BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Post partum atau masa nifas (puerperium) adalah masa setelah partus selesai
dan berakhir setelah kira-kira 6 minggu (Arief Mansoer, 1999).
Masa nifas adalah mulai setelah partus selesai dan berakhir setelah kira-kira 6
minggu, akan tetapi seluruh alat genital baru pulih kembali seperti sebelum ada
kehamilan dalam waktu 3 bulan (Prawiro harjo, 2000 : 237).
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan cara
membuka dinding perut dan dinding uterus (Wiknjosastro, 1999: 810).
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan
pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau sectio caesarea adalah suatu
histerotamia untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Mochtar, 1998 : 117).
Sectio caesarea didefinisikan sebagai kelahiran bayi melalui insisi
transabdominal uterus (Bobak & Jansen, 2000 : 311).
Partus tak maju adalah persalinan yang disertai dengan his yang adekuat tetapi
pembukann cerviks tidak menunjukkan adanya kemajuan penurunan kepala dan
putaran paksi selama 2 jam terakhir (Muchtar R. 1998: 384).
Post partum sectio caesarea atas indikasi partus tak maju adalah masa nifas
dimulai dimana persalinan dilakukan dengan tindakan pembedahan untuk
mengeluarkan janin karena adanya his yang adekuat tetapi pembukaan cerviks tidak
menunjukkan kemajuan penurunan kepala dan putaran paksi selama 2 jam terakhir
sehinnga janin tidak dapat dikeluarkan secara normal.
B. Anatomi Fisiologi Sistem Reproduksi
Alat reproduksi wanita terbagi menjadi dua bagian :
1. Alat genitalia bagian luar (eksterna).
a. Mons Veneris
Merupakan alat yang menonjol, terdiri atas jaringan lemak dan jaringan
konektif longgar yang menutup simpisis pubis dan ditumbuhi oleh banyak
rambut. Mengandung glandula sebasea dan ditumbuhi rambut yang besar,
berwarna gelap dan keriting pada pubertas (1-2 tahun sebelum menarche).
Fungsi : memainkan peran dalam seksualitas dan melindungi simpisis pubis
saat coitus, klimakterium jumlah jaringan lemak berkurang dan menipis.
b. Labia Mayora (bibir besar)
Merupakan dua lipatan kulit yang menutupi lemak yang berbatasan dengan
mons veneris, berbentuk lonjong berawal dari mons pubis ke bawah dan ke
belakang hingga mendekati anus. Homolog dengan skrotum pada laki-laki,
saat klimakterium atropi, terdiri dari dua bagian:
Lateral : kulit labio lebih tebal, gelap dan berambut.
Medial : lembut, tebal tanpa rambut, mengandung glandula sebasea, kelenjar
keringat dan kaya vaskuler.
c. Labia Minora (bibir kecil)
Merupakan lapisan di bagian dalam bibir besar, tanpa rambut. Di bagian atas
klitoris, bibir kecil bertemu membentuk prepusium klitoridis dan di bagian
bawahnya bertemu membentuk prenulum klitoridis.
Bibir kecil ini mengelilingi orifisium vagina. Analog dengan penis pada laki-
laki
d. Klitoris
Merupakan organ erektil dari perempuan yang banyak mengandung saraf,
homolog dengan penis pada laki-laki.
e. Vestibulum
Merupakan alat reproduksi bagian luar yang dibatasi oleh kedua bibir kecil,
bagian atas klitoris, dan bagian belakang (bawah) pertemuan kedua bibir kecil.
Pada vestibulum terdapat muara uretra, dua lubang saluran kelenjar bartholini
dan dua lubang saluran kelenjar skene.
f. Kelenjar Bartholini
Kelenjar yang penting di daerah vulva dan vagina, karena dapat mengeluarkan
lendir, pengeluaran lendir meningkat saat hubungan seks.
g. Himen (selaput dara)
Merupakan jaringan yang menutupi lubang vagina, bersifat rapuh dan mudah
robek, merupakan saluran dari lendir yang dikeluarkan uterus dan darah saat
menstruasi. Bila himen tertutup akan menimbulkan gejala klinik setelah
mendapat menstruasi. Setelah persalinan sisanya disebut karunkule himenalis
atau karunkule mirtiformis.
h. Fourchette
Merupakan lipatan jaringan tipis, mendatar, transversal yang dibentuk dari
perbatasan labio mayora dan minora, tepat di bagian tengah di bawah
orifisium vagina.
i. Perineum
Merupakan jaringan otot yang terbungkus kulit pada daerah antara introitus
vagina dan anus, panjang 4 cm.
2. Alat genitalia (reproduksi) bagian dalam.
a. Vagina
Merupakan struktur tubuler dan saluran muskulo membranosa yang
menghubungkan rahim dengan vulva, terdapat di antara kandung kemih dan
rektum. Fungsi dari vagina adalah sebagai saluran keluar dari uterus, sebagai
alat persetubuhan, dan merupakan jalan lahir, memberikan proteksi diri
terhadap kuman dengan pH 4,5. Panjang dinding depan 9 cm dan dinding
belakang 11 cm.
b. Ovarium
Ovarium berada di tempatnya dibantu oleh dua ligament otot, homolog
dengan testis. Struktur ovarium terdiri dari korteks dan medulla.
Fungsi ovarium adalah untuk ovulasi dan produksi hormon kelenjar steroid.
c. Uterus
Adalah organ lurus, berongga, muskuler dan memiliki dinding yang tebal
seperti buah pir, terdapat dalam ruang pelvik di antara vesika urinaria dan
rektum. Wanita dewasa yang tidak hamil beratnya uterus 60 gram ukuran
nulipara 6-8 cm dan multipara 8-9 cm.
Portio adalah bagian cervik yang menonjol ke dalam puncak vagina.
Bagian-bagian uterus yaitu fundus, corpus, isthmus. Fungsi uterus untuk
siklus menstruasi, kehamilan, persalinan. Dinding uterus terdiri dari
perimetrium, myometrium, dan endometrium.
d. Tuba Uterine (Oviduct)
Merupakan lapisan muskuler yang tipis, panjang 10 cm, diameter 0,6 cm.
Struktur tuba yaitu infundibulum, ampula, isthmus bagian interstitial.
e. Cerviks
Karakteristik, kemampuan meregang selama persalinan normal. Elastisitas
cerviks dipengaruhi oleh tingginya kandungan jaringan konektif dan serabut
yang elastis, banyaknya lipatan-lipatan ke dalam dari endocervical. (Manuaba,
1998 : 78).
Gbr. 1 Alat Kandungan Luar
Gbr. 2 Alat Kandungan Dalam
C. Indikasi Sectio Caesarea
Adapun indikasi sectio Caesarea adalah:
1. Indikasi pada ibu
Indikasi sectio caesarea pada ibu antara lain: plasenta previa, panggul
sempit, cepalo pelviks disproportion (CPD) yaitu ketidakseimbangan antara
ukuran kepala dan panggul, ruptur uteri yang mengancam, partus lama, distocia
cerviks, pre eklampsia dan eklampsia, tumor, ketuban pecah dini, dan partus tak
maju yang biasanya disebabkan oleh: CPD, partus macet, mal posisi, mal
presentasi, serta kontraksi uterus.
2. Indikasi pada janin
Indikasi Sectio caesarea pada janin meliputi: mal presentasi janin seperti
letak lintang dan letak bokong (sungsang), gawat janin.
D. Kontra Indikasi Sectio Caesarea
Kontra indikasi yang perlu di perhatikan sebelum dilakukan Sectio Caesarea
antara lain janin mati (berada dalam keadaan kritis, kemungkinan janin hidup relatif
kecil), jalan lahir ibu mengalami infeksi yang luas dan hanya dapat di lakukan sectio
caesarea extra corporal, dan kurangnya pengalaman dokter dan tenaga medis atau
asisten yang kurang memadai.
E. Jenis-jenis Sectio Caesarea
1. Sectio caesarea transperitonealis ( corporal )
a. Sectio caesarea longitudinal
Yaitu dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri, kira-
kira sepanjang 10-12 cm dengan ujung bawah di atas batas plika vesika
uterina (insisi panjang).
b. Sectio caesarea Iskemia (profunda)
Yaitu dilakukan dengan sayatan melintang konkaf pada segmen bawah rahim
(Low Cervical Transversal) kira-kira 10 cm.
2. Sectio Caesarea Extraperitoneal
Insisi dilakukan untuk melepaskan peritoneum dari kandung kemih dan
dipisahkan ke atas, sedang pada segmen bawah uterus dilakukan insisi melintang
untuk melahirkan janin. Jenis operasi ini dilakukan pada infeksi intrapartum yang
berat untuk mencegah terjadinya peritonitis (Wiknjosastro, 1999: 813)
F. Tanda dan Gejala Partus Tak Maju
Cerviks tidak membuka (membuka kira-kira 3 cm) walaupun di dapatkan adanya
kontraksi uterus yang adekuat, pembukaan cerviks tidak melewati 3 cm sesudah 8
jam inpartu, pembukaan cerviks lengkap, ibu ingin meneran tetapi tidak ada
kemajuan penurunan presentasi bayi pada kala II.
G. Komplikasi Sectio Caesarea
1. Infeksi puerperial (nifas)
Infeksi terjadi apabila sebelum pembedahan telah di temukan gejala-gejala infeksi
intrapartum. Infeksi dikatakan ringan apabila terjadi peningkatan suhu tubuh
dalam beberapa hari saja, dikatakan infeksi sedang apabila suhu tubuh tinggi
disertai dehidrasi, perut kembung, sedang dikatakan infeksi berat apabila terdapat
tanda infeksi sedang disertai peritonitis, sepsis dan illeus paralitik. Biasanya
infeksi ditemukan pada kasus seperti partus yang terlantar dan ketuban pecah dini.
2. Perdarahan
Pada sectio caesarea banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka, atonia
uteri serta pelepasan plasenta yang lebih banyak mengeluarkan darah
dibandingkan dengan persalinan normal.
3. Emboli pulmonal
Emboli terjadi karena pada sectio caesarea dilakukan insisi pada abdomen dan
mobilisasi yang kurang jika dibanding dengan kelahiran melalui vagina.
4. Komplikasi
Komplikasi lain seperti luka kandung kemih, embolisme paru-paru dan
sebagainya jarang terjadi.
5. Kemungkinan ruptur uteri pada kehamilan berikutnya
Karena kurang kuatnya perut pada dinding uterus sehingga pada kehamilan
berikutnya dapat terjadi ruptur uteri. (Prawiroharjo S. 1996: 816).
H. Adaptasi Fisiologi Ibu Post Partum
Sistem reproduksi menjadi pusat perhatian selama kehamilan, seluruh tubuh
terperngaruh, semua sistem tubuh mengalami perubahan dari keadaan tidak hamil ke
keadaan hamil yang disebut dengan fisiologi maternal. Adapun perubahan normal
yang harus terjadi antara lain:
1. Involusi uteri
Involusi uteri adalah proses kembalinya alat kandungan atau uterus jalan lahir
setelah bayi dilahirkan hingga mencapai keadaan sebelum lahir. Pada akhir
persalinan kala III uterus berada pada garis tengah kira-kira 2 cm dari umbilicus
dengan fundus uteri menetap pada sacral promontorium, ukuran uterus sama
dengan umur kehamilan 16 minggu, panjang 14 cm, lebar 12 cm dan tebal 10 cm
serta berat 1000 gram. Dalam 12 jam setelah persalinan tinggi fundus uteri 1 cm
dibawah umbilicus, involusi berlangsung cepat, penurunan berlangsung 1-2 cm
per 24 jam, 6 hari post partum setengah dari simpisis pubis, setelah 9 hari post
partum uterus tidak teraba lagi, pada 1 minggu post partum uterus beratnya 500
gram, 2 minggu beratnya 300 gram, 5 minggu beratnya 50-60 gram (Bobak &
Jansen, 2000: 716).
2. Kontraksi Uteri
Intensitas kontraksi uteri meningkat secara bermakna segera setelah persalinan
bayi selama 1-2 jam plasenta post partum aktivitas uteri menurun dengan halus
dan progresif serta stabil. Periode relaksasi dan kontraksi dengan kuat adalah
lebih umum ada pada kehamilan dan mungkin menyebabkan nyeri perut yang
tidak nyaman yang disebut after pains. Kondisi ini berlangsung sampai masa
puerperium. After Pains lebih kuat terjadi setelah persalinan di mana uterus sangat
menegang, menyusui seringkali mengintensifkan after pains, peningkatan ruang
intensif juga terjadi setelah pemberian terapi oksitoksin (Bobak & Jansen, 2000
:716).
3. Tempat pelepasan plasenta
Segera setelah melahirkan akan terjadi perubahan-perubahan pada endometrium
yaitu timbulnya trombosis, degenerasi dan nekroris di tempat implantasi plasenta.
Pada hari pertama tebal endometrium kira-kira 2-5 cm dengan pembukaan kasar
akibat pelepasan desidua dan selaput janin regenerasi endometrium terjadi dari
sisa-sisa sel desidua basalis yang memakan waktu 2-3 minggu (Prawiroharjo,
1996: 238).
4. Lochea
Lochea adalah cairan yang di keluarkan dari uterus melalui vagina dalam masa
nifas. Pada hari pertama dan kedua lochea rubra atau lochea kruenta terdiri atas
darah segar bercampur sisa-sisa selaput ketuban dan mekonium. Hari berikutnya
darah bercampur lendir yang disebut lochea sanguilenta, setelah satu minggu
lochea cair tidak berdarah lagi, warna agak kuning yang disebut lochea serosa.
Setelah 2 minggu lochea hanya merupakan cairan putih yang disebut lochea alba
(Manuaba, 1998 : 193).
5. Cerviks
Bagian atas cerviks sampai segmen bawah menjadi sedikit edema dan menipis
segera setelah 4-6 hari pertama post partum mulut cerviks dapat di masuki dua
jari, namun pada akhir minggu ke dua hanya sedikit yang bisa dilakukan dalam 18
jam setelah persalinan cerviks telah memendek mempunyai konsistensi yang kuat
dan bentuknya telah kembali. Pada akhir minggu pertama pemulihan hampir
sempurna (Bobak & Jansen, 2000: 719).
6. Vagina dan Perineum
Penurunan kadar esterogen pada post partum bertanggungjawab terhadap
penipisan mukosa vagina dan ketidakadaan rugae, dinding vagina yang licin
secara berangsur-angsur ukurannya akan kembali seperti sebelum kehamilan
dalam waktu 6-8 minggu setelah persalinan, rugae akan timbul kembali pada
minggu ke-4. (Bobak & Jansen, 2000: 719)
7. Laktasi
Pembentukan ASI dipengaruhi oleh zat hormon prolaktin. Pembentukan ASI
dimulai pada hari ke-3 sampai ke-4. Payudara membesar diakibatkan oleh hormon
progesterone yang menurun mengakibatkan hormon prolaktin keluar. Bendungan
ASI mengakibatkan progesterone atau esterogen dan hormon prolaktin
terbentuknya lama sehingga keluarnya ASI kolostrom pada hari ke-1 hingga ke-3,
ASI transisi hari ke-4 sampai ke-9 dan ASI matur lebih dari 9 hari. (Wiknjosastro,
1999: 238)
8. Sistem endokrin
Beberapa perubahan yang terjadi pada sistem endokrin selama masa puerperium
diantaranya yaitu hormon plasenta menurun dengan cepat setelah persalinan.
Keadaan human placental laktogen (HPL) mencapai keadaan yang tidak dapat
terdeteksi dalam 24 jam. Keadaan esterogen pada plasma menurun sampai 10%
dari niai ketika hamil dalam waktu 3 jam setelah persalinan, tingkat terendah
terjadi kira-kira hari ke-7 keadaan progesteron dalam plasma menurun sampai
dibawah luteal pada hari ke-3 post partum, produksi progesteron dimulai dari
ovulasi pertama. Pada hormon pituitary keadaan prolaktin pada darah meninggi
dengan cepat selama kehamilan, setelah persalinan pada wanita yang tidak laktasi
keadaan prolaktin menurun mencapai keadaan sebelum kehamilan dalam waktu
dua minggu. (Bobak & Jansen, 2000 :723)
9. Sistem kardiovaskuler
Perubahan pada voume darah tergantung pada beberapa faktor variabel, contoh:
kehilangan darah selama persalinan. Kehilangan darah mengakibatkan segera
perubahan volume darah, namun hanya terbatas pada penurunan volume darah
total dalam 3-4 minggu. Setelah persalinan volume darah seringkali menurun
sampai pada nilai sebelum hamil. Kardiac output terus meningkat selama kala I
dan kala II persalinan dan tetap tinggi untuk beberapa waktu sampai 48 jam post
partum, serta akan kembali pada keadaan seperti sebelum hamil dalam waktu 2-3
minggu. Perubahan tanda-tanda vital dan tekanan darah terlihat sebagai satu hal
yang normal. Fungsi pernafasan kembali pada keadaan seperti sebelum hamil
dalam waktu 6 bulan setelah persalinan. (Bobak & Jansen, 2000 :720)
10. Sistem urinaria
Perubahan hormonal pada kehamilan menyebabkan peningkatan pada fungsi
renal, sebaliknya pada keadaan steroid berkurang setelah persalinan. Fungsi ginjal
kembali normal dalam beberapa bulan setelah persalinan, kira-kira selama 2-8
minggu mendorong terjadinya hipotonia akibat kehamilan dan dilatasi uteri dan
pelvis renal untuk kembali pada keadaan sebelum hamil. Trauma terjadi pada
uretra dan kandung kemih ketika janin melewati pelviks, dinding kandung kemih
hiperemis dan edema, seringkali sedikit area mengalami perdarahan. Kontraksi
kandung kemih akan pulih kembali dalam waktu 5-7 hari setelah persalinan
dengan pengosongan kandung kemih yang adekuat. (Bobak & Jansen, 2000 :725)
11. Sistem Gastro intestinal
Ibu seringkali cepat lapar setelah melahirkan dan cepat mentoleransi dengan diet
yang ringan, setelah pemulihan yang sempurna dari analgetik anestesi dan
kelelahan , kebanyakan ibu merasa lapar. Tipe penurunan tonus otot dan mobilitas
traktus gastrointestinal berlangsung hanya beberapa waktu setelah persalinan.
Penggunaan analgetik dan anestesi yang berlebihan dapat memperlambat
pemulihan kontraksi dan mobilitas otot. (Bobak & Jansen, 2000 : 726)
12. Sistem integumen
Kloasma kehamilan seringkali hilang pada akhir kehamilan.
Hiperpigmentasi areola dan linea nigra mungkin tidak menghilang secara
keseluruhan setelah persalinan dan beberapa wanita akan mempunyai pigmentasi
hitam yang menetap pada area ini. Pertumbuhan rambut yang berlebihan terlihat
selama kehamilan dan seringkali menghilang setelah persalinan (Bobak & Jansen,
2000 :727).
I. Adaptasi Psikologi Post Partum
Menurut (Rubin, 1995 : 59) Adaptasi psikologi post portum dibagi menjadi 3 fase
yaitu:
1. Fase taking in (dependent)
Fase ini dimulai pada hari pertama dan kedua setelah melahirkan, dimana ibu
membutuhkan perlindungan dan pelayanan. Pada tahap ini Klien sangat
ketergantungan dan sebagian besar kebutuhannya dipenuhi oleh orang lain, serta
pada tahap ini tidak tepat diberi penyuluhan.
2. Fase taking hold (Dependent-Independent)
Fase ini dimulai pada hari ke-3 setelah melahirkan dan berakhir pada minggu ke-4
sampai ke-5. sampai hari ke-3 ibu siap menerima peran barunya dan belajar
tentang hal-hal baru. Pada tahap ini sistem pendukung sangat berarti bagi ibu
muda yang membutuhkan sumber informasi sehingga pada tahap ini sangat tepat
untuk memberi penyuluhan.
3. Fase letting go (Independent)
Fase ini dimulai sekitar minggu ke-5 sampai ke-6 setelah kelahiran. Keluarga
telah menyesuaikan diri dengan anggota yang baru. Secara fisik ibu menerima
tanggung jawab normal dan tidak lagi menerima peran sakit.
J. Fase-fase Penyembuhan Luka
Fase –fase penyembuhan luka secara umum :
a. Fase I
Penyembuhan berlangsung selama 3 hari, dimana leukosit mencerna bakteri dan
jaringan rusak fibrin bertumpuk-tumpuk pada gumpalan-gumpalan yang mengisi
luka dan pembuluh darah tumbuh pada luka dari benang fibrin sebagai kerangka.
Lapisan tipis dari sel epitel bermigrasi lewat luka dan membantu menutup luka.
Kekuatannya rendah, tetapi luka yang dijahit akan menahan jahitan dengan baik.
b. Fase II
Berlangsung 3 sampai 14 hari,setelah pembedahan leukosit mulai menghilang dan
mulai berisi kolagen serabut protein putih. Semua lapisan sel epitel bergenerasi
selengkapnya dalam satu minggu. Jaringan baru memiliki sangat banyak jaringan
vaskuler, jaringan ikat kemerahan karena banyak pembuluh darah. Tumpukan
kolagen akan menunjang luka dengan baik dalam 6 sampai 7 hari.
c. Fase III
Kolagen yang terus bertumpuk ini akan menekan pembuluh darah baru dan aliran
darah menurun. Luka sekarang seperti berwarna merah jambu yang luas. Pada
fase ini berlangsung dari minggu kedua sampai minggu keenam, setelah
pembedahan Klien harus menjaga agar tidak menggunakan obat.
d. Fase IV
Berlangsung beberapa bulan setelah pembedahan, Klien akan mengeluh gatal
pada sekitar luka, meskipun kolagen terus menumpuk pada waktu ini luka terus
menciut dan tegang, karena penciutan terjadi ceruk yang berwarna putih. ( Long,
B.C, 1996 :268)
K. Penatalaksanaan Umum Klien Pasca Sectio Caesarea
Setelah operasi selesai Klien dibaringkan miring dalam kamar pulih dengan
pemantauan ketat seperti nadi, tensi, napas tiap15 menit dalam satu jam pertama,
kemudian 30 menit dalam satu jam berikutnya dan selanjutnya tiap satu jam. Klien
tidur dengan muka disamping dan yakinkan kepalanya agak tengadah agar jalan nafas
bebas. Letakkan tangan atas didepan badan agar mudah melakukan pengambilan
tensi, kemudian tungkai bagian atas dalam posisi fleksible. Analgesik yang di berikan
adalah suppositoria (ketropofen supp 2 kaji per 12 jam atau tramadol), injeksi
pethidine dengan dosis 50-75 mg diberikan tiap 6 jam bila perlu dan obat oral
diberikan seperti tramadol tiap 6 jam atau phenilbutazone atau parasematol.
Untuk mobilisasi Klien biasanya telah dapat menggerakkan kaki dan tangan serta
tubuh sedikit, kemudian dapat duduk pada jam ke 8-12, dapat berjalan bila mampu
pada 24 jam pasca bedah, bahkan Klien dapat mandi sendiri pada hari kedua. Bila 6
jam pasca bedah paristaltik positif maka Klien dapat diberikan minum hangat sedikit
demi sedikit terutama bila mengalami anestesi spinal dan Klien tidak muntah, sedang
pada anestesi umum mungkin akan lebih lambat timbulnya paristaltik. Klien dapat
makan lunak atau biasa pada hari pertama, infus dapat dilepas pada 24 jam pasca
bedah dan kateter dilepas pada 12 jam pasca bedah.
Pada perawatan luka,kasa perut harus dilihat pada hari pertama pasca bedah bila kasa
basah dan berdarah maka harus dibuka dan diganti. Umumnya kasa perut dapat
diganti pada hari ke 3-4 sebelum pulang dan seterusnya Klien dapat mengganti
sendiri, luka dapat diberi salep bethadine sedikit, untuk jahitan dapat dibuka pada hari
ke-5 pasca bedah. Klien dapat rawat gabung dengan bayi dan memberikan ASI dalam
posisi tidur atau duduk. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah
haemoglobin dan hematokrit, biasanya akan terdapat penurunan haemoglobin 2%,
bila hasil dibawah dua dipertimbangkan untuk transfusi. Kateter dibuka 12-24 jam
pasca bedah, bila terdapat hematuri pengangkatan dapat ditunda, kateter akan tetap
dipertahankan bila, tejadi rupture uteri, partus lama, edema perineal, sepsis dan
perdarahan. Klien dapat di pulangkan pada hari ke 3-4, beri intruksi mengenai
perawatan luka. Klien diminta datang untuk ditindak lanjuti mengenai perawatan luka
7 hari setelah pulang. Klien dapat mandi setelah hari ke-5 dengan mengeringkan luka
dan merawat luka seperti biasa. Klien diminta datang segera bila terdapat perdarahan,
demam dan nyeri perut berlebihan.
L. Pengkajian Pasca Partum Sectio Caesarea
Adapun pengkajian pada Klien pasca partum sectio caesarea dengan meninjau
kembali catatan pranatal dan intra operatif dan adanya indikasi, untuk kelahiran sectio
caesarea adalah:
1. Sirkulasi
Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800 ml, tekanan
darah nadi pada ektremitas, suhu, tanda homan.
2. Integritas ego
Dapat menunjukkan labilitas, emosional, dari kegembiraan sampai ketakutan,
marah atau menarik diri. Klien atau pasangan dapat memiliki pertanyaaan atau
salah terima peran dalam pengalaman kelahiran, mungkin mengekspresikan
ketidakmampuan untuk menghadapi situasi baru.
3. Eliminasi
Kateter urinearius indwelling mungkin terpasang: urine jernih, pucat, bising usus
tidak ada, samar atau jelas.
4. Makanan / cairan
Napsu makan, mual muntah, pemasukkan oral, bagaimana turgor kulit, adakah
edema di kaki, tangan atau wajah, membran mukosa.
5. Neuro Sensori
Kerusakan gerakan dan sensasi dibawah tingkat anestesi spinal epidoral, sensasi
ekstremitas bawah, gerakan ekstremitas bawah, reflek tendon dalam.
6. Nyeri / ketidaknyamanan
Mungkin mengeluh ketidaknyamanan dari berbagai sumber misalnya: trauma
bedah/ insisi, nyeri penyerta, distensi kandung kemih/ abdomen, lokasi, intensitas,
frekwensi. Penyebaran faktor-faktor pencetus kontraksi, ekspresi wajah, gerakan
tubuh.
7. Pernafasan
Bunyi paru jelas dan vesikuler
8. Keamanan
Balutan pada abdomen tampak sedikit noda atau kering dan utuh, jalur parenteral
bila digunakan paten, dan sisi bebas eritema, bengkak dan nyeri tekan.
9. Seksualitas
Fundus uteri berkontraksi kuat dan terletak di umbilikus, aliran lochea sedang dan
bebas bekuan berlebihan atau banyak, payudara lunak atau keras, adanya
kolostrom.
10. Jumlah darah lengkap, hemoglobin atau hemotokrit:
Mengkaji perubahan dari kadar hemoglobin praoperasi dan mengevaluasi efek
kehilangan darah selama perdarahan. Urine analisis: kulture urine, darah, vagina
dan lochea: pemeriksaan tambahan didasarkan pada kebutuhan individual.
11. Interaksi Sosial
Persepsi mengenai neonatus, interaksi keluarga, adanya perilaku kedekatan.
12. Penyuluhan dan Pembelajaran
Pilihan pemberian makan bayi, respon terhadap interaksi pemberian makan awal.
M. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas
jaringan sekunder terhadap pembedahan. (Doengoes, 2000 :345)
2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan adanya insisi pembedahan dan nyeri,
kelemahan fisik, efek anestesi. (Doengoes, 1999: 260)
3. Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan kerentanan tubuh terhadap
bakteri sekunder terhadap pembedahan (Carpenito, 2000 :540)
4. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah selama
pembedahan. (Doengoes, 1999: 356)
5. Kurang pengetahuan tentang perawatan diri dan perawatan bayi berhubungan
dengan kurang informasi tentang perawatan pasca persalinan. (Doengoes, 2000 :
351)
6. Resiko defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik dan adanya
nyeri pasca pembedahan. (Carpenito, 2000 :368)
7. Tidak efektifnya pola laktasi berhubungan dengan tingkat pengetahuan,
pengalaman sebelumnya, usia gestasi bayi, tingkat dukungan, struktur,
karakteristik fisik payudara ibu.
N. Fokus Intervensi
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas
jaringan sekunder terhadap pembedahan ( Dongoes, 200:345)
Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang
Kriteria hasil : Klien menyatakan nyeri berkurang dengan skala 0-2, klien dapat
istitrahat dengan tenang ,dan tanda tanda vital dalam batas
normal terutama tekanan darah dan nadi.
Intervensi : Kaji skala nyeri dan karakteristik nyeri ( lokasi,durasi, freksesi
dan intensitas nyeri). Monitor tanda tanda vital terutama
tekanan darah dan nadi, atur posisi nyaman klien sesuai
kenyamanan klien ( semi fowler/miring ), anjurkan klien untuk
melakukan tehnik relaksasi ( tarik nafas panjang dan dalam )
atau tehnik distraksi,ciptakan lingkungan yang nyaman dan
tenang, kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan adanya insisi pembedahan dan nyeri,
kelemahan fisik, efek anestesi ( Dongoes ,1999,260)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan dan melakukan aktivitas sesuai
dengan kemampuan tanpa disertai nyeri
Kriteria hasil : Klien dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menurunkan
aktivitas
Intervensi : Kaji respon klien terhadap aktivitas,catat anestesi yang diberikan
saat intrapartus pada waktu klien sadar,anjurkan untuk istirahat,
bantu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari sesuai
kemampuan, tingkatkan secara bertahap dan kolaborasi untuk
therapy ambulasi dini
3. Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan kerentanan tubuh terhadap
bakteri sekunder terhadap pembedahan ( Carpenito, 1998 :540)
Tujuan : Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda infeksi (tumor, color, rubor,dolor, fungsio
laesa), tanda-tanda vital dalam batas normal (suhu 36-37°C).
Intervensi : Monitor tanda tanda vital, kali luka pada abdomen dan balutan,
menjaga kebersihan sekitar luka dan lingkungan klien. Lakukan
perawatan luka dengan tehnik aseptik dan steril, lakukan
perawatan vulva dengan tehnik aseptik, catat dan pantau kadar
haemoglobin, hematokrit, kolaborasi pemberian antibiotik sesuai
indikasi
4. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah selama
pembedahan ( Doengoes, 1999 : 356)
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan volume cairan
Kriteria hasil : Intake dan output seimbang, tanda tanda vital dalam batas
normal terutama suhu ( 36-37°C),dan tidak terdapat tanda tanda
dehidrasi seperti turgor kulit jelek, mukosa bibir kering,kulit
kering.
Intervensi : Monitor tanda tanda vital awasi turgor kulit, monitor intake dan
output dan timbang berat badan tiap hari, anjurkan klien untuk
meningkatkan intake sedikitnya 8 gelas perhari, pertahankan
therapy intravena untuk penggantian cairan sesuai indikasi dan
intruksi, kolaborasi untuk pemeriksaan haemoglobin dan
hematokrit
5. Kurang pengetahuan tentang perawatan diri dan bayi berhubungan dengan kurang
informasi tentang perawatan pasca partum ( Doengoes , 2000:351)
Tujuan : Pengetahuan klien meningkat setelah dilakukan tindakan
keperawatan
Kriteria hasil : Klien mampu menyatakan pemahaman tentang pemberian
intruksi atau informasi, Klien mampu mendemonstrasikan
prosedur belajar dengan tepat
Intervensi : Bantu klien dalam mengindentifikasi kebutuhannya, berikan
informasi tentang perawatan bayi dan diri sendiri, ajarkan Klien
tentang tata cara merawat bayi dan lakukan prosedur yang benar.
Beri kesempatan Klien untuk merawat bayinya, lakukan rencana
penyuluhan sesegera mungkin setelah penerimaan perkiraan
pada kondisi dan kesiapan untuk belajar.
6. Resiko defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik dan adanya
rasa nyeri pasca pembedahan ( Carpenito, 2000:368)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diri terpenuhi secara
adekuat.
Kriteria hasil : Klien mampu melakukan perawatan diri secara mandiri, klien
merasa nyaman dalam melakukan aktivitas perawatan diri.
Intervensi : Kaji faktor penyebab atau faktor berperan, tingkatkan partisipasi
optimal, evaluasi kemampuan untuk berpartisipasi dalam setiap
perawatan diri, bantu klien dalam pemenuhan kebutuhan
personal hygiene sehari-hari, memotivasi dalam melakukan
aktivitas perawatan diri. Hindari peningkatan ketergantungan
individu dengan tidak campur tangan kemampuan observasi
kemampuan individu untuk melaksanakan perawatan mulut,
potong kuku, dan lainnya.
7. Tidak efektifnya pola laktasi berhubungan dengan tingkat pengetahuan,
pengalaman sebelumnya.tingkat dukungan, struktur atau karakteristik fisik
payudara ibu, usia gestasi ibu.
Tujuan : Laktasi adekuat
Kriteria hasil : Klien dapat mendemonstrasikan cara menyusui dengan baik dan
benar, ASI keluar, dapat melakukan perawatan payudara (
payudara tidak bengkak)
Intervensi : Kaji tingkat pengetahuan Klien tentang perawatan payudara,
ajarkan cara perawatan payudara, anjurkan Klien untuk
melakukan perawatan payudara setiap hari, anjurkan untuk
memakai bra penyokong dan beri kesempatan untuk menyusui
bayinya dengan leluasa.