9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai pemakaian bahasa telah banyak dilakukan. Beberapa
studi terdahulu yang penulis temukan yang sejenis dan masih relevan dengan
penelitian ini akan dipaparkan sebagai berikut.
Skripsi Sinta Manilasari (2014) dengan judul “Pemakaian Bahasa
Kelompok Penggemar Burung Kicauan di Surakarta”. Dalam penelitian ini
ditemukan karakteristik pemakaian bahasa pencinta burung di Surakarta berupa
(a) penggunaan istilah asing, (b) pemanfaatan bentuk singkatan, (c) terdapat
hibrida (hibrid word) antara afiks bahasa Indonesia dengan kata dasar bahasa
asing, (d) gaya bahasa, (e) pemendekan (kontraksi), (f) sapaan, (g) campur kode
yang meliputi campur kode berwujud kata, campur kode berwujud perulangan
kata, campur kode berwujud frasa, campur kode berwujud klausa, dan (h) alih
kode.
Penggunaan fungsi bahasa juga ditemukan dalam proses jual beli,
perlombaan burung kicauan, perawatan burung kicauan serta pada saat
penangkaran burung kicauan. Dalam proses penangkaran burung kicauan
ditemukan fungsi bahasa yang meliputi (a) fungsi konatif berupa konatif
menasihati, konatif menyarankan, konatif meyakinkan, dan konatif menawarkan,
(b) fungsi metalingual berupa metalingual mendeskripsikan istilah, (c) fungsi
referensial berupa referensial memberikan gambaran bentuk dan referensial
menilai suara burung, (d) fungsi menyimpulkan (kesimpulan).
10
Dalam peristiwa perawatan burung kicauan juga ditemukan fungsi bahasa
yang meliputi (a) fungsi konatif yang berupa konatif meminta, konatif menyuruh,
serta konatif menyarankan, (b) fungsi referensial. Dalam peristiwa jual beli
burung kicauan juga ditemukan fungsi bahasa yakni fungsi konatif berupa konatif
menyarankan, konatif menawarkan, konatif meminta antara pembeli dan penjual,
konatif meminta antara penjual dan pembeli.
Ditemukan juga fungsi bahasa dalam kegiatan perlombaan burung kicauan
yang meliputi (a) fungsi konatif berupa konatif menyarankan antara peserta dan
juri, konatif menyarankan antarpenonton, konatif memerintah, konatif menyuruh,
konatif menyuruh membandingkan, serta konatif meminta, (b) fungsi referensial
berupa referensial menilai kicauan dan referensial menilai gaya burung kicauan,
(c) fungsi emotif berupa memuji burung murai batu dan memuji penampilan anis
merah.
Kosakata ciri penentu register dalam pencinta burung kicauan di Surakarta
meliputi jenis suara burung kicauan, jenis burung kicauan, fase perkembangan
burung kicauan, perawatan burung kicauan, perilaku burung kicauan, dan
perlombaan burung kicauan.
Skripsi Miftah Nugroho (2000) dengan judul “Register Chatting di dalam
Internet”. Dalam penelitian ini ditemukan wujud pemakaian bahasa di dalam
chatting berupa (a) kekhasan pengejaan kata yang terbagi menjadi penerapan
ejaan lama, penerapaan ejaan daerah, dan penerapan ejaan bahasa asing, (b)
kekhasan penanggalan fonem dan suku kata yang terdiri dari penanggalan fonem
di awal kata, penanggalan fonem di akhir kata, penanggalan fonem konsonan dan
vokal di tengah kata, dan penanggalan suku kata, (c) pemakaian afiks dialek
11
Jakarta, (d) pemakaian morfem partikel dialek Jakarta, (e) pemakaian kata ganti
sapaan, (f) pemakaian interjeksi, (g) pemakaian slang.
Pemakaian bahasa di dalam chatting dipengaruhi dua faktor yaitu faktor
linguistik dan faktor non-linguistik. Faktor linguistik yang mempengaruhi
pemakaian bahasa di dalam chatting adalah (a) kekhasan pengejaan kata, (b)
kekhasan penanggalan fonem dan suku kata, (c) pemakaian afiks dialek Jakarta,
(d) pemakaian morfem partikel dialek Jakarta, (e) pemakaian kata ganti sapaan, (f)
pemakaian interjeksi, dan (g) pemakaian slang.
Faktor non-linguistik yang mempengaruhi pemakaian bahasa di dalam
chatting adalah faktor-faktor sosial dan situasional. Faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi pemakaian bahasa di dalam chatting ada tiga, yaitu status sosial,
tingkat pendidikan, dan umur. Adapun faktor-faktor situasional yang
mempengaruhi pemakaian bahasa Indonesia di dalam chatting adalah faktor
situasi yang terjadi di dalam chatting yaitu situasi yang tidak resmi atau informal.
Skripsi Nisone Ayu Constantya (2013) dengan judul “ Tindak Tutur dan
Prinsip Kesantunan dalam Jual Beli Online di Facebook” yang mendeskripsikan
permasalahan dalam analisisnya sebagai berikut: (1) menentukan bentuk tindak
tutur yang terdapat pada transaksi jual beli online di facebook, (2)
mendeskipsikan bentuk prinsip kesantunan baik yang mematuhi maupun yang
melanggar antara penjual toko online di facebook, (3) mendeskripsikan bentuk
implikatur akibat pelanggaran prinsip kesantunan dalam jual beli online di
facebook.
12
Dari analisis dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) tindak
tutur ilokusi yang terdapat dalam jual beli online di facebook adalah terdiri dai
empat jenis tindak tutur, yaitu asertif, direktif, ekspresif, dan komisif. Tindak tutur
asertif meliputi menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan.
Tindak tutur direktif meliputi menyarankan, meminta, memerintah, memohon,
dan menyuruh. Tindak tutur ekspresif meliputi berterimakasih, meminta maaf,
mengeluh, dan memuji. Tindak tutur komisif meliputi berjanji dan menawarkan.
(2) Pematuhan prinsip kesantunan yang terdapat dalam jual beli online di
facebook terdiri dari lima submaksim, yaitu maksim kearifan, maksim
kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, dan maksim
kesepakatan. Data yang paling banyak adalah mengenai maksim kesepakatan. (3)
Pelanggaran prinsip kesantunan yang terdapat dalam jual beli online di facebook
terdiri dari lima submaksim, yaitu maksim kearifan, maksim kedermawanan,
maksim pujian, maksim kerendahan hati, dan maksim kesepakatan. Data yang
paling banyak adalah mengenai maksim kearifan. (4) Implikatur yang terdapat
dalam jual beli online di facebook yaitu implikatur menyuruh, menolak, meminta,
mengeluh, dan membatalkan. Data yang paling banyak ditemukan adalah
implikatur menyuruh.
Skripsi Wilda Meridiyana (2012) dengan judul “Pemakaian Bahasa dalam
Olahraga Futsal”. Dalam penelitian ini ditemukan karakteristik pemakaian bahasa
olahraga futsal. Diantaranya terdapat pemakaian istilah dalam bahasa Inggris,
pemakaian istilah dalam dialek Jakarta, adanya peristiwa penambahan prefiks,
terdapat peristiwa pemendekan atau kontraksi, metafora, pemakaian bentuk
singkatan, pemakaian kata sapaan, terjadinya peristiwa campur kode yang
13
meliputi campur kode yang berwujud kata, kelompok kata kata ulang, dan klausa.
Peristiwa alih kode juga terjadi, yang meliputi alih kode ke dalam dan keluar.
Penggunaan fungsi bahasa yaitu fungsi bahasa yang memaparkan tentang
fungsi bahasa yang digunakan saat membicarakan teknik permainan futsal yang
meliputi fungsi direktif meminta antarpemain futsal dan fungsi direktif meminta
antara pemain dan pelatiih, fungsi bahasa yang digunakan saat merencanakan
permainan futsal, fungsi bahasa yang digunakan saat memulai permainan futsal,
fungsi bahasa yang digunakan saat memberikan instruksi yang meliputi fungsi
direktif menyuruh antara pelatih dan pemain, fungsi direktif menyarankan antara
pelatih dan pemain, fungsi direktif menjelaskan antara pelatih dan pemain, fungsi
direktif menasihati antar pelatih dan pemain, fungsi memotivasi dan fungsi
mengkonfirmasi antar pelatih dan pemain, dan fungsi menyimpulkan, fungsi
bahasa yang digunakan saat mengevaluasi permainan futsal yang meliputi fungsi
direktif, referensial, dan ekspresi.
Penggunaan isilah kosakata penentu register olahraga futsal yang meliputi
posisi pemain, nama tendangan, aturan permainan, tindakan pemain, keadaan atau
suasana pertandingan, teknik permainan, nama alat-alat dari lingkungan futsal dan
perangkat futsal.
Penelitian “Pemakaian Bahasa dalam Jual Beli Handphone dan Aksesoris
Handphone: Suatu Pendekatan Sosiolinguistik” ini diharapkan dapat melengkapi
penelitian-penelitian sebelumnya. Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai
karakteristik pemakaian bahasa dalam jual beli handphone dan aksesoris
handphone, fungsi bahasa yang terjadi dalam tuturan, serta istilah-istilah khusus
dalam jual beli handphone dan aksesoris handphone.
14
Penelitian ini memberikan gambaran yang lebih luas tentang pemakaian
bahasa dalam jual beli handphone dan aksesoris handphone khususnya yang
berada di wilayah Surakarta.
B. Landasan Teori
1. Sosiolinguistik
Dalam hidup bermasyarakat manusia menggunakan bahasa sebagai sarana
berkomunikasi. Studi interdisipliner yang menggarap masalah-masalah
kebahasaan dalam hubungannya dengan masalah-masalah sosial dikenal dengan
sebutan sosiolinguistik. Sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam
hubungannya dengan pemakaiannya di dalam masyarakat.
Dijelaskan oleh Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:2) bahwa
sosiologi merupakan kajian yang objektif mengenai manusia di dalam masyarakat
mengenai lembaga-lembaga dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat,
sedangkan pengertia linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau
bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya.
Dari penjelasan di atas Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:4)
menyimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat
interdisipliner dengan ilmu sosiologi dengan objek penelitian hubungan antara
bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur.
Appel (dalam Suwito, 1996:5) merumuskan sosiolinguistik sebagai studi
tentang bahasa dan pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat
dan kebudayaan. Sementara itu oleh I Dewa Putu Wijana dan Muhammad
Rohmadi (2006:7) menjelaskan lebih sederhana bahwa sosiolinguistik merupakan
15
cabang linguistik yang memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam
hubungannya dengan pemakai bahasa itu di dalam masyarakat. Pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa dalam kehidupan masyarakat manusia tidak lagi sebagai
individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial.
Hymes (dalam Suwito, 1996:5) dengan lebih menitikberatkan pada segi
kegunaannya berpendapat, bahwa sosiolinguistik dapat dipakai sebagai petunjuk
tentang kemungkinan pemakaian data dan analisis linguistik dalam disiplin-
disiplin lain yang berhubungan dengan kehidupan sosial, dan sebaiknya,
pemakaian data dan analisis sosial di dalam linguistik.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik
adalah gabungan dua disiplin ilmu, yakni sosiologi dan linguistik yang di
dalamnya membahas bahasa dalam ranah kemasyarakatan, baik itu tentang ciri
khas variasi bahasa, fungsi-fungsinya, penerapan bahasa, dan lain sebagainya.
Pengertian di atas dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik sangat berguna untuk
mengamati beberapa fakta sosial dalam memahami masalah-masalah bahasa dan
memandang bahasa sebagai gejala sosial secara lebih jelas dan cermat.
Sehubungan dengan peristiwa tutur, maka penutur sangat dipengaruhi oleh
faktor luar bahasa sebagaimana yang dijelaskan oleh Dell Hymes (dalam Suwito,
1996:39) faktor-faktor yang menandai terjadinya peristiwa tutur atau yang sering
disingkat dengan SPEAKING. Kedelapan unsur tersebut antara lain.
1. Setting dan scene yaitu tempat bicara dan suasana bicara.
2. Participant yaitu pembicara, lawan bicara dan pendengar.
3. End yaitu tujuan akhir atau maksud pembicaraan.
16
4. Act yaitu peristiwa dimana seorang pembicara sedang mempergunakan
kesempatan bicaranya.
5. Key yaitu nada suara atau ragam bahasa yang dipergunakan dalam
menyampaikan tuturannya, dan cara mengemukakan tuturannya.
6. Instrument yaitu alat yang digunakan untuk menyampaikan tuturan.
Misalnya secara lisan, tertulis, lewat telepon, dan sebagainya.
7. Norm yaitu aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap penutur dan
mitra tutur.
8. Genre yaitu jenis kegiatannya dalam bentuk apa dan bagaimana.
2. Variasi Bahasa
Adanya berbagai tingkat pemakaian bahasa yang merupakan identitas
penutur atau kelompok masyarakat serta adanya bermacam gaya dalam konteks
sosial seperti itu menunjukkan, bahwa ada semacam korelasi antara kelas atau
status sosial di satu pihak dan cara-cara pemakaian bahasa dipihak yang lain.
Suwito (1996:34) mendefinisikan bahwa variasi adalah sejenis ragam
bahasa yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa
mengabaikan kaidah-kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang
bersangkutan. Dengan pengertian di atas maka dalam memilih variasi, faktor-
faktor linguistik tidak dapat dikesampingkan di samping faktor-faktor
nonlinguistik untuk menentukan variasinya. Kedua faktor tersebut saling
menentukan dan saling bergantung yang nampak dalam wujud ekspresi penutur
dalam mengungkapkan bahasanya.
17
Ferguson (dalam Ronald Wardaugh, 1986:22) memberikan definisi lain
tentang variasi.
Any body of human speech patterns which is sufficiently homogeneous to
be analyzed by available techniques of synchronic descripstion and which
has a sufficiently large repertory of elements and their arrangements or
contexts of communication. Variasi adalah pola bicara individu yang sama
dan dianalisis dengan teknik yang ada yakni deskripsi secara sinkronis dan
mempunyai cakupan repertoir yang luas, serta analisis dengan bidang
semantik yang cakupannya luas dalam konteks situasi normal.
Sebagai mana yang telah dijelaskan oleh Abdul Chaer bahwa terjadinya
keragaman atau kevariasian bahasa bukan hanya disebabkan oleh penuturnya yang
tidak homogen, melainkan juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka
lakukan sangat beragam. Keragaman akan semakin bertambah jika bahasa
digunakan oleh penutur yang sangat banyak dan dalam wilayah yang sangat luas.
Menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:68) variasi dapat
dibedakan berdasarkan berbagai hal, di antaranya.
a) Variasi Bahasa dari Segi Penutur
Variasi bahasa yang bersifat perorangan seperti idiolek maupun
kelompok masyarakat seperti dialek, kronolek, sosiolek, slang dan jargon.
b) Variasi Bahasa dari Segi Pemakaian
Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini menyangkut bahasa
tersebut digunakan untuk keperluan atau pemakaian bidang apa, misalnya,
jurnalistik, militer, pertanian, perdagangan, pendidikan dan kegiatan keilmuan.
c) Variasi Bahasa dari Segi Keformalan
Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (dalam Abdul Chaer
dan Leoni Agustina, 2004:70) membagi variasi bahasa atas lima macam gaya,
18
yaitu ragam beku (frozen), ragam resmi (formal), ragam usaha (konsultif), ragam
santai (casual), dan ragam akrab (intimate).
d) Variasi Bahasa dari Segi Sarana
Variasi dari segi sarana dikenal adanya ragam lisan dan ragam tulis,
atau ragam dalam berbahasa menggunakan sarana atau alat tertentu.
3. Register
Konsep register telah banyak diutarakan oleh para sosiolinguis dengan
beberapa pemahaman yang berbeda-beda. Ronald Wardhaugh (1968:48)
menjelaskan sebagai berikut.
Register is another complicating factor in any study of language varieties.
Register are sets of vocabulary items associated with discrete occupation
or social groups. Surgeon, airline pilots, bank manager, sales clerk, jazz
fans, and pimps use different vocabularies. „Register merupakan suatu
faktor kompleks yang lain dalam kajian variasi bahasa. Register
merupakan seperangkat kosakata yang berhubungan dengan jenis pekrjaan
maupun kelompok sosial tertentu. Misalnya, pemakaian bahasa pilot,
manajer bank, penggemar musik jazz, pialang, dan lain sebagainya.‟
Menurut Halliday (1992:53) register merupakan ragam bahasa berdasarkan
pemakaiannya. Di samping itu Halliday membedakan register menjadi dua yaitu
bahasa terbatas dan bahasa yang lebih terbuka. Bahasa terbatas, misalnya, kata
sandi yang dipakai pada pengirim berita ketika perang, navigator dan sebagainya.
Bahasa yang lebih terbuka bisa ditemukan dalam komunikasi sehari-hari,
dikaitkan dengan penggunaan bahasa yang setiap bidang kegiatan memiliki ciri
register yang berbeda.
Halliday (dalam Hudson, 1980:46) membedakan register berdasarkan
dimensinya dan digolongkan menjadi tiga yakni medan, pelibat, dan sarana.
Sebagaimana dijelaskan sebagai berikut ini.
19
Field is concerned with the purpose and subject-matter of the
communication; mode ferers to the means by which communication takes
place – notably, by speech or writing; and tenor depends on the relations
between participants. „Medan mengacu pada hal yang sedang terjadi atau
pada saat tindakan sosial berlangsung; sarana menunjuk pada peranan
yang diambil bahasa dalam situasi tertentu baik tulis maupun lisan;
sedangkan pelibat menunjuk pada hubungan antara orang-orang yang turut
mengambil bagian.‟
Medan mengacu pada wilayah pemakaian kegiatan orang-orang yang
memiliki istilah atau ungkapan yang dimengerti oleh sesamanya. Pelibat
merupakan variasi bahasa yang dipergunakan antara pelaku bahasa, sedangkan
sarana dibedakan menjadi ragam lisan dan ragam bahasa tulis.
Crystal (dalam Biber dan Edward Fenegan, 1994:18) menjelaskan juga
mengenai pengertian register. Sebagaimana dijelaskan berikut.
Register is a language variety with respect its context of use or refers to a
variety of language defined accoding to its use in situations. „Register
adalah variasi bahasa berdasarkan konteks situasi atau variasi bahasa yang
dihubungkan menurut pemakaian di dalam situasi sosial.‟
Ferguson (dalam Douglas Biber dan Edward Fenegan, 1994:20)
menjelaskan register sebagai berikut.
A communication situational that recurs regularly in a society (in term of
participants, setting, communicative function, and so forth) will tend
overtime to develop identifying markers of language structure and
language use, different from the language of other communication
situations. „Situasi komunikasi yang terjadi berulang secara teratur dalam
satu suatu masyarakat (yang berkenaan dengan pelaku, tempat, fungsi-
fungsi komunikatif, dan seterusnya) sepanjang waktu cenderung akan
berkembang menandai struktur bahasa dan pemakaian bahasa, berbeda
dari pemakaian bahasa pada situasi-situasi komunikasi yang lainnya.‟
Ferguson menjelaskan bahwa orang yang terlibat dalam situasi komunikasi
secara langsung cenderung akan mengembangkan kosakata, ciri-ciri intonasi yang
sama, dan potongan-potongan ciri kalimat dan fonologi yang mereka gunakan
dalam situasi itu. Lebih lanjut dikatakannya bahwa ciri-ciri register yang demikian
20
itu akan memudahkan komunikasi yang cepat, sementara yang lain dapat
membina perasaan yang erat.
Untuk melakukan analisis terhadap register jual beli dan servis handphone
akan mengacu pada penerapan kerangka komprehensif analisis register.
Sebagaimana dijelaskan oleh Biber (1994:33) sebagai berikut.
Typical register have three components; description of the situational
characteristics of register, description of the linguistic characteristics, and
analysis of the functional or coventional associations between the
situational and linguistic features. “Register mempunyai tiga komponen:
deskripsi ciri situasi register, deksripsi ciri linguistik, dan analisis
fungsional dam konvensional sebagai gabungan dari ciri situasional dan
ciri linguistik.‟
Seperti yang digambarkan sebagai berikut.
FUNCTION
SITUATIONAL FEATURES and LINGUISTIC FORMS
CONVENTIONS
Studi register mempunyai empat ciri khusus seperti yang dikemukan oleh
Biber dan Atkinson (dalam Biber dan Edward Finegan, 1994:352) yaitu:
a. Studi register meliputi deskripsi analisis tentang wacana yang sebenarnya
terjadi,
b. Studi register bermaksud menggolongkan variasi bahasa,
c. Studi register mengenalkan ciri-ciri linguistik formal dari variasi bahasa,
dan
21
d. Studi register juga menganalisis ciri-ciri situasional dan variasi bahasa dan
fungsional atau konvensional yang berhubungan antara bentuk dan situasi
yang diposisikan.
Konsep register akan selalu berkaitan dengan konsep variasi bahasa karena
munculnya variasi bahasa sangat dimungkinkan oleh berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Dalam kaitannya dengan ini Hymes (dalam Dwi Purnanto,
2002:20) menyatakan bahwa pemilihan pemakaian register tidak hanya karena
adanya situasi tertentu yang menuntut penggunaan register, tetapi pemilihan
register juga turut menentukan situasi pemakaiannya.
Konsep Hymes itu setidak-tidaknya mengandung dua arah pemahaman,
yaitu munculnya variasi bahasa karena dipengaruhi oleh faktor situasi terentu dan
pemakaian variasi bahasa justru memastikan atau menyatakan situasi tertentu
(Purnanto, 2002:20).
Dengan berlandaskan teori Halliday, Hymes, Biber, dan Ferguson
pemakaian bahasa dalam aktivitas jual beli dan aksesoris handphone akan dibahas
mulai dari istilah yang berbentuk kata, frasa, klausa dan kalimat yang digunakan
oleh kelompok jual beli handphone dan aksesoris handphone.
4. Alih Kode
Menurut Suwito (1996:80) alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode
yang satu ke kode yang lain. Apabila ada seorang penutur mula-mula
menggunakan kode A dan kemudian beralih menggunakan kode B, maka
peristiwa peralihan pemakaian seperti itu disebut dengan alih kode (code-
22
switching). Alih kode merupakan salah satu aspek tentang saling ketergantungan
bahasa di dalam masyarakat multilingual.
Dalam alih kode penggunaan dua bahasa atau lebih itu ditandai oleh (a)
masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan
konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang
relevan dengan perubahan konteks. Tanda-tanda di atas kemudian disebut Kachru
(1965) sebagai ciri-ciri unit kontekstual (contextual units).
Suwito (1996:85) menjelaskan beberapa faktor yang merupakan penyebab
terjadinya alih kode antara lain.
1) Penutur
Seorang penutur yang kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode
terhadap lawan tuturnya karena sesuatu maksud.
2) Lawan Tutur
Setiap penutur pada umunya ingin mengimbangi bahasa yang
dipergunakan oleh lawan tuturnya.
3) Hadirnya Penutur Ketiga
Dua orang yang berasal dari kelompok etnik yang sama pada umumnya
akan saling berinteraksi dengan bahasa kelompok etnisnya. Tetapi apabila
kemudian hadir orang ketiga dalam pembicaraan itu, dan orang itu berbeda latar
kebahasaannya, biasanya dua orang yang pertama beralih kode ke bahasa yang
dikuasai oleh ketiganya.
23
4) Pokok Pembicaraan (Topik)
Apabila seorang penutur mula-mula berbicara tentang hal-hal yang
sifatnya formal, dan kemudian beralih ke masalah-masalah yang informal, maka
akan dibarengi pula dengan peralihan kode dari bahasa baku, gaya netral dan
serius ke bahasa tak baku, bergaya sedikit emosional atau humor dan serba
seenaknya.
5) Untuk Membangkitkan Rasa Humor
Alih kode sering dimanfaatkan penutur untuk membangkitkan rasa humor.
Alih kode yang demikian mungkin berwujud alih varian, alih ragam atau alih gaya
bicara.
6) Untuk Sekedar Bergengsi
Sebagian besar penutur ada yang beralih kode sekedar untuk bergengsi.
Alih kode demikian biasanya didasari oleh penilaian penutur bahwa bahasa yang
satu lebih tinggi nilai sosialnya dari bahasa yang lain.
5. Campur Kode
Aspek lain dari saling ketergantungan bahasa (language dependency)
dalam masyarakat multilungual adalah terjadinya gejala campur kode (code-
mixing). Suwito (1996:88) menjelaskan bahwa campur kode terjadi karena adanya
suatu gejala-gejala yang ditandai dengan adanya hubungan timbal balik antara
peranan dan fungsi kebahasaan. Dengan kata lain hubungan timbal balik antara
siapa yang menggunakan bahasa itu dengan apa yang hendak dicapai oleh penutur
dengan tuturannya.
24
Ciri lain dari gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau
variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai
tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan
secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi saja.
Dwi Purnanto (2002:27) menjelaskan bahwa campur kode dapat
diidentifikasi melalui ciri-cirinya, antara lain.
1) Adanya aspek saling ketergantungan yang ditandai oleh adanya timbal
balik antara peran dan fungsi kebahasaan. Peran adalah siapa yang
menggunakan bahasa itu dan fungsi merupakan tujuan apa yang hendak
dicapai oleh penutur.
2) Penggunaan bahasa lain yang tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri,
melainkan menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara
keseluruhan mendukung satu fungsi.
3) Campur kode dalam kondisi yang maksimal merupakan konvergensi
kebahasaan yang unsur-unsurnya berasal drai beberapa bahasa yang
masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi
bahasa yang disisipinya.
4) Pemakaian bentuk campur kode tertentu kadang-kandang bermaksud
untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya di dalam
masyarakat.
5) Wujud dan komponen kode tidak pernah berwujud kalimat, melainkan
hanya berwujud perulangan kata, frasa, idiom, bentuk baster, perulangan
kata dan klausa.
25
Kachru (dalam Suwito, 1996:89) memberikan batasan campur kode
sabagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur
bahasa yang satu ke dalam bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara
konsisten.
Lebih dalam dari itu, Thelander (dalam Suwito, 1996:89) berpendapat
bahwa unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam “peristiwa campur” (co-occurance)
itu terbatas pada tingkat klausa. Apabila dalam suatu tuturan terjadi percampuran
atau kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda di dalam satu klausa yang
sama, maka peristiwa itu disebut campur kode.
6. Fungsi Bahasa
Sudah banyak ahli bahasa yang telah mengemukakan pendapat mengenai
fungsi bahasa. Dimulai dari Malinowski yang membedakan hanya dua fungsi,
yaitu pragmatical dan magical. Kemudian muncul Karl Buhler yang membedakan
fungsi bahasa menjadi tiga. Pertama, bahasa ekspresif yaitu bahasa yang terarah
pada diri sendiri. Kedua, bahasa konatif yaitu bahasa yang terarah pada lawan
bicaranya. Ketiga, bahasa representasional yaitu bahasa yang terarah pada
kenyataan lainnya.
Kerangka Buhler kemudian diperluas oleh Roman Jacobson (dalam
Sudaryanto, 1990:12) yang menambahkan menjadi enam fungsi bahasa, yaitu (1)
fungsi referensial, pengacu pesan; (2) fungsi emotif, pengungkapan keadaan
pembicara; (3) fungsi konatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung
atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (4) fungsi metalingual,
26
penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan; (5) fungsi fatis, pembuka,
pembentuk, pemelihara hubungan atau pesan; (6) fungsi puitik.
Setiap fungsi tersebut bersejajar dengan faktor fundamental tertentu yang
memungkinkan bekerjanya bahasa. Fungsi referensial bersejajar dengan faktor
konteks atau referen, fungsi emotif bersejajar dengan faktor pembicara, fungsi
konatif bersejajar dengan faktor pendengar yang diajak bicara, fungsi metalingual
sejajar dengan faktor sandi atau kode, fungsi fatis sejajar dengan faktor konteks,
dan fungsi puitis sejajar dengan faktor amanat atau pesan.
Berikut adalah penjelasan fungsi bahasa menurut Roman Jacobson yang
disebutkan oleh Harimurti Kridalaksana dalam PELLBA 2 (1989:53-54).
Jacobson mengembangkan model organon dari Buhler, menemukan enam faktor
yang masing-masing sepadan dengan fungsi tertentu dalam bahasa. Fungsi emotif
atau ekspresif berpusat pada sikap, status, dan keadaan emosi pembicara. Fungsi
konatif berorientasi pada lawan bicara. Fungsi fatis istilah yang diambil dari
Malinowski bersangkutan dengan amanat yang bertujuan untuk menetapkan,
mengukuhkan, memperpanjang atau menghentikan komunikasi.
Oleh A. Teeuw (1988:53-54) dijelaskan fungsi fatis dimaksudkan potensi
bahasa sebagai alat untuk mengadakan komunikasi atau pun kontak dengan
sesama manusia, lepas dari sudut arti kata misalnya „Apa kabar?‟, yang terutama
berfungsi untuk mengadakan kontak. Fungsi referensial atau kognitif
bersangkutan dengan usaha kita untuk menggambarkan objek dan memberikannya
makna. Fungsi metalinguistik bersangkutan dengan usaha menggambarkan bahasa
itu sendiri sebagai kode.
27
Lebih lanjut A. Teeuw menjelaskan fungsi metalinguistik adalah fungsi
khas yang memungkinkan kita untuk berbicara mengenai bahasa dalam bahasa itu
sendiri, misalnya „Apakah terang dalam bahasa Indonesia merupakan kata benda
atau kata sifat?‟ Jadi dalam fungsi metalinguial sistem bahasa itu sendiri menjadi
objek komunikasi. Fungsi puitik berorientasi pada amanat sebagai amanat, dan
pada medium dengan segala aspeknya. Dengan fungsi ini bahasa menjadi sadar
akan evaluasi diri yang mengungkapkan struktur-struktur terpendam yang
terlewati dalam bahasa biasa.
Kemudian Leech menyedehanakan pandangan Jacobson menjadi lima
fungsi bahasa (Sudaryanto, 1990:13) yaitu fungsi (1) informasial, (2) ekspresif,
(3) direktif, (4) aestetik, dan (5) fatis. Masing-masing fungsi berkorelasi dengan
unsur utama situasi komunikatif, fungsi informasial dengan pokok masalah,
fungsi ekspresif dengan originator yaitu pembicaraan atau penulis, fungsi direktif
dengan penerima atau pendengar atau pembaca, fungsi aestetik dengan saluran
komunikasi antar mereka, fungsi fatis dengan pesan kebahasaan itu sendiri.
Berbeda dengan Leech yang menyederhanakan pandangan Jacobson
menjadi lima, Dell Hymes menambahkan fungsi bahasa menjadi tujuh. Dalam
Sudaryanto (1990:13) dijelaskan fungsi bahasa sosial bukan enam melainkan
tujuh, yaitu (1) fungsi ekspresif atau emotif, (2) fungsi direktif, konatif, atau
persuasif, (3) fungsi puitik, (4) fungsi kontak (fisik atau psikologis), (5) fungsi
metalinguistik, (6) fungsi referensial dan (7) fungsi kontekstual atau situasional.
Dari beberapa konsep fungsi bahasa yang telah dipaparkan di atas, peneliti
cenderung menggunakan fungsi bahasa dari Roman Jacobson yang bertumpu pada
fungsi emotif, fungsi konatif, fungsi referensial, dan fungsi metalingual untuk
28
menganalisis data dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan dalam jual beli
handphone dan servis handphone banyak ditemukan tuturan yang mementingkan
penutur dan mitra tutur.
29
C. Kerangka Pikir
Bahasa
Kelompok jual beli
handphone dan aksesoris
handphone
Rekaman percakapan
kelompok jual beli
handphone dan aksesoris
handphone dan tabloid
Fungsi emotif
Fungsi konatif
Fungsi referensial
Kontekstual
Register
Tuturan yang
mengandung
register kelompok
jual beli
handphone dan
aksesoris
handphone
Konteks
Tuturan tulis
Karakteristik
pemakaian
bahasa
kelompok jual
beli handphone
dan aksesoris
handphone
Kosakata khusus
penentu register
jual beli
handphone dan
aksesoris
handphone
Fungsi bahasa
Istilah asing
Singkatan
Sapaan
Hibrida
Kontraksi
Campur kode
Alih kode
Top Related