BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
PEREMPUAN DAN POLITIK
A. NEGARA DAN PEREMPUAN
Sangatlah perlu untuk dilihat dalam konteks Indonesia, bagaimana posisi
perempuan dalam Negara Indonesia sendiri. Jikalau ditelusuri, Kepedulian Negara
terhadap perempuan dapat dirunut sejak masa pemerintahan Presiden RI pertama,
Soekarno. Pada masa itu, perempuan telah diakui haknya dalam politik, baik hak pilih
dalam pemilihan umum 1955, maupun juga duduk sebagai anggota parlemen.Pada
masa itu juga telah ada UU yang bernuansa keadilan gender, yaitu UU 80/1958.
Undang-Undang tersebut menentukan prinsip pembayaran yang sama untuk
pekerjaan yang sama. Perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem
penggajian. Keluarnya UU ini merupakan salah satu contoh dari keberhasilan
perjuangan kaum perempuan ketika itu.18
Pada masa Soeharto ada juga kemajuan penting yang dicapai perempuan.
Salah satu kemajuan yang dapat dicatat adalah dijadikannya masalah perempuan
sebagai masalah politik dan adanya kebijakan-kebijakan publik yang secara eksplisit
bertujuan untuk menangani masalah-masalah perempuan. Secara kelembagaan hal ini
tercermin dari adanya suatu kementrian yang bertugas menangani masalah-masalah
18
Muhadjir M. Darwin, Negara Dan Perempuan, Reorientasi Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Grha
Guru 2005), 71-72
perempuan. Pada Tahun 1978 dibentuk Kantor Menteri Muda Urusan Peranan Wanita
atau lebih dikenal melalui akronim Menmud UPW. Pada tahun 1983 status menteri
muda ini ditingkatkan menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Keppres No.
25 Tahun 1983 yang mengatur kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tata kerja menteri
Negara. Pada Bab I Pasal 1 ayat 8 Keppres tersebut ditegaskan bahwa “Menteri
Negara Urusan Peranan Wanita, disingkat MenUPW, mempunyai tugas pokok
menangani peranan wanita dalam pembangunan di segala bidang.19
Visi Kantor MenUPW adalah peningkatan peranan wanita dalam
pembangunan. Untuk pertama kalinya, visi ini dilembagakan melalui GBHN 1978,
dan di dalamnya termuat secara khusus pembahasan mengenai Peranan Wanita dalam
Pembangunan dan Pembinaan bangsa. Pada dasarnya, pembahasan ini mencoba
mengembangkan sebuah perspektif mengenai peran perempuan, yaitu perspektif
„peran ganda wanita‟. Secara jelas perspektif ini dirumuskan dalam bentuk kebijakan
pembangunan berideologikan „Panca Dharma Wanita‟ yang meliputi wanita sebagai
1) istri dan pendamping suami; 2) pendidik dan pembina generasi muda; 3)ibu
pengatur rumah tangga; 4) pekerja yang menambah penghasilan keluarga; dan 5)
anggota organisasi masyarakat khususnya organisasi wanita dan organisasi sosial.
Dalam perkembangannya, perspektif peran ganda wanita dan kebijakan ideologis
Panca Dharma wanita ini mengakar kuat dalam proses pembangunan semasa
pemerintahan orde baru.20
Prestasi penting pada masa Menmud UPW adalah
keterlibatannya dalam memprakarsai berdirinya Pusat Studi Wanita (PSW) di
19
Ibid., 20
Ibid, 73.
beberapa Universitas negeri di seluruh Indonesia. Setidaknya ada ada dua manfaat
berdirinya PSW, yaitu sebagai semacam think tank bagi pembuatan kebijakan dan
program yang applicable bagi pmbangunan di pusat maupun daerah tempat PSW itu
berada.21
Reformasi politik di Indonesia tentunya telah memberikan harapan besar bagi
kaum perempuan. Gerakan-gerakan yang sebelumnya seperti tidak memiliki energi,
muncul dengan berbagai usaha pembedayaan hak-hak perempuan, khususnya hak
politik. Kebangkitan kaum perempuan dalam pola kehidupan di era globalisasi telah
membawa perubahan dalam perkembangan pembangunan terutama di Indonesia.
Dalam diri perempuan melekat multi peran yang menuntut pula kondisi demokrasi
dalam berbagai bidang kehidupan. Demokrasi itu sendiri telah menjadi istilah yang
sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik
yang ideal. Bahkan, mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi
dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi
politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang
“berpengaruh”.22
Demokrasi itu sendiri adalah bagian dari khazanah pembuatan
keputusan kolektif. Demokrasi mengejawantahkan keinginan bahwa keputusan-
keputusan yang mempengaruhi perkumpulan secara keseluruhan, harus diambil oleh
semua anggotanya, dan bahwa masing-masing anggota harus mempunyai hak yang
sama dalam proses pengambilan/pembuatan keputusan-keputusan tersebut. Meskipun
demikian, intensitas perkembangan eksistensi kemanusiaan perempuan secara umum
21
Ibid, 76. 22
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: Bumi Aksara,2006), 1
adalah belum optimal. Hal ini tersirat nyata dari masih kuatnya tradisi sebagian besar
anggota masyarakat yang mendiskreditkan perempuan dengan menempatkan
perempuan sebagai second person. Pemimpin perempuan di masyarakat terkadang
masih diragukan kapaitasnya yang pada akhirnya menjadi kurang dapat diterima oleh
masyarakat secara luas. Kondisi peran perempuan tidak lebih sebagai obyek politik.
Oleh karena itu sikap arif dan keterbukaan dari semua pihak untuk menerima
kenyataan bahwa kaum perempuan sebenarnya adalah merupakan sosok pribadi yang
menarik dan bisa mengatasi persoalan-persoalan di masyarakat.
1. Kepemimpinan Perempuan 23
Kesempatan bagi munculnya peran serta masyarakat termasuk kelompok
perempuan dalam proses pengambilan keputusan sejalan dengan pembangunan
nasional di negara kita telah terjamin. Upaya-upaya maksimal pemberdayaan
perempuan menunjukkan political will dari pemerintah yang apresiatif terhadap
perkembangan pengarusutamaan gender pada pergulatan politik nasional pada
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Dalam GBHN 1999 telah mengarah bahwa
pemberdayaan perempuan dilaksanakan dengan: pertama, meningkatkan kedudukan
dan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang diemban oleh
lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan gender. Kedua,
meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap
mempertahankan nilai persatuan dan kersatuan usaha pemberdayaan perempuian
serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Untuk sampai ke arah tersebut,
23
Santi Wijaya Hesti Utami dkk, Perempuan Dalam Pusaran Demokrasi, Dari Pintu Otonomi ke
Pemberdayaan (Bantul: IP4 Lappera Indonesia, 2001), 23-25.
peningkatan kualitas dari perempuan perlu mendapat perhatian yang serius. Untuk
menjawab semua itu sebagai tindak lanjutnya adalah perlu peningkatan partisipasi
perempuan dengan beberapa hal seperti:
a. Adanya gerakan penyadaran bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak
yang sama sebagai warga Negara. Hal ini perlu dilakukan paling tidak untuk
meminimalisir ketidakadilan yang terjadi atau harapan tertinggi untuk
mencapai suatu keadilan dan keseimbangan. Hal ini dilakukan sebagai upaya
untuk menciptakan wajah baru dalam dunia kita tentunya wajah yang bebas
dari diskriminasi. Masing-masing individu perlu menyadari akan
kedudukannya, dan mengerti bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai
posisi yang sejajar dan diharapkan mampu memunculkan kesadaran bahwa
antara laki-laki dan perempuan bisa memberikan kontribusi dengan porsi yang
sama tanpa ada niat untuk menguasai atau menghegemoni dari pihak laki-laki
dan perasaan minder dari pihak perempuan karena merasa dirinya hanya
menjadi warga Negara kelas dua. Pada akhirnya nanti tidak ditemukan lagi
pihak-pihak yang merasa tersubordinasi.
b. Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk melakukan hal tersebut antara lain
dengan mengikut sertakan para perempuan untuk masuk dalam proses
pengambilan keputusan. Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa kesetaraan
menjadi langkah utama berjalannya proses demokratisasi karena akan muncul
jaminan terbukanya akses dan peluang bagi seluruh elemen masyarakat baik
itu laki-laki maupun perempuan.
c. Gerakan pemberdayaan perempuan ini adalah suatu gerakan transformasi.
Yang utama dalam gerakan pemberdayaan perempuan adalah, dengan
dibukanya peluang dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk ikut
serta berperan aktif dalam seluruh kegiatan dalam masyarakat.
d. Perlu juga adanya penyadaran bagi kaum perempuan sendiri bahwa
kesempatan yang diberikan pada kaum perempuan harus digunakan sebaik-
baiknya, hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa perempuan siap dengan
pemberian peluang tersebut karena selama ini ada suara minor yang
mengatakan bahwa perempuan belum mampu atau siap dengan kesetaraan
gender tersebut. Hal tersebut terjadi karena banyak dari pihak perempuan
tidak punya kepercayaan diri untuk mengaktualisasi diri. Perempuan masa
depan harus mampu menunjukkan potensi aktif dan kualitas dalam dirinya
guna membuka mata dunia lain bahwa perempuan mampu dan bisa.
e. Perlunya pemfokusan perbaikan relasi antara perempuan dan laki-laki.
Adanya kesadaran bahwa kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah
sama sehingga tidak ada yang merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain. Pada
dasarnya antara laki-laki dan perempuan adalah mitra maka perbaikan relasi
ini mencakup hubungan di segala aspek yaitu meliputi hubungan ekonomi,
politik, ekonomi sosial dan budaya.
Kepemimpinan atau leadership yang sering kita dengar sebagai sesuatu yang
hanya dimiliki oleh kalangan elit atau kaum laki-laki saja, kini sudah luntur sejalan
dengan pergerakan dari kaum perempuan yang concern terhadap pengarusutamaan
gender. Karena kepemimpinan yang secara umum diartikan sebagai suatu kegiatan
seserang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran,
perasaan atau tingkah laku orang lain dapat dilakukan oleh kaum perempuan melalui
suatu karya (kepemimpinan yang bersifat tidak langsung) atau kontak pibadi antara
seseorang dengan orang lain secara tatap muka (kepemimpinan yang bersifat
langsung).
2. Hak Politik Perempuan24
Secara Yuridis formal hak politik perempuan merupakan hak azasi
sebagaimana dimuat dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia. Pasal 1
intinya adalah bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan
hak-hak yang tidak berbeda. Pasal 7 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas
perlindungan hukum yang sama dan Pasal 21 menentukan bahwa setiap orang berhak
turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun
melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas. Setiap orang diangkat berhak atas
kesempatan yang sama, untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan dinegerinya
(instrument Internasional Pokok Hak-Hak Azasi Manusia, 1997).
Selain itu perlu diperhatikan pula bahwa pemerintah telah meratifikasi
konvensi tentang hak politik perempuan sebagaimana tertuang dalam UU No. 68
Tahun 1958. Dalam UU tersebut terdapat ketentuan bahwa perempuan berhak
memberikan suara dalam semua pemilihan dengan status yang sama dengan pria
tanpa diskriminasi. Selain itu UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak azasi Manusia
24
Ibid, 40-41.
khususnya Pasal 46 seara tegas memberikan jaminan keterwakilan perempuan. Atas
dasar itu semua, kiranya tidak perlu ragu bahwa perempuan pun juga dijamin hak
politiknya. Persoalan tinggal pada perempuan sendiri mau atau tidak memanfaatkan
ini.
Memperhatikan tentang ruang politik yang sudah terbuka bagi kaum
perempuan, maka dapatlah dikatakan perempuan dapat mengimplementasikan hak
politiknya secara terbuka pula. Adanya jaminan mengenai hak politik, memberikan
dampak yang sangat positif bagi pergerakan politik kaum perempuan. Dalam upaya
merepresentasikan hak politik dalam keterwakilannya dalam pengambilan keputusan
politik, maka yang perlu untuk dilihat bagaimanakah konteks perempuan dan
perwakilan politik. Hal ini sangat perlu untuk dicermati guna memperhatikan lebih
jauh, bagaimanakah aktualisasi perempuan dalam perwakilan politik yang mereka
jalani.
B. PEREMPUAN DAN PERWAKILAN POLITIK
Dalam konteks politik dewasa ini, pergerakan politik dalam kehidupan
masyarakat senantiasa berkembang. Berbagai langkah strategis telah diambil dalam
upaya penguatan hak-hak politik. Dalam proses demokratisasi, persoalan
akuntabilitas menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya representasi politik. Dalam
representasi politik, perempuan memperjuangkan keterwakilan mereka dalam
pengambilan keputusan politik. Oleh sebab itu, representasi perempuan dalam politik
adalah upaya penguatan hak-hak politik.
Pemahaman proses perwakilan kaum perempuan yang semakin meningkat
menuntut kita untuk mempertahankan baik perspektif kesetaraan maupun perbedaan,
supaya pemahaman politik tetap seimbang. Para wakil perempuan bekerja dalam
konteks di mana harapan-harapan tidak hanya sensitif terhadap perbedaan seks dan
gender, tetapi juga terhadap ketidakleluasaan dalam pelbagai arena politik, budaya,
dan proses politik ataupun capaian-capaian nyata yang telah dihasilkan karena
intervensi feminis dalam panggung politik. Interaksi-interaksi yang terjadi dalam
arena panggung politik, termasuk meningkatnya jumlah keterwakilan perempuan.
Para pelaku politik perempuan telah mengubah wacana politik. Namun, untuk
melukiskan tatanan-tatanan kelembagaan dan kultural di mana perdebatan mengenai
perwakilan politik perempuan dilokalisir dan untuk menelusuri kemajuan mereka
melalui siklus-siklus politik secara berurutan. Berangkat pula dari pemikiran bahwa
manusia memiliki hak-hak yang melekat pada dirnya semenjak ia lahir, karena ia
manusia, dan karenanya hak itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku
oleh siapapun, termasuk Negara. Hak itu berupa pula hak-hak poliik, bahwa setiap
orang berhak atas kebebasan berpikir; memiliki dan menyatakan pendapatnya,
berserikat dan berkumpul; berpartisipasi dalam pemerintahan, termasuk hak untuk
mengambil bagian dalam pemerintahan.25
Membicarakan soal politik, pada dasarnya kita berbincang tentang power,
Chusnul Mar‟iyyah mengasosiasikan kata power tersebut dengan dua kelompok
pengertian sebagai berikut :
25
Ibid., 80
1). Force, Strength, vigour (kekuatan), might, energy (tenaga), potency
(daya), stamina (daya tahan), authority (otoritas, command (kekuasaan),
control (kendali), domination (dominasi), omnipotence (kemahakuasaan).
Kata-kata yang diasosiasikan dengan power merupakan atribut yang sangat
maskulin. Apabila kata-kata tersebut dihubungkan dengan women
(perempuan), misalnya, menjadi controlling women, dominating women,
forceful women, yang pada dasarnya merendahkan perempuan. Hal ini
merupakan pengertian power over atau kekuasaan terhadap orang lain.
2). Sedangkan power dalam kelompok kata kedua berarti: ability
(kemampuan), capacitcy (kecakapan), faculty (kemampuan), potential
(kesanggupan), skill (kepandaian). Pengertian kedua ini nampaknya lebih
menarik karena lebih berhubungan dengan kekuasaan untuk melakukan
sesuatu (power to), atau untuk berbuat sesuatu, daripada kekuasaan terhadap
orang lain.26
Dua kelompok pengertian power diatas adalah penunjukkan kepada gambaran
politik itu sendiri. Keterkaitan antara kedua kelompok pengertian ini harus dilihat
sebagai bahasan dari politik itu sendiri. Penjelasan tentang power dalam pengertian
yang telah dikelompokan ini memberi rujukan kepada power dimaksud. Di dalam
literature feminis, terlihat bahwa kritik pengertian dan analisis terhadap power lebih
menitikberatkan pada power over dibandingkan dengan power to. Oleh kaum feminis
26
Sulistyowati Irianto (ed).,Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan
Keadilan , (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006), 352.
kekuasaan sering diasosiasikan dengan oppression (penindasan), baik oleh individu
laki-laki maupun institusi yang dikelola oleh laki-laki.
Bagi mereka yang tertarik pada peran perempuan dalam politik arus utama
dipandang perlu untuk tidak hanya menggunakan arti populer pengertian “politik”
tetapi juga menggunakan dari apa yang bagi kaum feminis merupakan sifat politis.
Meskipun arti-arti ini memerlukan perhatian yang luas dalam fungsinya.
Sebagaimana yang dikatakan Lovenduski tentang politik bahwa
“Politik terdiri dari person, proses, hubungan, lembaga dan prosedur yang membuat
keputusan-keputusan publik berwibawa.Tidak semua yang disebut politik oleh
banyak orang dimasukkan dalam deskripsi politik, tetapi deskripsi pada hal ini
mempunyai keuntungan yang hampir disetujui setiap orang bahwa yang termasuk di
dalamnya bersifat politis.”27
Bagi kaum feminis, yang bersifat politis meliputi kehidupan pribadi dan
kehidupan privat (domestik), yang didasarkan atas hubungan kekuasaan yang tidak
seimbang di mana kaum laki-laki mempunyai lebih banyak kekuasaan atas kaum
perempuan. Dapat diperdebatkan, dalam hal gender, lembaga-lembaga politik
mencerminkan lembaga-lembaga privat.28
Namun, akhir-akhir ini kehadiran
perempuan dalam lembaga-lembaga politik publik telah berkembang dan
perkembangan itu oleh meningkatnya minat akan apa yang terjadi dalam peningkatan
itu.
Sebagaimana umumnya dirumuskan, pertanyaan mengenai perbedaan apa
yang dihasilkan dengan meningkatnya representasi perempuan dalam politik akan
mengubah politik yang demokratias. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan rumit
27
Joni Lovenduski, Politik Berparas Perempuan., 32. 28
Ibid., 33.
yang menyentuh sejumlah perhatian politis pokok. Dua pengandaian mendasari
Lovenduski mengenai feminisasi politik. Pertama, suatu unsur-unsur penting dari
peran-peran yang dimainkan oleh kaum perempuan dan laki-laki dalam politik
tergantung tidak hanya pada satu sama lain tetapi juga pada hakikat lembaga-lembaga
politik.29
Lembaga-lembaga perwakilan menentukan proses-proses feminisasi politik.
Kedua, cara kaum perempuan memikirkan perwakilan politik sekurang-kurangnya
sama pentingnya dengan bagaimana proses-prosesnya benar-benar berjalan. Teori
feminislah yang mencerahi sifat gender dari perwakilan politik. Sebagaimana yang
dikatakan Lovenduski :
“The representation of women in a political system is a good test of itsclaims to
democracy. The claims that women make for representation areclaims for their
citizenship and at the heart of their engagement with politics. Political
representation therefore a fundamental feministconcern, although its importance
has not always been acknowledged”.30
Bagaimanapun dalam demokrasi, representasi perempuan dalam sistem politik adalah
ujian yang baik. Dengan adanya representasi perempuan membuat representasi klaim
kewarganegaraan mereka dan semangat keterlibatan mereka dengan politik.
Karenanya representasi politik adalah dasar keprihatinan feminist. Meskipun
kepentingan itu tidak selalu diakui di masyarakat.
Lovenduski juga mengatakan bahwa, perwakilan politik sebuah kelompok
dapat dipahami sebagai kehadiran anggota-anggota kelompok tersebut dalam
lembaga-lembaga politik formal. Teorinya, pada tingkatnya yang paling sederhana,
29
Lembaga-lembaga politik merupakan organisasi-organisasi, peraturan-peraturan formal dan
informal, proses dan prosedur yang berfungsi untuk menjalankan politik, Ibid., 55. 30
Joni Lovenduski, State Feminism and Political Representation, (New York: Cambridge University
Press,2005), 1.
adalah bahwa para wakil bertindak demi kelompok-kelompok yang mereka wakiki.
Teori perwakilan politik menyebutkan bahwa para wakil mempunyai dorongan untuk
mewakili kepentingan mereka di masa depan meskipun mereka sendiri tidak ambil
bagian dalam kepentingan itu. Dalam perumusan seperti itu pemilihan berfungsi
sebagai sebuah pasar yang sempurna di mana semua permintaan politik dibuka.
Dalam prakteknya, pemilihan tidak berjalan seperti itu. Kebanyakan wakil cenderung
untuk mewakili kepentingan yang bukan kepentingan mereka, hanya bila
kepentingan-kepentingan itu membentuk suatu minoritas yang luas, koheren, sadar-
diri dalam masyarakat. Tanpa itu banyak kepentingan akan diabaikan. Selanjutnya
lovenduski mengatakan bahwa kaum perempuan bukanlah suatu kelompok kohesif,
sehingga argument bahwa laki-laki dapat mewakili mereka seutuhnya jarang terjadi.
Praktek perwakilan politik secara kelembagaan bersifat khas. Dasar-dasar
yang yang mendukung perwakilan yang sama dari perempuan yang muncul dari tiga
sumber utama: pertama, prinsip-prinsip umum emokrasi representatif yang diubah
menjadi kerangka konstitusi demokrasi liberal; kedua, sistem pemerintahan partai;
dan ketiga advokasi feminis. Sebagaimana Phillips mengatakan:
“The people representing the group would then be able to refer back to this
process of collective engagement. They would be speaking for their caucus,
organization, or group, and they would be conveying the results of what might
have been a very contested internal debate”.31
Dengan adanya orang-orang yang mewakili kelompok, maka orang tersebut
kemudian akan dapat merujuk kembali ke proses keterlibatan kolektif. Mereka akan
berbicara untuk organisasi mereka, atau kelompok, dan mereka akan menyampaikan
31
Anne Phillips, The Politics of Presence, ( Oxfort: Oxport University Press, 1995), 61.
hasil apa yang mungkin telah menjadi perdebatan internal yang sangat diperebutkan.
Karenanya gerakan-gerakan politik menjamin perwakilan proporsional. Dalam
perwakilan politik perempuan menurut Lovenduski ada dua bentuk 32
:
1. Perwakilan Deskriptif
Tuntutan bahwa kaum perempuan seharusnya berada dalam pembuatan
keputusan sebanding dengan keanggotaan mereka dalam penduduk merupakan
tuntutan atas perwakilan deskriptif (kadang-kadang disebut perwakilan proporsional,
penggambaran, mikrokosmik). Perwakilan deskriptif perempuan mengusulkan bahwa
seharusnya perempuan mewakili kaum perempuan sebanding dengan jumlah
penduduk mereka. Tuntutan-tuntutan seperti itu menantang sistem-sistem perwakilan,
di mana banyak kelompok secara tetap disingkirkan. Dalam perwakilan deskriptif ,
para wakilnya ada atas nama pribadi dan hidup mereka sendiri dalam arti tertentu
yang khas yang lebih besar dari orang-orang yang mereka wakili‟ (Mansbridge 1999).
Perwakilan deskriptif sulit terwujud karena menuntut keterampilan. Sedangkan
keterampilan itu sendiri tidak dapat didistribusi secara sama.
2. Perwakilan Substantif
Konsep perwakilan substantif menyarikan isi dari keputusan-keputusan para
wakil. Perwakilan substantif dari suatu kelompok secara paling sederhana dilukiskan
sebagai perwakilan kepentingan-kepentinganya. Dalam berbagai keadaan politik,
perwakilan kepentingan seseorang mungkin lebih penting daripada perwakilan
kelompoknya. Artinya, setelah pemilihan pertama pasca hak pilih perempuan
diberikan, kaum feminis mungkin lebih memilih para pendukung isu-isu perempuan,
32
Ibid.,36-45.
apapun jenis kelaminnya, daripada memilih perempuan yang tidak mendukung isu-
isu feminis. Perwakilan substantif mengarahkan perhatian pada ide mengenai
kepentingan. Dalam politik identifikasi kepentingan itu kontroversial. Teori feminis
dengan sangat hati-hati menyadari bahwa kelas, ras, etnis, seks, kemampuan fisik,
status perkawinan, keibuan, dan agama memecah belah perempuan sekaligus menjadi
sumber penting bagi identitas dan kepentingan mereka. Kesulitan-kesulitan untuk
menempatkan kaum perempuan dan kepentingan-kepentingan mereka ini ke dalam
teori-teori arus utama mengenai perwakilan politik menunjukkan kompleksitasnya
proyek untuk mengintegrasikan kaum perempuan ke dalam wacana politik. Ada tiga
macam argumen yang diajukan untuk mendukung tuntutan atas perwakilan
perempuan: argumen keadilan, argument pragmatik, dan argumen perbedaan 33
.
a. Argumen Keadilan
Argumen yang paling kuat untuk mendukung bertambahnya perwakilan
perempuan adalah argumen yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan. Argumen
tersebut menyatakan bahwa sangatlah tidak adil jika kaum laki-laki memonopoli
perwakilan, terutama di suatu Negara yang menganggap diri sebagai negara
demokrasi modern. Argumen-argumen tambahan mengenai kodrat perwakilan dapat
mengaburkan inti pokok itu, tetapi argumen-argumen tambahan itu tidak pernah dapat
mebalikkannya. Argumen keadilan juga didukung oleh klaim-klaim dari kewargaan.
Kewargaan merupakan sekumpulan hak, kewajiban, alat kelengkapan, dan identitas
yang membentuk milik seseorang dalam sistem politik. Dalam istilah-istilah
33
Ibid.,52.
konstitusional, perempuan secara formal mempunyai kewargaan yang sama dengan
laki-laki dalam sistem demokatis.
b. Argumen Pragmatis
Argumen pragmatis memanfaatkan gagasan mengenai para politisi rasional
yang memaksimalkan jumlah suara. Hal ini didasarkan pada keuntungan-keuntungan
partai-partai politik untuk meningkatkan jumlah wakil perempuan mereka. Para
pendukung menyoroti pentingnya pemilih perempuan terkait dengan suksesnya
pemilihan. Para pendukung argumen pragmatis mengajukan klaim bahwa perempuan
lebih cenderung memberikan ssuaranya pada partai-partai yang memilih kandidat
perempuan. Mereka memanfaatkan argumen-argumen perbedaan untuk mem-
pertahankan bahwa perempuan memiliki, pengalaman-pengalaman dan kepentingan-
kepantingan khusus yang dapat dimengerti dan diwakili oleh perempuan. Mereka
berpendapat bahwa gambaran parta maskulin bersifat ketinggalan zaman dan tidak
menarik bagi pemilih perempuan. Menurut logika ini, meningatnya perwakilan
perempuan akhir-akhir ini akan mengarahkan ke proses-proses persaingan penawaran
bagi dukungan perempuan yang menyebabkan partai mana pun tidak dapat tinggal
diam kalau berharap sukses dalam pemilihan.
Argumen pragmatis membuat keutamaan yang lain dengan berpendapat
bahwa melalui keterlibatan perempuan, politik akan menjadi lebih konstruktif dan
ramah. Ini tentu saja merupakan klaim etika publik kontroversial, tetapi memiliki
dasar tertentu. Suatu saat ketika publik muak dan tidak percaya kepada rapat-rapat
politik yang penuh permusuhan, ada pendapat bahwa peningkatan kaum perempuan
dapat memberikan pengaruh yang sangat menguntungkam pada lembaga-lembaga
politik.
c. Argumen perbedaan
Kumpulan argument ketiga didasarkan pada konsep-konsep perbedaan.
Argumen pokoknya adalah bahwa perempuan akan membawa gaya dan pendekatan
yang berbeda dalam politik yang akan mengubahnya menjadi lebih baik, suatu
pengaruh yang menguntungkan semua pihak. Suatu cara yang berguna untuk
menyelidiki akibat dari perbedaan gender bagi kewargaan adalah mempertimbangkan
warga Negara universal, pelaku politik yang terlepas dari teori demokrasi tradisional.
Interaksi hubungan gender dan perbedaan sosial mempunyai pengaruh penting pada
kekuasaan politik dari macam-macam kelompok perempuan maupun laki-laki. Baik
dasar mereka dalam argumen perbedaan maupun pengaruhnya pada sumber-sumber
daya dari macam-macam kelompok perempuan dan laki-laki yang menuntut untuk
memperhitungkan ketidakadilan yang tertanam dalam kewargaan.
Ketika kewargaan perempuan dipertanyakan kenapa terjadi penyingkiran,
maka Ruth Lister berpendapat bahwa penyingkiran kaum perempuan dari kewargaan,
sebagian merupakan produk dari kategorisasi esensial kemampuan dan kualitas laki-
laki dan perempuan. Ia menuliskan bahwa individu tanpa tubuh yang secara aktual
laki-laki tetapi secara formal abstrak, yang dulu adalah warga dari teori politik dan
hukum konstitusional yang begitu lama ada hanya karena perbedaan antara kehidupan
publik dan kehidupan privat membuat pemisahan yang tidak dapat diseberangi oleh
kaum perempuan. Kaum perempuan yang telah disingkirkan ke ruang privat menjadi
pendukung yang tidak tampak dari kehidupan publik melalui persediaan perhatian,
reproduksi, dan pekerjaan lain secara gratis. Salah satu akibat dari pemisahan seperti
itu adalah bahwa perempuan tidak muncul dalam kehidupan publik, tanpa
mempertimbangkan apa yang telah dibuat perempuan dalam kehidupan publik. Thus,
forexample, paid work has represented an emancipatory path to citizenship for many
women, providing them with more or less economic independence and access to
social citizenship rights.34
Kaum perempuan mendapatkan apa yang telah mereka lakukan diruang publik
yang telah mewakili jalur emansipatoris kewarganegaraan, dan mereka dilihat sebagai
yang kurang kemandirian ekonomi dan akses ke hak kewarga negaraan sosial.
Serangkaian kebiasaan yang menggelikan terjadi karena ketidakhadiran perempuan.
Tubuh tidak mempunyai tempat dalam mayarakat sipil,di mana untuk hadir orang
harus mengatasi kenyataan bertubuhnya sendiri, sesuatu yang dianggap hanya dapat
dilakukan oleh laki-laki tetapi bukan oleh perempuan. Maka pengakuan perempuan
pada kewargaan merupakan pengakuan pada ruang publik dalam pengertian yang
berbeda dari laki-laki karena hal itu berarti bahwa keniscayaan yang tidak tampak
dari peran yang sampai saat itu dimainkan kaum perempuan dalam kehidupan privat
harus diperhitungkan.35
34
Ruth Lister, Gendering Citizenship In Western Europe,(Policy Press, 2007),11. 35
Lovenduski, Perempuan Beraras Politik., 54.
C. PERWAKILAN POLITIK PEREMPUAN DALAM FEMINISASI
POLITIK
Lovenduski mengatakan bahwa Pembedaan dalam masalah-masalah
perwakilan politik kurang jelas dibanding di bidang-bidang advokasi perempuan lain.
Ini disebabkan oleh tatanan perwakilan politik yang berkembang melalui kompromi
dan kesepakatan di mana ide-ide dan hak-hak saling tumpang tindih dan definisi-
definisi asli dikaburkan. Pengaruh yang berbeda-beda dari kedua dasar feminism
kadang-kadang dianggap tegas. Bagi banyak pengkritik, sikap kesetaraan me-
nyarankan bahwa klaim-klaim perempuan untuk perwakilan politik, bila berhasil,
akan mengubah mereka menjadi laki-laki politik. Sebaliknya, sikap perbedaan
memuat akibat bahwa, dalam jumlah yang cukup, kehadiran para wakil perempuan
akan mengubah praktek dan hakikat politik. Di satu pihak, sesuai dengan argumen-
argumen perbedaan para feminis menentang pemisahan antara kehidupan publik dan
privat, sekurang-kurangnya dalam teori, yang merupakan batas antara politik dan
kegiatan-kegiatan lain.36
Selanjutnya dapatlah dilihat bahwa dalam argumen yang pertama, perwakilan
politik perempuan mengharuskan runtuhnya pemisahan antara yang publik dan yang
privat, itu terjadi karena munculnya perubahan dalam kelembagaan. Sedangkan
menurut argument yang kedua, klaim-klaim atas perwakilan perempuan dipenuhi
oleh keterlibatan jumlah perempuan yang memadai dalam lembaga-lembaga yang
sudah ada. Kehadiran yang melibatkan penerimaan akan peraturan permainan yang
36
Ibid., 62.
sudah ada, dituntut bila peraturan yang baru harus dibuat. Kesetaraan diperlukan bila
perbedaan harus dikompensasi dan perbedaan harus diakui bila kesetaraan harus
dicapai.
Elizabeth Frazer mengemukakan bahwa:
“Konsepsi gender, baik yang implisit maupun eksplisit, dalam pelbagai sistem
pemikiran itu bukanlah unsur kebetulan, melainkan unsur yang penting, dan
bukan pula unsur yang tidak bermakna. Seluruh analisis bersifat preskriptif
(analisis itu mengemukakan gagasan sistematis tentang bagaimana masyarakat
seharusnya diatur).Namun demikian, gagasan-gagasan itu merasuk, walaupun
secara tidak sempurna, ke dalam konstitusi, sistem hukum, dan lembaga-lembaga
sosial politik lainnya, serta ke dalam budaya popular dalam masyarakat.Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa gagasan-gasan itu bersifat konstitutif”.37
Untuk itu dalam membentuk teori politik feminis, seringkali fenomena sosial
yang berada di luar wilayah kerja Negara dan lembaga politik konvensional harus
dipertimbangkan. “cara hidup” dan “tradisi” merupakan hal yang sangat penting
karena keduanya seringkali merugikan kepentingan perempuan. Secara khusus, nilai-
nilai yang berada di pusat relasi seksual tradisional memiliki arti penting; dan bukan
hanya nilai-nilai dan gagasan-gagasan, namun juga berbagai praktik-yakni cara-cara
melakukan sesuatu yang diterima begitu saja. Kaum feminis telah telah memusatkan
perhatian pada posisi perempuan dalam pasar kerja dan property, namun mereka
melihat hal ini terkait dengan posisi perempuan di dalam “dunia domestik”. Elizabeth
Frazer menunjukkan secara positif, bahwa teori politik feminis melibatkan
pembuatan model dan penelitian empiris mengenai hubungan antar pelbagai peristiwa
dan perubahan dalam pemerintahan Negara dan kebijakkan pemerintah, perubahan
dalam hukum, dalam hubungan sosial.
37
Stevi Jackson & Jackie Jones (ed)., Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer (Yogyakarta:
Jalasutra, 1998), 91.
Dalam kaitannya dengan feminisasi politik,38
Lovenduski mengemukakan
beberapa kendala yang menyebabkan kurangnya keterwakilan politik berjalan maju,
meskipun banyak di antaranya masih diusahakan. Meskipun terdapat perbedaan-
perbedaan regional yang berarti, kurangnya perwakilan perempuan merupakan
kenyataan hidup yang menghiasi semua jenis tatanan lembaga dan budaya. Sehingga
kenyataan ini merupakan salah satu dari sedikit generalisasi yang aman dilakukan
terkait dengan posisi perempuan. Perempuan mengalami tiga rintangan sosial utama
untuk menjadi pelaku politik. Pertama sumber daya yang diperlukan untuk memasuki
politik yang mereka miliki lebih lemah. Kedua, bermacam-macam kekangan gaya
hidup mengakibatkan perempuan mempunyai sedikit waktu untuk politik. Keluarga
dan kewajiban-kewajiban lain yang menuntut perhatian penuh secara khas dijalankan
oleh perempuan mengurangi waktu mereka untuk kegiatan lain-lain. Ketiga, tugas
politik dikategorikan sebagai tugas laki-laki, yang menghalangi kaum perempuan
mengejar karier politik dan juga merintangi rekruitmen mereka yang tampil ke
depan.39
Selanjutnya Lovenduski hukum yang mengatur perekrutan hanya merupakan
bagian dari proses, yang juga dipengaruhi oleh pelbagai institusi, yang menjalankan
perekrutan. Lembaga-lembaga yang mempengaruhi tingkat dan hakikat perwakilan
perempuan mencakup partai-partai politik, majelis-majelis terpilih, dan bermacam-
macam kelompok penekan dan gerakan-gerakan sosial, termasuk gerakan-gerakan
38
Feminisasi Politik, adalah suatu keadaan ketika perempuan dilibatkan dan diintegrasian dalam
manifestasi mereka di lembaga-lembaga politik dan dalam proses penting tetapi secara luas dianggap
tidak menarik.Bdk, Joni Lovenduski, Politik berparas Perempuan, 32. 39
Op-Cit, 88.
perempuan. Untuk itu maka feminisasi partai-partai politik penting bagi keterwakilan
perempuan. Partai-partai politik telah menjadi pengantar bagi kehadiran perempuan
pada jabatan yang dipilih.
Partai-partai politik melembagakan ide-ide mengenai politik yang mempunyai
implikasi gender. Idiologi-ideologi partai merupakan dasar reputasi mereka yang
berkelanjutan dan bersifat mendasar bagi kepercayaan para pemilih dan anggota.
Sebagai lembaga, partai-partai mampu meneruskan cita-cita dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Lembaga-lembaga sekaligus mampu menciptakan hasil-hasil
politis dan melanjutkan sikap dan tingkah laku ke masa depan karena mereka
dibentuk oleh identitas-identitas kaum laki-laki dan perempuan yang menjadi
anggota-anggotanya. Namun dalam hal ini partai-partai politik berbeda satu sama lain
dan bervariasi lintas waktu dalam hal bagaimana imbangan faktor-faktor persediaan
dan permintaan mempengaruhi perempuan. Di dalam semua partai rintangan bagi
seleksi perempuan dapat dijelaskan dengan seksisme institusional. Selain itu menjadi
seorang kandidat merupakan proses yang mahal. Perempuan tidak hanya mempunyai
sumber daya yang lebih sedikit untuk menutup biaya semuanya itu; mereka juga
memasukkan tambahan biaya, dengan sumber dukungan yang lebih sedikit.40
Selain faktor-faktor diatas yang merupakan kendala bagi perempuan dalam
dunia politik, maka ada faktor-faktor yang timbul dari perempuan itu sendiri dalam
hal ini disebut faktor internal (Nantri, 2004 dalam Sri Wahyuni & Hedwigis., 2009:
203), yang berpengaruh pada rendahnya partisipasi perempuan dalam bidang politik
sebagai berikut :
40
Ibid., 140.
1. Adanya anggapan di kalangan perempuan bahwa politik itu penuh kekerasan
sehingga dipandang sebagai dunianya laki-laki, sehingga perempuan enggan
berkecimpung di dalamnya.
2. Banyak perempuan tidak senang berorganisasi.
3. Perempuan kurang memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya bahkan
perempuan sendiri kadang-kadang menenggelamkan dirinya dalam dunia
domestik sibuk dalam tugas-tugas rumah tangga.
4. Perempuan sering kurang percaya diri, sehingga tidak siap mental dan
psikologis untuk memasuki dan melaksanakan fungsi-fungsi jabatan sebagai
perumus kebijakan maupun pengambil keputusan.41
Penetapan strategi-strategi untuk meningkatkan perwakilan politik perempuan
dalam demokrasi modern merupakan suatu proses di mana ide-ide mengenai keadilan
dijadikan dasar bagi kesamaan politik. Prosesnya tidaklah harus linier dalam jangka
pendek, tetapi dalam jangka tertentu. Menurut Lovenduski secara luas, terdapat tiga
strategi yang ada: retorika tentang kesamaan dan jaminan atau diskriminasi positif
atas kesamaan. Retorika tentang kesamaan merupakan penerimaan publik terhadap
klaim-klaim kaum perempuan. Namun selanjutnya ia mengatakan bahwa retoris
belumlah cukup mempunyai kebijakan-kebijakan bagi sebuah perubahan.
Promosi berkaitan dengan kesamaan mencoba membawa kaum perempuan ke
dalam persaingan politik dengan menawarkan pelatihan khusus dan bantuan
keuangan, dan menetapkan target-target bagi kehadiran perempuan dan tindakan-
41
Siti Hariti Sastriyan (ed).,Gender and Politics, (PSW-UGM, 2009), 203.
tindakan lain untuk memungkinkan kaum perempuan tampil ke depan. Jaminan-
jaminan kesamaan atau diskriminasi positif menghilangkan tuntutan bagi wakil-wakil
perempuan. Dalam strategi-strategi seperti itu tempat-tempat disediakan secara
khusus bagi perempuan dalam daftar pemilihan dan dalam badan-badan perwakilan.
Kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan kehadiran kaum perempuan adalah bersifat
permisif, suka rela atau harus dilakukan dan kebijakan-kebijakan itu dapat
memberikan peluang-peluang atau jaminan-jaminan.
Kebijakan-kebijakan yang bersifat permisif menyingkirkan rintangan-
rintangan formal bagi perwakilan perempuan seperti eksklusi-eksklusi secara legal.
Kebijakan-kebijakan itu juga dapat menyingkirkan larangan-larangan mengenai
penggunaan kebijakan-kebijakan sukarela atau keharusan. Kaum perempuan
mendapat manfaat dari sistem daftar partai perwakilan proporsional karena pertama,
partai-partai yang menampilkan daftar-daftar mempunyai insentif untuk menampilkan
daftar kandidat yang secara sosial seimbang dengan para pemilih; hal itu menjadikan
mereka “kelihatan” lebih refresentatif. Kedua, pengaruh-pengaruh pemegang jabatan
sedikit lebih lemah, maka sedikit lebih banyak kekosongan yang dihasilakan. Ketiga,
daftar partai membantu kuota karena memberikan lebih banyak kesempatan untuk
melibatkan perempuan tanpa mengeksklusikan laki-laki, sementara dalam pemilihan
beranggota tunggal di mana partai-partai dapat menominasi hanya satu kandidat
partai-partai harus memilih antara perempuan dan laki-laki.42
Kuota adalah contoh
dari jaminan kesamaan.43
Bentuk yang digunakan kuota tergantung pada konteks institusional dan
kultural yang pada akhirnya menentukan kuota itu sendiri. Sedangkan pelaksanaan
kuota tergantung kepada pada peraturan-peraturan yang ada dalam diri partai itu
sendiri. Tergantung pada sikap normatif dan kalkulasi-kalkulasi partai mengenai
manfaat . Ketika kuota itu sendiri tidak dilaksanakan, maka yang akan terjadi adalah
kuota menjadi jenis lain dari retorika kesetaraan, bagian dari proses tetapi belum
menjadi sebuah solusi. Penggunaan kuota menunjukkan bentuk yang diambil
terbatasi secara kelembagaan atau tergantung kepada cara.
Ide-ide mengenai eksistensi perwakilan perempuan dalam politik memuat
proses perjalanan dari pergerakan politik perempuan yang sudah sejak lama
diperjuangkan. Bahkan kuota sebagai wadah yang memfasilitasi hak-hak perempuan
dalam berpolitik adalah sebuah hasil yang memberikan kesempatan politik bagi
perempuan itu sendiri. Menyoroti gagasan tentang posisi perempuan dalam
perwakilan politik di Indonesia, maka akan dilihat bagaimana posisi perempuan
dalam bidang politik dalam persfektif hukum dan politik. Bagian ini tentunya akan
memberikan wawasan politik yang berkenaan dengan poltik keterwakilan perempuan
di Indonesia.
42
Lovenduski,Perempuan Berparas Politik., 167-180. 43
Apa itu kuota? Kuota politik adalah peraturan bahwa jumlah atau perbandingan tertentu dari
perempuan harus ada dalam forum atau lembaga perwakilan. Kuota berlaku pada berbagai tahap dari
proses seleksi, dengan partai-partai politik, pada tahap nominasi, atau sebagai suatu persyaratan bagi
susunan suatu lembaga pembuat undang-undang majelis perwakilan, dewan atau pemerintahan. Jenis-
jenis utama kuota adalah kursi yang dikhususkan, kuota legal dan kuota yang ditentukan dalam
peraturan partai.Kuota-kuota itu berwujud persyaratan-persyaratan untuk mencalonkan sekurang-
kurangnya jumlah minimum perempuan untuk jabatan yang dipilih.
D. PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN POLITIK
Dalam konteks Indonesia, perkembangan politik keterwakilan perempuan
arahnya semakin jelas, itu dengan ditetapkannya UU yang mengatur kejelasan
keterlibatan perempuan dalam kancah politik yang tertuang dalam UU No 2 Tahun
2008 dan UU No 10 Tahun 2008.
1. Perspektif Hukum Dan Politik UU No 2 Tahun 200844
Tahun 2008 diawali dengan sebuah sejarah yang baru dalam keputusan
Negara mengenai perpolitikan di negeri ini. Pada 4 januari 2008 diundangkannya
Undang-undang partai politik dengan UU No 2 Tahun 2008 tentang partai politik
melalui LN No 2 Tahun 2008. Berbagai hal diatur di dalam undang-undang
sebelumnya, yakni UU No 31 Tahun 2002. Antara lain, pengaturan pembentukan
Partai Politik; Ketentuan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;
Asas dan ciri Parpol, serta tujuan dan fungsinya.
Salah satu hal mendasar dalam UU No 2 Tahun 2008, adalah syarat menjadi
badan hukum atas suatu partai politik. Disyaratkan bahwa untuk menjadi suatu badan
hukum, parpol harus memiliki kepengurusan, sedikitnya 60% dari jumlah propinsi,
50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap propinsi yang bersangkutan. Sementara
untuk kecamatan, harus memiliki kepengurusan setidaknya 25% dari jumlah
kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan.
Syarat badan hukum dalam hal jumlah kepenguruan pada UU No 2 Tahun
2008 lebih diperketat, yakni sedikitnya memiliki 60% dari umlah propinsi. Pada UU
44
Astrid Anugrah, Keterwakilan Perempuan Dalam Politik.,21-24
No 31 Tahun 2002, hanya disyaratkan sedikitnya memiliki 50% dari jumlah provinsi.
Untuk kepengurusan pada jumlah kabupaten/kota dan kecamatan, hal demikian tdak
berbeda dengan UU No 31 Tahun 2008.
Baik pada UU No 2008 maupun UU sebelumnya, syarat untuk menjadi badan
hukum dari suatu partai politik, harus memiliki kepengurusan paling sedikit 50% dari
jumlah kabupaten/kota pada setiap propinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlah
kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan. Ketentuan
UU NO 2 Tahun 2008 juga menentukan, pengesahan Parpol menjadi badan hukum
dilakukan dengan keputusan Mentri Hukum dan HAM, paling lama 15 hari sejak
berakhirnya proses penelitan dan/verifikasi. Hal ini berbeda dengan UU No 32
Tahun 2002, karena UU selama ini menentukan pengesahan parpol sebagai badan
hukum, dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, selambat-lambatnya 30 hari
setelah penerimaan pendaftaran.
Dalam masalah kesetaraan gender, diatur secara tegas dengan menentukam
tindakan keperansertaan perempuan, berupaya sedikitnya 30% keterwakilan
perempuan dalam suatu parpol. Begitu pula dengan jumlah kepengurusan perempuan
sedikitnya 30% di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Hal ini harus dinyatakan
dalam AD dan ART suatu partai.
Dari pinsip-prinsip yang terkandung UU No 2 Tahun 2008 ini diharapkan
mampu mengeksistensikan setiap partai politik menjadi parpol yang tangguh. Lebih
mampu menjadi agen pembaruan sosial dan kehidupan politik yang sehat, baik secara
internal maupun dalam peran eksternalnya di tengah bangsa Indonesia yang sedang
menapaki langkah ke arah demokratisasi yang kuat.
2. Perspektif Hukum Dan Politik UU No 10 Tahun 200845
UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, merupakan penganti UU no 12 tahun 2003. UU No 12
tahun 2003 sebelumnya juga telah mengalami perubahan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU No 10 tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah menjadi Undang-Undang. UU No 12 Tahun 2003 sudah tidak sesuai dengan
tuntutan perkembangan, dan dinamika demokrasi masyarakat, maka kemudian
digantikan dengan UU No 10 Tahun 2008.
Sebagaimana sebelumnya pada UU No 12 tahun 2003, dalam UU No 10
Tahun 2008 diatur berbagai hal mengenai Pemilu. Antara lain, mengenai asas,
pelaksanaan dan lembaga penyelenggara Pemilu; Peserta dan Persyaratan mengikuti
Pemilu; kemudian mengenai peraturan hak-hak untuk memilih. Kemudian diatur pula
dalam UU No 10 Tahun 2008 ini mengenai jumlah kursi dan daerah pemilihan
anggota DPR, Penyusun Daftar pemilih; dan bagaimana pencalonan anggota
DPR,DPD,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Dalam hal ini, sistem
keterwakilan perempuan juga menjadi bagian dari UU No 10 Tahun 2008. Sistem
45
Ibid., 53-60
keterwakilan politik perempuan dikaitkan dengan Affirmtive Actions, sebagai
langkah solusi mengejar keterbelakangannya dari kaum pria.
Selanjutnya di dalam UU ini diatur mengenai kampanye; pengaturan
pemungutan suara, begitu pula perlengkapan mengenai pemungutan suara, begitu
pula perlengkapan mengenai pemungutan suara, perhitungan suara, dan demikian
penetapan hasil pemilu. Selanjutnya mengenai penetapan perolehan kursi dan calon
terpilih. Hal ini diatur mengenai pemungutan suara ulang dan penghitungan suara
ulang; begitu pula mengenai kemungkinan pemilu lanjutan dan pemilu susulan.
Selain itu diatur pula dalam, undang-undang ini mengenai pemantauan Pemilu.
Mengenai keterwakilan perempuan dalam UU No 10 Tahun 2008, terdapat
kemajuan secara signifikan dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, yakni
baik UU No 12 Tahun 2003 maupun UU No 31 tahun 2002 tentang Parpol. UU No
10 Tahun 2008 merupakan tindak lanjut dari sistem politik mengenai keterwakilan
perempuan (dalam kepengurusan partai) sebagaimana ditentukan pada UU No 2
tahun 2008 tentang Partai Politik.
Demikianlah dalam UU No 10 Tahun 2008, politik keterwakilan perempuan
diteruskan dan diwujudkan dalam rangka pemilihan wakil-wakil rakyat, baik di
tingkat pusat (parlemen) maupun di tingkat daerah (DPRD). UU NO 10 Tahun 2008
ini sangat penring artinya bagi realisasi politik keterwakilan perempuan (feminisasi
politik). Karena meskipun sedemikian baiknya sistem keterwakilan perempuan
dilaksanakan di tingkat parpol (pembentukan dan kepengurusan parpol), namun jika
tidak diwujudkan dalam fase selanjutnya secara eksternal dalam bentuk pencalonan
anggota legislatif, asas keterwakilan demikian adalah tidak bermakna apa-apa.
Maka UU No 10 Tahun 2008 menentukan, bahwa bagi setiap parpol, hanya
bisa mengikuti atau menjadi peserta pemilu, haruslah memenuhi persyaratan, antara
lain menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan. Tanpa dipenuhinya
persyaratan keterwakilan perempuan oleh setiap partai, tidak akan diterima sebagai
Parpol peserta Pemilu. Mengenai sistem keterwakilan perempuan menuut UU No 10
tahun 2008, dapat dilihat pada pasal 53 sampai pasal 58 UU No 10 Tahun 2008. Pasal
53 mengatakan bahwa:
“Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit
30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”.
Pasal 52 mengatur hal penyusunan bakal calon legislatif (caleg). Pasal 52 ini
menentukan bahwa bakal caleg disusun dalam daftar bakal calon oleh parpol masing-
masing (ayat 1): bakal caleg anggota DPRD ditetapkan oleh pengurus partaipolitik
peserta pemilu tingkat pusat: bakal caleg anggota DPRD provinsi ditetapakan oleh
pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat provinsi; dan bakal caleg anggota
DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh pengurus Partai politik Pesera Pemilu tingkat
Kabupatn/Kota. Nama-nama bakal caleg ini di susun berdasarkan no urut. Menurut
Pasal 55 ayat (2) ditentukan secara tegas bahwa:
“Di dalam daftar bakal calon sebagaimana imaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang
bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1(satu) orang perempuan bakal calon”.
Penentuan calon anggota legislatif perempuan sebanyak minimal 30 %,
seperti disebutkan di atas, dilakukan melalui sistem Zipper System atau zig-zag.
Caleg perempuan ditempatkan dalam daftar caleg dengan komposisi 1 diantara 3
nama, atau setiap 3 nama yang ada, terdapat 1 caleg perempuan. Penempatan ini
tentunya dimulai dari nomor urut terkecil hingga nomor urut besar.
Apa yang disebut Affirmative Action, telah dituangkan pada Pasal 53 sampai
dengan pasal 58 UU No 10 Tahun 2008. Affirmative Action, dimekanisme melalui
ketentuan-ketentuan yang memungkinkan adanya semacam tindakan khusus kepada
kaum perempuan dalam penentuan calon legislatif. Pasal 53s/d58 juga merupakan
aplikasi secara nyata dari jiwa UU No 10 Tahun 2008 yang tidak bias gender,
malahan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi semua golongan dan lapisan
untuk memilih dan dipilih pada kesempatan pemilu yang ditentukan.
Affirmative action adalah merupakan upaya jalan keluar dari permasalahan
kaum perempuan atas ketertinggalannya. Affirmative Action dikatakan juga sebagai
pengecualian demokrasi. Karena sifatnya kekecualian, maka tindakan khusus ini,
terkadang disebut pula diskriminasi positif . Disebut diskriminasi positif, karena demi
memperhatikan pemberdayaan kaum perempuan dalam politik, arti demokrasi dalam
politik tersebut seakan menjadi tidak tampak, namun kebijakan khusus demikian
masih dapat dinilai positif sebagai langkah mengatasi kesenjangan gender.
Dilihat baik UU No 2 Tahun 2008 tentang Parpol maupun UU No 10 tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan rakyat daerah, merupakan instrument
hukum yang revolusioner dalam kancah perpolitikan di Indonesia.
Top Related