BAB II
KERANGKA TEORITIK
A. Landasan Teoritik
1. Guru Bimbingan dan Konseling di Sekolah
a. Pengertian Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Guru bimbingan dan konseling adalah guru yang bertugas
untuk membantu memecahkan dan menyelesaikan permasalahan
siswanya di sekolah. Dalam menyelesaikan permasalahan siswa
guru BK harus membangun komunikasi salah satunya pada siswa
bermasalah. Menurut Sukardi (2008) guru BK harus berusaha
membangun komunikasi yang baik dengan siswa yang sedang
menghadapi masalah karena tugas guru BK yaitu memberikan
bantuan psikologi secara profesional. Itu artinya guru BK diharus
membangun komunikasi agar dapat mehamami setiap
permasalahan siswanya dan inti dari sebuah komunikasi adalah
mendengarkan. Hal ini sejalan dengan penjelasan Belkin (Prayitno,
2013) salah satunya menyebutkan bahwa konselor harus
memahami dan mengembangkan kompetensinya untuk membantu
siswa yang mengalami ganggu emosional dalam bentuk kegiatan
kelompok ataupun kegiatan lainnya.
12
Selain itu menurut Syamsu (2008) tugas guru BK lainnya
guru BK dituntut untuk memiliki pemahaman dalam melaksanakan
program dan layanan bimbingan dan konseling yang akan
diberikan pada siswa di sekolah. Berdasarkan penjabaran para ahli
mengenai tugas guru BK di sekolah yaitu membantu memecahkan
permasalahan siswanya. Untuk dapat memahami permasalahan
siswa guru BK diharus mendengarkan secara empati serta wajib
mengembangkan kompetensinya. Sehingga guru BK dalam
melaksanakan layanan bimbingan dan konseling di sekolah dapat
terselenggara dengan baik.
b. Kualitas Guru Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Dalam menjalankan sebagaimana tugasnya di sekolah
dalam menghadapi siswa guru BK harus memiliki kualitas yang ada
pada dirinya. Cavanagh (Syamsu Yusuf, 2008) menyebutkan
kualitas guru BK ditandai dengan karakteristik sebagai berikut : a)
pemahaman diri ; (b) kompeten : (c) memiliki kesehatan psikologis
yang baik ; (d) dapat dipercaya ; (e) jujur; (f) kuat; (g) hangat ; (h)
responsif; (i) sabar, (j) sensitif ; dan (k) memiliki kesadaran yang
holistik.
13
Rogers (1961) mengatakan bahwa konselor yang efektif
harus memiliki karakteristik keaslian (congruence) dimana konselor
secara terbuka mengekspresikan perasaan, pemikiran, reaksi dan
sikapnya dalam hubungan dengan konseli artinya konselor
menunjukkan respon dan sikap sebenarnya tanpa dibuat-buat.
Selanjutnya konselor juga harus bersikap menerima konseli secara
positif (Unconditional Positive Regard and Acceptance) dengan
bersikap hangat pada konseli dan yang terakhir yaitu pemahaman
empati (empathic understanding) dimana melalui pemahaman
empati konselor memahami dan merasakan kehidupan konseli
serta merasakan diposisi konseli. Apabila ketiga karakteristik ini
ada pada diri konselor maka hubungan konselor dan konseli akan
menjadi sangat efektif. Peneliti menarik kesimpulan berdasarkan
perkataan Rogers bahwa sebagai seorang guru BK harus bersikap
apa adanya dengan cara menjukkan perasaanya dengan tulus dan
menerima siswa apa adanya.
Sementara McLeod (2008) berpendapat bahwa adanya
perbedaan antara konselor yang efektif dan tidak efektif hal ini
dapat dilihat ketika konselor mampu melihat tindakannya sendiri
dan tindakan konselinya. Terdapat tujuh kompetensi konselor
14
sebagai keterampilan dan kualitas konselor yang efektif sebagai
berikut :
1) Keterampilan interpersonal : Mampu menujukkan perilaku
empati, kehadiran komunikasi non verbal, sensitifitas terhadap
kualitas suara, merespons ekpresi emosi, menstruktur waktu
serta menggunakan bahasa.
2) Keyakinan dan sikap personal : sensitivitas terhadap nilai yang
diyakini oleh konselor dan konseli
3) Kemampuan konseptual : kemampuan untuk memahami dan
menilai masalah konselor serta kemampuan memecahkan
masalah
4) Ketegaran personal : tidak adanya keyakinan irrasional,
kemampuan untuk mentoleransi perasaan yang tidak nyaman
dalam hubungan dengan konseli, tidak memiliki prasangka
sosial, etnosentrisme dan autoritarianisme
5) Menguasai teknik : Pengetahuan tentang kapan dan bagaimana
konselor melaksanakan intervensi pada konseli
6) Kemampuan untuk paham dan bekerja dalam sistem sosial :
kemampuan konselor untuk bekerjasama dengan konseli,
supervisi atau sensitivitas yang mendukung dalam mengetahui
dunia konseli
15
7) Terbuka untuk belajar dan bertanya : konselor terbuka terhadap
pengetahuan yang baru
c. Prinsip Berkenaan dengan Permasalahan Individu
Prinsip yang mendasari gerak guru BK dalam
menyelenggarakan layanan bimbingan salah satunya berkenaan
dengan permasalahan individu (Wardati & Jauhar, 2011) :
1) Berurusan dengan hal yang berkaitan dengan kondisi
fisik/mental individu yang berkenaan dengan penyesuaian
dilingkungan rumah, sekolah, pekerjaan dan pengaruh
lingkungan terhadap kondisi mental/ fisik individu
2) Faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah individu seperti
kesenjangan sosial, ekonomi, dan budaya.
Dilihat dari prinsipnya dalam menyelenggarakan bimbingan
dan konseling di sekolah yakni guru BK harus memahami
permasalahan siswa berkenaan dengan kondisi fisik dan mental
siswa. Untuk dapat memahami permasalahan siswa dibutuhkan
empati mendengarkan berkaitan dengan permasalahan yang siswa
ceritakan.
16
2. Empati Mendengarkan
a. Pengertian Empati Mendengarkan
Mendengarkan secara aktif didorong oleh nilai empati.
Rogers (1980) mendeskripsikan empati sebagai berikut :
“ The state of empathy, or being emphatic, is to perceive the internal frame of reference of another with accuracy and with the emotional components and meanings which pertain there to as if one were the person, but without ever losing the "as if" condition. Thus it means to sense the hurt or the pleasure of another as he senses it and perceive the causes there of as he perceive them, but without ever losing the recognition that it is as if were hurt or pleased and so forth. lfthis "as if" quality is lost, then the state is one ofidentification”
Rogers menegaskan bahwa empati merupakan proses
dimana seseorang masuk kedalam dunia orang lain dengan tepat
dan dengan komponen emosional seolah-olah merasakan sebagai
orang tersebut, namun tidak kehilangan identitas dirinya sendiri.
Apabila dikaitkan dengan empati mendengarkan artinya saat
mendengarkan harus masuk kedalam dunia lawan bicara
sehingga dapat merasakannya sepenuh diposisi orang tersebut.
Sedangkan Rowan (1986) menjelaskan bahwa
mendengarkan adalah aspek yang sulit dalam proses konseling
karena terlepas dari orientasi teoritis seorang konselor. Adapun
yang dikatakan Rowan sebagai berikut :
17
“We are always needing to refer to the necessity of making contact with the world as the client experiences it. Unless we can hear what the client is saying, we cannot even begin to start any rationally defensible form of psychotherapy or counseling, which in this respect are the same” Hal.83
Rowan menegaskan bahwa seorang konselor selalu
melakukan kontak dengan dunia konseli, jika tidak dapat
mendengarkan apa yang dikatakan, maka tidak dapat memulai
psikoterapi atau konseling, yang mana dalam hal ini sama baik
psikoterapi atau konseling.
Menurut Devito (2013) empati mendengarkan tidak hanya
melibatkan pikiran melainkan perasaan dengan cara memasuki
pikiran dan perasaan orang lain melalui mendengarkan secara
aktif. Untuk mendorong empati harus menghindari hal-hal yang
menghambat seperti menjaga jarak serta memotong pembicaraan
lawan bicara. Sedangkan menurut Egan (2002) empati
mendengarkan adalah tidak mementingkan diri sendiri karena
sebagai konselor harus menyampingkan dirinya sendiri karena
perhatian seluruhnya tertuju pada konselinya.
Proses empati mendengarkan sendiri melibatkan a) proses
kognitif, seperti memperhatikan, memahami, menerima dan
menafsirkan pesan; b) proses afektif, seperti termotivasi dan
dirangsang untuk hadir pada pesan orang lain; Dan c) proses
18
perilaku, seperti merespons dengan verbal dan non verbal.
Eisenberg & Strayer (1987) menyebutkan dengan proses kognitif
dapat memahami perspektif dan sudut pandang orang lain secara
tepat misalnya dapat dilakukan dengan cara membayangkan
perasaan orang lain ketika sedih, marah, senang serta
memahaminya dengan cara melihat pesan non verbal yang
disampaikan dan sudut pandang orang tersebut. Ahli lain seperti
Janusik (2007) mengatakan bahwa mendengarkan biasanya
dipahami sebagai proses kognitif yang melibatkan langkah-langkah
seperti penginderaan, pengolahan, dan respons, tetapi juga
sebagai persepsi. Sedangkan proses afektif yaitu ketika melihat
orang lain sedih atau kecewa sehingga turut merasakannya
(Hoffman M. L., 2000 ; Fesbach, 1975 ; Davis M. H., 1980 ; Duan &
Hill, 1996). Sedangkan Goelman (1997) menjelaskan empati
dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka pada emosi
diri sendiri, maka semakin terampil dalam membaca perasaan
orang lain. Sementara ahli lainnya menyimpulkan bahwa
komponen empati afektif dan kognitif tidak dapat dipisahkan
(Brems, 1989 ; Davis M. H., 1980 ; Batson & Ahmad, 2009).
Didalam mendengarkan secara empati terdiri dari strategi
verbal dan nonverbal (misalnya mengajukan pertanyaan untuk
19
klarifikasi dan memberikan isyarat) karena dengan mendengarkan
mengharuskan pendengar menunjukkan keterlibatan, keterlibatan
emosi, menghadiri, menafsirkan dan menanggapi dukungan emosi
(Jones, 2011). Ketika guru BK menujukkan verbal dan nonvebal
maka akan menimbulkan persepsi bagi siswa terhadap pengaruh
keaslian pesan verbal dan nonverbal yang ditunjukkan oleh guru
BK (Maurer & Tindall, 1983). Selain itu, adanya perbedaan respon
verbal yang ditunjukkan oleh setiap konselor berbeda-beda
berdasakan tingkat pengalaman empati konselor (Saphiro, 1986).
Berdasarkan definisi empati mendengarkan yang telah
dikemukakan oleh beberapa ahli, maka peneliti mengambil
kesimpulan bahwa empati mendengarkan merupakan suatu
keadaan ketika seseorang memahami apa yang orang lain rasakan
sehingga seolah-olah ikut juga merasakan perasaan orang lain
tersebut dan bagaimana mengambil sudut pandang orang lain.
Mendengarkan secara empati merupakan hal yang penting
bagi kompetensi seorang guru BK dalam memahami peserta didik
di sekolah, salah satunya yaitu pada siswa bermasalah karena
empati merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh guru BK
serta karakteristik kepribadian seorang guru BK. Proses empati
mendengarkan melibatkan kemampuan kognitif ,afektif dan
20
perilaku. Jika guru BK tidak menggunakan kognitifnya, maka guru
BK tidak akan mampu membayangkan apa yang terjadi pada
siswanya, sebaliknya jika guru BK tidak menggunakan afektifnya
tidak akan mampu merasakan perasaan siswanya. Sehingga dapat
dikatakan afektif dan kognitif mempengaruhi dalam berempati serta
tidak dapat dipisahkan. Empati juga melibatkan komunikasi dan inti
dari sebuah komunikasi adalah mendengarkan didalamnya
terdapat pesan verbal dan nonverbal yang dapat mempengaruhi
guru BK dalam mengkomunikasikan apa yang sebenarnya terjadi
pada siswanya. Namun empati guru BK dapat terjadi jika guru BK
terbuka oleh emosinya sehingga dapat menyadari perasaan
siswanya, karena empati akan terjadi ketika saling mempengaruhi
satu sama lain.
b. Empati mendengarkan dalam Bimbingan dan Konseling
Rogers (1980) juga membicarakan tentang dasar empati
mendengarkan dan memahami orang lain, yakni empati
mendengengarkan artinya memasuki orang lain dan sepenuhnya
pada posisi orang lain tersebut, melibatkan sensitifitas, memahami
pengalaman orang lain namun secara hati-hati tanpa memberikan
penilaian pada orang lain. Artinya dalam empati mendengarkan
seorang guru BK memasuki kehidupan siswanya, seolah-olah
21
kehidupan siswa merupakan kehidupannya, melibatkan perasaan
sensitifitas dengan hati-hati tanpa memberikan penilaian. Hasil
penelitian Cosgrove & Patterson (1979) menunjukkan bahwa
Pemberian efek umpan balik dari seorang pendengar akan
menunjukkan pesan yang berkualitas tinggi.
Menurut Willis (2013) bahwa empati seorang konselor harus
dapat merasakan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami oleh
konseli. Adapun hal yang harus yang harus diperhatikan dalam
berempati sebagai berikut :
1) Melihat kerangka rujukan dunia konseli atau kehidupan internal
konseli (internal frame of reference)
2) Menempatkan diri ke dalam persepsi internal konseli
3) Merasakan apa yang dirasakan konseli
4) Berpikir bersama konseli, bukan berpikir tentang atau untuk
konseli
5) Menjadi cerminan perasaan konseli (emotional miror).
Namun empati dalam bimbingan dan konseling, tidaknya
sebatas empati mendengarkan, Buchheimer (1983) mengatakan
terdapat lima dimensi dalam empati yaitu :
1) Respons dengan nada suara atau sensorik dan respon meniru
22
Berhubungan dengan ekspresif dan dimensi nonverbal
pada konselor hal ini hanya terjadi ketika konselor
mendengarkan konseli. Maksudnya, ketika guru BK
mendengarkan siswa maka guru BK akan memberikan respon
secara ekspresif dan nonverbal dengan meniru apa yang
ditunjukkan oleh siswa. Hal ini tergantung pada kehangatan
hubungan dan spontanitas. Guru BK harus reflektif, dan peka
terhadap ekspresi yang ditunjukkan siswa. Pertemuan ini terjadi
ketika guru BK dan siswa berinteraksi secara harmonis
2) Kemiripan atau kemiripan dalam pergerakan
Hal ini terkait dengan waktu yang tepat dari arah
konselor. Pertemuan ini terjadi Ketika konselor mengizinkan
konseli untuk mengatur laju wawancara
3) Strategi dan fleksibilitas atau prediksi intelektual dan objektif
Hal ini berhubungan dengan prediksi, atau aspek
mengambil peran pada konseli. Pertemuan konselor dengan
konseli tergantung pada tingkat fleksibilitas konselor. Konselor
harus membuang pemikiran sebelumnya jika terjadi
ketidaksesuaian apa yang dipikirkannya dengan situasi konseli.
Konselor dapat memodifikasi strateginya pada saat wawancara
23
berlangsung. Dimensi ini tergantung pada spontanitas konselor,
fleksibilitas konselor, serta kemampuan konselor untuk
memprediksi konseli.
4) Adaptasi kerangka acuan atau persepsi kognitif terhadap orang
lain
Persepsi kognitif terhadap orang lain menjadi
kemampuan untuk memahami kerangka berfikir konseli. Ini
adalah kemampuan untuk mengabstrakasi inti perhatian konseli
dan kemampuan untuk merumuskan secara objektif
5) Repertoar dari konselor atau berbagai macam respons
imajinatif.
Kemampuan konselor untuk mengunakan imajinasinya
pada saat pertemuannya dengan konseli berdasarkan ekpresi
yang ditunjukkan oleh konseli sehingga mengembangkan
responnya pada konseli dan menambah perhatiannya pada
konseli.
Selain itu dalam empati mendengarkan melibatkan
komunikasi efektif artinya penerima pesan dapat
menginterpretasikan sebagaimana pesan yang dimaksud oleh
24
pengirim pesan. Menurut Johnson (Supraktiknya, 1995) hal yang
harus diperhatikan dalam komunikasi adalah :
1) Mampu saling memahami. sikap ini mencakup kepercayaan,
pembukaan diri dan penerimaan diri. Adanya tanggapan seperti
verbal dan nonverbal, mendengarkan penuh perhatian ketika
orang lain mulai membuka komunikasi
2) Mampu mengkomunikasikan pikiran dan perasaan secara jelas
dan tepat. Kemampuan ini dapat dilakukan dengan melalui cara
mendengarkan sehingga dapat memahami lawan bicara.
3) Saling menerima dan memberi dukungan ataupun saling
menolong. Hal ini dapat dilakukan ketika mampu menanggapi
keluhan orang lain dengan cara menunjukkan sikap memahami
yang bersifat menolong. Misalnya, ketika guru BK mendengar
bahwa siswanya memiliki masalah bahwa orangtuanya
bercerai, maka guru BK dapat menanggapi masalah siswa dan
bersedia membantu siswa memecahkan permasalahannya.
4) Komunikasi akan terbangun dan menjadi berkembang ketika
dapat memasuki pemikiran dan perasaan orang lain sehingga
komunikasi tetap terjaga dan komunikasi dapat bersifat dinamis
(liliweri, 1991).
25
c. Komponen empati mendengarkan
Menurut Egan (2002) Mendengarkan didorong oleh nilai
empati. Pusat dari empati mendengarkan pada jenisnya adalah
cara untuk menunjukkan keberadaan seseorang, mengobservasi,
dan dalam hal ini mendengarkan dibutuhkan untuk memahami
dunia orang lain. Mendengarkan tidak hanya sebuah
keterampilan,melalui mendengarkan merupakan cara yang kaya
untuk membantu dalam sebuah hubungan dan dibutuhkan dalam
semua hubungan. Egan membagi empati mendengarkan sebagai
berikut :
1) Mendengarkan pada kata-kata
Mendengarkan pada apa yang konseli katakan tidak
berarti bebas dari segala aktifitas, seorang penolong harus
fokus. Selain itu harus mengenali cerita konseli, sudut
pandangan konseli, keputusam dan menyatakan maksud atau
tujuan yang akan dapat membantu dalam point penting dari
konseli.
a) Mendengarkan cerita konseli
26
Didalam cerita konseli bercampur dengan
pengalaman, perilaku, dan emosi konseli. Umumnya dalam
hal ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu berfikir, merasakan,
dan tindakan. Disini terdapat perbedaan pendekatan yang
dilakukan pada konseli. Berdasarkan cerita konseli yang
didasari oleh pengalamannya yaitu jika konseli menceritakan
apa yang terjadi dengan dirinya seperti misalanya
pengelaman terhadap situasi permasalahan yang terjadi,
Jika cerita konseli berdasarkan perilaku yaitu ketika konseli
menceritakan apa yang konseli lakukan, dan jika konseli
bercerita mengenai pengalamannya hal ini berdasarkan apa
yang terjadi pada konseli dalam beberapa waktu
b) Mendengarkan sudut pandang konseli
Sebagai konseli pastinya menjelaskan ceritanya,
seperti menceritakan masa depan yang lebih baik, tujuan,
membuat perencanaan dan melihat kembali sudut pandang
konseli dalam membuat rencana.
c) Memahami keputusan konseli
Mendengarkan keputusan yang dibuat oleh konseli,
dalam hal ini sebagai seorang konselor harus saling
27
memahami keputusan yang telah dibuat konseli, alasan
untuk mengambil keputusan tersebut
d) Mendengarkan maksud dan usul konseli
Mendengarkan permintaan dan usul konseli untuk
tindakan tertentu yang akan dilakukannya. Maksudnya
adalah konselor mendengarkan permintaan dan usul
konseli tindakan yang akan dilakukannya berdasarkan
semua permasalahanya namun konseli tidak
memberitahukan bagaimana rencana tindakan yang akan
dilakukan pada masalahnya. Sehingga intinya adalah
konselor harus membangun kerangka kerja untuk
mendengarkan usul konseli yang nantinya dapat membantu
konselor mengidentifikasi perasaan, emosi dan mood
bersama konseli
e) “Mendengarkan” sumber-sumber permasalahan konseli
Jika sebagai konselor hanya mendengarkan masalah
saja, maka terus menerus akan berbicara tentang masalah.
Dan konselor akan mengubah konselinya. Setiap konseli
memiliki sesuatu untuk dirinya misalnya kekuatan, maka
tugas sebagai konselor menemukan sumber daya kekuatan
28
tersebut dan membantu konseli menanamkan sumber daya
kekuatan ini pada diri konseli dalam mengelola situasi dan
peluang terjadinya masalah Jika orang umumnya hanya
menggunakan sebagian kecil dari potensinya, maka banyak
yang harus diambil dalam potensi yang dimilikinya.
2) Membaca pesan nonverbal dan perubahan pesan nonverbal
Konseli mengirim pesan melalui perilaku nonverbalnya.
Kemampuan seseorang membaca pesan dapat berkontribusi
pada hubungan untuk menjadi apa yang dirasakan orang lain.
Konselor membutuhkan pembelajaran bagaimana membaca
pesan tanpa harus memotong dan terlalu banyak
menginterpretasi. Disamping komunikasi, perilaku nonverbal
sebagai ekpresi wajah, gerakan tubuh, dan kualitas suara
sering berubah dalam beberapa waktu, tanda saat bertanya,
tanda seru. Berikut adalah pengubahan komunikasi verbal
diikuti dalam beberapa cara :
a) Mengkonfirmasi
Perilaku nonverbal dapat dikonfirmasi atau diulang
sehingga membawa pada pesan verbal. Seperti perilaku
nonverbal dapat dikonfirmasi melalui pesan verbal
29
b) Menyangkal
Perilaku nonverbal dapat menyangkal dan
membingungkan pada apa yang dikatakan secara verbal.
Artinya ketika mengatakan apa yang dirasakannya terdengar
dari suaranya dan dapat dilihat berdasarkan ekspresi
wajahnya, maka perilaku nonverbal akan membawa pesan
yang sebenarnya.
c) Penguatan
Perilaku nonverbal dapat menguatkan atau
menekankan apa yang dikatakan. Artinya perilaku nonverbal
yang dilakukan dapat mempengaruhi apa yang dikatakan.
d) Menambahkan kekuatan
Perilaku nonverbal sering menambahkan berbagai
emosi atau kekuatan dari pesan verbal. Artinya apabila
seseorang mengungkapkan perasaan tidak sukanya, maka
perasaan tidak sukanya dapat ditunjukkan melalui pesan
nonverbalnya sebagai bentuk emosi ketidaksukaannya
terhadap sesuatu.
e) Mengkontrol
30
Isyarat pesan nonverbal sering digunakan untuk
mengatur dalam percakapan atau mengontrol laju dalam
percakapan.
3) Memproses apa yang didengarkan : Dalam mencari makna
Meskipun sebagai seorang konselor melakukan atau
memproses dari apa yang didengar. Caranya dengan melihat
lebih jauh lagi cara berpikir yang kurang dari memproses cerita,
sudut pandang, dan keputusan konseli sehingga sebagai
konseli dapat berpikir dengan baik. Berikut proses berpikir yang
baik :
a) Mengidentifikasi pesan inti dan perasaan.
Konselor membuat penilaian pada konseli sebagai
kunci untuk memahami apa yang konseli ceritakan, namun
konselor harus mengecek kembali apa yang sebenarnya
konselor pahami pada konseli.
b) Memahami melalui keadaan konseli
Mendengarkan secara mendalam artinya
mendengarkan konseli yang dipengaruhi oleh beberapa
pemikiran. Mendengarkan jika menunjuk pada bagaimana
31
pentingnya menginterpretasi perilaku nonverbal konseli pada
saat memberikan bantuan, juga dalam memahami cerita,
pandangan dan keputusan kehidupan konseli.
c) Mendengarkan pada mengarahkan: berfikir keras melalui
proses mendengarkan
Proses Berfikir keras dengan memasukkan cara
mendeteksi kesenjangan, penyimpangan, dan
ketidaksesuaian yang ada pada pengalaman konseli yang
sesungguhnya. Artinya konselor berusaha berfikir keras
melalui proses mendengarkan berdasarkan cerita konseli
yang dianggap membingungkan dan menghadapkan konseli
pada kenyataannya.
d) Merenungkan pada pesan konseli yang terlewati
Konseli sering meninggalkan elemen kunci saat
membicarakan masalahnnya. Konselor harus Memiliki
kerangka kerja akan membantu untuk mendengarkan hal-hal
penting yang hilang. Misalnya, Ketika konseli menceritakan
kisahnya namun mengabaikan pengalamannyaa,
perilakunya atau perasaanya. Konseli menawarkan sudut
pandang terhadap dirinya tetapi tapi tidak mengatakan
32
apapun tentang alasan atau menguraikan implikasi
berdasarkan pemaparan ceritanya. Konseli mengusulkan
tindakan tapi tidak mengatakan alasannya memilih hal
tersebut, apa implikasinya bagi diri konseli sendiri atau
orang lain, sumber daya apa yang mungkin konseli
butuhkan. Sewaktu konselor mendengarkan, penting untuk
mencatat apa yang mereka masukkan dan apa yang mereka
tinggalkan.
d. Hambatan dalam empati mendengarkan
Menurut Enjang (2009) hambatan dalam mendengarkan akan
menimbulkan mis-persepsi atau mis-interpretasi dari penerimaan
sebuah pesan, sehingga hambatan tersebut akan dapat merukan
proses mendengarkan. Enjang membaginya kedalam dua
gangguan dalam hambatan mendengarkan yakni :
1) Gangguan situasi
a) Pesan terlalu banyak
Karena pesan terlalu banyak, maka sejumlah
komunikasi akan sulit secara utuh didengarkan, sehingga
tidak dapat berkonstrasi dan terlibat secara sepenuhnya
dalam mendengarkan.
33
b) Kompleksitas pesan
Proses mendengarkan akan terganggu karena pesan
yang kompleks sehingga sulit dipahami dan dimengerti
c) Gangguan lingkungan
Pesan yang ada disekitar dapat teralihkan karena
kondisi lingkungan sehingga membuatnya untuk sulit
didengar.
2) Gangguan internal
a) Keasyikan
Ketika sebagai pendengar sudah terpikat pada
permasalahan dan pemikiran orang lain, maka akan
mengakibatkan tidak dapat memusatkan apa yang dikatakan
oleh orang lain
b) Prasangka
Terkadang dengan berprasangka seperti telah
mengetahui apa yang orang lain sedang bicarakan, maka
tidak akan mendengarkan secara keseluruhan
c) Kurangnya usaha
34
Sulitnya fokus serta berkonsentrasi pada apa yang
dikatakan orang lain. Dengan cara memahaminya,
memberikan pertanyaan dan respon orang tersebut akan
mengetahui sebagai pendengar sedang terlibat dalam proses
mendengarkan.
Dengan memastikan bahwa komunikasi dapat berjalan
secara efektif dalam pembicaraan hal ini sangat penting
apabila disertai empati mendengarkan sehingga nantinya
dapat merespon apa yang siswa katakan. Apabila komunikasi
terjalin tidak efektif, maka akan mempengaruhi empati dalam
mendengarkan. Maulana & Gumelar (2013) menjelaskan
dalam mendengarkan juga melibatkan penyampaian pesan
yang akan diberikan, kemampuan menyampaikan pesan
dengan baik akan terbangun apabila dapat mengihindari
menggunakan nada suara tinggi karena dianggap kurang
sopan dan dapat menyinggung perasaan orang lain,
menggunakan pemilihan kata yang baik, tidak menatap lawan
bicara sehingga akan menimbulkan tidak adanya perasaan
menghargai, selain itu mendebat dan membantah pernyataan
oranglain, dan yang terakhir yaitu mengkritik dengan
menggunakan bahasa yang kasar sehingga dapat melukai
35
perasaan orang lain. Disamping itu, kendala lainya dalam
proses mendengar yakni :
3) Preokupasi
Situasi dimana seseorang sedang sibuk atau khawatir
untuk mengerjakan urusannya atau urusan lainnya sehingga
apabila ada orang lain yang sedang berbicara tidak akan
didengarkan. Kendala ini berakar pada kekhawatiran terhadap
sesuatu yang harus kerjakan. Pada dasarnya hal tersebut
merupakan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan bersikap
rileks. Selain itu preokupasi merupakan kendala besar dimana
waktu yang digunakan lebih banyak mengingat masa lalu
daripada fakta yang terjadi sekarang. Dalam situasi yang
menekan akan cenderung untuk lebih mengingat masa lalu.
4) Pikiran yang menduga
Pikiran yang menduga adalah ide atau gagasan
seseorang yang sudah mendominasi pemikirannya. Kendala ini
akan mengakibatkan penolakan terhadap pemikiran baru
sehingga akan muncul perasaan ego, malas dan tidak nyaman
pada diri sendiri. Pikiran yang menduga ini akan terlihat ketika
mengeneralisir dan berekasi tanpa disertai fakta yang lengkap.
36
5) Berbicara terlalu banyak
Semakin banyak bicara, maka semakin sedikit
mendengarkan maksud dan tujuan oranglain. Pengaruhnya
adalah hilangnya pesan yang penuh arti karena lawan bicara
pergi dan merasa tidak didengar.
6) Memikirkan Tanggapan
Perlunya memikirkan tanggapan dan pernyataan yang
dibuat atau diberikan pada awan bicara. Apakah pernyataan
tersebut dapat memperkuat atau melemahkan pernyaatan yang
lain. Hal ini berhubungan dengan cara berbicara terlalu banyak.
7) Kurangnya Ketertarikan
Kendala ini muncul ketika pesan yang disampaikan
dianggap tidak menarik atau tidak penting. Sehingga gestur
yang terlihat akan menunjukkan ketidaktarikan untuk
mendengarkan sehingga mengakibatkan kurangnya peduli
terhadap pernyataan orang lain. .
Selain itu, Jhonson (Supraktiknya, 1995) mengatakan bahwa
kegagalan yang terjadi dalam komunikasi adalah karena
perbedaan apa yang dimaksud orang yang mengirim pesan
37
dengan orang yang menerima pesan. Hal ini karena berbagai faktor
sebagai berikut :
1) Sumber hambatan bersifat emosional dan sosial atau kultural
2) Secara tidak disadari ataupun disadari dalam mendengarkan
sering memberikan penilaian dan menghakimi sehingga
menjadi tindakan yang defensif. Maksudnya sangat berhati-hati
dalam berkata dan menutup diri
3) Kegagalan menangkap maksud isi cerita sehingga tidak
sepenuhnya menangkap keseluruhan apa yang diucapkan
4) Kesalahpahaman atau distorsi dalam komunikasi karena tidak
adanya saling percaya
Pentingnya keterampilan empati mendengarkan yang
melibatkan komunikasi antara guru BK dengan siswannya, hal ini
sejalan dengan apa yang diakatakan oleh James B.Stiff (1988)
bahwa adanya hubungan empati, komunikasi, dan perilaku
prososial yang saling terkait satu sama lain sebagai bentuk peduli
terhadap orang lain sehingga muncul sikap keinginan untuk
membantu orang lain. Jika dikaitkan guru BK, maka bekaitan
dengan keinginan guru BK dalam membantu permasalahan siswa
yang berhubungan pada keterampilan empatinya.
38
e. Faktor yang mempengaruhi empati
1) Gender
Penelitian William Ickes (2000) fokus pada hubungan dan
akurasi empati. Penelitian menunjukkan bahwa akurasi empati
perempuan lebih tinggi daripada laki-laki untuk menyimpulkan
pikiran dan perasaan orang lain. Namun hal tersebut hanya
pada kondisi-kondisi tertentu yang berimplikasi pada motivasi
berempati dibandingkan kemampuan berempati.
Hampir senada dengan penelitian William Ickes, fokus
penelitian Eisenberg & Lenon (1983) pada perbedaan jenis
kelamin dalam empati dan dikaitkan dengan kapasitas. Hasilnya
menjelaskan terdapat perbedaan empati pada perempuan dan
laki-laki hal ini menggambarkan bahwa self-report (laporan diri
atau yang menggambarkan mengenai kondisi pribadi)
perempuan lebih tinggi dan terlihat ketika diukur dengan
menggunakan penilaian empati dibandingkan laki-laki.
Alasannya, perempuan mampu menujukknya self-reportnya
ketika melihat sebuah situasi emosional sehingga munculnya
respon afektif. Maka hal ini yang nantinya akan mempengaruhi
39
kemampuan empati mendengarkan karena banyaknya populasi
guru BK laki-laki dan perempuan.
2) Faktor sosial
Pickett, Gardner & Knowles (Taufik, 2012) empati
dilakukan dengan hubungan sosial melalui interaksi sosial. Dari
pernyataan tersebut Individu merasa termotivasi untuk menjaga
hubungan sosial dan menunjukkan keakuratan empati.
Interkasi sosial guru BK dapat dilihat bagaimana menjaga
hubungannya dengan guru-guru lainnya terutama dengan
siswanya salah satunya pada layanan konseling individual
dimana guru BK harus menjaga hubungannya dengan
siswanya. Apabila guru BK dapat menjaga hubungannya
dengan cara menujukkan empatinya maka tidak menutup
kemungkinan siswa tersebut akan merasa dimengerti dan
dipedulikan oleh guru BKnya.
3) Usia
Pengukuran empati juga berdasarkan usia. Adanya
perbedaan usia tua dibandingkan dengan usia muda. Empati
pada usia tua lebih bisa merespon secara emotional dengan
cara mengidentifikasi keadaan situasional sebuah cerita
40
dibandingkan dengan usia muda (Nancy Eisenberg, 1987). Jika
dilihat dari banyaknya populasi guru BK diwilayah Jakarta
Timur, maka beragam pula rentang usia pada masing-masing
guru BK.
4) Faktor alam dan Pengasuhan
Para peneliti sebelumnya menejelaskan bahwa adanya
keterlibatan sifat bawaan yang berasal dari orang tuanya.
Namun para peneliti lain dengan pendekatan Skinner dijelaskan
bahwa perilaku manusia dapat dibentuk beradasarkan
pembelajaran operan menggunakan prinsip modifikasi perilaku.
Hal ini menujukkan bahwa empati dapat dibentuk dari faktor
lingkungan dan pengalaman yang lebih berperan daripada sifat
bawaan. Meskipun begitu, beberapa peneliti percaya bahwa
interkasi antara alam dan pengasuhan berkontrubusi terhadap
perkembangan perilaku sosial. Empati juga dapat
dikembangkan melalui lingkungan keluarga karena faktor alam
dan pengasuhan sama-sama saling terlibat.
5) Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan awal periode dalam
kehidupan karena didalam keluarga terdapat cinta, komitmen,
41
rasa tanggung jawab dan perilaku sosial. Dengan adanya
pengalaman yang baik dalam keluarga kemudian akan
berkembang untuk merangkung jaringan sosial yang lebih luas
dan terjalinnya keterlibatan empati. Apabila seorang anak
kebutuhan emosionalnya tidak terpenuhi ataupun ditolak dalam
keluarga maka yang akan terjadi tidak dapat mengembangkan
rasa percaya diri serta sebuah masalah akan memiliki pengaruh
negatif pada hubungan sosialnya selanjutnya kemampuan
untuk empati juga dapat dipengaruhi secara negatif oleh
kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi dalam keluarga.
6) Orang Tua
Perilaku orang tua sangat berkontribusi dalam
kemampuan empati pada anak. Kehangatan orangtua
dihipotesiskan dapat meningkatkan empati dan perilaku
prososial pada anak. Ekspresi emosi positif orang tua (terutama
ibu) adalah mekanisme yang menengahi hubungan kausal
antara kehangatan orang tua dan kapasitas empatik anak-anak.
Selain itu, hubungan yang terjalin secara suportif dapat
diprediksikan memiliki empati yang tinggi dan sensitivitas sosial
pada anak (Hojat, 2006).
42
3. Siswa bermasalah
a. Pengertian Masalah
Kata “masalah” itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008) adalah sesuatu yang harus diselesaikan
(dipecahkan). Menurut Stevenes (1996) masalah adalah mengacu
pada kesulitan yang ditemui ketika hendak mencapai tujuan.
Sedangkan Nursalim & Hartono (2008) mendefinisikan masalah
sebagai ketidaktahuan seseorang dalam memutuskan apa yang
diinginkan dengan tujuannya.
Menurut Sugiyono (2012) masalah dapat diartikan sebagai
penyimpangan antara yang seharusnya dengan apa yang benar-
benar terjadi, antara teori dengan praktek, antara aturan dengan
pelaksanaan, antara aturan dengan pelaksanaan, antara rencana
dengan pelaksaanaan. Sedangkan Santrock J. (2007)
mengkategorikan masalah menjadi internalisasi dan ekternalisasi.
Internalisasi masalah terjadi ketika individu mengarahkan
masalahnya kedalam dirinya seperti misalnya depresi dan
kecemasan, sedangkan eksternalisasi masalah terjadi ketika
individu mengarahkan masalah yang dialaminya ke luar dirinya.
43
Berdasarkan penjabaran pengertian masalah dari berbagai
sumber, peneliti menarik kesimpulan mengenai pengertian
masalah. Masalah adalah sesuatu hal yang dapat menghambat
dan merintangi usaha seseorang untuk mencapai tujuannya.
Masalah merupakan sebuah penyimpangan antara yang
seharusnya terjadi dengan apa yang terjadi sebenarnya. Namun
masalah dapat dilihat berdasarkan internalisasi dan eksternalisasi.
Bentuk hambatan itu sendiri bermacam-macam misalnya, dapat
berupa tantangan yang berasal dari lingkungan keluarga,
lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah ataupun situasi hidup
lainnya. Masalah yang ada pada siswa di lingkungan sekolah
sangat beranekaragam. Ragam dari masalah siswa dapat dilihat
dari tingkat keparahannya dan banyaknya masalah yang dialami
oleh siswa. Salah satu upaya yang dilakukan oleh guru BK di
sekolah dalam menangani siswa bermasalah dapat dilihat dari
bagaimana cara guru BK dalam menyikapi siswa bermasalah yang
melibatkan kognisi yaitu berkenaan bagaimana memahami siswa
dengan permasalahannya, afeksi yang meliputi perasaan, emosi,
dan kecenderungan bersikap dalam menangani permasalahan
siswa, serta perlakuan yaitu berkaitan dengan tindakan guru BK
terhadap permasalahan siswa yang sedang ditangani.
44
Agar guru BK dapat menangani siswa bermasalah dengan
baik, maka dibutuhkan sebuah keterampilan. Salah satu
keterampilan yang dimaksud adalah empati mendengarkan.
Dengan empati mendengarkan guru BK dapat membayangkan dan
merasakan permasalahan siswa seolah-olah berada diposisi siswa
berdasarkan perkataan siswa, pesan nonverbal yang ditunjukkan
siswa, serta memproses apa telah didengar sehingga guru BK
dapat menunjukkan empatinya pada siswa bermasalah.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi siswa bermasalah
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi siswa
bermasalah dijelaskan oleh (Santrock J. , 2007) yaitu :
1) Tindakan Tertutup
Tindakan tertutup bersifat ringan, seperti salah satunya
adalah berbohong, namun nantinya akan diikuti dengan konflik
yang lebih serius.
2) Identitas
Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh
Erikson remaja berada pada tahap kritis dimana harus di atasi.
Terdapat dua bentuk integrasi dimana hal ini terjadi disebabkan
45
oleh perubahan biologis dan sosial : a) Terbentuknya perasaan
remaja dimana akan konsistensi dalam kehidupannya dan b)
tercapainya identitas peran, menggabungkan cara motivasi,
nilai-nilai, pengaruh dari kemampuan yang dituntut remaja
terhadap gaya yang dimilikinya
3) Kontrol diri
Remaja telah mempelajari mana perilaku yang dapat
diterima dan tidak, namun remaja dalam kenakalannya tidak
memikirkan hal tersebut dan mungkin kenakalan remaja tidak
mengenai mana perilaku yang dapat diterima mana yang tidak
diterima.
4) Usia
Munculnya perilaku anti sosial di usia dini yang
menyebabkan sebagai pelaku kenakalan namun tidak semua
remaja berperilaku seperti ini.
5) Jenis kelamin
Diketahui bahwa anak laki-laki lebih sering terlibat
dalam perilaku antisosial dimana anak laki-laki lebih sering
46
terlibat dalam kekerasan, namun anak perempuan juga
sering melarikan diri dari rumah.
6) Harapan pada pendidikan dan nilai sekolah rendah
Siswa yang nakal memilki harapan yang rendah pada
sekolah serta kemampuan verbalnya rendah
7) Pengaruh orang tua
Umumnya remaja yang nakal berasal dari minimnya
pengawasan orang tua, kurang memberikan dukungan serta
secara tidak efektif memberikan kedisiplinan pada anaknya
8) Hubungan dengan saudara kandung
Apabila seorang remaja yang memiliki saudara
kandung yang nakal, misalnya kakak yang nakal maka akan
mempengaruhi pula remaja menajdi nakal
9) Pengaruh teman sebaya
Salah satu faktor yang mempengaruhi kenakalan
remaja adalah ketika remaja tersebut memiliki teman
ataupun kelompok kawan-kawan nakal yang nantinya akan
cenderung mempengaruhi untuk menjadi nakal pula.
47
10) Kualitas lingkungan tempat tinggal
Umumnya sebuah komunitas membuat kejahatan
menjadi lebih subur. Apabila hidup yang berada pada
tingkat kejahatan yang tinggi, dimana pemukiman tersebut
padat serta ditandai dengan adanya kemiskinan, maka
seorang anak akan dapat menjadi seseorang yang nakal
c. Cara menangani siswa bermasalah
Menurut Prayitno (2013) dalam menangani siswa
bermasalah adanya penyikapan guru BK secara menyeluruh
seperti keterlibatan perhatian dan tindakan yang dilakukan pada
permasalahan siswa. Adapun penyikapan mengandung unsur-
unsur sebagai berikut :
1) Kognisi yaitu berkenaan bagaimana memahami oranglain
dengan permasalahannya
2) Afeksi yaitu hal-hal yang meliputi perasaan, emosi, dan
kecenderungan bersikap dalam menangani permasalahan
tersebut
3) Perlakuan yaitu berkaitan dengan tindakan terhadap
permasalahan yang sedangan ditangani oleh guru BK
48
Selain itu, dalam bimbingan dan konseling terdapat fungsi
pengentasan dimana pengentasan tersebut bertujuan untuk
menangani permasalahan siswa. Salah satu cara untuk
mengentaskan permasalah siswa melalui pelaksanaan konseling.
Kegiatan konseling dianggap sebagai layanan utama untuk
permasalahan siswa melalui konseling permasalahan siswa
diharapkan dapat diselesaikan. direktif, non-direktif, dan konseling
direktif.
Dyrfoos (Santrock J. W., 2011) menyebutkan tiga komponen
dalam mencegah dan mengurangi masalah remaja yaitu : 1)
Memberikan atensi yang intensif secara individual artinya seorang
guru BK harus menyediakan waktunya untuk melakukan konseling
dan memberikan penanganan, 2) Pendekatan kolaborasi multigen
dari komunitas-luas artinya Sejumlah program serta layanan untuk
menangani siswa bermasalah di sekolah harus ada. Hal ini harus
sejalan dengan kurikulum dalam penanganan siswa di sekolah, 3)
Identifikasi awal dan intervensi artinya Menjangkau siswa dan
keluarganya sebelum siswa tersebut mengembangkan berbagai
masalahnya. Misalnya adanya kunjungan kerumah siswa yang
dilakukan guru BK dalam menangani siswa bermasalah
49
B. Hasil Penelitian Yang Relevan
Adapun penelitian yang relevan mengenai empati mendengarkan yaitu :
1. Dalam jurnal Handari (2016) menjelaskan bahwa keterampilan
empati merupakan salah satu teknik yang umumnya digunakan
dalam proses konseling. Teknik ini dipercaya dapat meningkatkan
efektifitas dari pelayanan konseling yang diberikan kepada konseli.
Empati dapat dikombinasikan dengan berbagai keterampilan lain
yang relevan termasuk keterampilan mempengaruhi (influencing skill)
dengan komponen-komponennya seperti keterbukaan diri (self-
disclosure), pengarahan (directive), dan penafsiran (interpretation).
Melalui kombinasi dari teknik-teknik tersebut, konseli secara terbuka
dan jujur akan menceritakan permasalahan yang dihadapi, dan
secara utuh ikut serta dalam pelaksanaan konseling. Dengan
demikian, proses konseling pun menjadi lebih efektif.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Mudjijanti (2012) dengan judul
penelitian Pengaruh Motivasi Konseli Dan Sikap Empati Konselor
Terhadap Keberhasilan Proses Konseling hasilnya yaitu motivasi
siswa dan sikap empati konselor sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan proses konseling, dikarenakan konselor dapat
menujukkan salah satu keterampilan dan kepribadian yang dimiliki
oleh konselor salah satunya yaitu empati.
50
3. Penelitian yang dilakukan oleh Aditianto (2014) dengan Judul
Gambaran Kemampuan Karakteristik Pribadi Konselor Yang Ideal
Dalam Layanan Bimbingan dan Konseling Menurut Siswa Di SMA
Negeri 46 Jakarta Tahun Ajaran 2013/2014 hasilnya diperoleh
persentasi terendah adalah kompetensi empati sebesar 71,79%
bahwa konselor harus memiliki kualitas fisik, intelektual, emosional,
sosial, dan moral sebagai pribadi yang berguna. Kompetensi ini akan
melahirkan rasa percaya pada diri siswa untuk meminta bantuan
konseling, serta konselor akan menunjukkan dengan cara
meningkatkan pengetahuannya mengenai konseling,
mengembangkan keterampilan konselingnya, mencoba pendekatan
baru dalam konseling. Namun kenyataannya kompetensi karakteristik
pribadi konselor di sekolah tersebut rendah.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Kokom Komalasari (2011) dengan
judul Kriteria Kepribadian Guru Bimbingan dan Konseling Yang
Diharapkan Oleh Siswa Kelas XI Di SMA Negeri 1 Cikupa Tangerang
hasilnya diperoleh salah satunya yaitu siswa menginginkan agar guru
BK memiliki kepekaan (perceptual sensitivity) dan proaktif dalam
membantu permasalahan siswa sehingga guru BK dapat
menempatkan diri sebagaimana apa yang siswa rasakan.
51
5. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sangkakala (2014) dengan
judul penelitian Pengaruh Kualitas Layanan Bimbingan dan Konseling
terhadap Kepuasan Siswa Dalam Memanfaatkan Layanan Bimbingan
dan Konseling SMAN 53 Jakarta terhadap hasil yang menunjukkan
bahwa empati guru BK pada kualitas layanan bimbingan dan
konseling di SMAN 53 Jakarta termasuk kedalam perolehan skor
terendah karena ada siswa yang menganggap guru BK kurang peduli
terhadap siswanya.
6. Penelitian yang dilakukan oleh Nur Izza Edyati (2015) yang berjudul
Pengaruh Komunikasi Interpersonal, Motivasi Berprestasi, dan
Lingkungan Sosial Terhadap Perilaku Profesional Konselor dimana
subjek penelitian ini adalah guru BK SMA/SMK/MA Negeri se-
kabupaten Rembang hasilnya menunjukkan adanya pengaruh positif
komunikasi interpersonal terhadap profesional konselor adapun
didalam komunikasi interpersonal meliputi terbuka, penuh empati,
saling mendukung, menunjukkan sikap positif, serta mampu
menerima dan menghargai perbedaan individu.
Top Related