9
BAB II
KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN DAN KERANGKA
KONSEPTUAL
A. Kajian Teori
1. Model Pembelajaran Sejarah Lokal
a. Model Pembelajaran
1) Pengertian model pembelajaran
Joyce, Weil dan Calhoun telah meninjau model-model pembelajaran
yang dianggap bermanfaat dan mengujinya pada siswa. Menurut Joyce, dkk.
(2011:1), model-model pembelajaran (models of teaching) merupakan salah
satu cara untuk menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pada
kecerdasan (intelligence-oriented education) dan memberikan keluasan pada
siswa untuk mendidik diri mereka sendiri. Kunci dari efektivitas model-
model pengajaran ini adalah melatih siswa untuk menjadi pembelajar yang
handal (more powerful learners).
Ditegaskan kembali oleh Joyce, dkk. (Porda, 2009:42-43) bahwa
model pembelajaran merupakan perencanaan suatu pola yang dapat
digunakan sebagai desain dan petunjuk pembelajaran dalam ruang kelas.
Model pembelajaran merupakan bentuk nyata belajar sehingga dapat
membantu siswa mendapatkan informasi, ide, keterampilan, nilai, pandangan
berpikir, dan cara pemahaman diri, serta membantu siswa bagaimana belajar.
Model-model pembelajaran yang dikembangkan oleh Joyce, Weil
dan Calhoun (Huda, 2014:75) memiliki struktur yang jelas. Implementasi
setiap model dideskripsikan dalam struktur ini, antara lain:
a) Sintak (syntax), merupakan tahapan-tahapan atau langkah-langkah model
pembelajaran yang mendeskripsikan implementasi model di lapangan.
Sintak merupakan rangkaian sistematis aktivitas-aktivitas dalam model
tersebut. Setiap model memiliki aliran tahap yang berbeda.
10
b) Sistem sosial (social system) mendeskripsikan peran dan relasi antara guru
dan siswa. Dalam beberapa model, guru sangat berperan dominan. Dalam
sebagian model, aktivitas ini lebih dipusatkan pada siswa, dan dalam
sebagian yang lain aktivitas tersebut didistribusikan secara merata.
c) Prinsip reaksi (principles of reaction) mendeskripsikan bagaimana seorang
guru harus memandang siswanya dan merespons apa yang dilakukan
siswanya. Prinsip-prinsip ini merefleksikan aturan-aturan dalam memilih
model dan menyesuaikan respons intruksional dengan apa yang dilakukan
siswa.
d) Sistem dukungan (support system) mendeskripsikan kondisi-kondisi yang
mendukung yang seharusnya diciptakan atau dimiliki oleh guru dalam
menerapkan model tertentu. Dukungan yang dimaksudkan ialah prasyrat-
prasyarat tambahan di luar skill-skill, kapasitas-kapasitas manusia pada
umumnya dan fasilitas-fasilitas teknik pada khususnya. Dukungan tersebut
berupa buku, film, perangkat laboratorium, materi-materi rujukan, dan
sebagainya.
e) Pengaruh baik yang berupa instruksional dan pengiring (instructional and
nurturant effects) merupakan efek-efek yang ditimbulkan oleh setiap model.
Pengaruh instruksional merupakan pengaruh langsung dari model tertentu
yang disebabakan oleh konten atau skill yang menjadi dasar
pelaksanaannya. Pengaruh pengiring merupakan pengaruh yang sifatnya
implisit dalam lingkungan belajar; pengaruh ini merupakan pengaruh tidak
langsung dari model pengajaran tertentu.
Eggen dan Kauchak (2012:7) menambahkan pengertian model
mengajar atau model pengajaran sebagai pendekatan spesifik dalam mengajar
yang memiliki tiga ciri yaitu tujuan, fase, dan fondasi. Tujuan model
mengajar dirancang untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan
berpikir kritis dan memperoleh pemahaman mendalam tentang bentuk
spesifik materi. Model mengajar mencakup serangkaian langkah yang disebut
fase dan bertujuan membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran yang
11
spesifik. Model mengajar didukung teori dan penelitian tentang pembelajaran
dan motivasi sebagai fondasinya.
Eggen dan Kauchak (2012:8) menganalogikan penggunaan model
mengajar seorang guru dengan cetak biru seorang insinyur. Sebagaimana
cetak biru memberikan struktur dan arahan bagi insinyur, model memberikan
struktur dan arahan bagi guru. Akan tetapi, cetak biru tidak mendiktekan
semua tindakan seorang insyur dan sebuah model tidak bisa mendiktekan
semua tindakan seorang guru. Cetak biru bukanlah pengganti bagi keahlian
teknik dasar sebagaimana model pengajaran bukanlah pengganti bagi keahian
mengajar dasar. Model tidak bisa menggantikan kualitas-kualitas yang harus
dimiliki guru ahli, seperti pengetahuan profesi, sensitivitas terhadap murid
dan kemampuan untuk membuat keputusan dalam situasi gawat. Model
sebenarnya sebuah alat untuk membantu guru menjadikan pengajaran mereka
sistematis dan efisien. Model memberikan cukup banyak fleksibilitas untuk
memungkinkan guru menggunakan kreativitas mereka sendiri, sebagaimana
insinyur menggunakan kreativitas dalam kegiatan membangun. Sebagaimana
cetak biru, model mengajar adalah rancangan untuk mengajar di mana guru
menggunakan segala kehalian dan pengetahuan yang mereka miliki.
Sutikno (2014:58) menyimpulkan pengertian model pembelajaran
sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur sistematik
dalam pengorganisasian pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar
tertentu. Model pembelajaran menggambarkan keseluruhan urutan alur atau
langkah-langkah yang pada umumnya diikuti oleh serangkaian kegiatan
pembelajaran. Dalam model pembelajaran ditunjukkan secara jelas kegiatan-
kegiatan tersebut, dan tugas-tugas khusus apa yang perlu dilakukan oleh
peserta didik. Selanjutnya, dalam satu model pembelajaran bisa terdiri atas
beberapa pembelajaran.
Dari beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran adalah perencanaan atau kerangka konseptual yang
memiliki prosedur sistematik antara lain sintak, sistem sosial, tugas atau
peran guru, sistem dukungan, dan pengaruh yang berupa intruksional dan
12
pengiring yang diiukuti pada kegiatan pembelajaran. Model pembelajaran
membantu mencapai tujuan belajar tertentu sesuai dengan kebutuhan
pembelajaran di kelas.
2) Model latihan penelitian (inquiry training model)
Pada penelitian pengembangan ini, peneliti menggunakan model
yang termasuk dalam kelompok model pemerosesan informasi (formal
cooperative learning group) yaitu latihan penelitian (inquiry training). Model
latihan penelitian (inquiry training) digunakan karena struktur pengajaran
(syntax) pada model ini sesuai dengan penggunaan arsip koran sebagai
sumber pembelajaran. Artikel pada arsip koran dapat digunakan untuk
membangun peristiwa-peristiwa yang merangsang berpikir mahasiswa.
Peristiwa-peristiwa tersebut akan dijadikan sebagai situasi permasalahan yang
dapat berupa pernyataan permasalahan (problem statement) atau lembaran
fakta/bukti (fact sheet) (Joyce, dkk., 2011:210). Selain itu, model ini dapat
membantu mahasiswa untuk melatih kemampuan penelitian mereka.
Model latihan penelitian telah dikembangkan oleh Richard Suchman
(1926) untuk mengajarkan siswa tentang proses dalam meneliti dan
menjelaskan fenomena asing. Model Suchman ini melibatkan siswa dalam
versi-versi kecil tentang jenis-jenis prosedur yang digunakan oleh para
sarjana untuk mengolah pengetahuan dan menghasilkan prinsip-prinsip.
Didasarkan pada konsepsi metode ilmiah, metode ini mencoba mengajarkan
siswa keterampilan dan bahasa penelitian siswa. Model latihan penelitian
dirancang untuk membawa siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah
melalui latihan-latihan yang dapat memadatkan proses ilmiah tersebut ke
dalam periode waktu yang singkat (Joyce, dkk., 2011: 200).
Tujuan umum latihan peneltian adalah membantu siswa
mengembangkan disiplin intelektual dan keterampilan yang mumpuni untuk
meningkatkan pertanyaan-pertanyaan dan pencarian jawaban yang terpendam
dari rasa keingintahuan mereka (Joyce, dkk., 2011: 202). Tujuan intinya
adalah memberikan siswa pengalaman dalam membangun pengetahuan baru,
pertentangan-pertentangan yang dimunculkan seharusnya didasarkan pada
13
gagasan-gagasan yang dapat diteliti (Joyce, dkk., 2011: 203). Model latihan
penelitian ini menekankan pada kesadaran dan penguasaan pada proses
penelitian, dan bukan pada isi (content) dari situasi masalah tertentu (Joyce,
Weil dan Calhoun, 2011: 204).
Suchman (dalam Joyce, dkk., 2011: 203) mengutarakan teorinya
mengenai model latihan penelitian, antara lain:
a) Siswa meneliti secara alamiah ketika mereka sedang menghadapi persoalan
(kebingungan).
b) Mereka dapat sadar dan belajar menganalisis strategi-strategi berpikirnya.
c) Strategi-strategi baru dapat diajarkan secara langsung dan dapat
ditambahkan pada strategi yang telah dimiliki siswa sebelumnya.
d) Penelitian kooperatif dapat memperkaya pemikiran dan membantu siswa
belajar tentang ketidakmestian, sifat pengetahuan yang selalu berkembang,
dan menghargai penjelasan alternatif.
Wiriaatmadja dalam Porda (2009: 56-57) menambahkan dengan
pendapatnya bahwa pembelajaran inkuiri merupakan suatu proses, siswa
dibimbing mencari makna lebih dalam dengan aktivitas intelektual agar
menghayati bukan hanya mendengarkan. Tujuan pembelajaran inkuiri tidak
hanya beyond knowing dan beyond understanding, tetapi juga domain
kognitif tinggi (analisis dan sintesis). Domain afektif terjadi dalam aktivitas
menjabarkan nilai dan membentuk sikap, domain motorik terjadi dalam
bentuk keterampilan aspek-aspek teknis inkuiri. Proses inkuiri dalam
pembelajaran adalah: (1) perumusan masalah; (2) memperkenalkan konsep-
konsep; (3) memformulasikan hipotesis; (4) mengumpulkan data dan
informasi untuk menguji hipotesis; dan (5) penarikan kesimpulan. Selain itu,
pembelajaran model inkuiri memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
a) Informasi akan lama diingat karena dicari sendiri oleh siswa.
b) Siswa akan mampu menghadapi permasalahan dan situasi baru
c) Siswa didorong oleh motivasi instrinsik.
14
d) Siswa mengembangkan keterampilan (nilai dan sikap) yang diperlukan
dalam belajar sendiri.
e) Mengembangkan daya kognitif sampai tingkat tinggi dan mengembangkan
berpikir intuitif.
f) Siswa dilatih berpikir induktif dan deduktif karena belajar mengambil
kesimpulan secara logis dari hasil inferensi dan data yang dikumpulkan
(Wiriaatmadja dalam Porda, 2009: 57).
Menurut Ellis (dalam Porda, 2009: 57), bahwa sumbangan utama
belajar dengan model inkuiri adalah memberi kesempatan pada siswa terlibat
dalam proses mendapatkan pengetahuan melalui kontak mendalam dengan
informasi sehingga memperoleh perspektif penting dari yang dibaca, dilihat,
menunjukkan dan menceritakan seperti dalam buku, film, ceramah, dan
sumber informasi yang lain. Pada pembelajaran dengan model inkuiri seluruh
aspek pembelajaran dikembangkan, siswa tidak hanya memiliki pengetahuan
tetapi juga sikap dan keterampilan.
Model latihan penelitian (inquiry training) memiliki struktur model
yang jelas. Adapaun struktur tersebut ialah struktur pengajaran atau sintak,
sistem sosial, peran atau tugas guru, sistem pendukung, serta dampak-dampak
instruksional dan pengiring. Lebih terperinci, sebagai berikut:
a) Struktur pengajaran atau sintak (syntax)
Model latihan penelitian (inquiry training) (Joyce, Wdkk., 2011:
206-209) memiliki lima tahapan struktur pengajaran, antara lain:
1) Menghadapkan pada masalah
Tahap pertama ini dilakukan dengan mengonfrontasikan siswa
dengan situasi yang membingungkan. Mengharuskan guru untuk
menyajikan situasi permasalahan dan menjelaskan prosedur-prosedur
penelitian pada siswa (objek-objek dan prosedur pertanyaan Ya/Tidak).
2) Pengumpulan data – verifikasi
Tahapan ini dilakukan dengan mengumpulkan data dan
memverifikasinya. Siswa mengajukan serangkaian pertanyaan apa saja
15
yang dapat dijawab guru dengan kata ya atau tidak. Verifikasi pada tahap
kedua ini, merupakan proses dimana siswa mengumpulkan informasi
tentang suatu peristiwa yang mereka lihat atau alami. Seorang guru
bertugas memperluas penelitian siswa dengan cara mengembangkan jenis
informasi yang mereka peroleh. Selama verifikasi, siswa mungkin
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang objek, sifat/karakteristik,
kondisi, dan kejadian. Pertanyaan tentang objek dimaksudkan untuk
menentukan sifat atau identitas objek. Pertanyaan tentang peristiwa
berusaha untuk memverifikasi terjadinya atau sifat suatu tindakan.
Pertanyaan tentang kondisi berhubungan dnegan situasi objek atau sistem
pada waktu tertentu. Pertanyaan tentang sifat/karakteristik bertujuan untuk
memverifikasi perilaku objek di bawah kondisi-kondisi tertentu sebagai
cara memperoleh informasi baru untuk membantu membangun suatu teori.
3) Pengumpulan data – eksperimentasi
Pada tahapan ini siswa mulai melaksanakan serangkaian ujicoba
pada situasi permasalahan. Dalam eksprimentasi pada tahap ketiga ini,
siswa memperkenalkan elemen-elemen baru ke dalam situasi
permasalahan untuk mengetahui mungkinkah terjadi hal lain ketika data
penelitian mereka ujicoba dengan cara yang berbeda.
Eksperimentasi memiiki dua fungsi : eksplorasi (exploration) dan
pengujian langsung (direct testing). Eksplorasi - mengubah sesuatu untuk
melihat apa yang akan terjadi - tidak semestinya dibimbing oleh sebuah
teori dan hipotesis, tapi bagaimana eksperimentasi tersebut dilaksanakan
untuk menawarkan gagasan-gagasan baru bagi suatu teori. Pengujian
langsung muncul ketika siswa mengujicoba teori dan hipotesis. Proses
konversi hipotesis ke dalam ujicoba tidak mudah dan membutuhkan
banyak praktik. Untuk meneliti suatu teori, kita perlu mengajukan banyak
pertanyaan verifikasi dan eksperimentasi.
Oleh karena itu, salah satu tugas kita sebagai guru adalah
berusaha mengendalikan siswa kapan pun mereka berasumsi bahwa
sebuah variabel tidak dapat dibuktikan meskipun kita tahu sebenarnya
16
variabel tersebut bisa dibuktikan. Walaupun verifikasi dan eksperimentasi
digambarkan sebagai tahap yang terpisah dari model ini, pemikiran siswa
dan jenis-jenis pertanyaan yang mereka utarakan biasanya bergantian dan
bergiliran antara dua tahap pengumpulan data tersebut.
4) Mengolah dan merumuskan penjelasan
Siswa mengolah informasi yang mereka dapatkan selama
pengumpulan data dan mencoba menjelaskan ketidaksesuaian-
ketidaksesuaian atau perbedaan-perbedaan. Pada tahapan ini, guru
meminta siswa mengolah data dan merumuskan suatu penjelasan.
Beberapa siswa memiliki kesulitan dalam membuat “lompatan intelektual”
(the intellectual leap) antara memahami informasi yang telah mereka
kumpulkan dengan membangun penjelasan yang jelas mengenai informasi
itu. Siswa mungkin memberikan penjelasan yang tidak sesuai,
meninggalkan rincian-rincian yang sebenarnya esensial.
Terkandang, beberapa teori atau penjelasan bisa didasarkan pada
data yang sama. Dalam beberapa kasus, kondisi ini acap kali berguna
auntuk meminta siswa mengutarakan penjelasan mereka sehingga
jangkauan hipotesis-hipotesis yang mungkin ada bisa menjadi lebih jelas.
Begitu pula, dengan mengelompokkan teori-teori tersebut, siswa dapat
lebih mudah memberikan penjelasan yang seluruhnya bisa merespons
situasi permasalahan.
5) Analisis proses penelitian
Siswa menganalisis strategi-strategi pemecahan masalah yang
telah mereka gunakan selama penelitian. Singkatnya, siswa diminta untuk
menganalisis pola penelitian mereka. Siswa mungkin menentukan
pertanyaan-pertanyaan yang sangat efektif, cara-cara bertanya yang
produktif dan tidak, atau jenis informasi yang mereka butuhkan dan tidak
mereka dapatkan. tahap ini pentingseandainya kita ingin membuat proses
17
penelitian sebagai suatu kesadaran dan mulai mencoba untuk
mengembangkannya secara sistematis.
Sederhananya tahapan struktur pengajaran pada model latihan
penelitian (inquiry training) dapat diamati dari bagan berikut:
Bagan 2.1 Skema Struktur Pengajaran Model Latihan Penelitian (Inquiry
Training)
Sumber: Joyce, dkk., 2011: 207
b) Sistem sosial (social system)
Model latihan penelitian (inquiry training) dapat dirancang dengan
baik, dengan guru yang mengontrol interaksi dan meresapkan prosedur-
prosedur penelitian. Meski demikian, standar penelitian adalah kerja sama,
kebebasan intelektual, dan keseimbangan. Lingkungan intelektual terbuka
untuk semua gagasan yang relevan, guru, dan siswa seharusnya
berpartisipasi secara sejajar dimana gagasan-gagasan bisa saling terhubung
satu sama lain (Joyce, dkk., 2011: 215). Dalam tahap-tahap penelitian, peran
Tahap Satu:
Menghadapkan Pada Masalah
Menjelaskan prosedur-prosedur
Menjelaskan perbedaan-
perbedaan atau kejadian yang
aneh.
Tahap Dua:
Pengumpulan Data - Verifikasi
Memverifikasi hakikat objek
dan situasinya.
Memverifikasi terjadinya situasi
permasalahan.
Tahap Tiga:
Pengumpulan Data - Eksperimentasi
Memisahkan variabe yang relevan.
Menghipotesis (serta menguji)
hubungan kausal atau sebab-akibat.
Tahap Empat:
Mengolah, Merumuskan
penjelasan
Merumuskan aturan-aturan
dan penjelasan-penjelasan.
Tahap Lima:
Analisis Proses Penelitian
Menganalisis strategi penelitian dan
mengembangkan yang lebih efektif.
18
guru adalah memilih (atau membangun) situasi permasalahan, menengahi
penelitian menurut prosedur-prosedur penelitian, merespons penjajakan
penelitian siswa dengan informasi mereka, dan memfasilitasi diskusi antara
siswa tentang situasi permasalahan tersebut (Joyce, dkk., 2011: 209).
c) Prinsip reaksi (principles of reaction)
Tugas terpentig dari seorang guru berada selama tahap kedua
hingga ketiga. Selama tahap kedua, tugas guru adalah membantu siswa
untuk meneliti, bukan melakukan penelitian untuk mereka. Jika guru
ditanyai pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan kata Ya dan Tidak, dia
harus meminta siswa untuk menyusun kembali pertanyaan mereka agar
mereka bisa melanjutkan upayanya untuk mengumpulkan data dan
menguhubungkannya dengan situasi permasalahan. Jika perlu, guru bisa
menjaga pergerakan penelitian dengan membuat informasi baru yang
tersedia pada kelompok dan memfokuskan diri pada peristiwa-peristiwa
permasalahan terntentu atau dengan mengajukan pertanyaan. Selama tahap
terakhir, tugas guru adalah menjaga penelitian untuk tetap diarahkan pada
proses penyelidikan itu sendiri (Joyce, dkk., 2011: 208).
Secara lebih rinci, tugas atau peran guru pada model latihan
penelitian (inquiry training) ialah:
1) Meyakinkan bahwa pertanyaan-pertanyaan diutarakan dengan baik
sehingga pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan “Ya” atau “Tidak” dan
substansi pertanyaan itu tidak mengharuskan guru melakukan penelitian.
2) Meminta siswa untuk mengutarakan kembali pertayaan yang kurang baik.
3) Menegaskan/menunjukkan poin-poin yang tidak disahkan.
4) Menggunakan bahasa proses penelitian.
5) Mencoba menyediakan lingkungan intelektual yang bebas dengan tidak
menilai teori-teori siswa secara keras.
6) Mendesak siswa untuk membuat pernyataan-pernyataan teori lebih jelas
dan menyediakan dukungan dalam menggeneralisasi teori itu.
7) Mendorong interaksi antara siswa (Joyce, dkk., 2011: 209).
19
d) Sistem dukungan (support system)
Dukungan maksimal dalam model latihan penelitian (inquiry
training) ini adalah seperangkat materi-materi yang dapat mengonfrontasi
persoalan, seorang guru yang dapat memahami proses-proses intelektual dan
strategi-strategi penelitian, dan materi-materi sumber yang mengandung
beberapa masalah tertentu yang unik (Joyce, dkk., 2011: 209).
e) Pengaruh baik yang berupa instruksional dan pengiring (instructional and
nurturant effects), antara lain:
1) Dampak instruksional:
(a) Proses-proses ilmiah.
(b) Strategi-strategi penelitian kreatif.
2) Dampak pengiring:
(a) Spirit kreativitas.
(b) Kemandirian dan otonomi dalam pembelajaran.
(c) Toleran pada ambiguitas.
(d) Sifat pengetahuan yang tentatif (Joyce, dkk., 2011: 209).
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa model latihan
penelitian dirancang untuk melatih siswa dalam proses ilmiah dengan
memadatkan proses ilmiah tersebut. Model ini menekankan pada kesadaran
dan penguasaan pada proses penelitian, dan bukan pada isi (content) dari
situasi masalah tertentu. Model latihan penelitian terdiri dari struktur
pengajaran atau sintak, sistem sosial, peran atau tugas guru, sistem
pendukung, serta dampak-dampak instruksional dan pengiring. Adapun
struktur pengajaran dari model latihan penelitian ialah: (a) menghadapkan
pada masalah; (b) pengumpulan data-verifikasi; (c) pengumpulan data-
eksperimen; (d) mengolah, merumuskan penjelasan; dan (e) analisis proses
penelitian.
20
b. Sejarah lokal
1) Pengertian sejarah lokal
Pengertian sejarah lokal tidak dapat dipisahkan dengan pengertian
sejarah dan lokal itu sendiri. Pengertian pertama ialah pengertian sejarah,
sejarah yang dimaksudkan ialah tentang ilmu sejarah. Jika ditelaah dari
istilahnya, maka history berasal dari kata istoria dalam bahasa Yunani yang
berarti “informasi” atau “penelitian yang ditujukan untuk memperoleh
kebenaran”. Sejarah pada masa itu hanya berisi tentang “kisah manusia”,
kisah tentang usaha-usahanya dalam memenuhi kebutuhannya (Kochhar,
2008:1). Dalam penggunaannya oleh filsuf Yunani Aristoteles, istoria berarti
suatu pertelaan sistematis mengenai seperangkat gejala alam, entah susunan
kronologi merupakan faktor atau tidak didalam pertelaan; penggunaan itu,
meskipun jarang, masih tetap hidup di dalam bahasa Inggris didalam sebutan
natural history (Gottschalk, 2006: 33).
Pengertian sejarah secara sederhana dijelaskan oleh Pranoto (2010:1)
sebagai “dongeng” atau cerita belaka. Begitu halnya dengan “story” atau
“history” yang tidak berbeda dengan cerita. Apa yang diceritakan tidak lain
adalah pengalaman tentang kejadian masa lampau manusia (post human
events). Selain itu, Kartodirdjo (2014: 16-17) mengungkapkan bahwa umunya
orang memakai istilah sejarah untuk menunjuk cerita sejarah, pengetahuan
sejarah, gambaran sejarah, yang kesemuanya itu sebenarnya adalah sejarah
dalam arti subjektif.
Kartodirdjo (2014: 16-17) kemudian membagi arti sejarah menjadi
dua yaitu subyektif dan obyektif. Disebut subjektif karena sejarah memuat
unsur-unsur dan isi subjek (pengarang, penulis). Baik pengetahuan maupun
gambaran sejarah adalah hasil penggambaran atau rekonstruksi dari
pengarang, maka mau tak mau memuat sifat-sifatnya, gaya bahasanya,
struktur pemikirannya, pandangannya, dan lain sebagainya. Sejarah dalam arti
objektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri, ialah proses
21
sejarah dalam aktualitasnya. Kejadian itu sekali terjadi tidak dapat diulang
atau terulang lagi.
Istilah sejarah pada masa sekarang digunakan untuk bidang studi
yang memperlakukan sejarah sebagai sebuah “aktualitas” atau ilmu (Kochhar,
2008: 12). Lebih spesifik Pranoto (2010: 2) menjelaskan sejarah adalah ilmu
pengetahuan dari subjek yang definit disyaratkan oleh metode yang bebas dan
teratur atau proses dan diatur dalam ketentuan yang dapat diterima.
Selanjutnya, sejarah dapat diberi definisi yang membedakan dengan batasan
imu sosial dan ilmu lain.
Batasan tersebut dijelakan oleh Pranoto (2012: 2), bahwa sejarah
dapat dibedakan menjadi kejadian masa lampau manusia, catatan aktualitas
masa lampau, serta proses dan teknik pembuatan catatan. Menurut Agung dan
Wahyuni (2013: 55), sejarah adalah mata pelajaran yang menanamkan
pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan
perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga
kini.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan
sejarah pada penelitian dan pengembangan ini adalah sejarah sebagai mata
kuliah atau ilmu. Sehingga sejarah dapat diartikan sebagai mata kuliah atau
ilmu yang mempelajari kejadian masa lampau manusia baik secara subyektif
maupun obyektif. Sejarah juga mata kuliah yang mengajarkan tentang
pengetahuan, sikap dan nilai-nilai pada mahasiswa.
Pengertian selanjutnya ialah pengertian tentang lokal. Menurut
Priyadi (2012: 6), istilah lokal mempunyai arti suatu tempat atau ruang,
sehingga sejarah lokal menyangkut lokalitas tertentu yang disepakati oleh
para penulis sejarah atau sejarawan dengan alasan-alasan ilmiah. Contoh
alasan-asalan ilmiah adalah suatu ruang tempat tinggal suku bangsa atau
subsuku bangsa. Ruang itu bisa lintas kecamatan, kabupaten, atau propinsi
dan dapat pula berbentuk suatu kota. Dengan begini “sejarah lokal” dengan
sederhana dapat dirumuskan sebagai kisah di kelampauan dari kelompok atau
22
kelompok-kelompok masyarakat yang berada pada “ daerah geografis” yang
terbatas (Abdullah, 2010: 15).
Ruang sejarah lokal merupakan lingkup geografis yang dapat
dibatasi sendiri oleh sejarawan dengan alasan yang dapat diterima semua
orang (Priyadi, 2012: 7). Sedangkan, masalah lokal adalah segala soal yang
menyangkut dan berkisar pada dirinya. Karena itu pertanyaan pokoknya lebih
sederhana ‘Apakah hal-hal ini, proses dan kecenderungan struktural, dapat
menjelaskan perkembangan dari masyarakat di daerah ini?, dilokalitas ini?”
Sekali lagi masalah pokok ialah bersumber pada logika ruang yang
dimunculkan oleh realitas lokal (Abdullah, 2010: 18-19).
Jadi, sejarah lokal dapat diartikan sebagai kejadian dimasa lampau
manusia atau kelompok manusia secara subyektif maupun obyektif yang
berada pada lokalitas tertentu dapat berupa kecamatan, kabupaten, kota, atau
propinsi. Pada penelitian dan pengembangan ini, sejarah lokal dapat pula
diartikan sebagai mata kuliah atau ilmu yang mempelajari kejadian masa
lampau manusia maupun kelompok masyarakat yang berada lokalitas
tertentu.
2) Konstruktivisme dalam pembelajaran sejarah lokal
Prinsip dasar yang mendasari filsafat konstruktivisme adalah bahwa
semua pengetahuan dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara
langsung oleh indera (penciuman, penglihatan, perabaan, dan lainnya).
Senada dengan tersebut di dalam dunia pendidikan ide-ide konstruktivis
diterjemahkan bahwa semua siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan
untuk dirinya sendiri (Muijis dan Reynolds, 2008: 95-96). Konstruktivisme
berkaitan dengan bagaimana individu belajar aktif dalam proses berpikir dan
belajar. Dalam konstruktivisme, peserta didik adalah pemain kunci dengan
berpartisipasi dalam mencari makna atau pemahaman belajar. Peserta didik
tidak pasif menerima informasi, melainkan mampu mengkontruksi atau
mengubah informasi yang diberikan. Peserta didik juga dapat
menghubungkan pembelajaran yang baru dengan pengetahuan yang sudah
23
ada. Peserta didik harus menarik persepsi mereka tentang konteks, masa lalu,
dan sekarang. Mereka dapat menggunakan konteks yang relevan dengan
pembelajaran mereka guna memahami konsep-konsep dan ide-ide dalam
pembelajaran (Ornsteins dan Hunkins, 2013: 110-111).
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka kaum konstruktivis
mengusulkan sejumlah metode yang dapat membantu penggunaan
konstruktivisme di kelas. Ini termasuk modelling (menunjukkan kepada siswa
tentang bagaimana cara melakukan atau memikirkan tentang tugas yang
sulit); scaffolding (menyediakan banyak dukungan pada awal belajar,
kemudian ditarik kembali sedikit demi sedikit); coaching (membantu siswa
ketika mereka sedang menyelesaikan sebuah masalah); artikulasi (meminta
siswa mengekspresikan ide-idenya dan refleksi terhadap aktivitas-
aktivitasnya); kolaborasi, melakukan kegiatan belajar dengan siswa-siswa
lain; kegiatan eksplorasi dang mengatasi masalah; memberi pilihan kepada
siswa yang mendorong siswa untuk menghasilkan beragam opsi dan jawaban;
bersikap fleksibel; adaptif dan bukan mengikuti rencana pelajaran yang telah
diterapkan secara kaku; dan menekankan adanya multiple realities (Muijis
dan Reynolds, 2008: 111).
Menurut sifatnya, konstruktivisme seharusnya mendorong
eksperimentasi, kontingensi, dan kecairan dalam pelajaran (Muijis dan
Reynolds, 2008: 104). Sehingga para pakar konstruktivisme mengusulkan
beberapa format pelajaran konstruktivis di kelas. Salah satu contohnya ialah
model empat langkah yang disajikan sebagai berikut.
a) Fase start
Guru mungkin ingin mulai dengan mengukur pengetahuan siswa
sebelumnya dan menetapkan berbagai kegiatan. Guru dapat mulai dengan
pertanyaan umum terbuka lalu mendorong siswa untuk memberikan
jawaban-jawaban terbuka dan mendiskusikan tentang subjek ini. Sebagai
alternatif adalah mulai dengan sebuah masalah yang relevan dengan
kehidupan siswa sehari-hari. Setelah itu topik pembelajaran yang dimaksud
dapat diintroduksikan. Guru mungkin juga memutuskan untuk
24
mengintroduksikan sebuah situasi yang membingungkan atau mengejutkan,
yang menyebabkan siswa memikirkan tentang situasi tersebut. Alih-alih
langsung mengintroduksikan sebuah definisi atau konsep kepada siswa-
siswa, guru akan berusaha membuat mereka menemukan berbagai aturan
dan definisi, dan akan menetapkan sebuah kegiatan yang memungkinkan
mereka untuk melakukan itu (Muijis dan Reynolds, 2008: 105-106).
b) Fase eksplorasi
Siswa sekarang mengerjakan kegiatan yang ditetapkan guru di
fase pertama. Kegiatan ini biasanya bersifat eksploratik, melibatkan situasi
atau bahan-bahan riil, dan memberikan kesempatan untuk kerja kelompok.
Kegiatannya mestinya distrukturisasik sedemikian rupa sehingga para
siswa menghadapi isu-isu yang memungkinkan mereka mengembangkan
pemahaman, da mestinya juga cukup menantang. Ada baiknya untuk
mengingatkan siswa tentang proses-proses metakognitif yang mungkin
mereka terapkan ketika menyelesaikan masalah (Muijis dan Reynolds,
2008: 106).
c) Fase refleksi
Selama fase ini, siswa mungkin diminta untuk menengok kembali
kegiatan itu dan menganalisis serta mendiskusikan apa yang telah mereka
kerjakan, baik dengan kelompok-kelompok lain atau dengan guru. Guru
dapat memberikan scaffolding yang bermanfaat selama fase ini, melalui
pertanyaan dan komentar yang dirancang untuk mengaitkan eksplorasi itu
dengan konsep kunci yang sedang dieksplorasi (Muijis dan Reynolds, 2008:
106).
d) Fase aplikasi dan diskusi
Setelah itu guru dapat meminta seluruh kelas untuk mendiskusikan
berbagai temuan dan menarik kesimpulan. Langkah berikutnya dapat
diidentifikasi oleh guru atau siswa, dan poin-poin kunci direkap. Meskipun
ini adalah sebuah contoh struktur yang mungkin diterapkan, kami harus
mengulangi lagi bahwa tidak ada yang dapat dikatakan sebagai itulah yang
25
disebut struktur pelajaran konstrktivis, dan karena konsep-konsep dipelajari
secara mendalam, maka sebuah eksplorasi dapat berlangsung selama
beberapa waktu pelajaran (Muijis dan Reynolds, 2008: 106).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kontuktivisme dalam pembelajaran
adalah kegiatan siswa dalam mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya
sendiri, mencari makna atau pemahaman dalam pembelajaran, mampu
menghubungkan pembelajaran yang baru dengan pengetahuan yang sudah
ada, dan mampu menggunakan konteks yang relevan. Di kelas, guru
menggunakan sejumlah metode yang dapat membantu penggunaan
konstruktivisme dan menggunakan format pelajaran kontruktivis, seperti fase
start, eksplorasi, refleksi, serta aplikasi dan diskusi.
Konstruktivisme dalam pembelajaran sejarah lokal yang
dimaksudkan ialah sejarah lokal sebagai mata kuliah di Prodi Sejarah FKIP
Universitas Lambung Mangkurat. Pada perkuliahan, dosen biasanya mengajar
dengan cara “teacher center”. Materi sejarah lokal pun berdasarkan pada
buku-buku yang sudah langka. Kurangnya sumber pembelajaran membuat
mahasiswa menjadi pasif pada perkuliahan.
Oleh karena itu, diperlukannya kontruktivisme dalam pembelajaran
sejarah lokal. Mahasiswa pun dapat mengkonstruksikan pengetahuan sejarah
lokal untuk dirinya sendiri, mencari makna atau pemahaman dalam
pembelajaran sejarah lokal, mampu menghubungkan sejarah lokal dengan
sejarah nasional, dan mampu menggunakan konteks yang relevan.
c. Model pembelajaran sejarah lokal
Dari beberapa pendapat sebelumnya baik mengenai model
pembelajaran dan sejarah lokal. Maka dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran sejarah lokal adalah perencanaan dari mata kuliah atau ilmu yang
mempelajari kejadian masa lampau manusia maupun kelompok masyarakat
yang berada lokalitas tertentu, serta memiliki prosedur sistematik antara lain
sintak, sistem sosial, tugas atau peran guru, sistem dukungan, dan pengaruh
yang berupa intruksional dan pengiring yang diiukuti pada kegiatan
pembelajaran.
26
Model pembelajaran sejarah lokal berdasarkan konstruktivisme dalam
pembelajaran. Mahasiswa dapat mengkonstruksikan pengetahuan sejarah lokal
untuk dirinya sendiri, mencari makna atau pemahaman dalam pembelajaran
sejarah lokal, mampu menghubungkan sejarah lokal dengan sejarah nasional,
dan mampu menggunakan konteks yang relevan.
Model pembelajaran sejarah lokal pada penelitian dan pengembangan
ini adalah bentuk kombinasi dari model latihan penelitian dengan metode
sejarah yang terdiri dari heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.
Model latihan penelitian dirancang untuk melatih siswa dalam proses ilmiah
dengan memadatkan proses ilmiah tersebut. Model latihan penelitian terdiri
dari struktur pengajaran atau sintak, sistem sosial, peran atau tugas guru, sistem
pendukung, serta dampak-dampak instruksional dan pengiring. Adapun
struktur pengajaran dari model latihan penelitian ialah: (a) menghadapkan pada
masalah; (b) pengumpulan data-verifikasi; (c) pengumpulan data-eksperimen;
(d) mengolah, merumuskan penjelasan; dan (e) analisis proses penelitian.
2. Metode Sejarah
a. Pengertian metode sejarah
Pengertian metode sejarah tidak dapat dipisahkan dari pengertian
metode dan sejarah itu sendiri. Kata metode berasal dari bahasa Yunani yakni
methodos yang berarti cara atau jalan (Hamid dan Madjid, 2011:40).
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode adalah cara teratur yang
digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan
yang dikehendaki atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam
kaidah ilmiah, metode berkaitan dengan cara kerja atau prosedur untuk dapat
memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Hamid dan
Madjid, 2011:40). Senada dengan pendapat sebelumnya, Daliman (2012:27)
menambahkan bahwa metode itu sendiri berarti suatu cara, prosedur, atau
teknik untuk mencapai sesuatu tujuan secara efektif dan efesien. Metode
merupakan salah satu ciri kerja ilmiah. Lebih sederhananya Pranoto (2010:11)
27
berpendapat bahwa metode selalu erat hubungannya dengan prosedur, proses,
atau teknik yang sistematis untuk melakukan penelitian disiplin tertentu.
Pengertian sejarah yang dimaksudkan ialah sejarah sebagai ilmu yang
disyaratkan oleh metode yang dapat diterima. Sejarah yang diartikan sebagai
mata pelajaran atau ilmu yang mempelajari kejadian masa lampau manusia
baik secara subjektif maupun objektif. Sejarah juga mata pelajaran yang
mengajarkan tentang pengetahuan, sikap dan nilai-nilai kepada siswa maupun
mahasiswa.
Metode sejarah menurut Gottschalk (2006:39) adalah proses menguji
dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.
Rekonstruksi yang imajinatif daripada masa lampau berdasarkan data yang
diperoleh dengan menempuh proses itu disebut historiografi (penulisan
sejarah). Hal ini senada dengan pendapat Hamid dan Madjid (2011: 43) yang
mengemukakan bahwa metode sejarah merupakan cara atau teknik dalam
merekonstruksi peristiwa masa lampau.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan metode sejarah
adalah cara kerja, prosedur, atau teknik untuk mencapai suatu tujuan pada
penelitian sejarah. Metode sejarah juga merupakan ciri kerja ilmiah untuk
menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.
b. Tahapan pada metode sejarah
Metode sejarah memiliki beberapa tahapan yang harus dilaksanakan
sebagai ciri kerja ilmiah. Menurut Sjamsuddin (2012: 70), beberapa tahapan
tersebut meliputi: (1) memilih topik; (2) mengusut semua bukti yang relevan
dengan topik; (3) membuat catatan-catatan yang dianggap penting dan relevan
dengan topik yang dipilih; (4) mengevaluasi secara kritis semua bukti yang
sudah dikumpulkan; (5) menyusun hasil penelitian berupa catatan fakta-fakta
ke dalam suatu pola yang sudah disiapkan sebelumnya; dan (6) menyajikan
dalam suatu cara yang menarik perhatian dan mengkomonikasikannya kepada
pembaca sehingga dapat dipahami sejelas mungkin.
28
Senada dengan tahapan tersebut, Gottschalk (2006: 42) membagi
metode sejarah menjadi empat tahapan, yaitu: (1) pemilihan subjek untuk
diselidiki; (2) pengumpulan sumber-sumber informasi yang mungkin
diperlukan untuk subjek tersebut; (3) pengujian sumber-sumber tersebut untuk
mengetahui sejati-tidaknya; (4) pemetikan unsur-unsur yang dapat dipercaya
daripada sumber-sumber (atau bagian dari sumber-sumber) yang terbukti
sejati.; dan (5) historiografi berupa sintesis daripada sumber-sumber yang telah
diperoleh dengan metode tersebut. Lebih sederhana Kuntowijoyo (1995: 89),
membagi metode sejarah menjadi empat tahapan, yaitu: (1) pemilihan topik;
(2) pengumpulan sumber; (3) verifikasi yang terdiri kritik sejarah dan
keabsahan sumber; (4) interprestasi: analisis dan sintesis; dan (5) penulisan.
Empat tahapan metode sejarah terebut senada dengan pembagian
menurut Hamid dan Madjid (2011: 43), yaitu: (1) heuristik (pengumpulan
sumber); (2) kritik sumber (eksternal/bahan dan internal/isi); (3) interpretasi
(penafsiran); dan (4) historiografi (penulisan kisah sejarah). Senada dengan
pembagian tersebut, Daliman (2012:27) juga membagi metode sejarah menjadi
empat tahapan, yaitu: (1) heuristik, ialah kegiatan menghimpun sumber-sumber
sejarah; (2) kritik (verifikasi), meneliti apakah sumber-sumber itu sejati, baik
bentuk maupun isinya; (3) interpretasi, untuk menetapkan makna dan saling-
hubungan dari fakta-fakta yang telah diverifikasi; dan (5) historiografi,
penyajian hasil sintesis yang diperoleh dalam bentuk suatu kisah sejarah.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan tahapan pada
metode sejarah terdiri dari heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan
historiografi. Heuristik merupakan tahapan mengumpulkan sumber-sumber
sejarah. Verifikasi adalah tahapan kritik terhadap sumber-sumber sejarah yang
sudah dikumpulkan untuk mengetahui sejati atau tidaknya. Interpretasi adalah
tahapan penafsiran dengan menganalisis dan mensintesiskan fakta-fakta yang
telah diverifikasi. Historiografi adalah tahapan akhir pada metode sejarah
berupa penulisan kisah sejarah yang menyajikan hasil analisis dan sintessis dari
fakta-fakta sejarah.
29
3. Arsip Koran
a. Pengertian arsip koran
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, arsip adalah dokumen
tertulis (surat, akta, dan sebagainya), lisan (pidato, ceramah, dan sebagainya),
atau bergambar (foto, film, dansebagainya) dari waktu yang lampau, disimpan
dalam media tulis (kertas), elektronik (pita kaset, pita video, disket komputer,
dan sebagainya), biasanya dikeluarkan oleh instasi resmi, disimpan dan
dipelihara di tempat khusus untuk referensi.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, koran adalah lembaran-
lembaran kertas yang bertuliskan kabar (berita) dan sebagainya yang terbagi
dalam kolom-kolom (8-9 kolom), terbit setiap hari atau secara periodik. Istilah
koran sama dengan surat kabar yang merupakan bentuk dari media pers cetak
yang berkala harian dan mingguan. Berdasarkan Undang-Undang RI No. 11
Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers BAB I Pasal 1 Ayat (7),
surat kabar harian ialah penerbitan setiap hari atau sekurang-kurangnya enam
kali dalam seminggu.
Lebih spesifik Djuroto dalam Naldi (2008:4) menjelaskan pengertian
surat kabar yang merupakan kumpulan berita, artikel, cerita, iklan, dan
sebagainya yang dicetak dalam lembaran kertas ukuran plano, terbit secara
teratur, bisa tiap hari atau seminggu sekali. Priyadi (2012:27) menekankan
pentingnya surat kabar bagi penelitian sejarah dimungkinkan karena peristiwa
yang terjadi pada masa lampau diberitakan tidak jauh dari waktu kejadiannya.
Laporan atau berita surat kabar menjadi penting berkaitan dengan suatu proses
terjadinya peristiwa. Masalah kronologi bisa direkonstruksikan melalui
pembacaan surat kabar setiap hari. Selain berita, surat kabar juga membawa
jiwa zamannya dengan melihat kecenderungan-kecenderungan masyarakat,
seperti selera makan, model berpakaian, harga tanah, rumah, mobil, atau secara
keseluruhan sebagai gaya hidup, yang tertangkap melalui iklan-iklan yang
terpasang.
30
Senada dengan pendapat diatas, Sjamsuddin (2012:88-89)
mengartikan surat kabar sebagai sumber pertama yang amat penting bagi
sejarawan. Surat kabar bagi sejarawan memiliki lima fungsi, yaitu:
1) Sebagai sebuah medium advertensi (iklan), surat kabar diklasifikasi sebagai
sebuah peninggalan, serta kertas, tipe dan formatnya dianggap sebagai relik
atau peninggalan.
2) Kronik dari kejadian-kejadian terakhir. Surat kabar mencatat peristiwa sehari-
hari. Sebagai sumber laporan langsung, surat kabar akan menjadi lebih
berharga bagi sejarawan di kemudian hari.
3) Mencatat pandangan-pandangan politik dan sosial yang mempunyai dampak
yang besar pada waktu itu. Surat kabar menjadi pembentuk pendapat umum
atau sebuah medium propaganda. Membentuk pendapat umum adalah satu
bentuk yang menonjol pada surat kabar, apalagi sebagai organ politik.
Sebagai sebuah kronik dari berita-berita dan sebagai sebuah register bagi
pendapat umum maka surat kabar diklasifikasikan sebagai sebuah catatan
tertulis.
4) Dari waktu ke waktu surta kabar menampilkan hasil-hasil dari penelitian yang
lebih menyeluruh mengenai isu-isu yang terletak jauh di balik ruang lingkup
laporan-laporan berita rutin.
5) Surat pembaca dalam surat kabar yang tertulis oleh seseorang, memuat opini,
keluhan, kemarahan, atau harapan-harapannya sebagai anggota masyarakat.
Surat pembaca ini kelak dapat menjadi rujukan bagi sejarawan sosial
mengenai keadaan masyarakat dan negara pada suatu periode tertentu.
Sjamsuddin (2012:89-90) menegaskan bahwa surat kabar tidak dapat
digeneralisasi karena terdapat perbedaan-perbedaan tertentu. Surat kabar
berbeda dari satu generasi ke generasi yang lain; surat kabar berubah dari tahun
ke tahun; surat kabar dari periode yang sama berbeda tajam dengan yang lain.
Jika pers tidak mempunyai kebebasan, maka surat kabar hanyalah sekedar
kronik berita-berita yang dapat diandalkan. Surat kabar semacam ini dapat
menjadi media propaganda saja.
31
Sebaliknya di mana terdapat pers bebas, surat kabar itu mungkin
pertama-tama adalah organ politik tertentu dan hanya sedikit memuat
pemberitaan yang tidak memihak. Begitu pula jika surat kabar itu bukan organ
politik tertentu dan hanya sedikit memuat pemberitaan yang tidak memihak.
Begitu pula jika surat kabar itu bukan organ politik tertentu, maka harus tetap
diingat bahwa hanya sedikit dari surat kabar itu yang benar-benar tidak
memihak dalam pemberitaannya, apalagi jika menyangkut masalah-masalah
sosial, ekonomi, politik atau ideologi tertentu (Sjamsuddin, 2012:90). Jadi,
koran atau surat kabar atau harian adalah lembaran-lembaran kertas yang berisi
berita, artikel, cerita, iklan, dan sebagainya yang mencatat pandangan-
pandangan politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya, serta dapat berupa kronik
dari kejadian-kejadian terakhir yang terbit setiap hari.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka arsip koran adalah
dokumen tertulis berupa surat kabar harian yang digunakan sebagai referensi.
Arsip koran berisikan pandangan-pandangan politik, ekonomi, sosial, dan
sebagainya, serta dapat disebut sebagai kronik dari kejadian-kejadian terakhir
yang terbit setiap hari.
b. Jenis koran atau surat kabar
Menurut Tebbel (1997:45), surat kabar terbagi atas dua berdasarkan
waktu terbitnya, antara lain:
1) Surat kabar harian, ialah surat kabar yang terbit tiap hari. Hanya saja
perbedaan yang paling mencolok ialah waktu terbitnya yaitu terbit pagi dan
sore. Di Indonesia, umumnya surat kabar Harian berukuran penuh (“full
size”).
2) Surat kabar mingguan, ialah surat kabar yang terbit satu minggu sekali.
Sebagai cover, agar surat kabar mingguan ini menarik, maka akan dicetak
warna-warni pada kulit luarnya yakni pada halaman paling depan dan paling
belakang.
32
4. Berpikir Historis (Historical Thinking)
a. Pengertian berpikir historis (historical thinking)
Menurut Wineburg (2006: 17-18), berpikir historis (historical
thinking) mengharuskan kita mempertemukan dua pandangan yang saling
bertentangan: pertama, cara berpikir yang kita gunakan selama ini adalah
warisan yang tidak dapat disingkirkan, dan, kedua, jika kita tidak berusaha
menyingkirkan warisan itu, mau tidak mau kita harus menggunakan
“presentism” yang melihat masa lalu dengan kacamata masa sekarang. Dengan
demikian kita harus memahami bahwa ada kesinambungan masa lalu yang
membentuk masa kini, dan adanya perubahan unsur-unsur, nilai dan tatanan
masyarakat sebagai bentuk reinterpretasi terhadap perubahan zaman (Susanto,
2014: 59).
Berdasarkan video “What is Historical Thinking” yang diproduseri
oleh Martin, Preperato dan Schrum (http://www.teachinghistory.org/historical-
thinking-intro) dijelaskan bahwa, “Historical thinking is reading, analysis and
writing the necessary to tell this stories. Historical thinking is not only about
what we know about the past, is how we know it. Thinking historically helps us
get closer to the past, to retrieve and construct more complicate picture, what
happen and what a mean.” Berdasarkan video tersebut maka dapat
disimpulkan berpikir historis adalah membaca, menganalisis dan menulis hal
yang perlu disampaikan dari cerita tersebut. Berpikir historis juga tentang
bagaimana kita mengetahui masa lalu, sehingga berpikir historis membantu
kita lebih dekat dengan masa lalu.
Senada dengan video “What is Historical Thinking”, Martin, dkk
(http://teachinghistory.org/historical-thinking-intro) menambahkan bahwa
“Historical thinking as the reading, analysis, and writing that is necessary to
develop our understanding of the past. The past is difficult to retrieve and
historical thinking helps us write accurate stories about what happened and
what those events meant.” Berdasarkan pendapat tersebut, berpikir historis
adalah membaca, menganalisis, dan menulis guna mengembangkan
33
pemahaman kita tentang masa lalu. Berpikir historis juga membantu kita
menulis cerita akurat tentang apa yang terjadi dan apa arti peristiwa tersebut.
Menurut UCLA (University of California, Los Angeles) Department
of History (http://www.nchs.ucla.edu/history-standards/historical-thinking-
standards) berpikir historis adalah:
“True historical understanding requires students to engage in historical
thinking: to raise questions and to marshal solid evidence in support of
their answers; to go beyond the facts presented in their textbooks and
examine the historical record for themselves; to consult documents,
journals, diaries, artifacts, historic sites, works of art, quantitative data,
and other evidence from the past, and to do so imaginatively-taking into
account the historical context in which these records were created and
comparing the multiple points of view of those on the scene at the time.”
Berdasarkan pada pernyataan tersebut, pemahaman sejarah yang benar
adalah menuntut siswa untuk terlibat dalam kegiatan berpikir historis antara
lain; mengajukan pertanyaan dan mengumpulkan bukti kuat untuk mendukung
jawaban mereka; melampaui fakta-fakta yang disajikan dalam buku teks dan
memeriksanya pada catatan sejarah; mengkonsultasikan dokumen, jurnal, buku
harian, artefak, situs bersejarah, karya seni, data kuantitatif, dan bukti lain dari
masa lalu; dan melakukannya dengan memperhitungkan konteks sejarah saat
catatan ini dibuat dan membandingkan beberapa poin dari pandangan orang-
orang yang berada di tempat kejadian pada saat itu.
Beberapa negara di Barat menganggap historical thinking (berpikir
historis) penting untuk dikembangkan pada pembelajaran sejarah. Salah
satunya di Kanada, pada tahun 2006 didirikanlah The Benchmark of Historical
Thinking Project kemudian berubah nama menjadi The Historical Thinking
Project pada tahun 2008 dan berakhir pada tahun 2014. Dijelaskan oleh Seixas
(2012: 2) dalam laporan pertemuan The Historical Thinking Project di
Toronto, bahwa “The Historical Thinking Project (The HT Project, formerly
Benchmarks of Historical Thinking) aims to foster a new approach to history
education—with the potential to shift how teachers teach and how students
learn, in line with recent international research on history learning.”
34
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa proyek The
Historical Thinking Project bertujuan untuk menumbuhkan pendekatan baru
pada pendidikan sejarah dengan potensi menggeser pandangan bagaimana guru
mengajar dan bagaimana siswa belajar, kemudian menjadikannya sejalan
dengan penelitian internasional terbaru pada sejarah pembelajaran.
Dapat disimpulkan berpikir historis (historical thinking) adalah cara
berpikir dengan menuntun siswa untuk memahami peristiwa sejarah. Siswa
dapat membaca, menganalisis dan menulis cerita akurat tentang apa yang
terjadi dan arti dari peristiwa sejarah guna mengembangkan pemahaman
mereka. Berpikir historis juga merupakan upaya mengetahui apa dan
bagaimana kita tahu tentang masa lalu melalui komponen berpikir historis.
b. Komponen berpikir historis
Para peneliti telah mengidentifikasi “struktural” konsep sejarah yang
menjadi dasar berpikir historis. “Struktural” konsep sejarah ini selanjutnya
digunakan sebagai pendekatan pada The Benchmarks of Historical Thinking
Project (2006), dengan enam konsep berpikir historis yang berbeda tetapi
saling berkaitan. Siswa harus mampu:
1) Membangun signifikansi sejarah (establish historical significance),
bagaimana kita peduli, hari ini, tentang peristiwa tertentu, tren dan
permasalahan dalam sejarah?
2) Menggunakan bukti sumber utama (use primary sources evidence),
bagaimana menemukan, memilih, mengotekstualisasikan, dan menafsirkan
sumber untuk argumen sejarah?
3) Mengidentifikasi kontinuitas dan perubahan (identify continuity and change),
apa yang telah berubah dan apa yang tetap sama dari waktu ke waktu?
4) Menganalisis penyebab dan konsekuensi (analyze cause and consequence),
bagaimana dan kenapa kondisi dan tindakan tertentu berimbas kepada orang
lain?
35
5) Mengambil perspektif sejarah (take historical perspective), memahami “masa
lalu sebuah negara asing” dengan konteks sosial, kebudayaan, intelektual, dan
bahkan emosional yang berbeda yang membentuk kehidupan dan tindakan.
6) Memahami dimensi moral dari interpretasi sejarah (understand the moral
ethical dimension of historical interpretations), bagaimana kita, pada saat ini,
menghakimi pelaku pada keadaan yang berbeda di masa lalu, bagaimana
interpretasi yang berbeda dari masa lalu mencerminkan sikap moral yang
berbeda hari ini? (Seixas, 2006: 1-2).
Seixas dan Morton (2013: 10-11) menegaskan kembali aspek-aspek
enam konsep berpikir historis tersebut dalam bentuk petunjuk untuk berpikir
historis (guideposts to historical thinking), sebagai berikut:
1) Historical signifance, bagaimana kita memutuskan apa yang penting untuk
dipelajari?
a) Guidepost 1 Peristiwa, orang-orang, atau perkembangan memiliki
signifikansi sejarah jika mereka menghasilkan perubahan.
Oleh karena itu, mereka memiliki konsekuensi yang dalam,
untuk banyak orang, selama periode waktu yang panjang.
b) Guidepost 2 Peristiwa, orang-orang, atau perkembangan memiliki
signifikansi sejarah jika mereka mengungkapkan. Oleh
karena itu, mereka menyoroti masalah yang abadi atau
muncul pada sejarah dan kehidupan kontemporer.
c) Guidepost 3 Signifikansi sejarah adalah gagasan. Oleh karena itu,
peristiwa, orang-orang, dan perkembangan memenuhi
kriteria dari signifikansi sejarah hanya kapan mereka akan
muncul untuk menempati sebuah tempat yang berarti dalam
sebuah narasi (a meaningful place in a narrative).
d) Guidepost 4 Signifikansi sejarah beragam dari waktu ke waktu dan dari
kelompok ke kelompok.
2) Evidence, bagaimana kita mengetahui apa yang kita tahu tentang masa lalu?
36
a) Guidepost 1 Sejarah adalah interpretasi berdasarkan pada kesimpulan
yang berdasarkan pada sumber-sumber primer. Sumber-
sumber pertama dapat berupa catatan, tetapi dapat pula
berupa jejak, barang peninggalan, atau rekaman.
b) Guidepost 2 Pertanyaan yang baik tentang sumber yang dapat berubah
menjadi bukti.
c) Guidepost 3 Pengumpulan sumber sering kali dimulai sebelum sumber
tersebut dibaca, dengan pertanyaan-pertanyaan tentang
siapa yang membuatnya dan kapan dibuatnya. Hal tersebut
melibatkan kesimpulan dari sumber antara lain tujuan
penulisnya atau pembuatnya, nilai-nilai, dan pandangan
dunia, baik secara sadar atau tidak sadar.
d) Guidepost 4 Sumber harus dianalisis dalam kaitannya dengan konteks
seting sejarah: kondisi dan pandangan dunia pada umumnya
saat itu.
e) Guidepost 5 Kesimpulan yang dibuat dari sumber tidak dapat berdiri
sendiri. Mereka harus selalu diperkuat – dicek dengan
sumber-sumber lain (primer atau sekunder).
3) Continuity and change, bagaimana kita dapat memahami arus komplek
sejarah?
a) Guidepost 1 Kontinuitas dan perubahan yang terjalin: keduanya bisa
hidup bersama-sama. Kronologis – urutan dari peristiwa-
peristiwa - dapat menjadi titik pangkal yang baik.
b) Guidepost 2 Perubahan merupakan proses, dengan langkah-langkah dan
pola-pola yang beragam. Titik balik merupakan momen
dimana proses perubahan bergeser dalam arah dan langkah.
c) Guidepost 3 Kemajuan dan kemunduran merupakan evaluasi yang luas
mengenai perubahan dari waktu ke waktu. Tergantung pada
dampak dari perubahan, kemajuan bagi satu orang mungkin
kemunduran bagi yang lain.
37
d) Guidepost 4 Periodisasi membantu kita mengatur pikiran kita tentang
kontinuitas dan perubahan. Hal tersebut adalah proses dari
interpretasi, dimana kita memutuskan peristiwa atau
perkembangan mana yang merupakan periode sejarah.
4) Cause and consequence, kenapa peristiwa terjadi, dan apa dampaknya?
a) Guidepost 1 Perubahan didorong oleh beberapa penyebab, dan
menghasilkan beberapa konsekuensi. Hal ini membuat
jaringan internasional yang kompleks baik sebab dan akibat
pada jangka pendek dan jangka panjang.
b) Guidepost 2 Penyebab yang mengarah kepada peristiwa sejarah tertentu
yang bervariasi dalam sebuah pengaruh, dengan beberapa
atau lebih penting dari yang lain.
c) Guidepost 3 Peristiwa-peristiwa meruapkan hasil dari interaksi dua jenis
faktor: (1) pelaku-pelaku sejarah, yang merupakan orang-
orang (individu atau kelompok) yang melakukan tindakan
yang menyebabkan peristiwa sejarah, dan (2) kondisi sosial,
politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam pelaku yang
menjalaninya.
d) Guidepost 4 Pelaku sejarah tidak dapat selalu meramalkan efek dari
kondisi, menentang tindakan dan reaksi yang tidak terduga.
Hal tersebut menghasilkan efek berupa konsekuensi yang
tidak diinginkan.
e) Guidepost 5 Peristiwa-peristiwa sejarah tidak dapat dihindari,
dibandingkan dengan masa depan. Mengubah sebuah
tindakan atau kondisi, dan peristiwa ternyata berbeda.
5) Historical perspectives, bagaimana kita dapat lebih memahami orang-orang
pada masa lalu?
a) Guidepost 1 Lautan perbedaan dapat berbohong antara pandangan dunia
saat ini (kepercayaan, nilai-nilai, dan motivasi) dan periode
awal sejarah.
38
b) Guidepost 2 Penting untuk menghindari presentism – pembebanan pada
ide-ide saat ini pada pelaku di masa lalu. Meskipun
demikian, berhati-hati menggunakan referensi tentang
pengalaman universal manusia yang dapat membantu kita
menghubungkan pengalam pelaku sejarah.
c) Guidepost 3 Perspektif pelaku sejarah yang baik untuk dipahami ialah
dengan mempertimbangkan konteks sejarahnya.
d) Guidepost 4 Menggunakan perspektif dari pelaku sejarah berarti
menyimpulkan bagaimana orang-orang rasakan dan
pikirkan di masa lalu. Bukan berarti mengidentifikasi
kepada para pelaku. Kesimpulan yang valid adalah yang
didasarkan pada bukti-bukti.
e) Guidepost 5 Pelaku-pelaku sejarah yang berbeda memiliki bermacam-
macam perspektif tentang peristiwa dimana mereka terlibat
didalamnya. Mengeksplorasi adalah kunci untuk memahami
peristiwa sejarah.
6) The ethical dimension, bagaimana sejarah dapat membantu kita untuk hidup
pada masa sekarang?
a) Guidepost 1 Penulis membuat penilaian etis implisit atau eksplisit dalam
menulis narasi sejarah.
b) Guidepost 2 Penilaian etis beralasan pada tindakan masa lalu yang
dibuat dengan memperhatikan konteks sejarah dari pelaku
tersebut.
c) Guidepost 3 Ketika membuat penilaian etis, hal tersbeut penting untuk
berhati-hati tentang memaksakan standar kontemporer
tentang yang benar dan salah pada masa lalu.
d) Guidepost 4 Penilaian yang adil dari implikasi etis dari sejarah dapat
menginformasikan kepada kita tentang tanggung jawab kita
untuk mengingat dan menangapi kontribusi, pengorbanan,
dan ketidakadilan pada masa lalu.
39
e) Guidepost 5 Pemahaman kita tentang sejarah dapat membantu kita
penilaian informasi tentang isu-isu kontemporer, tetapi
hanya jika kita mengakui keterbatasan setiap “pelajaran”
sebenarnya dari masa lalu.
Sedikit berbeda dengan guidepost Seixas dan Morton, Seixas dan Peck
(2004:110-114) menambahkan beberapa elemen pada berpikir historis
(historical thinking). Adapun elemen berpikir historis antara lain:
1) Kebermaknaan (significance), dapat diartikan dengan mengorganisasikan
kejadian dalam sebuah narasi yang dapat memberikan kepada kita sesuatu
yang penting tentang posisi kita di dunia.
2) Epistimologi dan bukti (epistemology and evidence). Pada dasarnya kita
memiliki dua cara untuk mengetahui masa lalu yaitu; (a) traces adalah
pelacakan berbagai dokumen baik publik (resmi) atau pribadi (tidak resmi);
dan (b) accounts adalah penggalian laporan yang bersifat narasi terhadap apa
yang terjadi di masa lalu.
3) Kontinuitas dan perubahan (continuity and change). Memahami tentang
perubahan dari waktu ke waktu adalah inti dari historical thinking,
sebagaimana pentingnya memahami konsep asumsi kontinuitas.
4) Kemajuan dan kemunduran (progress and decline). Permasalahan tentang
kemajuan dan kemunduran (progress and decline) erat kaitannya dengan
kontinuitas dan perubahan (continuity and change). Setiap perubahan tidak
bisa lepas dari adanya kemajuan atau kemunduran. Hal ini tentunya akan
terus berlangsung terus menerus (kontinuitas) dari masa lalu sampai ke masa
sekarang.
5) Empati (mengambil perspektif sejarah) dan penilaian moral (empathy
(historical perspective taking) and moral judgement). Empati atau
menempatkan diri dari sudut pandang orang lain, pada dasarnya adalah
kemampuan untuk melihat dan memahami dunia, bukan dari sudut pandang
diri sendiri. Dalam kemampuan ini, kita memerlukan suatu imajinasi untuk
menempatkan diri kita dari sudut pandang orang lain. Dari sudut pandang
40
sejarah, ”imajinasi” ini memerlukan adanya bukti sejarah. Adapun penilaian
moral pada dasarnya adalah penilaian berdasarkan pemahaman terhadap aktor
sejarah sebagai agen yang mengambil keputusan, baik secara individual atau
kolektif yang mana memiliki konsekuensi secara etika. Penilaian moral ini
memerlukan pemahaman terhadap sudut pandang pelaku (empathetic
understanding). Pemahaman tersebut membedakan antara moral yang berlaku
secara umum dengan moral yang berlaku pada zaman tersebut.
6) Agen kesejarahan (historical agency). Permasalahan pada agen kesejarahan
adalah cara berpikir tentang kausalitas sejarah. Konsep agen bagaimanapun
juga berpusat pada sejarah dan hubungannya dengan kekuasaan. Ketika,
seoarang sejarawan berhubungan dengan pemegang kekuasaan, maka ia dapat
menjadikan sejarah sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan tersebut.
The Historical Thinking Project menggunakan enam konsep berpikir
historis (historical thinking) yang telah dikembangkan sejak The Benchmarks
of Historical Thinking Project. Enam konsep berpikir historis (historiscal
thinking) yang dimaksudkan seperti yang telah dijelaskan di atas antara lain
historical significance; primary sources evidence; continuity and change;
cause and consequence; historical perspective-taking; dan the ethical
dimension of history. Kemudian enam konsep berpikir historis (historical
thinking) tersebut berfungsi sebagai kerangka The Historical Thinking Project
(HTP) guna memetakan berpikir historis. Kemudian berpikir historis tersebut
dikelola oleh guru untuk kegiatan belajar dan mengajar sejarah di kelas.
Meskipun telah memiliki enam konsep berpikir historis (historical
thinking) tersebut, Seixas merasa kehilangan konsep lain yang belum dapat
terangkum dalam enam konsep. Seixas (2013:14) mengungkapkan bahwa:
“First, we may be missing a key concept of “interpretation”, or the
closely related concept “contestability” (which appears in the new
Australian curricula). Second, we have said little about the way that the
concepts link to the events, topics, people and places (what some refer to
as “content”) of history. Finally, we have not articulated how they relate
to developing students’ competencies in questioning, researching,
reading, and communicating history.”
41
Berdasarkan pernyataan Seixas tersebut dapat disimpulkan konsep
yang hilang dari bepikir historis (historical thinking) antara lain interpretasi,
konten dan kompetensi sejarah. Interpretasi (interpretation) merupakan konsep
kunci yang hilang dari berpikir historis. Konten (content) merupakan konsep
yang berhubungan dengan peristiwa, topik, orang dan tempat sejarah.
Kompetensi (competencies) siswa guna mengembangkan kemampuan
bertanya, meneliti, membaca, dan berkomunikasi sejarah.
Berdasarkan video “What is Historical Thinking” yang diproduseri
oleh Martin, Preperato dan Schrum (http://www.teachinghistory.org/historical-
thinking-intro), terdapat lima aspek kunci dari berpikir historis antara lain
multiple accounts and perspectives, analysis of primary sources, sourcing,
understanding historical context, dan claim-evidence connection. Selain lima
aspek kunci tersebut, terdapat elemen konsep lain seperti penyebab
(causation), signifikansi (significance), dan perubahan dari waktu ke waktu
(change over time). Adapula strategi membaca seperti corroboration.
Lima aspek kunci dari berpikir historis, antara lain:
1) Beberapa laporan/catatan dan perpektif (multiple accounts and perspectives).
Beberapa laporan/catatan (multiple accounts) dapat berupa buku teks,
dokumen asli, foto, lukisan, film, dan sebagainya. Kemudian, siswa
mempelajarinya untuk dianalisis dan disintesiskan. Tidak ada satu
laporan/catatan dari satu perspektif yang dapat merangkum rumitnya masa
lalu.
2) Menganalis sumber primer (analysis of primary sources). Berpikir historis
termasuk dalam belajar bagaimana membaca, menanyakan,
mengkontekstualisasikan, dan menganalisis sumber. Sumber primer perlu
ditanyakan dan dibaca lebih dekat karena sumber primer dapat mengatakan
cerita berbeda dari peristiwa yang sama.
42
3) Pencarian data (sourcing). Mengidentifikasi dan menanyakan pertanyaan
yang penting pada sumber tentang tujuan dan perpektif penulis ketika sumber
tersebut dibuat dan untuk siapa.
4) Memahami konteks sejarah (understanding historical context). Konteks
sejarah tentang lokasi peristiwa dan sumber pada waktu dan tempat dan
menanyakan pertanyaan untuk itu.
5) Mengklaim–hubungan bukti (claim-evidence connection). Untuk disebut
sejarah, cerita harus didukung oleh bukti. Ketika kita membaca sejarah, kita
menyampaikan cerita dan menjawab pertanyaan.
Berdasarkan standar berpikir historis yang ditetapkan oleh UCLA
(University of California, Los Angeles) Department of History
(http://www.nchs.ucla.edu/history-standards/historical-thinking-standards),
terdapat lima dimensi yang saling berhubungan dari berpikir historis yaitu
chronological thinking (berpikir kronologi), historical comprehension
(pemahaman sejarah), historical analysis and interpretation (analisis dan
interpretasi sejarah), historical research capabilities (kemampuan penelitian
sejarah), dan historic al issues-analysis and decision-making (permasalahan
sejarah-analisis dan pengambilan keputusan).
1) Berpikir kronologi (chronological thinking), siswa mampu untuk
membedakan antara masa lalu, masa sekarang, dan masa depan;
mengidentifikasi struktur temporal dari narasi atau cerita sejarah; membangun
narasi sejarah berdasarkan dunia siswa sendiri; mengukur dan menghitung
kalender waktu; menginterpretasi data yang disajikan dalam pada garis waktu
dan membuat garis waktu; merekonstruksi pola suksesi dan durasi sejarah;
dan membandingkan model alternatif dari periodisasi.
2) Pemahaman sejarah (historical comprehension), siswa mampu untuk
mengidentifikasi penulis atau sumber dari dokumen atau narasi sejarah;
mengrekonstruksi arti harfiah dari bagian sejarah; mengidentifikai pertanyaan
utama; membedakan antara fakta sejarah dan interpretasi sejarah; membaca
narasi sejarah imajinatif; menghargai perpektif sejarah; memanfaatkan data
43
dalam peta sejarah; menggunakan data visual dan matematik; memanfaatkan
sumber visual, sastra, dan musik.
3) Menganalisis dan interpretasi sejarah (historical analysis and interpretation),
membandingkan dan membedakan kumpulan ide-ide; mempertimbangkan
berbagai perspektif; menganalisis hubungan sebab dan akibat dengan
beberapa penyebab yaitu pentingnya individu dan pengaruh ide-ide; menarik
perbandingan melintasi era dan daerah dalam rangka menentukan
permasalahan; membedakan antara ekspresi yang tidak didukung opini dan
hipotesis informasi yang didasarkan pada bukti sejarah; membandingkan
narasi sejarah; menantang argumen sejarah yang tidak dapat dihindari;
menahan interpretasi sejarah sebagai tentative; mengevaluasi perdebatan
besar diantara sejarawan; dan menghipotesis pengaruh pada masa lalu.
4) Kemampuan penelitian sejarah (historical research capabilities),
merumuskan pertanyaan sejarah; mendapatakan data sejarah; menginterogasi
data sejarah; mengidentifikasi kesenjangan dalan catatan yang tersedia dan
memimpin pengetahuan kontekstual dan perspektif waktu dan tempat;
menggunakan analisis kuantitatif; dan mendukung interpretasi dengan bukti
sejarah.
5) Permasalahan sejarah-analisis dan pengambilan keputusan (historical issues-
analysis and decision-making), mengidentifikasi isu-isu dan permasalahan di
masa lalu; memimpin bukti sebelum keadaan; mengidentifikasi sebelum
(antesenden) sejarah yang relevan; mengevaluasi jalan alternatif dari
tindakan; merumuskan posisi atau jalan tindakan pada permasalahan; dan
mengevaluasi pelaksanaan keputusan.
Dapat disimpulkan komponen berpikir historis (historical thinking)
memiliki bermacam-macam komponen tergantung pada pengembangnya.
Pertama, berdasarkan The Historical Thinking Project (sebelumnya bernama
The Benchmarks of Historical Thinking Project) komponen berpikir historis
(historical thinking) terdiri dari enam komponen yaitu signifikansi sejarah
(historical significance), bukti sumber utama (primary sources evidence),
kontinuitas dan perubahan (continuity and change), penyebab dan konsekuensi
44
(cause and consequence), perspektif sejarah (historical perspective-taking),
dan dimensi etis sejarah (the ethical dimension of history).
Kedua, berdasarkan video “What is Historical Thinking” komponen
berpikir historis dibagi menjadi lima yaitu beberapa laporan/catatan dan
perpektif (multiple accounts and perspectives), menganalis sumber primer
(analysis of primary sources), pencarian data (sourcing), memahami konteks
sejarah (understanding historical context), dan mengklaim–hubungan bukti
(claim-evidence connection). Ketiga, berdasarkan standar berpikir historis yang
ditetapkan oleh UCLA (University of California, Los Angeles) Department of
History terdapat lima komponen berpikir historis yaitu berpikir kronologi
(chronological thinking), pemahaman sejarah (historical comprehension),
menganalisis dan interpretasi sejarah (historical analysis and interpretation),
kemampuan penelitian sejarah (historical research capabilities), dan
permasalahan sejarah-analisis dan pengambilan keputusan (historical issues-
analysis and decision-making).
Mengingat banyaknya komponen berpikir historis, maka peneliti
menggunakan komponen berpikir historis yang dikembangkan oleh The
Historical Thinking Project. Pemilihan komponen berpikir historis tersebut
didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, komponen berpikir historis
yang dikemukakan adalah hasil penelitian dan pengembangan para ahli di
Kanada sejak tahun 2006-2014. Kedua, komponen historis telah memiliki
guidepost dan lembar kerja sebagai panduan mengimplementasikan enam
komponen berpikir historis. Ketiga, hasil penelitian dan pengembangan
tersebut dilaporkan pada sebuah pertemuan setiap tahunnya dan hasil
pertemuan diterbitkan menjadi buku. Keempat, pada tahun 2014 penelitian dan
pengembangan tentang berpikir historis berakhir dengan hasil layak untuk
digunakan secara umum. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut,
dipilihlah komponen berpikir historis yang dikembangkan oleh The Historical
Thinking Project yaitu signifikansi sejarah, bukti sumber utama, kontinuitas
45
dan perubahan, penyebab dan konsekuensi, perspektif sejarah, dan dimensi
etis.
c. Penilaian Berpikir Historis (Assessment of Historical Thinking)
Menurut Peck dan Seixas (2008: 1019):
“Assessment is, therefore, a key component, driving what is taught and
learned in classrooms. Classroom assessment in history lags far behind
recent developments in history education research. Much current
assessment practice revolves around factual recall on multiple choice
tests, composition skills on essays, and presentation and appearance of
projects. None of these is unimportant, but if factual recall is the
predominant mode of history assessment, then memorization becomes the
core of the learned history curriculum. If English skills weigh heavily in
history essay tests, then writing skills – not the tools of historical thinking
– become the central curricular focus. If appearance and presentation
are a substantial component of history project assessments, then that is
where students’ attention will lie. History students need both factual
knowledge and composition skills, and appearance and presentation
deserve attention, but these do not add up to history’s distinctive
disciplinary concepts and modes of inquiry.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
penilaian merupakan komponen kunci dalam pembelajaran sejarah untuk
mengetahui apa yang sudah dipelajari di kelas. Kebanyakan penilaian sejarah
hanya berkisar pada ingatan faktual pada tes pilihan ganda, keterampilan
mengkomposisi pada esai, dan penampilan atau presentasi pada proyek sejarah.
Semua penilaian tersebut penting, tetapi jika ingatan faktual menjadi model
dominan pada penilaian sejarah, maka menghafal menjadi inti kurikulum
pembelajaran sejarah. Jika kemampuan berbahasa memiliki bobot yang berat
pada tes esai sejarah, maka keterampilan menulis menjadi fokus penilaian. Jika
penampilan dan presentasi adalah komponen subtansi dari penilaian proyek
sejarah, maka hanya sebagian siswa saja yang memperhatikan. Siswa mata
pelajaran sejarah membutuhkan pengetahuan faktual dan keterampilan
komposisi, dan penampilan serta presentasi. Namun, perlu pula ditambahkan
konsep disiplin dan model penyelidikan khas sejarah.
46
Seixas dan Colyer (2010: 10) menyatakan:
“New ways of teaching history will have to be accompanied by new ways
of assessing history learning. Assessments should support and promote
learning while providing information for reporting how well students are
doing. As well, we need system-wide assessments to monitor uptake by
teachers and improvement in student competencies… Focus on formative
assessment, but also… Teachers need to be able to convert competency
in historical thinking into summative data for the purpose of reporting.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa cara baru
dalam pembelajaran sejarah harus diikuti dengan cara baru menilai
pembelajaran sejarah tersebut. Penilaian harus mendukung pembelajaran dan
memberikan informasi sebagai laporan seberapa baik siswa dalam berpikir
historis. Dibutuhkannya sistem penilaian keseluruhan guna memonitor serapan
guru dan peningkatan kompetensi siswa. Penilaian sejarah dianjurkan fokus
pada penilaian formatif, tetapi guru juga harus mampu mengkonversi
kompetensi berpikir historis menjadi data sumatif untuk tujuan laporan.
Breakstone dan Smith (2012: 15) berpendapat bahwa “
The history education community wants students to thinking critically,
contend with competing interpretations, and use evidence to support
arguments. Good assessments are necessary in order to achieve these
goals. Unfortunately, there is a poverty of imagination in history testing
in the United States. Teachers are primarily presented with two disparate
models: the multiple-choice question and the document-based question
(DBQ).”
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan di Amerika
Serikat, komunitas pendidikan sejarah menginginkan siswa untuk berpikir
kritis, bersaing dengan interpretasi, dan menggunakan bukti untuk mendukung
argument mereka. Penilaian yang baik adalah penialian yang diperlukan guna
mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Namun, kebanyakan guru hanya
menyajikan dua model penilaian sejarah yaitu pertanyaan pilihan ganda dan
pertanyaan berbasis dokumen.
Selajutnya, Breakstone dan Smith (2012: 15) menambahkan bahwa
kebanyakan standar ujian sejarah di Amerika Serikat hanya menggunakan
pertanyaan pilihan ganda untuk mengukur pemahaman sejarah. Pertanyaan
47
pilihan ganda mungkin cukup untuk menilai pengetahuan faktual, tetapi tidak
dapat mengukur keterampilan tingkat tinggi siswa. Penilaian berbasis dokumen
atau DBQ (document-based question) kaya akan latihan untuk siswa. Jika,
siswa sudah mampu mengerjakan tugas kompleks seperti membaca berbagai
sumber, merumuskan argumen, dan menyusun sebuah esai analisis dalam satu
jam.
Seixas dan Colyer (2012: 28) berpendapat bahwa setiap konsep
berpikir historis meminta kita untuk mengatasi sebuah masalah:
1) Dari seluruh masa lalu manusia, apa yang patut dipelajari tentangnya?
Masalah signifikansi sejarah.
2) Bagaimana kita tahu apa yang kita tahu; bagaimana kita dapat menggunakan
jejak, sisa, dari masa lalu untuk mendukung klaim tentang apa yang terjadi?
Masalah bukti.
3) Bagaimana perubahan sejarah terjalin dengan kontinuitas? Masalah
kesinambungan dan perubahan.
4) Apa saja lapisan-lapisan penyebab yang menyebabkan, dari waktu ke waktu,
untuk setiap peristiwa tertentu? Apa konsekuensi yang bergelombang setelah
itu? Masalah sebab dan akibatnya.
5) Apa rasanya hidup di zaman sangat berbeda dari kita sendiri; Bisakah kita
benar-benar memahami? Masalah mengambil perspektif sejarah.
6) Dan akhirnya, bagaimana bisa kita, di masa sekarang, menghakimi pelaku
dalam berbagai keadaan di masa lalu; kapan dan bagaimana kejahatan dan
pengorbanan pada masa lalu melahirkan konsekuensi hari ini; dan kewajiban
apa kita miliki saat ini sehubungan dengan konsekuensi tersebut? Etis
dimensi sejarah.
Berdasarkan enam konsep berpikir historis (historical thinking), maka
The Benchmarks of Historical Thinking Project menetapkan tingkatan paling
tinggi yang siswa mampu lakukan dan tugas-tugas siswa yang disarankan
48
(Seixas, 2006: 1-2). Adapun tingkatan paling tinggi yang siswa mampu
lakukan dan tugas-tugas siswa yang disarankan tersebut, sebagai berikut:
1) Signifikansi sejarah (historical significance)
a) Tingkatan paling tinggi, siswa akan mampu untuk:
(1)Menunjukkan bagaimana suatu peristiwa, seseorang atau perkembangan
memberikan pengaruh yang baik dengan menunjukkan bagaimana hal
tersebut dapat tertanam dalam hal- hal yang lebih besar, narasi yang
bermakna atau dengan menunjukkan bagaimana hal tersebut dapat
digunakan untuk menyoroti suatu isu yang sedang berlangsung atau akan
terjadi.
(2)Menjelaskan bagaimana dan mengapa signifikansi sejarah dapat bervariasi
dari waktu ke watu atau dari satu kelompok dengan kelompok yang lain
b) Tugas siswa yang disarankan:
(1) Menjelaskan apa yang membuat [X] bermakna.
(2) Memilihlah “peristiwa yang paling bermakna” dan menjelaskan pilihan
tersebut.
(3) Mengidentifikasi dan menjelaskan perbedaan yang signifikan dari waktu
ke waktu atau dari kelompok ke kelompok.
2) Bukti (Evidence)
a) Tingkatan paling tinggi, siswa akan mampu untuk:
(1) Menggunakan beberapa sumber utama untuk membangun sebuah laporan
asli dari peristiwa sejarah.
b) Tugas siswa yang disarankan:
(1) Merumuskan pertanyaan tentang sumber utama, dimana jawabannya akan
membantu menjelaskan kontek sejarah.
(2) Menganalisis sumber utama untuk melihat tujuan, nilai-nilai dan
pandangan penulis.
(3) Membandingkan sudut pandang dan kegunaan dari beberapa sumber
primer.
(4) Menilai apa yang dapat dan tidak dapat dijawab oleh sumber primer
tertentu.
49
(5) Menggunakan sumber primer untuk membangun sebuah argumen atau
narasi.
3) Kontinuitas dan perubahan (continuity and change)
a) Tingkatan paling tinggi, siswa akan mampu untuk:
(1)Menjelaskan bagaiman beberapa hal berlanjut dan berubah, dalam periode
sejarah.
(2)Mengidentifikasi perubahan dari waktu ke waktu dalam aspek-aspek
kehidupan yang biasanya diasumsikan berlanjut; dan untuk
mengidentifikasi kontinuitas dalam aspek-aspek kehidupan kita yang
biasanya diasumsikan memiliki perubahan dari waktu ke waktu.
(3)Memahami periodisasi dan penilaian atas kemajuan dan kemunduran yang
dapat bervariasi tergantung tujuan dan perspektifnya.
b) Tugas siswa yang disarankan:
(1)Tempatkan serangkaian gambar secara kronologi, menjelaskan kenapa
ditempatkan pada urutan tersebut.
(2)Membandingkan dua (atau lebih) dokumen dari masa periode yang
berbeda dan menjelaskan perubahan apa dan apakah tetap sama dari waktu
ke waktu.
(3)Menilai kemajuan dan kemunduran dari sudut pandang dari berbagai
kelompok pada titik waktu tertentu.
4) Penyebab dan konsekuensi (cause and consequence)
a) Tingkatan paling tinggi, siswa akan mampu untuk:
(1)Mengidentifikasi pengaruh dari tindakan manusia yang disengaja, dan
batas dari tindakan manusia yang menyebabkan perubahan.
(2)Mengidentifikasi berbagai jenis penyebab dari peristiwa tertentu,
menggunakan satu atau lebih laporan dari peristiwa tersebut.
(3)Dapat membangun pendapat tandingan yang faktual (misalnya, jika
Inggris tidak menyatakan perang terhadap Jerman pada tahun 1914,
maka…)
b) Tugas siswa yang disarankan:
(1)Memeriksa peristiwa sehari-hari (misalnya kecelakan mobil) untuk
50
mengetahui kemungkinan penyebabnya.
(2)Menganalisis bagian dari sejarah, dan mengidentifikasi “jenis-jenis
penyebab,” (misalnya, ekonomi, politik, budaya; kondisi, tindakan
individu) yang disarankan sebagai penyebab.
(3)Memeriksa hubungan antara motivasi dan niat seorang pelaku, dan
konsekuensi dari tindakan mereka.
(4)Membuat bagan penyebab [X] dan menjelaskan susunannya.
(5)Bagaimana mungkin seseorang pada saat itu dapat menjelaskan penyebab
[X] dan bagaimana dapat berbeda dari apa yang kita jelaskan sekarang?
5) Mengambil sebuah perspektif sejarah (taking an historical perspective)
a) Tingkatan paling tinggi, siswa akan mampu untuk:
(1) Mengenali presentism di dalam laporan sejarah.
(2) Menggunakan bukti dan pemahaman dari konteks sejarah untuk menjawab
pertanyaan tentang kenapa orang-orang bertindak seperti yang mereka
lakukan (atau berpikir apa yang mereka lakukan) bahkan ketika tindakan
mereka tampak pada mulanya irasional atau tidak dapat dipahami atau
berbeda dari yang kita lakukan atau pikirkan.
b) Tugas siswa yang disarankan:
(1)Menulis sebuah surat, catatan harian, poster (dll) dari perspektif [X],
berdasarkan salah satu pada beberapa sumber yang disediakan oleh guru,
atau sumber yang siswa temukan.
(2)Membandingkan sumber primer yang ditulis (atau digambar, dilukis, dll)
dari dua perspektif yang bertentangan atau berbeda tentang peristiwa yang
diberikan. Menjelaskan perbedaan pada mereka.
6) Dimensi etis (the ethical dimension)
a) Tingkatan paling tinggi, siswa akan mampu untuk:
(1)Membuat penilaian tentang tindakan orang-orang di masa lalu, mengenali
konteks sejarah dimana mereka beroperasi.
(2)Menggunakan narasi sejarah untuk menginformasikan penilaian tentang
etika dan pertanyaan politik pada masa sekarang.
b) Tugas siswa yang disarankan:
51
(1)Memeriksa isu sejarah yang melibatkan, mengidentifikasi perspektif yang
hadir pada saat itu, dan menjelaskan bagaimana konflik sejarah dapat
mendidik kita saat ini.
(2)Siswa mengidentifikasi etika sebuah isu saat ini, aspek penelitian meliputi
latar belakang sejarah, menjelaskan implikasi dari sejarah pada saat ini.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka penilaian berpikir
historis yang akan digunakan oleh peneliti adalah lembar kerja berdasarkan
arsip koran sebagai sumber sejarah dan sumber belajar mahasiswa Prodi
Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat pada mata kuliah sejarah lokal.
Adapun lembar kerja tersebut didasarkan pada tugas siswa yang disarankan
oleh The Benchmarks of Historical Thinking Project berdasarkan pada
signifikansi sejarah (historical significance), bukti sumber utama (primary
sources evidence), kontinuitas dan perubahan (continuity and change),
penyebab dan konsekuensi (cause and consequence), mengambil perspektif
sejarah (historical perspective-taking), dan dimensi etis sejarah (the ethical
dimension of history).
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan penelitian dan pengembangan ini, antara
lain berupa tesis, jurnal internasional dan laporan pertemuan. Adapun penelitian
yang relevan berupa tesis yaitu tesis yang berjudul “Model Pembelajaran Sejarah
Berbasis Arsip-Dokumen untuk Meningkatkan Eksplanasi Sejarah Mahasiswa
STKIP-PGRI Pontianak Kalimantan Barat” oleh Fandri Minandar. Penelitian pada
tesis ini mengembangkan model pembelajaran sejarah berbasis arsip-dokumen
sebagai alternatif untuk meningkatkan kemampuan eksplanasi mahasiswa. Hasil
uji kelayakan para ahli materi memberikan nilai 4,96 (sangat baik) dan ahli model
4,78 (sangat baik). Sedangkan, hasil uji efektivitas menunjukkan hasil perhitungan
uji T 2,510 dengan taraf signifikansi 0,016 < 0,025, yang artinya model
pembelajaran sejarah yang dikembangkan efektif untuk meningkatkan
kemampuan eksplanasi mahasiswa.
52
Adapula tesis yang berjudul “Penerapan Metode Inkuiri dalam
Pembelajaran Sejarah melalui Novel Penakluk badai untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Historis pada Siswa Kelas XIII IPS MAN 1 Karanggede”
oleh Anyta Khafiyah. Pembelajaran sejarah menggunakan metode inkuiri melalui
novel dapat meningkatkan prestasi dan kemampuan berpikir historis siswa. Dalam
penelitian tersebut pada setiap siklus dilakukan post test dan pemberian angket
untuk mengetahui tingkat prestasi belajar dan kemampuan berpikir historis siswa.
Berdasarkan hasil post test nilai prestasi belajar siswa mengalami peningkatan
pada tiap siklusnya yaitu pada siklus I rata kelas 69,5 siklus II 76,5 dan siklus III
81. Sedangkan pada angket berpikir historis juga mengalami peningkatan, siswa
mulai mampu mengidentifikasi kondisi sejarah, merekonstruksi peristiwa sejarah,
dan memiliki kesadaran tentang adanya perbedaan rentang waktu masa lampau.
Selain itu dilihat dari angket yang diberikan juga mengalami peningkatan pada
siklus I 70,3% siklus II 77,05% dan siklus III 86,30%.
Penelitian yang relevan berupa jurnal internasional yaitu tulisan dari
Seixas dan Peck pada tahun 2004 yang berjudul “Teaching Historical Thinking”.
Tulisan ini menyebutkan dan menjelaskan elemen dari berpikir historis (elements
of historical thinking) yang terdiri dari significance; epistemology and evidence;
continuity and change; progress and decline; empathy (historical perspective-
taking) and moral judgement; dan historical agency. Selain itu, Seixas dan Peck
juga memberikan beberapa contoh topik bagi guru yang menerapkan berpikir
historis (historical thinking) di kelas.
Jurnal internasional yang ditulis oleh Peck dan Seixas pada tahun 2008
yang berjudul “Benchmarks of Historical Thinking: First Steps”. Tulisan ini
berisikan awal berdirinya The Benchmarks of Historical Thinking Project pada
tahun 2006. Penilaian merupakan poin awal dari proyek tersebut, yang kemudian
dibangunlah sebuah model kognitif kesejarahan pada The April Symposium di
Kanada. Selain itu, adapula contoh studi di kelas dengan penggunaan signifikansi
sejarah (historical significance).
53
Penelitian yang relevan berupa laporan pertemuan yaitu laporan
pertemuan yang berjudul “”Scaling Up” the Benchmarks of Historical Thinking”
pada tanggal 14-15, Februari 2008 di Vancouver, Kanada. Laporan tersebut
menjelaskan tujuan dan sejarah singkat berdirinya The Benchmarks of Historical
Thinking Project. Pada laporan pertemuan ini dilampirkan pula “Benchmarks of
Historical Thinking: A Framework for Assessment in Canada” yang berupa
penjelasan dan kerangka kerja untuk penilaian enam konsep dari berpikir historis
(historical thinking) antara lain establish historical significance; use primary
sources as evidence; identify continuity and change; analyze cause and
consequence; take a historical perspective; dan understand the moral dimension
in history.
Laporan pertemuan yang berjudul “A Big Step Forward Historical
Thinking in Provincial Curricula, Assessments and Professional Development”
pada tanggal 18-20 Februari 2010 di Toronto, Kanada. Laporan ini berisikan
penjelasan mengenai kurikulum provinsi yang memiliki kontrol dalam
pendidikan, penilaian berpikir historis berupa formatif dan sumatif menggunakan
kerangka yang sudah ada dan pengembangan professional khususnya ditujukan
pada guru.
Laporan pertemuan yang berjudul ”Assessment of Historical Thinking”
pada tanggal 18-20, Januari 2012 di Toronto, Kanada. Laporan pertemuan
tersebut menjelaskan secara singkat mengenai The Historical Thinking Project
sebagai lanjutan dari The Benchmarks of Historical Thinking Project. Selain itu,
adapula abstrak dari para penyaji pada pertemuan tersebut yang merupakan hasil
penelitian mengenai Assessment of Historical Thinking.
Laporan pertemuan yang berjudul ”Linking Historical Thinking
Concepts, Content and Competencies” pada tanggal 15-17, Januari 2013 di
Toronto, Kanada. Laporan pertemuan ini membahas pemikiran ulang berpikir
historis. Selain enam konsep berpikir historis seperti historical significance;
evidence; continuity and change; cause and consequence; historical perspective-
taking; dan the ethical dimension of history, mungkin saja hilangnya konsep kunci
54
lain seperti konten (content), interpretasi (interpretation), dan kompetensi
(competencies) sejarah pada berpikir historis tersebut.
C. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dalam penelitian dan pengembangan ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Bagan 2.2 Skema Kerangka Berpikir Penelitian dan Pengembangan
Arsip koran sebagai
sumber belajar
Permasalahan
Pembelajaran Sejarah
1. Teacher center
2. Metode yang digunakan seperti
seperti ceramah, presentasi media
powerpoint, tanya jawab dan
diskusi
3. Mahasiswa yang pasif
4. Keterbatasan sumber belajar
primer
Solusi:
Model pembelajaran sejarah
yang berpusat pada mahasiswa
(student centered)
Model Pembelajaran Sejarah Berbasis Arsip Koran Untuk
Meningkatkan Berpikir Historis (Historical Thinking)
(Studi Pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah
FKIP Universitas Lambung Mangkurat)
Model pembelajaran berpusat kepada mahasiswa dengan
mengggunakan koran sebagai sumber belajar
Berpikir Historis
(Historical Thinking)
1. Membangun makna sejarah
2. Menggunakan bukti sumber utama
3. Mengidentifikasi kesinambungan
dan perubahan
4. Menganalisis penyebab dan
konsekuensi
5. Mengambil perspektif sejarah
memahami dimensi
6. Moral dari interpretasi sejarah
55
D. Model Hipotetik
Pada penelitian dan pengempangan ini, model pengembangan yang
digunakan ialah model Four-D (4D) yang dikembangkan oleh Sivasailam
Thiagarajan, Dorothy S. Semmel, dan Melvyn I. Model hipotetik dalam penelitian
ini dapat dilihat pada bagan 2.3.
DEFINE
STUDI PENDAHULUAN
Analisis Permasalahan Analisis Peserta Didik Analisis Kompetensi Analisis Konsep
PENENTUAN TUJUAN
PEMBELAJARAN
DESIGN
TUJUAN PEMBELAJARAN
Penyusunan Tes
DRAF AWAL MODEL PEMBELAJARAN
SEJARAH LOKAL BERBASIS ARSIP KORAN
UNTUK MENINGKATKAN BERPIKIR HISTORIS
(HISTORICAL THINKING)
Pemilihan Format Pemilihan Model Pembelajaran
Tes Penguasaan Konsep
dan Berpikir Historis
(Historical Thinking)
Dasar Teoritik
Pengembangan Draf
Model Pembelajaran
56
Bagan 2.3 Model Hipotetik Penelitian dan Pengembangan
DEVELOPMENT
Pretes Penggunaan Model Pembelajaran Postes
DRAF AWAL MODEL PEMBELAJARAN
SEJARAH LOKAL BERBASIS ARSIP KORAN
UNTUK MENINGKATKAN BERPIKIR HISTORIS
(HISTORICAL THINKING)
Validasi Model Pembelajaran Validasi Materi
UJI COBA
KELOMPOK KECIL Draf Awal Revisi I
Draft Revisi II
Draft Revisi III
UJI COBA
KELOMPOK BESAR
UJI EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN
SEJARAH LOKAL BERBASIS ARSIP KORAN
UNTUK MENINGKATKAN BERPIKIR HISTORIS
Pretes Penggunaan Model Pembelajaran Postes
Draft Revisi IV
HASIL UJI EFEKTIVITAS
DRAF AKHIR MODEL PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL
BERBASIS ARSIP KORAN UNTUK MENINGKATKAN
BERPIKIR HISTORIS (HISTORICAL THINKING)
DISSEMINATION
Top Related