1
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Keuangan Daerah
Menurut Jaya (1999 :11), keuangan daerah adalah seluruh tatanan perangkat
kelembagaan dan kebijaksanaan anggaran daerah yang meliputi pendapatan dan
belanja daerah. Menurut Mamesah (1995 :16), keuangan daerah adalah semua hak
dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik
berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum
dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi, serta pihak lain sesuai
dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimulai dalam penjelasan Pasal 156
Ayat 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, keuangan
daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang
dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Hak daerah tersebut
meliputi :
2
1) Hak menarik pajak daerah,
2) Hak untuk menarik retribusi daerah,
3) Hak mengadakan pinjaman, dan
4) Hak untuk memperoleh dana perimbangan dari pasar.
Sedangkan kewajiban daerah meliputi :
1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia,
2) Memajukan kesejahteraan umum,
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
4) Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Berdasarkan pengertian diatas, pada prinsipnya keuangan daerah mengandung
unsur pokok yaitu hak daerah, kewajiban daerah dan kekayaan yang berhubungan
dengan hak dan kewajiban tersebut.Hak daerah dalam rangka keuangan daerah adalah
segala hak yang melekat pada daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang digunakan dalam usaha pemerintahan daerah mengisi kas daerah.Kewajiban
daerah juga merupakan bagian pelaksanaan tugas-tugas pemerintah pusat sesuai
dengan UUD 1945.
3
2.1.2 Ruang lingkup Keuangan Daerah
Ruang lingkup keuangan daerah ini berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan
Pemerintah No. 58 Tahun 2005 yang mengacu pada ruang lingkup keuangan negara
menurut Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003, bedanya pada ruang lingkup keuangan
daerah tidak ada ruang lingkup yang menyangkut kekayaan pihak lain yang diperoleh
dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.Menurut Abdul Halim
(2002:7) mengemukakan bahwa ruang lingkup keuangan daerah sendiri atas
keuangan daerah yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan
Yang termasuk keuangan daerah yang dikelola langsung adalah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan barang-barang inventaris milik daerah.
Di pihak lain, keuangan daerah yang dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD).
Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah dijelaskan tentang ruang lingkup keuangan daerah
adalah sebagai berikut :
1) Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta
melakukan pinjaman,
2) Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerinth daerah dan
membayar tagihan pihak ketiga,
3) Penerimaan daerah,
4
4) Pengeluaran daerah,
5) Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat
berharga, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah,
6) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan atau kepentingan umum.
Bendahara daerah adalah mereka yang ditugaskan untuk menerima,
menyimpan, membayar atau menyerahkan uang daerah, surat berharga, barang-
barang milik daerah dan tanggungjawab kepada kepala daerah.Sebagaimana halnya
dengan sistem Pengurusan Keuangan Negara, pada Pengurusan Keuangan Daerah
terdiri dari :
(1) Pengurus Umum (Pengurusan Administrasi)
Mengandung hak pengurusan serta memberikan Perintah Menagih dan
Perintah Membayar.Pelaksanaan pengurusan umum ini membawa akibat
pengeluaran dari mendatangkan penerimaan guna menutup pengeluaran-
pengeluaran daerah.
(2) Pengurus Khusus (Pengurus Bendahara)
Mengandung unsur kewajiban yaitu menerima, menyimpan,
mengeluarkan atau membayar uang atau yang disamakan dengan uang
5
dan barang milik daerah dan selanjutnya mempertanggungjawabkan
kepada kepala daerah.
Akan tetapi dengan mengingat prinsip-prinsip organisasi dalam rangka
efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan di daerah, maka wewenang
pengurus tersebut, masing-masing dilakukan secara terpisah antara pejabat otorisator,
ordinasi dan satuan-satuan instansi yang ditunjuk sebagai bendahara.
2.1.3 Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan daerah adalah seluruh kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan
pengawasan keuangan daerah (Halim, 2007: 330). Penyelenggaraan fungsi
pemerintah daerah akan terlaksana secara optimal jika penyelenggaraan urusan
pemerintah diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada
daerah, dengan mengacu pada undang-undang tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah yang besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Menurut Pasal 1 Ayat 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dijelaskan sebagai berikut :
6
Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan
pengawasan keuangan daerah.
Pengertian terebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Perencanaan Pengelolaan keuangan Daerah
Yang harus diperhatikan dalam perencanaan adalah :
(1) Penetapan secara jelas tujuan dan sasaran, hasil dan manfaat, serta
indikator kinerja yang ingin dicapai.
(2) Penetapan prioritas kegiatan dan perhitungan beban kerja, serta
penetapan harga satuan yang rasional.
2) Pelaksanaan dan Penatausahaan Keuangan Daerah
Kepala daerah selaku pemegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintah
daerah adalah juga pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan
daerah.Selanjutnya kekuasaan tersebut dilaksanakan oleh kepala satuan kerja
pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola keuangan daerah dan
dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna
anggaran/barang daerah dibawah koordinasi sekretaris daerah. Pemisahan ini
akan memberikan kejelasan dalam pembagian wewenang dan
tanggungjawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk
7
mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas
pemerintah.
3) Pelaporan dan Pertanggungjawaban
Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang akuntabel dan
transparan, pemerintah daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban
berupa : laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas
laporan keuangan. Laporan keuangan dimaksud disusun sesuai dengan
Standar Akuntansi Pemerintah.Sebelum dilaporkan kepada masyarakat
melalui DPRD, laporan keuangan perlu diperiksa terlebih dahulu oleh BPK.
4) Pengawasan
Pengawasan pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dasar hukum yang mendasari pelaksanaan
pengelolaan keuangan daerah adalah Permendagri No. 59 Tahun 2007 dan
Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.Mardiasmo (2000 : 3) mengatakan bahwa dalam pemberdayaan
pemerintah daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam
pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah :
8
(1) Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan
publik (public oriented);
(2) Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumya
dan anggaran daerah pada khususnya;
(3) Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para
partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD,
KDH, Sekda dan perangkat daerah lainnya;
(4) Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan
pengelolaan keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar,
value for money, transparansi dan akuntabilitas;
(5) Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH dan PNS
Daerah, baik rasio maupun dasar pertimbangannya;
(6) Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja,
dan anggaran multi-tahunan;
(7) Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih
profesional;
(8) Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran
DPRD, peran akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini
dan rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran
kepada publik;
9
(9) Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan,
peran asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan
profesionalisme aparat pemerintah daerah;
(10) Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk
menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan
komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi.
Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan
daerah itu sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk
(1989 : 279-280) adalah sebagai berikut.
(1) Tanggung jawab (accountability). Pemerintah daerah harus
mempertanggungjawabkan keuangannya kepada lembaga atau orang
yang berkepentingan sah, lembaga atau orang itu adalah pemerintah
pusat, DPRD, kepala daerah dan masyarakat umum.
(2) Mampu memenuhi kewajiban keuangan. Keuangan daerah harus
ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua
kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka panjang
maupun pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan.
(3) Kejujuran. Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah
pada prinsipnya harus diserahkan kepada pegawai yang benar-benar
jujur dan dapat dipercaya.
10
(4) Hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency). Merupakan tata
cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga
memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk
mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-
rendahnya dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.
(5) Pengendalian. Aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas
pengawasan harus melakukan pengendalian agar semua tujuan
tersebut dapat tercapai.
Pengelolaan keuangan daerah terdiri atas pengurusan umum dan pengurusan
khusus, Pengurusan umum berkaitan dengan APBD, sedangkan pengurusan khusus
berkaitan dengan barang inventaris daerah Abdul Halim (2002:9). Pengelolaan
Keuangan Daerah dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
daerah.Kepala daerah selaku kepala pemerintahan daerah adalah pemegang
kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam
kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Kepala daerah perlu menetapkan
pejabat-pejabat tertentu dan para bendahara untuk melaksanakan pengelolaan
keuangan daerah
11
2.1.4 Anggaran Pedapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah
suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 17 Tahun 2003 Pasal 1 Butir 8 tentang Keuangan
Negara).
Semua Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah harus dicatat dan dikelola
dalam APBD. Penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut adalah dalam rangka
pelaksanaan tugas-tugas desentralisasi. Sedangkan penerimaan dan pengeluaran yang
berkaitan dengan pelaksanaan dekonsentrasi atau tugas pembantuan tidak dicatat
dalam APBD.
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun
anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah dan
semua belanja daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran
tertentu.Pemungutan semua penerimaan Daerah bertujuan untuk memenuhi target
yang ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran daerah dan ikatan
yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai
jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar
pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan
pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.
12
APBD disusun dengan pendekatan kinerja yaitu suatu sistem anggaran yang
mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi
biaya atau input yang ditetapkan. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD
merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat tercapai untuk setiap
sumber pendapatan.Pendapatan dapat direalisasikan melebihi jumlah anggaran yang
telah ditetapkan.Berkaitan dengan belanja, jumlah belanja yang dianggarkan
merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja.Jadi, realisasi belanja tidak boleh
melebihi jumlah anggaran belanja yang telah ditetapkan.Penganggaran pengeluaran
harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang
cukup.Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas
beban APBD apabila tidak tersedia atau tidak cukup tersedia anggaran untuk
membiayai pengeluaran tersebut.
2.1.5 Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 Ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, fungsi APBD adalah sebagai berikut :
1) Fungsi Otorisasi : Anggaran daerah merupakan dasar untuk melaksanakan
pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
2) Fungsi Perencanaan : Anggaran daerah merupakan pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
13
3) Fungsi Pengawasan : Anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai
apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
4) Fungsi Alokasi : Anggaran daerah diarahkan untuk mengurangi
pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi
dan efektivitas perekonomian.
5) Fungsi Distribusi : Anggaran daerah harus mengandung
arti/memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan
6) Fungsi Stabilisasi : Anggaran daerah harus mengandung arti/harus
menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan
fundamental perekonomian.
2.1.6 Prinsip-prinsip Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Prinsip-prinsip dasar (azas) yang berlaku di bidang pengelolaan anggaran
daerah yang berlaku juga dalam pengelolaan anggaran negara/daerah sebagaimana
bunyi penjelasan dalam Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
yaitu :
1) Kesatuan :Azas ini menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja
Negara/Daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran.
14
2) Universalitas : Azas ini mengharuskan agar setiap transaksi keuangan
ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran.
3) Tahunan : Azas ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu
tahun tertentu.
4) Spesialitas : Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan
terinci secara jelas peruntukannya.
5) Akrual : Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani
untuk pengeluaran yang seharusnya dibayar, atau menguntungkan
anggaran untuk penerimaan yang seharusnya diterima, walaupun
sebenarnya belum dibayar atau belum diterima pada kas.
6) Kas : Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani
pada saat terjadi pengeluaran/ penerimaan uang dari/ ke Kas Daerah.
2.1.7 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari :
1) Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah adalah penambahan dalam manfaat ekonomi selama
periode akuntansi dalam bentuk arus masuk atau peningkatan aset/aktiva,
atau pengurangan utang/kewajiban yang mengakibatkan penambahan ekuitas
15
dana yang berasal dari kontribusi peserta ekuitas dana (Abdul Halim, 2002 :
66).
Pendapatan Daerah adalah arus masuk bruto manfaat ekonomi yang
timbul dari aktivitas atau kegiatan operasi entitas pemerintah selama satu
periode yang mengakibatkan penambahan ekuitas dan yang bukan berasal
dari pinjaman yang harus dikembalikan (Indra Bastian dan Gatot
Soepriyanto, 2002 : 82-83).
Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening
Kas Umum Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan
hak daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh
daerah. Pendapatan asli daerah terdiri atas:
(1) Pajak daerah;
(2) Retribusi daerah;
(3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
(4) Lain-lain PAD yang sah, terdiri dari :
a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
b. Hasil pemanfaatan atau pendayagunaan kekayaan daerah yang
tidak dipisahkan;
c. Jasa giro;
d. Pendapatan bunga;
16
e. Tuntutan ganti rugi;
f. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
dan;
g. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
(5) Dana Perimbangan; terdiri dari :
a. Dana Bagi Hasil
b. Dana Alokasi Umum (DAU), dan
c. Dana Alokasi Khusus (DAK)
(6) Lain-lain pendapatan daerah yang sah, meliputi hibah, dana darurat,
dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hibah
yang merupakan bagian dari Lain-lain Pendapatan daerah yang sah
merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal
dari pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar
negeri yang tidak mengikat
2) Belanja Daerah
Belanja daerah merupakan penurunan dalam manfaat ekonomi selama
periode akuntansi dalam bentuk arus kas keluar atau deplesi aset, atau
terjadinya utang yang mengakibatkan berkurangnya ekuitas dana, selain yang
berkaitan dengan distribusi kepada para peserta ekuitas dana (Abdul Halim,
17
2002 : 73). Menurut PP RI No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah diungkapkan pengertian belanja
yaitu: Belanja Daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode
tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.
Komponen berikutnya dari APBD adalah Belanja Daerah. Belanja daerah
meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang
mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam
satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh
daerah.Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang
terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan
perundang-undangan.Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi,
fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja.Klasifikasi belanja menurut
organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah.
Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari:
(1) Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan; dan
(2) Klasifikasi fungsi pengelolaan keuangan negara.
Klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan diklasifikasikan
menurut kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan
18
klasifikasi belanja menurut fungsi pengelolaan negara digunakan untuk tujuan
keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara terdiri dari:
(1) Pelayanan umum;
(2) Ketertiban dan keamanan;
(3) Ekonomi;
(4) Lingkungan hidup;
(5) Perumahan dan fasilitas umum;
(6) Kesehatan;
(7) Pariwisata dan budaya;
(8) Agama;
(9) Pendidikan; serta
(10) Perlindungan sosial.
Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Sedangkan klasifikasi
belanja menurut jenis belanja terdiri dari:
(1) Belanja pegawai;
(2) Belanja barang dan jasa;
(3) Belanja modal;
(4) Bunga;
(5) Subsidi;
19
(6) Hibah;
(7) Bantuan sosial;
(8) Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan; dan
(9) Belanja tidak terduga.
3) Pembiayaan
Pembiayaan daerah meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar
kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pembiayaan daerah tersebut terdiri dari penerimaan pembiayaan dan
pengeluaran pembiayaan.
Penerimaan pembiayaan mencakup:
(1) SiLPA tahun anggaran sebelumnya;
(2) Pencairan dana cadangan;
(3) Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan;
(4) Penerimaan pinjaman; dan
(5) Penerimaan kembali pemberian pinjaman.
(6) Pengeluaran pembiayaan mencakup:
a. Pembentukan dana cadangan;
b. Penyertaan modal pemerintah daerah;
20
c. Pembayaran pokok utang; dan
d. Pemberian pinjaman.
(7) Pembiayaan neto merupakan selisih lebih penerimaan pembiayaan
terhadap pengeluaran pembiayaan. Jumlah pembiayaan neto harus
dapat menutup defisit anggaran.
Selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut surplus
anggaran, tapi apabila terjadi selisih kurang maka hal itu disebut defisit anggaran.
Jumlah pembiayaan sama dengan jumlah surplus atau jumlah defisit anggaran.
2.1.8 Analisis Laporan Keuangan
Menurut Soemarso (2006 : 430), analisis laporan keuangan adalah hubungan
antara suatu angka dalam laporan keuangan dengan angka lain yang mempunyai
makna atau dapat menjelaskan arah perubahan (trend) suatu fenomena. Menurut Drs.
Djarwanto P.S, analisis laporan keuangan merupakan suatu proses analisis terhadap
laporan keuangan, dengan tujuan untuk memberikan tambahan informasi kepada para
pemakai laporan keuangan untuk pengambilan keputusan ekonomi, sehingga kualitas
keputusan yang diambil akan menjadi lebih baik.Menurut Ikatan Akuntan Indonesia,
analisis laporan keuangan adalah analisis terhadap neraca dan perhitungan rugi laba
serta segala keterangan-keterangan yang dimuat dalam lampiran-lampiran nya untuk
mengetahui gambaran tentang posisi keuangan dan perkembangan usaha perusahaan
yang bersangkutan.
21
Analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan
berdasarkan laporan keuangan yang tersedia.Dalam mengadakan analisis keuangan
memerlukan ukuran tertentu.Ukuran yang sering digunakan adalah rasio. Erich
Helfert (2000 :49) mengartikan rasio adalah suatu angka yang menunjukkan
hubungan suatu unsur dengan unsur lainnya dalam laporan keuangan. Sedangkan
Slamet Munawir (1995:64) menjelaskan rasio sebagai hubungan atau perimbangan
antara satu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain.
Selayaknya laporan keuangan sektor swasta yang berorientasi pada laba, pada
sektor publikyaitu laporan keuangan pemerintahpun memiliki alat ukur rasio
diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Rasio Kemandirian
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah menunjukkan tingkat kemampuan
suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan
dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi
sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio kemandirian
ditunjukkan oleh besarnya pendapatan asli daerah dibandingkan
dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain (pihak
ekstern) antara lain : Bagi hasil pajak, Bagi hasil Bukan Pajak Sumber Daya
Alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat dan
Dana Pinjaman (Widodo, 2001 : 262).
22
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐾𝑒𝑚𝑎𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖𝑎𝑛 =𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑎𝑠𝑙𝑖 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
𝐵𝑎𝑛𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑟𝑖𝑛𝑡𝑎ℎ 𝑝𝑢𝑠𝑎𝑡 𝑥 100%
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap
sumber dana ekstern. Semakin tinggi resiko kemandirian mengandung arti
bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern semakin
rendah dan demikian pula sebaliknya.Rasio kemandirian juga
menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan
daerah.Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi
masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan
komponen utama pendapatan asli daerah.Semakin tinggi masyarakat
membayar pajak dan retribusi daerah menggambarkan bahwa timgkat
kesejahteraan masyarakat semakin tinggi.
Tabel 2.1Pola Hubungan Tingkat Kemampuan Daerah
Kemampuan Keuangan Kemandirian (%) Pola hubungan
Rendah sekali
Rendah
Sedang
Tinggi
0%-25%
25%-50%
50%-75%
75%-100%
Instruktif
Konsultatif
Partisipatif
Delegatif
Sumber : Abdul Halim (2002 : 169)
23
2) Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi Fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi.
Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan
mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor
publik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan
yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi
Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi / Bantuan dari
Pemerintah Pusat.
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐷𝑒𝑟𝑎𝑗𝑎𝑡 𝐷𝑒𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝐹𝑖𝑠𝑘𝑎𝑙 =𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐴𝑠𝑙𝑖 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑥 100%
Tabel 2.2Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal
% Kemampuan Keuangan Daerah
0,00-10,00 Sangat Kurang
10,01-20,00 Kurang
20,01-30,00 Cukup
30,01-40,00 Sedang
40,01-50,00 Baik
>50,00 Sangat baik
Sumber : Anita Wulandari (2001 : 22)
24
3) Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Indeks Kemampuan Rutin merupakan proporsi antara PAD dengan
pengeluaran rutin tanpa transfer dari pemerintah pusat (Kuncoro,1997).
Sedangkan dalam menilai Indeks Kemampuan Rutin daerah (IKR) dengan
menggunakan skala menurut Tumilar (1997 : 15) sebagaimana yang terlihat
dalam tabel 2.4 sebagai berikut :
Tabel 2.3Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin
% Kemampuan Keuangan Daerah
0,00-20,00 Sangat Kurang
20,01-40,00 Kurang
40,01-60,00 Cukup
60,01-80,00 Baik
80,01-100 Sangat baik
Sumber : Anita Wulandari (2001 : 22)
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝐾𝑒𝑚𝑎𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛 𝑅𝑢𝑡𝑖𝑛 = 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑅𝑢𝑡𝑖𝑛
𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐴𝑠𝑙𝑖 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ𝑥 100%
4) Rasio Belanja Rutin dan Belanja Modal
Menurut Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), pengertian belanja modal
adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang
25
sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari
satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya
pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat,
serta meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Dalam SAP, belanja modal
dapat diaktegorikan ke dalam 5 (lima) kategori utama, yaitu:
(1) Belanja modal tanah;
(2) Belanja modal peralatan dan mesin;
(3) Belanja modal gedung dan bangunan;
(4) Belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan; dan
(5) Belanja modal fisik lainnya
Mardiasmo (2002 : 185) mendefinisikan belanja aparatur daerah adalah
belanja belanja yang berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan
belanja pemeliharaan.
Keserasian ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja
pembangunan secara optimal. Semakin tinggi presentase dana yang
dialokasikan untuk belanja rutin berarti presentase belanja pembangunan yang
digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat
cenderung semakin kecil. Secara sederhana rasio keserasian ini dapat
diformulasikan sebagai berikut (Widodo, 2001 : 262)
26
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑅𝑢𝑡𝑖𝑛 𝑇𝑒𝑟ℎ𝑎𝑑𝑎𝑝 𝐴𝑃𝐵𝐷 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑅𝑢𝑡𝑖𝑛
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑃𝐵𝐷𝑥100%
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑀𝑜𝑑 𝑎𝑙 𝑇𝑒𝑟ℎ𝑎𝑑𝑎𝑝 𝐴𝑃𝐵𝐷 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑙𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑃𝐵𝐷𝑥100%
Menurut Widodo (2001 : 261), adapun pihak-pihaknya yang berkepentingan
dengan rasio keuangan pada APBD ini adalah :
1) DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah (masyarakat).
2) Pemerintah eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD
berikutnya.
3) Pemerintah pusat/provinsi sebagai bahan masukan dalam pembinaan
pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.
4) Masyarakat dan kreditur, sebagai pihak yang akan turut memiliki saham
pemerintah daerah, bersedia memberi pinjaman ataupun membeli
obligasi.
Top Related