7
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Proses Berpikir
Arti kata dasar “pikir” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2010) adalah
akal budi, ingatan, angan-angan. Kuswana (2011) menjelaskan bahwa berpikir
artinya menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan
sesuatu. Seseorang dalam melakukan kegiatan sehari-hari tidak akan lepas dari
kegiatan berpikir. Sebelum melakukan suatu tindakan, seseorang terlebih dahulu
melakukan suatu proses dalam berpikir sehingga bisa mengetahui apa yang akan
dilakukan. Proses tersebut dikenal dengan proses berpikir.
Menurut King (2010) berpikir melibatkan proses memanipulasi informasi
secara mental, seperti membentuk konsep-konsep abstrak, menyelesaikan
beragam masalah, mengambil keputusan dan melakukan refleksi kritis atau
menghasilkan gagasan kreatif. Menurut Ormrod (2009) menyatakan bahwa proses
berpikir merupakan proses memikirkan terhadap informasi atau suatu peristiwa..
Suparni (2000) menyatakan bahwa proses berpikir adalah langkah-langkah
yang digunakan seseorang dalam proses memikirkan informasi dari dalam ingatan
untuk kemudian disesuaikan dengan yang ada dalam otaknya. Proses berpikir
yang dikemukakan (Baharuddin, 2000; Suryabrata, 2004; Sterberg 2009) bahwa
proses berpikir dapat diklasifikasikan ke dalam tiga langkah, yaitu : (1)
pembentukan pengertian, (2) pembentukan pendapat, dan (3) penarikan
kesimpulan atau pembentukan keputusan.
8
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa proses berpikir dalam
penelitian ini adalah langkah-langkah yang digunakan oleh siswa dalam
menyelesaikan masalah matematika terhadap informasi yang diperoleh.
2.2 Masalah Matematika
Suatu masalah biasanya memuat situasi yang mendorong seseorang untuk
menyelesaikannya tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan.
Jika suatu masalah diberikan kepada seseorang dan seseorang tersebut dapat
mengetahui cara penyelesaiannya maka persoalan tersebut tidak dapat dikatakan
suatu masalah. Sesuatu dianggap masalah bergantung kepada orang yang
mengahadapinya, suatu soal bisa memiliki karakteristik sebagai masalah.
Secara umum, masalah adalah suatu kondisi dimana dapat berupa soal atau
pertanyaan yang belum dimengerti dan memerlukan penyelesaian yang tidak
hanya dikerjakan dengan prosedur rutin tetapi perlu penalaran yang lebih luas
dalam menyelesaikannya. Jika suatu masalah diberikan kepada seseorang dan
seseorang tersebut dapat menyelesaikan dengan benar maka soal tersebut tidak
dapat dikatakan sebagai masalah. Masalah matematika didefinisikan sebagai
situasi yang memiliki tujuan yang jelas tetapi berhadapan dengan halangan akibat
kurangnya algoritma yang diketahui untuk menguraikannya agar memperoleh
sebuah solusi (Saad & Ghani, 2008).
Pertanyaan dari soal-soal matematika selalu disebut sebagai suatu masalah.
Roebyanto (2009) menyatakan bahwa suatu pertanyaan menjadi masalah jika
pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan dan tidak dapat dipecahkan
dengan prosedur rutin. Suatu pertanyaan matematika merupakan suatu masalah
9
apabila tidak segera ditemukan cara penyelesaian berdasarkan petunjuk yang ada
(Usman, 2007).
Pada dasarnya dalam kehidupan sehari-hari seseorang sering dihadapkan
pada masalah-masalah yang dituntut untuk menyelesaikannya. Banyak berbagai
pendapat yang berbeda dalam menghadapi masalah tertentu. Secara umum,
masalah matematika merupakan soal-soal yang belum diketahui prosedur
pemecahannya oleh siswa. Masalah dalam pembelajaran matematika terdapat dua
macam, yaitu masalah rutin dan masalah tidak rutin (Maulana, 2007; In’am,
2015). Masalah rutin adalah masalah matematika yang bentuknya teknis dan dapat
dipecahkan menggunakan beberapa perintah. Masalah tidak rutin adalah berbagai
masalah yang unik dan memerlukan aplikasi dari keterampilan, konsep atau
prinsip-prinsip yang telah dipelajari dalam menyelesaikannya (In’am, 2015).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas masalah matematika dalam
penelitian ini adalah suatu soal matematika yang tidak dapat ditentukan secara
langsung solusinya.
2.3 Pemecahan Masalah Matematika
Setiap orang dalam proses menyelesaikan masalah antara satu orang dengan
orang lain memiliki cara yang berbeda-beda. Sehingga dalam menyelesaikan
masalah tersebut seseorang harus menggunakan berbagai cara berpikir, mencoba,
dan bertanya. Menurut Saad & Ghani (2008) menjelaskan bahwa pemecahan
masalah merupakan suatu proses terencana yang perlu dilaksanakan agar
memperoleh penyelesaian tertentu dari sebuah masalah yang mungkin tidak
didapat dengan segera.
10
Wardhani (2008) menjelaskan bahwa pemecahan masalah merupakan
proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam
situasi baru yang belum dikenal.Senada dengan penjelasana di atas, Robert (2008)
menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu pemikiran yang terarah
secara langsung untuk menemukan solusi atau jalan keluar untuk suatu masalah
yang spesifik.
Pada saat memecahkan masalah matematika, siswa dihadapkan dengan
beberapa tantangan seperti kesulitan dalam memahami soal. Hal ini disebabkan
karena masalah yang dihadapi bukanlah masalah yang pernah dihadapi siswa
sebelumnya. Saad & Ghani (2008) menyatakan bahwa siswa perlu melakukan
beberapa hal seperti menerima tantangan dari suatu masalah, merencanakan
strategi penyelesaian masalah, menerapkan strategi, dan menguji kembali solusi
yang diperoleh.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah
matematika adalah suatu proses berpikir yang dilakukan siswa untuk
menyelesaikan suatu soal matematika yang tidak dapat ditentukan secara langsung
solusinya.
2.4 Taksonomi Marzano
Salah satu masalah dalam pendekatan yang diberikan oleh Bloom dkk
adalah usaha untuh menggunakan tingkatan kesulitan sebagai dasar perbedaan
antar level dari taksonomi. Aktivitas evaluasi yang diasumsikan lebih sulit
daripada aktivitas yang melibatkan analisis, dan seterusnya. Usaha yang dilakukan
untuk mendesain suatu taksonomi yang berdasarkan pada kesulitan dari proses
mental gagal, karena prinsip yang dibangun dengan baik dalam psikologi dapat
11
dipelajari pada level tertentu (Anderson, 2001). Taksonomi Bloom dikembangkan
sebagai hirarki dasar pemikiran atau dasar proses akademik, sedangkan Marzano
menggabungkan dasar-dasar itu dari tingkat berpikir pada proses kognitif dan
proses metakognitif, sebagaimana konsep-konsep tadi berhubungan dengan
manfaat, motivasi, serta emosi sebagai pendukung.
Marzano dan Kendall (2007) mendefinisikan suatu variasi keterampilan
yang berkaitan dengan berpikir dan pembelajaran yang disebut dengan taksonomi
baru Marzano. Marzano menstruktur dan mengkonsep kembali hirarki Bloom
menjadi enam kategori yang berbeda. Taksonomi marzano terdiri dari tiga sistem,
yaitu self-system (sistem diri), metacognitive system (sistem metakognitif), dan
cognitive system (sistem kognitf). Tingkatan atau level tersebut juga berinteraksi
dengan apa yang disebut Marzano “tiga pengetahuan awal atau domain
pengetahuan” yang terdiri atas informasi, prosedur mentaal, dan prosedur fisik.
Tiga sistem taksonomi Marzano dan domain pengetahuan dideskripsikan sebagai
berikut:
1) Knowledge Domain (Domain Pengetahuan)
Pengetahuan adalah sebuah faktor penting dalam berpikir. Tanpa adanya
informasi yang memadai tentang mata pelajaran, sistem lain hanya sedikit
bekerja dan kemungkinan keberhasilan proses belajar kecil. Marzano
mengidentifikasikan tiga kategori dari pengetahuan yaitu informasi, prosedur
mental, dan prosedur fisik. Secara sederhana Informasi merupakan “apa” dari
pengetahuan dan prosedur terkait dengan “bagaimana caranya” (Marzano,
2007).
12
Informasi terdiri dari pengorganisasian beragam gagasan, seperti prinsip-
prinsip, penyederhanaan dan rincian, kamus istilah dan fakta-fakta. Prosedur
mental dapat mencangkup beragam proses yang rumit, seperti menulis
algoritma. Sedangkan prosedur fisik dalam proses belajar bergantung mata
pelajaran. Dalam pembelajaran matematika prosedur fisik dapat dilihat ketika
siswa melakukan game matematika yang memanfaatkan fisiknya.
2) Self System (Sistem Diri)
Sistem ini meliputi berbagai sikap, keyakinan dan perasaan yang
menentukan motivasi seseorang untuk menyelesaikan tugas. Ketika suatu
tugas baru diberikan, maka sistem siri terlibat dalam suatu tugas baru ata
tetap pada tugas lama. Saat sistem diri memuat sikap positif terhadap suatu
tugas baru maka keyakinan dan motivasi untuk menyelesaikan tugas baru
juga tinggi.
3) Metacognitive System (Sistem Metakognitif)
Sistem metakognitif adalah pengendalian diri dari proses berpikir dan
mengatur semua sistem lainnya (Sterberg, 2009). Sistem ini menentukan
berbagai tujuan dan membuat berbagai keputusan tentang informasi apa yang
dibutuhkan dan proses kognitif apa yang akan dilakukan untuk mencapai
tujuan. Sistem ini kemudian memantau berbagai proses dan membuat
perubahan seperlunya. Dalam penyelesaian suatu tugas, sistem ini bertugas
untuk merancang strategi dalam mencapai tujuan yang diingkan.
4) Cognitive System (Sistem Kognitif)
Sistem kognitif dilaksanakan dari domain dalam ingatan,
memanipulasinya dan menggunakan pengetahuan ini. Sistem ini bertugas
13
untuk memproses informasi secara efektif dalam penyelesaian tugas. Marzano
(2007) memecah sistem ini menjadi empat tahapan yaitu retrieving
knowledge (pemanggilan pengetahuan) melibatkan proses dari prosedur
pengetahuan, mengingat kembali informasi dari ingatan tanpa pemahaman.
Pada tingkat yang lebih tinggi comprehending knowledge (pemahaman
pengetahuan) menuntut identifikasi apa yang penting untuk diingat dan
menetapkan informasi ke dalam berbagai kategori yang sesuai. Analyzing
knowledge (aanalisis pengetahuan) lebih kompleks dibanding pemahaman
sederhana, proses kognitif dalam analisis pengetahuan adalah penyesuaian,
pengklasifikasian, analisis kesalahan, dan spesifikasi. Proses terakhir adalah
using knowledge (penggunaan pengetahuan) adalah proses penggunan
pengetahuan yang telah diperoleh.Sistem kognitif bertanggung jawab untuk
memproses informasi yang perlu secara efektif untuk penyelesaian tugas.
Sistem ini bertanggung jawab untuk operasi analisis, seperti membuat
kesimpulan, membandingkan, mengklasifikasi, dan yang lainnya. Sebagai
contoh, seperti siswa mendengarkan informasi baru, siswa akan membuat
kesimpulan terhadap informasi tersebut, membandingkannya dengan apa
yang telah diketahui, dan lainnya. Berikut level sistem kognitif yang
dikemukakan oleh Marzano.
Tabel 2.1: Level Sistem Kognitif Taksonomi Marzano
(Marzano dan Kendall, 2007) Level Sistem Kognitif Deskripsi
Retrieving Knowledge Proses mengidentifikasi pengetahuan yang berkenaan
dengan informasi yang diperlukan
Comprehending Knowledge
Proses menggambarkan aspek-aspek pengetahuan
dalam bentuk bergambar atau simbol yang terdapat
pada informasi
Analyzing Knowledge
Proses menguji pengetahuan mengenai persamaan
dan perbedaan, hubungan, mendiagnosa strategi
yang dapat diduga
14
Using Knowledge
Proses dalam penggunaan pengetahuan darimana
masalah bisa dipecahkan dan memberikan
kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mengambil kesimpulan untuk
indikator proses berpikir dalam pemecahan masalah, yaitu:
Tabel 2.2: Indikator Proses Berpikir Siswa dalam Pemecahan Masalah Level Sistem Kognitif Indikator
Retrieving Knowledge Siswa mengetahui apa yang diketahui dan apa yang
ditanyakan pada soal dengan bahasa sendiri
Comprehending
Knowledge
Siswa mampu mengubah kalimat soal kedalam model
matematika
Analyzing Knowledge Siswa mampu menentukan cara atau rumus yang sesuai
dengan soal
Using Knowledge Siswa mampu menyelesaikan soal dengan langkah-langkah
yang benar dan membuat kesimpulan
2.5 Gaya Belajar
2.5.1 Pengertian Gaya Belajar
Kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap pelajaran sudah
pasti berbeda tingkatannya. Ada yang cepat, sedang, dan ada pula yang sangat
lambat. Gaya belajar merupakan cara yang disukai dalam melakukan kegiatan
berpikir, berproses dan mengeti suatu informasi. Hasil riset menunjukkan bahwa
murid yang belajar dengan gaya belajar siswa yang dominan, saat mengerjakan tes
akan mencapai nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan bila siswa belajar dengan
cara yang tidak sejalan dengan gaya belajarnya sendiri (Gunawan, 2007).
Mengetahui tipe belajar siswa membangun guru untuk dapat mendekati
semua atau hampir semua murid hanya dengan menyampaikan informasi dengan
gaya yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan tipe belajar siswa. Gaya belajar
adalah cara yang konsisten yang dilakukan oleh seorang siswa dalam menangkap
stimulus atau informasi, cara mengingat, berpikir, dan memecahkan masalah
15
(Nasution, 2008). Ambaristi (2008) menyatakan bahwa gaya belajar seseorang
adalah kombinasi dari bagaimana seseorang mengatur dan mengolah informasi.
Menurut DePorter dan Hernacki (2010) menjelaskan bahwa gaya belajar
merupakan kombinasi dari bagaimana seseorang menyerap, dan kemudian
mengatur serta mengolah informasi. Mengetahui gaya belajar siswa dapat
memudahkan guru dalam proses mengajar. Guru dapat menyesuaikan gaya
mengajarnya dengan kebutuhan siswa, misalnya dengan menggunakan berbagai
gaya mengajar sehingga siswa dapat memperoleh kemudahan dalam memahami
informasi yang disampaikan.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas gaya belajar dalam penelitian ini
adalah cara yang digunakan seseorang dalam mengingat, berpikir, dan
memecahkan masalah yang cenderung berbeda pada masing-masing individu.
2.5.2 Jenis-jenis Gaya Belajar
DePorter dan Hernacki (2010) menyatakan bahwa terdapat tiga gaya belajar
seseorang yaitu visual, auditorial, dan kinestetik. Walaupun masing-masing siswa
belajar menggunakan ketiga gaya belajar ini, kebanyakan siswa lebih cenderung
pada salah satu diantara gaya belajar tersebut.
Penggolongan gaya belajar ini merupakan patokan bagi individu untuk
mengetahui kecenderungannya dalam menyerap informasi. Apabila telah
diketahui kecenderungan gaya belajar yang paling menonjol dalam dirinya akan
memudahkan seseorang dalam menyerap informasi.
1) Gaya belajar visual
Gaya belajar ini merupakan gaya belajar dimana seseorang lebih cenderung
belajar melalui indra penglihatan. Pada gaya belajar visual ini informasi yang
16
disajikan dapat berupa teks (tulisan, huruf, angka, dan simbol) dan gambar
(diagram, buku pelajarn bergambar, dan video). Siswa dengan gaya belajar visual
lebih suka mencatat sampai detail untuk mendapatkan informasi.
Menurut Clarke dkk (2006) ciri orang tipe visual yaitu lebih rapi dan terartur,
bicara dengan cepat, teliti terhadap detail, mudah ingat dengan melihat, tidak
mudah terganggu oleh keributan, menjawab dengan singkat, lebih suka dengan
gambar daripada musik.
2) Gaya belajar auditorial
Gaya belajar auditorial merupakan kecenderungan gaya belajar dengan
menggunakan indera pendengaran untuk dapat memahami dan mengingatnya.
Pada model gaya belajar ini informasi terbagi menjadi data berupa bahasa dan
nada, misalnya music, nada, irama, dialog internal, dan suara.
Menurut Widiyanti (2011) ciri orang tipe auditorial yaitu lebih senang
dibacakan daripada membacakan, mudah terganggu oleh keributan, lebih mudah
ingat dengan apa yang didengarkan dan didiskusikan, jika membaca lebih senang
dengan suara keras, kesulitan dalam menulis sesuatu tetapi sangat pandai dalam
bercerita. Orang auditorial lebih senang dengan musik.
3) Gaya belajar kinestetik
Gaya belajar kinestesik merupakan kecenderungan gaya belajar dengan
mengguanakan indera tubuh. Orang tipe kinestetik belajar dengan cara terlibat,
bergerak, mengalami dan mencoba-mencoba. Pada model gaya belajar kinestesik,
informasi yang diperoleh dari data berupa gerak dan sentuhan.
Menurut DePorter dan Hernacki (2010) ciri orang tipe kinestetik yaitu
belajar melalui memanipulasi dan praktek, menghafal dengan cara berjalan dan
17
melihat, gemar menyentuh sesuatu yang dijumpai, duduk terlalu lama menyiksa,
waktu yang dibutuhkan mengerjakan tugas lama, suka mengerjakan sesuatu yang
memungkinkan tangannnya aktif, banyak gerak fisik dan memiliki koordinasi
tubuh yang baik. Anak pada tipe ini umumnya menyenangi olahraga.
Berdasarkan uraian diatas gaya belajar terbagi menjadi tiga tipe yaitu: gaya
belajar visual, gaya belajar auditorial, dan gaya belajar kinestetik. Setiap gaya
belajar memiliki ciri masing-masing sebagai proses dalam mengingat, berpikir,
dan memecahkan masalah.
2.5.3 Cara Mengetahui Gaya Belajar Siswa
Beberapa cara dapat digunakan untuk membantu siswa dalam
memaksimalkan gaya belajar masing-masing. Menurut Kusuma (2013) untuk
mengetahui gaya belajar siswa ada beberapa cara yang bisa dilakukan diantaranya
yaitu:
1) Observasi
Melakukan observasi secara mendetail terhadap setiap siswa melalui
pengajaran dengan menggunakan berbagai metode belajar mengajar di kelas.
Untuk mengenali siswa yang mempunyai gaya belajar visual dapat menggunakan
metode seperti memutar film, menunjukkan gambar, dan juga peta atau diagram.
Proses belajar mengajar yang seperti ini dapat melihat siswa yang mempunyai
kecenderungan belajar visual akan ketertarikan dan antusias dalam mengikuti
pelajaran.
Siswa yang mempunyai gaya belajar auditorial dapat dikenali dengan
menggunakan metode ceramah selama proses mengajar. Selanjutnya perhatikan
dan catatlah siswa yang antusias mendengarkan dengan tekun hingga akhir. Dari
18
sini bisa diklasifikasikan tipe-tipe siswa dengan gaya auditorial yang lebih
menonjol.
Demikian pula untuk mengenali siswa dengan gaya belajar kinestetik
gunakanlah metode pembelajaran simulasi atau pendek. Siswa yang mempunyai
gaya belajar kinestetik tentu saja akan sangat antusias dalam proses pembelajaran.
Dengan begitu, reaksi siswa terhadap setiap model pembelajaran yang diberikan
lambat laun akan lebih mudah mengetahui kecenderungan gaya belajar siswa.
2) Pemberian tugas
Siswa dalam melakukan pekerjaan yang membutuhkan proses dalam berpikir
untuk menyatukan bagian-bagian yang terpisah, misalnya menyatukan puzzel dari
bagian-bagian yang terpisahkan. Ada tiga cara dalam menyusunnya, yaitu: (1)
melakukan praktek secara langsung, (2) melihat gambar desain secara utuh
terlebih dahulu, baru menyatukan, dan (3) membaca petunjuk tertulis dan
melakukan sesuai langkah-langkah yang tertulis.
Siswa dengan gaya visual akan cenderung memulai dengan melihat gambar
desain secara utuh terlebih dahulu. Siswa dengan gaya visual akan lebih cepat
menyerap melalui gambar-gambar. Siswa dengan gaya auditorial akan cenderung
memulai dengan membaca petunjuk dan langkah-langkah yang tertulis. Adapun
siswa dengan gaya belajar kinestetik akan langsung mempraktekkan secara
langsung dengan mencoba-coba menyatukan satu bagian dengan bagian yang lain.
Dari pengamatan tersebut akan memudahkan untuk mengenal dan memahami
gaya belajar siswa secara lebih mendetail.
3) Tes gaya belajar atau survey
19
Tes gaya belajar ini biasanya digunakan oleh psikolog atau jasa konsultan.
Tes gaya belajar ini menggunakan metodologi yang cukup teruji dan mempunyai
akurasi tinggi sehingga memudahkan untuk mengenal gaya belajar siswa. Namun
jika kesulitan menggunakan jasa konsultan, maka dapat menggunakan instrumen
tes sederhana yang berupa daftar pertanyaan terkait gaya belajar cisual, auditorial,
dan kinestetik. Instrumen tersebut harus dijawab (diberi tanda checklist) agar
dapat membantu mengidentifikasi gaya belajarnya.
Dari beberapa cara untuk mengetahui gaya belajar siswa, penelitian ini
menggunakan cara tes gaya belajar atau survey. Adapun model instrumen tes gaya
belajar yang digunakan yaitu angket atau kuisioner (Bobbi, dkk, 2010). Jawaban
angket yang disediakan bukan jawaban benar atau salah melainkan disesuaikan
dengan karakteristik siswa. setelah siswa menjawab tes gaya belajar tersebut maka
akan kelihatan gaya belajar yang paling mendominasi pada diri siswa tersebut.
2.6 Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian pertama yang dilakukan oleh Fauziah (2015) yang menyelidiki
bagaiman proses berpikir siswa dalam menyelesaikan sistem persamaan linier dua
variabel dengan didasarkan pada tahapan taksonomi Marzano dan kerangka
berpikir Zuhri. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa siswa berkemampuan
tinggi mampu menyelesaikan masalah melalui tahapan taksonomi Marzano
dengan baik serta melakukan proses berpikir secara konseptual. Siswa
berkemampuan sedang menyelesaikan masalah dengan melalui semua tahapan
taksonomi Marzano serta melakukan proses berpikir secara semi konseptual.
Sedangkan siswa berkemampuan rendah masih banyak mengalami kesulitan
20
dalam menyelesaikan masalah dan tidak melalui semua tahapan taksonomi
Marzano serta melakukan proses berpikir komputasional.
Penelitian kedua yang dilakukan oleh Winsaputri (2016) yang menyelidiki
bagaimana proses berpikir siswa dengan tipe kepribadian introvert dan siswa
dengan tipe kepribadian ekstrovert berdasarkan taksonomi Marzano. Penelitian ini
mengambil 3 siswa bertipe kepribadian introvert serta 2 siswa bertipe ekstrovert.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa proses berpikir siswa berdasarkan
taksonomi Marzano, proses berpikir siswa SI 1 mencapai level analysis
knowledge yaitu SI 1 dapat mengolah informasi yang relevan namum tidak dapat
menentukan hasil akhir selesaian dengan tepat dan SI 2 dan SI 3 mencapai level
using knowledge yaitu dapat mengolah informasi yang relevan untuk
menyelesaikan soal dan dapat menentukan hasil akhir dengan tepat. Lebih lanjut,
SE 1 dan SE 2 mencapai level comprehension knowledge, yaitu tidak dapat
mengolah informasi dengan tepat dan juga tidak dapat menentukan hasil akhir
dengan tepat.
Penelitian ketiga yang dilakukan oleh Permatasari, dkk, (2016) yang
menyelidiki untuk mengetahui proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah
matematika berdasarkan tipe Krulik dan Rudnick ditinjaui dari tipe kepribadian
introvert-ekstrovert. Proses berpikir siswa dengan kepribadian extrovert
menggunakan proses berpikir akomodasi pada tahap terakhir (memikirkan perkara
lain dan memperluas) karena dapat mengecek dan meyakini kebenaran jawaban,
akan tetapi tidak dapat menyelesaikan masalah terakhir karena jawaban yang
dituliskan keliru. Siswa tipe kepribadian introvert menunjukkan proses berpikir
21
asimilasi tak sempurna karena dapat mengecek dan meyakini jawaban tetapi
belum dapat menganalisis dan memisalkan titik baru dengan benar.
Penelitian keempat yang dilakukan oleh Ngilawajan (2013) yang
menyelidiki untuk mengetahui proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah
matematika ditinjau dari gaya kognitif field independent dan field dependent.
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan signifikan kedua subjek pada langkah
memahami maslah, yaitu subjek FI memahami masalah lebih baik bila
dibandingkan dengan subjek FD. Selain itu, subjek FI menunjukkan pemahamn
yang baik terhadap konsep turunan bila dibandingkan dengan subjek FD.
Penelitian kelima yang dilakukan oleh Yanti, dkk, (2015) yang menyelidiki
untuk mengetahui proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika
berdasarkan adversity quotient. Subjek dengan tipe climbers cenderung
mempunyai proses berpikir konseptual dalam menyelesaikan masalah matematika
berdasarkan teori Bransford dan Stein. Subjek dengan tipe campers cenderung
mempunyai proses berpikir semikonseptual dalam menyelesaikan masalah
matematika berdasarkan teori Bransford dan Stein, dan subjek dengan tipe
quitters dalam menyelesaikan masalah berdasarkan teori Bransford dan Stein
cenderung memiliki proses berpikir komputasional.
Perbedaan penelitian yang akan dilakukan oleh penelitian terdahulu adalah
memperhatikan gaya belajar siswa dalam menyelesaikan masalah matematika.
Dengan demikian, peneliti terdorong untuk melakukan identifikasi mengenai
proses berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah matematika berdasarkan
sistem kognitif taksonomi marzano dan gaya belajarnya.
Top Related