BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Sejak awal abad ke-20, kesenian Bali telah banyak menarik perhatian para
pelancong, seniman, dan peneliti mancanegara. Hasil penelitian atau buku-buku tentang
kesenian Bali sudah banyak ditulis. Beberapa buku tentang seni tari, gamelan, dan
wayang kulit yang ditulis oleh para seniman dan peneliti asing, kini menjadi referensi
yang penting dalam bidang seni pertunjukan Bali. Buku Dance and Drama in Bali (1938)
karya Walter Spies dan Beryl de Zoete, Music in Bali (1967) oleh Collin McPhee,
misalnya banyak memberikan data dan informasi mengenai berbagai aspek seni
pertunjukan Bali, namun tanpa menyinggung genre sendratari.
Ada beberapa buku tahun 1970-an yang mulai menyebut-nyebut keberadaan
sendratari di tengah masyarakat Bali, baik yang ditulis peneliti asing maupun buku-buku
hasil penelitian sarjana Indonesia. I Made Bandem dan Frederik E. deBoer dalam
bukunya, Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition (1981) memberikan gambaran
menyeluruh mengenai tari Bali masa kini, termasuk pula aspek-aspek umum dari teater
Bali. Buku yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Kaja dan
Kelod Tarian Bali dalam Transisi (2004) oleh I Made Marlowe Makaradhwaja Bandem
itu mengupas sendratari pada subjudul “Tarian Sekuler di Luar Pura“. Bandem dan
deBoer mendeskripsikan tentang sejarah dan perkembangan sendratari serta disinggung
40
secara sekilas tentang konsep artistik seni pertujukan ini. Ornamen-ornamen yang ada
dalam kebyar disebutkan ikut memberi kontribusi pada keberadaan sendratari.
Kelahiran dan perkembangan sendratari seiring dengan kejayaan seni kebyar.
Michael Tenzer dalam bukunya Gamelan Gong Kebyar: The Art of Twentieth Century
Balinese Music (2000) menyinggung sendratari sebagai sebuah seni pertunjukan
spektakuler yang diiringi dengan gamelan gong kebyar. Dipaparkan dalam buku yang
sangat lengkap mengkaji aspek teoritis dan praktis salah satu gamelan Bali yang hampir
dijumpai di setiap banjar atau desa ini, pertunjukan festival gong kebyar dan sendratari
yang disaksikan ribuan penonton PKB.
Pementasan sendratari kolosal dalam PKB dianggap merupakan perkembangan
prestisius dalam sejarah seni pertunjukan Bali. Buku Balinese Dance, Drama and Music;
A Guide to The Performing Arts of Bali (2004) karangan I Wayan Dibia dan Rucina
Billinger melukiskan bagaimana keberadaan sendratari pada pesta seni yang berawal
pada tahun 1979 itu. Dalam subjudul “Sendratari and Drama Gong” diungkapkan sebagai
berikut:
Since 1979, the annual Bali Arts Festival has produced colossal Sendratari.The first was a collaboration of faculty, teachers and students of KOKARand ASTI; subsequently, each school produced its own. Costuming andstaging run to the extravagant when this form is done on a large stage. Inorder to fill the enormous outdoor amphitheater at the Werdhi Budaya ArtCenter in Denasar, a Sendratari production requires more then a hundreddancers a long with musicians playing multiple gamelan ensambles.
Buku Evolusi Tari Bali (1996) susunan I Made Bandem dalam subjudul
“Sendratari Ramayana dan Mahabharata” mengungkapkan tentang pementasan, skenario,
dalang, gamelan, dan struktur dramatik seni pertunjukan ini. Diungkapkan Bandem,
41
penelitian dan eksperimentasi dalam garapan sendratari kolosal pada PKB sejak tahun
1979 merupakan awal perubahan baru dalam tari Bali. Perubahan dari prinsip terinci
dalam tari Bali menjadi prinsip global (kolosal) ditranformasikan secara mantap melalui
tahapan-tahapan eksperimentasi dan penggarapan yang mantap pula.
Buku Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali (1999) karya I Wayan Dibia
memberi gambaran yang lebih rinci mengenai sendratari Bali. Ditegaskan dalam buku itu
bahwa sendratari Bali pada hakikatnya merupakan hasil kreativitas para seniman modern
melalui penuangan atau pengolahan kembali elemen-elemen seni dan bentuk-bentuk
kebudayaan yang sudah ada seperti seni Pewayangan, Pegambuhan, Pelegongan, dan
Kekebyaran. Disinggung pula dalam buku itu tentang konsep estetik sendratari sebagai
sebuah tarian berlakon yang lebih menekankan penyajian cerita lewat gerak tari dan
musik (karawitan). Selain memaparkan sejarah dan perkembangan sendratari Bali,
Wayan Dibia juga membedakan sendratari Bali menjadi dua yaitu sendratari kecil dan
sendratari besar atau kolosal. Sendratari kecil melibatkan 10 sampai 25 orang penari
sedangkang sendratari besar melibatkan 50 sampai 150 orang penari.
Buku yang memberikan gambaran umum tentang seni tari, karawitan dan
pedalangan Bali itu memberikan porsi yang cukup berarti mengenai sendratari Bali.
Dipaparkan bahwa sumber lakon sendratari Bali dapat menjadi tiga kelompok yaitu
Ramayana, Mahabharata, Babad dan Cerita Rakyat. Khusus mengenai epos Mahabharata
disebutkan telah dijadikan sumber lakon sendratari sejak tahun 1970-an oleh sejumlah
seniman baik perorangan maupun berkelompok. Berdasarkan jumlah penarinya,
Sendratari Mahabaharata juga telah digarap dalam bentuk sendratari kecil dan sendratari
42
besar atau kolosal. Dipaparkan sejumlah sendratari kecil itu adalah Sang Kaca karya I
Wayan Dibia, garapan sendratari Pemda Kabupaten Gianyar pada Festival Gong Kebyar
se-Bali tahun 1978 dan Sendratari Nara Kesuma karya I Wayan Beratha, sendratari
garapan Pemda Kabupten Badung pada Festival Gong Kebyar se-Bali tahun 1978.
Sedangkan Sendratari Mahabharata yang digarap secara kolosal disebutkan dimulai sejak
tahun 1981 yang ditampilkan di PKB diantaranya adalah: Bale Gala-gala, Sayembara
Dewi Amba, Pandawa Korawa Aguru, Sayembara Drupadi, Gugurnya Kicaka, Arjuna
Wiwaha, Dewa Ruci, Eka Lawya, Kresna Duta, Gugurnya Abhimanyu, Gugurnya
Gatotkaca, Gugurnya Karna, Gugurnya Salya, Gugurnya Duryadana, Gugurnya Kresna,
Sakuntala, Kangsa Lina, Pandawa ke Sorga, Parikesit, Prabu Nala, dan lain-lain.
Skenario yang menjadi pelengkap sendratari kolosal merupakan sebuah
pembaharuan dalam seni pertunjukan Bali. Seni pertunjukan tradisional Bali seperti
gambuh, topeng panca, wayang wong, tak pernah menggunakan play script atau skenario.
Lakon atau skenario sebuah pementasan disampaikan secara lisan oleh pemain yang
dianggap paling berpengalaman yang kemudian disepakati secara bersama. Peristiwa
seperti itu disebut dengan ngadungang lampahan (Bandem 1996:69). Sebuah skenario
dalam sendratari kolosal disusun sebagai berikut:
Proses penyusunan scenario itu dimulai dari penyusunan sinopsis cerita,pembabakan cerita, penampilan tokoh, suasana iringan, serta memasukkanaspek dramatis lainnya seperti peranan lampu dan lain-lainnya.Pembabakan cerita sendratari-sendratari itu masih mengikuti pola strukturdramatis sebuah cerita yang diangkat sebagai lakon yang biasanyamengandung adegan perkenalan, pertermuan, roman, kesedihan,perpisahan, keberangkatan, dan peperangan (ibid: 1996:71).
43
Seperti halnya sendratari gaya Jawa, gagasan awal diciptakan sendratari adalah
mengungkapkan cerita dengan gerak murni tanpa dialog. Namun ketika sendratari
dikembangkan di Bali, unsur dialog justru cukup menonjol dan penting. Vitalnya fungsi
dalang terutama dalam pementasan sendratari kolosal pada panggung yang sangat luas.
Bandem (Ibid:72–73) menyebut dalang menjadi mediator yang efektif
mengkomunikasikan kedalaman filsafat dan etika moral kepada penonton lewat
aksentuasi antawacana atau dialog-dialog tertentu. Peranan dalang dalam sendratari
kolosal mampu memikat selama 3-4 jam ribuan penonton.
Ketika sendratari tercipta di Jawa Tengah, konsep artistiknya tidak
menggunakan dialog verbal melainkan murni menampilkan drama dalam estetika tari.
Soedarsono dalam bukunya Seni Pertunjukan Indonesia & Pariwisata (2004)
memaparkan secara panjang lebar mengenai kelahiran dan perkembangan seni
pertunjukan yang secara harpiah berarti seni drama tari ini. Istilah sendratari diusulkan
oleh seorang dramawan bernama Anjar Asmara yang sampai sekarang dipergunakan
untuk menyebut drama tari Jawa tanpa dialog verbal ini, bahkan istilah ini diadopsi oleh
daerah-daerah lain di Indonesia untuk menyebut drama tari sejenis. Istilah sendratari
dimunculkan pada tahun 1961, ketika drama tari Jawa tanpa dialog verbal ini digarap
bagi wisatawan mancanegara dan wisatawan Nusantara (Soedarsono, 2003:145).
Diungkapkan dalam sub-bab, “Sendratari Ramayana di Panggung Terbuka
Prambanan”, ide awal dari seni pertunjukan ini berangkat dari upaya meningkatkan
kegiatan kepariwisataan di Jawa Tengah. Setelah sempat menyaksikan pertunjukan Ballet
Royale du Camboge yang dipentaskan di depan Angkor Wat, Menteri Perhubungan
44
Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata, Mayor Jenderal G.P.H. Djatikoesoemo,
berniat untuk menggelar sebuah pertunjukan yang megah di depan Candi Prambanan.
Dibuatlah kemudian sebuah panggung terbuka yang bertempat duduk 2.000 sampai 3.000
buah. Pangeran Suryohamijoyo dan Dr. Seoharso yang diserahkan tugas untuk
menyutradarai sendratari kolosal ini berhasil mementaskannya pada tanggal 26 Juli 1961.
Kuswarsantyo (1997:88) menyebut tiga keunggulan pementasan sendratari
Ramayana kolosal di panggung terbuka Prambanan itu. Pertama, latar belakang candi
Prambanan sangat mendukung suasana setiap adegan pertunjukan yang berdurasi 120
menit itu. Kedua, dengan arena yang cukup luas, menjadi sangat mungkin untuk
menghadirkan penari dalam jumlah banyak, sehingga kesan dramatik dari sebuah adegan
Ramayana semakin kuat. Kekuatan dramatik tersebut terbentuk dengan dukungan para
penari figur yang berada di sekitar tokoh utama, sehingga muncul kekuatan lebih dari
tokoh Rama atau Rahwana yang tidak tampak jika tokoh-tokoh tersebut hanya tampil
sendirian. Ketiga, kecanggihan teknologi di panggung terbuka ini membuka peluang
untuk dimanfaatkan secara optimal. Dengan manipulasi ruang dan mengambil latar
belakang candi, suasan adegan peradegan dalam pertunjukan Ramayana semakin hidup.
Imajinasi penonton pun akan terbawa ke alam kerajaan Alengka atau Pancawati yang
sebenarnya hanya fiktif itu.
Menurut Sal Murgiyanto dalam buku 100 Tahun Nusantara (2000) yang
diterbitkan Kompas, genre baru “sendratari“ akhirnya diterima dengan baik oleh
masyarakat dan menjadi sajian seni pertunjukan setempat. Dalam sub-bab “Tari, Wayang
dan Gamelan Seabad Lewat” diungkapkan bahwasanya dalam waktu singkat sendratari
45
tersebar ke Jawa Timur (Wilwatikta di Pandaan) dan Denpasar Bali. Bagong
Kussudiardja juga menggarap beberapa karyanya dalam bentuk sendratari atau drama
tari tanpa dialog. Orientasi cerita Ramayana dan Mahabharata masih sangat kuat karena
pengaruh wayang orang dan wayang kulit.
Demikian pula di Bali, genre sendratari menambah perbendaharaan dramatari daerah yang sudah ada. Seperti di Jawa, sendratari di Bali diciptakanbersama oleh sebuah tim yang terdiri dari pengajar, asisten, dan siwa-siswa Kokar Bali di bawah arahan seniman I Wayan Beratha. Polakoreografinya mirip dengan Sendratari Ramayana Prambanan (SRP).Kecuali cerita wayang Ramayana yang sangat popular sebagai sajianwisata ditampilkan pula kisah sejarah dan cerita rakyat. Sendratari Balidiiringi gending dan gamelan Bali, dengan gerak, rias dan kostum yangdikembangkan dari perbendaharaan tradisi yang ada. Bentuk sendrataribegitu populer sehingga menjadi acara utama dalam Pesta Kesenian Baliyang berlangsung setiap tahun. Penciptaannya ditangani secara khususoleh tim artistik gabungan dari kokar (SMKI) dan ASTI (STSI) Bali.Hasilnya dipentaskan di panggung Werdhi Budaya, Taman Budaya,Denpasar, Bali (Murgiyanto, 2000:353-354).
Penggarapan sendratari dalam PKB menjadi ritus inovasi di kalangan kreator
dan pelakau seni pertunjukan ini, sebab hampir setiap penggarapan sebuah lakon disertai
dengan semangat pembaharuan. Tentang ritus inovasi, hasil penelitian James L. Peacock,
Rites of Modernization: Symbolic and Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama,
memberikan inspirasi yang cukup kuat dan pemahaman konsep yang dalam. Peacock
melihat ludruk yang dijadikannya kasus, sebagai sebuah ritus modernisasi,
pengembangan dari Ritus Peralihannya Arnold van Gennep. Inovasi kiranya sejajar
dengan ritus seperti juga hal modernisasi dan ritus-ritus peralihan inisiasi. Dalam
penggarapan sendratari, inovasi diberi ruang yang lebar.
Inovasi dalam sendratari kolosal PKB berpijak dari bahan-bahan seni
pertunjukan tradisional Bali. Buku Seni Diantara Tradisi dan Modernisasi (1999) karya I
46
Wayan Dibia memberi wawasan tentang eksistensi seni pertunjukan tradisi dan modern
di Bali. Melalui ungkapan modernisasi dalam tradisi, dipaparkan bagaimana para
seniman di Bali secara sadar, kreatif dan selektif memasukkan ide-ide baru ke dalam
kesenian tradisional yang diwarisi sejak zaman lampau dengan tujuan untuk memberikan
nafas baru yang dapat mendekatkan kesenian itu dengan masyarakat zaman sekarang.
Melalui ungkapan modernisasi dengan tradisi, dipaparkan bahwa jenis pertunjukan
modern yang dihasilkan oleh para seniman Bali terdapat nuansa seni tradisi yang cukup
kental yang disebabkan oleh adanya kebiasaan dari para seniman memasukkan elemen-
elemen kesenian tradisi ke dalam karya-karya mereka yang lebih baru.
Untuk memenuhi tuntutan artistik masyarakat modern yang semakinkompleks, para praktisi seni tradisi terus memperbaharui (modernisasi)kesenian mereka dengan cara memasukkan ide-ide baru, baik yang berakardari lingkungan budaya sendiri maupun dari luar. Untuk menguatkanidentitas pribadi dan budaya dari karya-karya barunya, semakin banyakpara seniman modern yang kembali ke akar tradisi dan mengolah unsur-unsur tradisi yang ada atau yang diketahuinya (Dibia, 1999:13).
Para seniman Bali mengapresiasi seni tradisi sebagai sumber inspirasi dalam olah
cipta seninya. Tari klasik-tradisional Bali dalam hal ini, ibarat mata air tari-tari kreasi
yang muncul kemudian.. Inovasi dalam kreativitas seni tari di kalangan seniman Bali
masa kini tak bisa dilepaskan dari bahan-bahan yang telah tersedia dalam nilai-nilai
estetik warisan masyarakat terdahulu. Sebaliknya kreativitas seni tari yang mencoba
mengabaikan atau lepas sama sekali dari mutu manikam seni tradisi itu, lazimnya belum
mampu menjalin komunikasi dengan masyarakat penonton, bahkan tak jarang kurang
diapresiasi masyarakat pada umumnya. Berinovasi tari dengan mengemas elemen seni
tradisi seakan telah menjadi rumus jitu bagi kreator tari di Bali bila karyanya ingin
47
mendapat apresiasi penikmat seni pertunjukan. Sendratari adalah seni pertunjukan Bali
modern yang pijakan pengembangannnyas berakar dari seni pertunjukan tradisional yang
banyak mendapat perhatian masyarakat.
Namun seperti yang telah disinggung di atas, hingga saat ini belum ada penelitian
ilmiah yang khusus mengkaji tentang sendratari. Buku-buku yang telah disebutkan tadi
lebih banyak menempatkan sendratari sebagai bagian atau sub-bab dari sebuah
pembahasan kajian seni pertunjukan. Karya tulis setingkat S1 tentang sendratari
sebenarnya sudah banyak disusun mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar
dalam ujian akhirnya. Tetapi karena karya tulis itu hanya berupa skrip tari atau skrip
karawitan sebagai pendamping sendratari yang dijadikan objek garapan, isinya bersifat
deskriptif-informatif dan dibatasi pada karya seni yang diciptakan. Demikian pula halnya
dengan Sendratari Mahabharata (sendratari yang lakonnya bersumber dari epos
Mahabharata), juga belum ada yang mengangkat sebagai karya tulis ilmiah untuk jenjang
S3 khususnya dari perspektif kajian budaya.
Kendati demikian seluruh kajian terdahulu tentang sendratari tersebut menjadi
referensi dan informasi yang sangat berguna bagi penelitian ini. Setidaknya deskripsi
yang dituangkan dalam tulisan-tulisan terdahulu itu dapat menjadi sandaran penelitian
Sendratari Mahabharata secara lebih utuh dari perspektif kajian budaya (cultural studies).
Melalui pendekatan kajian budaya, penelitian ini akan mencoba memandang Sendratari
Mahabharata bukan hanya pada prinsip estetik namun juga menyangkut relasinya dengan
dialektika global-lokal ini. Penggunaan subjek global-lokal pada penelitian bidang
48
kesenian, pertunjukan sendratari khususnya, adalah kajian yang belum banyak dijelajahi
para peneliti kita. Penelitian ini berobsesi untuk membukukan dalam karya ilmiah
disertasi dan dijadikan referensi bagi semua pihak yang berkepentingan.
2.2 Konsep
Konsep yang terkandung dalam penelitian ini mencakup tiga hal, yaitu: (1)
Dinamika (2) Sendratari Mahabharata (3) Pesta Kesenian Bali. Deskripsi masing-masing
variabel tersebut dijabarkan di bawah ini.
2.2.1 Dinamika
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) mengartikan dinamika sebagai gerak
(dari dalam); tenaga yang menggerakkan; semangat (1990: 206). Pengertian secara umum
dari dinamika ialah sesuatu yang mengandung arti tenaga kekuatan, selalu bergerak
berkembang dan dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap keadaan. Jika
dikaitkan dengan budaya, maka dinamika kebudayaan adalah tata cara kehidupan
masyarakat yang selalu bergerak, berkembang dan menyesuaikan diri dengan setiap
keadaan dan seiring dengan perkembangan zaman. Kebudayaan itu sendiri
sesungguhnya adalah dinamika manusia yang hidup di dalam masyarakat yang menjadi
wadah kebudayaan. Dinamika kebudayaan juga sering disebut dengan perubahan
kebudayaan.
49
Perubahan yang terjadi dalam perjalanan sendratari di tengah perjalan global-
lokal adalah sebuah dinamika yang memiliki korelasi dengan perubahan kebudayaan
yang secara terus menerus berdialektika dalam proses tesis-antitesis-sintesis. Keberadaan
sendratari sejak muncul di Bali pada tahun 1961 dan hingga menjadi seni pertunjukan
favorit penonton di arena PKB, menunjukkan adanya dinamika perubahan dalam
dramatari yang merupakan perpaduan seni tari, karawitan, dan pedalangan ini. Konsep
estetik sendratari yang merupakan dramatari tanpa dialog verbal dari para penari, dalam
perkembangannya terakhir justru mengarah jadi dramatari yang didominasi dialog verbal
oleh dalang. Sendratari mengalami dinamika perubahan pada aspek intrinsik dan
ekstrinsiknya.
Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
karena manusia adalah pendukung keberadaan suatu kebudayaan. Kebudayaan pada
suatu masyarakat senantiasa memiliki fungsi yang dapat menunjang pemenuhan
kebutuhan bagi para anggota pendukung kebudayaan. Dalam jangka waktu tertentu,
semua kebudayaan mengalami perubahan. Leslie White (1969) mengemukakan
bahwa kebudayaan merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan
lingkungan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas pendukungnya.
Sependapat dengan itu Haviland (1993 : 251) menyebut bahwa salah satu penyebab
mengapa kebudayaan berubah adalah lingkungan yang dapat menuntut kebudayaan
yang bersifat adaptif. Dalam konteks ini perubahan lingkungan yang dimaksud bisa
menyangkut lingkungan alam maupun sosial.
50
Berkaitan dengan perubahan kebudayaan, Kingsley Davis berpendapat bahwa
perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat merupakan bagian dari perubahan
kebudayaan (Poerwanto, 2000 : 142). Perubahan-perubahan dalam kebudayaan
mencakup seluruh bagian kebudayaan, termasuk kesenian, ilmu pengetahuan,
teknologi, filsafat, bahkan dalam bentuk dan aturan-aturan organisasi sosial. Ruang
lingkup perubahan kebudayaan lebih menekankan pada ide-ide yang mencakup
perubahan dalam hal norma-norma dan aturan-aturan yang dijadikan sebagai landasan
berperilaku dalam masyarakat. Sedangkan perubahan sosial lebih menunjuk pada
perubahan terhadap struktur dan pola-pola hubungan sosial, yang antara lain
mencakup sistem status, politik dan kekuasaan, persebaran penduduk, dan hubungan-
hubungan dalam keluarga.
Melihat unit analisis perubahan masing-masing perubahan tersebut, maka
dapat dimengerti mengapa perubahan kebudayaan memerlukan waktu yang lebih
lama dibandingkan dengan perubahan sosial. Dinamika kebudayaan identik dengan
perubahan unsur- unsur kebudayaan universal, yang apabila ditinjau dalam kenyataan
kehidupan suatu masyarakat, tidak semua unsur mengalami perkembangan yang
sama. Ada unsur kebudayaan yang mengalami perubahan secara cepat, ada pula yang
lambat, bahkan sulit berubah. Apabila mengkaji pengertian kebudayaan menurut
Antropolog Inggris Edward Burnett Tylor (Horton & Hunt, 2006 : 58) sebagai suatu
kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, keyakinan, kesenian, hukum,
moral, adat, semua kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh seseorang sebagai
51
anggota masyarakat; maka tingkat perubahan unsur tersebut menjadi sangat variatif
antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.
Transformasi didefinisakan sebagai penerapam suatu konfigurasi atau ekspresi ke
dalam konfigurasi atau ekspresi lainnya mengikuti aturan-aturan tertentu. Dalam definisai
ini batas antara transformasi dan perubahan tampak kabur. Ted Honderlich, di dalam
Conservatism, menjelaskan perbedaan mendasar antara transformasi dan perubahan
dalam konteks ideology konservatisme. Perubahan, menurut Honderlich, merubah
subtansi sebuah obyek, yaitu membebaskan obyek sepenuhnya adari setiap aspeknya.
Perubahan adalah penggantian subtansi, dengan menciptakan sesuatu yang baru.
Transformasi bukanlah perubahan pada tingkat subtansi ini tetapi proses perbaikan tau
penyempurnaan terhadap berbagai kekurangan yang ada (Piliang, 2005: 315).
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut
culture, yang berasal dari kata Latin cultura, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa
diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang
diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Budaya adalah "daya dari
budi" yang berupa cipta, karsa, dan rasa itu (Koentjaningrat, 1981: 181). Kebudayaan
adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup (Djoko Widagdho,
1991: 19-20).
52
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah
untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan
sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang
kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan
intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
John W. Berry dkk. (1999: 324) mengungkapkan bahwa walaupun istilah budaya
pertama muncul di sebuah kamus Inggris tahun 1920-an (Kroeber, 1949), penggunaan
pertama dalam suatu karya antropologi dilakukan Tylor (1871). Ia membatasi budaya
sebagai "keseluruhan kompleks yang terdiri dari pengetahun, keyakinan, seni, moral,
hukum, adat kebiasaan dan kapabilitas lain, serta kebiasaan apa saja yang diperoleh
seorang manusia sebagai anggota suatu masyarakat.
Semua bentuk kebudayaan yang ada di dunia ini memiliki kesamaan unsur yang
bersifat universal. Koentjaraningrat (1981: 186-205) menyebutkan ada tujuh unsur-
unsur kebudayaan yang bersifat universal, yaitu: 1) sistem relegi dan upacara
keagamaan; 2) sistem politik dan organisasi kemasyarakatan; 3) sistem pengetahuan;
4) bahasa; 5) kesenian; 6) sistem mata pencaharian hidup; 7) sistem teknologi dan
peralatan.
53
Kebudayaan mempunyai makna tertentu dalam kehidupan manusia. Inti budaya yang
berupa sistem nilai dan perangkat konsep-konsep dasar, adalah suatu gagasan pemikiran
yang terintegrasi, yang menjadi pengarah bagi prilaku manusia dalam masyarakat
yang bersangkutan. Mengikuti penalaran ini, kebudayaan haruslah dipandang sebagai
anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan apa manusia diberi peluang untuk
mengarahkan tindakannya dan memberi makna kepada hidupnya (Sedyawati, 1997: 7).
Inti dan batas kebudayaan menurut Bakker (1984:22) adalah penciptaan,
penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani. Terlingkup di dalamnya usaha
memanusiakan bahan alam mentah serta hasilnya. Dalam bahan alam, alam diri dan alam
lingkungannya baik fisik maupun sosial, dilai-nilai diidentifikasikan dan
diperkembangkan sehingga sempurna. Membudayakan alam, mamanusiakan hidup,
menyempurnakan hubungan keinsanian merupakan kesatuan tak dipisahkan. "Man
humanizes himself in humanizing the worlt around him".
2.2.2 Sendratari Mahabharata
Sendratari Mahabharata adalah genre dramatari yang lakonnya bersumber dari
epos Mahabharata. Sendratari merupakan singkatan seni drama tari yang dalam konsep
penyajiannya, para pemainnya, tidak menggunakan dialog langsung. Istilah sendratari
kolosal sudah muncul sejak awal seni pertunjukan ini diciptakan pada tahun 1961 di Jawa
Tengah. Sebenarnya dalam seni pertunjukan Jawa yang memakai ratusan penari dan
penabuh sudah terlihat dalam wayang wong, namun baru pada Sendratari Ramayana yang
dipentaskan di panggung terbuka Candi Prambanan sebutan itu popular. Ketika
54
Sendratari Jayaprana tercipta di Bali pada tahun 1961 yang disusul kemudian munculnya
Sendratari Ramayana (1965), Sendratari Mayadanawa (1966), Sendratari Rajapala (1967)
dan Sendratari Arjuna Wiwaha (1970), belum disebut kolosal pada kesenian ini. Sebutan
kolosal untuk seni pertunjukan ini baru mengemuka sejak Festival Ramayana Nasional di
Prambanan pada tahun 1969 dan kian lazim disebut sendratari kolosal sejak pementasan
Sendratari Ramayana di Panggung terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Denpasar, pada
PKB I tahun 1979.
Seperti yang terjadi di Jawa Tengah, sesungguh seni pertunjukan Bali yang
dibawakan oleh ratusan penari bukanlah sesuatu yang baru. Gambuh sebagai drama tari
yang tertua di Bali pernah dipentaskan dengan penari berjumlah 100 orang dan wayang
wong Tejakula dibawakan oleh 80 orang penari. Kendati demikian, (Bandem, 1996:68)
penampilan kedua bentuk kesenian yang menggunakan penari dalam jumlah relative
banyak tidak dikatakan pertunjukan kolosal, karena kedua kesenian itu masing-masing
menampilkan stock-scene character (karakter pokok) yang satu sama lain memiliki tari
dan atribut yang berbeda, sebab dari komposisi tarinya, penampilan dalam jumlah yang
banyak tidak mempunyai keterkaitan.
Sendratari Mahabharata PKB dibawakan oleh ratusan penari, penabuh, dalang
serta vokalis atau gerong. Tampil dalam panggung luas dengan jarak penonton yang
relatif jauh, mendorong solusi dan kreativitas penataan tari dengan jumlah penari yang
banyak atau kolosal. Kebutuhan pengadegan kolosal biasanya tergantung dari kreativitas
para koreografer. Penggambaran laut, awan, api, hutan, gunung dan sebagainya, sering
55
diungkapkan secara kolosal oleh puluhan penari. Puluhan penari yang saling terkait
dalam sebuah koreografi menjadi identitas penyebutan dengan istilah sendratari kolosal.
Istilah sendratari sendiri, seperti sudah disinggung di atas, diusulkan oleh
seorang sastrawan dan pekerja film yang bernama Anjar Asmara. Seni pertunjukan tanpa
menggunakan dialog langsung ini, di Bali, sempat dengan latah disebut ballet. Penamaan
ballet ini disebabkan selain mungkin karena konsep artistiknya adalah sajian tari, juga
karena penciptaannya mendapat inspirasi dari pertunjukan ballet Ramayana di depan
Angkor Wat Cambodia. Sendratari Ramayana Kokar dan ASTI Denpasar yang pada
tahun 1970-an sering naik pentas di seluruh Bali, pernah oleh masyarakat dengan pasih
disebut igel-igelan ballet. Penyebutan ballet kemudian menghilang pada era kejayaan
sendratari kolosal di arena PKB.
Mahabharata adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Begawan
Byasa atau Vyasa asa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka
dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang
meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang
semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi. Secara
singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara
sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara
Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuda di medan Kurusetra dan pertempuran
berlangsung selama delapan belas hari.
56
Selain berisi cerita kepahlawanan (Wiracerita), Mahabharata juga mengandung nilai-
nilai Hindu, mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh sebab itu kisah Mahabharata
ini dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama Hindu. Kisah yang semula ditulis
dalam bahasa Sansekerta ini kemudian disalin dalam berbagai bahasa, terutama
mengikuti perkembangan peradaban Hindu pada masa lampau di Asia, termasuk di Asia
Tenggara. Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa,
Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah
digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10
Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari
Kadiri. Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa. Yang
terlebih populer dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk
kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno.
Di India ditemukan dua versi utama Mahabharata dalam bahasa Sansekerta yang
agak berbeda satu sama lain. Kedua versi ini disebut dengan istilah "Versi Utara" dan
"Versi Selatan". Biasanya versi ini dianggap lebih dekat dengan versi yang tertua.
Mahābhārata merupakan kisah epik yang terbagi menjadi delapan belas kitab atau sering
disebut Astadasaparwa. Rangkaian kitab yang menceritakan kronologi peristiwa dalam
kisah Mahābhārata, dari kisah para leluhur Pandawa dan Korawa (Yayati, Yadu, Puru,
Kuru, Duswanta, Sakuntala,Bharata) sampai kisah diterimanya Pandawa masuk surga,
secara singkat dijelaskan sebagai berikut.
57
1) Adiparwa. Kitab Adiparwa berisi berbagai cerita yang bernafaskan Hindu,
seperti misalnya kisah pemutaran Mandaragiri, kisah Bagawan Dhomya yang menguji
ketiga muridnya, kisah para leluhur Pandawa dan Korawa, kisah kelahiran Rsi Byasa,
kisah masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kisah tewasnya raksasa Hidimba di
tangan Bhimasena, dan kisah Arjuna mendapatkan Dropadi.
2) Sabhaparwa. Kitab Sabhaparwa berisi kisah pertemuan Pandawa dan Korawa
di sebuah balairung untuk main judi, atas rencana Duryodana. Karena usaha licik
Sangkuni, permainan dimenangkan selama dua kali oleh Korawa sehingga sesuai
perjanjian, Pandawa harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun dan setelah itu
melalui masa penyamaran selama 1 tahun.
3) Wanaparwa. Kitab Wanaparwa berisi kisah Pandawa selama masa 12 tahun
pengasingan diri di hutan. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah Arjuna yang
bertapa di gunung Himalaya untuk memperoleh senjata sakti. Kisah Arjuna tersebut
menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.
4) Wirataparwa. Kitab Wirataparwa berisi kisah masa satu tahun penyamaran
Pandawa di Kerajaan Wirata setelah mengalami pengasingan selama 12 tahun. Yudistira
menyamar sebagai ahli agama, Bhima sebagai juru masak, Arjuna sebagai guru tari,
Najula sebagai penjinak kuda, Sahadewa sebagai pengembala, dan Dropadi sebagai
penata rias.
58
5) Udyogaparwa. Kitab Udyogaparwa berisi kisah tentang persiapan perang
keluarga Bharata (Bharatayudha). Kresnayang bertindak sebagai juru damai gagal
merundingkan perdamaian dengan Korawa. Pandawa dan Korawa mencari sekutu
sebanyak-banyaknya di penjuru Bharatawarsha, dan hampir seluruh Kerajaan India Kuno
terbagi menjadi dua kelompok.
6) Bhismaparwa. Kitab Bhismaparwa merupakan kitab awal yang menceritakan
tentang pertempuran di Kurukshetra. Dalam beberapa bagiannya terselip suatu
percakapan suci antara Kresna dan Arjuna menjelang perang berlangsung. Percakapan
tersebut dikenal sebagai kitab Bhagavad Gita. Dalam kitab Bhismaparwa juga diceritakan
gugurnya Resi Bhisma pada hari kesepuluh karena usaha Arjuna yang dibantu oleh
Srikandi.
7) Dronaparwa. Kitab Dronaparwa menceritakan kisah pengangkatan Bagawan
Drona sebagai panglima perang Korawa. Drona berusaha menangkapYudistira, namun
gagal. Drona gugur di medan perang karena dipenggal oleh Drestadyumna ketika ia
sedang tertunduk lemas mendengar kabar yang menceritakan kematian anaknya,
Aswatama. Dalam kitab tersebut juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu dan
Gatotkaca.
8) Karnaparwa. Kitab Karnaparwa menceritakan kisah pengangkatan Karma
sebagai panglima perang oleh Duryodana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan
sekutunya yang lain. Dalam kitab tersebut diceritakan gugurnya Dursasana oleh Bhisma,
59
Salya menjadi kusir kereta Karna, kemudian terjadi pertengkaran antara mereka.
Akhirnya, Karna gugur.
9) Salyaparwa. Kitab Salyaparwa berisi kisah pengangkatan Sang Salya sebagai
panglima perang Korawa pada hari ke-18. Pada hari itu juga, Salya gugur di medan
perang. Setelah ditinggal sekutu dan saudaranya, Duryodana menyesali perbuatannya dan
hendak menghentikan pertikaian dengan para Pandawa. Hal itu menjadi ejekan para
Pandawa sehingga Duryodana terpancing untuk berkelahi dengan Bhima. Dalam
perkelahian tersebut, Duryodana gugur, tapi ia sempat mengangkat Aswatama sebagai
panglima.
10) Sautikaparwa. Kitab Sauptikaparwa berisi kisah pembalasan dendam
Aswatama kepada tentara Pandawa. Pada malam hari, ia bersama Kripa dan Kertawarma
menyusup ke dalam kemah pasukan Pandawa dan membunuh banyak orang, kecuali para
Pandawa. Setelah itu ia melarikan diri ke pertapaan Byasa. Keesokan harinya ia disusul
oleh Pandawa dan terjadi perkelahian antara Aswatama dengan Arjuna. Byasa dan
Kresna dapat menyelesaikan permasalahan itu. Akhirnya Aswatama menyesali
perbuatannya dan menjadi pertapa.
11) Striparwa. Kitab Striparwa berisi kisah ratap tangis kaum wanita yang
ditinggal oleh suami mereka di medan pertempuran. Yudistira menyelenggarakan upacara
pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada
leluhur. Pada hari itu pula Dewi Kunti menceritakan kelahiran Karna yang menjadi
rahasia pribadinya.
60
12) Santiparwa. Kitab Santiparwa berisi kisah pertikaian batin Yudistira karena
telah membunuh saudara-saudaranya di medan pertempuran. Akhirnya ia diberi wejangan
suci oleh Rsi Byasa dan Sri Kresna. Mereka menjelaskan rahasia dan tujuan ajaran Hindu
agar Yudistira dapat melaksanakan kewajibannya sebagai Raja.
13) Anusasanaparwa. Kitab Anusasanaparwa berisi kisah penyerahan diri
Yudistira kepada Resi Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma mengajarkan tentang
ajaran Dharma, Artha, aturan tentang berbagai upacara, kewajiban seorang Raja, dan
sebagainya. Akhirnya, Bhisma meninggalkan dunia dengan tenang.
14) Aswamedikaparwa. Kitab Aswamedhikaparwa berisi kisah pelaksanaan
upacara Aswawedha oleh RajaYudistira. Kitab tersebut juga menceritakan kisah
pertempuran Arjunadengan para Raja di dunia, kisah kelahiran Parikesit yang semula
tewas dalam kandungan karena senjata sakti Aswatama, namun dihidupkan kembali oleh
Sri Kresna.
15) Asramawasikaparwa. Kitab Asramawasikaparwa berisi kisah kepergian
Drestarastra, Gandari, Kunti, Widura, dan Sanjaya ke tengah hutan, untuk meninggalkan
dunia ramai. Mereka menyerahkan tahta sepenuhnya kepada Yudistira. Akhirnya Resi
Narada datang membawa kabar bahwa mereka telah pergi ke surga karena dibakar oleh
api sucinya sendiri.
16) Mosalaparwa. Kitab Mosalaparwa menceritakan kemusnahan bangsaWresni.
Sri Kresna meninggalkan kerajaannya lalu pergi ke tengah hutan. Arjuna mengunjungi
Dwarawati dan mendapati bahwa kota tersebut telah kosong. Atas nasihat Rsi Byasa,
61
Pnadawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan diri dan
meninggalkan dunia fana.
17) Mahaprastanikaparwa. Kitab Mahaprastanikaparwa menceritakan kisah
perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya, sementara tahta kerajaan
diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan para
Pandawa (kecuali Yudistira), meninggal dalam perjalanan.
18) Swargarohanaparwa. Kitab Swargarohanaparwa menceritakan kisah
Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga
oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang sangat setia.
Ia menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing
menampakkan wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma.
2.2.3 Pesta Kesenian Bali
PKB adalah sebuah wahana pelestarian dan pengembangan kesenian Bali.
Melalui arena ini aneka ragam kesenian Bali dilestarikan dan dikembangkan dalam
interaksi budaya serta dinamika zaman globalisasi. Sendratari Mahabharata sebagai
ekspresi seni modern yang ditampilkan hampir sepanjang penyelenggaraan PKB
merepresentasi sebuah pergulatan seni dan budaya masyarakat Bali masa kini.
Demikian pula gagasan dan penyelenggaraan PKB sendiri, disambut, ditanggapi, dan
dikritisi oleh masyarakat Bali dengan beragam sisi pandang. Tanggapan yang
beragam dari masyarakat Bali memperkokoh eksistensi PKB hingga kini, sebagai
arena pergulatan seni dan budaya yang banyak menarik perhatian.
62
Ketika bulan Juni-Juli tiba, sejak lebih dari 30 tahun yang lalu, masyarakat
Bali memberikan apresiasi tinggi terhadap penyelenggaraan PKB. Pesta yang pada
intinya menampilkan keragaman seni dan budaya Bali itu dikenal hingga ke pelosok
desa dan bahkan sampai di daerah pegunungan. Art Centre (Taman Budaya Bali),
pusat diselenggarakannya pesta seni itu, bagaikan magnet yang mampu menyedot
masyarakat datang mengunjunginya dari seluruh penjuru Bali. Beragam sajian seni
yang digelar disimak dan dinikmati masyarakat penonton. Kendati demikian, gagasan,
penyelenggaraan dan perjalanan PKB tak jarang disertai dengan kritik-kritik yang
tajam dari para seniman dan budayawan. Keterlibatan para seniman dan budayawan
tersebut menjadi arena pergulatan seni dan budaya yang penting di Bali.
Adalah legitimasi Perda Nomor 7 Tahun 1986 yang mengukuhkan dan
menjamin keberlangsungan peristiwa budaya yang diawali pada tahun 1979 itu.
Lebih dari itu, sejatinya pesta seni akbar yang digagas Gubernur Bali Prof. Dr. Ida
Bagus Mantra ini, hingga pada penyelenggaraannya yang ke-30 ini, mendapat
perhatian luas bukan saja dari masyarakat Bali namun juga mengundang penampilan
pelaku seni nasional bahkan hingga partisipasi insan-insan seni internasional.
Di kalangan para seniman Bali sendiri, PKB telah menjadi arena berkesenian
yang bergengsi. Gairah berkesenian para seniman Bali cenderung meningkat apabila
mendapat kepercayaan tampil di arena PKB. Pementasan bentuk-bentuk seni tradisi
komunal ditampilkan secara fanatik oleh masyarakat pendukungnya. Begitu pula
genre seni kreasi, digarap dan disajikan sarat dedikasi dan penuh kesungguhan oleh
63
para pelakunya. Para seniman alam di desa-desa hingga kalangan seniman akademis
di lembaga pendidikan formal kesenian menempatkan ajang PKB sebagai wahana
berkesenian yang prestisius.
Beragam khasanah kesenian Bali ditampilkan dengan bangga oleh komunitas
seni atau pendukungnya masing-masing, apakah itu seni tradisi yang masih natural
atau seni tradisi-kreasi yang sedang menggeliat hingga seni yang bernuansa
kontemporer, semuanya mendapat kesempatan dan peluang ditampilkan di arena
PKB. Upaya penggalian dan langkah-langkah pelestarian terhadap ekspresi seni yang
patut direvitalisasikan dan diaktualisasikan, tak sedikit yang diproyeksikan dalam
konteks penampilan di gelanggang PKB. Semangat pengembangan yang dirangsang
dalam PKB memunculkan kreativitas dan inovasi seni yang diantaranya menjadi
tontonan primadona masyarakat.
Pementasan sendratari kolosal dan festival/parade gong kebyar, adalah dua
bentuk seni pertunjukan favorit masyarakat Bali di arena PKB. Sendratari Ramayana
dan Mahabharata yang digelar di panggung terbuka Ardha Chandra, setidaknya
hingga 15 tahun penyelenggaraan PKB menjadi suguhan seni pentas yang selalu
mengundang berjubelnya lebih dari 5000 penonton. Festival/parade gong kebyar
bahkan lebih dahsyat. Festival/parade dalam format kompetisi gamelan dan tari duta
masing-masing kabupaten/kota se-Bali ini selalu mengundang antusiasisme para
penggemar seni pertunjukan ini. Pementasan yang disajikan secara mabarung sarat
dengan rivalitas dan fanatisme.
64
Seni pertunjukan memperoleh porsi terbesar sejak awal PKB. Penonton dapat
menyaksikan sendratari kolosal atau gegap gempita festival gong kebyar di panggung
terbuka Ardha Candra. Masyarakat penggemar tari klasik legong dan tari kreasi misalnya
dapat menyimak pertunjukan kesenian itu di panggung tertutup Ksirarnawa. Penonton
dapat pula menikmati drama tari arja dan gambuh di Wantilan. Atau masyarakat
menggemar tari joged, janger, dan genjek dapat mengerumuninya di kalangan sederhana
Angsoka dan Ayodia. Bahkan penonton dapat pula menikmati pertunjukan ngelawang di
areal Taman Budaya.
Lima materi pokok yang disajikan dalam setiap program penyelenggaraan
PKB yaitu pawai, pagelaran, lomba, pameran, dan sarasehan, pada tiga materi
pertama didominasi oleh seni pertunjukan seperti seni tari, karawitan, dan teater.
Sedangkan seni rupa, baik seni rupa murni maupun terapan menunjukkan
eksistensinya pada pokok materi pameran. Seminar seni yang melibatkan lintas
seniman dan budayawan, membahas topik-topik kontesktual dan relevan tentang
kebudayaan dimana kesenian dengan segala dimensinya dijadikan fokus dialog.
Pagelaran puspa warna seni pertunjukan ibarat lokomotif yang menarik gerbong
kesenian lainnya menuju stasiun PKB.
Ketika PKB dimulai pada tahun 1979 bukannya tanpa tantangan. Kala itu, tak
sedikit tokoh-tokoh masyarakat yang mengkritisi dan menyangsikan gagasan yang
digulirkan Ida Bagus Mantra tersebut. Namun kenyataannya kemudian berkata lain.
Perhelatan seni terbesar di Bali ini tak pernah jeda menciptakan vibrasi cerah terhadap
keberadaan seni dan budaya masyarakat Bali. Setidaknya, strategi kebudayaan
65
masyarakat Bali ini telah memberikan harapan terhadap tujuan digelarnya PKB yaitu
untuk memelihara, membina, melestarikan, dan mengembangkan seni budaya;
mengkaji konsep-konsep dan masalah-masalah kesenian Bali; menggali, mendorong,
dan mengembangkan kreasi dan kegiatan seni budaya yang tidak bertentangan
dengan keperibadian masyarakat dan bangsa; mendorong, memberikan kesempatan
perkembangan promosi usaha-usaha di bidang seni budaya dan kerajinan rakyat; serta
memberikan hiburan yang sehat bagi masyarakat.
Menyimak perjalanannya sejak awal hingga kini, lima tujuan yang dijadikan
idealisme .penyelenggaraan PKB tersebut telah menujukkan hasil yang positif.
Tampak tujuan kelima yaitu sebagai wahana hiburan telah menunjukkan hasil
kongret. Fungsi seni sebagai objek dan subjek kegirangan hati cukup kondusif dapat
dirasakan masyarakat penonton dalam pesta seni tersebut. Pawai pembukaan PKB
disaksikan ribuan orang dan dihadiri oleh pejabat negara. Beragam pagelaran seni
diminati kalangan anak-anak hingga orang dewasa. Lomba-lomba seni diikuti dan
ditonton dengan penuh gairah. Pameran kerajinan rakyat bahkan disajikan amat
agresif. Tradisi menonton sebagai media hiburan di tengah masyarakat Bali tampak
terartikulasi baik di arena PKB. Seni tontonan yang biasanya di tengah masyarakat
dinikmati secara komunal, di panggung-panggung Taman Budaya Bali disaksikan
secara netral. Posisi masyarakat penonton yang datang ke arena PKB sungguh-
sungguh menjadi penonton yang apresiatif.
66
Sudah menjadi kodratnya, jagat seni adalah media fleksibel yang integral
dengan moralitas. Salah satu tanggung jawab moral dari kesenian adalah menciptakan
kedamaian lahir batin dan menawarkan kontribusi pada kontruksi bangunan karakter
spiritual manusia. Bahkan lebih jauh lagi bahwasannya seni mampu memanusiakan
manusia, sebab seni dipercaya mampu membuat manusia arif, memperhalus budi
pekerti, mendekatkan manusia bukan saja kepada sesamanya namun juga kepada
yang menciptakan kehidupan itu sendiri. Di Bali, berkesenian adalah sebuah
persembahan bahkan totalitas hidup itu sendiri.
Seni sebagai sebuah persembahan memancarkan auranya dalam PKB. Budaya
ngayah dalam konteks seni persembahan kiranya turut berperan menyangga eksistensi
pesta seni tersebut. Pada masa kini, budaya ngayah terasa hadir, selain masih
berlangsung dalam kaitannya dengan iman keagamaan, ngayah berkembang pada
entitas yang lebih luas yakni kepada penguasa masa kini, termasuk berkesenian
dalam PKB.
Konteks PKB dengan eksistensi seni yang muncul di tengah masyarakat Bali
dapat secara gamblang dilihat pada perhatian luas dan keterlibatan generasi tua dan
muda, laki dan perempuan, dari masyarakat kebanyakan hingga pejabat pemerintah
pada gong kebyar dan forum festivalnya. Festival gong kebyar itu tak sedikit
menggiring anak-anak dan remaja Bali menjadi pemain gamelan dan penari penuh
harapan yang sekaligus bangga melakoninya. Festival itu juga menjadi inspirasi bagi
kaum wanita Bali, khususnya kalangan ibu-ibu, tak mau kalah menggeluti gong
67
kebyar di lingkungannya masing-masing. Festival dalam format kompetisi itu juga
memunculkan trend gamelan berukir rumit dengan prada berbinar pada gong kebyar
milik sekaa-sekaa gamelan atau sanggar-sanggar seni pertunjukan.
PKB berimbas konstruktif bagi iklim berkesenian di pulau kesenian ini.
Kesenian langka yang terpinggir atau pingsan dibangkitkan lagi atau
direaktualisasikan. Secara vertikal, misalnya muncul kreativitas bahkan inovasi seni
yang memberi binar dan memperkaya khasanah kesenian Bali. Semua ini
mengangkat prestise kesenian itu sendiri dan mempertebal kepercayaan diri
masyarakat Bali yang sebelumnya konon dulu sempat merasa rendah diri terhadap
nilai-nilai seni tradisinya sendiri. Aspirasi para seniman dan masyarakat Bali pada
umumnya terhadap PKB sangat menggembirakan.
PKB sebagai sebuah wadah penggalian, pelestarian, dan pengembangan
kesenian, di sisi lain telah menunjukkan kontribusi yang positif, secara kualitatif dan
kuantatif, terhadap keragaman eksistensi kesenian Bali. Namun kemajuan teknologi,
khususnya kian strategisnya peran televisi yang menyajikan hiburan rumahan
merupakan tantangan berat PKB. Aspirasi yang apresiatif terhadap apa yang
disajikan dalam pesta seni itu tampak kurang berpengaruh terhadap budaya menonton
di tengah masyarakat Bali yang kini cenderung bersifat individual mengurung diri di
rumah, dimanja oleh si kotak ajaib televisi yang menyajikan beraneka hiburan.
Penyelenggaraan PKB pada diharapkan masyarakat Bali dapat memberikan
pengayoman terhadap para seniman, perlindungan terhadap eksistensi kesenian, dan
68
menumbuhkembangkan apresiasi seni masyarakat penonton. Aspek finansial para
seniman PKB sudah sewajarnya juga mendapat perhatian serius. Respek yang besar
pengayom seni telah terbukti cukup signifikan peranannya bagi keberadaan jagat
kesenian. Di masa lalu tak bisa dipungkiri bahwa banyak kelahiran dan kebesaran para
seniman didukung oleh tradisi pengayoman itu. Dulu, juga harus diakui tak sedikit
cipta seni dan perjalanan suatu kesenian dikondisikan oleh para pelindung seni dan
seniman tersebut.
Walaupun tidak setiap seniman yang vertiosik adalah berkat dukungan
pelindung seni dan kendatipun tak setiap cipta seni nasib dan kualitasnya karena
sokongan sponsor, namun antara seni dan seniman dengan maesenas di sisi lain
pernah menjalin komunikasi dan persahabatan yang intim. Interaksi yang positif ini
memberikan kontribusi bagi perkembangan kesenian dan munculnya maestro-
maestro seni. Kedermawanan kepada seniman dan seni adalah dedikasi yang luhur
Jika ditengok kebelakang, bentuk kedermawanan terhadap seni dan seniman subur
berkembang pada zaman kejayaan raja-raja. Struktur sosial pada waktu itu
memberikan kemungkinan hal itu berlangsung. Keputusan-keputusan terpenting yang
mengatur kehidupan negara, masyarakat dan orang-seorang diputuskan oleh raja, kaum
aristokrasi dan para agamawan. Demikian pula halnya tentang kekuasaan dan kekayaan,
didistribusikan dan dikelola oleh mereka. Jadi wajar bila para sponsor seni dan seniman
muncul dari kalangan itu karena pusat-pusat dinamik promosi seni berkembang di
lingkungan mereka, di keraton atau puri. Kini, pengayoman itu, semestinya dapat
69
diperankan PKB di tengah pergulatan budaya global-lokal sekarang ini (I Wayan Puja
Antara, wawancara 16 Nopember 2014).
Pergulatan budaya global-lokal adalah ibarat persinggungan arus sungai yang
deras dengan sebuah mata air jernih di tepiannya. Bagaimana proses interaksi antara
sungai deras itu adalah pergulatan yang sulit dihindarkan antara budaya global dengan
budaya lokal. Dialektika global-lokal adalah dialog antara globalisasi dengan nilai-nilai
tradisi lokal atau pertemuan dan silang budaya global dengan lokal.
Secara konseptual, global (globalisasi) mengacu pada pengertian penyatuan dan
intensifikasi kesadaran sebuah dunia secara keseluruhan. Konsep akan globalisasi
menurut Robertson (1992), mengacu pada penyempitan dunia secara insentif dan
peningkatan kesadaran kita akan dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi global dan
pemahaman kita akan koneksi tersebut. Di sini penyempitan dunia dapat dipahami dalam
konteks institusi modernitas dan intensifikasi kesadaran dunia dapat dipersepsikan
refleksif dengan lebih baik secara budaya. Pada hakikatnya globalisasi adalah proses
yang ditimbulkan oleh sesuatu kegiatan atau prakarsa yang dampaknya berkelanjutan
melampaui batas¬batas kebangsaan dan kenegaraan ; dan mengingat bahwa jagad
kemanusiaan ditandai oleh pluralisme budaya, maka globalisasi sebagai proses juga
menggejala sebagai peristiwa yang melanda dunia secara lintas-budaya Dalam gerak
lintas-budaya terjadi berbagai pertemuan antar-budaya yang sekaligus mewujudkan
proses saling-pengaruh antar-budaya, dengan kemungkinan satu fihak lebih besar
pengaruhnya ketimbang fihak lainnya. Pertemuan antar-budaya memang menggejala
70
sebagai keterbukaan fihak yang satu terhadap lainnya; namun pengaruh-mempengaruhi
dalam pertemuan antar-budaya itu tidak selalu berlangsung sebagai proses dua-arah atau
timbal-balik yang berimbang, melainkan boleh jadi juga terjadi sebagai proses imposisi
budaya yang satu terhadap lainnya; yaitu, terpaan budaya yang satu berpengaruh dominan
terhadap budaya lainnya.
Dalam praktiknya globalisasi memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan
dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui
perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang
lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Dalam globalisasi terjadi
suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi,
bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara.
Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan
internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering
menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau
batas-batas negara.
Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek nilai nilai (values) yang dianut
oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai
hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis,
yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting
artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang
ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan
71
penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai nilai dan budaya tertentu keseluruh
dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama.
Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para
penjelajah Eropa barat ke berbagai tempat di dunia ini (Lucian W. Pye, 1966 ). Namun,
perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan
berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik
sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan
komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya
perkembangan globalisasi kebudayaan. Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan
berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional. Penyebaran prinsip
multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap
kebudayaan lain di luar kebudayaannya.Berkembangnya turisme dan pariwisata.Semakin
banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.Berkembangnya mode yang berskala
global, seperti pakaian, film dan lain lain.Bertambah banyaknya event-event berskala
global.
Terjadinya pertemuan lintas budaya dalam globalisasi sulit dicegah. Pertemuan ini
di satu sisi dinilai memberikan manfaat, tetapi di sisi lain melahirkan kekhawatiran.
Munculnya kekhwatiran terhadap kelestarian budaya suatu suku bangsa atau bangsa
adalah alami, karena kebudayaan adalah acuan dalam menata kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang dibela dan dipertahankan kelestariannya. Kehadiran
pengaruh-pengaruh kebudayaan global di Indonesia dapat ditelusuri dari masa ke masa
72
sejak dari zaman pra sejarah sampai kedatangan pengaruh kebudayaan Barat. Jika
ditinjau dari segi waktu, dapat dikatakan bahwa pengaruh kebudayaan bangsa-bangsa lain
di dunia sudah masuk di Indonesia sejak ribuan tahun sebelum Masehi.
Budaya global (global culture) adalah sebuah konsep yang menjelaskan tentang
mendunianya berbagai aspek kebudayaan yang didalam ruang global tersebut terjadi
proses penyatuan, kesalingberkaitan dan kesalingketerhubungan. Oleh sebab itu budaya
global sering diidentikkan dengan proses penyeragaman budaya atau imperialisme
budaya. Meskipun demikian, konsep budaya global berbeda dengan gagasan kebudayaan
dalam pemikiran Waller Stein tentang sistem dunia (world system), yang didalamnya
kebudayaan dilihat sebagai sesuatu yang selalu mengacu pada gagasan, nilai,
kepercayaan, dan simbol-simbol yang relatif eksplisit dan dianut secara umum,
berdasarkan konsensus tertentu yang mengikat. Didalam sistem dunia tersebut – yang
dibentuk lebih dominan oleh motif dan kepentingan ekonomi – kebudayaan tidak
dianggap determinan di dalam bentuk masyarakat dunia (Piliang, 2004: 285).
Budaya global, pada kenyataannya bukanlah konsep genealogis yang menjelaskan
sebuah fenomena kebudayaan yang lahir atau mengakar pada sebuah teritorial tertentu,
sebagaimana misalnya ketika kita membicarakan budaya Jawa. Budaya global, sebagai
sebuah konsep, jauh lebih abstrak dan lebih kompleks. Dalam kerangka inilah Roland
Robertson (dalam Piliang, 2004: 285) melihat budaya global sebagai fenomena
kebudayaan yang terbentuk oleh berbagai komponen citra dan definisi-definisi yang
saling bertarung dan berkonflik. Oleh sebab itulah, budaya global sering dilihat sebagai
73
sebuah fenomena “kepentingan historis dunia yang berbahaya’’ khususnya bagi
eksistensi dan keberlangsungan budaya-budaya lokal yang bersifat otentik dan asli.
Featherstone (dalam Piliang, 2004: 286) melihat budaya global tidak hanya dalam
konteks penciptaan homogenisasi budaya, yaitu penyeragaman budaya dunia berdasarkan
satu model dan strategi kebudayaan, akan tetapi juga dalam konteks familiarisasi
terhadap keanekaragaman kultural yang lebih luas dan kaya. Hanya saja, familiarisasi
budaya ini, pada kenyataannya tidak pernah terwujud, disebabkan para pemain utama di
dalam ekonomi global, seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, tidak
mampu – atau tidak mau – memahami komplesitas relasi-relasi kultural tersebut. Ia
memaksakan model budaya ekonomi yang seragam di berbagai tempat yang berbeda dan
di dalam waktu yang berbeda. Kedua lembaga ini tampak berfungsi sebagai tangan-
tangan Barat, yaitu sebagai pelindung nilai-nilai universal atas nama dunia yang dibentuk
dalam citra dirinya sendiri.
Homogenisasi budaya semacam ini dianggap oleh berbagai pihak telah
menimbulkan berbagai tantangan dan ancaman bagi berkelanjutan budaya-budaya lokal
di masa depan. Meskipun demikian, konsep budaya lokal itu sendiri tampaknya masih
terlalu umum untuk menjelaskan berbagai kecenderungan lokal, yang dilandasi oleh
keanekaragaman ideologi, seperti suku, ras, agama, daerah. Featherstone merumuskan
budaya lokal sebagai “sebuah kebudayaan dari ruang yang relatif kecil yang didalamnya
individu-individu yang hidup di sana melakukan hubungan sehari-hari secara face to
face…penekanan adalah pada sifat kebudayaan sehari-hari yang a taken for granted,
kebiasaan (habits) dan repetitif…. Stok pengetahuan bersama ….yang berlaku terus
74
sepanjang masa dan dapat mencakup ritual, simbol, dan upacara-upacara yang
menghubungkan orang-orang dengan tempat (place) dan common sense tentang masa
lalu.”Budaya lokal, dengan demikian, dibentuk oleh struktur sosial yang mapan dan
bentuk-bentuk hubungan sosial yang hangat, intim, personal, yang merekat berbagai
komponen sosial secara kuat, yang mencakup budaya-budaya yang berlandaskan ideologi
kesukaran, kedaerahan, atau keagamaan.
Pertemuan budaya global dan budaya lokal menjadi sebuah persoalan ketika
struktur dan berbagai bentuk kehidupan sosial di dalamnya mengalami ketidakcocokan,
ketidaksetaraan, atau ketidakharmonisan satu sama lainnya - ketika pertemuan tersebut
mengandung ancaman di dalamnya. Sebagaimana yang dikatakan Mike Featherstone,
budaya global menjadi sebuah persoalan,ketika budaya-budaya lokal terintegrasi “ke
dalam struktur-struktur yang lebih bersifat impersonal yang di dalamnya pengaturan
pasar atau administrasi dijaga oleh elit-elit nasional atau para professional dan ahli lintas
budaya yang mempunyai kapasitas untuk mengesampingkan proses pengambilan
keputusan lokal dan menentukan nasib lokalitas”.
Dapat dilihat di sini, bahwa kemunculan semangat kembali ke budaya lokal
merupakan sebuah reaksi terhadap globalisasi budaya, yaitu reaksi terhadap terjadinya
homogenisasi atau penyeragaman budaya secara besar-besaran di dalam berbagai bentuk,
media dan produknya, yang menyebabkan menyempitnya ruang lokal dan merosotnya
pamor budaya-budaya lokal, serta kekhawatiran akan kelenyapan budaya tersebut,
sehingga mendorong munculnya berbagai bentuk perjuangan budaya, khususnya
perjuangan representasi budaya (cultural representation). Dalam hal ini, respek terhadap
75
akar-akar budaya lokal digunakan sebagai senjata untuk menentang kekuatan impersonal,
predator, dan anonim globalisasi. Istilah globalisasi, pertama kali digunakan oleh
Theodore Levitt , tahun 1985 yang menunjuk pada politik-ekonomi, khususnya politik
perdagangan bebas dan transaksi keuangan. Menurut sejarahnya, akar munculnya
globalisasi adalah revolusi elektronik dan disintegrasi negara-negara komunis. Revolusi
elektronik melipatgandakan akselerasi komunikasi, transportasi, produksi, dan informasi.
Disintegrasi negara-negara komunis yang mengakhiri Perang Dingin memungkinkan
kapitalisme Barat menjadi satu-satunya kekuatan yang memangku hegemoni global. Itu
sebabnya di bidang ideologi perdagangan dan ekonomi, globalisasi sering disebut sebagai
Dekolonisasi, Rekolonisasi, Neo-Kapitalisme, Neo-Liberalisme. Dan yang lain menyebut
globalisasi sebagai eksistensi Kapitalisme Euro-Amerika di Dunia Ketiga.
Globalisasi adalah dunia yang semangkin terhubung satu sama lain, mengalami suatu
global interconnectedness dimana terjadi pergerakan, percampuran, keterjalinan, serta
interaksi dan pertukaran budaya. Kini penghuni bumi semakin terhubung satu sama lain.
Dinding-dinding pembatas interaksi semakin terhubung satu sama lain. Dinding-dinding
pembatas interaksi semakin berkurang perngaruhnya akibat penemuan-penemuan di
bidang tekhnologi informasi. Jutaan manusia, bahkan tanpa menyadari, telah merengkuh
sebuah jaringan global yang mengubah kehidupan mereka untuk selamanya.
Meskipun demikian, tidak semua gerakan kembali ke kebudayaan lokal
merupakan reaksi terhadap globalisasi. Berbagai gerakan kesukuan, kedaerahan, dan
keagamaan yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini – bersama berbagai konflik
yang ditimbulkannya – misalnya, bukanlah dipicu oleh sentimen antiglobalisasi atau
76
semangat melepaskan diri dari cengkeraman imperialisme budaya Barat. Gerakan-
gerakan tribalisme tersebut lebih merupakan reaksi terhadap imperialisme dalam skala
yang jauh lebih kecil, yaitu sebuah sistem otoriter yang diwariskan oleh rezim Orde Baru.
Meskipun motifnya bukan antiglobalisasi, akan tetapi berbagai pengaruh global(-isasi)
tetap saja akan mempengaruhi berbagai gerakan budaya lokal tersebut, khususnya
terhadap keberhasilan/ kegagalannya, positif/ negatifnya dan berkelanjutan/kematiannya
dimasa depan.
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini bersandar pada tiga teori budaya yang relevan dengan topik
berspektif Kajian Budaya. Pertama, teori semiotika yang ditempatkan sebagai grand
theory yang terutama diaplikasikan mengkaji tanda-tanda dalam presentasi estetik
sendratari, khususnya makna-makna budaya yang direfleksikannya. Kedua, teori
eksistensialisme untuk menyangga keberadaan para pelaku budaya dalam tanggung
jawab kemanusiaannya sebagai insan berbudaya. Ketiga, teori hegemoni untuk dijadikan
sandaran teoritis bagaimana dominasi globalisasi dan hegemoni pemerintah terhadap
ekspresi budaya lokal, khususnya berkaitan dengan keberadaan Sendratari Mahabharata
PKB. Ketiga teori tersebut diaplikasikan secara eklektik sesuai dengan masalah, fungsi
dan kedudukannya.
2.3.1 Teori Semiotika
Semua kenyataan kultural adalah tanda. Kita memang hidup di dunia yang penuh
dengan tanda dan diri kitapun bagian dari tanda itu sendiri. Tanda-tanda tersebut
77
kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui
kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat
untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan
orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan.
Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai
pembangkitan makna (the generation of meaning) . Ketika kita berkomunikasi dengan
orang lain, setidaknya orang lain tersebut memahami maksud pesan kita, kurang kebih
secara tepat. Supaya komunikasi dapat terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam
bentuk tanda (bahasa, kata). Pesan-pesan yang kita buat, medorong orang lain untuk
menciptakan makna untuk dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan makna
yang kita buat dalam pesan kita. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin
banyak kita menggunakan sistim tanda yang sama, maka makin dekatlah “makna” kita
dengan orang tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita dengan orang lain
tersebut.
Semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja
(dikatakan juga semiologi). Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat
tiga unsur utama yakni; (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda. Tanda
merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita, tanda mengacu pada
sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya
sehingga disebut tanda. Misalnya; mangacungkan jempol kepada kawan kita yang
berprestasi. Dalam hal ini, tanda mengacu sebagai pujian dari saya dan ini diakui seperti
78
itu baik oleh saya maupun teman saya yang berprestasi. Makna disampaikan dari saya
kepada teman yang berprestasi maka komunikasi pun berlangsung.
Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Dalam
pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai
cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang
berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan
model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh
praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga
dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu
sendiri (Piliang, 1998:262). Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni
Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh
tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama
lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah
linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya
semiologi (semiology).
Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopi (1991:54) tanda sebagai kesatuan dari
dua bidang yang tidak dapat dipisahkan seperti halnya selembar kertas. Di mana ada
tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai
dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda
atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau
makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan
79
konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama. Lebih lanjut dikatakannya
bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai
wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek, dan
sebagainya.
Pertanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang
diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan
makna. Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain yang
disebut reerent. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada
kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Apalagi hubungan antara tanda dan
yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul
penertian (Eco, 1979:59). Menurut Piere, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat
mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15).
Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut obyek
(denotatum). Ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut obyek (denotatum). Mengacu
berarti mewakili atau menggantikan. Tanda aru dapat berfungsi bila diinterpretarikan
dalam benak penerima tana melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman
makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Aritnya, tanda baru dapat berfungsi
sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu
pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang
dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segi tiga semiotik.
80
Selanjutnya dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan
menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang
antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Bila
ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini
disebut metonimi. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar
tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan, simbol adalah
tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah
bahasa tulisan. Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar
(bentuk), objek (referent) dan konsep (interpretant atau reference). Bentuk biasanya
menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan obyek akan menimbulkan
interpretan. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi dalam memahami pesan
iklan.
Rangkaian pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian
semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjutnya terjadi tingkatan rangkaian semiosis.
Interpretan ada rangkaian semiosis lapisan pertama, akan menjadi dasar untuk mengacu
pada objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa yang
berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda pada lapisan
kedua, dan demikian seterusnya. Terkait dengan itu, Barthes seperti dikutip Iriantara dan
Ibrahim (2005:118:119) mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia
berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja
tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang
berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunaannya dan nilai-
81
nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya
intersubjektif. Semuanya itu berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya
oleh penafsir dan objek atau tanda.
Teori semiotik yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model
semiotika Dekonstruksi-nya Derrida. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai
alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang
baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran
produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya
dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui
penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan
konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda
senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100).
Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki
oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang
semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi,
dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan
ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna
dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru
bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-
menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak
82
terbatas. Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif
suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang
menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu.
Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik
Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang
membentuk makna.
Sendratari adalah kristalisasi estetik dari keragaman seni pertunjukan Bali.
Komponen utamanya terdiri dari seni tari, karawitan dan pedalangan. Masing-masing
komponen itu, khususnya seni tari dan karawitan bersumber dari keanekaragaman
rumpun seninya. Tata penggarapan tari dalam sendratari berorientasi pada seni
pertunjukan Bali seperti drama tari klasik gambuh, arja, topeng, dan seni kebyar. Begitu
pula tata karawitannya, selain memakai media lebih dari satu ensambel gamelan juga ide-
ide iringan yang dibuat banyak berdasrkan atau terinspirasi dari bentuk-bentuk komposisi
gamelan yang lebih tua atau komposisi modern yang sedang berkembang. Musiknya
mengambil lagu-lagu ritual yang diolah secara esensial untuk menjadi kesatuan dalam
sendratari (Bandem, 1996:63).
Teori keragaman Derrida dengan prinsip dekontruksi, merombak dan mencipta
adalah sehaluan dengan sendratari kolosal PKB. Derrida sangat menekankan keanekaan
cara berpikir dan pendekatan terhadap teks yang ada dengan memproklamasikan
kebebasan untuk mengeksplorasi realitas atau teks yang akan membawa pada keragaman
makna atau polisemi (Lajar dalam Sutrisno, 2005:173). Sendratari kolosal PKB sebagai
83
sebuah teks adalah wadah berkesenian yang terbuka dengan keragaman seni, gagasan,
bahkan latar belakang budaya para pelakunya.
Dekontruksi dalam makna segala upaya melakukan kebebasan interpretasi
sangat relevan dalam proses kreatif penggarapan sendratari kolosal PKB. Para
koreografer dan komposer diberikan ruang interpretasi terhadap koreografi dan
komposisi yang disusunnya. Demikian pula para dalang, kendati terikat dengan skenario,
bukan terkekang untuk beriprovisasi, memasukkan interpretasinya dan
mengkontektualisasikan pesan-pesannya sesuai dengan daya kreativitasnya.
Merombak dalam makna membuat perubahan-perubahan dengan tujuan untuk
pencapaian hasil yang lebih baik ditoleransi dalam proses penggarapan sendratari kolosal
PKB. Merombak dalam makna menghindar dari suatu permolaan juga terlihat dalam
sendratari kolosal ini. Sepanjang PKB, dari tahun ke tahun, masing-masing garapan
dengan lain yang berbeda-beda, selalu ditata secara baru. Dinamika kreativitas dan
inovasi dalam sendratari kolosal mengemuka dengan karakter estetik dan artistiknya
masing-masing.
Mencipta adalah menjadi semangat penting dalam sendratari kolosal PKB. Cipta
sebagai dinamika kebudayaan, dalam sendratari kolosal merupakan prinsip konseptual
yang merupakan wahana menantang bagi para kreator seni pertunjukan ini seperti
koreografer, komposer, dan dalang. Daya cipta para penata itu sangat menentukan
kualitas masing-masing sendratari. Apresiasi, respek dan kontrol penonton ikut memacu
gairah para seniman sendratari kolosal PKB mencipta dan mencipta, baik secara kolektif
maupun dalam konteks tanggung jawab penciptaan secara individu.
84
2.3.2 Teori Eksistensialisme
Eksistensialisme bisa memiliki dua arti pada tingkat yang paling dasar, istilah itu
berarti sebuah sikap terhadap kehidupan manusia yang menekankan pada pengalaman
hidup nyata dan langsung dari tiap-tiap orang, memperhatikan cara-cara orang
berinteraksi dengan orang lain dan mencapai kesepehaman tentang sikap masing-masing.
Dalam arti yang lebih jauh, istilah tersebut mengacuh kepada sebuah gerakan yang
mencapai puncaknya pada tahun 1938-1968. Asal-usul gerakan ini bisa dilacak sampai
kepada seorang filosof Denmark, Soren Kierkegaard menekankan pentingnya keputusan
seseorang dan kesadaran tentang eksistensi manusia.
Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena
ketidakpuasan beberapa filosof terhadap filsafat pada masa Yunani hingga modern,
seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan spekulatif tentang
manusia. Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap
kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas
terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan,
juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia
terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat
hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.
Eksistensialisme muncul sebagai reaksi terhadap pandangan materialisme.
Paham materialisme ini memandang bahwa pada akhirnya manusia itu adalah benda,
layaknya batu atau kayu, meski tidak secara eksplisit. Materialisme menganggap hakekat
85
manusia itu hanyalah sesuatu yang material, betul-betul materi. Materialisme
menganggap bahwa dari segi keberadaannya manusia sama saja dengan benda-benda
lainnya, sementara eksistensialisme yakin bahwa cara berada manusia dengan benda lain
itu tidaklah sama. Manusia dan benda lainnya sama-sama berada di dunia, tapi manusia
itu mengalami beradanya dia di dunia, dengan kata lain manusia menyadari dirinya ada di
dunia. Eksistensialisme menempatkan manusia sebagai subjek, artinya sebagai yang
menyadari, sedangkan benda-benda yang disadarinya adalah objek.
Eksistensialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Idealisme dan
materialisme adalah dua pandangan filsafat tentang hakekat yang ekstrem. Materialisme
menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subjek, dan hal ini
dilebih-lebihkan pula oleh paham idealisme yang menganggap tidak ada benda lain selain
pikiran. Idealisme memandang manusia hanya sebagai subjek, dan materialisme
memandangnya sebagai objek. Maka muncullah eksistensialisme sebagai jalan keluar
dari kedua paham tersebut, yang menempatkan manusia sebagai subjek sekaligus objek.
Manusia sebagai tema sentral dalam pemikiran.
Munculnya eksistensialisme juga didorong oleh situasi dunia secara umum,
terutama dunia Eropa barat. Pada waktu itu kondisi dunia pada umumnya tidak menentu
akibat perang. Di mana-mana terjadi krisis nilai. Manusia menjadi orang yang gelisah,
merasa eksistensinya terancam oleh ulahnya sendiri. Manusia melupakan
individualitasnya. Dari sanalah para filosof berpikir dan mengharap adanya pegangan
86
yang dapat mengeluarkan manusia dari krisis tersebut. Dari proses itulah lahir
eksistensialisme.
Kierkegaard seorang pemikir Denmark yang merupakan filsuf Eksistensialisme
yang terkenal abad 19 berpendapat bahwa manusia dapat menemukan arti hidup
sesungguhnya jika ia menghubungkan dirinya sendiri dengan sesuatu yang tidak terbatas
dan merenungkan hidupnya untuk melakukan hal tersebut, walaupun dirinya memiliki
keterbatasan untuk melakukan itu. Kierkegaard telah mengerjakan tema-tema pokok
eksistensialisme melalui berbagai penemuan dan interpretasi yang mendalam terhadap
pemikiran Schelling dan Marx. Namun baru setelah berakhir Perang Dunia II
eksistensialisme berkembang pesat terutama dalam sudut pandang filsafat manusia
sebagai filsafat yang membicarakan eksistensi manusia sebagai tema utamanya. Inti
pemikiran Kierkegaard adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi
senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan,
dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari
manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap
kemungkinan.
Jean-Paul Sartre filsuf lain dari eksistensialisme berpendapat eksistensi
mendahului esensi, manusia adalah mahkluk eksistensi, memahami dirinya dan bergumul
di dalam dunia. Jean-paul Sartre kemudian menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki
suatu apapun, namun dia dapat membuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Menurut Sartre
adanya manusia itu bukanlah “etre” melainkan “a etre”. Artinya manusia itu tidak hanya
87
ada tapi dia selamanya harus membangun adanya, adanya harus dibentuk dengan tidak
henti-hentinya.
Sartre berkeyakinan bahwa inti setiap relasi antarmanusia adalah konflik, saling
menegasikan terus-menerus, karena seorang manusia menjadi subjek sekaligus juga objek
bagi yang lain. Oleh karena itu, satu dengan yang lainnya berusaha untuk memasukkan
orang lain ke dalam pusat ”dunia”-nya. Mengikuti Nietzsche, Sartre mengutuk setiap
bentuk objektivikasi dan impersonalisasi. Tak ada standar baik dan buruk kecuali
kebebasan itu sendiri. Sartre menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah
diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep
manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan
bebas bagi diri sendiri. Sepanjang sejarah eksistensialisme, kebebasan ala Sartre ini boleh
dibilang paling ekstrim dan radikal. Dalam sejarah perkembangan filsafat, agaknya tidak
ada pendirian tentang kebebasan yang ekstrim dan radikal seperti Sartre.
Konsep dasar dan tema eksistensialisme adalah ada dan non-ada Ada (being) dan
non-ada (non-being) adalah konsep ontologis yang digunakan oleh para eksistensialis
untuk menerangkan gejala dasar dari keberadaan (eksistensi) manusia. Ada ialah ukuran
bagi keberadaan manusia, suatu dimensi yang mengacu kepada kesubjekan manusia.
Dengan meng-ada, manusia hadir dan menampakkan diri, mengalami dirinya sebagai
subjek yang sadar, aktif dan berproses. Sedangkan non-ada adalah ukuran bagi ketiadaan
manusia, suatu dimensi yang mengacu kepada keobjekan dari manusiaKeberadaan
manusia memiliki nuansa yang tegas karena pada dirinya terangkum ada dan non-ada
88
sekaligus. Artinya, manusia mengalami rasa ada (sense of being) atau menghayati
keberadaan karena ia merangkum ada dan non-ada.
2.3.3 Teori Hegemoni
Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yaitu hegeishtai. Istilah tersebut
berarti yang berarti memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan
yang lain. Konsep hegemoni menjadi populer setelah digunakan sebagai penyebutan atas
pemikiran Gramsci yang dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok
sosial tertentu. Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah: Sebuah
pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep
tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun
perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip
religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna
intelektual dan moral.
Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan
kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas
dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui
bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan
masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis
pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui
konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke
dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini
89
terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang
berkuasa. Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat
dijelaskan sebagai berikut: Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah
menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat
kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas
dominan. Sebagai contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas dominan (pemerintah)
untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah dengan melibatkan para
intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi melalui lembaga-lembaga
pendidikan dan seni.
John Storey menjelaskan konsep hegemoni untuk mengacu kepada proses sebagai
berikut: …sebuah kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya mengatur namun
juga mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan “kepemimpinan” moral dan
intelektual. Hegemoni terjadi pada suatu masyarakat di mana terdapat tingkat konsensus
yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar di mana kelas bawah dengan aktif
mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat dan
menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada.
Latar belakang politik, gagasan hegemoni tersebut adalah pengalaman Gramsci
sendiri. Fokus perhatian Gramsci pada hal tersebut muncul dari situasi politik ketika ia
hidup dan menjadi pemimpin intelektual dari gerakan massa proletar - di Turin - selama
Perang Dunia Pertama dan masa sesudah itu. Italia, menjelang perang usai merupakan
sebuah pemandangan penting dari pertarungan politik partai, baik Kiri maupun Kanan.
90
Sebuah pertarungan yang dengan cepat membuahkan kemenangan kepada fasisme pada
1922 dan melenyapkannya hak-hak politik. Sebagai anggota kunci dari Partai Sosialis
Italia dan kemudian Partai Komunis Italia (PCI), Gramsci melihat kegagalan gerakan
massa buruh revolusioner dan bangkitnya fasisme reaksioner didukung oleh massa kelas
pekerja.
Hegemoni, bagi Gramsci, akan menjelaskan mengapa suatu kelompok atau kelas
secara sukarela atau dengan konsensus mau menundukkan diri pada kelompok atau kelas
yang lain Teori hegemoni Gramci adalah salah sebuah teori politik paling penting abad
XX. Teori ini dibangun diatas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan
fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi
penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi
nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan
atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan "hegemoni" atau
menguasi dengan "kepemimpinan moral dan intelektual" secara konsensual.
Ada tiga tingkat Hegemoni menurut Gramsci yang diungkapkan Josep Femia,
pertama, Hegemoni Integral, ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas.
Masyarakat menunjukan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Ini tampak
dalam hubungan organis antara pemerintah dengan yang diperintah. Hubungan tersebut
tidak diliputi dengan kontradiksi dan antagonisme baik secara sosial maupun etis.
Contohnya Perancis sesudah revolusi (1879). Kedua, hegemoni yang merosot (decadent
hegemony). Dalam masyarakat kapitalis modern, dominasi ekonomis borjuis menghadapi
91
tantangan berat. Dia menunjukan adanya potensi disintegrasi di sana. Dengan sifat
potensial ini dimaksudkan bahwa disintegrasi itu tampak dalam konflik yang tersembunyi
"di bawah permukaan kenyataan sosial". Artinya sekalipun sistem yang ada telah
mencapai kebutuhan atau sasaranya, namun pemikiran yang dominan dari subyek
hegemoni. Karena itu, integrasi budaya maupun politik mudah runtuh.
Ketiga, hegemoni bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politis,
dan intelektual yang berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur
tangan massa dalam hidup bernegara. Dengan demikian, kelompok-kelompok hegemonis
tidak mau menyesuaikan dengan kepentingan dan aspirasi-aspirasi mereka dengan kelas
lain dalam masyarakat. Mereka malah mempertahankan peraturan melalui transformasi
penyatuan para pemimpin budaya, politik, sosial maupun ekonomi yang secara potensial
bertentangan dengan "negara baru" yang di cita-citakan oleh kelompok hegemonis itu.
Menurut Gramsci terhadap ideologi dan kebudayaan, bahwa sesungguhnya
kebudayaan bukan ruang yang netral. Keberadaannya menjadi arena pertarungan
kepentingan ideologi dan kelas yang ada dalam masyarakat, baik nasional maupun
internasional. Dalam konteks pertarungan, kaum intelektual dituntut untuk berpihak:
menjadi agen kelas penguasa ataukah menjadi pembebas massa rakyat dari hegemoni dan
dominasi. Bila pilihannya adalah menjadi pembebas, langkah yang harus dilakukan oleh
kaum intelektual organik sebagaimana yang disarankan Gramsci adalah melakukan
penguatan masyarakat sipil.
92
Kaum intelektual organik harus segera turun ke tengah-tengah massa dan
mengajak rakyat untuk belajar bersama-sama, dalam memahami kebudayaan yang ada
dalam realitas kehidupan. Gerakan ini bertujuan membongkar kesadaran palsu (kesadaran
borjuasi) yang ditancapkan dalam kesadaran massa secara sistemik. Setelah massa sadar
akan posisinya dalam ruang kebudayaan, massa kemudian diajak untuk memproduksi
kebudayaan yang berpihak pada posisi kelasnya. Kebudayaan yang diproduksi ini
merupakan satu kebudayaan tandingan sebagai perlawanan terhadap kebudayaan
dominan.
Bila gerakan ini massif dilakukan, pada gilirannya kebudayaan kelas dominan (elit)
akan terdelegitimasi oleh kebudayaan massa ini. Jadi, gerakan ini intinya ingin
menempatkan kebudayaan sebagai alat perjuangan massa dan alat pembebasan massa
dari kekuasaan yang menindas dirinya. Kebudayaan pada akhirnya akan menjadi senjata
dalam memanusiakan manusia. Bila melihat kebudayaan bukanlah ruang yang netral,
maka produk kebudayaan dan medium kebudayaan pun tidak bisa dipandang sebagai
sesuatu yang netral.
93
2.4 Model
DINAMIKA SENDRATARI MAHABHARATA
DI TENGAH PERJALANAN PESTA KESENIAN BALI
•
2.5 Model
Gambar Model PenelitianKeterangan:
= berpengaruh (terhadap)= saling memberi pengaruh
BUDAYALOKAL
PEMERINTAHDAERAH BALI
DINAMIKASENDRATARI
MAHABHARATAPesta Kesenian Bali
(Th. 1981-2014)
Bentuk perubahanapa saja yangterjadi dalamSendratariMahabharata ditengah perjalananPesta KesenianBali?
Mengapa SendratariMahabharatamengalamiberbagai perubahandi tengah perjalananPesta KesenianBali?
Apa makna darisemua perubahanSendratariMahabharata ditengah perjalananPesta KesenianBali?
BUDAYAGLOBAL
94
Model di atas menggambarkan bagaimana budaya global membawa pengaruh
kuat secara internal dan eksternal terhadap eksistensi dan identitas suatu budaya,
karakteristik nilai-nilai estetika tradisional, khususnya seni pertunjukan. Dalam konteks
tersebut, secara internal, seni pertunjukan tradisi Bali yang telah diwarisi secara turun-
tumuran ada yang mampu bertahan, berkembang, dan ada pula terdistorsi. Sendratari
adalah sebuah bentuk perkembangan seni pertunjukan Bali. Secara eksternal, era
globalisasi yang berpengaruh luas dalam segala aspek kehidupan dan kebudayaan
memunculkan beragam reaksi dan reposisi. Kesenian Bali pada umumnya menyambut
pengaruh eksternal itu secara dinamis dan selektif. Sendratari lahir, berkembang, dan
bertahan menempati posisi kultural di tengah atmosfir globalisasi budaya, termasuk
realita budaya global dalam masyarakat Bali.
Posisi sendratari dalam konteks sosial kultural masyarakat Bali di tengah budaya
global tak bisa dilepaskan dengan keberadaan seni pertunjukan Bali pada umumnya yaitu
sebagai ekspresi keindahan yang berkaitan dengan ritual keagamaan dan presentasi
estetik yang bersifat profan. Secara kultural, masyarakat Bali selalu mengaitkan segala
gerak kehidupannya dengan nilai-nilai seni. Upacara-upacara agama Hindu menjadi arena
utama pagelaran seni pertunjukan. Budaya ngayah sebagai ekspresi ketulusan psiko-
religiusitas masyarakat Bali mempunyai stimulasi besar akan keberadaan aneka ragam
kesenian itu. Sendratari termasuk ditampilkan sebagai seni tontonan profan dalam ritual
keagamaan selain menjadi pertunjukan unggulan dalam PKB.
Kontruksi artistik sendratari sebagai kreativitas dan inovasi seni yang dibangun
dari keragaman seni pertunjukan Bali juga tak bisa dilepaskan dari perkembangan
95
kesenian Bali dan sifat fleksibel masyarakat Bali berinterkasi dengan budaya luar sejak
masa Bali Kuno, zaman kerajaan, era kolonialisme, dan periode kemerdekaan. Peran para
seniman asing yang datang dan ada yang menetap di Bali membawa pembaharuan pada
kesenian Bali, termasuk seni pertunjukan. Munculnya Gong Kebyar di Bali Utara pada
tahun 1915 yang kemudian memunculkan seni kakebyaran, menjadi tonggak penting seni
pertunjukan Bali.
Kelahiran sendratari pada tahun 1961 di Bali secara konseptual dipengaruhi oleh
seni kakebyaran. Setidaknya orientasi penggarapan iringan gamelan yang dipakai
sendratari itu berorientasi sepenuhnya pada media Gong Kebyar. Sendratari yang
kemudian menjadi seni pertunjukan unggulan dalam PKB mengalami perkembangan
dalam aspek-aspek estetik dan konsep artistiknya. Kreativitas para seniman penggarap
sendratari kolosal PKB memperoleh ruang yang luas, termasuk dalam konteks ini adalah
terbuka peluang berinovasi. Kreativitas dan inovasi seni yang tampak dalam penggarapan
sendratari kolosal itu membuat masyarakat Bali dengan antusias menyaksikan
pertunjukannya di panggung Ardha Candra Taman Budaya Bali.
Ungkapan cipta, rasa, dan karsa dalam sendratari adalah cermin dari lingkungan
budaya dan masyarakatnya. Oleh karena itu sendratari kolosal Mahabharata PKB
merupakan sebagai representasi kultural yang tak bisa dipisahkan dengan gelombang
transformasi budaya era globalisasi. Eksistensi sendratari dapat dikaitkan atau merupakan
representasi ideology budaya, nilai-nilai estetika masa kini, kekuasaan dalam konsensus
pengayoman seni, dan sebagai representasi budaya tanding globalisasi. Makna-makna
kultural tersebut diangkat dari aspek teks dan konteks sendratari sebagai ekspresi estetik
96
sejak muncul pada tahun 1961 yang kemudian berkembang di tengah masyarakat hingga
kemudian menjadi seni unggulan PKB di tengah transformasi budaya era globalisasi.
Berikut adalah model kerangka pikir penelitian ini:
Kerangka pikir yang terabstraksi dari model penelitian ini menempatkan
transformasi budaya sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan, termasuk keberadaan sendratari kolosal PKB. Bali sebagai wilayah budaya
juga merupakan bagian dari dinamika budaya yang ditandai dengan terjadinya
pergeseran-pergeseran nilai baik yang teridentifikasi eskplisit maupun yang teraba secara
inplisit. Seni sebagai ekspresi budaya masyarakat Bali sejak dulu hingga sekarang tak
bisa dilepaskan dari adanya dialektika beragam nilai. Secara historis, kesenian Bali
terkristalisasi dari pengaruh-pengaruh unsur-unsur nilai estetik beragam budaya.
Interaksi budaya Bali dengan budaya luar sudah berlangsung secara alamiah,
baik pada zaman Bali kuno maupun era feodalisme hingga masa kolonialisme.
Modernisasi dalam bidang kesenian setidaknya sudah muncul di Bali pada tahun 1915
yang ditandai dengan muncul gamelan modern gong kebyar. Kemerdekaan sebagai
bangsa yang berawal sejak tahun 1945, semakin memberi ruang yang luas kepada
masyarakat Bali pada umumnya dan para seniman pada khususnya untuk
memberdayakan keseniannya yang disertai dengan upaya-upaya kreativitas seni. Pada
masa kini, kreativitas atau inovasi seni yang diupayakan oleh para pelaku seni masih
tetap berorientasi dari akar seni tradisi dan membuka diri terhadap nilai-nilai estetika
modern dan posmodern.
97
Konvergensi nilai-nilai tradisional Bali dan modern kontemporer menciptakan
dialektika seni. Seni pertunjukan Bali masa kini merupakan konvergensi dialektik antara
seni tradisi dan unsur-unsur seni modern. Sendratari kolosal PKB adalah seni pertunjukan
lahir dan berkembang di tengah transformasi budaya yang mengemuka dalam dialektika
nilai-nilai estetik tradisi Bali dengan unsur-unsur seni modern dan posmodern.
Cipta, rasa, dan karsa yang menstimulasi pemunculan dan perkembangan
sendratari berada dalam transisi dan transformasi budaya. Begitu pula keberadaannya
dalam wujud sendratari kolosal yang menonjol dalam PKB cipta, rasa, dan karsa oleh
pihak dan komponen-komponen yang tak bisa dilepas dari dinamika budaya masyarakat
Bali. Perubahan masyarakat dan kebudayaan Bali sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, baik merupakan faktor internal maupun faktor eksternal. Sendratari kolosal PKB
adalah seni pertunjukan, dalam kreativitas dan inovasinya, merupakan responbilitas dari
dialetika budaya internal dan eksternal.
Kebudayaan Bali terdiri dari berbagai variasi, namun ragam variasi itu tetap
merupakan satu kesatuan budaya yang dikokohkan oleh adanya kesatuan bahasa dan
agama. Secara esensial, struktur dan kebudayaan Bali dibangun oleh konfigurasi budaya
ekspresif (dominannya nilai solidaritas, estetis dan religius). Kemudian dinamika
kebudayaan telah mengadopsi konfigurasi budaya progresif (dominannya nilai ekonomi
dan iptek). Sedangkan potensi pokok kebudayaan Bali dapat diformulasikan dari struktur
dan pengalaman sejarahnya adalah: 1) kebudayaan Bali merupakan satu sistem yang unik
dengan identitas yang jelas; 2) kebudayaan Bali memiliki variasi dan diversifikasi yang
tinggi sesuai dengan adigium desa, kala, patra; 3) kebudayaan Bali memiliki akar dan
98
daya dukung lembaga-lembaga tradisional yang kokoh; 4) kebudayaan Bali merupakan
satu kebudayaan yang hidup serta fungsional yang selalu berkembang dan dikembangkan
untuk memelihara keserasian hubungan manusia dengan Tuhan-nya, manusia dengan
lingkungannya dan manusia dengan sesamanya; dan 5) kebudayaan Bali dalam
keterbukaannya dengan kebudayaan asing memperlihatkan sifat fleksibel, selektif, dan
adaptif, serta mampu menerima unsur-unsur asing yang menjadi milik dan kekayaan
budaya sendiri tanpa kehilangan kepribadian (Mantra, 1988; Geriya, 1990).
Kesenian Bali merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Bali yang
sudah diwarisi sejak zaman lampau. Untungnya bentuk-bentuk kesenian itu masih hidup
sampai sekarang, dimana kehidupannya didukung oleh agama Hindu. Hampir tidak ada
satu pun upacara keagamaan yang selesai tanpa ikut sertanya suatu pameran pertunjukan
kesenian (Bandem, 1983:1). Hampir semua jenis kesenian Bali mengandung tendensi
untuk menunjang dan mengabdikan kehidupan agama Hindu di Bali. Perkembangannya
melalui proses yang panjang mulai dari dasar-dasar kesenian yang pernah ada pada
zaman pra-Hindu dan setelah masukkan kebudayaan Hindu ke Bali maka jenis-jenis
kesenian itu dikaitkan dengan berbagai kesusastraan yang menjadi sumber dalam ajaran
Hindu. Pertautan yang erat serta hubungan yang timbal balik antara jenis-jenis kesenian
dengan upacara dan aktivitas agama Hindu, menjadikan kesenian Bali bukan hanya
sebagai ekspresi seni semata namun juga sebagai seni keagamaan.
PKB yang diselenggarakan sejak tahun 1979 merupakan peristiwa budaya yang
diselenggarakan Pemda Bali, memiliki arti siginifikan pada perkembangan kesenian Bali.
Ketika membuka penyelenggaraan PKB untuk yang pertama kalinya pada tahun 1979 itu,
99
Gubernur Bali Prof. Dr. Ida Bagus Mantra dalam pidatonya dengan haru dan bangga
memaparkan arti dan tujuan yang ingin dicapai PKB. Diungkapkannya bahwa pesta
kesenian Bali ini sesungguhnya ingin meletakkan dan menempatkan diri sebagai media
dasar menumbuhkan rasa cinta, sebab dengan mengenal dan mengerti sekaligus
kesadaran bertanggung jawab, akan menjadi dasar pertumbuhan dan perkembangan
apresiasi serta kreativitas seni menuju pada pengembangan macam ragam dan seni
budaya yang berkepribadian (Sugriwa, 1990:ix).
Kelahiran PKB sebagai wadah pencerahan seni dan media penguat jati diri ini
bukannya tanpa tantangan. Ketika gagasan itu disosialisasikan pertama kalinya, tidak
sedikit tokoh-tokoh masyarakat Bali yang tak setuju dengan pesta seni gagasan Mantra
ini. Tokoh-tokoh masyarakat yang kurang simpati tersebut menganggap PKB hanya
merupakan pekerjaan yang mubazir dan akan menghabiskan uang rakyat belaka. Namun
semua tantangan itu dihadapi dengan sabar dan tegar oleh gubernur Mantra. PKB jalan
terus, kian mantap dan makin berkembang menjadi kebanggaan masyarakat Bali.
Ketika memasuki usia penyelenggaraannya yang ketujuh, PKB memperoleh
legitimasi pemerintah Bali dengan keluarnya Perda (Peraturan Daerah) No. 7/1986.
Secara idealistik PKB dicetuskan dan dilaksanakan sebagai media dan sarana untuk
menggali dan melestarikan seni budaya, mendorong masyarakat, mengembangkan
kreativitas, hiburan sehat, pendidikan generasi muda dan promosi pariwisata budaya yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin. Ada lima kegiatan
pokok yang mewarnai PKB: 1) Pawai pembukaan, 2) Pameran, 3) Sarasehan, 4) Lomba,
dan 5) Pertunjukan. Dari kelima kegiatan tersebut hampir 80% berupa seni pertunjukan.
100
Selain tampak dalam pokok aktivitas pertunjukan itu sendiri, penampilan seni
pertunjukan juga menonjol pada pawai pembukaan dan sebagian juga bisa dinikmati pada
kegiatan lomba. Sepanjang perjalanan PKB, jika dicermati, seni pertunjukan
menunjukkan perkembangan cukup signifikan baik secara kuantitas maupun kualitasnya.
Sendratari kolosal, Sendratari Mahabharata dalam hal ini, adalah seni pertunjukan
primadona penonton sejak awal-awal tahun penyelenggaraan PKB hingga sekarang
(2014).
Top Related