5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Struktur Rangka Dinding Pengisi
Dalam berbagai sistem struktur, baik menggunakan bahan beton bertulang, baja
maupun komposit, selalu ada komponen (sub sistem) yang dapat dikelompokkan
dalam sistem yang digunakan untuk menahan gaya gravitasi dan sistem untuk
menahan gaya lateral. Hal yang penting pada struktur bangunan tinggi adalah
stabilitas dan kemampuannya untuk menahan gaya lateral, baik yang disebabkan oleh
angin atau gempa bumi. Beban angin lebih terkait pada dimensi ketinggian bangunan,
sedangkan beban gempa lebih terkait pada massabangunan. Kolom pada bangunan
tinggi perlu diperkokoh dengan sistem pengaku untuk dapat menahan gaya lateral,
agar deformasi yang terjadi tidak melampaui ketentuan yang disyaratkan. Pengaku
gaya lateral yang lazim digunakan adalah portal penahan momen, dinding geser atau
rangka pengaku, dan dinding pengisi.
Struktur rangka beton bertulang dengan dinding pengisi adalah struktur yang
memperhitungkan kontribusi kekakuan dan kekuatan dinding pengisi pada struktur
rangka beton bertulang untuk ikut memikul beban lateral akibat gempa. Namun, saat
ini sebagian besar struktur rangka yang ada direncanakan hanya memperhitungkan
dinding pengisi sebagai beban gravitasi saja tanpa mempertimbangkan keberadaan
dinding pengisi untuk ikut memikul beban gempa (komponen non-struktur).
6
Indonesian Earthquake Study (1981) menjabarkan keberadaan dinding pengisi
yaitu diabaikan dan dianggap sebagai pembantu dalam ketahanan lateral terhadap
beban gempa. Anggapan bahwa dinding pengisi diabaikan yaitu jika dinding terletak
simetris pada struktur sehingga torsi yang terjadi tidak besar dan tidak perlu
diperhitungkan dalam struktur. Akibat adanya anggapan pengabaian terhadap
keberadaan dinding pengisi adalah pengurangan periode natural yang disebabkan
perubahan respon global dari struktur, peningkatan gaya geser yang dapat
mengakibatkan kegagalan struktur, perubahan respon torsi bila panel pengisi tidak
simetri dan keruntuhan soft-storey yang terjadi karena pendistribusian yang tidak
seragam sepanjang tinggi struktur.
Prinsip utama disain tahan gempa yaitu mengurangi penggunaan massa yang
tidak diperlukan (Bertero dan Brokken,1983). Massa tersebut dapat tetap digunakan
dalam disain dengan ketentuan bahwa massa memiliki kontribusi dalam menahan
beban seismik. Pengaruh penambahan massaakibat adanya panel pengisi pada
periode bangunan sangat kecil dan peningkatan kekakuan lateral pada struktur rangka
lebih penting daripada penambahan massa. Maka penggunaan dinding pengisi
sebaiknya diperhitungkan sebagai elemen struktur untuk menahan gaya gempa.
Pada Murty,etal (2009)menyebutkan dinding pengisi dari bata berperilaku seperti
batang diagonal tekan dan menambah kekakuan dari struktur rangka beton bertulang
pada suatu bangunan. Penambahan kekakuan tergantung dari ketebalan dinding dan
jumlah panel struktur rangka yang mempunyai dinding bata pengisi. Penambahan
kekakuan pada bangunan yang diakibatkan oleh adanya dinding pengisi
7
akanmengurangi kemampuan struktur rangka untuk melentur dan berdeformasi. Pada
struktur rangka daktail beton bertulang, dinding pengisi dari bata akan menghalangi
elemen utama struktur (seperti kolom dan balok) untuk berperilaku daktail,
sebaliknya beberapa struktur memperlihatkan perilaku yang getas (tidak daktail). Ini
akan mencapai puncaknya dalam suatu keruntuhan yang tiba- tiba dan sangat
dramatis.
Besarnya kekakuan struktur dengan dinding pengisi belum dapat dipastikan
sampai saat ini sehingga deformasi yang terjadi dihitung berdasarkan pendekatan
analisis portal dengan diagonal brasing atau ekivalendiagonal strut. Selain itu
perkembangan ilmu dan teknologi memberikan kontribusi untuk melakukan
pemodelan struktur dengan dinding pengisi menggunakan metode elemen hingga
sehingga diharapkan dapat diperoleh hasil analisis struktur portal dengan dinding
pengisi.
2.2 Karakteristik Material
2.2.1 Beton
1. Modulus elastisitas
Nilai modulus elastisitas beton (𝐸𝐸𝑐𝑐) ditentukan menurut SNI 03-2847-
2013/SNI Beton pasal 8.5.1 sebagai berikut:
𝑬𝑬𝒄𝒄 = 𝒘𝒘𝒄𝒄𝟏𝟏,𝟓𝟓 𝟎𝟎,𝟎𝟎𝟎𝟎𝟎𝟎 �𝒇𝒇𝒄𝒄′ (2.1)
dimana:
8
𝐸𝐸𝑐𝑐 = modulus elastisitas beton
w𝑐𝑐 = berat volume beton
𝑓𝑓𝑐𝑐′ = kuat tekan puncak beton
2. Hubungan tegangan-regangan
Mander,et al(1984) mengusulkan hubungan tegangan-regangan parametrik
beton terdiri dari dua bagian, yaitu bagian lengkung (curved) dan bagian lurus
(linear), seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.1.
Persamaan untuk bagian lengkung (𝜀𝜀𝑐𝑐≤ 2𝜀𝜀𝑐𝑐′ ):
𝒇𝒇𝒄𝒄 = 𝒇𝒇𝒄𝒄′ 𝒙𝒙𝒙𝒙𝒙𝒙−𝟏𝟏+𝒙𝒙𝒙𝒙
(2.2)
dengan:
𝒙𝒙 = 𝜺𝜺𝒄𝒄𝜺𝜺𝒄𝒄′
(2.3)
𝒙𝒙 = 𝑬𝑬𝒄𝒄
𝑬𝑬𝒄𝒄−�𝒇𝒇𝒄𝒄′
𝜺𝜺𝒄𝒄′� (2.4)
Persamaan untuk bagian lurus (2𝜀𝜀𝑐𝑐′<𝜀𝜀𝑐𝑐≤ 𝜀𝜀𝑢𝑢 ):
𝒇𝒇𝒄𝒄 = � 𝟐𝟐 𝒇𝒇𝒄𝒄′ 𝒙𝒙𝒙𝒙−𝟏𝟏+𝟐𝟐𝒙𝒙
� � 𝜺𝜺𝒖𝒖−𝜺𝜺𝒄𝒄𝜺𝜺𝒖𝒖−𝟐𝟐𝜺𝜺𝒄𝒄′
� (2.5)
dimana:
𝑓𝑓𝑐𝑐 = tegangan beton
𝜀𝜀𝑐𝑐 = regangan beton
𝜀𝜀𝑐𝑐′ = regangan beton saat kuat tekan puncak (𝑓𝑓𝑐𝑐′ )
9
𝜀𝜀𝑢𝑢 = regangan ultimit beton
Gambar 2.1 Bentuk kurva tegangan-regangan untuk beton
sumber: Mander et al. (1988)
2.2.2 Pasangan Dinding Bata
1. Modulus elastisitas
FEMA-356 merekomendasikan nilai modulus elastisitas (𝐸𝐸𝑚𝑚 ) untuk pasangan
dinding bata sebagai berikut:
𝑬𝑬𝒎𝒎 = 𝟓𝟓𝟓𝟓𝟎𝟎𝒇𝒇𝒎𝒎′ (2.6)
dimana:
𝐸𝐸𝑚𝑚 = modulus elastisitas pasangan dinding bata
𝑓𝑓𝑚𝑚′ = kuat tekan puncak pasangan dinding bata
2. Poisson’s ratio
10
Poisson’s ratio adalah perbandingan regangan arah lateral dengan regangan
arah longitudinal dan dinyatakan dengan huruf Yunani ν (nu). Chen
(2003)merekomendasikan nilai poisson’s ratio untuk pasangan dinding bata
sebesar 0,15.
3. Kuat geser
Menurut Grimn (1975), nilai untuk kuat geser dari pasangan dinding bata (τ)
berkisar antara 410 kN/m2 sampai 4690 kN/m2.
4. Kuat tarik diagonal
Grimn (1975) merekomendasikan persamaan berikut yang digunakan untuk
memperkirakan kuat tarik diagonal dari pasangan dinding bata (𝑓𝑓𝑑𝑑𝑑𝑑 ):
𝒇𝒇𝒅𝒅𝒅𝒅 = 𝒌𝒌�𝒇𝒇𝒎𝒎′ (2.7)
dimana:
𝑓𝑓𝑑𝑑𝑑𝑑 = kuat tarik diagonal dari pasangan dinding bata, dalam satuan psi
𝑘𝑘 = faktor konstanta, yang nilainya berkisar antara 2,5 sampai 4,5
𝑓𝑓𝑚𝑚′ = kuat tekan puncak pasangan dinding bata, dalam satuan psi
5. Hubungan tegangan-regangan
Kaushik, et al(2007) mengusulkan hubungan tegangan-regangan parametrik
pasangan dinding bata terdiri dari dua bagian, yaitu bagian lengkung
(parabolic variation) dan bagian lurus (linear variation), seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 2.2.
11
Gambar 2.2 Bentuk kurva tegangan-regangan untuk pasangan dinding bata
sumber: Kaushik, et al(2007)
Pada bagian lengkung digunakan persamaan kurva hingga 𝑓𝑓𝑚𝑚′ turun
sampai 90%, yang kemudian berlaku persamaan linier hingga 𝑓𝑓𝑚𝑚′ turun sampai
20%. Untuk mortar tanpa kapur, persamaan linier digunakan hingga regangan
mencapai 2𝜀𝜀𝑚𝑚′ , atau dari titik awal {𝜀𝜀𝑚𝑚@0,9𝑓𝑓𝑚𝑚′ , 0,9𝑓𝑓𝑚𝑚′ } hingga titik akhir
{2𝜀𝜀𝑚𝑚′ , 0,2𝑓𝑓𝑚𝑚′ }. Sedangkan untuk mortar dengan kapur, persamaan linier
digunakan hingga regangan mencapai 2,75𝜀𝜀𝑚𝑚′ , atau dari titik awal {𝜀𝜀𝑚𝑚@0,9𝑓𝑓𝑚𝑚′
, 0,9𝑓𝑓𝑚𝑚′ } hingga titik akhir {2,75𝜀𝜀𝑚𝑚′ , 0,2𝑓𝑓𝑚𝑚′ }.
Persamaan untuk bagian lengkung (𝑓𝑓𝑚𝑚≤ 0,9𝑓𝑓𝑚𝑚′ ):
12
𝒇𝒇𝒎𝒎𝒇𝒇𝒎𝒎′
= 𝟐𝟐 𝜺𝜺𝒎𝒎𝜺𝜺𝒎𝒎′− �𝜺𝜺𝒎𝒎
𝜺𝜺𝒎𝒎′�𝟐𝟐 (2.8)
Persamaan untuk bagian lurus (0,9𝑓𝑓𝑚𝑚′ <𝑓𝑓𝑚𝑚≤ 0,2𝑓𝑓𝑚𝑚′ ):
mortar tanpa kapur (𝜀𝜀𝑚𝑚@0,9𝑓𝑓𝑚𝑚′ <𝜀𝜀𝑚𝑚 ≤ 2𝜀𝜀𝑚𝑚′ ):
𝒇𝒇𝒎𝒎−𝟎𝟎,𝟗𝟗𝒇𝒇𝒎𝒎′
𝟎𝟎,𝟐𝟐𝒇𝒇𝒎𝒎′ −𝟎𝟎,𝟗𝟗𝒇𝒇𝒎𝒎′=
𝜺𝜺𝒎𝒎−𝜺𝜺𝒎𝒎@𝟎𝟎,𝟗𝟗𝒇𝒇𝒎𝒎′
𝟐𝟐𝜺𝜺𝒎𝒎′ −𝜺𝜺𝒎𝒎@𝟎𝟎,𝟗𝟗𝒇𝒇𝒎𝒎′ (2.9)
mortar dengan kapur (𝜀𝜀𝑚𝑚@0,9𝑓𝑓𝑚𝑚′ <𝜀𝜀𝑚𝑚 ≤ 2,75𝜀𝜀𝑚𝑚′ ):
𝒇𝒇𝒎𝒎−𝟎𝟎,𝟗𝟗𝒇𝒇𝒎𝒎′
𝟎𝟎,𝟐𝟐𝒇𝒇𝒎𝒎′ −𝟎𝟎,𝟗𝟗𝒇𝒇𝒎𝒎′=
𝜺𝜺𝒎𝒎−𝜺𝜺𝒎𝒎@𝟎𝟎,𝟗𝟗𝒇𝒇𝒎𝒎′
𝟐𝟐,𝟕𝟕𝟓𝟓𝜺𝜺𝒎𝒎′ −𝜺𝜺𝒎𝒎@𝟎𝟎,𝟗𝟗𝒇𝒇𝒎𝒎′ (2.10)
dimana:
𝑓𝑓𝑚𝑚 = tegangan pasangan dinding bata
𝜀𝜀𝑚𝑚 = regangan pasangan dinding bata
𝜀𝜀𝑚𝑚′ = regangan pasangan dinding bata saat kuat tekan puncak (𝑓𝑓𝑚𝑚′ )
𝜀𝜀𝑚𝑚@0,9𝑓𝑓𝑚𝑚′ = regangan pasangan dinding bata saat 0,9𝑓𝑓𝑚𝑚′
2.3 Perilaku Struktur Rangka dengan Dinding Pengisi akibat Beban Lateral
Struktur rangka dengan dinding pengisi merupakan struktur dengan perilaku
komposit. Dalam menahan gempa, kekakuan lateral dan kekuatan dari struktur
tersebut sangat bergantung dari sifat-sifat struktur rangka, dinding pengisi, dan
kekakuan relatif kedua komponen tersebut. Selain dapat meningkatkan kekakuan,
aksi bracing in-plane pada masonry juga dapat mengurangi deformasi lateral dan
mengubah perilaku dinamis. Hal tersebut karena sistem tersebut mampu
13
memencarkan energi melalui friksi dan slip pada pertemuan struktural.Priesley dan
Calvi dalam Crisafulli (1997)
menyatakan retak akibat tarik diagonal merupakan kegagalan struktur. Dikatakan
sebagai kegagalan struktur karena dikhawatirkan dinding tersebut runtuh akibat beban
muka.
Peninjauan terhadap kekuatan geser dan kekuatan tarik dinding pengisi diperlukan
saat dinding dibebani gaya lateral akibat gempa. Perilaku panel pengisi dipengaruhi
oleh respon getas unit masonry terhadap beban tarik dan kekuatan mortar. Karena
itumode keruntuhan yang biasanya terjadi adalah :
1. Keruntuhan geser friksi, yaitu kegagalan dinding pengisi akibat ketidaklekatan
atau geser pada bed joint yang terjadi pada tingkat tegangan normal rendah.
Keretakan akan timbul secara bertahap seperti Gambar 2.3.(a).
2. Kegagalan diagonal tarik terjadi pada tegangan normal yang cukup tinggi.
Keretakan terjadi pada head joint dan melalui bata tampak pada Gambar 2.3.(b).
3. Kegagalan diagonal tekan akibat timbul tegangan normal yang sangat tinggi bila
dibandingkan dengan tegangan geser.
14
(a) (b)
Gambar 2.3 (a) Keretakan Diagonal Bertahap ; (b) Kegagalan Geser
Sumber : Crisafulii (1997)
Adapun hal-hal yang mempengaruhi kegagalan yang terjadi pada dinding
antara lain rasio tinggi dan lebar panel pengisi, kekuatan lekatan geser (bond shear
strength), friksi internal, dan kekuatan tarik diagonal dari dinding pengisi (Smith dan
Carter ,1969).
Tjahjanto dan Imran (2009) juga telah melakukan penelitian pengaruh
penggunaan dinding pengisi sebagai penahan beban lateral. Penelitian dilakukan
terhadap struktur rangka dinding pengisi yang dibandingkan dengan portal terbuka
dimana analisis yang digunakan adalah program ADINA. Struktur direncanakan
sebagai gedung bertingkat dengan tiga bentang dan tiga tingkat. Panjang bentang, Lx
dan Ly, masing-masing sebesar 4 meter dengan tinggi tingkat, H1 = 3 meter. Pelat
lantai berupa pelat beton bertulang. Dinding pengisi dipasang penuh pada setiap
tingkat.
Model struktur rangka dinding pengisi dibuat dua model dimana model 1
menggunakan pasangan bata merah sebagai dinding pengisi sedangkan model 2
menggunakan pasangan beton ringan aerasi (Autoclaved Aerated Concrete / AAC),
dimana dinding pengisi dimodel sebagai strut diagonal. Hasil penelitian adalah terjadi
penurunan target displacement pada struktur rangka dinding pengisi sebesar 13-36 %
dibandingkan dengan struktur portal terbuka.
15
2.4 Ragam Kegagalan Struktur Rangka dengan Dinding Pengisi
Kegagalan yang terjadi pada suatu struktur rangka dengan dinding pengisi
dipengaruhi oleh perbandingan tinggi dan bentang dinding pengisi serta kekakuan
relatif komponen struktur rangka dan dinding pengisi. Sunlianto dan Agustino (1999)
pada studinya mempelajari mekanisme pemencaran energi gempa pada suatu struktur
rangka dengan dinding pengisi batu bata berdasarkan klasifikasi ragam-ragam
kegagalan dasar Liaw dan Kwan
Liaw dan Kwan (1983) mengklarifikasikan ragam-ragam kegagalan dasar
(Gambar 2.4) menjadi 3 kelompok dan kemudian mengusulkan suatu konsep
perencanaan berdasarkan perencanaan lantai per lantai dengan asumsi bahwa struktur
tidak akan mengalami keruntuhan selama gaya geser pada lantai yang bersesuaian
tidak melebihi gaya geser ultimit, Hu. Klasifikasi ragam-ragam kegagalan dan gaya
geser lantai ultimit, Hu, yang diusulkan oleh Liaw dan Kwan tersebut adalah :
Gambar 2.4 Klasifikasi Ragam Kegagalan
Sumber : Liaw dan Kwan (1983)
16
1. Ragam 1 : Keremukan ujung dengan kegagalan pada kolom. Pada ragam ini
ujung tekan dinding pengisi mengalami keremukan dan terbentuk sendi plastis
pada ujung yang terbebani dan kolom.
2. Ragam 2 : Keremukan ujung dengan kegagalan pada balok. Pada ragam ini
ujung tekan dinding pengisi mengalami keremukan dan sendi plastis terbentuk
pada ujung yang terbebani dan pada balok.
3. Ragam 3 : Keremukan diagonal. Pada ragam kegagalan ini ujung tekan dinding
pengisi mengalami keremukan lebih dahulu, kemudian menjalar ke bagian
tengah dinding pengisi diikuti terjadinya sendi plastis pada kolom, balok, atau
daerah sekitar pertemuan antara balok dan kolom.
Selain ketiga ragam di atas, Liaw dan Kwan (1983) menyebutkan terdapat
ragam kegagalan yang tipikal dengan ragam 3 yang menimbulkan kegagalan pada
balok secara bersamaan di beberapa lantai disebut ragam 3+ . Ragam-ragam
kegagalan dasar di atas dikombinasikan satu dengan yang lain. Kombinasi ragam
kegagalan yang tipikal antara lain dapat dilihat pada gambar 2.5.
Selain Liaw dan Kwan (1983), Priestley (1992) dalam Aryanto (2008) juga
mengelompokkan pola keruntuhan dari rangka dengan dinding pengisi ke dalam 5
kategori :
1.Kehancuran daerah sudut, CC (Corner Crushing)
Keruntuhan atau kerusakan terjadi pada daerah pojok portal atau paling sedikit
salah satu pojoknya seperti terlihat pada gambar 2.6(a). Pola keruntuhan seperti
17
ini umumnya disebabkan lemahnya kekuatan dinding pengisi yang ditahan oleh
rangka yang memiliki joint yang lemah namun elemen balok – kolom yang
kuat.
Gambar 2.5 Ragam Kegagalan Tipikal Struktur Rangka dengan Dinding Pengisi
Tingkat Banyak : (a)Ragam 1; (b)Ragam 2; (c)Ragam 3; (d) Ragam 3+
Sumber : Liaw dan Kwan (1983)
2.Keruntuhan geser, SS (Sliding Shear)
Keruntuhan berupa geser horizontal pada sambungan antara bata pengisi (bed
joint) seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.6(b). Pola keruntuhan seperti ini
disebabkan oleh lemahnya sambungan mortar sedangkan rangka sangat kuat.
3.Keruntuhan tekan diagonal, DC (Diagonal Compression)
18
Pola keruntuhan ini ditunjukkan dengan kerusakan pada daerah tengah seperti
gambar 2.6(c). Pola seperti ini disebabkan oleh kelangsingan dari dinding
pengisi dimana keruntuhan terjadi akibat tekuk pada luar bidang(out of plane).
4.Keruntuhan retak diagonal, DK ( Diagonal Craking)
Keruntuhan retak diagonal terlihat dari munculnya retak yang menghubungkan
dua sisi yang dibebani seperti terlihat pada gambar 2.6(d). Pola seperti ini
disebabkan oleh lemahnya rangka atau rangka dengan joint yang lemah
sedangkan dinding pengisi lebih kuat.
5.Keruntuhan Rangka, FF (Frame Failure)
Terbentuknya sendi plastis pada kolom atau sambungan balok kolom seperti
ditunjukkan pada gambar 2.6(e) merupakan ciri utama pola keruntuhan rangka.
Pola ini timbul akibat lemahnya rangka atau joint rangka sedangkan dinding
pengisi lebih kuat.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian pola keruntuhan yang umum terjadi
adalah akibat keruntuhan daerah pojok (CC) dan keruntuhan geser (SS). Pola
keruntuhan ketiga yaitu keruntuhan tekan diagonal (DC) umumnya jarang terjadi
karena membutuhkan rasio kelangsingan yang cukup besar agar dapat terjadi tekuk
pada bidang out of planepada pembebanan bidang in plane. Sedangkan kelangsingan
dari dinding pengisi ditentukan oleh ketebalan dinding yang umumnya dibatasi oleh
persyaratan ketebalan untuk hambatan akustik/suara dan kebakaran. Sedangkan pola
keruntuhan retak diagonal (DK) pada dasarnya tidak dapat dikategorikan sebagai pola
keruntuhan karena dinding pengisi masih mampu menahan beban setelah terjadi
19
retak. Pada kenyataannya pola keruntuhan yang terjadi dilapangan sering terjadi pola
keruntuhan rangka dinding pengisi merupakan gabungan dari beberapa pola tersebut.
Gambar 2.6 Pola Keruntuhan Rangka dengan Dinding Pengisi : (a) Keruntuhan
Daerah Pojok, (b) Keruntuhan Geser, (c) Keruntuhan Diagonal Tekan, (d)
Keruntuhan Retak Diagonal dan (e) Keruntuhan Rangka.
Sumber : Priestley (1992) dalam Aryanto (2008)
Mehrabi, et al (1996) membuktikan bahwa portal dengan dinding pengisi mengalami
kegagalan geser pada struktur portal dan mengalami keruntuhan geser diagonal pada
dinding pengisi. Pada penelitian tersebut juga dilakukan pengujian terhadap portal
terbuka (tanpa dinding pengisi) sebagai pembandingdengan konfigurasi struktur yang
digunakan ditunjukan pada Gambar 2.7.
20
Gambar 2.7Portal dengan Dinding dalam Penelitian Mehrabi
Sumber : Mehrabi, et al (1996)
Dinding pengisi menggunakan masonry dari blok beton padat berukuran
194x92x92 mm dengan kuat tekan 15,57 MPa dan dilekatkan dengan mortar yang
memiliki kuat tekan 15,98 MPa. Untuk mensimulasi adanya beban gravitasi dari
lantai di atasnya maka pada kedua kolom sampel uji diberikan beban vertikal konstan
Pv sebesar 294 kN sedangkan beban lateral Ph diberikan secara bertahap sampai
terjadi runtuh.
Hasil penelitian Mehrabi membuktikan bahwa struktur portal dengan dinding pengisi
mampu menerima beban 2,6 kali lebih besar dengan lendutan 20 kali lebih kecil
dibandingkan dengan portal tanpa dinding pengisi. Hal ini membuktikan bahwa
dinding pengisi memberikan pengaruh terhadap kekakuan dan kekuatan struktur.
Adapun hasil lendutan yang terjadi pada penelitian tersebut disajikan pada Tabel 2.1.
21
Tabel 2.1 Hasil Penelitian Mehrabi
Sampel Retak ke-1 Dinding Uji Lateral Maks Kondisi
Beban (KN)
Lendutan (mm)
Beban (KN)
Lendutan (mm) Keruntuhan
Portal terbuka - - 106,31 65,28 Lentur
Portal isi 277,68 3,30 277.68 3,30 Retak diagonal Sumber :Mehrabi et al
Perilaku keruntuhan yang terjadi pada struktur dengan dinding pengisi adalah
timbulnya retak diagonal pada dinding pengisi dan terjadi retak akibat geser dan tarik
pada kolom struktur yang terbentuk pada beban lateral maksimum. Hasil penelitian
Mehrabi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.8 yang merupakan ilustrasi keruntuhan
portal pada penelitian.
Gambar 2.8 Kondisi Keruntuhan Portal Penelitian Mehrabi
Sumber : Mehrabi, et al(1996)
Keruntuhan pada struktur portal terjadi akibat gaya tekan dan tarik yang
disebabkan oleh beban horizontal yang diberikan sedangkan pada dinding pengisi
22
terjadi retak geser pada bagian tengah serta keruntuhan akibat tekan yang terjadi pada
pojok kiri atas dinding pengisi. Retak akibat tarik juga terjadi pada bagian pojok
kanan bawah dinding pengisi. Namun demikian, adanya dinding pengisi tersebut
mampu menambah kekuatan dan kekakuan struktur portal yang ditempatinya
sehingga dapat mengurangi deformasi yang terjadi pada struktur
2.5 Kekuatan Dinding Pengisi
Kekuatan material dinding pengisi juga mempengaruhi kemampuan portal dengan
dinding pengisi dalam menahan beban lateral. Pada umumnya dinding pengisi dapat
dibuat dari material tanah liat (batu bata), beton tanpa atau dengan tulangan dengan
bentuk dan ukuran yang bervariasi. Kekuatan dan kekakuan struktur pada portal
dengan dinding pengisi dapat ditingkatkan dengan memberi perkuatan (retrofitting
techniques) pada dinding pengisi. Perkuatan dinding dapat dilakukan dengan berbagai
cara salah satunya dengan penambahan tulangan baja pada dinding pengisi. Paulay
dan Prisstley (1992) dalam Suku (2007) melaporkan bahwa dinding pengisi dengan
tulangan (reinforced masonry) mempunyai tingkat daktilitas yang lebih tinggi dari
dinding pengisi tanpa tulangan (unreinforced masonry).
Suku (2007) melakukan analisis perilaku model portal satu tingkat dengan satu
bentang yang berdinding pengisi penuh dengan dan tanpa tulangan yang dibebani
dengan beban lateral yang bersifat monotonik sampai struktur mengalami kegagalan.
Pada studi analitis tersebut pengaruh dinding pengisi tanpa tulangan (unreinforced
masonry) dan dinding pengisi bertulang (reinforced masonry) diperhitungkan.
23
Variabel dalam analisis ini adalah hubungan beban-lendutan, kekakuan, daktilitas
perpindahan, dan pola retak berbagai tipe dinding tanpa tulangan dengan variasi
perbandingan tinggi (h’) terhadap lebar (l’) dinding (h’/l’= 0,5; h’/l’= 1,0; h’/l’= 1,5;
h’/l’= 2,0) dan dinding dengan tulangan rasio h’/l’=1. Jarak antara tulangan dinding
bertulang b = 184 mm, 368 mm, 552 mm, 736 mm, dengan diameter tulangan 10 cm.
Analisis dilakukan menggunakan metode elemen hingga dengan program Lusas
Finite Element Analysis (FEA) dan metode diagonal tekan ekivalen (equivalen
diagonal strut (EDS) )yang diusulkan oleh Saneinejad dan Hobbs (1995).
Hasil analisis portal dengan dinding pengisi tanpa tulangan jika dibandingkan
dengan portal terbuka menunjukan bahwa dengan adanya dinding pengisi
meningkatkan kekuatan dan kekakuan struktur. Pada portal dengan dinding pengisi
bertulang rasio h’/l’=1,0 terlihat bahwa dengan pemasangan tulangan pada dinding
pengisi dapat meningkatkan kekuatan, kekakuan dan daktilitas struktur. Akibat
pemasangan tulangan pada dinding pengisi dapat mengurangi retak yang
menyebabkan terlepasnya panel dinding dengan kolom atau balok bawah portal. Dari
hasil gambar kontur tegangannya, terlihat bahwa terjadi konsentrasi tegangan tekan
pada daerah diagonal dinding.
Penelitian mutu dinding pasangan dilakukan oleh Sardepa (2014) untuk
mengetahui perilaku lentur, kuat tekan, dan geser dinding pasangan, selain itu dinding
pasangan yang diteliti juga ditambahkan suatu perkuatan yaitu plesteran serta
penambahan kawat ataupun JKBL (wire mesh). Sebagai perbandingan, penelitian
24
juga dilakukan terhadap dinding pasangan tanpa plesteran .Pengujian perilaku lentur,
kuat tekan dan geser pada dinding pasangan bata merah dengan perkuatan kawat dan
jkbl (wire mesh) memperoleh data kuat tekan rata-rata benda uji dinding pasangan
tanpa plesteran (CTP), pasangan dengan plesteran dan dengan tulangan kawat
(CDPK), dan dinding pasangan dengan plesteran dan dengan tulangan wire mesh
(CDPW) berturut-turut sebesar 3,82 N/mm², 5,62 N/mm², dan 4,51 N/mm². Kuat
tekan dari benda uji CDPK lebih tinggi daripada CDPW karena jarak spasi tulangan
kawat lebih rapat yaitu sebesar 2 cm dibandingkan dengan jarak spasi tulangan
wiremesh sebesar 15 cm.
Berdasarkan British Standart Institution (1995) kuat tekan pasangan dinding
pengisi dipengaruhi oleh kuat tekan mortar dan unit masonry yang digunakan. Selain
mutu kuat tekan dinding pengisi, pendekatan nilai modulus elastisitas dinding (Em)
juga berpengaruh terhadap kekakuan struktur. Pendekatan nilai modulus elastisitas
(Em) untuk pasangan dinding pengisi berdasarkan pendekatan analisis rangka dengan
bresing oleh Smith danCoull (1991) adalah sebesar 7000 Mpa sedangkan pada
penelitian pemodelan dinding oleh Mondal dan Jain (2008), nilai modulus elastisitas
ditentukan berdasarkan pendekatan nilai modulus elastisitas yang direkomendasikan
oleh Drysale, et al (1993) yaitu:
Em = k .𝑓𝑓𝑚𝑚 (2.11)
Dengan Em= modulus elastisitas,fm= kuat tekan dinding (MPa), dan nilai k berkisar
500 – 600.
25
Dalam Paulay danPriestley (1992) menyebutkan nilai Em dapat diambil 750𝑓𝑓𝑚𝑚 .
2.6 Analisis dan Pemodelan Struktur
Secara umum, analisis struktur adalah proses untuk mengetahui gaya dalam pada
model struktur yang dikenai gaya luar tertentu (dapat berupa beban tetap/sementara,
momen, displacement, perubahan suhu dan lain- lain). Metode Elemen Hingga
(FEM) adalah suatu metode pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan
problem dalam bidang rekayasa struktur. Jika tidak menggunakan komputer, metode
ini mungkin tidak akan digunakan dalam perhitungan praktis sampai sekarang, karena
akan memerlukan waktu yang cukup lama dan keakuratan yang kurang baik. Dengan
pengembangan metode tersebut ke dalam program komputer, telah menciptakan suatu
efisiensi dalam pembuatan programnya serta tingkat keakuratan yang cukup baik jika
digunakan dalam perhitungan struktur
Sebagian besar permasalahan dalam rekayasa konstruksi bangunan gedung dapat
diselesaikan dengan pendekatan struktur rangka atau yang lebih dikenal sebagai
elemenframe. Namun dalam pemodelan struktur pelat, shearwall maupun bagian
detail-detail struktur yang rumit lebih sering menggunakan elemen shell. Selain
elemen frameyang merupakan elemen satu dimensi, ada beberapa jenis elemen lain
yang digunakan dalam pemodelan suatu struktur, antara lain :
1. Elemen shell, yaitu elemen bidang untuk memodelkan struktur shell (cangkang),
pelat dan membran sebagai model 2 dimensi atau 3 dimensi.
26
2. Elemen plane, yaitu elemen bidang untuk memodelkan struktur padat (solid)
dengan perilaku plane-stress maupun plane strain.
3. Elemen asolid, yaitu elemen bidang untuk memodelkan struktur
solidaxisymmetric dengan menggunakan pembebanan axisymmetric.
4. Elemen solid, yaitu elemen yang digunakan untuk memodelkan struktur padat
(solid) sebagai model 3 dimensi.
5. Elemen Nllink, yaitu elemen khusus yang dapat digunakan untuk memodelkan
bagian tertentu struktur yang bersifat non-linier seperti gap (celah), peredam,
isolator dan semacamnya.
Semua gaya luar yang bekerja pada struktur dimodelkan dan dianalisis untuk
mengetahui gaya dalam berupa momen (lentur, puntir), gaya lintang, gaya normal dan
lain-lain (retakan, tekuk, dan sebagainya). Umumnya dalam elemenshell dihitung
tegangan rata-rata pada titik nodal untuk menggambarkan kontur tegangan yang
menerus untuk tiap-tiap elemen. Pada pemodelan struktur dengan dinding pengisi,
tegangan yang terjadi pada dinding perlu diperhatikan dan dibandingkan terhadap
teori yang ada. Jenis tegangan yang terjadi pada dinding adalah tegangan geser,
tegangan tarik dan tegangan tekan. Tegangan geser yang terjadi pada dinding dengan
pemodelan dinding pengisi sebagai shell elemen diperoleh dengan mengamati
tegangan (shell stress) yang terjadi pada bagian tengah dinding. Tegangan tekan
diperoleh dengan mengamati tegangan pada pojok atas dinding pengisi yang terletak
disebelah kolom sedangkan tegangan tarik diperoleh pada bagian pojok bawah
dinding pengisi (Smith dan Coull, 1991).
27
Pada Penelitian Parmaheni (2013) struktur bangunan dimodel sebagai open
frame (OF) dan rangka dengan dinding pengisi (RDP) dengan variasi jumlah tingkat
(4 lantai,7 lantai dan 10 lantai) dan penempatan dinding pengisi pada lantai dasarnya.
Struktur RDP 7 lantai dimodel menggunakan strut diagonal tunggal, ganda dan tiga
strut sedangkan struktur RDP 4 dan 10 lantai dimodel menggunakan tiga strut.
Pemodelan dinding pengisi sebagai bagian dari struktur tidak hanya menghasilkan
model yang lebih mewakili, tetapi juga lebih efisien karena luas penampang balok
dan kolom yang diperlukan berkurang sampai 40,41%. Disamping itu, bahaya soft
story juga teramati pada variasi penempatan dinding dalam model RDP. Model RDP
dengan 3 strut lebih baik dibandingkan dengan strut tunggal karena pengaruh dinding
terhadap distribusi gaya-gaya dalam pada balok dan kolom termodelkan
Dorji (2009) melakukan penelitian terhadap struktur open frame dan rangka
dinding pengisi (tanpa dan dengan bukaan) yang masing- masing terdiri dari tiga,
lima, tujuh, dan sepuluh lantai. Analisis struktur menggunakan analisis time history
dan menggunakan elemen shell dengan elemen gap sebagai pemodelan dinding
pengisi mengikuti rumus yang diusulkan Doudomis (2007). Struktur ini direncanakan
dengan dan tanpa peraturan gempa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh
dinding pengisi terhadap performa struktur sangat signifikan. Respon struktur seperti
periode fundamental, rasio simpangan antar lantai, tegangan pada dinding pengisi,
dan gaya dalam struktur balok dan kolom secara umum berkurang dengan adanya
dinding pengisi.
28
Doudoumis (2007) dalam Dorji (2009) memodel dinding pengisi sebagai shell
dan menggunakan element kontak sebagai hubungan pada permukaan antara rangka
dan dinding pengisi. Element kontak yang digunakan adalah element gap. Element
gapadalah salah satu elemen penghubung (link) yang tersedia dalam program
software SAP 2000 untuk menambah kebutuhan berbagai aplikasi rekayasa
struktural. Elemen ini pada umumnya digunakan untuk menunjukkan hubungan
antara dua struktur yang berbeda dan menyalurkan hubungan gaya antara keduanya.
Kekakuan gap ditujukan untuk dua keadaan ekstrim yaitu tidak adanya hubungan
dan hubungan 100% antara permukaan dari struktur beton dan dinding pengisi. Dua
keadaan ekstrim ini mungkin tidak sesuai dengan kondisi nyata dari mortar yang
merupakan material penghubung antara struktur portal beton dengan dinding pengisi.
Nilai rata-rata dari kekakuan gap yang dibutuhkan untuk simulasi kekuatan material
dinding yang berbeda-beda dengan koefisien gesekan (μ) = 0,5. Komponen yang
perlu ditentukan dalam pemakaian element gap adalah kekakuan dari element gap
(𝐾𝐾g) yang didapat dari Persamaan 2.12 dan 2.13
Kg = 0,0378 K1 + 347 (2.12)
Ki = Ei. t (2.13)
Dimana 𝐾𝐾i adalah kekakuan dari dinding pengisi, 𝐸𝐸i adalah modulus elastisitas
dinding pengisi, dan t adalah tebal dinding pengisi. Penggunaan elemen shell sebagai
pemodelan dinding pengisi akan dapat langsung memberikan nilai tegangan.
29
Pemilihan model dinding pengisi sebagai elemenshell dengan elemen gap ini
digunakan juga pada penelitian Gunawan (2011) dimana hasil analisis pada struktur
dengan elemen shell dengan gap lebih representatif dibandingkan dengan pemodelan
tanpa gap. Model rangka dinding pengisi denganShellGap memiliki momen balok,
gaya geser balok, momen kolom dan geser kolom yang lebih kecil dari rangka
dinding pengisi strut 1 dan rangka dinding pengisi strut 3 berkisar 1-57% sedangkan
gaya aksial lebih besar berkisar 2-39%.
Kaushik, et al (2008) melakukan pengujian model analisis dinding pengisi dalam
enam model yaitu model rangka terbuka,model elemenshellpenuh, model 1 strut
diagonal, model 3 strut diagonal, model elemenshellpartial setengah (x/2 dan y/2)
dari panjang balok dan kolom dan model terakhir yaitu model elemenshellpartial
seperempat (x/4 dan y/4) dari panjang balok dan kolom untuk mengetahui pendekatan
memodelkan dinding pengisi dalam struktur.
Gambar 2.9. Enam Model Analisis Dinding Pengisi
Sumber: Kaushik, et al (2008)
30
Dari penelitian tersebut diperoleh hasil gaya- gaya dalam pada kolom dan balok
tiap model analisis dinding pengisi adalah seperti tampak pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.10.Perbandingan Resultan Gaya Maksimum pada Kolom
Sumber: Kaushik, et al ( 2008)
Gambar 2.11. Perbandingan Resultan Gaya Maksimum pada Balok
Sumber: Kaushik, et al ( 2008)
31
Penggunaan model elemenshellparsial setengah ini juga didukung oleh
penelitian Prawira (2014) yang melakukan analisis perilaku dan kinerja struktur RDP
dengan membuat 5 model untuk dibandingkan dengan hasil eksperimen. Model
dengan strut tunggal (MS1) dan strut ganda (MS3) dibandingkan dengan model
dengan elemen shell penuh (MESf) dan parsial (MESp). Disamping itu juga dibuat
model rangka terbuka (MOF) sebagai pembanding. Dari hasil penggunaan analisis
nonlinier dengan perubahan kekakuan, model yang paling mendekati perilaku
eksperimen adalah model elemen shell parsial (MESp), dimana baik kurva gaya-
perpindahan maupun pola retak dapat ditirukan dengan baik. Model ini
menggambarkan perilaku struktur RDP yaitu elemen yang melebihi kuat tarik tidak
berkontribusi terhadap kekakuan struktur.
Kondisi akhir dari model dinding elemenshellparsial(1500x1500x100mm)
saat beban puncak terlihat bahwa pengurangan elemen terjadi pada bagian tarik
bidang panel dinding pengisi. Pada kondisi beban puncak, elemen panel dinding
pengisi telah berkurang sebanyak 92 elemen dari 400 elemen persegi, sehingga terjadi
pengurangan elemen sampai kondisi beban puncak adalah sebesar 23% dengan area
yang masih tersisa adalah 77% (Gambar 2.12). Hasil model dinding
elemenshellparsial memiliki pola retak yang mirip dengan hasil eksperimen, yaitu
sliding shear (SS) dengan kehancuran yang terjadi pada 1/3 dan 2/3 dari tinggi panel
dinding. Sedangkan untuk hasil kontur tegangan S11, S22, dan S12 pada MESp
diperlihatkan pada Gambar 2.13.
32
Gambar 2.12. Kondisi Akhir Model MESp
Sumber : Prawira (2014)
S11
S22
S12
33
Gambar 2.13. Kontur Tegangan S11, S22, dan S12 untukModel MESp
Sumber : Prawira (2014)
Kakaletsis dan Karayannis (2009) melakukan penelitian laboratorium mengenai
perilaku struktur rangka dinding pengisi dengan bukaan. Dalam penelitiannya,
terdapat 10 specimens yang diuji. Specimensyang diuji berupa struktur rangkatanpa
dinding pengisi (Bare Frame), struktur RDP dengan dinding solid, dan struktur RDP
dengan bukaan. Untuk bukaan, parameter yang digunakan yaitu bentukbukaan
danukuranbukaan.
34
Gambar 2.14Specimensstruktur RDP (a) detail tulangan struktur rangka beton
bertulang, (b) unit bata, (c) struktur RDP dengan bukaan jendela dan (d) struktur
RDPdengan bukaan pintu, dalam mm.
Sumber : Kakaletsis and Karayannis (2009)
Hasil utama darieksperimen laboratoriumadalah grafik hubungan antara beban
lateral dan perpindahanuntuk specimens.Selain itu, ditampilkan pola kegagalan yang
terjadi pada specimens, disajikan padaGambar2.15sampai 2.17.
35
Gambar 2.15 Hubungan antara beban lateral load dan lateral displacement serta
pola kegagalan specimens struktur RDP(a) dan (b) struktur RDP dengan bukaan
jendela, dan (c) dan (d) struktur RDP dengan bukaan pintu.
Sumber : Kakaletsis and Karayannis (2009)
Specimens WO2, WO3, danWO4merupakan struktur RDP denganbukaan
jendela, ditunjukkan pada Gambar 2.16.Specimens DO2, DO3, danDO4merupakan
struktur RDP denganbukaanpintu, ditunjukkan pada Gambar 2.17.
36
Gambar 2.16 Hubungan antara beban lateral load dan lateral displacement serta
pola kegagalan specimens struktur RDP dengan bukaan jendela berbagai ukuran (a)
dan (b) la/l = 0.25, (c) dan (d) la/l = 0.38, dan (e) dan (f) la/l = 0.50.
Sumber : Kakaletsis and Karayannis (2009)
37
Gambar 2.17 Hubungan antara beban lateral load dan lateral displacement serta
pola kegagalan specimens struktur RDP dengan bukaan pintu berbagai ukuran (a) dan
(b) la/l = 0.25, (c) dan (d) la/l = 0.38, dan (e) dan (f) l /l = 0.50.
Sumber : Kakaletsis and Karayannis (2009)
38
Perlawananlateral struktur RDP denganbukaansebesar1,25sampai1,50kali
daribare framesedangkanperlawananlateral struktur RDP dengan dinding
solidsebesar1,84kali daribare frame.
Gambar 2.18 Hubungan antara beban lateral load dan lateral displacement,
envelopes (a) stuktur RDP bukaan jendela dan (b) stuktur RDP dengan bukaan pintu.
Sumber : Kakaletsis and Karayannis (2009)
39
Berdasarkanhasil penelitian laboratorium ini disimpulkan bahwa bukaan
jendeladengan lebarantara25% sampai 50% dari panjangpasangan batadinding
pengisimenyebabkanpengurangan rata-rata18,7% dalam perlawananlateral,26,3%
padakekakuan awal, dan4,3% dalam kapasitaspenyerapan energikumulatif. Bukaan
pintudengan lebarantara25% sampai 50% dari panjangpasangan batadinding
pengisimenyebabkanrata-rata penurunan28,7% dalam perlawananlateral,30,3%
padakekakuan awal, dan 27% dalam kapasitaspenyerapan energikumulatif.
Ukuranbukaandaribentuk yang samatampaknya tidakjauhmempengaruhi
perilakubenda uji. Bukaan yang lebih besarterlihatmengarah padakeadaan batas
ultimateyang lebih tinggidan lebih elastis/daktildariperilaku.
Hasil pengujian laboratorium pada penelitian tersebut digunakan sebagai acuan
pada penelitian Suarjana (2014). Sepuluh model yang ditinjau terdiri atas 1 model
Bare Frame (MB), 9 model RDP (1 model RDP dengan dinding solid (MS), 3 model
RDP bukaan jendela sentris yaitu MWO2, MWO3, MWO4, 3 model RDP dengan
bukaan pintu sentris yaitu MDO2, MDO3, MDO4), masing – masing dengan lebar
bukaan 25%, 38%, dan 50% dari panjang dinding, dan 2 model RDP dengan posisi
bukaan eksentris yaitu MWX1 dan MDX1. Pemodelan dilakukan dengan metode
elemen hingga menggunakan program SAP2000.
Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa model struktur RDP dengan
bukaan jendela dan pintu sentris, dimana lebar bukaan antara 25%-50% dari panjang
dinding pengisi menyebabkan pengurangan rata-rata masing-masing 11,2% dan
40
20,6% terhadap kekakuan RDP dinding solid. Sedangkan struktur RDP bukaan
jendela dan pintu eksentris menyebabkan pengurangan masing–masing 2,9% dan
9,7% terhadap kekakuan RDP dinding solid. Keberadaan dinding dalam struktur
rangka, bagaimanpun bentuknya tetap memberi sumbangan kekakuan terhadap
struktur RDP. Struktur RDP dengan dinding solid memiliki kekakuan 1,61 kali dari
Bare Frame, struktur RDP dengan bukaan jendela sentris memiliki kekakuan 1,38-
1,47 kali dari Bare Frame, sedangkan struktur RDP dengan bukaan pintu sentris
memiliki kekakuan 1,23-1,31 kali dari Bare Frame. Untuk struktur RDP bukaan
jendela dan pintu eksentris memiliki kekakuan masing–masing 1,56 dan 1,45 kali dari
Bare Frame. Tegangan maksimum terjadi pada sudut bukaan dan sudut dinding
pertemuan balok dan kolom sesuai dengan hasil pengujian laboratorium.
2.7 Model Validasi
Sebelum melakukan penelitian terhadap perbandingan hasil pemodelan struktur
dinding pengisi dengan elemen shell penuh dan parsial, akan dilakukan pemodelan
validasi terhadap lima model dinding pengisi yang akan dibandingkan terhadap
eksperimen yang ada. Pemodelan model validasi ini dilakukan untuk menentukan
pemilihan penggunaan model struktur dinding pengisi pada struktur. Model validasi
yang digunakan adalah penelitian Imran dan Aryanto (2009).
Penelitian eksperimen tersebut bertujuan untuk mengetahui kinerja dan perilaku
struktur rangka dinding pengisi yang dikenai beban lateral yang dilakukan pada
dinding pengisi bata ringan AAC yang selanjutnya disebut model 1 dan bata
41
konvensional yang disebut model 2. Struktur tersebut merupakan struktur rangka satu
tingkat dengan tinggi 1750 mm dan satu bentang lebar 1675 mm.
Gambar 2.19Model Eksperimen Dinding Pengisi Bata Ringan dan Bata
Konvensional (sumber : Imran dan Aryanto 2009)
Penampang rangka yang digunakan yaitu pasangan dinding bata dengan dimensi
panjang, tinggi, dan tebal adalah 1500 mm, 1500 mm, dan 100 mm. Dimensi balok
150/250 mm dengan tebal penutup beton 20 mm, tulangan longitudinal 2D16 serta
tulangan transversal D6-75. Dimensi kolom 175/175 mm dengan tebal penutup beton
20 mm, tulangan longitudinal 4D13 serta tulangan transversal D6-65.
Pada penelitian tersebut, beban balok di atas dinding dianggap sebagai beban
lateral menggunakan displacement control yang ditunjukkan pada Gambar 2.20 di
bawah ini. Beban dinding pada balok setinggi 300 mm dengan tebal 100 mm adalah
44,31 kg/m’. Detail penulangan digunakan pada penelitian tersebut ditunjukkan pada
Gambar 2.21
42
Gambar 2.20Susunan dan Program Pembebanan Eksperimen
Gambar 2.21Detail Penulangan
Hasil dari eksperimen menunjukkan bahwa pada model 1, retak mulai terbentuk pada
sepanjang diagonal dinding. Retak terjadi pada beban lateral 15,63 kN dengan
43
perpindahan lateral 1,34 mm. Pada beban yang lebih besar, pemisahan antara dinding
dan rangka sepanjang muka kolom terus membesar sesuai dengan penambahan beban
sampai dinding mengalami kehancuran utama pada pojok kanan atas dan setengah
dari tinggi dinding seperti tampak pada Gambar 2.22.
Gambar 2.22Pola Retak pada Model 1
Sedangkan retak pertama pada model 2 terjadi saat beban lateral 26 kN dengan
perpindahan lateral 1,26 mm. Retak horizontal utama terjadi sekitar 1/3 – 2/3 tinggi
dinding sedangkan retak diagonal terjadi pada bagian pojok atas dinding seperti
tampak pada Gambar 2.23.
44
Gambar 2.23Pola Retak pada Model 2
Kurva histeretis pada model 1 memiliki perilaku histeretis yang lebih baik
dibanding model 2 meskipun kedua model memperlihatkan beban puncak yang mirip
(Gambar 2.24). Penurunan kekuatan pada model 2 terjadi saat perpindahan lebih
besar dari 20 mm sedangkan model 1 hanya sedikit penurunan kekuatan. Selain itu,
model 1 menunjukkan rasio daktilitas yang lebih besar daripada model 2.
45
Gambar 2.24Kurva Histeretis Model 1 dan Model 2
Analisis nonlinear dengan perubahan kekakuan/ EI untuk setiap kenaikan beban.
Perubahan momen inersia penampang (I) mengacu pada SNI 03-2847-2002 (SNI
Beton) sedangkan perubahan modulus elastisitas (E) mengacu pada kurva tegangan-
regangan material sehingga menghasilkan kurva gaya-perpindahan dan kontur
tegangan dinding.
Model eksperimen 2 memperlihatkan sebuah mode keruntuhan yang dapat
digambarkan sebagai sliding shear (SS). Kekuatan geser yang rendah dari bed joint
dinding pada model eksperimen ini mencegah pembentukan retak diagonal.
46
Sedangkan spesimen AAC (model eksperimen 1) memperlihatkan bentuk strut,
dimana retak menyebar secara diagonal dari bagian atas kolom menuju bagian dasar.
Tipe dari keruntuhan ini mengindikasikan bahwa mortar tipis pada spesimen AAC
mempunyai karakteristik ikatan yang bagus.
2.8 Tegangan pada Struktur Rangka Dinding Pengisi
Tegangan yang terjadi pada dinding adalah tegangan geser, tegangan tarik dan
tegangan tekan. Ketiga jenis tegangan menimbulkan kegagalan pada dinding pengisi
berupa kegagalan geser, kegagalan tarik diagonal dan kegagalan tekan. Dengan
adanya ketiga jenis kegagalan tersebut dinding pengisi harus tetap mampu menahan
beban yang terjadi pada struktur portal.
Konsep perilaku dinding pengisi yang dikembangkan saat ini merupakan
perpaduan hasil penelitian, pendekatan analisis serta kecanggihan analisa model
elemen hingga yang berkembang (Smith dan Coull, 1991). Untuk memahami
perilaku portal dengan dinding pengisi diperlukan penelitian lebih lanjut terutama
penelitian dengan skala sebenarnya sehingga dapat diperoleh pendekatan desain
perencanaan struktur portal dengan dinding pengisi.
Tegangan geser yang terjadi pada dinding dengan pemodelan dinding pengisi
sebagai shell elemen diperoleh dengan mengamati tegangan (shell stress) yang terjadi
pada bagian tengah dinding. Tegangan tekan diperoleh dengan mengamati tegangan
pada pojok atas dinding pengisi yang terletak disebelah kolom sedangkan tegangan
tarik diperoleh pada bagian pojok bawah dinding pengisi (Smith dan Coull, 1991).
47
2.8.1 Tegangan Geser pada Dinding Pengisi
Kegagalan geser yang terjadi pada dinding pengisi berkaitan dengan tegangan
geser yang terdapat pada dinding ketika struktur tersebut menerima gaya lateral. Pada
analisis model elemen diperoleh bahwa nilai tegangan geser kritis terjadi dibagian
tengah dinding pengisi (Smith dan Coull, 1991). Nilai tegangan geser secara empiris
dapat dirumuskan sebagai berikut:
Tegangan geser Lt
1,43Qxy =τ
(2.14)
Dimana :
Q=gaya horizontal struktur portal, L=panjang dinding pengisi pada struktur, t=
ketebalan dinding
FEMA-237 (Federal Emergency Management Agency) dalam Bell dan
Davidson (2001) menyebutkan bahwa walaupun tegangan geser pada dinding pengisi
melampaui kuat geser yang diijinkan namun dinding pengisi tersebut tetap mampu
menahan beban geser sampai empat kali tegangan yang terjadi. Dinding pengisi yang
menerima beban geser yang kuat akan mengalami keretakan namun masih mampu
menahan beban geser struktur untuk memperlambat deformasi yang terjadi. Nilai
tegangan yang terjadi pada dinding perlu diperhatikan dan dibandingkan dengan nilai
tegangan geser yang diizinkan. Shrikhande danAgarwal dalam buku Earthquake
Resistant Design of Structure (2010) menyebutkan nilai tegangan izin geser yaitu 410
kN/m2 - 4690 kN/m2
48
2.8.2 Tegangan Tarik pada Dinding Pengisi
Tegangan tarik diagonal dipengaruhi oleh jenis dinding pengisi yang digunakan.
Tegangan ini juga dipengaruhi oleh kekakuan struktur portal karena terjadi dibagian
pojok bawah dan tengah dinding pengisi (Smith dan Coull, 1991). Keruntuhan tarik
diagonal pada dinding pengisi berkaitan dengan tegangan tarik diagonal maksimum
yang terjadi pada dinding. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Smith dan
Coull (1991) tegangan tarik diagonal dapat dirumuskan:
Tegangan tarik diagonal Lt
0,58Qd =σ
(2.15)
Dimana :
Q=gaya horizontal struktur portal, L=panjang dinding pengisi pada struktur, t=
ketebalan dinding
Besarnya kuat tarik diagonal dinding pengisi belum dapat dipastikan sehingga
masih dalam batas pendekatan yang tetap dapat digunakan sebagai pedoman dalam
menganalisis tegangan tarik dinding (Smith dan Coull, 1991). Nilai tegangan tarik
yang terjadi pada dinding perlu diperhatikan dan dibandingkan dengan nilai tegangan
tarik yang diizinkan yaitu 340 kN/ m2 - 3400 kN/ m2 (Shrikhande dan Agarwal,
2010).
2.8.3 Tegangan Tekan pada Dinding Pengisi
49
Pada penelitian struktur portal dengan dinding pengisi diperoleh bahwa
panjang dinding pengisi yang menekan kolom di tiap tingkatnya bergantung pada
kekakuan lentur kolom. Kolom yang lebih kaku menyebabkan tekanan gaya lateral
pada kolom semakin luas sehingga tegangan tekan yang terjadi pada dinding menjadi
lebih kecil (Smith dan Coull, 1991). Keruntuhan dinding pengisi pada bagian atas
diperkirakan sama dengan panjang keruntuhan pada dinding pengisi di dekat kolom.
Tegangan tekan pada dinding pengisi secara empiris dirumuskan:
Tegangan diagonal tekan Lt
Q
−
=2,0
Lh0,8
yσ
(2.16)
Dimana :
Q=gaya horizontal yang terjadi yang diberikan oleh struktur portal, L=panjang
dinding pengisi pada struktur, h=tinggi dinding pengisi pada struktur, t=ketebalan
dinding
2.9 Pembebanan
Struktur gedung direncanakan kekuatannya terhadap beban mati, beban hidup,
beban gempa atau kombinasi dari beban-beban tersebut. Pembebanan tersebut antara
lain :
1. Beban Vertikal
• Beban Mati
50
Beban mati adalah berat dari semua bagian dari suatu gedung yang
bersifat tetap, termasuk segala unsur tambahan, penyelesaian-
penyelesaian, mesin-mesin serta peralatan tetap yang merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari gedung itu (PPIUG’ 83). Beban mati
pada perencanaan gedung ini terdiri atas berat sendiri struktur
ditambah beban mati tambahan dan beban dinding pengisi.
• Beban Hidup
Beban hidup adalah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau
penggunaan suatu gedung dan ke dalamnya termasuk beban-beban
pada lantai yang berasal dari barang-barang yang dapat berpindah,
mesin-mesin serta peralatan yang tidak merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari gedung dan dapat diganti selama masa hidup dari
gedung itu, sehingga mengakibatkan perubahan dalam pembebanan
lantai dan atap (PPIUG’ 83).
2. Beban Horizontal
Beban horizontal yang diperhitungkan adalah beban gempa yang mencakup
semua beban yang bekerja pada gedung atau bagian gedung yang meniru
pengaruh gerakan tanah akibat gempa tersebut. Bentuk analisa yang
digunakan, akan menentukan beban akan dikerjakan atau diaplikasikan
51
kepada struktur dan bagaimana respon dari struktur tersebut akan
diperhitungkan. Perhitungan beban gempa berdasarkan SNI 03-1726-2012.
3. Kombinasi Pembebanan
Untuk pemodelan rangka denganpembebanan gempa berdasarkan SNI 03 -
1726-2012 adalah sebagai berikut :
1. 1,4D (2.17)
2. 1,2D + 1,6L+ 0,5 (Lr atau R) (2.18)
3. 1,2D + 1,6 L (2.19)
4. 1,2D + 1,0E + L (2.21)
5. 0,9D (2.22)
6. 0,9 D+ 1,0E (2.23)
Top Related