16
BAB II
KONSEP KESELAMATAN
(Sebuah Kajian Teoritik Sosio-teologis)
2.1 Pengantar
Sebelum membahas tentang konsep/ajaran tentang keselamatan dari sudut
pandang teoritis, terlebih dahulu penulis akan memaparkan sumber yang
melahirkan ajaran tersebut. Sumber yang dimaksud adalah agama. Oleh karenanya
agama dapat dikatakan sebagai pondasi bagi berdiri/lahirnya berbagai macam
ajaran-ajaran yang diyakini dalam sistem kepercayaan tersebut. Dalam pemaparan
ini, penulis akan menggunakan pengertian agama dari sudut pandang sosiologis
yang akrab dengan pendekatan fungsionalnya. Lewat sudut pandang ini, kiranya
dapat mengantarkan penulis dalam melihat agama sebagai sebuah fenomena sosial
yang mampu mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia yang
menganutnya. Sudut pandang sosiologis juga memandang masyarakat sebagai
suatu lembaga sosial yang membentuk kegiatan manusia berdasarkan norma-
norma yang dianut bersama serta dianggap sah dan mengikat peran serta manusia
itu sendiri.1 Oleh karenanya (sosiologis), agama tidak lagi dipandang sebagai
sesuatu yang berasal dari ‘luar’ tetapi dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari
manusia itu sendiri yang kemudian terwujud dalam kehidupan bermasyarakat.
Berbicara tentang agama dari sudut pandang sosiologis, tampaknya pemikiran
Emile Durkheim tidak terlepas dalam konteks ini. Konsep Durkheim tentang
agama, juga tidak terlepas dari argumentasinya tentang agama sebagai bagian dari
1 Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama. Pengenalan Awal, (Jakarta: Rajawali, 1987), 3.
17
fakta sosial.2 Pemikiran-pemikiran Durkheim dalam bidang agama banyak dimuat
dan dipublikasikan terutama dalam buku The Elementary Form of Religion Life.
Durkheim, berbeda dengan peneliti lain yang hidup pada masanya yang lebih
disibukan dengan ide konvensional bahwa agama merupakan kepercayaan kepada
kekuatan super-natural seperti Tuhan atau dewa-dewi, namun Durkheim lebih
melihat agama sebagai ekspresi dari masyarakat yang bersatu.
Untuk mengeksplorasi agama, Durkheim memilih agama primitif sebagai
subjek penelitiannya. Pilihan itu jatuh pada suku Arunta di Australia. Dalam
penelitian ini, Durkheim memusatkan perhatiannya pada totem3 yang mana
menurutnya totem merupakan bentuk sederhana dari agama karena masyarakat
Arunta tidak bisa ada tanpa adanya totem. Setiap anggota klan/marga terikat satu
sama lain bukan karena hubungan darah dan kesamaan tempat tinggal melainkan
keterikatan tersebut muncul karena memiliki nama dan lambang totem yang
sama.4 Hal ini terlihat dalam hubungan ibu dan anak yang memiliki totem berbeda
kemudian mereka harus berpisah dan bersatu dengan klan yang totemnya sama
dengan mereka.5 Oleh karena itu, keberadaan totem merupakan simbol atau tanda
persatuan/persaudaraan yang pada saat-saat tertentu melampaui persaudaraan
karena hubungan darah (hubungan biologis).
2 Dalam pemikiran Durkheim, masyarakat adalah fakta sosial sedangkan agama merupakan
ekspresi atau representasi dari masyarakat kolektif. Bernard Raho, Agama dalam Perspektif
Sosiologi, (Jakarta: Obor, 2013), 38. 3 Istilah totem berasal kata ototeman yang berarti persaudaraan. Kata tersebut merupakan
bahasa dari suku Ojibwa (suku Algonkin dari Amerika Utara) yang kemudian ditulis secara
beragam totem, tatam, dodain. Totemisme merupakan fenomena yang menunjuk kepada hubungan
organisasioanal khusus antara suatu suku bangsa atau klan dengan spesies tertentu dalam suatu
wilayah binatang atau tumbuhan. Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi (Menurut Emile
Durkheim dan Henri Bergson), (Kanisius: 1994), 50. Bnd. Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi
Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 74. 4 Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (Sejarah Bentuk-bentuk Agama
Paling Mendasar), (Jogjakarta:IRCISoD, 2011), 252. 5 Ibid, 368-369.
18
Selanjutnya, pandangan Durkheim terpusat pada klaimnya bahwa agama
adalah sesuatu yang benar-benar bersifat sosial. Menurut Durkheim, fungsi sosial
agama tersebut ditemukannya melalui observasi terhadap bentuk-bentuk
kepercayaan yang paling awal yaitu ”totemisme”. Totem dalam pandangan
Durkheim merupakan sumber kehidupan moral sebuah klan/marga. Segala
sesuatu yang bernaung di bawah prinsip totemik yang sama, menganggap dirinya
terikat satu sama lain secara moral dan berkewajiban untuk saling tolong-
menolong satu sama lain dan inilah yang membentuk pertalian darah. Oleh
karena-nya, prinsip dasar totemik adalah kekuatan fisikal dan sekaligus kekuatan
moral.6 Selain sebagai sumber kehidupan moral, keberadaan totem juga
merupakan tanda atau simbol dari tuhan dan kelompok (masyarakat7). Oleh
karena-nya, tuhan dalam konteks masyarakat totemisme adalah masyarakat itu
sendiri.8
Dalam kepercayaan totemik terdapat ide-ide sosial dan keagamaan hanya
hidup dalam kesadaran individu dan ide-ide tersebut perlu ditegaskan kembali
melalui berbagai ritual agama agar kehidupan sosial terus berlanjut. Peristiwa-
peristiwa ritual yang dicermati oleh Durkheim, bukan sebagai peristiwa yang
melahirkan ide-ide tentang ‘yang sakral’, tetapi sebagai suatu cara untuk
mengukuhkan kembali fakta sosial dan khususnya ide-ide tentang klan yang telah
ada sebelumnya serta semua simbol-simbol yang menyertainya. Keberadaan
totemisme dalam masyarakat Australia mengantarkan Durkheim pada sebuah
pandangan bahwa agama secara khas merupakan persoalan kolektif dari
6 Ibid, 283 dan 305. 7 Masyarakat menurut Durkheim sebagai sebagai fakta sosial yang merupakan istilah dari
aliran fungsional-struktural. Lih, dalam catatan kaki, Ibid, 305 8 Ibid.
19
masyarakat yang mempunyai keprihatian yang sama dan keprihatinan itu tertuju
pada totem yang merupakan simbol kesatuan dengan klan mereka.
Penelitian Durkheim pada totemisme bermuara pada pandangannya tentang
agama bahwa: “Agama merupakan kesatuan sistem kepercayaan dan praktek-
praktek yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral, yaitu hal-hal yang dipisahkan
dan terlarang; kepercayaan dan praktek-praktek itu disatukan dalam komunitas
moral tunggal yang disebut Gereja.”9
Ada dua hal yang penulis anggap sebagai hal yang menarik untuk dilihat
terkait dengan pengertian yang dikemukakan Durkheim yaitu pertama;
kepercayaan dan praktek-praktek sakral. Kepercayaan dan praktek-praktek
merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam setiap agama primitif. Kedua hal
tersebut merupakan kenyataan yang terdapat dalam agama dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, dalam arti bahwa ketika ada kepercayaan terhadap
sesuatu yang dianggap ilahi maka pada saat yang bersamaan pula terdapat
praktek-praktek keagamaan untuk mengakui yang ilahi itu. Kemudian yang kedua
adalah komunitas moral yang disebut Gereja. Hal ini mengisyaratkan bahwa
agama tidak dapat terpisah dari kehidupan kemasyarakatan. Agama juga
membangkitkan perasaan satu komunitas dalam satu kelompok. Dengan kata lain
agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti yang terwujud
dalam ritus-ritus keagamaan. Kesadaran kolektif tersebut tidak selamanya selalu
solid namun lambat laun juga semakin lemah. Oleh kerena itu masyarakat
beragama selalu mengadakan ritus-ritus tersebut secara berkesinambungan secara
periodik sehingga rasa kesatuan dan kebersamaan itu selalu ada dalam kehidupan
9 Ibid, 80. Bnd. Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, (Oxford
University Press, 2001), 62.
20
bermasyarakat.10 Oleh karenanya, Durkheim menganggap bahwa ritus merupakan
sarana yang mana kelompok masyarakat secara periodik mengukuhkan kembali
dirinya.11
Dari pandangan Durkheim ini, dapat diketahui bahwa ritual-ritual keagamaan
tidak lain adalah merupakan cara yang paling mendasar untuk mengekspresikan
dan menguatkan kembali sentimen (rasa) dan solidaritas kelompok. Jadi seluruh
pandangan Durkheim tentang agama terpusat pada klaimnya bahwa agama adalah
sesuatu yang amat bersifat sosial, dalam arti bahwa dalam setiap kebudayaan,
agama adalah bagian yang paling berharga dari seluruh kehidupan sosial. Ia
melayani masyarakat dengan menyediakan ide, ritual dan perasaan-perasaan yang
akan menuntun seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain penjelasan tentang agama di atas, dari segi lahir atau munculnya,
agama dapat dibedakan menjadi dua jenis agama yaitu agama antroposentrik dan
agama theosentrik12. Agama antroposentrik maupun agama theosentrik
mempunyai perhatian yang utama yaitu perhatian yang bersifat kosmologis dan
seteriologis13. Perhatian yang bersifat kosmologis akan mempunyai perhatian
yang besar terhadap dunia dan hal-hal lain dari kosmos. Perhatian kosmologis
memberikan penekanan pada aspek keyakinan religiusnya dan mencoba
memahami karakter fundamental alam semesta yang diresapi lewat ritus-ritus.
Kemudian, perhatian agama yang bersifat seteriologis menggambarkan manusia
yang berada dalam situasi yang berbahaya dan terkutuk dalam kehancuran yang
10 Bernard Raho, Agama..., 38 11 Durkheim, dalam Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama..., 23. 12 Suhardi. Ritual Pencarian Jalan Keselamatan Tataran Agama Dan Masyarakat Perspektif
Antropologi, (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Antropologi Pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gajah Mada, 2009), 6-11. 13 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi..., 293-294.
21
membutuhkan keselamatan dalam arti pembebasan dari kejahatan maupun
keselamatan dalam arti kebahagian yang sempurna.
Dalam pembahasan selanjutnya, penulis akan menggambarkan ke-dua jenis
agama tersebut yaitu agama antroposentrik dan agama theosentrik.
2.1.1 Agama Antroposentrik
Agama secara antroposentris banyak diformulasikan oleh ahli-ahli
antropologi pada awal abab XIX. Bahan-bahan yang digunakan untuk menyusun
teori-teori ini bersumber dari benda-benda artefak manusia purba dan masyarakat
primitif yang masih hidup. Asumsi dari teori ini adalah bahwa masyarakat primitif
itu dianggap sebagai percontohan kebudayaan purba yang tetap bertahan hidup
sampai pada masa kini. Dengan kata lain, kebudayaan primitif itu dipandang
sebagai gambaran tingkat awal kebudayaan manusia dalam proses evolusi yang
sudah berlangsung ribuan tahun silam. Sebagai contoh dalam konteks kehidupan
keagamaan, gambaran awal kehidupan keagamaan dari masyarakat primitif
termanifestasi dalam pen-dewa-an mereka terhadap spesies hewan dan tanaman
sebagai objek yang keramat yang merepresentasikan masyarakatnya dan sebagai
simbol nurani dan semangat masyarakat tersebut. Dengan demikian nurani atau
semangat kolektif itu diyakini sebagai daya spiritual yang menjiwai masyarakat
itu sendiri yang divisualisasikan dalam benda atau makhluk yang dianggap sakral
(seperti totem dalam masyarakat Arunta-Australia). Tentu saja tujuannya adalah
berharap agar mendapatkan perlindungan dan jaminan kesejahteraan.
Perlindungan dalam hal ini tentu sangat berkaitan dengan fenomena alam
(kosmis) yang merupakan sumber kehidupan dan sekaligus sebagai sumber
malapetaka bagi manusia. Pengharapan untuk mendapatkan perlindungan ini-lah
22
yang kemudian terwujud dalam berbagai cultus atau ritual yang dilakukan oleh
masyarakat baik secara individu maupun kelompok untuk memuja kepada objek
yang dianggap sakral bagi masyarakat tersebut. Proses utama ritus ini adalah
mempersembahkan hewan korban, hasil alam dan makan secara komune.
Selanjutnya, agama antroposentris memiliki pandangan bahwa kosmos itu
rapuh dan semakin rusak dalam kelangsungan waktu sehingga alam semesta
secara periodik berada dalam bahaya yang serius. Oleh karena-nya manusia
antroposentris cenderung untuk melakukan berbagai macam ritus secara periodik
untuk mengembalikan dan memperbaharui kosmos maupun kehidupan dalam
kosmos itu sendiri. Manusia antroposentris melakukan ritus-ritus semacam itu
karena mempunyai keyakinan bahwa pasti ada kekuatan supranatural yang setiap
saat dapat mengendalikan eksistensi dari kosmos dan dipercaya telah memberikan
kehidupan bagi alam semesta.
Keselamatan dalam agama antroposentris dapat diketahui lewat fenomena-
fenomena alam yang terjadi atau dialami oleh manusia antroposentris. Fenomena-
fenomena tersebut seperti: tidak terjadi bencana alam, makanan berlimpah,
kedamaian, masyarakat yang harmonis dan hidup manusia yang bahagia.
Demikian hal-nya jika keselamatan itu tidak terjadi dapat diketahui lewat tanda-
tanda seperti: kemarau yang panjang, sakit penyakit, kelaparan, dsb. Jadi
keselamatan dalam agama antroposentrik tidak terletak pada kepentingan akan
keselamatan pada setiap individu atau keselamatan setelah kematian melainkan
memberikan perhatian utama pada keselamatan kosmos14.
14 Ibid. 295.
23
Dalam agama antroposentris, anti-sosial merupakan hakikat dosa dalam arti
bahwa dosa merupakan tindakan yang menghancurkan ajaran-ajaran atau kata-
kata yang baik. Dosa merupakan suatu perbuatan yang merusak atau menodai
daya hidup orang lain, seperti perselisihan dengan kerabat, kekerasan, mencuri,
berzinah, dsb, yang mana tindakan-tindakan tersebut merupakan tindakan-
tindakan anti-sosial karena melanggar kata-kata yang baik. Bobot kebaikan dan
kejahatan diukur menurut akibat dari tindakan-tindakan yang dihasilkan terhadap
orang lain.15 Jika orang melakukan kejahatan, agama antroposentrik tidak
mengenal tentang pemberian sanksi atau hukuman melainkan hukuman tersebut
akan dialami oleh si pelaku kejahatan dalam menjalani kehidupannya.
2.1.2 Agama Theosentrik
Penjelasan tentang agama antroposentrik diatas mengarahkan kita pada
pemahaman bahwa agama muncul dari manusia yang berbudaya karena
kehidupan kolektifitasnya. Dengan kata lain agama muncul sebagai ekpresi dari
individu-individu yang hidup bermasyarakat. Berbeda dengan agama theosentrik.
Agama theosentrik berasumsi bahwa lahirnya agama merupakan intervensi alam
transenden terhadap hati nurani manusia. Pada intinya agama muncul karena
kehendak Tuhan. Teori ini berasumsi bahwa Tuhan mengilhami pikiran manusia
sehingga ia mampu berpikir tentang sesuatu yang absolut, sempurna tiada batas,
maha tau, maha kuasa yaitu Tuhan. Dunia sebagai ciptaan-Nya tidak ada yang
sempurna termasuk manusia. Gagasan tentang Tuhan pun bersumber dari Tuhan
sendiri dan itu bukan-lah sesuatu yang ditentukan oleh pikiran manusia.
15 Lih. Ibid.
24
Demikian hal-nya juga tentang ajaran-ajaran yang bersumber dari Tuhan.
Seperti hal-nya tentang ajaran keselamatan. Manusia memperoleh keselamatan
bukan karena usaha manusia itu sendiri melainkan manusia diselamatkan karena
anugerah yang berasal dari Tuhan (seperti dalam ajaran Kristen). Selanjutnya
paham kebenaran agama dari agama theosentris ini juga berasal dari Tuhan atau
dengan kata lain agama A lebih benar dari agama B, C dan seterusnya. Agama A
menjadi paling benar karena sudah diwahyukan oleh Tuhan bahwa agama ini-lah
yang paling benar. Untuk mempertahankan kebenaran itu manusia tinggal
mengikuti berbagai ajaran-ajarannya maka manusia itu sudah pasti mendapat
jaminan keselamatan.
Atas dasar kebenaran agama ini-lah yang kemudian oleh Nabeel Jabbour
sebagai seorang teolog Kristen yang menaruh perhatian pada sikap hidup umat
beragama. Jabbour mengelompokkan sikap itu dalam tiga bentuk yaitu; 16
pertama, etnosentrisitas atau eksklusif. Sikap seperti ini merupakan sikap manusia
beragama yang tertutup dengan keberadaan agama (manusia) lain karena ‘agama
yang lain’ itu tidak sama dengan agama yang dianutnya. Agama yang lain itu
dianggap sebagai agama yang tidak benar (kafir), tidak beradab, bukan diturunkan
dari ‘atas’, dan sebagainya, yang pada intinya agama lain itu tidak setara
(direndahkan) dengan agama yang dianutnya. Manusia beragama seperti ini
cenderung dengan kehidupan berkelompok yang memiliki agama yang sama. Jika
terdapat individu dari kelompok agama yang lain, maka individu tersebut
dianggap sebagai ancaman yang dapat ‘merusak atau menodai’ kesucian
agamanya karena individu tersebut berasal dari agama yang tidak benar. Sikap
16 Dalam Ebenhaezer I Nuban Timo, Gereja Lintas Agama, Pemikiran-pemikiran Bagi
Pembaharuan Kekristenan di Asia, (Satya Wacana University Press, 2013), 202-212.
25
seperti ini menurut Jabbour tentu saja tidak salah karena hal itu terjadi demi
menjaga kemurnian dan ke-solid-an dalam kelompok. Tetapi yang salah dari sikap
ini adalah tidak terjalinnya hubungan baik yang terjalin dengan kelompok yang
lain. Sikap seperti ini hanya akan memupuk sikap saling curiga antara yang satu
dengan yang lain. Kedua, kehidupan duniawi atau kehidupan yang menyatu
dengan dunia. Sikap ini merupakan sikap hidup manusia beragama yang hidup
membaur dengan manusia beragama lain. Bahaya dari sikap hidup semacam ini
menurut Jabbour adalah ketika terhanyut dalam kehidupan yang membaur itu,
maka pada akhirnya akan kehilangan identitas diri, hilangnya nilai-nilai dasar
yang menjadi pijakan dan pembentuk karakter dari individu tersebut. Kemudian
sikap hidup manusia beragama yang ketiga adalah sikap hidup tinggal diantara
bangsa-bangsa. Sikap hidup seperti ini adalah sikap hidup yang sama dengan
sikap hidup yang diatas bahwa manusia beragama itu hidup di antara manusia
yang berbeda dengannya. Perbedaannya adalah bahwa sikap hidup yang ketiga ini
tidak bermuara pada kehilangan identitas namun ia tetap menjaga identitas
tersebut sebagai pedoman untuk hidup bersama dengan manusia yang berbeda
dengannya. Menurut Jabbour, manusia seperti ini bagaikan ragi atau garam yang
mengkhamiri masyarakat dengan anugerah dan kebenaran.
Agama (antrposentrik dan teosentrik) dengan keberadaannya dalam
kehidupan bersama (bermasyarakat) memiliki kontribusi dalam mempengaruhi
masyarakat penganutnya. Pengaruh tersebut tentu saja memiliki ‘wajah’ yang
beraneka-ragam dalam arti bahwa wajah agama dapat mendukung kehidupan
bersama dan tanpa dipungkiri bahwa wajah agama juga dapat merusak kehidupan
bersama. Wajah agama yang baik maupun buruk tentu saja berkaitan erat dengan
26
ajaran agama dan sikap manusia beragama tersebut dalam memperlakukan ajaran
agamanya. Agama antroposentrik dan theosentrik mendokumentasikan ajaran-
ajaran yang berbeda baik konsepsinya tentang alam transenden, dalam relasinya
dengan sesama, dengan alam semesta maupun jalan yang harus ditempuh manusia
untuk bersekutu dengan Tuhan. Langkah pencarian jalan keselamatan pun berbeda
di mana agama theosentrik mendoktrinkan jalan keselamatan sedangkan agama
antroposentrik mendoktrinkan jalan kosmologis. Jalan keselamatan dalam
perspektif kosmologis hanya dapat dicapai dengan cara menanggalkan semua
keinginan duniawi sehingga jiwa manusia bebas dari belenggu kosmis, sedangkan
jalan keselamatan menurut theosentris lebih berorientasi pada mempertahankan
kebenaran agama lewat berbagai macam kultus.
2.2 Keselamatan: Tujuan Akhir Manusia Beragama
Sebelum membahas lebih jauh tentang ajaran keselamatan, terlebih dahulu
penulis akan menjelaskan keselamatan yang penulis maksudkan dalam tulisan ini.
Secara terminologi, keselamatan berasal dari kata dasar ‘selamat’. Menurut kamus
besar bahasa Indonesia, selamat memiliki arti terbebas atau terhindar dari bahaya,
malapetaka, bencana, tidak kurang suatu apa, tidak mendapat gangguan, selalu
sehat, tercapai maksud, tidak gagal, sebuah doa yang mengandung harapan
supaya sejahtera (beruntung, tidak kurang suatu apa, dsb). Kata selamat jika
ditambahkan dengan awalan ke dan akhiran an maka kata itu menjadi sebuah kata
sifat yang menunjukkan pada situasi selamat. Situasi dalam hal ini adalah situasi
yang penuh dengan kehidupan damai, tidak terjadi permusuhan dalam setiap
aspek kehidupan manusia baik antara sang Ilahi, antar sesama manusia maupun
antara alam semesta.
27
Ajaran tentang keselamatan merupakan sebuah ajaran yang sudah menjadi
tujuan akhir dari setiap manusia yang beragama. Ajaran keselamatan yang dianut
oleh setiap manusia yang beragama itu tentu mempunyai pemahaman dan
pemaknaan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tentu saja dipengaruhi oleh
konteks agama itu muncul dan berkembang.
Keselamatan dalam tataran spiritual adalah identik dengan selamat dari
kondisi manusiawi yang eksistensinya terbelenggu, situasi keterikatan pada
kemalangan karena kelahiran kembali dan semua kejahatan yang merupakan
konsekuensi dari jenis eksistensi ini; keselamatan dari penderitaan dan hasrat atau
nafsu darimana muncul semua kesengsaraan manusia dan ketidak-bahagiaan.17
Secara mendasar, keselamatan berarti pembebasan, pelepasan dari hasrat
manusiawi yang tidak pernah berakhir. Semua usaha-usaha manusia untuk
menyingkirkan yang jahat dan menjadi satu dengan yang ilahi secara definitif
merupakan jalan-jalan keselamatan dan pencapaian terakhir dari tujuan ini adalah
keselamatan itu sendiri.
Keselamatan yang ingin dicapai oleh manusia yang beragama itu tidak
semata-mata bersifat keselamatan dalam bentuk fisik melainkan juga keselamatan
dalam bentuk psikologis dan spiritual. Secara naluriah manusia selalu mencari
ketenangan dan keamanan. Oleh karenanya manusia menjadikan sesuatu yang
berada di luar jangkauan alam pikirannya yang disebut ilahi sebagai sumber untuk
memperoleh ketenangan dan keamanan. Dalam usaha untuk memperoleh tujuan
itu, tentu ada berbagai hal yang harus dilakukan dan dihayati oleh manusia
sebagai wujud ketaatannya kepada yang ilahi. Hal yang dilakukan dan dihayati
17 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi..., 316.
28
oleh manusia beragama tersebut terwujud dalam ritus dan mitos. Ritus dan mitos
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena kedua hal tersebut adalah
sebuah ‘ekspresi’ manusia beragama terhadap yang ilahi dalam usaha untuk
mendapatkan keselamatan.
2.2.1. Ritus : Sebagai Tindakan Mencapai Keselamatan
Keberadaan agama dan ritual pada dasarnya tidak dapat dipisahkan, ibarat
dua sisi mata uang yang jika dipisahkan maka uang tersebut tidak dapat digunakan
lagi sebagai mana mestinya. Demikian hal-nya juga dalam setiap agama.
Ritus/ritual dalam agama merupakan representasi dari kepercayaan manusia yang
beragama terhadap yang ilahi. Oleh karena-nya ritual merupakan upaya manusia
untuk menjalin komunikasi dengan kekuatan transenden baik itu bersifat roh para
leluhur, makhluk halus, dewa-dewa dan kekuatan-kekuatan transenden lainnya
yang dianggap sakral oleh para pengikutnya.
Durkheim dalam pembahasannya tentang agama telah menyinggung tentang
ritus. Menurutnya, ritus merupakan pesta dan ragam upacara yang mempunyai
kerakteristik yang selalu berulang-ulang secara periodik. Tujuan dari ritus-ritus
tersebut adalah untuk memenuhi keinginan penganutnya secara periodik serta
memperkuat ikatan antar mereka dengan hal-hal yang sakral tempat mereka
bergantung.18
Pada dasarnya upaya pencarian jalan keselamatan spiritual lewat berbagai
macam ritual merupakan kebutuhan setiap individu dan juga kelompok. Seperti
yang terlihat pada ritus-ritus yang mana dapat dilakukan secara pribadi maupun
18 Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (Sejarah...), 101.
29
berkelompok. Ritus-ritus yang dilakukan baik dalam bentuk perorangan maupun
secara berkelompok mempunyai efek ganda yaitu efek emosional dan efek
sentimental (rasa). Oleh karena hal ini Dhavamony mengatakan bahwa ‘ritual
merupakan agama dalam tindakan.’19 Setiap ritus yang dipraktekkan akan
menghasilkan perubahan-perubahan status emosi spiritual yang diasumsikan
sebagai kondisi angan-angan seseorang menjadi lebih teratur dan bersih dalam arti
bahwa pikiran menjadi lebih jernih dan cara berpikir menjadi lebih baik.
2.2.2. Cakupan Keselamatan
Di atas telah dijelaskan secara terminologi bahwa keselamatan merupakan
sebuah situasi kehidupan yang penuh dengan kedamaian yang diharapkan oleh
manusia dalam setiap aspek kehidupannya. Kedamaian paling tidak memiliki arti
bahwa manusia mempunyai hubungan yang harmonis dengan sesama, hubungan
yang bersahabat dengan alam dan hubungan yang baik dengan Tuhan. Dengan
menjaga hubungan yang baik itu, maka kehidupan batin setiap orang pun akan
dipenuhi dengan situasi yang damai. Oleh karena itu, untuk memperoleh
keselamatan paling tidak manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga
hubungan yang baik Tuhan, sesama dan alam semesta.20 Tiga hal pokok tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
19 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi..., 167. 20 Dari segi makna keselamatan yang penulis maksudkan sama dengan kata pendamaian
yang digunakan oleh Andreas A. Yewangoe dalam bukunya yang berjudul pendamaian. Dalam
buku tersebut dijelaskan bahwa manusia perlu melakukan tiga hal yaitu pendamaian dengan Allah,
dengan sesama dan dengan alam semesta. Tiga hal tersebut yang dijadikan penulis sebagai ruang
lingkup keselamatan. Andreas A. Yewangoe, Pendamaian, (BPK. Gunung Mulia, 1983), 127-210.
30
a. Hubungan dengan Tuhan
Pada dasarnya secara naluriah manusia cenderung mencari ketenangan dan
keamanan diri. Adappun sumber daya intervensi ketidak-teteraman dibayangkan
berasal dari lingkungan jagat raya yang dipersepsikan sebagai ‘yang misterius’
dan ‘menakjubkan’ yang tidak dapat dicerna oleh akal pikiran . Dari persepsi ini
manusia mulai menggagas adanya kekuatan ilahi (kekuatan supra-natural) yang
mengitari dirinya. Oleh karenanya, manusia beranggapan bahwa gerak-gerik
alam fisik itu didorong oleh kekuatan ilahi yang menjiwainya dan kemudian
dikonsepsikan sebagai dewa-dewa.
Atas dasar gagasan ini, manusia mulai menentukan sikap dan melakukan
upaya-upaya untuk menanggapi perbuatan Ilahi. Tindakan yang dilakukan dapat
berupa kepasraan, persembahan, pemujaan, bujukan konsiliasi sampai
penguasaan daya itu untuk kepentingan dirinya. Dalam konteks ini, pencarian
ketenteraman diri dan keselamatan spiritual (salvation) dilakukan baik per-
orang-an maupun secara kolektif. Dalam kolektif manusia secara bersama-sama
menghadapi kekuatan supranatural yang dianggapnya bersifat misterius karena
berada di luar daya nalar mereka. Kekuatan ilahi yang misterius itu kemudian
dibayangkan seperti dihuni oleh makhluk-makhluk gaib yang berpribadi seperti
manusia yang menjadi objek penyembahan.
Berusaha untuk menjalin hubungan yang baik antara Tuhan dengan
manusia terwujud dalam berbagai bentuk kegiatan kultis/ritual yang dilakukan
oleh manusia. Ritual-ritual itu merupakan jawaban atau tanggapan yang
dipersembahkan oleh manusia terhadap Tuhan atas segala perbuatan-Nya. Oleh
karena ritual-ritual itu ditujukan kepada Tuhan, maka ritual itu harus dilakukan
31
dengan benar dan tanpa kesalahan sedikit pun. Jika manusia melakukan
kesalahan terhadap pelaksanaan ritual, biasanya ada sebuah akibat yang terjadi
pada pengikut agama tersebut. Oleh karena-nya, ritual-ritual tersebut harus
dijaga dan dilestarikan sebagai perwujudan jawaban manusia terhadap
perbuatan-Nya dan demi mencapai hubungan yang baik antara manusia dengan
Tuhan. Lewat ritual/kultus manusia mendapat kehidupan dan keselamatan dari
Sang Pencipta21.
b. Hubungan dengan Sesama
Untuk mencapai keselamatan tidak hanya berusaha untuk menjalin
hubungan yang baik dengan Tuhan, namun upaya untuk menjalin hubungan
yang baik dengan sesama juga harus dilakukan. Hal ini merupakan tindakan
nyata yang dilakukan oleh manusia dan tindakan itu terwujud dalam kehidupan
sosial/bermasyarakat. Kehidupan sosial paling tidak terdapat tiga unsur yaitu;
pertama, kehidupan sosial antara suku, ras dan bangsa. Suku, ras dan bangsa
merupakan tiga unsur kehidupan di dalam lingkungan masyarakat yang setiap
saat dapat melahirkan konflik. Setiap individu merasa lebih dekat dengan
sukunya karena memiliki nenek moyang yang sama dan kesamaan itu terwujud
dalam pengaturan adat-istiadat yang sama. Penyimpangan terhadap aturan adat
tersebut merupakan penghianatan yang bersar terhadap nenek moyang. Oleh
karena-nya, segala sesuatu yang asing dalam aturan suku tersebut merupakan
musuh yang dapat mengancam eksistensi dari suku tersebut. Demikian halnya
dengan kesombongan ras dan bangsa yang pada intinya mempunyai fenomena
yang sama dengan kehidupan kesukuan yang bersifat ekklusif suku yang lain.
21 Ibid, 130.
32
Kedua, hubungan sosial ekonomi. Kehidupan sosial ekonomi berkaitan erat
dengan yang kaya dan yang miskin, antara orang kaya dan orang miskin, antara
negara kaya dan negara miskin. Biasanya yang menjadi korban dan sekaligus
kaum tertindas adalah yang miskin. Hal ini dapat terlihat dalam negara kita
(Indonesia) sebagai negara berkembang yang kemudian oleh negara maju
menjadikan Indonesia sebagai negara tempat pembuangan sampah.22
Selanjutnya muncul istilah ‘yang paling miskin diantara yang miskin’ yang
mana fenomena ini dapat terlihat pada masyarakat pedesaan yang tidak tersentuh
oleh kesejahteraan dan kemajuan-kemajuan yang hendak dicapai. Kesenjangan-
kesenjangan dalam hal kehidupan sosial ekonomi semacam ini hanya akan
melahirkan situasi yang menyakitkan bagi yang tertindas. Jika hal ini terjadi
maka kehidupan yang penuh dengan kedamaian yang merupakan harapan setiap
insan tidak akan tercapai. Kemudian ketiga adalah hubungan antar
keyakinan/agama. Konteks ini dapat kita amati dalam agama-agama theosentris
seperti yang penulis jelaskan diatas. Konflik antar agama muncul tidak lain
adalah hanya karena klaim kebenaran agama tertentu. Hal semacam ini tentu
saja merupakan hasil dari sikap manusia beragama yang eksklusif terhadap
agama lain. Meminjam istilah Nabeel Jabbour bahwa sikap eksklusif manusia
beragama merupakan ketidak-mampuannya untuk keluar dari kenyamanan
sangkar agama. Untuk menciptakan situasi yang baik antar agama, manusia
beragama itu harus mampu untuk keluar dari kenyamanan agamanya untuk
bertemu dan berinteraksi serta turut serta dalam kehidupan orang yang beragama
lain.
22 Ibid, 153-154
33
c. Hubungan dengan alam
Manusia sebagaimana makhluk lainnya, memiliki keterkaitan dan
ketergantungan terhadap alam dan lingkungannya. Namun demikian, manusia
justru semakin aktif mengambil langkah-langkah yang merusak, atau bahkan
menghancurkan lingkungan hidup. Pemanfaatan alam lingkungan secara
serampangan dan tanpa aturan telah dimulai sejak manusia memiliki
kemampuan lebih besar dalam menguasai alam lingkungannya. Dengan
mengeksploitasi alam, manusia menikmati kemakmuran hidup yang lebih
banyak. Namun sayangnya, seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, alam
malah dieksploitasi sedemikian rupa sehingga menimbulkan kerusakan yang
setiap saat dapat mengancam kehidupan manusia.
Kerusakan alam yang ditimbulkan oleh manusia bersumber dari cara
pandang manusia terhadap alam lingkungannya. Dalam pandangan manusia
yang oportunistis, alam adalah barang dagang yang menguntungkan dan
manusia bebas untuk melakukan apa saja terhadap alam. Menurutnya, alam
dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kesenangan manusia. Sebaliknya,
manusia yang beragama (tidak terkecuali agama suku) akan menyadari adanya
keterkaitan antara dirinya dan alam lingkungan. Manusia seperti ini akan
memandang alam sebagai sahabatnya yang tidak bisa dieksploitasi secara
sewenang-wenang.
Alam merupakan sumber kehidupan manusia dan sekaligus sebagai
sumber malapetaka yang sering mengancam kehidupan manusia. Oleh karena-
nya, dalam setiap agama suku terdapat ritual khusus agar alam bersahabat
dengan manusia dalam arti bahwa ketika manusia menjalin hubungan yang baik
34
dengan alam lewat ritual-ritual khusus maka manusia berharap agar tidak terjadi
bencana alam, agar hasil pertanian dapat memuaskan, agar tidak terjadi
malapetaka ketika mencari nafkah, dsb.
Dalam usaha untuk menghindari fenomena alam yang dapat mengancam
kehidupan manusia, penganut agama suku biasanya akan menghindari berbagai
tindakan/kegiatan yang dipercaya dapat mengancam kehidupan manusia. Seperti
dalam masyarakat Marapu tidak diperbolehkan untuk mencuci dan mencelup
alat masak (periuk) di air laut. Jika hal tersebut terjadi, mereka percaya bahwa
akan terjadi gelombang besar selama berhari-hari dan akibatnya mereka tidak
dapat mencari dan menikmati hasil laut. Kemudian untuk menenangkan
gelombang besar tersebut harus dilakukan ritual khusus.
2.2.3. Dunia Keselamatan (Ruang Lingkup Keselamatan)
Dunia keselamatan yang penulis maksudkan di sini adalah dunia dimana
keselamatan yang diharapkan oleh penganut beragama itu dirasakan oleh
manusia ketika manusia beragama itu melakukan ibadahnya sesuai dengan
ajaran agamanya. Dalam setiap penganut agama suku maupun agama modern
terdapat dua dunia keselamatan yang diharapkan yaitu keselamatan dalam dunia
masa kini dan keselamatan dalam dunia akhirat. Dunia masa kini merupakan
dunia di mana manusia mendambakan keselamatan dalam melangsungkan
kehidupan-nya dan berharap bahwa kehidupan-nya berjalan dengan penuh
kedamaian. Demikian halnya dengan dunia akhirat bahwa ketika manusia itu
meninggal berharap bahwa ia dapat merasakan kedamaian yang abadi dan
berada di tempat yang dianggap suci oleh setiap agama, seperti dalam agama
Marapu dunia yang suci itu adalah Praingu Marapu (tempat para dewa).
35
Mencermati kehidupan keagamaan dari beberapa agama suku23 yang ada
di Indonesia bahwa pada dasarnya, keberadaan agama suku yang diyakini oleh
pengikutnya cenderung bertujuan untuk memperoleh keselamatan dalam dunia
masa kini. Hal ini terlihat dalam berbagai bentuk ritual yang mereka (pengikut
agama suku) lakukan, pada prinsipnya bertujuan untuk terhindar dari berbagai
macam ‘kekacauan’ yang mana setiap saat dapat saja terjadi dalam kehidupan
manusia. Kekacauan itu seperti sakit penyakit, bencana alam, kelaparan,
permusuhan, dan sebagainya yang merupakan sesuatu yang manakutkan bagi
manusia dan hal-hal tersebut sebaiknya tidak boleh terjadi dalam kehidupan
manusia.
Usaha untuk memperoleh keselamatan dalam dunia masa kini biasanya
terwujud dalam ritus-ritus yang sering dilakukan oleh pengikut agama suku dan
ritus-ritus itu tentu berkaitan atau disesuaikan dengan periode-periode tertentu.
Ritus-ritus itu biasanya dilakukan dalam bentuk kelompok maupun dalam
bentuk personal/individu. Seperti terlihat dalam berbagai ritual yang dilakukan
secara berkelompok yang terdapat dalam suku yaitu dengan tujuan supaya
pengikut agama tersebut dapat memperoleh kedamaian dalam kehidupannya.
Dalam kelompok atau klan terdapat pula beberapa pantangan yang tidak boleh
diambil atau pun dikonsumsi oleh klan tersebut. Hal itu bertujuan agar klan
tersebut tidak mendapat kutukan yang berakibat dapat terserang penyakit dan
bahaya lainnya. Sedangkan keselamatan yang bersifat individu dapat dilihat
dalam pengikut agama suku bahwa mereka mempunyai benda-benda keramat
23 Beberapa agama suku yang dimaksudkan oleh penulis terdapat dalam Andreas A.
Yewangoe, Pedamaian, (BPK. Gunung Mulia, 1983), 44-79. Kemudian dapat dilihat juga dalam
pembahasan selanjutnya dari penulis tentang agama suku Kejawen dan agama suku Kaharingan
dalam bab ini.
36
(sakral) yang dipercayai dapat melindungi individu tersebut dari berbagai
macam bahaya yang mengancam. Benda-benda sakral tersebut dapat berupa
batu, akar kayu yang ada di darat maupun yang berasal dari laut.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap pemeluk agama melakukan
kewajiban ke-agama-an sesusai dengan keyakinannya (seperti melakukan
berbagai macam ritual) dengan tujuan supaya terhindar dari berbagai macam
kekacauan, maka pada saat yang bersamaan mereka juga berharap untuk
mendapatkan keselamatan di dunia akhirat. Mereka mengharapkan kehidupan
setelah kematian penuh dengan kehidupan yang damai. Oleh karena itu, setiap
agama suku pasti mempunyai harapan akan keselamatan dalam dua dunia yaitu
dunia masa kini dan dunia akhirat.
2.3 Keselamatan dalam Agama Suku
Untuk melihat konsep keselamatan dalam agama suku, penulis mencoba
untuk memaparkan konsep keselamatan dari beberapa agama suku yang ada di
Indonesia antara lain: konsep keselamatan dalam agama Kaharingan di
Kalimantan dan konsep keselamatan menurut aliran Kejawen ‘Urip Sejati’ dalam
agama suku masyarakat Jawa. Pemaparan ini tidak bertujuan untuk
membandingkan ajaran-ajaran yang ada dalam agama-agama suku, melainkan
bertujuan untuk melihat sejauh mana konsep keselamatan itu ada dan berpengaruh
dalam kehidupan masyarakat penganutnya.
37
2.3.1 Agama Kaharingan24
Kata kaharingan berasal dari bahasa Sangiang yaitu dari kata Haring
(kemudian ditambah dengan awalan ka dan akhiran an) yang artinya hidup atau
juga bisa berarti tumbuh dengan sendirinya. Kaharingan berarti sumber kehidupan
dengan kuasa Tuhan. Jadi kaharingan berati agama yang hidup dan tumbuh
berdasarkan pesan Tuhan atau Ranying Hatalla Langit melalui perantara leluhur
atau nenek moyang. Kaharingan ada semenjak Ranying Hatalla Langit
menciptakan manusia dan mengatur segala sesuatunya agar kelak manusia dapat
menuju kehidupan ke arah yang kekal dan abadi. Pada saat sekarang, agama
Kaharingan menjadi Hindu Kaharingan yang dianut oleh masyarakat Dayak
(tepatnya suku Dayak Ngaju di kalimantan Tengah) yang memiliki seperangkat
aturan yang mengatur hubungan dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
manusia dan hubungan manusia dengan alam. Aturan tersebut ditulis dalam kitab
suci Panaturan.
2.3.1.1. Ajaran Kaharingan
2.3.1.1.1. Ajaran tentang Tuhan
Para penganut agama kaharingan percaya bahwa Yang Maha Tinggi
terbagi dalam tiga golongan ilah yaitu Ilah tertinggi dalam Kaharingan adalah
Ranying Hatalla Langit. Kemudian yang kedua adalah ilah yang ada di antara
langit dan bumi atau yang disebut sebagai ilah pengantara. Ketiga adalah ilah-
ilah yang ada di atas bumi dan di bawah bumi yang memiliki sifat baik dan
buruk.
24 Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba di Indonesia, (Jakarta: BPK. Gunung
Mulia, 1977), 57-70. Skripsi, Farida Fitri Wiastuti Yono, Perbandingan Konsep Keselamatan
Menurut Agama Kristen Dengan Agama Kaharingan, (Salatiga:UKSW, 2009), 45-66. Harun
Hadiwijono, Religi Suku Murba di Indonesia, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1977), 57-70.
38
2.3.1.1.2. Ajaran tentang roh baik dan roh yang jahat25
Penganut agama Kaharingan percaya akan adanya banyak roh yang
baik dan roh yang jahat. Ada yang dipandang sebagai pembantu alam atas dan
ada juga yang dipandang sebagai pembantu alam bawah. Roh-roh tersebut
adalah; pertama, raja Pali atau Nyaro. Roh ini bertindak sebagai pembalas dan
menghukum mereka yang melanggar adat atau peraturan-peraturan Pali. Roh
ini dihubungakan dengan alam atas. Kedua, raja Ontong yang menjadi sumber
keselamatan dengan memberikan rezeki, kekayaan, kemakmuran, dsb. Ketiga,
raja Sial adalah roh yang mendatangkan kecelakaan dan memberikan kerugian,
kematian, dan sebagainya. Orang hanya dapat dibebaskan dari peristiwa-
peristiwa sial itu dengan melakukan upacara-upacara penyucian yang besar.
Raja Ontong dan Raja Sial dihubungkan dengan alam atas dan alam bawah
sebagai yang mengungkapkan hubungan kedua alam tadi. Keempat, raja Puru
atau Peres yang menjadi sumber penyakit, kemudian yang kelima, raja
Hantuen, yang menjadi sumber kerusuhan. Ia sering mengganggu manusia
dengan sihirnya yang dilakukan dengan perantara para dukun. Raja Puru dan
raja Hantuen dihubungkan dengan alam bawah dan Jata.
2.3.1.1.3. Kosmologi penganut Kaharingan26
Penganut agama Kaharingan memandang alam terdiri dari tiga bagian
yaitu alam atas, alam tengah dan alam bawah. Alam atas merupakan tempat
kediaman Mahatala (ranying Hatala langit). Alam atas ini digambarkan sebagai
pencerminan alam tempat kediaman manusia. Hanya saja di sana berada dalam
keadaan yang jauh lebih indah dan lebih berkelimpahan daripada keadaan di
25 Ibid, 59. 26 Harun Hadiwijono, Religi ..., 58-62.
39
dunia manusia. Alam tengah adalah bumi ini, tidak lain adalah ruang hidup
yang dipandang oleh penganut agama kaharingan sebagai tanah suci yang
merupakan pemberian dari dewa sebagai hadiah. Kemudian alam bawah
merupakan tempat tinggal atau tempat bersemayam dari Jata27.
2.3.1.2. Upacara Tiwah: Jalan menuju Keselamatan
Tujuan akhir dalam ajaran agama Kaharingan adalah Lewu Tatau Dia
Rumpang Tulang, Rundung Raja Isen Kamaleu Uhat (gambaran surga menurut
kaharingan). Untuk mencapai tujuan akhir tersebut tentu saja para penganut
Kaharingan harus membuat kebaikan terhadap sesama. Perbuatan baik
terhadap sesama dalam kelompok penganut agama Kaharingan terwujud dalam
upacara yang disebut dengan upacara atau perayaan Tiwah. Tiwah (artinya:
bebas, lepas dari kewajiban) merupakan pesta kematian untuk memimpin liau28
di dalam perjalannya menuju Lewu Liau (akhirat) yang mana tempat ini
merupakan tempat bersatunya liau dengan nenek moyangnya dan untuk kedua
kalinya memakamkan tulang-tulang orang mati di tempat pemakaman tetap
atau terakhir yang disebut sandong29.
Tiwah adalah suatu upacara suci, kewajiban luhur dan mutlak yang
harus dilaksanakan oleh keluarga yang masih hidup. Upacara tiwah tersebut
dilakukan supaya tidak menimbulkan akibat buruk bagi kehidupan pribadi,
27Terdapat berbagai versi tentang Jata. Adaya yang mengatakan bahwa Jata merupakan
bayangan dari Ranying Hatala Langit tetapi versi lain menunjukkan bahwa Hatalla dan Jata
merupakan satu kesatuan yang terdapat dalam satu perwujudan baik dalam seekor burung
enggang yang bersisik maupun dalam sekor naga yang berbulu burng enggang. Ibid, 58. 28Pada prinsipnya, liau adalah orang yang sudah meninggal itu sendiri. Liau merupakan
bentuk eksistensi manusia yang dimulai dengan kematiannya dan yang berbeda sekali dengan
bentuk eksistensinya yang semula. Ibid, 65-66. 29Sebelum upacara tiwah, penganut Kaharingan melakukan upacara kematian biasa untuk
mengantarkan jenasah di pemakaman sementara yaitu bukit pasahan raung. Ibid, 66.
40
keluarga, masyarakat dan lingkungan. Bagi penganut Kaharingan, upacara
tiwah merupakan upacara yang sangat sakral. Oleh karenanya upacara ini harus
dipersiapkan dan dilakukan secara matang dan teliti agar tidak terjadi
kesalahan pada saat pelaksanaannya. Jika terjadi kesalahan, kaum Kaharingan
percaya bahwa keluarga yang masih hidup akan mendapatkan malapetaka.
Upacara tiwah merupakan upacara besar yang membutuhkan biaya
cukup mahal sehingga kaum penganut Kaharingan seringkali menunggu hingga
ada 60 orang yang meninggal baru melaksanakan upacara tiwah. Hal ini tentu
dalam pelaksanaanya memerlukan waktu yang lama minimal dua tahun sekali
perayaan. Perayaan tiwah berlangsung selama tujuh30 hari yang mana pada hari
penutup (hari ketujuh) dilakukan ritual penyucian terhadap keluarga yang
masih hidup serta semua orang yang turut serta dalam upacara tersebut. Ritual
penyucian ini bertujuan agar semua keluarga yang ditinggalkan terlepas dari
gangguan si mati.
2.3.1.3. Keselamatan menurut Penganut Kaharingan
Keselamatan menurut penganut Kaharingan ter-manifestasi dalam
ritual khususnya dalam upacara/ritual tiwah. Substansi dari upacara tiwah
sebenarnya bukan merupakan keselamatan itu sendiri namun tiwah merupakan
sebuah bentuk ekspresi dari penganut Kaharingan dalam sebuah pengharapan
akan keselamatan. Singkat kata tiwah merupakan cara yang terdapat dalam
pengaut Kaharingan dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan.
Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh penganut Kaharingan
khususnya dalam upacara perayaan tiwah; pertama, keselamatan bagi jiwa
30 Penjelasan pelaksanaa tiwah mulai dari hari pertama sampai hari ketujuh terdapat
dalam, Harun Hadiwijono, Religi..., 67-69. Bnd, Skripsi, Farida...,72-78.
41
orang mati. Penganut Kaharingan menganggap bahwa orang mati adalah
simbol dari ketidak-berdayaan manusia baik jiwa maupun raga. Oleh karenya,
keluarga yang masih hidup harus berbuat sesuatu untuk mengantarkan jenazah
ketempat yang terakhir yaitu Lewu Liau. Selanjutnya ketika jiwa dari jenazah
itu telah sampai pada tujuan terakhirnya, maka penganut Kaharingan
berangapan bahwa jiwa dari orang mati tersebut telah memperoleh
keselamatan. Kedua, keselamatan bagi keluarga/orang yang masih hidup.
Perayaan tiwah merupakan perayaan yang besar bagi penganut Kaharingan
karena perayaan ini dihadiri oleh semua kerabat dan keluarga. Hal tersebut
berarti ada sebuah keprihatianan yang sama dalam setiap individu Kaharingan
bahwa perayaan tiwah merupakan sebuah simbol kebebasan dan persatuan.
Kebebasan karena dalam pemahaman penganut Kaharingan, melakukan tiwah
berarti mereka terhindar dari malapetaka. Persatuan karena dalam perayaan
tersebut dihadiri oleh semua sanak keluarga yang jauh maupun dekat.
Meminjam istilah Durkheim, peristiwa inilah yang disebut sebagai kesadaran
kolektif. Menurut penulis, inilah substansi dari keselamatan dalam agama
Kaharingan.
2.3.2 Agama Kejawen ‘Urip Sejati’ di Jawa31
Kejawen merupakan kepercayaan asli dari leluhur orang Jawa yang
merupakan sikap orang Jawa dalam menjalani hidup yang di dalamnya terdapat
konsep, aturan, tata cara hidup serta berbagai pandangan orang Jawa dalam
31Informasi yang penulis paparkan pada bagian ini merupakan informasi yang diadaptasi
dari, Jarot Sarwadi dan David Samiyono, Pernikahan Menurut Komunitas Kejawen ‘Urip
Sejati’, (katalog dalam terbitan, seri kebudayaan), (Salatiga: Fakultas Teologi, UKSW, 2010),
40-63. Dyah Pramesti, Perbandingan Antara Konsep Keselamatan Menurut Ajaran Agama
Kristen Dengan Konsep Keselamatan Menurut Aliran Kejawen ‘Urip Sejati’, (Skripsi),
(Salatiga:Fakultas Teologi, UKSW, 2008), 40-47.
42
dalam menyikapi sesuatu. Sedangkan Urip Sejati merupakan sebuah komunitas
Kejawen yang masih melestarikan dan pertahankan kemurnian dari tradisi
Kejawen. Komunitas ini berada di kaki gunung Merbabu, desa Kapuhan,
Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.32
Kejawen merupakan kepercayaan warisan nenek moyang orang Jawa
sejak 1,9 juta tahun sebelum masehi. Kejawen sudah menjadi budaya orang
Jawa yang di dalamnya terdapat aspek material dan spiritual. Aspek material
ini meliputi sistem kemasyarakatan, pemenuhan kebutuhan ekonomi, strata
kekuasaan dan politik. Sedangkan aspek spiritualnya adalah ilmu (ngelmu),
ketuhanan, filsafat dan mistik.33
2.3.2.1. Ajaran tentang Tuhan
Penganut Kejawen percaya kepada Tuhan yang mereka sebut sebagai
Gusti yang berasal dari kata Bagusing Ati yang berarti Baiknya Hati. Selain
sebutan itu, komunitas Kejawen juga memiliki banyak sebutan terhadap Tuhan
yang pada dasarnya sebutan-sebutan itu sebagai pencerminan dari sifat-sifat
Tuhan. Sebutan-sebutan itu seperti: Hyang Widi, Sing Nggawe Urip, Ingkang
Murben Dumadi, Hyang Maha Agung, Hyang Maha Luwih, Hyang Maha
Dhuwur dan sebagainya.34
Penganut Kejawen percaya bahwa Tuhan itu bersemayam dalam hati
mereka. Tuhan merupakan nafas hidup mereka dan beranggapan bahwa jika
manusia sudah mati berarti manusia itu tidak lagi berbicara soal ketuhanan.
Pada intinya komunitas Kejawen Urip Sejati menggantung hidupnya hanya
kepada Tuhan. Komunitas Kejawen Urip Sejati berpandangan bahwa mereka
32 Jarot Sarwadi dan David Samiyono, Pernikahan Menurut..., 4. 33 Ibid, 40. 34 Ibid, 58.
43
berkerja untuk Tuhan dan bukan Tuhan yang bekerja untuk mereka. Tuhan itu
sebenarnya sudah menyatu dengan diri manusia itu sendiri. Tuhan itu
sebetulnya ‘aku’ tetapi ‘aku’ tidak boleh mengaku sebagai Tuhan.35
Selain kepercayaan mereka kepada Tuhan, komunitas Kejawen percaya
bahwa alam gaib itu ada dan situasi di alam gaib itu sama denga situasi alam
nyata. Alam gaib itu bersifat metafisik. Oleh karenanya untuk berhubungan
dengan Tuhan, maka komunitas Kejawen melakukannya dengan perantara para
dewa dan roh-roh yang berada di alam gaib. Komunitas kejawen beranggapan
bahwa para dewa dan roh-roh itu tidak bisa dilihat dengan mata sehingga untuk
melihat roh-roh tersebut harus melalui laku atau ritual khusus.
2.3.2.2. Ajaran tentang dosa
Komunitas kejawen percaya akan adanya karma atau hukum tabur tuai
(ngunduh wohing panggawe). Ajaran-ajaran dalam komunitas Kejawen baik
adanya namun tergantung manusia apakah berkehendak untuk melakukannya
atau tidak. Jika tidak melakukan ajaran-ajaran dalam komunitas, maka individu
yang melanggar itu akan mendapatkan karma. Karma dapat bersifat individu
maupun bersifat turun temurun. Mereka percaya bahwa karma merupakan
hukuman yang setimpal dengan perbuatan setiap penganut kejawen yang
melanggar aturan. Agar terhindar dari hukuman karma, manusia harus menjaga
alam dan tidak boleh menaklukkannya, manusia tidak boleh bersaing dan
berambisi terhadap sesuatu dengan sifat materialistis, dan sebagainya. Oleh
35 Ibid, 60.
44
karena itu penganut Kejawen harus menaati ajaran-ajaran terebut supaya sang
Pemberi itu tidak murka terhadap manusia.
2.3.2.3. Ajaran tentang sorga dan neraka
Berdasarkan pandangan mereka tentang akibat dari perbuatan dosa
yaitu karma maka komunitas Kejawen Urip Sejati memahami sorga dan
neraka bersumber dan tergantung dari sikap dan perbuatan manusia selama
manusia itu hidup. Dalam arti bahwa adanya sorga dan neraka yang dialami
oleh manusia tergantung dari perbuatan manusia selama ia masih hidup di
dunia. Jika perbuatannya tidak melanggar ajaran-ajaran Kejawen maka ia
tidak mengenal yang namanya neraka (karma) demikian pula sebaliknya.
Komunitas Kejawen percaya bahwa setelah manusia mati maka ia
kembali ke zat Tuhan (zat suci) apabila selama hidupnya selalu berbuat baik
dan sedikit melakukan kejahatan. Kemudian jika manusia itu selama
hidupnya selalu berbuat jahat dan sedikit berbuat baik maka ia tidak dapat
kembali ke zat suci melainkan ia tetap di dunia (krambyangan) selamanya
dan menjadi roh penasaran.
2.3.2.4. Keselamatan Menurut Penganut Kejawen ‘Urip Sejati’36
Komunitas kejawen memiliki tiga ajaran tentang keselamatan yaitu:
1. Manunggaling Kawula Gusti
Manunggaling Kawula Gusti berarti bersatunya manusia sebagai hamba
dengan Tuhannya atau berdekatan dengan Tuhan. Komunitas Kejawen
percaya bahwa ketika kawula lan Gusti Manunggal (bersatu dengan Tuhan)
36 Ibid, 54-58. Bnd, Mulyana, Spritualisme Jawa: Meraba Dimensi Dan Pergulatan
Religiusitas Orang Jawa, Kejawen. Jurnal Kebudayaan Jawa, (Vol. I, No.2), (Yogyakarta:
Narasi , 2006), 6-8. Band, Dyah Pramesti, Perbandingan Antara...,47-53.
45
maka di situ-lah manusia mengalami puncak kesempurnaan. Kesempurnaan
dapat dipahami sebagai suatu situasi yang penuh dengan kedamaian baik bagi
dirinya, sesama dan lingkungannya.
Selanjutnya, untuk mencapai kesempurnaan yang demikian, komunitas
Kejawen melakukan Cipto Wening dan Meleng Cipto. Kedua ajaran tersebut
merupakan ajaran inti dengan cara memuji dan menyembah Tuhan sebagai
usaha manusia untuk mencapai Manunggaling Kawula Gusti. Cipto Wening
berarti menyucikan diri dari badan rohani dan Meleng Cipto berarti meminta
kepada Gusti tentang segala macam kebutuhan badaniah (keperluan hidup).
2. Sangkan Paraning Dumadi
Sangkan Paraning Dumadi artinya asal manusia sebelum lahir dan
tujuan akhir manusia sebelum mati. Ajaran ini sering dikaitkan dengan asal-
usuling dumadi (asal-usul keberadaan manusia) merupakan sebuah
pernyataan yang paling mendasar bagi orang Jawa Kejawen karena setiap
perilaku orang Jawa selalu ingin mengetahui bibit kawit (asal mula) atau wiji
(benih). Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran ini terlihat dalam ritual dalam
menyambut kelahiran seorang bayi. Sejak bayi dalam kandungan sampai ia
lahir dan berumur satu tahun, penganut kejawen mempunyai rentetan ritual
yang harus dilakukan. Hal ini bertujuan supaya selama masa pertumbuhan,
bayi tersebut selalu dalam keadaan sehat dan selamat.
Selain ritual penyambutan kelahiran bayi, penganut Kejawen juga
mempunyai ritual bagi orang mati. Bagi keluarga yang masih hidup harus
melakukan berbagai ritual agar jasad orang yang sudah mati dapat kembali ke
zat Tuhan (zat suci). Oleh karena itu, penganut Kejawen harus berziarah ke
46
makam denga tujuan agar jiwa orang mati memperoleh keselamatan. Mereka
percaya bahwa ketika jiwa orang mati tidak memperoleh keselamatan, maka
arwahnya tidak akan menjadi zat suci (zat Tuhan) dan akan tinggal
bergentayangan di dunia.
3. Mamayu Hayuning Buwana
Mamayu Hayuning Buwana merupakan salah satu mistik keselamatan
Jawa. Ajaran ini merupakan Dharma Ksatria untuk menyelamatkan dan
memperindah dunia.37 Ajaran ini berkaitan dengan usaha manusia untuk
menjaga, melestarikan dan mengembangkan dunia sebagai bekal menuju
Tuhan. Usaha manusia tersebut merupakan kesadaran bahwa manusia wajib
memberikan sumbangsih untuk menyelamatkan dunia sebagai perwujudan
bahwa manusia merupakan wakil Tuhan di dunia.
2.4 Kesimpulan
Bagi masyarakat agama suku, mereka percaya bahwa alam dan segala
materinya baik makhluk hidup, benda mati, dan segala energi yang ada adalah
dunia religi mereka. Dalam konstruksi keyakinan yang demikian, maka kerap kali
dalam agama-agama suku terdapat kepercayaan bahwa sesuatu yang terdapat di
alam adalah perpanjangan tangan Dewa-dewa, Roh leluhur dan Tuhan, sehingga
segala bentuk aktivitas religi masyarakat tradisional begitu dekat dengan
lingkungan alamnya. Biasanya, konsep kepercayaan tersebut mereka rangkumkan
dalam sebuah inskripsi atau pembukuan tradisionil lainnya, bahkan hanya tradisi
lisan saja yang bekerja dalam pewarisan sistem kepercayaan tersebut. Dalam
37 RM. Wisnu Wardana, dalam Jarot Sarwadi dan David Samiyono, Pernikahan
Menurut..., 57.
47
konsep kepercayaan masyarakat tradisional seringkali hadir mitos-mitos tentang
asal mula kehidupan, penciptaan manusia pertama, hukum karma, ajaran moral
kehidupan, dewa-dewi kehidupan, hingga adanya negeri impian, ideal atau surga
pasca kehidupan di dunia. Itu-lah agama suku.
Top Related