-16.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
19
Universitas Indonesia
b. Resiko ekonomis benda yang bersangkutan jatuh pada lessor karena lessee
dapat mengakhiri perjanjian leasing sewaktu-waktu, dan karena pada
umumnya jangka waktu berlakunya perjanjian leasing lebih pendek
dibanding dengan masa kegunaan benda yang bersangkutan;
c. Lessor-lah yang mencatatkan benda itu sebagai aktivanya;
d. Setelah berakhirnya perjanjian leasing atau setelah perjanjian leasing
diakhiri, lessee wajib mengembalikan benda itu kepada lessor, lessee tidak
mempunyai hak opsi untuk membeli benda itu.
Setelah melihat dua jenis leasing tersebut, dari finance lease dapat pula
dibedakan menjadi dua macam bentuk leasing, yaitu :
1. Direct Finance Lease
Direct lease atau sewa finansiil langsung (Direct Financing Lease) yang
dianggap sebagai sewaan dengan dibayar penuh dan tidak dapat dibatalkan
(full pay out, non-cancelable lease), yaitu suatu metode untuk memberi biaya
(financing) dimana pihak yang menyewakan (lessor) berusaha memperoleh
kembali seluruh modal yang ia keluarkan untuk pembelian barang yang ia
sewakan dari uang sewa yang harus dibayar penyewa menurut perjanjian
sewa-menyewa.19
2. Sale and Lease Back
Sesuai dengan namanya, dalam transaksi ini lessee menjual barang yang
sudah dimilikinya kepada lessor. Atas barang yang sama ini kemudian
dilakukan kontrak leasing antara lessor dan lessee.
Dilihat dari sisi lessee, perjanjian ini dibuat dengan tujuan yang berbeda
dibandingkan dengan direct finance lease. Disini lessee memerlukan cash
yang bisa dipergunakan untuk tambahan modal kerja atau untuk keperluan
lainnya. Dengan sistem sale and lease back ini memungkinkan lessor
memberikan dana untuk keperluan apa saja kepada clientnya. Yang
dibutuhkan hanyalah objek lease yang nilainya sesuai dengan dana yang
diberikan.
19 Andasasmita, Loc. Cit., hlm. 6.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
20
Universitas Indonesia
Disamping jenis-jenis leasing yang telah disebutkan di atas, ada bentuk-
bentuk lain dari leasing, yaitu :
1. Leverage Lease
Leverage lease ini adalah merupakan finance lease. Namun dalam
pelaksanaannya jauh lebih kompleks dan melibatkan pihak ketiga, yang disebut
credit provider.
Lessor tidak membiayai barang tersebut hingga sebesar 100% dari harga barang
melainkan hanya antara 20% hingga 40 %. Kemudian sisa dari harga barang
tersebut akan dibiayai oleh pihak ketiga. Biasanya jenis leasing ini dilakukan
terhadap barang yang mempunyai nilai yang tinggi.
2. Syndicate Lease
Sering juga terjadi dimana beberapa perusahaan leasing bersama-sama
membiayai penyediaan suatu barang leasing dan kemudian secara bersama-
sama pula me-lease-kan barang tersebut kepada lessee. Dalam hubungan ini
selalu dibuat perjanjian tersendiri antara para anggota syndicate leasing untuk
mengatur cara pelaksanaan agunan-agunan jika ada serta pembagian hasil
pelaksanaan agunan.20
3. Cross Border Lease
Merupakan suatu transaksi leasing yang dilakukan dengan melewati batas suatu
negara. Dengan demikian antara lessor dan lessee terletak pada dua negara yang
berlainan. Diperlukan suatu penanganan yang khusus untuk transaksi jenis ini
karena segi hukum dan perpajakan masing-masing negara belum tentu sama.
3. Dasar Hukum Perjanjian Leasing
Secara yuridis dapat dikemukakan, bahwa leasing adalah perjanjian, maka
titik tolak menganalisanya adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata di
Indonesia. Dalam konteks ini berarti ketentuan-ketentuan khusus mengenai leasing
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentunya tidak ada. Hal tersebut tidak
merupakan halangan, karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata menganut asas
20 Soekadi, Op. Cit., hlm. 38 - 39.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
21
Universitas Indonesia
kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang
menyatakan bahwa : ”Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Hal ini sangat baik karena Kitab
Undang-undang Hukum Perdata tidak mengekang dinamika perkembangan hukum.
Seperti diketahui, bahwa peraturan tentang leasing yang berlaku saat ini boleh
dikatakan sangat sederhana dan pelaksanaan sehari-hari didasarkan pada
kebijaksanaan yang tidak bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri yang ada.
Surat Keputusan Tiga Menteri (Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan
Perdagangan dan Koperasi) tahun 1974 mengenai leasing adalah peraturan pertama
yang khusus dikeluarkan di Indonesia. Surat keputusan itu dan lain-lain peraturan
yang dikeluarkan belakangan untuk mengatur perihal perjanjian-perjanjian dan
kegiatan-kegiatan leasing di Indonesia terutama bersifat administratif dan
obligatory atau bersifat memaksa.
Namun demikian dasar hukum yang melandasi berlakunya leasing di
Indonesia sebagai berikut :
1. Secara Umum (Generale) :
a. Asas Konkordasi hukum berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 atas Hukum Perdata yang berlaku bagi penduduk Eropa, yang
berbunyi : ”Segala badan negara dan peraturan yang masih berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar
Ini”.
b. Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenai
kebebasan berkontrak serta asas-asas persetujuan pada umumnya
sebagaimana tercantum dalam Bab I Buku ke-3 Kitab Undang-undang
Hukum Peradata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada semua
pihak untuk memilih isi pokok perjanjian mereka sepanjang hal ini
tidak bertentangan dengan Undang-undang, kepentingan umum
(public policy) dan kesusilaan.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
22
Universitas Indonesia
c. Pasal 1548 – 1580 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Buku ke-3
Bab VII) yang berisikan ketentuan-ketentuan tentang sewa-menyewa
sepanjang tidak diadakan pernyimpangan oleh para pihak. Pasal-pasal
ini membahas hak dan kewajiban lessor dan lesse.
2. Secara Khusus (specifik) :
a. Surat Keputusan Besama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri
Perindustrian dan Menteri Perdagangan dan Koperasi Republik
Indonesia :
Nomor : Kep-122/MK/IV/2/1974
Nomor : 32/M/SK/2/1974
Nomor : 30/Kpb/I/1974
Tanggal : 7 Pebruari 1974
Tentang : Perjanjian Usaha Leasing
Surat Keputusan Bersama (SKB) tersebut merupakan peraturan pokok
tentang pendirian leasing dan pelaksanaannya langsung diserahkan
kepada Menteri Keuangan.
b. Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan Republik Indonesia :
Nomor : Kep-649/MK/IV/5/1974
Tanggal : 6 Mei 1974
Tentang : Perjanjian Usaha Leasing
c. Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan Republik Indonesia :
Nomor : No. Kep.650/MK/IV/5/1974
Tanggal : 6 Mei 1974
Tentang : Penegasan ketentuan pajak penjualan dan
besarnya bea materai terhadap usaha leasing.
d. Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter :
Nomor : PENG-307/DJM/III.I/7/1974
Tanggal : 8 Juli 1974
Tentang : 1. Tata cara perijinan
2. Pembatasan usaha
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
23
Universitas Indonesia
3. Pembukuan
4. Tingkat Suku Bunga
5. Perpajakan
6. Pengawasan dan pembinaan
e. Surat Keputusan Menteri Perdagangan :
Nomor : 34/KP/II/1980
Tanggal : 1 Pebruari 1980
Tentang : Lisensi/perijinan untuk kegiatan usaha sewa
beli (Hire Purchase), jual-beli dengan
angsuran/cicilan (Sale and Purchase by
Installment), dan sewa-menyewa (Renting).
f. Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter Dalam Negeri :
Nomor : SE.4815/MD/1983
Tanggal : 31 Agustus 1983
Tentang : Ketentuan Perpanjangan Ijin Usaha
Perusahaan asing dan Perpanjangan Penggunaan
Tenaga Warga Negara Asing pada Perusahaan
Leasing.
g. Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter Dalam Negeri :
Nomor : SE4835/MD/1983
Tanggal : 1 September 1983
Tentang : Tata Cara dan Prosedur Pendirian Kantor
Cabang dan Kantor Perwakilan Perusahaan
Leasing.
h. Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan Republik Indonesia :
Nomor : S.742/MK/011/1984
Tanggal : 12 Juli 1984
Tentang : Usaha Financial Leasing
i. Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pajak :
Nomor : SE.28/PJ.22/1984
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
24
Universitas Indonesia
Tanggal : 26 Juli 1084
Tentang : Usaha Financial Leasing
Namun disamping itu, terdapat suatu Keputusan Presiden yang mengatur
mengenai lembaga pembiayaan, yaitu Keputusan Presiden No. 61 tahun 1988
tentang Lembaga Pembiayaan. Dalam Pasal 8 Keputusan Presiden tersebut
dinyatakan, bahwa: ”Dengan ditetapkannya Keputusan Presiden ini, segala
peraturan mengenai Sewa Guna Usaha yang telah ada, dinyatakan tidak berlaku”.
Hal ini berarti segala peraturan yang berhubungan dengan sewa guna usaha
yang terbentuk sebelum berlakunya Keputusan Presiden ini, dengan adanya
Keputusan Presiden ini dinyatakan tidak berlaku. Dan sebagai dasar hukum
mengenai Lembaga Pembiayaan maupun sewa Guna Usaha, maka peraturan yang
berlaku adalah yang terbentuk setelah Keputusan Presiden ini berlaku, yaitu :
1. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga
Pembiayaan.
2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1251/KMK.013/1988
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.
3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169/KMK.01/1991
tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha.
Dengan demikian maka untuk pembuatan perjanjian leasing yang mengatur
hak dan kewajiban serta hubungan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan,
selain dari pedoman dan peraturan di atas kita harus berpegang pada asas-asas dan
ketentuan hukum yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta
Yurisprudensi yang ada.21
4. Subjek dan Objek Perjanjian Leasing
4.1. Subjek Perjanjian Leasing
Subjek perjanjian leasing, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
649/MK/IV/5/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing dan Pengumuman
Direktur Jenderal Moneter No. PENG-307/DJM/III.I/7/1974, yang dapat
21 Amin Widjaya Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Op. Cit., hlm. 11- 13.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
25
Universitas Indonesia
melakukan usaha leasing adalah perusahaan yang telah memperoleh izin dari
Menteri Keuangan.
Selain itu dalam Pasal 2 Surat Keputusan Menteri Keuangan tersebut antara
lain ditentukan bahwa yang dapat bertindak sebagai lessor hanyalah Lembaga
Keuangan atau Badan Hukum tersendiri baik yang berbentuk Perusahaan
Nasional maupun Perusahaan Campuran dan yang terlebih dahulu telah
memperoleh izin usaha leasing dari Menteri Keuangan.
4.2. Objek Perjanjian Leasing
Menurut Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri dan Pengumuman Direktur
Jenderal Moneter No. PENG-307/DJM/III.I/7/1974 tentang Pedoman
Pelaksanaan Peraturan Leasing adalah barang-barang modal atau alat-alat
produksi. Secara umum yang dapat menjadi objek dari leasing adalah semua
barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak yang berharga
atau bernilai dalam lalu lintas ekonomi.
5. Berakhirnya Leasing
Pada prinsipnya ada tiga macam putusnya perjanjian leasing, yaitu karena :
(1) Konsensus, (2) Wanprestasi, (3) Force Majeure.
A. Putusnya Kontrak Leasing Karena Konsensus
Seperti juga perjanjian lainnya, tentu perjanjian leasing dapat diputuskan kapan
saja jika para pihak dalam perjanjian tersebut saling sepakat untuk itu. Ini
memang prinsip yang berlaku umum dalam hukum kontrak. Biasanya, hak salah
satu pihak untuk memutuskan kontrak dengan persetujuan pihak lain disebutkan
secara eksplisit dalam kontrak yang bersangkutan.
Dalam praktek, pemutusan kontrak leasing secara konsensus ini sangat jarang
terjadi. Hal ini dikarenakan karakteristik dari kontrak leasing dimana salah satu
pihak berprestasi tunggal, dalam hal ini pihak lessor. Artinya, pihak lessor
cukup sekali berprestasi, yaitu menyerahkan dana untuk pembelian barang
leasing. Sekali dana dicairkan, maka pada prinsipnya selesailah tugas
substansial dari lessor. Tinggal dari pihak supplier kemudian berkewajiban
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
26
Universitas Indonesia
menyerahkan barang kepada lessee, dan selanjutnya pihak lessee harus
mengembalikan uang cicilan kepada lessor.
Karena setelah mencairkan dana, selesailah sudah tugas substansial dari lessor,
maka tentunya sangat sulit bagi lessor untuk ikut setuju jika pihak lessee ingin
memutuskan kontrak di tengah jalan. Karena, kalau kontrak putus, lalu
bagaimana dengan nasib dana yang telah dicairkan itu.
Kadang-kadang terdapat juga kontrak dimana kedua belah pihak dapat bebas
memutuskannya di tengah jalan, dengan atau tanpa sebab sama sekali. Model
kontrak seperti ini jarang dipraktekkan dan tidak sesuai dengan karakteristik
kontrak leasing sebagai kontrak prestasi tunggal dari pihak lessor. Sebab, sekali
lessor sudah berprestasi, maka tidak mungkin kontrak diputus di tengah jalan.
Kecuali terhadap transaksi leasing dimana lessor belum sempat memberikan
prestasinya dalam bentuk apapun, ataupun dalam leasing dengan mana lessor
dengan mudah dapat menjual barang modal dan dengan harga yang mencukupi.
Sementara itu, apabila kontrak leasing diakhiri dengan konsensus para pihak
justru pada saat belum ada satu pihakpun yang melakukan prestasi, misalnya
pihak lessor pun belum mencairkan dananya, maka yang terjadi juga bukan
pemutusan kontrak. Tetapi lebih tepat dikatakan sebagai pembatalan kontrak.
Akibatnya, kontrak dianggap tidak pernah ada sama sekali. Hanya saja dengan
adanya Pasal 1266 KUHPer, yang akan diterangkan selanjutnya, maka terjadi
kekaburan antara kontrak yang dibatalkan dengan kontrak yang diputuskan.22
B. Putusnya kontrak Leasing Karena Wanprestasi
Wanprestasi atau breach of contract merupakan salah satu sebab sehingga
berjalannya kontrak menjadi terhenti. Dalam hal ini yang dimaksud dengan
wanperstasi adalah salah satu pihak atau lebih tidak melaksanakan prestasinya
sesuai dengan kontrak. Pasal 1239 KUHPer menentukan bahwa dalam hal suatu
22 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: PT. CitraAditya Bakti, 1995), hlm. 53 – 54.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
27
Universitas Indonesia
pihak melakukan wanprestasi, maka pihak lainnya dapat menuntut diberikan
ganti rugi berupa biaya, rugi dan bunga.
Alternatif lain selain dari tuntutan hanya ganti rugi oleh pihak yang dirugikan,
maka dapat juga dituntut pelaksanaan perjanjian itu sendiri dengan atau tanpa
ganti rugi.
Khusus terhadap kontrak leasing, maka berbagai kemungkinan wanprestasi
dapat terjadi dengan konsekuensi yuridis yang berbeda-beda pula.
Kemungkinan-kemungkinan wanprestasi tersebut antara lain dapat disebutkan
sebagai berikut :
1) Wanprestasi yang didiamkan
Hukum kita tidak mengenal yang namanya doktrin substantial performance.
Doktrin substantial performance mengajarkan bahwa yang dianggap tidak
melaksanakan wanprestasi oleh salah satu pihak sehingga pihak lainnya
dapat memutuskan kontrak adalah jika prestasi yang tidak dilaksanakan
tersebut cukup substantial dalam kontrak yang bersangkutan.
2) Wanprestasi pemutus kontrak leasing
Bisa saja karena alasan-alasan tertentu, salah satu pihak memutuskan
kontrak leasing yang bersangkutan. Alasan pemutusan kontrak adalah
karena pihak lain telah melakukan wanprestasi terhadap satu atau lebih
klausula dalam kontrak leasing. Tidak perduli apakah prestasi yang tidak
dipenuhi tersebut substansial ataupun tidak. Kecuali ditentukan lain dalam
kontrak yang bersangkutan.
Dalam kontrak leasing, banyak item, yang apabila dilanggar terutama oleh
lessee, maka kontrak dianggap putus. Yang paling penting diantaranya tentu
apabila lessee tidak membayar uang cicilan pada saat jatuh tempo.
3) Wanprestasi karena barangnya cacat
Secara yuridis, konsekuensi dari cacat/rusaknya barang leasing sangat
tergantung kepada situasi cacatnya/rusaknya barang tersebut. Untuk itu ada
beberapa kemungkinan yuridis, yaitu sebagai berikut :
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
28
Universitas Indonesia
a. cacat tersembunyi
b. cacat tidak tersembunyi
c. barang rusak karena kesalahan lessee
d. barang rusak bukan karena kesalahan lessee23
C. Putusnya Kontrak Leasing Karena Force Majeure
Sungguhpun hak milik belum beralih kepada lessee sebelum hak opsi beli
dilaksanakan oleh pembeli, tetapi karena lessor memang dari semula bertujuan
hanya sebagai penyandang dana, bukan sebagai pemilik, maka sudah
selayaknya jika beban resiko dari suatu leasing yang dalam keadaan force
majeure dibebankan kepada lessee. Dalam kontrak-kontrak leasing, memang
jelas kelihatan bahwa lessor tidak ingin mengambil resiko. Jadi, pengaturan
resiko pada transaksi leasing lebih condong ke resiko yang ada pada transaksi
jual beli ketimbang sewa menyewa.
Hanya saja dalam praktek, isyu resiko ini tidak begitu menjadi soal berhubung
biasanya barang leasing yang bersangkutan telah diasuransikan. Bahkan sering
juga dalam bentuk asuransi ”all risk”. Dimana hak untuk menerima ganti
kerugian dari asuransi ini telah dialihkan kepada lessor (dilakukan cessie
asuransi).
Namun demikian pengaturan tentang resiko ini tetap penting mengingat jika
terjadi sesuatu dan lain hal yang menyebabkan pihak asuransi tidak dapat atau
tidak mau membayar seluruhnya atau sebagian dari ganti kerugian jika terjadi
force majeure. Misalnya dengan alasan bahwa asuransi bukan untuk ”all risk”,
atau perusahaan asuransi jatuh pailit, ataupun karena ada ”dispute” dalam
melihat sebab terjadinya peristiwa force majuere tersebut. Karena itu, dalam hal
ini pihak lessee-lah yang akhirnya menjadi pihak yang menanggung resiko.
Dalam praktek, hal ini diikuti sepenuhnya.24
23 Ibid., hlm. 55 – 62.
24 Ibid., hlm. 63 – 65.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
29
Universitas Indonesia
B. Jaminan Fidusia
1. Pengertian Jaminan Fidusia
Pengertian Fidusia menurut Undang-undang Nomor 42 tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia adalah :
” Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya
dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”25
Adapun pengertian Jaminan Fidusia yaitu :
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yangberwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerakkhususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungansebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1996tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberiFidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yangmemberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemberi Fidusiaterhadap Kreditor lainnya.26
Dari pengertian yang diberikan tersebut jelas bahwa Fidusia dibedakan
dari Jaminan Fidusia, yaitu Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak
kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam
bentuk Fidusia.
Lembaga Fidusia ini pada hakikatnya telah lama dikenal, bahkan telah
hadir pada jaman penjajahan Belanda. Bedanya hanya dahulu sebelum adanya
undang-undang tentang Jaminan Fidusia tersebut, berlakunya dalam praktek
digantungkan dan didasarkan kepada yurisprudensi. Berlakunya Fidusia
diperbolehkan dengan hadirnya keputusan Hooggerchtshof tanggal 18
Agustus 1932 dalam perkara Batafsche Petroleum Maatschappij melawan
Pedro Clignett dimuat dalam Indische Tijdschirft Vn Het Recht jilid ke-136
bab 311. Kemudian setelah Indonesia merdeka maka diberlakukan Jaminan
25 Indonesia, Undang-undang Tentang Jaminan Fidusia, UU No. 42, LN. No. 168 tahun1999, TLN No. 3889, Pasal 1 angka 1.
26 Ibid., Pasal 1 angka 2.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
30
Universitas Indonesia
Fidusia ini dapat dijumpai dalam suatu putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 372 K/Sip/1970 dalam perkara Lo Dhing Siang melawan
Bank Negara Indonesia unit I Semarang.
Kini dengan kehadiran Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia, disini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan tentang
utang piutang dengan jaminan barang dalam arti pengalihan suatu benda itu
tetap dalam penguasaan dari si pemilik benda.
Sebelum Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 diberlakukan, pada
umumnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia hanyalah terhadap
benda-benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan inventory,
benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor, setelah
diberlakukannya undang-undang ini pengertian Jaminan Fidusia diperluas
dalam arti benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda
bergerak yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan menurut
Undang-undang Nomor 4 tahun 1996.
Demikian juga dengan adanya penambahan aturan pada Jaminan Fidusia
dalam Undang-undang Jaminan Fidusia tahun 1999, yang menyebabkan
adanya pendaftaran pada setiap perbutan pembuatan Jaminan Fidusia pada
kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia. Kemudian dengan didaftarkannya
Jaminan Fidusia tersebut, penerimaan Fidusia memiliki dan masuk dalam
kelompok yang didahulukan (preferent). Maka lembaga jaminan Fidusia ini
telah dilengkapi dengan kepastian hukum yang dapat dinikmati oleh para
pihak yang berkepentingan, dan juga pendaftaran jaminan memberikan
kepastian akan hak yang didahulukan kepada Kreditor yang mempergunakan
lembaga jaminan Fidusia tersebut.27
27 Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Jaminan Fidusia, (Semarang: Badan PenerbitUniversitas Diponegoro, 1999), hlm. 5 - 8.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
31
Universitas Indonesia
2. Asas Hukum Jaminan Fidusia
Istilah asas merupakan terjemahan dari bahasa Latin ”principium” yang
dalam bahasa Inggris disebut ”principle”. Padanan kata dalam bahasa Belanda
”beginsel” yang artinya dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir
atau berpendapat. Kata principle atau sering diindonesiakan sebagai prinsip
sebagai sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar tumpuan,
sebagai dasar tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk
mengembalikan sesuatu hal yang ingin dijelaskan.28
Dalam hal terbentuk dan diundangkannya Undang-undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, pembentuk undang-undang tidak
menyebutkan secara tegas dasar atau asas-asas hukum jaminan Fidusia yang
menjadi fondasi pembentukan norma hukumnya. Sesuai dengan teori tentang
dasar atau asas hukum serta dibantu dengan teori tentang norma yang telah
dibahas sebelumnya, maka dapat dicari tentang dasar atau asas hukum
jaminan Fidusia dalam Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia. Tan Kamelo menjabarkan asas hukum jaminan Fidusia
dalam tiga belas asas sebagai berikut :29
1) Asas preferensi, yaitu Kreditor penerima Fidusia berkedudukan sebagai
Kreditor yang diutamakan dari Kreditor-Kreditor lainnya.
2) Asas bahwa jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek
jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada.
3) Asas bahwa jaminan Fidusia adalah merupakan perjanjian ikutan yang
lazim disebut asas asesoritas yang mengandung arti bahwa keberadaan
jaminan Fidusia adalah ditentukan oleh perjanjian lain yaitu perjanjian
utama atau perjanjian prinsipal.
4) Asas bahwa jaminan Fidusia dapat diletakkan utang yang baru akan ada
(kontinjen).
28 A. A. Andi Prajitno, Hukum Fidusia (Problematika Yuridis Pemberlakuan Undang-undangNomor 42 Tahun 1999), (Malang: Banyumedia Publishing, 2009), hlm. 175.
29 Ibid., hlm. 177 - 181.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
32
Universitas Indonesia
5) Asas bahwa jaminan Fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang
akan ada.
6) Asas bahwa jaminan Fidusia dapat dibebankan terhadap
bangunan/rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain.
7) Asas bahwa jaminan Fidusia berisikan uraian secara detail terhadap
subjek dan objek jaminan Fidusia.
8) Asas bahwa pemberi jaminan Fidusia harus orang yang memiliki
kewenangan hukum atas objek jaminan Fidusia.
9) Asas bahwa jaminan Fidusia harus didaftar ke kantor pendaftaran
Fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 42
tahun 1999 tentang Fidusia.
10) Asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan Fidusia tidak dapat
dimiliki oleh Kreditor penerima jaminan Fidusia sekalipun hal itu
diperjanjikan.
11) Asas bahwa jaminan Fidusia memberikan hak prioritas kepada Kreditor
penerima Fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor Fidusia
dari pada Kreditor yang mendaftarkan kemudian. (Pasal 28 Undang-
undang Nomor 42 Tahun 1999).
12) Asas bahwa pemberi jaminan Fidusia yang tetap menguasai benda
jaminan harus mempunyai itikad baik (te goeder trouw, in good faith).
13) Asas bahwa jaminan Fidusia mudah dieksekusi sebagaimana yang dapat
ditemukan dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Fidusia.
3. Objek Jaminan Fidusia
Benda yang dapt menjadi objek Jaminan Fidusia adalah benda apapun
yang dimiliki dan dialihkan kepemilikannya, baik benda itu berwujud maupun
tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak
bergerak yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
Undang-undang Hak Tanggungan atau Hipotik sebagaimana dimaksud dalam
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
33
Universitas Indonesia
Pasal 314 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Dagang juncto Pasal 116
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.30
Apabila kita memperhatikan pengertian benda yang dapat menjadi objek
Jaminan Fidusia maka yang dimaksud dengan benda adalah termasuk juga
piutang (receivables). Khusus mengenai benda yang menjadi jaminan fidusia,
undang-undang mengatur bahwa Jaminan Fidusia meliputi hasil tersebut dan
juga klaim asuransi kecuali diperjanjikan lain.31
Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia harus jelas
dalam akta Jaminan Fidusia baik identifikasi benda tersebut maupun
penjelasan surat bukti kepemilikannya dan bagi benda inventory yang selalu
berubah-ubah dan atau tetap harus dijelaskan jenis bendanya, merek bendanya
dan kualitasnya.32
Selain itu Pasal 4 Undang-undang Fidusia juga menegaskan bahwa
Jaminan Fidusia merupakan perjanjian pokok dan sesuai dengan pengertian
Jaminan Fidusia bahwa Jaminan Fidusia diberikan sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu maka dalam Undang-undang juga diatur jenis utang
yang pelunasannya dapat dijamin dengan Jaminan Fidusia.
4. Tata Cara Pembebanan Fidusia
Sesuai dengan kedudukan dan fungsi Jaminan Fidusia serta peranannya
sebagai jaminan terhadap suatu utang, maka memberikan alur pikir yang kuat,
bahwa hukum Jaminan Fidusia telah menempatkan setiap Jaminan Fidusia
sebagai suatu perjanjian accessoir yaitu pelengkap dari perjanjian pokok.
Oleh karena Undang-undang Jaminan Fidusia tersebut merupakan
perjanjian ikutan (accessoir) dan memiliki hak yang didahulukan atau
30 Yasman, “Pemberian Jaminan Fidusia Kendaraan Bermotor Dalam Praktek PerjanjianKredit,” (Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, 2002), hlm. 49.
31 Ratnawati W. Prasodjo, “Pokok-pokok Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 TentangJaminan Fidusia,” (Makalah disampaikan pada acara Seminar Hukum Nasional Fakultas HukumUniversitas Trisakti, Jakarta, 1 Desember 1999), hlm. 6.
32 Ibid.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
34
Universitas Indonesia
preferent (hak utama) serta memiliki juga kesempatan parate eksekusi, maka
tentunya pembebanan benda/barang dengan Jaminan Fudisia wajib dan harus
dibuat dalam suatu Akta Notaris (Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Jaminan
Fidusia).33
Mengingat objek Jaminan Fidusia pada umumnya adalah barang
bergerak yang tidak terdaftar, maka sudah sewajarnya pembebanan benda
dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta otentik seperti yang telah diatur
dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sejalan dengan
ketentuan yang mengatur mengenai Hipotik dan Hak Tanggungan, maka Akta
Jaminan Fidusia harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.
Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
akta notaris adalah merupakan akta yang otentik yang memiliki kekuatan
pembuktian di dalamnya diantara para pihak beserta para ahli warisnya atau
para pengganti haknya.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Jaminan Fidusia,
pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan Akta Notaris
dalam bahasa Indonesia. Dalam akta Jaminan Fidusia tersebut selain
dicantumkan hari dan tanggal, juga dicantumkan mengenai waktu (jam)
pembuatan akta tersebut.
Dalam akta Jaminan Fidusia tersebut perlu dicantumkan uraian yang
jelas mengenai jenis, merk, kualitas dari benda atau barang tersebut
(penjelasan Pasal 6 Undang-undang Jaminan Fidusia).
Akta Jaminan Fidusia sekurang-kurangnya memuat :34
a. Identitas pihak pemberi dan penerima Fidusia;
b. Data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia;
c. Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia;
d. Nilai penjaminan; dan
e. Nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
33 Widyadharma, op. cit., hlm. 14.
34 Yasman, op. cit., hlm. 51 - 52.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
35
Universitas Indonesia
Utang yang pelunasannya dijamin dengan Jaminan Fidusia berupa :
(menurut Pasal 7 Undang-undang Jaminan Fidusia)35
a. Utang yang telah ada;
b. Utang yang akan timbul dikemudian hari dan telah diperjanjikan
dalam jumlah tertentu;
c. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya
berdasarkan perjanjian pokok.
Seperti apa yang disebutkan di atas bahwa pengertian utang yang
dimaksud juga mencakup setiap perikatan (verbintenis) senagaimana
dimaksud Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Pasal 8 Undang-undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa Jaminan
Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Pemberi Fidusia atau kepada
kuasa atau wakil dari Penerima Fidusia tersebut. Ketentuan pemberian Fidusia
kepada lebih dari satu Penerima Fidusia dimaksudkan dalam rangka
pembiayaan kredit konsorsium.
Ketentuan Pasal 9 Undang-undang Fidusia menetapkan bahwa Jaminan
Fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satu jenis benda, termasuk
piutang baik yang telah ada maupun yang diperoleh kemudian. Ini berarti
benda tersebut demi hukum akan dibebani dengan Jaminan Fidusia pada saat
benda tersebut menjadi milik Pemberi Fidusia. Pembebanan Jamina Fidusia
tersebut tidak perlu dilakukan dengan pengikatan dengan perjanjian jaminan
tersendiri. Hal ini karena atas benda tersebut sudah dilakukan pengalihan hak
kepemilikan ”sekarang untuk nantinya”.
Khusus mengenai hasil atau ikutan dari kebendaan yang menjadi objek
Jaminan Fidusia, Pasal 10 Undang-undang Fidusia menyatakan bahwa kecuali
diperjanjikan lain :36
35 Widyadharma, op. cit., hlm. 15 - 16.
36 Yasman, op. cit., hlm. 53.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
36
Universitas Indonesia
a. Jaminan Fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia, yaitu segala sesuatu yang diperoleh dari benda
yang dibebani Jaminan Fidusia.
b. Jaminan Fidusia meliputi juga klaim asuransi, dalam hal ini benda
yang menjadi objek diasuransikan. Apabila klaim asuransi tidak
termasuk meliputi Jaminan Fidusia tersebut, maka oleh Undang-
undang Jaminan Fidusia diwajibkan diperjanjikan secara tegas dan
konkrit di dalam Akta Notaris Perjanjian Jaminan Fidusia.
Untuk menjamin terselenggaranya suatu Jaminan Fidusia yang baik dan
benar serta pasti, maka oleh Undang-undang Jaminan Fidusia dilengkapi
dengan ketentuan pidana yang tercantum dalam Pasal 35 Undang-undang
Jaminan Fidusia sebagai berikut : Setiap orang yang dengan sengaja
memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun
memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hak tersebut diketahui
oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, dipidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).37
5. Pendaftaran Jaminan Fidusia
Pendaftaran Jaminan Fidusia, bukanlah hanya suatu anjuran atau
kemungkinan, akan tetapi pendaftaran Jaminan Fidusia adalah kewajiban. Hal
ini oleh perundang-undangan diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Jaminan
Fidusia tahun 1999, yang secara implisit bahwa benda/barang yang dibebani
dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan.
Sedangkan tempat pendaftaran atau lembaga pendaftaran Jaminan
Fidusia adalah Kantor Pendaftaran Fidusia yang berada dalam lingkup
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pasal 12 Undang-undang
Jaminan Fidusia). Dilengkapinya Jaminan Fidusia dengan kewajiban
37 Widyadharma, op.cit., hlm. 16.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
37
Universitas Indonesia
mendaftarkan Akta Perjanjian Jaminan Fidusia sebagai salah satu sarana
untuk membantu kegiatan usaha para pihak yang berkepentingan dalam
Jaminan Fidusia tersebut.
Sehingga nafas utama dari Jaminan Fidusia dengan kewajiban
mendaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia adalah suatu pemberi
preferent pada Penerima Fidusia terhadap Kreditor lain yang secara pasti,
mutlak dan lengkap.38
Pendaftaran Jaminan Fidusia pada kantor Pendaftaran Fidusia, adalah
kewajiban dari Penerima Fidusia termasuk kuasa atau wakilnya. Jaminan
Fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia dicatat dalam daftar Fidusia pada
tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonannya (Pasal 13 ayat
(3) Undang-undang Jaminan Fidusia).
Setelah perjanjian Jaminan Fidusia dicatatkan pada kantor Pendaftaran
Fidusia, maka Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan
kepada Penerima Fidusia sertipikat Jaminan Fidusia dengan tanggal yang
sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran (Pasal 14 ayat (1)
undang-undang Jaminan Fidusia).39
Adapun prosedur dan tata cara pembebanan dan pendaftaran Jaminan
Fidusia tersebut dapat disarikan sebagai berikut :
1. Jaminan Fidusia dibuat dalam Akta Notaris dalam bahasa Indonesia
(Akta Fidusia);
2. Akta Jaminan Fidusia tersebut sekurang-kurangnya memuat :
a. Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia;
b. Data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia;
c. Nilai penjaminan, dan
d. Nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
38 Ibid., hlm. 19 - 20.
39 Ibid., hlm. 21.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
38
Universitas Indonesia
3. Jaminan Fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia atas
permohonan penerima Fidusia atau kuasanya/wakilnya dengan
melampirkan pernyataan Pendaftaran Jaminan Fidusia;
4. Pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia memuat :
a. Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia;
b. Tanggal, nomor Akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat
kedudukan Notaris yang membuat Akta Jaminan Fidusia;
c. Data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia;
d. Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia;
e. Nilai Penjaminan;
f. Nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
5. Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam buku
Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan
permohonan pendaftaran (Pasal 13 ayat (2) Undang-undang Jaminan
Fidusia);
6. Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan sertifikat
Jaminan Fidusia kepada Penerima Fidusia pada tanggal yang sama
dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran;
7. Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya
Jaminan Fidusia dalam buku Daftar Fidusia.40
Sertifikat Jaminan Fidusia yang diterbitkan oleh Kantor Pendaftaraan
Fidusia merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia, diterbitkan dengan
mencatumkan kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
tentunya ini dimaksudkan bahwa setifikat Jaminan Fidusia memiliki kekuatan
eksekutorial, senafas dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 224 HIR,
bahwa kekuatan eksekutorial itu adalah sama dengan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Sehingga jika Debitor cidera
40 Yasman, op.cit., hlm. 60- 61.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
39
Universitas Indonesia
janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjalankan kesempatan
eksekusi (Pasal 14 juncto 15 Undang-undang Jaminan Fidusia).41
Pendaftaran Fidusia itu terbuka untuk umum, ini dimaksudkan agar
segala keterangan tentang – mengenai benda/barang yang menjadi objek
Jaminan Fidusia dapat diperoleh setiap orang yang membutuhkannya (Pasal
18 Undang-undang Jaminan Fidusia). Ini juga yang dimaksudkan untuk
memperkuat dan menjalankan fungsi preventif agar tidak dilakukan Fidusia
ulang terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang sudah
terdaftar, sehingga tertutuplah kemungkinan terjadinya Pemberian Fidusia dua
kali atau lebih atas suatu benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. (Pasal
17 juncto 18 Undang-undang Jaminan Fidusia).
Akan tetapi ternyata dalam Pasal 28 Undang-undang Jamina Fidusia
ditemukan suatu ketentuan bahwa benda yang sama menjadi objek Jaminan
Fidusia lebih dari satu perjanjian Jaminan Fidusia, maka yang memiliki hak
yang didahulukan adalah pihak yang lebih dahulu mendaftarkan pada Kantor
Pendaftaran Fidusia.
Disini tampak dua alur pemikiran dan penafsiran mengenai objek
Jaminan Fidusia, jika bersandarkan pada Pasal 17 Undang-undang Jaminan
Fidusia tentu tidak dimungkinkan satu benda dijaminkan Fidusia lebih dari
satu kali, akan tetapi jika berdasarkan Pasal 28 Undang-undang Jaminan
Fidusia menjaminkan sebuah benda lebih dari satu kali perjanjian
dimungkinkan.
Tetapi karena Undang-undang Jaminan Fidusia sendiri telah menetapkan
bahwa yang memiliki preferensi (hak utama) adalah pihak yang lebih dahulu
mendaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, maka tidaklah ada
permasalahan yang fundamental terhadap terjadinya dua pasal yaitu Pasal 17
dan 28 Undang-undang Jaminan Fidusia yang kontradiktif tersebut.42
41 Widyadharma, op. cit., hlm. 23.
42 Ibid., hlm. 23 - 26.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
40
Universitas Indonesia
6. Eksekusi Fidusia
Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
jadi berdasarkan titel eksekutorial ini Penerima Fidusia dapat langsung
melaksanakan eksekusi melalui pelelangan umum atas objek Jaminan Fidusia
tanpa melalui pengadilan. Undang-undang Fidusia juga memberikan
kemudahan dalam melaksanakan eksekusi melalui lembaga parate eksekusi.43
Tata cara melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia harus betul-betul mematuhi ketentuan sebagaimana telah
diatur dalam Undang-undang Jaminan Fidusia berbunyi sebagai berikut :
Pasal 29 ayat (1) :
Apabila Debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan
cara :
a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia;
b. Penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan;
c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan
kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara
demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan
para pihak
Pasal 31 :
”Dalam hal Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia terdiri atas
benda perdagangan atau efek yang dapat dijual dipasar atau di bursa,
43 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, ed. 1, cet. I, (Jakarta: RajaGrafindoPersada, 2000), hlm. 150
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
41
Universitas Indonesia
penjualannya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Jadi prinsipnya adalah bahwa penjualan benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia harus melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini
diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi. Namun demikian dalam
hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan
menghasilkan harga tertinggi yang menguntungkan baik Pemberi Fidusia
ataupun Penerima Fidusia, maka dimungkinkan penjualan di bawah tangan
asalkan hal tersebut disepakati oleh Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia
dan syarat jangka waktu pelaksanaan penjualan tersebut dipenuhi.
Namun khusus untuk ponit c, pelaksanaan penjualan tersebut dilakukan
setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh
Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang
beredar di daerah yang bersangkutan.44
Jika dilakukan menyimpang atau bertentangan dengan maksud dan
tujuan dari ketentuan tentang eksekusi Jaminan Fidusia ini maka eksekusi
terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dengan cara yang
bertentangan sebagaimana yang dimaksud di atas batal demi hukum (Pasal 32
Undang-undang Jaminan Fidusia).
Objek Jaminan Fidusia menurut Undang-undang Jaminan Fidusia
tersebut berada pada penguasaan Pemberi Fidusia sebagai ciri khas dari
Jaminan Fidusia. Maka Pemberi Fidusia wajib menyerahkan benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut untuk dieksekusi, tetapi apabila
Pemberi Fidusia menolak untuk menyerahkannya maka Penerima Fidusia
berhak mengambil objek Jaminan Fidusia dari tangan penguasaan Pemberi
Fidusia dan bila perlu dengan bantuan pihak yang berwenang. (Pasal 30 dan
penjelasan Undang-undang Jaminan Fidusia).
44 Ibid., hlm. 153.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
42
Universitas Indonesia
Setiap janji yang memberikan kewenangan kepada Penerima Fidusia
untuk memiliki benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila Debitor
cidera janji maka batal demi hukum (Pasal 33 Undang-undang Jaminan
Fidusia), dimaksudkan agar Penerima Fidusia tidak dapat merugikan pihak
Pemberi Fidusia dalam arti menekan harga barang objek Fidusia serendah-
rendah mungkin.
Ketentuan tentang melarang Penerima Fidusia untuk memiliki benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila Debitor cidera janji adalah
merupakan pengulangan kembali ketentuan yang serupa dalam gadai yang
diatur dalam Pasal 1154 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Apabila telah dilaksanakan eksekusi atas objek Fidusia dan kemudian
hasilnya melebihi nilai penjaminan, maka Penerima Fidusia wajib
mengembalikan kelebihan sisanya kepada Pemberi Fidusia. Sebaliknya jika
hasil eksekusi tidak mencukupi untuk melunasi hutang, maka Debitor tetap
bertanggung jawab atas hutang yang belum terbayar, sedangkan terhadap
pemilik objek fidusia yang kedudukannya hanya sebagai penjamin, jika
benda/barang dari penjamin yaitu objek jaminan telah habis tereksekusi, maka
terhadap penjamin tidak dapat diwajibkan untuk bertanggung jawab apabila
hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan hutang (Pasal 33 Undang-
undang Jaminan Fidusia).45
7. Hapusnya Jaminan Fidusia
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Fidusia, Jaminan Fidusia ini
merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian pokok yang menerbitkan
kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Sebagai suatu
perjanjian accesoir, maka demi hukum Jaminan Fidusia hapus bila hutang
45 Widyadharma, op. cit., hlm. 34 – 36.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
43
Universitas Indonesia
yang bersumber pada perjanjian pokok tersebut dan yang dijamin dengan
fidusia hapus.46
Hapusnya Jaminan Fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai
dengan Pasal 26 Undang-undang Jaminan Fidusia yang memuat ketentuan
sebagai berikut :47
Pasal 25 :
1) Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut :
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Fidusia;
b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia;
c. Musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
2) Musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak
menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam angka 10
huruf b.
3) Penerima Fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia
mengenai hapusnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dengan melampirkan pernyataan mengenai hapusnya hutang,
pelepasan hak atau musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia tersebut.
Pasal 26 :
1) Dengan hapusnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25, Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan
Fidusia dari Buku Daftar Fidusia.
2) Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan yang
menyatakan Sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak
berlaku lagi.
46 Fred B. G. Tumbuan, “Mencermati Pokok-pokok Undang-undang Fidusia,” (Makalahdisampaikan pada acara seminar sosialisasi Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang JaminanFidusia, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum danPerundang-undangan Republik Indonesia, Jakarta, 9 November 1999), hlm. 70.
47 Widyadharma, op. cit., hlm. 43.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
44
Universitas Indonesia
Sehubungan dengan hal hapusnya Jaminan Fidusia, timbul pertanyaan
apakah dengan hapusnya Jaminan Fidusia dalam hal hapusnya utang yang
dijamin perlu dilakukan penagihan kembali (retrooverdracht) atas hak
kepemilikan oleh Penerima Fidusia. Dengan memperhatikan bahwa
pengalihan hak kepemilikan atas objek Jaminan Fidusia dilakukan oleh
Pemberi Fidusia kepada Penerima Fidusia sebagai jaminan kepercayaan
bahwa hak kepemilikan tersebut dengan sendirinya akan kembali bilamana
utang lunas (adanya syarat batal atau order ontbindende voorwaarde).48
C. Lelang
1. Pengertian dan Dasar Hukum Lelang
Lelang menurut sejarahnya berasal dari bahasa Latin ”auctio” yang
berarti peningkatan harga secara bertahap, sebenarnya telah lama dikenal.
Para ahli melalui penelitian literatur Yunani mengemukakan bahwa lelang
telah dikenal sejak 450 tahun Sebelum Masehi. Beberapa jenis lelang yang
populer pada masa itu antara lain adalah lelang karya seni, lelang tembakau,
lelang kuda, lelang budak dan sebagainya.49
Di Indonesia, lelang masuk secara resmi dalam Perundang-undangan
sejak tahun 1908, yaitu dengan berlakunya Vendu Reglement atau Peraturan
Lelang yang dimuat dalam Staatblad tahun 1908 Nomor 189 dan Vendu
Instructie atau Instruksi Lelang yang dimuat dalam Staatblad tahun 1908
Nomor 190. Peraturan-peraturan lelang ini masih berlaku sampai saat ini dan
menjadi dasar hukum penyelenggaraan lelang di Indonesia.
Dalam Pasal 1 Vendu Reglement tahun 1908 Nomor 189 tersebut ditulis
bahwa Penjualan Umum atau Lelang adalah setiap penjualan barang di muka
umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui
48 Tumbuan, op. cit., hlm. 71.
49 Sutardjo, “Lelang dan Permasalahannya Dikaitkan dengan Perpu Nomor 1 Tahun 1998,”(makalah disampaikan pada Seminar Penanganan Permasalahan Perkara Kepailitian di PengadilanNiaga, Jakarta, 25 Agustus 1998).
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
45
Universitas Indonesia
usaha mengumpulkan para peminat atau peserta lelang. Penjualan umum atau
Lelang tersebut harus dilakukan oleh atau dihadapan seorang Pejabat Lelang.
Dari pengertian tersebut tampak bahwa lelang harus memenuhi unsur-
unsur sebagai berikut :
a. Lelang adalah suatu cara penjualan yang dilakukan pada suatu saat dan
tempat yang telah ditentukan.
b. Dilakukan dengan cara mengumumkannya terlebih dahulu untuk
mengumpulkan peminat/peserta lelang.
c. Dilakukan dengan cara penawaran atau pembentukan harga yang khusus,
yaitu dengan cara penawaran harga secara lisan atau secara tertulis yang
bersifat kompetitif.
d. Peserta yang mengajukan penawaran tertinggi akan dinyatakan sebagai
pemenang/pembeli.
Pengertian lelang sebagaimana dimaksud dalam Vendu Reglement
tersebut kiranya senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Mr.
Wennek dari Balai Lelang Rippon Boswell and Company Swiss, yang
menyatakan :
“An auction is a system of selling to the public, a number of individual
items, one at a time, commencing at a set time on a set day. The
auctioneer conducting the auction invites offers of prices for the item
from the attenders”.50
Berdasarkan pengertian-pengertian lelang tersebut, nampak bahwa
sebenarnya lelang merupakan suatu sarana untuk mempertemukan penjual dan
pembeli dengan tujuan untuk menentukan harga yang wajar bagi suatu
barang. M.T.G Meulenberg, seorang ahli lelang Negara Belanda dari
Departement of Marketing and Agricultural Market Research University of
Wageningen menggaris bawahi hal ini dengan mengemukakan bahwa :
50 FX. Sutardjo, “Mekanisme dan Berbagai Aspek Penjualan Tanah Secara Lelang,” (makalahdisampaikan pada Kursus Kuasa Hukum bagi Pejabat BPN, Jakarta, 27 Februari 1995), hlm. 3.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
46
Universitas Indonesia
“Auction is an intermediary between buyers and sellers. The main
objective is price discovery”51
Dasar hukum lelang terbagi atas dua peraturan, yaitu :
a. Lex Specialis :
a.1. Undang-undang lelang tahun 1908 yang lebih dikenal dengan
Vendu Reglement yang dimuat dalam Staatblad tahun 1908 Nomor
189 sebagaimana kemudian telah mengalami pengubahan dan
penambahan. Meskipun statusnya hanya berupa Reglement tetapi
karena merupakan satu-satunya peraturan lelang dan pelaksanaannya
diatur dengan Peraturan Pelaksanaan (PP), maka Vendu Reglement
dapat disamakan denggan Undang-undang.
a.2. Peraturan Pelaksanaan Undang-undang tersebut diatur dalam Vendu
Instructie yang dimuat dalam Staatblad tahun 1908 Nomor 190.
a.3. Peraturan Pemerintah tentang pungutan Bea Lelang yang dimuat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1949 Nomor 39.
a.4. Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
295/KMK.09/1993 tanggal 27 Februari 1993 tentang Tata Cara
Pengumuman Lelang.
a.5. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
337/KMK.01/2000.
a.6. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi
dan tugas Eselon I Departemen.
a.7. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
304/KMK.01/2002, tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
a.8. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
305/KMK.01/2002, tentang Pejabat Lelang.
a.9. Dan berbagai peraturan pelaksanaan lainnya.
51 Ibid., hlm. 3.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
47
Universitas Indonesia
b. Peraturan-peraturan terkait lainnya yang menjadi dasar pelayanan lelang,
yaitu antara lain :
b.1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
b.2. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
b.3. Undang-undang Hukum Perbendaharaan Indonesia (ICW).
b.4. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglement Indonesia
yang diperbaharui Staatblad Nomor 1848 Nomor 57.
b.5. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak
Negara dengan Surat Paksa.
b.6. Undang-undang Nomor 49 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.
b.7. Reglement voor de Buitengenwesten Staatblad Nomor 1927 Nomor
227.
b.8. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah beserta Benda-benda yang berada di atasnya.
b.9. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
b.10. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
b.11. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Penyempurnaan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
b.12. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.52
2. Organisasi Lelang
Keberadaan unit Lelang Negara dimulai sejak tahun 1908, yaitu dengan
berlakunya Vendu Reglement (Peraturan Lelang) yang dimuat dalam
Staatblad Nomor 189 Tahun 1908 dan Vendu Instructie (Instruksi Lelang)
yang dimuat dalam Staatblad Nomor 190 Tahun 1908. Pada mulanya Unit
Lelang Negara berdiri sendiri dengan nama ”Inspeksi Urusan Lelang” yang
52 Ida Murtamsa Salim, “Lelang Sebagai Sarana Penjualan Harta Pailit, Teori dan Prakter,Permasalahan dan Penyelesaian,” (Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, 2002),hlm. 21 – 23.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
48
Universitas Indonesia
berada dilingkungan Departemen Keuangan dan kemudian dalam
perkembangannya kurang lebih pada tahun 1960, Unit Lelang Negara
digabungkan dan berada dibawah Direktorat Jendral Pajak. Hal ini dilakukan
antara lain dengan pertimbangan bahwa sifat pemungutan Bea Lelang
dikategorikan sebagai penerima pajak tidak langsung. Sejak tanggal 1 April
1990, Pimpinan Departemen Keuangan memindahkan kedudukan dan
tanggung jawab Unit Lelang Negara ke dalam lingkungan Badan Urusan
Piutang Negara (BUPN) yaitu salah satu unit eselon I dilingkungan
Departemen Keuangan. Adapun tujuananya agar Unit Lelang Negara dapat
lebih difungsikan secara optimal, disamping untuk memberi kesempatan
Direktorat Jenderal Pajak berkonsentrasi pada bidang tugas pokoknya yang
makin bertambah berat.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 dalam rangka
mentempurnakan sistem pengurusan Piutang Negara dan untuk
mengembangkan pelayanan jasa lelang maka organisasi Badan Urusan
Piutang Negara (BUPN) diubah menjadi Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara (BUPLN).
Sejak Unit Lelang berada dilingkungan BUPLN maka setiap ibukota
propinsi di Indonesia telah dibentuk Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang dan di 87 Kota Madya/Kabupaten telah didirakan Kantor Pejabat
Lelang kelas II yang telah siap memberikan pelayanan lelang kepada pihak-
pihak yang membutuhkannya.
Pada saat ini Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara telah diubah
menjadi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara yaitu berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001.53
53 Ibid., hlm. 24 – 25.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
49
Universitas Indonesia
3. Asas-asas Lelang
Asas-asas yang digunakan dalam lelang antara lain tercermin dari
pengertian lelang itu sendiri. Beberapa asas yang dapat dikemukakan antara
lain adalah :
a. Asas Publisitas (Publicity) atau Asas Transparansi (Transparency),
artinya setiap pelelangan harus didahului dengan pengumuman lelang,
baik dalam bentuk iklan, brosur atau undangan. Disamping untuk
menarik peserta lelang sebanyak mungkin, pengumuman lelang juga
dimaksudkan untuk memberi kesempatan sosial kontrol sebagai bentuk
perlindungan publik. Asas ini sangat penting yang membentuk karakter
lelang sebagai penjualan yang bersifat transparan. Karena itu asas ini
juga disebut asas transparansi.
b. Asas Persaingan (Competition), yaitu karena para peserta lelang
bersaing dan peserta dengan penawaran tertinggi yang sudah sesuai atau
di atas harga limit yang akan dinyatakan sebagai pemenang.
c. Asas Kepastian (Certainty), artinya independensi Pejabat Lelang
seharusnya mampu membuat kepastian bahwa penawar tertinggi yang
dinyatakan sebagai pemenang lelang, bahwa pemenang lelang tersebut
yang telah melunasi kewajibannya akan memperoleh barang beserta
dokumen.
d. Asas Akuntanbilitas (Accountability), artinya pelaksanaan lelang dapat
dipertanggung jawabkan karena Pemerintah melalui Pejabat Lelang
berperan untuk mengawasi jalannya lelang dan membuat akta otentik
yang disebut Risalah Lelang yang berfungsi sebagai akta van transport.
Pejabat Lelang itu haruslah independen, artinya tidak terpengaruh atau
memihak kepada siapapun, sehingga asas ini dapat juga dikatakan
sebagai asas independensi.
e. Asas Efisiensi (Efficiency), artinya karena lelang dilakukan pada suatu
saat dan tempat yang ditentukan dan transaksis terjadi pada saat itu juga
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
50
Universitas Indonesia
maka diperoleh efisiensi biaya dan waktu karena dengan demikian
barang secara cepat dapat dikonversi menjadi uang.54
4. Fungsi Lelang
Lelang sebagai sarana penjualan barang yang bersifat khusus dan
transparan sejak semula dimaksudkan sebagai pelayanan umum, yaitu
siapapun dapat memanfaatkan jasa lelang. Namun demikian lelang di
Indonesia sebenarnya mempunyai fungsi privat dan fungsi publik.
Fungsi privat lelang nampak dalam peranan lelang sebagai institusi
pasar yang mempertemukan penjual dan pembeli sehingga lelang turut
berperan memperlancar arus lalu lintas perdagangan barang, barang bergerak
maupun barang tidak bergerak. Ini karenanya lelang dapat dipergunakan
secara luas oleh masyarakat.
Fungsi publik tercermin dari tiga hal, yaitu :
a. Mengamankan aset yang dimiliki atau dikuasai oleh negara untuk
meningkatkan efisiensi dan tertib administrasi dari pengelolaan aset
tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 14 ICW (Undang-undang
Kebendaharaan Indonesia) juncto Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 1970
dan Keputusan Presiden Nomor 16 tahun 1994, Undang-undang tahun
1995 Nomor 10 tentang Kepabeanan, Undang-undang tentang Pokok-
pokok Pemerintahan di Daerah dan sebagainya.
b. Pelayanan penjualan barang dalam rangka mewujudkan penegakan hukum
yang mencerminkan keadilan, keamanan dan kepastian hukum seperti
penjualan barang bukti bekas sita jaminan baik dari Pengadilan, Kejaksaan
maupun Pajak atau benda-benda lainnya, sebagai bagian dari sistem
hukum yang berkaitan dengan kepailitan, acara perdata, acara pidana,
pegadaian, fidusia dan sebagainya.
c. Mengumpulkan penerimaan negara dalam bentuk Bea Administrasi, Bea
Lelang dan Uang Miskin. Dalam hal ini lelang juga memikul tugas untuk
54 Ibid., hlm. 26 – 27.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
51
Universitas Indonesia
mengamankan pendapatan negara melalui pajak khususnya yang berkaitan
dengan penjualan tanah yaitu Pajak Penghasilan (PPh) dan juga Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).55
5. Jenis-jenis Lelang
Jenis lelang dibedakan berdasarkan sebab barang dijual dan penjual
dalam hubungannya dengan barang yang akan dilelang. Sifat lelang ditinjau
dari sudut sebab barang dilelang dibedakan antara lelang eksekusi dan lelang
non eksekusi. Lelang eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan
putusan/penetapan pengadilan atau dokumen yang dipersamakan dengan itu
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Lelang non eksekusi adalah
lelang selain lelang eksekusi yang meliputi Lelang Non Eksekusi Wajib dan
Lelang Non Eksekusi Sukarela. Sifat lelang ditinjau dari sudut penjual dalam
hubungannya dengan barang yang akan dilelang, dibedakan antara lelang
yang sifatnya wajib, yang menurut peraturan perundang-undangan wajib
melalui Kantor Lelang dan lelang yang sifatnya sukarela atas permintaan
masyarakat. Lelang Non Eksekusi Wajib adalah lelang untuk melaksanakan
penjualan barang milik negara/daerah dan kekayaan negara yang dipisahkan
sesuai peraturan yang berlaku. Lelang Non Eksekusi Sukarela adalah lelang
untuk melaksanakan kehendak perorangan atau badan untuk menjual barang
miliknya.56
a. Lelang Yang Bersifat Eksekusi dan Wajib
1) Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN)
Adalah pelayanan lelang yang diberikan kepada Panitia Pengurusan
Piutang Negara/Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara dalam
rangka proses penyelesaian pengurusan piutang negara atas barang
jaminan atau sitaan milik penanggung utang, dimana Debitor tidak
55 Ibid., hlm. 28 – 29.
56 Purnama Tiora Sianturi, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan TidakBergerak Melalui Lelang, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2008), hlm. 57.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
52
Universitas Indonesia
membayar utangnya kepada negara. Dasar hukumnya adalah Undang-
undang Nomor 49 Peraturan Pemerintah Tahun 1960 tentang Panitia
Pengurusan Piutang NegaraLelang eksekusi PN
2) Lelang Eksekusi Pengadilan Negeri (PN)/Pengadilan Agama (PA)
Adalah lelang yang diminta oleh panitera PN/PA untuk melaksanakan
keputusan hakim pengadilan yang telah berkekuatan pasti, khususnya
dalam rangka perdata, termasuk lelang hak tanggungan, yang oleh
pemegang hak tanggungan telah diminta fiat eksekusi kepada ketua
pengadilan.
3) Lelang Barang Temuan dan Sitaan, Rampasan Kejaksaan/Penyidik
Adalah lelang yang dilaksanakan terhadap barang temuan dan lelang
dalam rangka acara pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana yang antara lain meliputi lelang eksekusi
barang yang telah diputus dirampas untuk negara, termasuk dalam
kaitan itu adalah lelang eksekusi Pasal 45 Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana yaitu lelang barang bukti yang mudah rusak,
busuk dan memerlukan biaya penyimpanan tinggi
4) Lelang Sita Pajak
Adalah lelang atas sitaan pajak sebagai tindak lanjut penagihan
piutang pajak kepada negara baik pajak pusat maupun pajak daerah.
Dasar hukum dari pelaksanaan lelang ini adalah Undang-undang
Nomor 19 Tahun 1997.
5) Lelang Eksekusi Barang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Barang
tak Bertuan)
Lelang ini dapat diadakan terhadap barang yang dinyatakan tidak
dikuasai, barang yang dikuasi Negara dan barang yang menjadi milik
Negara. Direktorat Bea dan Cukai telah mengelompokkan barang
menjadi tiga, yaitu barang yang dinyatakan tidak dikuasi, barang yang
dikuasai Negara dan barang yang menjadi milik Negara. Lelang
barnag tak bertuan dimaksudkan untuk menyebut lelang yang
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
53
Universitas Indonesia
dilakukan terhadap barang yang dalam jangka waktu yang ditentukan
tidak dibayar bea masuknya.
6) Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT)
Lelang eksekusi yang dilakukan berdasarkan Pasal 6 Undang-undang
Hak Tanggungan, yang memberikan hak kepada Pemegang Hak
Tanggungan Pertama untuk menjual sendiri secara lelang terhadap
objek hak tanggungan didasarkan Pasal 6 Undang-undang Hak
Tanggungan.
7) Lelang Eksekusi Fidusia
Adalah lelang terhadap objek fidusia karena Debitor cidera janji,
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 42 tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia. Parate eksekusi Fidusia, Kreditor tidak perlu
meminta fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri apabila akan
menjual secara lelang barang agunan kredit yang diikat fidusia, jika
Debitor cidera janji.
b. Lelang Non Eksekusi Wajib
Adalah lelang yang dilakukan dalam rangka penghapusan barang
milik/dikuasai negara adalah aset pemerintah pusat/daerah, ABRI maupun
sipil. Barang yang dimiliki negara adalah barang yang pengadaannya
bersumber dari dana yang berasal dari APBN, APBD serta sumber-sumber
lainnya atau barang yang nyata-nyata dimiliki negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak termasuk kekayaan
negara yang dipisahkan.
c. Lelang Sukarela
1) Lelang Sukarela/Swasta
Adalah jenis pelayanan lelang atas permohonan masyarakat secara
sukarela. Jenis pelayanan lelang ini sedang dikembangkan untuk dapat
bersaing dengan berbagai bentuk jual beli individual/jual beli biasa
yang dikenal dimasyarakat. Lelang sukarela yang saat ini sudah
berjalan antara lain lelang barang-barang milik kedutaan/korps
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
54
Universitas Indonesia
diplomatik, lelang baran seni seperti carpet dan lukisan, lelang
sukarela yang diadakan oleh Balai Lelang.
2) Lelang Sukarela BUMN
Pasal 37 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1998 tentang
Perusahaan Perseroan (Persero) mengatur, bagi persero tidak berlaku
Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 1970 tentang Penjualan dan atau
Pemindahtanganan Barang-barang yang dimiliki/dikuasai negara, yang
harus melalui Kantor Lelang.57
6. Tata Cara Lelang
Siapapun yang berminat menjual barang secara lelang harus mengajukan
permohonan tertulis ke Kantor Lelang di tempat barang yang akan dilelang
berada. Pemohon lelang mengajukan permintaan lelang secara lisan atau
melalui telepon, yang harus segera diikuti dengan permohonan tertulis.
Permohonan lelang tersebut pada dasarnya tidak dapat ditolak oleh Kantor
Lelang, kecuali permohonan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam ketentuan lelang.
Apabila permohonan lelang telah diterima oleh Kantor Lelang, maka
pemohon lelang harus segera melengkapi surat permohonan lelangnya dengan
dokumen-dokumen atau bukti-bukti hak dan kewenangannya menjual barang
secara lelang. Selain itu pemohon lelang selaku penjual dapat menetapkan
syarat-syarat penjualan lelang asalkan syarat tersebut tidak bertentangan
dengan ketentuan lelang yang berlaku.
Setelah kantor lelang meneliti permohonan lelang beserta dokumen
kelengkapannya tersebut dan memperoleh keyakinan atas legalitas subyek
lelang dan legalitas objek lelang, maka Kantor Lelang akan menetapkan
waktu dan tempat lelang dengan memperhatikan keinginan pemohon lelang.
Segera setelah ditetapkan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
57 Ibid., hlm. 58 – 61.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
55
Universitas Indonesia
Lelang mengenai waktu dan tempat pelaksanaan lelang, pemohon lelang
selaku penjual melakukan pengumuman lelang di surat kabar/harian dan atau
media masa lainnya.58
Untuk memberi kesempatan kepada masyarakat yang berminat
mengikuti lelang untuk memperoleh informasi mengenai barang yang akan
dilelang, maka semua dokumen kelengkapan permohonan lelang dan
persyaratan lelang dari penjual, serta bukti pengumuman lelang tersebut harus
diserahkan ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari sebelum lelang.
Para peminat lelang untuk dapat turut serta dalam suatu lelang
diwajibkan untuk menyetorkan uang jaminan dalam jumlah tertentu ke
rekening Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. Uang jaminan tersebut akan diperhitungkan dengan harta pembelian jika
si penawar ditunjuk sebagai pembeli.
b. Uang jaminan tersebut akan dikembalikan segera jika si penawar tidak
ditunjuk sebagai pembeli.
c. Uang jaminan tersebut akan menjadi milik penjual jika pemenang lelang
wanprestasi yaitu tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar uang
lelang tepat pada waktunya.
Lelang bersifat terbuka karena itu pada prinsipnya semua orang dapat
menjadi peserta sepanjang tidak dikecualikan sebagaimana diuraikan diatas.
Pada waktu yang telah ditentukan, lelang dilaksanakan dan dipimpin oleh
Pejabat Lelang dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang . Dalam
hal penawaran tertinggi dalam lelang telah sesuai dengan kehendak penjual,
maka barang akan dilepas dan Pejabat Lelang akan menetapkan penawar
tertinggi tersebut sebagai pemenang lelang. Namun dalam hal penawar
tertinggi ternyata belum mencapai harga jual yang dikehendaki penjual (atau
batas harga yang telah ditetapkan), maka pejabat lelang akan menetapkan
58 Salim, op. cit., hlm. 33 – 34.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
56
Universitas Indonesia
bahwa objek lelang ditahan (atau tidak ditunjuk pemenangnya), kecuali
penjual setuju untuk melepaskan barang tersebut.59
Dalam hal barang lelang laku terjual, maka pembeli berkewajiban
membayar uang Pokok Lelang sejumlah penawarannya ditambah dengan Bea
Lelang Pembeli yang dipungut sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah
tentang Bea Lelang Staatblad tahun 1949 Nomor 390 (Peraturan Pemerintah
tentang Bea Lelang), yaitu sebesar 9% (sembilan persen) untuk barang
bergerak dan 4,5% (empat koma lima persen) untuk barang tidak bergerak,
serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 5% (lima persen)
dari harga pokok lelang setelah dikurangi suatu nilai bebas pajak yang
ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah dimana barang tersebut
berada, Uang Miskin yang dipungut berdasarkan Pasal 18 Vendu Reglement
sebesar 0,7% (nol koma tujuh persen) untuk barang bergerak dan 0,4% (nol
koma empat persen) untuk barang tidak bergerak.
Ketentuan tersebut diatas sudah tidak berlaku lagi dengan berlakunya
peraturan yang baru yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
44 tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak, yaitu
sebesar 1% (satu persen) bagi penjual untuk lelang eksekusi dan 1% (satu
persen) bagi pembeli, sedangkan untuk Uang Miskin sudah tidak dipungut
lagi atau 0% (nol persen) sesuai dengan Pasal 43 ayat (2) Undang-undang
Nomor 42 Tahun 1999. Bea Lelang Pembeli dan Penjual dihitung dari harga
pokok lelang. Selanjutnya uang pokok lelang, Bea Lelang Pembeli dan
Penjual disetorkan kepada Pejabat Lelang.
Khusus dalam hal pemerintah sebagai penjual, maka Bea Lelang tidak
dikenakan kepada penjual. Pengenaan Bea Lelang penjual dengan cara
memotong langsung dari Harga Pokok Lelang yang akan disetor kepada
pemohon lelang.
Pada dasarnya pembayaran uang lelang harus dilakukan secara tunai.
Dalam hal pembeli membayar uang pembelian lelangnya dengan cheque,
59 Ibid., hlm. 36.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
57
Universitas Indonesia
maka sebelum cheque itu dicairkan dan hasil pencairannya dinyatakan baik
oleh Bank, Pejabat Lelang tidak akan memberikan barang yang dilelang.
Pejabat lelang pada dasarnya harus menyetorkan uang hasil lelang ke rekening
Penjual dalam waktu 1 x 24 jam, setelah diterimanya pelunasan uang hasil
lelang dari pembeli.60
7. Risalah Lelang
Pada setiap pelaksanaan lelang Pejabat Lelang akan membuat Risalah
Lelang yang merupakan Akta Otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna. Keotentikan Risalah Lelang karena dibuat dihadapan pejabat
umum, yang dalam hal ini adalah Pejabat Lelang, ketentuan mengenai pejabat
umum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Pejabat Lelang mempunyai wilayah kerja yang ditentukan oleh Menteri
Keuangan. Pejabat Lelang hanya berwenang untuk melaksanakan di wilayah
kerja Pejabat Lelang tersebut.
Pengaturan mengenai akta otentik dan wilayah kerja dari Pejabat
Umum, dalam hal ini Pejabat Lelang, diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, yaitu :
”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-
pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akte
dibuatnya”.61
Risalah lelang telah memenuhi ketentuan-ketentuan suatu akta otentik
dan merupakan suatu bukti yang sempurna mengenai beralihnya hak antara
penjual lelang dan pembeli lelang, sebagaimana diatur dalam Pasal1870 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :
60 Ibid., hlm. 37.
61 Kitab Undang-undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh Subekti,(Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), Ps. 1868.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
58
Universitas Indonesia
”Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-
ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu
bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya”.62
Risalah lelang merupakan akta otentik bagi penjual untuk dipergunakan
sebagai bukti telah dilaksanakannya suatu penjualan barang melalui prosedur
lelang, sedangkan bagi pembeli untuk dipergunakan sebagai bukti pembelian
untuk menghadap instansi yang terkait untuk mengurus sesuatu yang
berhubungan dengan pembelian lelang tersebut. Kantor Badan Pertanahan
Nasional memakai Risalah Lelang sebagai dasar hukum untuk mendaftarkan
risalah lelang dan mencoret nama pemilik yang lama dan menggantinya
dengan nama pembeli lelang.63
D. Lelang Sebagai Sarana Penjualan Barang Jaminan Fidusia
1. Dasar Hukum Lelang Barang Jaminan Fidusia
Dasar hukum mengenai lelang barang Jaminan Fidusia telah diatur di
dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 42 tentang Jaminan
Fidusia yang menyebutkan bahwa :
”Penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan
Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan”.
Dari ketentuan tersebut lelang merupakan suatu cara penjualan utama
atau pada prinsipnya apabila barang Jaminan Fidusia ingin dijual maka
dengan cara lelang. Tetapi dalam Undang-undang Jaminan Fidusia terdapat
pilihan lain untuk menjual, apabila dengan cara lelang tidak laku yaitu dengan
cara dijual secara di bawah tangan dengan kesepakatan Pemberi dan Penerima
Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan para pihak dan hal ini tetap ada prosedurnya tidak bisa
langsung saja menjual
62 Ibid., Ps. 1870.
63 Salim, op. cit., hlm. 39 – 40.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
59
Universitas Indonesia
Dalam hal lelang sebagai sarana penjualan barang Jaminan Fidusia
dijadikan jalan alternatif yang pertama karena sudah jelas bahwa barang yang
akan dijual melalui lelang itu bukan barang milik Kreditor, sehingga apabila
Kreditor ingin menjual barang tersebut dengan cara yang tidak sesuai dengan
ketentuan maka Kreditor tersebut telah melanggar hukum. Barang yang akan
dijual melalui lelang tersebut adalah barang Jaminan Fidusia yang mana telah
diatur cara penjualannya oleh Undang-undang, itu sebabnya Kreditor memilih
lelang sebagai sarana penjualan barang Jaminan Fidusia.
Untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih memacu
pembangunan nasional dan untuk menjamin kepastian hukum serta mampu
memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka
dibentuklah Undang-undang mengenai Jaminan Fidusia dan di dalam
Undang-undang Jaminan Fidusia diatur juga mengenai cara penjualan atas
barang Jaminan Fidusia, yaitu dengan cara pelelangan umum yang mana
dengan cara pelelangan umum ini kepastian hukum akan diperoleh antara
Pembeli dan Penjual barang Jaminan Fidusia tersebut.
2. Tata Cara Lelang Jaminan Fidusia dan Pungutan yang dikenakan dalam
Lelang Barang Jaminan Fidusia
Permohonan lelang dapat diajukan oleh pemohon lelang, dalam hal ini
penerima fidusia atau Kreditor yang mana bisa memohon kepada Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang untuk melakukan lelang berdasarkan
Akta Jaminan Fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial, dimana kepala
aktanya mencantumkan kata-kata ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
60
Universitas Indonesia
2.a. Tata cara lelang barang Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut:
PROSEDUR LELANG
PEMOHON LELANG/LESSOR
KPKNL KAS NEGARAPESERTA LELANG
PENGUMUMANLELANG
1
DEBITOR/LESSEE
2
3
3
4 6
5
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
61
Universitas Indonesia
1) Adanya wanprestasi dari pihak lessee, sehingga lessor menarik
kendaraan bermotor Jaminan Fidusia.
2) Lessor atau pemohon lelang mengajukan permohonan lelang ke
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, lalu Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang akan mencek dokumen-
dokumen atau surat-surat yang terkait, dalam hal ini bendanya
adalah barang Jaminan Fidusia maka harus ada Akta Jaminan
Fidusia yang sudah difotokopi dan dilegalisir. Setelah itu Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang menyatakan setuju untuk
melelang karena dokumen atau surat-surat sudah lengkap dan
menetapkan waktu, tempat pelelangan serta uang jaminan (apabila
diperlukan).
3) Pemohon Lelang atau lessor melakukan pengumuman untuk
memberi kesempatan kepada masyarakat yang berminat menjadi
Peserta Lelang.
4) Masyarakat yang berminat menjadi peserta lelang meminta
keterangan lebih lanjut mengenai objek lelang serta kelengkapan
dokumen-dokumen kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang. Masyarakat yang nantinya akan ikut menjadi Peserta Lelang
hanya berurusan langsung dengan Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang bukan kepada Pemohon Lelang. Setelah Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang memutuskan pemenang
lelang dan barang telah laku terjual, maka Pembeli wajib membayar
harga lelang dan Bea Lelang ke bendahara Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang secara tunai, lalu Pembeli akan
menerima seluruh dokumen-dokumen yang terkait dan Risalah
Lelang.
5) Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang menyerahkan uang
hasil lelang diserahkan kepada Penjual atau Pemohon Lelang yang
sebelumnya sudah dipotong untuk Bea Lelang. Pejabat Lelang harus
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
62
Universitas Indonesia
menyetorkan uang hasil lelang kepada Penjual dalam waktu 1 x 24
jam setelah diterimanya uang dari Pembeli.
6) Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang menyerahkan Bea
Lelang dari Penjual dan Pembeli ke Kas Negara.
7) Pembeli pergi ke Kantor SAMSAT dengan membawa semua
dokumen-dokumen yang terkait untuk proses balik nama.
2.b. Pungutan negara dalam pelaksanaan Lelang Eksekusi
Pungutan Lelang Eksekusi dalam Jaminan Fidusia kendaraan bermotor
adalah sebagai berikut :
Jenis Barang Beban Pada Bea Lelang Uang Miskin
Penjual/Pemohon
Lelang 1% 0%
BergerakPembeli/Pemenang
Lelang 1% 0%
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
63
Universitas Indonesia
2.c. Skema Hak dan Kewajiban Peserta Lelang
HAK DAN KEWAJIBANPIHAK TERKAIT DALAM LELANG
PEMOHON LELANG/EKSEKUTOR
KPKNL
PESERTA LELANG/PEMBELI LELANG
1. Mengajukan Permohonan Lelang ke KPKNL2. Menentukan Harga Limit3. Mengumumkan Lelang4. Memberi Penjelasan tentang Dokumen Barang
yang Dilelang5. Memberi Kesempatan Melihat Barang6. Menentukan Persyaratan Lelang lainnya7. Menerima Uang Hasil Lelang dan Membayar
Bea Lelang8. Menerima Salinan Risalah Lelang
1. Meneliti Persyaratan Lelang2. Menentukan Tanggal Lelang3. Meminta copy Akta Jaminan Fidusia (dalam hal
lelang Jaminan Fidusia)4. Menerima Uang Jaminan Lelang (bila ada)5. Melaksanakan Lelang6. Membuat Risalah Lelang7. Mengamankan Hak Negara yaitu Bea Lelang.8. Menyetorkan Hasil Lelang ke Pemohon Lelang
1. Melihat Dokumen Barang2. Memeriksa Barang yang akan Dilelang3. Meminta Penjelasan sebelum Barang Dilelang4. Menyetorkan Uang Jaminan ke Rekening
KPKNL (bila ada)5. Mengajukan Penawaran (tulisan/lisan)6. Membayar Hasil Lelang dan Bea Lelang7. Menerima Barang dan Dokumen8. Menerima Petikan Risalah Lelang
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
64
Universitas Indonesia
3. Lelang Sebagai Jalan Keluar Penyelesaian Barang Jaminan Fidusia
Pasal 29 ayat (1) sub b Undang-undang Nomor 42 tentang Jaminan
Fidusia menentukan bahwa pada prinsipnya penjualan objek Jaminan Fidusia
dilakukan secara lelang. Namun demikian dapat diperbolehkan untuk
melakukan penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan
kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia.
Dalam era saat ini yang menuntut adanya transparansi disegala sektor,
cara lelang adalah alternatif yang tepat untuk mewujudkan suatu penjualan
yang transparan. Lelang dilakukan di depan umum, dengan cara penawaran
yang kompetitif, dan dilaksanakan oleh Pejabat Lelang selaku Pejabat Umum
yang independen.
Dengan melakukan penjualan barang Jaminan Fidusia secara lelang
berarti kepentingan berbagai pihak seperti Debitor, Kreditor, maupun pembeli
lelang itu sendiri dapat terlindungi dan dapat dipertanggung jawabkan. Selain
itu berbeda dengan sistem penjualan di bawah tangan, lelang adalah cara
penjualan yang cepat sehingga lebih effisien.
Dengan demikian lelang sebenarnya mampu berperan sebagai salah satu
sarana hukum yang dapat digunakan secara cepat, terbuka dan effektif
sebagaiman dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-undang
Jaminan Fidusia.
4. Penentuan Harga Limit dalam Lelang Barang Jaminan Fidusia
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia, harga limit
atau harga minimal dari barang yang akan dilelang, ditentukan oleh pemohon
lelang dan menjadi tanggung jawab penjual/pemohon lelang.64 Barang
bergerak Jaminan Fidusia macam-macam jenisnya dengan nilai dan kualitas
yang berbeda-beda. Masalahnya bagaimana cara Kreditor menentukan harga
limit dari objek Jaminan Fidusia tersebut. Apakah Kreditor memiliki aturan
64 Departemen Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.40/PMK.07/2006, tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Ps. 30.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
65
Universitas Indonesia
main mengenai penentuan harga tersebut agar harga limit ditetapkan dengan
cara-cara profesional dan dapat dipertanggung jawabkan ?. Dalam hal ini
yang menjadi objek yang akan dilelang berupa kendaraan bermotor yang
bernilai dibawah Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah), Kreditor atau
eksekutor dapat menentukan harga limit serendah-rendahnya ditetapkan sama
dengan Nilai Likuidasi (Forced Sale Value).65 Dalam pelaksanaan Lelang
Eksekusi dan Lelang Non Eksekusi Wajib, harga limit bersifat terbuka/tidak
rahasia dan harus dicantumkan dalam Pengumuman Lelang.66
Dalam pelaksanaan lelang dalam lelang eksekusi Pengadilan Negeri
menunjukkan bahwa jika jumlah utang mempengaruhi penentuan batasan
harga akan menyebabkan harga menjadi kurang wajar apabila dibandingkan
dengan keadaan barang yang akan dijual. Dalam menentukan batasan harga,
maka yang harus diperhatikan adalah kondisi dan status barang itu sendiri.
Masalah yang perlu diperhatikan adalah bahwa harga lelang tidak selalu
sama dengan harga pasar pada umumnya. Hal ini mengingat sifat lelang yang
merupakan penjualan yang sifatnya mendesak, cara pembayarannya tunai dan
pembeli menerima barang apa adanya dengan semua resikonya. Itu sebabnya
batasan harga lelang pada umumya lebih rendah dari harga pasar.
5. Pemasaran untuk Lelang Barang Jaminan Fidusia
Pelaksanaan lelang untuk barang Jaminan Fidusia bisanya melalui lelang
eksekusi yang berjalan selama ini pada umumnya pemasarannya melalui
pengumuman di surat kabar harian yang terbit di tempat barang berada yang
akan dilelang. Adapun dasar hukum dari pengumuman tersebut adalah Pasal
19 ayat (1) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Dalam hal tidak ada
surat kabar harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengumuman Lelang
diumumkan dalam surat kabar harian yang terbut di tempat yang terdekat atau
65 Ibid., Ps. 29 ayat (5).
66 Ibid., Ps. 32 ayat (1).
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
66
Universitas Indonesia
di ibukota propinsi yang bersangkutan dan beredar di wilayah kerja KP2LN
atau wilayah jabatan Pejabat Lelang Kelas II tempat barang akan dijual.67
Dalam hal pengumuman lelang melalui surat kabar harian harus memenuhi
kriteria :68
a. Apabila dilakukan pada Surat Kabar Harian yang terbit di Ibukota
Negara harus pada surat kabar yang mempunyai tiras/oplah paling
sedikit 20.000 (dua puluh ribu) eksemplar.
b. Apabila dilakukan pada Surat Kabar Harian yang terbit di Ibukota
Propinsi harus pada surat kabar yang mempunyai tiras/oplah paling
sedikit 15.000 (lima belas ribu) eksemplar.
c. Apabila dilakukan pada Surat Kabar Harian yang terbit di
Kota/Kabupaten selain huruf a dan huruf b harus pada surat kabar yang
mempunyai tiras/oplah paling sedikit 5.000 (lima ribu) eksemplar.
Sebagai sarana pemasaran, pengumuman lelang lebih banyak berfungsi
untuk memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk
mendapat perlindungan hukum. Selain itu dalam praktek masih ada kesan
bahwa lelang eksekusi erat kaitannya dengan perkara, sehingga hasilnya
kurang efektif.
Pengumuman lelang sebaiknya mengandung substansi pemasaran yang
kuat sehingga seharusnya memuat spesifikasi barang dan hal-hal yang penting
dan menarik dari barang tersebut serta apabila perlu juga mencantumkan
batasan harga. Sehingga dalam hal ini pengumuman lelang paling sedikit
memuat :69
a. Identitas Penjual;
b. Hari, tanggal, waktu dan tempat pelaksanaan lelang dilaksanakan;
c. Jenis dan jumlah barang;
67 Ibid., Ps. 19 ayat (2).
68 Ibid., Ps. 19 ayat (3).
69 Ibid., Ps. 20.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
67
Universitas Indonesia
d. Lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah, dan ada/tidak adanya bangunan,
khusus untuk barang tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan;
e. Jumlah, dan jenis/spesifikasi, khusus untuk barang bergerak;
f. Jangka waktu melihat barang yang akan dilelang;
g. Uang Jaminan Penawaran Lelang, meliputi besaran, jangka waktu, cara
dan tempat penyetoran, dalam hal dipersyaratkan adanya Uang Jaminan
Penawaran Lelang;
h. Jangka waktu pembayaran harga lelang; dan
i. Harga limit, sepanjang hal itu diharuskan dalam peraturan perundang-
undangan atau atas kehendak Penjual/Pemilik Barang.
Untuk mendukung efektifitas lelang, hendaknya strategi pemasaran
perlu mendapat perhatian. Misalnya apabila barang yang dijual membutuhkan
investasi yang besar sebaiknya mendahului pengumuman lelang yang formal,
sudah diberikan keterangan yang efektif kepada masyarakat, melalui cara-cara
yang efektif dan luas sehingga masyarakat agak leluasa mempelajari atau
mengkajinya sebelum menentukan untuk ikut dalam lelang sebagai peserta
lelang.
E. Analisa Permasalahan Hukum dalam Lelang Jaminan Fidusia
Kendaraan Bermotor pada Perusahaan Leasing
1. Permasalahan hukum yang timbul apabila perusahaan leasing tersebut
menjual barang Jaminan Fidusia secara langsung tanpa melalui lelang
Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional,
merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dalam
rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan,
para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik
perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang besar. Seiring
dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
68
Universitas Indonesia
terhadap pendanaan, yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui kegiatan pinjam meminjam.
Munculnya Undang-undang Jaminan Fidusia dilandasi dengan berbagai
pertimbangan antara lain adanya kebutuhan yang besar dan terus meningkat
bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya
ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga
Jaminan. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih
memacu pembangunan nasional dan untuk menjamin kepastian hukum serta
mampu memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan,
maka perlu dibentuk ketentuan yang lengkap mengenai Jaminan Fidusia dan
jaminan tersebut perlu didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Menurut Undang-undang Jaminan Fidusia, lelang merupakan cara yang
diutamakan dalam hal penjualan barang Jaminan Fidusia yang tertuang dalam
Pasal 29 ayat (1) huruf b, yang berbunyi :
Apabila Debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan
cara :
Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan
Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
Disini dapat kita lihat bagaimana peranan lelang sebagai sarana penjualan
barang Jaminan Fidusia sangat penting karena telah disebutkan di dalam
Undang-undang Jaminan Fidusia, dan pada intinya sistem dengan cara
pelelangan umum adalah suatu alternatif utama yang ditawarkan untuk
penyelesaian sengketa antara pihak Kreditor dan Debitor.
Lelang berperan sangat besar dalam sistem penjualan barang Jaminan
Fidusia ini, karena lelang adalah cara yang paling aman dalam berpindahnya
barang dari Penjual kepada Pembeli. Dalam lelang barang Jaminan Fidusia ini
tidak bisa sistem pelaksanaanya dilakukan secara sembarangan atau tidak
mengikuti prosedur petunjuk pelaksanaan lelang, karena seluruh prosedur
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
69
Universitas Indonesia
lelang telah ditentukan oleh Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Jadi apabila
menyimpang dari petunjuk yang telah dikeluarkan oleh Menteri Keuangan ini
maka lelang tersebut tidak sah.
Lelang bisa dilaksanakan apabila kendaraan tersebut adalah barang
Jaminan Fidusia, dan sejak awal kendaraan yang akan dileasingkan oleh
perusahaan leasing telah diikat dengan perjanjian pembiayaan konsumen
dengan penyerahan hak milik secara Fidusia, namun pada prakteknya pihak
perusahaan leasing tidak pernah mendaftarkan perjanjian tersebut kepada
Kantor Pendaftaran Fidusia dikarenakan biaya untuk mendaftarkan itu sangat
mahal, dan hal ini membuat pengikatan Fidusia menjadi tidak sempurna
sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak memiliki hak
mendahulu (preferent) sehingga perusahaan leasing tersebut menjadi Kreditur
kongkuren.
Apabila Fidusia tersebut tidak didaftarkan maka proses eksekusinya
harus melalui Pengadilan. Perusahaan tidak bisa sesukanya menarik
kendaraan bermotor yang dileasingkannya tersebut, karena tidak didaftarkan
maka perjanjiannya termasuk ke dalam jual-beli biasa. Dan apabila
melakukan penjualan melalui lelang oleh perusahaan leasing sendiri maka
menjadi cacat hukum dan bisa dibatalkan.
Pada prakteknya lelang tidak pernah dipergunakan oleh para perusahaan
leasing dan hal ini sering terjadi dikarenakan pihak perusahaan leasing merasa
enggan berurusan dengan Kantor Lelang dan ada juga karena ketidaktahuan
dari pihak perusahaan leasing mengenai sistem penjualan terhadap barang
Jaminan Fidusia.
Permasalahan dalam mempergunakan lelang atas penjualan barang
Jaminan Fidusia pada praktek di lapangan masih simpang-siur atau jauh dari
sistem penjualan lelang yang baik dan benar, contohnya perusahaan-
perusahaan leasing menjual barang Jaminan Fidusia tidak melalui lelang
dalam makna yang sebenarnya, bahkan ada perusahaan leasing yang tidak
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
70
Universitas Indonesia
tahu menahu makna lelang yang sebenarnya. Perusahaan leasing beranggapan
dengan melakukan penjualan secara terbuka maka mereka sudah melakukan
lelang, sedangkan arti dari lelang adalah :
”Penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga
secara tertulis dan /atau lisan yang semakin meningkat atau menurun
untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman
lelang”.70
Lelang tersebut haruslah dipimpin oleh Pejabat Lelang yang diangkat oleh
Pemerintah, dalam hal ini adalah Menteri Keuangan dan ketentuan ini
tertuang dalam Pasal 1 huruf a Vendu Reglement.
Bahkan ada perusahaan leasing yang mengerti akan hal ini tetapi
perusahaan tersebut tidak mau menggunakan lelang dalam penjualan barang
Jaminan Fidusia tersebut, dikarenakan prosedur dari lelang yang melalui
Kantor Lelang tersebut memakan waktu yang lama, lalu penjual dan pembeli
dikenakan Bea Lelang. Hal ini mereka anggap sangat memberatkan bagi
pihak penjual dan pembeli. Perusahaan leasing tersebut berpendapat juga
apabila lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang maka
perpindahan barang bergerak Jaminan Fidusia akan lama prosesnya karena
dalam pengajuan lelang sampai dengan proses pelelangan memakan waktu
berminggu-minggu, sedangkan perusahaan leasing ingin barang bergerak
Jaminan Fidusia tersebut cepat laku terjual.71
Hal ini tentu saja salah, karena dalam kenyataannya justru lelang melalui
Kantor Lelang itu sangat cepat dikarenakan prosedur yang sudah ada di dalam
Kantor Lelang tersebut sudah secara sistematis, bahkan Kantor Lelang ini bisa
melelang sekitar 100 kendaraan dalam sehari, yang mana hal ini tidak dapat
dilakukan Kreditor. Apabila Kreditor ingin melakukan penjualan pasti tidak
mungkin dalam satu hari itu juga bisa terjual beberapa kendaraan, hal ini
dikarenakan Debitor tersebut harus menunggu dulu orang yang datang ingin
70 Ibid., Ps. 1 ayat (1).71 Wawancara, Rahmat Hidayat dan Ibu Aulia Cahyati, bagian collection PT. Tunas Finance
Tbk., Lampung.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
71
Universitas Indonesia
melihat kendaraan Jaminan Fidusia tersebut, belum lagi ada proses tawar-
menawar, yang mana hal ini pasti tidak terjadi dalam lelang, karena lelang
tidak mengenal tawar-menawar.
Lelang yang berkaitan dengan barang Jaminan Fidusia harus
diselenggarakan oleh Kantor Lelang tidak bisa dilaksanakan sendiri oleh
perusahaan leasing tersebut, karena barang yang akan dilelang adalah barang
yang bermasalah, yang mana barang tersebut adalah milik Debitor tapi
penyerahannya secara Fidusia dan penjualannyapun harus transparan, agar
pihak Debitor tahu kendaraannya itu laku dengan harga berapa. Bahkan
dalam penjualan melalui lelang terhadap barang Jaminan Fidusia ini tidak
boleh menggunakan jasa Balai Lelang, karena lelang barang Jaminan Fidusia
termasuk ke dalam Lelang Eksekusi, apabila ingin menggunakan jasa Balai
Lelang bisa saja tapi hanya sebatas proses persiapannya saja bukan dalam
penjualannya, hal ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
118/PMK.07/2005 Pasal 10 ayat (2) juncto Pasal 11.
Tetapi walaupun prosedur lelang telah diatur dalam Peraturan Menteri,
pihak Kreditor kurang menyukai cara penjualan melalui lelang dikarenakan
Kreditor merasa tidak praktis dan tidak sesuai dengan keinginnannya. Oleh
karena itu kebanyakan perusahaan-perusahaan leasing selalu mengambil
sistem penjualan di bawah tangan., dan hal ini pun masih tidak sesuai dengan
Pasal 29 ayat (1) huruf c dan ayat (2), yang berbunyi :
Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf cdilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secaratertulis oleh Pemberi dan atau Penerima Fidusia kepad pihak-pihak yangberkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabaryang beredar di daerah yang bersangkutan.
Dalam prakteknya Kreditor walaupun menjual dengan sistem di bawah tangan
tapi pihak Kreditor tidak pernah melakukan pengumuman dalam surat kabar
harian, dan jangka waktunya dalam penjualan pun tidak 1 (satu) bulan setelah
kendaraan barang Jaminan Fidusia tersebut tidak laku saat lelang, Kreditor
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
72
Universitas Indonesia
langsung menjual pada saat itu juga setelah Kreditor menarik barang Jaminan
Fidusia tersebut. Mengapa hal ini bisa terjadi, karena ketidak tahuan dari
perusahaan leasing dan Kantor Lelang tidak pernah membina perusahaan-
perusahaan leasing tersebut sehingga terjadilah salah pengertian dalam hal
penjualan barang Jaminan Fidusia ini.
Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 21 ayat (2) Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 40/PMK.07/2006, bahwa sebelum
melaksanakan lelang haruslah diumumkan terlebih dahulu dalam surat kabar
harian sebanyak 1 (satu) kali dan tenggang waktunya minimal 6 (enam) hari
sebelum lelang dilaksanakan. Lelang diumumkan dengan maksud :
a. Supaya masyarakat tahu akan adanya lelang;
b. Agar barang cepat terjual;
c. Agar masyarakat tertarik untuk mengikuti lelang tersebut;
d. Untuk mengontrol, sehingga apabila ada pihak yang dirugikan ia
dapat mengajukan protes.
Namun dalam prakteknya perusahaan leasing tidak melakukan hal-hal
seperti yang telah diterangkan di atas. Prosedur yang selama ini mereka
gunakan yaitu dengan cara :
a. Setelah Debitor melakukan wanprestasi, maka pihak Kreditor
melayangkan surat peringatan sampai dengan 3 (tiga) kali
berturut-turut yang berisi untuk menyelesaikan pembayaran yang
telah tertunda.
b. Apabila pihak Debitor masih tidak mau menanggapi surat
peringatan tersebut, maka pihak Kreditor Memberikan surat
pemberitahuan bahwa kendaraan tersebut akan ditarik pada
waktu yang telah ditetapkan oleh pihak Kreditor.
c. Setelah pihak Kreditor menarik kendaraan tersebut, maka
Kreditor menghubungi show room-show room serta
memberitahu kepada relasi terdekat bahwa barang tersebut akan
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
73
Universitas Indonesia
dijual, dengan cara pemberitahuan dari mulut ke mulut tanpa
melalui surat kabar harian.
d. Pihak Kreditor melakukan penjualan dengan cara menyewa
gedung kosong atau melakukan penjualan di tempat show room,
tapi penjualan barang Jaminan Fidusia tersebut bisanya tidak
langsung laku pada saat itu juga, bisa berhari-hari bahkan
berminggu-minggu, karena menunggu orang yang ingin membeli
barang tersebut.
e. Setelah ada pembeli barulah uang dari hasil penjualan tersebut
dipakai untuk menutupi sisa utang dari Debitor, dan pembeli
mendapat barang beserta dokumen-dokumen yang diperlukan
untuk balik nama. Dalam hal pembayaran pembeli bisa memilih
dengan cara kredit atau cash, dan bisa negoisasi.
Tentu saja prosedur ini melanggar dari aturan yang telah ditentukan oleh
Undang-undnag Jaminan Fidusia karena barang yang akan mereka jual adalah
barang Jaminan Fidusia, yang mana dalam peraturannya harus dilakukan
lelang dalam penjualannya seperti yang diterangkan berikut ini :
”Penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan
Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan”.72
Dan apabila dibandingkan dengan penjualan secara lelang seperti yang
telah ditentukan oleh Vendu Reglement tentu saja hal tersebut menyimpang.
Lelang berdasarkan Vendu Reglement adalah sebagai berikut :
1) Kreditor atau pemohon lelang mengajukan permohonan lelang ke
Kantor Lelang, lalu Kantor Lelang akan mencek dokumen-dokumen
atau surat-surat yang terkait, dalam hal ini bendanya adalah barang
Jaminan Fidusia maka harus ada Akta Jaminan Fidusia yang sudah
difotokopi dan dilegalisir. Setelah itu Kantor Lelang menyatakan
72 Indonesia, Undang-undang Jaminan Fidusia, UU No. 42 tahun 1999, Ps. 29 ayat (1) hurufb.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
74
Universitas Indonesia
setuju untuk melelang karena dokumen atau surat-surat sudah
lengkap dan menetapkan waktu, tempat pelelangan serta uang
jaminan (apabila diperlukan).
2) Pemohon Lelang atau Kreditor melakukan pengumuman untuk
memberi kesempatan kepada masyarakat yang berminat menjadi
Peserta Lelang.
3) Masyarakat yang berminat menjadi peserta lelang meminta
keterangan lebih lanjut mengenai objek lelang serta kelengkapan
dokumen-dokumen kepada Kantor Lelang. Masyarakat yang
nantinya akan ikut menjadi Peserta Lelang hanya berurusan
langsung dengan Kantor Lelang bukan kepada Pemohon Lelang.
Setelah Kantor Lelang memutuskan pemenang lelang dan barang
telah laku terjual, maka Pembeli wajib membayar harga lelang dan
Bea Lelang ke bendahara Kantor Lelang secara tunai, lalu Pembeli
akan menerima seluruh dokumen-dokumen yang terkait dan Risalah
Lelang.
4) Kantor Lelang menyerahkan uang hasil lelang diserahkan kepada
Penjual atau Pemohon Lelang yang sebelumnya sudah dipotong
untuk Bea Lelang. Pejabat Lelang harus menyetorkan uang hasil
lelang kepada Penjual dalam waktu 1 x 24 jam setelah diterimanya
uang dari Pembeli.
5) Kantor Lelang menyerahkan Bea Lelang dari Penjual dan Pembeli
ke Kas Negara.
6) Pembeli pergi ke Kantor SAMSAT dengan membawa semua
dokumen-dokumen yang terkait untuk proses balik nama.
Apabila telah terjadi penjualan tanpa melalui lelang yang sesungguhnya
maka hal tersebut bisa menimbulkan permasalahan hukum apabila Debitor
melakukan perlawanan hukum. Dikarenakan Debitor tidak puas dengan hasil
lelang, maka bisa saja Debitor menggugat hasil lelang yang tidak sesuai
dengan ketentuan Undang-undang tersebut, maka dapat timbul permasalahan
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
75
Universitas Indonesia
hukum, atau bisa saja ada pihak ke 3 (tiga) yang merasa dirugikan dengan
penjualan tersebut dan pihak ke 3 (tiga) tersebut melayangkan gugatan ke
Pengadilan.
Perusahaan leasing dianggap telah lalai dalam hal penjualan barang
Jaminan Fidusia tersebut, dengan lalainya perusahaan leasing ini maka
Debitor bisa mengajukan perusahaan leasing ke meja hijau atau diperkarakan,
karena dianggap tidak mematuhi dari Undang-undang yang berlaku
Dengan adanya gugatan yang melalui Pengadilan maka pihak-pihak
yang terkait harus mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang telah
diperbuatnya. Hal ini akan memakan biaya dan waktu antara Penggugat dan
Tergugat, dan untuk mencegah hal ini terjadi alangkah baiknya apabila
perusahaan leasing melakukan penjualan barang Jaminan Fidusia tersebut
melalui lelang yang benar. Kebaikan penjualan secara lelang adalah :
a. Adil, karena lelang bersifat terbuka, transparan dan objektif.
b. Aman, karena lelang dipimpin oleh Pejabat Lelang/Pejabat Umum
yang diangkat oleh Pemerintah.
c. Cepat, karena tidak perlu negoisasi, karena sudah didahului dengan
pengumuman lelang sehingga peserta lelang dapat berkumpul pada
hari lelang dan melakukan pembayaran secara tunai.
d. Mampu mewujudkan harga yang wajar. Apabila dilaksanakan
dengan baik, maka lelang mencerminkan harga pasar ditempat
lelang itu berada, karena penawaran lelang bersifat kompetitif dan
transparan.
e. Kepastian hukum, berkaitan dengan Risalah Lelang, yaitu suatu
akta otentik, sehingga pembeli dapat mempertahankan haknya dan
dipakai sebagai syarat balik nama.
Dengan melakukan cara melelang yang benar, kecil kemungkinannya
untuk mendapatkan gugatan dari pihak-pihak yang terkait karena lelang telah
mempunyai prosedur atau tata cara tersendiri, sehingga tidak mungkin lelang
disalah gunakan kepentingannya untuk hal-hal yang tidak terpuji.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
76
Universitas Indonesia
Bila dibandingkan dengan sistem penjualan tanpa melalui lelang seperti
yang selama ini dipergunakan oleh perusahaan leasing pada umumnya maka
penjualan tersebut mempunyai kelemahan, yaitu :
a) Penjualan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur
oleh Undang-undang.
b) Penjualan tersebut tidak cepat karena harus menunggu orang
untuk membeli, dan barang laku atau tidaknya memakan waktu
yang lama atau tidak pasti karena menunggu pembeli terlebih
dahulu.
c) Penjualan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap,
karena tidak ada Risalah Lelang.
d) Apabila pihak Debitor merasa dirugikan, maka pihak Debitor
bisa mengajukan tuntutan kepada pihak Kreditor ke Pengadilan
karena penjualannya tidak melalui lelang.
e) Pembayarannya tidak cash, bisa melalui kredit.
f) Dalam hal penjualan tanpa melalui lelang ini tidak transparan,
pihak Debitor tidak mengetahui berapa harga motornya telah
laku terjual.
Kreditor seharusnya mendapat pembinaan dari Kantor Lelang mengenai
perihal barang Jaminan Fidusia ini, karena dalam prakteknya banyak
perusahaan-perusahaan leasing yang ternyata tidak tahu akan proses penjualan
barang Jaminan Fidusia harus melalui lelang. Mengapa hal ini bisa sampai
terjadi, sedangkan menurut Undang-undang Fidusia penjualan barang Jaminan
Fidusia yang utamanya adalah melalui lelang. Hal ini dikarenakan Kantor
Lelang kurang berperan dalam pemberitahuan mengenai hal pelelangan
barang Jaminan Fidusia. Kantor Lelang dapat melakukan pembinaan dengan
cara memberikan brosur-brosur kepada perusahaan-perusahaan leasing atau
menegur para perusahaan leasing tersebut bahwa selama ini perusahaan-
perusahaan leasing telah salah prosedur, Kantor Lelang harus
menginformasikan kepada perusahaan leasing bahwa penjualan barang
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
77
Universitas Indonesia
Jaminan Fidusia itu harus melalui lelang, atau Kantor lelang dapat
menggunakan media, seperti : seminar dan penyuluhan mengenai proses
penjualan barang Jaminan Fidusia, lalu Kantor Lelang harus meningkatkan
pelayanannya serta aktif menghubungi asosiasi perusahaan-perusahaan
leasing (apabila ada) untuk memberikan penjelasan mengenai lelang. Namun
sayang pihak Kreditor belum menyadari betul peranan lelang dalam barang
Jaminan Fidusia padahal seperti yang telah disebutkan sebelumnya sistem
penjualan secara lelang inilah cara yang utama dalam penjualan barang
Jaminan Fidusia.
Berdasarkan penelitian dari penulis terhadap perusahaan-perusahaan
leasing, maka penulis dapat menarik kesimpulan :
a. bahwa ternyata perusahaan leasing ditempat penulis melakukan
penelitian tidak pernah melakukan penjualan secara lelang;
b. bahwa perusahaan-perusahaan leasing tersebut tidak tahu bahwa
penjualan barang Jaminan Fidusia itu harus melalui lelang.
c. Ada perusahaan leasing yang sebenarnya tidak ingin menyimpang dari
peraturan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang, akan tetapi
perusahaan tersebut melakukan lelang yang menurut mereka sudah
benar, tetapi lelang yang mereka lakukan itu bukan lelang dalam makna
yang sebenarnya, lelang yang dilakukan lelang yang tidak sesuai dengan
Vendu Reglement dan Peraturan Menteri Nomor 40/PMK.07/2006. Ini
terjadi karena ketidak tahuan arti dari lelang yang sebenarnya, disini bisa
dilihat bahwa telah terjadi kesalah pahaman mengenai lelang dan ini
adalah tugas dari Kantor Lelang untuk memberitahu tentang lelang
kepada perusahaan leasing.
d. Bahkan ada juga perusahaan leasing yang melakukan penjualan dibawah
tangan tapi perusahaan tersebut tidak melewati prosedur yang telah
ditentukan oleh Undang-undang, yaitu melakukan pengumuman disurat
kabar harian setempat.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
78
Universitas Indonesia
Dalam hal penjualan tanpa melalui lelang ini, belum pernah ada pihak-
pihak yang menggugat, walaupun pembeli membeli kendaraan yang tidak
potensial. Seandainya pembeli membeli kendaraan tersebut melalui lelang
maka pembeli akan mengetahui bahwa barang Jaminan Fidusia tersebut telah
diganti karena sebelum lelang dilaksanakan ada masa dimana peserta lelang
melihat terlebih dahulu kondisi barang. Sedangkan dampak bagi Debitor
adalah Debitor tidak mengetahui berapa hasil penjualan atas barang miliknya
tersebut, disini harga menjadi tidak transparan dan Debitor bisa dirugikan oleh
Kreditor, karena Seandainya barang tersebut laku terjual dengan harga Rp.
100.000.000,- bisa saja Kreditor mengatakan bahwa harga dari kendaraan
tersebut laku hanya Rp. 80.000.000,-.
Dengan beralihnya barang Jaminan Fidusia dari Penjual kepada Pembeli
dengan cara melalui lelang dengan cara pihak Kreditor mengikuti petunjuk
pelaksanaan lelang yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan Republik
Indonesia, maka peralihannya sangat tepat dan akurat. Hal ini dikarenakan :
a. Sistem penjualan melalui pelelangan secara umum adalah sistem yang
paling utama disarankan dalam hal perpindahan hak milik bagi Pembeli
kepada Penjual.
b. Berkekuatan hukum tetap karena dalam proses penjualan barang
Jaminan Fidusia melalui lelang, karena sistem penjualan ini diatur dalam
Peraturan Menteri.
c. Apabila dalam penjualan barang Jaminan Fidusia tersebut melalui lelang
maka Pembeli akan mendapat Risalah Lelang, yang mana Risalah lelang
tersebut adalah laporan mengenai jalannya suatu pertemuan yang
disusun secara teratur dan dipertanggungjawabkan oleh si pembuat dan
atau pertemuan itu sendiri, sehingga mengikat sebagai dokumen resmi
dari kejadian/peristiwa yang disebutkan di dalamnya. Risalah Lelang
adalah Berita Acara Lelang sebagaimana dimaksud Pasal 35 Vendu
Reglement yang bentuknya diatur dalam Pasal 37, 38 dan 39 Vendu
Reglement.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
79
Universitas Indonesia
Peranan lelang sangat tepat dalam hal penjualan barang Jaminan
Fidusia, dan sangat membantu dalam menjual barang Jaminan Fidusia dengan
cepat, effisien dan transparan. Dalam Undang-undang Jaminan Fidusia pun
telah ditentukan mengenai cara penjualan barang Jaminan Fidusia seperti
yang tertuang dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b, dan dalam hal ini negara dalam
membuat Undang-undang Jaminan Fidusia ingin melindungi tidak hanya
pihak Kreditor yang memberikan pinjaman tetapi juga pihak Debitor, karena
itu diwajibkan untuk lelang.
2. Bagaimanakah cara perusahaan leasing mengatasi suatu masalah apabila
ada Debitor yang kendaraannya akan ditarik untuk dilelang telah
melakukan kecurangan seperti mengganti onderdil dari kendaraan yang
akan dilelang tersebut
Terjadinya penarikan kendaraan bermotor Jaminan Fidusia dikarenakan
pihak Debitor telah melakukan wanprestasi dan hal ini terdapat dalam
perjanjian yang telah dibuat antara Kreditor dan Debitor, akan tetapi sebelum
kendaraan tersebut ditarik oleh pihak Kreditor biasanya pihak Debitor dikasih
peringatan terlebih dahulu sebanyak 3 (tiga) kali, apabila peringatan surat
peringatan tersebut tidak ditanggapi maka pihak Kreditor akan memberikan
surat penarikan terhadap barang Jaminan Fidusia tersebut.
Wanprestasi adalah keadaan dimana Debitor tidak memenuhi prestasi
(ingkar janji) yang telah diperjanjikan. Di dalam perjanjian arti wanprestasi
tidak dicantumkan tapi di dalam salinan Akta Jaminan Fidusia telah
dicantumkan mengenai hal ini, seperti yang tertuang dalam Pasal 4 yang
berbunyi :
Tanpa diperlukan somasi atau pemberitahuan lebih dulu kepada PemberiFidusia, bila Pemberi Fidusia atau Debitor tidak memenuhikewajibannya atau ketentuan menurut akta ini, atau Utang dimaksuddalam Perjanjian Pembiayaan belum dibayar lunas walaupun PerjanjianPembiayaan telah berakhir, maka pinjam pakai obyek Jamian Fidusiatersebut menjadi berakhir dan obyek Jaminan Fidusia harus diserahkandengan segera oleh Pemberi Fidusia.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
80
Universitas Indonesia
Hal ini tidaklah bertentangan dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, karena hal ini juga diatur di dalam Pasal 1238 yang berbunyi
:
”Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya
sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Mengenai wanprestasi hanya disampaikan secara lisan saja kepada pihak
Debitor karena Kreditor merasa bahwa pihak Debitor mengerti hukum dan ini
tentu saja salah karena tidak semua orang mengerti hukum. Yang dimaksud
pihak Kreditor dengan wanprestasi adalah Debitor tidak membayar angsuran
pada saat yang telah ditentukan dan Debitor mempunyai itikad tidak baik
dengan cara membawa kabur barang Jaminan Fidusia.
Di dalam praktek wanprestasi yang sering terjadi adalah pihak Debitor
tidak mampu membayar lagi uang angsuran kendaraan bermotor Jaminan
Fidusia tersebut, apabila terjadi maka pihak Kreditor akan mengirimkan surat
peringatan yang pertama, dan apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari
Debitor tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak Kreditor akan
melayangkan surat yang ke dua dengan jangka waktu 14 (empat belas) hari,
dan apabila tidak dipatuhi oleh Debitor dikirimkanlah lagi surat yang ke tiga
dengan jangka waktu 25 (dua puluh lima) hari. Setelah tiga kali pihak Debitor
memberikan surat tapi tidak ditanggapi juga maka Kreditor mengirimkan
surat penarikan dan mengambil barang Jaminan Fidusia tersebut.73
Selama masa peringatan atau teguran yang dilakukan oleh pihak
Kreditor, biasanya Kreditor akan melakukan pengawasan terhadap barang
Jaminan Fidusia tersebut, walaupun pihak Kreditor tidak bisa mengawasi
kegiatan Debitor dalam 1 x 24 jam, tapi setidaknya Kreditor telah melakukan
73 Wawancara., op. cit.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
81
Universitas Indonesia
pengawasan terhadap benda Jaminan Fidusia tersebut. Hal ini dilakukan untuk
meminimalisasi terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh pihak Debitor
terhadap benda Jaminan Fidusia tersebut.74
Skema Tanpa Wanprestasi
Skema Dengan Wanprestasi
Dalam praktek pernah terjadi dimana pihak Kreditor tidak bisa menarik
kendaraan bermotor Jaminan Fidusia dikarenakan Debitor beserta barang
Jaminan Fidusia tersebut menghilang, Debitor telah menjual kendaraan
tersebut kepada orang lain, namun pada akhirnya barang Jaminan Fidusia
tersebut diketemukan dan langsung ditarik oleh pihak Kreditor walaupun
kendaraan tersebut berada ditangan orang lain, hal ini karena Kreditor
memiliki bukti kepemilikan yang kuat yaitu BPKB (Buku Pemilik Kendaraan
Bermotor) yang mana BPKB ini yang menyimpan adalah pihak Kreditor,
sedangkan yang dikasih untuk pihak Debitor hanya STNK (Surat Tanda
74 Wawancara, Derry Martha, Kepala Cabang PT. Batavia Prosperindo Finance, Lampung.
Perjanjian Lancar Lunas
Perjanjian Gagal/Wanprestasi
Peringatan
DitarikLelang
Lesse mendapatkanBPKP & STNK
Lesse pergi keSAMSAT untuk
balik nama
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
82
Universitas Indonesia
Nomor Kendaraan), dan orang yang memegang kendaraan tersebut tidak
memiliki BPKB walaupun STNK berada ditangan orang tersebut. Dalam hal
kecurangan yang lain, penulis pernah menanyakan kepada perusahaan leasing
tempat penulis melakukan penelitian, apakah pernah Debitor melakukan
kecurangan pada saat Kreditor ingin menarik kendaraan tersebut lalu pihak
Debitor menyatakan bahwa STNK nya telah hilang, selama ini karena
kejadian dalam hal Debitor wanprestasi sedikit sekali terjadinya, bisa dibilang
dalam 2 (dua) tahun terakhir ini hanya 3 kali kejadian Debitor melakukan
wanprestasi maka dalam hal Debitor meyatakan STNK hilang tidak pernah
terjadi. Sehingga bila ada pembeli yang menanyakan mengenai kelengkapan
dokumen-dokumen seperti STNK dan BPKB pihak penjual bisa menunjukkan
bahwa surat-surat tersebut lengkap.
Dalam prakteknya beberapa Debitor yang sering melakukan
kecurangan, yaitu adalah pihak Debitor mengganti onderdil dari barang
Jaminan Fidusia sebelum pihak Kreditor melakukan penarikan terhadap
barang tersebut. Dalam hal kecurangan ini penulis pernah menanyakan kepada
perusahaan leasing tempat penulis melakukan penelitian, apakah pernah
Debitor melakukan kecurangan pada saat Kreditor ingin menarik kendaraan
tersebut lalu pihak Debitor menyatakan bahwa STNK nya telah hilang, selama
ini karena kejadian dalam hal Debitor wanprestasi sedikit sekali terjadinya,
bisa dibilang dalam 2 (dua) tahun terakhir ini hanya 3 kali kejadian Debitor
wanprestasi maka dalam hal Debitor meyatakan STNK hilang tidak pernah
terjadi.
Pada umumnya perusahaan leasing tidak mempermasalahkan apabila
ada Debitor yang telah melakukan kecurangan dalam mengganti onderdil
pada kendaraan bermotor Jaminan Fidusia tersebut, karena di dalam kontrak
atau perjanjian pun tidak disebutkan hal ini dan barang Jaminan Fidusia ini
pada akhirnya akan dijual melalui cara pelelangan, dan di dalam lelang
dikenal juga dengan asas ”As Is”, yaitu yang menanggung resiko dalam hal
ini adalah pembeli karena sebelum dilakukan lelang para masyarakat yang
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
83
Universitas Indonesia
ingin menjadi peserta lelang pun telah melihat kondisi barang yang akan
dilelang dan sudah bertanya mengenai kondisi barang tersebut pembeli pada
saat lelang sudah mengetahui kondisi dari kendaraan bermotor tersebut, hal
mengenai tentang waktu melihat dan bertanya mengenai kendaraan bermotor
yang akan dilelang telah diatur dalam Peraturan Menteri No.
40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan asas ”As Is” bisa
kita lihat juga di dalam Risalah Lelang.
Tapi bila perusahaan leasing membiarkan saja apabila ada Debitor
melakukan kecurangan, maka perusahaan leasing akan mengalami kerugian
terhadap pendapatannya, karena apabila hasil penjualan dari barang Jaminan
Fidusia tersebut tidak mampu mencukupi hutang pokoknya Debitor maka
pihak Kreditor tidak bisa lagi menuntut ke pihak Debitor untuk melunasi sisa
hutangnya, karena Debitor beranggapan apabila Kreditor telah menarik
kendaraannya maka hutangnya selesai juga, mengapa pihak Debitor bisa
beranggapan seperti demikian ?, karena dalam perjanjian tidak dicantumkan
mengenai penyelesaian apabila harga jual dari kendaraan tersebut tidak cukup
untuk membayar hutang maka Debitor masih harus menyelesaikan sisa
hutangnya. Hal ini dapat dijadikan pelajaran untuk perusahaan leasing agar
mencantumkan juga klausul mengenai pelunasan sisa hutang apabila
penjualan tersebut tidak bisa menutup hutang pokok Debitor.
Dalam perjanjian penyerahan secara Fidusia antara Kreditor dan Debitor
hanya mencantumkan mengenai perawatan kendaraan saja, hal ini tertuang
dalam Syarat-syarat Perjanjian Pembiayaan Dengan Penyerahan Hak Milik
Secara Fidusia butir ke 11 (sebelas) huruf d, yaitu :
Untuk menjamin kelancaran pembayaran seluruh kewajiban DEBITORkepada KREDITOR, baik yang timbul dari perjanjian ini atau perjanjianlainnya yang dibuat oleh DEBITOR dan KREDITOR, maka DEBITORdengan ini menyerahkan kepada KREDITOR hak miliknya atas Fidusiaatas Barang dan barang-barang jaminan lain yang tercantum dalam butir4 (empat) Perjanjian Pembiayaan Dengan Penyerahan Hak Milik SecaraFidusia (secara bersama-sama disebut ”Barang”) dengan syarat-syaratdan ketentuan-ketentuan yang lazim dipergunakan dalam penyerahanhak milik secara Fidusia, antara lain :
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
84
Universitas Indonesia
d. Debitor wajib memelihara dan mengurus Barang tersebut sebaik-baiknya dan melakukan segera pemeliharaan dan perbaikan atasbiaya sendiri dan bila ada bagian dari kendaraan yang digantiatau ditambah maka bagian itu termasuk dalam penyerahansecara Fidusia kepada Debitor.
Tidak ada klausul yang menyatakan apabila pihak Debitor melakukan
kecurangan dalam mengganti onderdil, maka pihak Kreditor akan
mengenakan sanksi kepada pihak Debitor.
Menurut pendapat penulis, dalam hal perjanjian yang dibuat antara
Kreditor dan Debitor sangatlah lemah, karena tidak mencantumkan klausul
mengenai kecurangan pihak Debitor dalam penggantian onderdil, apabila
pihak Kreditor ingin melindungi barang Jaminan Fidusia tersebut sebaiknya
klausul mengenai kecurangan ini ditambahkan di dalam perjanjian untuk
menanggulangi hal-hal yang biasanya terjadi di dalam praktek, dan sebaiknya
sebelum perjanjian itu ditanda tangani oleh kedua belah pihak, pihak Kreditor
menjelaskan terlebih dahulu isi dari perjanjian tersebut dengan bahasa yang
mudah dimengerti serta akibat-akibat yang terjadi apabila Debitor melakukan
pelanggaran, karena tidak semua orang mengerti akan hukum.
Sebaiknya pihak Kreditor dalam menyelesaikan masalah apabila ada
pihak Debitor yang wanprestasi, lebih baik pihak Kreditor melakukan
tindakan persuasif, dengan cara menanyakan baik-baik apa kendala dari pihak
Debitor sehingga Debitor bisa wanprestasi, sebab apabila cara ini dilakukan
setidaknya membuat pihak Debitor merasa bahwa Debitor masih diberi
kepercayaan dan kesempatan dalam hal penyelesaian hutang dan hal ini
membuat Debitor tetap mempunyai itikad baik dalam membereskan masalah
wanprestasi ini. Hal ini pun bisa mencegah Debitor untuk melakukan
kecurangan terhadap barang Jaminan Fidusia tersebut.
Berdasarkan penelitian penulis terhadap perusahaan-perusahaan leasing
dimana tempat penulis melakukan penelitian, tingkat terjadinya wanprestasi
itu sangat sedikit sekali, kejadian wanprestasi itu hanya terjadi 3 (tiga) kali
dalam 2 (dua) tahun ini. Hal itu dikarenakan sebelum perusahaan leasing
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
85
Universitas Indonesia
memberikan pinjaman kepada Debitor, Debitor harus menyerahkan tanda jadi
(Down Payment) kepada perusahaan leasing dan besarannya telah ditentukan
oleh perusahaan leasing, lalu perusahaan leasing tersebut melakukan survey
terlebih dahulu kepada Debitor, apakah betul Debitor itu telah bekerja dan
Debitor diminta untuk menyerahkan bukti-bukti mengenai identitas dan
pekerjaannya, lalu apabila Debitor tersebut memiliki usaha, maka Kreditor
juga melakukan survey ke tempat usaha milik Debitor tersebut. Hasil dari
survey dimaksudkan untuk menyeleksi apakah Debitor tersebut layak untuk
diberikan pinjaman dan untuk mencegah atau meminimalisir terjadinya
wanprestasi yang bisa berakibat terjadinya kecurangan penggantian onderdil
oleh pihak Debitor dan untuk menjamin kelancaran pembayaran yang
dilakukan Debitor kepada Kreditor.
Permasalahan hukum..., Ellen Mochfiyuni Adimihardja, FH UI, 2010
Top Related