8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian ini membahas tentang, penerimaan orang tua terhadap anak
berkebutuhan khsus di SDLB Putra Jaya. Adapun beberapa penelitian yang
berkaitan dengan topik penerimaan Orang Tua sebagai berikut:
Pertama jurnal yang ditulis Novira Paradima 2016 yang berjudul
penerimaan diri pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus
menjelaskan bahwa penelitian tersebut bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
ketiga subjek memiliki penerimaan diri yang berbeda dalam menerima dan
menghadapi anak dengan berkebutuhan khusus. Pada subjek AS, memiliki
penerimaan diri yang positif karena subjek pasrah dengan keadaan anaknya
namun berusaha untuk memahami kondisi anaknya dan tidak malu dengan yang
kekurangan yang dimiliki oleh anaknya. Subjek kedua SL memiliki penerimaan
diri yang positif karena subjek dapat berusaha untuk ikhlas dan memahami
keadaan anaknya serta selalu mendukung segala kegiatan anak termasuk dalam
hal sekolah. subjek ketiga RS memiliki penerimaan diri yang negatif karena
subjek merasa kondisi anaknya tidaklah sesuai dengan harapannya dan subjek
selalu merasa malu dan takut ketika orang lain mengetahui kondisi anak subjek
yang memiliki gangguan perkembangan.
Kedua Berdasarkan jurnal dari Suparmi pada tahun 2016 yang berjudul
Nilai anak berkebutuhan khusus di mata orang tua. Berdasarkan hasil
9
penelitiannya bahwa orang tua menilai anak berkebutuhan khusus menilai
secara psikologis, religi, dan ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan tersebut di atas maka dapat dibuat simpulan bahwa nilai ABK di
mata orangtuanya adalah bagaimana cara orangtua menilai atau memaknai
kehadiran anak berkebutuhan khusus dalam kehidupannya.
Ketiga penelitian yang dilakukan oleh Rima Rizki Anggraini pada tahun
2013 yang berjudul persepsi orang tua terhadap Anak berkebutuhan khusus
Berdasarkan hasil analisis sebagian besar orangtua dapat menghilangkan cara
bersikap negatif kepada ABK. Seperti mengabaikan anak ABK, kurang memberi
perhatian, dan kasih sayang kepada anak, kurang berkomunikasi kepada anak,
dan lain-lain. Sikap orangtua yang seperti ini harus dihilangkan dengan cara
memberikan cukup waktu kepada anak, perhatian kepada anak, dan memberi
kasih sayang kepada anak, dan jika orangtua nya sibuk dalam pekerjaan beri lah
sedikit waktu untuk anak untuk bermain bersama dengan orangtua nya.
Berdasarkan hasil analisis data hampir sebagian orangtua sadar bahwa anaknya
tergolong dalam ABK, dan orangtua harus bisa menerima hambatan atau
kecacatan kepada anak. Karena kekurangan kepada anak kita itu adalah suatu
cobaan dari Sang Kuasa agar kita bisa menerima keadaan anak di dunia ini.
Sebagai orangtua harus bisa dapat membuka mata hati bahwa ABK itu adalah
anak mereka.
Keempat jurnal yang ditulis oleh Dwi Suswanti Anggarini dkk berjudul
“Studi fenomonologis tentng penerimaan Orang tua terhadap anak autis di SLB
Negeri Semarang” pada tahun 2011 hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
pengalaman orangtua dalam menerima anaknya yang autis ditunjukkan dari cara
10
mereka (orangtua) merawat anaknya layaknya anak – anak normal pada
umumnya, seperti memandikan, menyuapi, menemani belajar, serta mengajak
anak bermain. Adapun kendala mereka (orangtua) dalam merawat anaknya yang
autis, antara lain perilaku hiperaktif anak yang kadang tidak dapat dikendalikan,
terbatasnya sarana terapi, serta kondisi financial keluarga yang kurang
mendukung. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan dalam merawat
anaknya yang autis tersebut, orangtua lebih memperhatikan diit (diit khusus anak
autis) untuk mengurangi perilaku hiperaktif anak dan orangtua akan selalu
berpikir secara kreatif dalam menciptakan sesuatu yang baru untuk
mengoptimalkan upaya penyembuhan sebagai bentuk kasih sayang dan
perhatian mereka terhadap anaknya yang autis.
Hasil penelitian diatas, memiliki persamaan dan perbedaan dengan
penelitian yang akan diteliti. Persamaan penelitian ini dengan yang dilakukan
oleh peneliti yaitu sama-sama melakukan penelitian yang berkaitan dengan
Anak berkebutuhan khusus. Sedangkan perbedaannya yaitu:
1. Pertama penelitian yang dilakukan oleh Novira Paradima terfokus pada
fenomena tentang anak berkebutuhan khusus.
2. Kedua penelitian yang dilakukan oleh Suparmi terfokus pada orang tua
menilai anak berkebutuhan khusus menilai secara psikologis, religi, dan
ekonomi.
3. Ketiga penelitian oleh Rima Rizki Anggraini terfokus pada menghilangkan
cara bersikap negatif pada ABK
4. Keempat penelitian oleh Dwi suswanti Anggraini dkk terfokus pada
pengalaman orangtua dalam menerima anaknya yang autis.
11
B. Konsep Penerimaan diri
a. Pengertian Penerimaan Diri
Menurut Chaplin (dalam penelitian Ridha 2012) penerimaan diri
adalah sikap yang menunjukkan rasa puas pada kualitas dan potensi, serta
pengakuan akan keterbatasan yang dimilikinya. Individu yang menerima
diri, terbebas dari rasa bersalah, malu, dan rendah diri karena keterbatasan
yang dimiliki. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa penerimaan
diri diawali dengan proses persepsi. (Walgito, 2010, hal. 99) menyatakan
bahwa persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses
penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu
melalui alat indera atau proses sensoris,namun proses itu tidak berhenti
begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya
merupakan proses persepsi,dalam hal ini menunjukkan bahwa penerimaan
diri diawali dengan melihat bagaimana keadaan sekitar.
b. Faktor-Faktor Penerimaan Diri
Menurut Hurlock (dalam pancawati 2013), menyatakan bahwa
penerimaan diri orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang
seorang anak. Penerimaan diri orang tua didalam pengertian hurlock
menerangkan berbagai macam sikap khas orang tua terhadap anak. Sikap
orang tua terhadap anak mereka merupakan hasil belajar. Banyak faktor
yang memperngaruhi sikap orang tua terhadap anak yaitu:
a) Konsep anak idaman
12
b) Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua terhadap
anaknya
c) Nilai budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak
d) Orang tua mempunyai peran , merasa bahagia dan mempunyai
penyesuaian yang baik terhadap perkawinan akan mencerminkan
penyesuaian yang baik pada anak.
e) Apabila orang tua merasa mampu berperan sebagai orang tua, sikap
mereka terhadap anak dan perilakunyalebih baik dibandingkan sikap
mereka yang merasa kurang mampu dan ragu-ragu.
f) Kemampuan dan kemauan untuk menyesuaikan diri
g) Alasan memiliki anak
c. Dampak Penerimaan diri
Menurut Hurlock (Wibowo, 2010) membagi dampak penerimaan
diri menjadi dua kategori:
a) Dalam penyesuaian diri
Orang yang memiliki penerimaan diri, mampu mengenali kelebihan
dan kekurangannya. Individu yang mampu menerima dirinya biasanya
memiliki keyakinan diri (self confidence) dan harga diri (self esteem).
Selain itu mereka juga lebih dapat menerima kritik demi perkembangan
dirinya. Penerimaan diri yang disertai dengan adanya rasa aman untuk
mengembangkan diri ini memungkinkan seseorang untuk menilai dirinya
secara lebih realistis sehingga dapat menggunakan potensinya secara
efektif. Penilaian yang realistis terhadap diri sendiri, membuat individu
13
akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura, merasa puas dengan menjadi
dirinya sendiri tanpa ada keinginan untuk menjadi orang lain.
b) Dalam penyesuaian sosial
Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan pada
orang lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk
menerima orang lain, memberikan perhatiannya pada orang lain, serta
menaruh minat terhadap orang lain, seperti menunjukan rasa empati dan
simpati. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat
melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang
yang merasa rendah diri sehingga mereka cenderung berorientasi pada
dirinya sendiri (self oriented). Ia dapat mengatasi keadaan emosionalnya
tanpa mengganggu orang lain, serta toleran dan memiliki dorongan untuk
membantu orang lain.
C. Konsep Orang Tua
Orang tua merupakan orang yang lebih tua atau orang yang dituakan.
Namun umumnya di masyarakat pengertian orang tua itu adalah orang yang
telah melahirkan kita yaitu Ibu dan Bapak. Karena orang tua adalah pusat
kehidupan rohani anak, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya
dikemudian adalah hasil dari ajaran orang tuanya tersebut. Sehingga orang
tua memegang peranan yang penting dan amat berpengaruh atas pendidikan
anak-anak. (Wahid, 2015).
Dalam keluarga, ayah adalah penanggung jawab dalam
perkembangan anak-anaknya, baik secara fisik maupun secara psikis. Tugas
14
ayah adalah memenuhi kebutuhan secara fisik seperti makan, minum,
sandang dan sebagainya, ayah juga dituntun agar aktif dalam membina
perkembangan pendidikan pada anak. Seorang Anak biasanya memandang
ayahnya sebagai orang yang tertinggi prestasinya, sehingga seorang ayah
dijadikan sebagai pimpinan yang sangat patut untuk dijadikan cermin bagi
anaknya atau dengan kata lain ayah merupakan figur yang terpandai dan
berwibawa. Dengan demikian, Setiap perilaku ayah merupakan contoh
dorongan bagi anak untuk mengikutinya.
Adapun peran ibu dalam mendidikan anak sangat besar, bahkan
mendominasi. Pendidikan seorang ibu terhadap anaknya merupakan
pendidikan dasar yang tidak dapat diabaikan sama sekali. Baik buruknya
pendidikan seorang ibu terhadap anaknya akan berpengaruh besar terhadap
perkembangan dan watak anaknya dikemudian hari. Peranan ibu dalam
pendidikan anak-anaknya adalah sumber dan pemberi rasa kasih sayang,
pen- gasuh dan pemelihara, tempat mencurahkan isi hati, pengatur
kehidupan dalam rumah tangga, pendidik dalam segi-segi emosional.
D. Anak Berkebutuhan Khusus
a) Definisi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus memiliki makna dan spektrum yang
luas. Dalam paradigma pendidikan berkebutuhan khusus, keberagaman
amat dihargai. Setiap anak memiliki perbedaan kehidupan budaya dan
perkembangan lahiriah yang berbeda-beda sehingga dalam pribadi anak
dimungkinkan terdapat kebutuhan khusus dan hanbatan belajar yang
15
berbeda. Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai anak dengan
karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu
menunjukkan pada ketidakmampuan mental ,emosi atau fisik. Hal ini juga
telah ditegaskan dalam undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem pendidikan nasional terutama pasal 5 ayat (2) bahwa warga negara
yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial
berhak memperoleh pendidikan khusus dan pada pasal 32 ayat (1) bahwa
pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan
fisik, emosional, mental, sosial, dan memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa.
Anak berkebutuhan khusus memang didesain memiliki keunikan
tersendiri. Pemahaman menyeluruh harus dimiliki setiap orang tua maupun
pendidik ABK. Poin utama cara berkomunikasi harus diperhatikan. ABK
dengan keterbatasan fisik akan berbeda pola komunikasinya dengan ABK
yang memiliki keterbatasan mental. Dalam banyak hal, karakteristik unik
sering menimbulkan ketidaksabaran orangtua maupun pendidik. Namun,
jika ketidaksabaran itu tidak manage dan dipahami dengan baik, alih alih
ABK bisa berkembang, yang ada justru malah menimbulkan masalah baru
terutama kejiwaanya. (Pratiwi & Murtiningsih, 2013, hal. 14)
b) Klasifikasi Anak Berkebutuhan khusus
Anak berkebutuhan khusus dikategorikan menjadi dua bagian yaitu:
1. Anak Berkebutuhan khusus bersifat sementara
Anak yang mengalami kesulitan belajar dan hambatan
16
perkembangan yang disebabkan oleh faktor-faktor eksternal.Contohnya
anak yang mengalami gangguan emosi karena trauma akibat diperkosa
sehingga menyebabkan anak tersebut mengalami kesulitan
belajar.pengalaman trauma seperti itu hanya bersifat sementara tetapi
apabila anak tersebut tidak memperoleh penanganan yang tepat akan
menjadi permanen.Anak tersebut harus memerlukan pelayanan
pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuikan dengan
hambatan yang dialami.
2. Anak Berkebutuhan Khusus bersifat menetap/permanen
Anak yang mengalami kesulitan belajar dan hambatan
perkembangan yang bersifat internal dan disebabkan oleh kondisi
kecacatan,seperti terganggunya penglihatan,pendengaran, gangguan
perkembangan, kecerdasan, gangguan gerak(motorik), gangguan
komunikasi, interaksi,gangguan emosi,tingkah laku dan sosial antar
warga sekitar.dengan kata lain.Anak berkebutuhan khusus yang bersifat
permanen sama dengan penyandang kecacatan.(Sri Winarsi dkk 2013).
c) Jenis-Jenis Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus mempunyai bermacam-macam
karakteristik,ABK memliki spektrum atau jangkauan yang luas yang bukan
hanya terdiri dari anak-anak cacat. Yang termasuk Anak berkebutuhan
khusus antara lain: tuna netra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, autisme, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak
berbakat, hiperaktif, ADHD, dan indigo.
17
a. Tunanetra
Tunanetra merupakan salah satu klasifikasi bagi anak yang memiliki
kebutuhan khusus dengan ciri adanya hambatan pada indera penglihatan,
penyandang tunanetra secara potensi kecerdasan bisa jadi sama dengan
orang normal. Namun, karena keterbatasan yang dimiliki menjadikannya
tidak mampu mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki olehnya.
Anggapan masyarakat umum terhadap tunanetra biasanya lebih
mengarah pada orangbuta atau tidak bisa melihat sama sekali. Padahal
ada beberapa kriteria yang memungkinkan seseorang dianggap
tunanetra, antara lain ketajaman penglihatan yang kurang, yakni
seseorang tidak bisa melihat gerakan tangan pada jarak kurang dari satu
meter. (Pratiwi & Murtiningsih, 2013, hal. 18).
Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan
pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan
harus bersifat tactual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan
braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. Sedangkan media
yang bersuara adalah tape recorder. Adapun ciri-ciri anak yang
mengalami tuna netra adalah sebagai berikut:
Tidak mampu melihat
Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter
Kerusakan nyata pada kedua bola mata
Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan
Mengalami kesulitan mengambil benda kecil didekatnya
18
Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/bersisik/kering
Pandangan hebat pada kedua bola mata
Mata yang bergoyang terus
b. Tunagrahita
Tunagrahita adalah anak berkebutuhan khusus yang memiliki
keterbelakangan dalam intelegensi, fisik, emosional, dan sosial yang
membutuhkan perlakuan khusus supaya dapat berkembang pada
kemampuan yang maksimal. Tunagrahita merupakan ialah sebutan
dengan anak hendaya atau penurunan kemampuan atau berkurangnya
kemampuan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas, dan kuantitas yang
mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Tunagrahita
mempunyai kelainan mental, atau tingkah laku akibat kecerdasan yang
terganggu.(Dinie Ratri 2016:16).
Tunagrahita dapat berupa cacat ganda, yaitu cacat mental yang
dibarengi dengan cacat fisik. Misalnya cacat intelegensi yang mereka
alami disertai dengan kelainan penglihatan (cacat mata). Ada juga yang
disertai dengan gangguan pendengaran. Tidak semua anak tunagrahita
memiliki cacat fisik. Contohnya pada tunagrahita ringan. Masalah
tunagrahita ringan lebih banyak pada kemampuan daya tangkap yang
kurang.
c. Tunawicara
Tunawicara adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian
daya pendengarannya sehingga mengalami gangguan berkomunikasi
secara verbal. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu
19
tunawicara memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa
disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan
bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional
sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. Individu
tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu
yang abstrak.(Dwi Prsetyo dkk 2015).
Ciri-ciri anak tunawicara adalah sebagai berikut:
Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar.
Banyak perhatian terhadap getaran.
Terlambat dalam perkembangan bahasa.
Tidak ada reaksi terhadap bunyi atau suara.
Terlambat perkembangan bahasa.
Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi.
Kurang atau tidak tanggap dalam diajak bicara.
Ucapan kata tidak jelas, kualitas suara aneh/monoton.
d) Tunadaksa
Tundaksa/cacat fisik adalah sebutan bagi orang yang mengalami
kesulitan mengoptimalkan fungsi tubuhnya karena faktor bawaan sejak
lahir. Gangguan yang dialami menyerang kemampuan motorik mereka
.gangguan yang terjadi mulai dari gangguan otot, tulang, sendi, dan atau
sistem saraf yang mengakibatkan kurang optimalnya fungsi komunikasi,
mobilitas, sosialisasi, dan perkembangan keutuhan pribadi. (Pratiwi &
Murtiningsih, 2013, hal. 38)
Ciri-ciri anak tunadaksa adalah:
20
Anggota gerak tubuh/kaku/lemah/lumpuh
Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna,tidak lentur/tidak
terkendali)
Terdapat bagian anggot gerak yang tidak lengkap/tidak
sempurna/lebih kecil daribiasa
Terdapat cacat pada alat gerak
B. Konsep Pembentukan sikap
Konsep pembentukan sikap bukan merupakan suatu pembawaan, melainkan
hasil interaksi antara individu dengan lingkungan sehingga sikap bersifat
dinamis. Faktor pengalaman besar peranannya dalam pembentukan sikap.Sikap
dapat pula dinyatakan sebagai hasil belajar, karena sikap dapat mengalami
perubahan. Sesuai yang dinyatakan oleh Sherif bahwa sikap dapat berubah
karena kondisi dan pengaruh yang diberikan. Sebagai hasil dari belajar sikap
tidaklah terbentuk dengan sendirinya karena pembentukan sikap senantiasa akan
berlangsung dalam interaksi manusia berkenaan dengan objek tertentu.
Lebih tegas, menurut Bimo Walgito bahwa pembentukan dan perubahan
sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu:
1. Faktor Internal (individu itu sendiri), yaitu cara individu dalam menanggapi
dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang akan datang
diterima atau ditolak.
2. Faktor Eksternal, yaitu keadaan-keadaan yang ada diluar individu yang
merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap.
Sementara itu Mednick, Higgins & Kirschenbaum menyebutkan bahwa
21
pembentukan sikap dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:
a. Pengaruh sosial, seperti norma dan kebudayaan
b. Karakter kepribadian individu
c. Informasi yang selama ini diterima individu.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembentukan dan
perubahan sikap pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor yang ada dalam
diri individu dan faktor diluar diri individu yang keduanya saling
berinteraksi. Proses ini akan berlangsung selama perkembangan
individu. Dalam paparan berikutnya akan dibahas teori-teori yang
menjelaskan bagaimana sikap itu bentuk dan diperoleh. dalam
(Dayaksini & Hudaniah, 2015, hal. 86)
a. Fungsi Sikap
Menurut Katz dalam buku (Wawan & Dewi, 2010, hal. 23) sikap
mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
1. Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat
Fungsi berkaitan dengan sarana dan tujuan.Orang memandang
sejauh mana obyek sikap dapat digunakan sebagai sarana atau alat dalam
rangka mencapai tujuan. Bila obyek sikap dapat membantu seseorang
dalam mencapai tujuannya, maka orang akan bersifat positif terhadap
obyek tersebut. Demikian sebaliknya obyek sikap menghambat
pencapaian tujuan, maka orang akan bersikap negatif terhadap sikap yang
bersangkutan.
2. Fungsi pertahanan ego
Fungsi ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang untuk
22
mempertahankan ego atau akunya.Sikap ini diambil oleh seseorang pada
waktu orang yang bersangkutan terancam keadaan dirinya atau egonya.
3. Fungsi ekspresi nilai
Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu
untuk mengekspresikan nilai yang ada pada dirinya. Dengan
mengekspresikan diri seseorang akan mendapatkan kepuasan dapat
menunjukkan kepada dirinya. Dengan individu mengambil sikap
tertentu akan menggambarkan keadaan sistem nilai yang ada pada
individu yang bersangkutan.
4. Fungsi Pengetahuan
Individu mempunyai dorongan untuk ingin mengerti dengan
pengalaman-pengalamannya, ini berarti bila seseorang mempunyai sikap
tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan tentang pengetahuan orang
terhadap suatu objek sikap yang bersangkutan.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap
Proses belajar sosial terbentuk dari interaksi sosial. Dalam interaksi
sosial, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek
psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi
pembentukan sikap adalah:
1. Pengalaman pribadi. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap,
pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu,
sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut
melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi,
penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama
23
berbekas.
2. Orang lain yang dianggap penting. Pada umumnya, individu bersikap
konformis atau searah dengan sikap orang orang yang dianggapnya
penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk
berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang
dianggap penting tersebut.
3. Media massa. Sebagai sarana komunikasi, berbagai media massa seperti
televisi, radio, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan
kepercayaan orang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal
memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal
tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa informasi tersebut, apabila
cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam mempersepsikan dan
menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
4. Institusi Pendidikan dan Agama. Sebagai suatu sistem, institusi pendidikan
dan agama mempunyai pengaruh kuat dalam pembentukan sikap
dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral
dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah
antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari
pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
5. Faktor emosi dalam diri. Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi
lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu
bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang
berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian bersifat sementara dan segera
24
berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap
yang lebih persisten dan lebih tahan lama. contohnya bentuk sikap yang
didasari oleh faktor emosional adalah prasangka. (M.Sultan Almaudidi
2016)
Sumber: https://msultanalmaududi.wordpress.com/2016/10/13/26proses-
terbentuknya-sikap-dan-tingkah-lakuperilaku/ )
C. Hak Anak
a. UUD 1945 (Amandemen)
Pasal 31 ayat (1) : “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” ayat
(2): “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.”
Pasal ini merupakan dasar penyelenggaraan pendidikan Indonesia
dimana penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan secara adil dan merata
tanpa memandang latar belakang keadaan jasmaniah dan rohaniah peserta
didik. Dalam kajian tentang hak anak berkebutuhan khusus, anak
berkebutuhan khusus (selanjutnyadinamakan anak ABK) berhak
memperoleh pendidikan yang layak sesuai dengan potensi yang dimilikinya
dimana biaya penyelenggaraan pendidikan khusus tersebut ditanggung oleh
pemerintah.
b. UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
Pasal 5: “Setiap penyandang cacat mempunyai dan kesempatan yang sama
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”.
Dalam pasal ini menegaskan bahwa setiap penyandang cacat tidak
25
memandang siapapun dia mempunyai kesempatan yang sama baik dalam
bidang pendidikan, kesehatan sosial, kesejahteraan, keamanan, maupun
bidang lainnya, sehingga menjadi generasi generasi penerus yang handal.
26
Top Related