1
BAB I
PENDAHULUAN
Pendeta adalah pekerjaan melayani jemaat yang
menyita seluruh waktu sehingga jika seorang wanita
menjadi pendeta maka ia harus menjalankan pekerjaan
pelayanan dan juga menjalankan peran sebagai istri dan ibu
dalam keluarganya. Ketidaksesuaian antar dua peran yang
dijalankan dapat menyebabkan kinerja dalam pelayanan
menjadi terganggu. Dalam bab ini, akan diuraikan mengenai
latar belakang penulis ingin melakukan penelitian mengenai
pengaruh work-family conflict dan work-family self-efficacy
terhadap kinerja pendeta wanita dan mengapa hal ini
menjadi penting untuk diteliti.
1.1. Latar Belakang Masalah
Pada umumnya seorang wanita yang telah
menikah mempunyai tugas utama sebagai istri, ibu
dan pengurus rumah tangga (Munandar, 1985).
Senada dengan pendapat di atas Budiman & Philip
(1991, dalam Messakh, 2007) mengemukakan bahwa
secara normatif wanita yang sudah menikah dan
berperan sebagai istri bertanggung jawab terhadap
tugas-tugas rumah tangga seperti menyediakan
makan dan kebutuhan serta mengasuh anak.
Pendapat-pendapat di atas menunjukkan adanya
budaya patriakhal yang menghargai laki-laki sebagai
orang yang mempunyai peran yang lebih penting dari
pada wanita. Wanita dianggap hanya sebagai
penolong laki-laki saja, sehingga tugasnya hanya
mengurus persoalan rumah tangga. Oleh sebab itu
2
ada ungkapan yang menyatakan bahwa di belakang
seorang laki-laki yang sukses ada seorang wanita
yang hebat, tetapi tetap saja wanita hanya berperan
sebagai seorang yang mengurus semua yang
berhubungan dengan urusan rumah tangga.
Yang terjadi pada masa sekarang adalah
semakin terbukanya kesempatan dan lapangan
pekerjaan bagi wanita dan adanya ijin dari suami
membuat wanita memilih untuk tetap bekerja
walaupun sudah menikah (Widiyanto dkk, 2001,
dalam Messakh, 2007). Hal di atas membuat seorang
wanita tidak hanya berperan sebagai istri, ibu dan
pengurus rumah tangga tetapi mulai mempunyai
peran di luar rumah. Bahkan seorang wanita bisa
saja mempunyai atau menduduki posisi penting
dalam berbagai bidang pekerjaan, pada instansi
pemerintah ataupun swasta bahkan pada lembaga
keagamaan. Hal ini membuat seorang wanita
menjalankan tiga peran sekaligus yaitu peran sebagai
istri, ibu dan wanita bekerja.
Ada beberapa alasan yang mendorong seorang
wanita untuk bekerja. Salah satunya adalah alasan
ekonomi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Albrech pada tahun 1967 (dalam Wolfman,
1988) ditemukan bahwa alasan atau motivasi wanita
untuk bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan ekonomi keluarganya. Selain alasan di
atas ada juga alasan-alasan lainnya yaitu wanita
tersebut sudah memperoleh pendidikan yang
3
mendorong mereka bekerja demi kebebasan dan
pemenuhan diri.
Walaupun keinginan wanita untuk bekerja
didasari oleh motivasi yang positif, namun ada
dampak negatif dari keinginan tersebut. Menurut
hasil penelitian kelompok studi wanita FISIP–UI ada
sekitar 54,1 % dari ibu yang bekerja memiliki
masalah dalam hubungan suami-istri, 51,5 %
memiliki anak-anak yang tidak patuh pada orang
tuanya, 21,9 % mempunyai anak-anak yang malas
belajar (Rahardjo, dalam Kusnadi, 1995, dalam
Messakh, 2007). Dampak negatif lainnya bisa terjadi
pada wanita bekerja itu sendiri. Menurut Shaevitz
(1989), dapat terjadi keletihan pada wanita bekerja
bukan hanya lelah biasa. Ini disebabkan oleh
kesibukan baik sebagai seorang wanita bekerja
maupun sebagai seorang yang bertanggung jawab
terhadap urusan rumah tangga terutama
pengasuhan anak yang membuat ibu atau wanita
kurang istirahat. Berdasarkan riset membuktikan
bahwa Work-Family conflict mempunyai pengaruh
buruk bagi kesehatan, baik di tempat kerja maupun
di rumah. Zappert & Stansbury (dikutip Widiyanto,
2001, dalam Messakh, 2007), menyatakan dalam
penelitiannya bahwa wanita bekerja memiliki tingkat
depresi lebih tinggi dibanding pria bekerja. Hal ini
disebabkan adanya kenyataan bahwa wanita
cenderung bekerja lebih banyak dari pada pria dan
wanita dibebani oleh masalah pengasuhan anak.
4
Wanita bekerja sekarang ini seperti telah
dikemukakan di atas, dapat bekerja dalam bidang
apa saja dan juga menduduki posisi yang penting.
Salah satu pekerjaan atau profesi yang dikerjakan
oleh wanita adalah menjadi pendeta. Seorang
pendeta dalam gereja khususnya GMIT dan
masyarakat Nusa Tenggara Timur, yang mayoritas
beragama Kristen Protestan dihargai cukup tinggi.
Pendeta dihargai sebagai tokoh yang menyampaikan
kehendak Tuhan kepada umat, tokoh panutan moral,
dan pemimpin. Sejak tahun 1947 dalam Gereja
Masehi Injili di Timor (GMIT), telah menghargai pria
dan wanita sederajat dalam menduduki jabatan
sebagi pendeta. Jumlah seluruh pendeta yang
melayani di GMIT adalah 1062 orang. Jumlah
tersebut terdiri dari 465 pendeta pria dan 597
pendeta wanita. Ini berarti jumlah pendeta wanita
lebih banyak dari jumlah pendeta pria (Peta
pelayanan GMIT, 2011).
Pekerjaan seorang pendeta cukup padat dan ia
bertugas secara penuh 24 jam sehari dalam arti di
luar kegiatan yang terjadwal ia harus selalu siap
dipanggil setiap saat untuk bekerja karena
kebutuhan warga jemaatnya. Seorang pendeta
biasanya melayani 300 sampai 500 warga jemaat.
Untuk jumlah yang lebih dari 500 warga jemaat atau
umat dilayani oleh lebih dari satu orang pendeta.
Tugas pendeta mencakup kegiatan yang sudah
terjadwal seperti memimpin kebaktian setiap hari
minggu dan kegiatan yang tidak terjadwal seperti
5
melaksanakan pastoral konseling mendadak karena
masalah yang dihadapi warga jemaatnya. Tugas-
tugas ini dilakukan baik oleh pendeta pria maupun
pendeta wanita.
Persoalan yang muncul ketika seorang wanita
melaksanakan tugas-tugasnya sebagai seorang
pendeta adalah selain ia mengerjakan semua tugas-
tugas tersebut (tugas-tugas publik), ia juga harus
melaksanakan tugas-tugasnya sebagai isteri dan ibu
(tugas-tugas domestik). Hal ini disebabkan oleh
pandangan tradisional patriakhal yang menghargai
pria sebagai insan publik yang berhubungan dengan
dunia di luar rumah sedangkan wanita dihargai
sebagai insan domestik yang mengerjakan hal-hal
yang berhubungan dengan rumah tangga. Akibatnya
wanita yang bekerja sebagai pendeta harus secara
penuh berperan sebagai insan publik dan sekaligus
insan domestik, yang artinya ia secara penuh
mengerjakan tugas-tugasnya sebagai pendeta dan
tugas-tugasnya sebagai isteri, ibu, dan pengurus
rumah tangga. Dalam melaksanakan peran ganda
seperti diuraikan di atas pasti menimbulkan konflik
yang khusus dihadapi oleh seorang wanita karena
tugasnya sebagai pendeta.
Dari hasil wawancara dengan para pendeta
didapatkan bahwa para pendeta ini harus membawa
peralatan untuk memimpin ibadah ke Rumah Sakit
karena harus menjaga anak yang sakit sekaligus
berangkat untuk melayani jemaat. Konflik-konflik
diantara peran-peran yang dimiliki oleh wanita yang
6
bekerja sebagai pendeta wanita berpengaruh pada
keyakinan diri dalam menyelesaikan Work-Family
conflict (work-family conflict self-efficacy) dalam hal ini
yang berkaitan dengan konflik antara keluarga dan
pekerjaan dan keduanya berpengaruh pada
kinerjanya sebagai pendeta.
Salah satu hasil penelitian yang menyatakan
bahwa ada hubungan antara Work-Family conflict
wanita bekerja dan self efficacy dikemukakan oleh
Erdwins et al., 2001 (dalam Hennessy, 2005) dimana
hubungan antara kedua variabel ini adalah negatif,
yaitu semakin tinggi tingkat self efficacy maka
semakin rendah tingkat Work-Family conflict. Selain
itu ada juga penelitian yang dilakukan oleh Frone et
al., 1994 (dalam Hennesy, 2005) menyatakan kedua
variabel ini berhubungan dengan masalah kepuasan
dalam keluarga dan kepuasan dalam pekerjaan.
Selain itu juga adanya faktor budaya patrilineal yang
keras di dalam budaya Timor yang memandang
bahwa wanita mempunyai tugas sebagai ibu dan
tidak layak untuk ikut bekerja ikut menjadi salah
satu sumber Work-Family conflict bagi seorang
wanita.
Fenomena khas yang terjadi pada pendeta
wanita di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah
masalah budaya patriakhal atau patrilineal yang
masih cukup kuat di dalam budaya Timor. Selain
budaya patrilineal yang masih cukup kuat, dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
pasal 31 pun menyatakan bahwa pria adalah kepala
7
keluarga dan wanita adalah ibu rumah tangga. Pada
kenyataannya banyak wanita yang tidak hanya
menjadi ibu rumah tangga tetapi sebagai pekerja
juga. Pada kasus pendeta wanita, walaupun mereka
bekerja di lingkungan publik namun di rumah
mereka tetap harus mengikuti kehendak suami
sebagai kepala keluarga. Bukan hanya itu, dalam hal
penempatan atau pembagian tempat/lokasi
pelayanan pun Sinode GMIT mengalami kesulitan
dalam menempatkan pendeta wanita yang memiliki
suami yang berprofesi sebagai PNS, TNI/POLRI
karena pendeta wanita ditempatkan berdasarkan
tempat tugas suami. Oleh karena itu tidak jarang
seorang pendeta wanita tidak dapat melayani jemaat
karena tempat tugas suami tidak memiliki jemaat
yang dapat dilayani. Dari segi pendeta wanita,
pemenuhan diri sebagai pendeta dalam memenuhi
panggilan sebagai pelayan menjadi terhambat dan
dapat menyebabkan konflik dalam diri pendeta
wanita tersebut. Jika pendeta wanita memiliki suami
yang bukan berprofesi seperti tersebut di atas, dapat
dibuat kesepakatan bersama. Apabila itu
kesepakatan yang dibuat adalah berpisah rumah
demi pelayanan sebagai pendeta, maka yang menjadi
pemicu konflik dalam diri pendeta wanita adalah
pandangan dari warga jemaat yang dilayaninya yang
terkadang negatif memandang seorang perempuan
yang hidup terpisah dari suaminya. Jika terjadi
konflik dalam rumah tangga si pendeta wanita, maka
pendeta wanita tersebut tidak dapat menuntut
perceraian karena akan menyebabkan
8
pemberhentian penugasannya sebagai seorang
pendeta. Keadaan-keadaan seperti yang disebutkan
di atas, dapat menyebabkan guncangan yang kuat
bagi diri seorang pendeta wanita. Konflik yang begitu
banyak baik dari sisi pekerjaan dan sisi keluarga dan
rumah tangga dapat menyebabkan kinerja pendeta
wanita menurun jika ia tidak memiliki pengelolaan
Work-Family conflict yang benar dan keyakinan dalam
dirinya bahwa ia mampu mengatasi Work-Family
conflict yang dialaminya.
Dari uraian fenomena di atas, maka penulis
ingin meneliti tentang Work-Family conflict dan
work-family conflict self-efficacy sebagai prediktor dari
kinerja pendeta wanita. Mengapa kedua variabel ini
yang dipilih menjadi prediktor kinerja pendeta
Karena variabel Work-Family conflict adalah variabel
yang benar terjadi dan menjadi faktor psikologis yang
berpengaruh pada aspek kinerja dalam kehidupan
wanita bekerja dalam hal ini pendeta dan
memerlukan pengelolaan konflik yang benar dan
efektif agar tidak menyebabkan penurunan kualitas
kinerja pelayanannya. Variabel work-family conflict
self-efficacy dipilih menjadi variabel prediktor kedua
karena ketika seorang memiliki keyakinan diri yang
kuat akan kemampuannya menghadapi suatu tugas
akan dapat melaksanakan tugas tersebut dengan
lebih maksimal. Peneliti ingin melihat apakah kedua
variabel secara simultan/bersamaan mempengaruhi
kinerja seorang pendeta wanita di Gereja Masehi Injili
di Timor (GMIT).
9
Alasan teoritis dari pemilihan variabel Work-
Family conflict dan work-family conflict self-efficacy
sebagai prediktor dari kinerja pendeta wanita adalah
belum adanya penelitian yang mengangkat kedua
variabel ini secara bersamaan sebagai prediktor dari
kinerja wanita bekerja yang dalam penelitian ini
adalah pendeta. Selama ini, sejauh penelusuran
penulis penelitian yang dilakukan menggunakan
variabel-variabel ini masih bersifat parsial belum
mengangkat kaitan antara kedua variabel ini secara
bersamaan sebagai prediktor dari kinerja. Pada
beberapa penelitian sebelumnya, ada beberapa
kaitan antar variabel yang dapat diambil untuk
memperjelas apa yang ingin diteliti dalam penelitian
ini.
Yang pertama adalah kaitan antara variabel
Work-Family conflict dan variabel kelelahan emosional
yang terjadi pada wanita bekerja seperti yang
dikemukakan oleh Boles, Johnston, Hair & Jr. (1997)
yang menemukan bahwa konflik pekerjaan-keluarga
yang dialami personel penjualan meningkatkan
kelelahan emosional mereka. Demerouti, Bakker &
Bulters (2004) melakukan studi longitudinal pada
para karyawan (70% adalah wanita) untuk
memeriksa hubungan antara intervensi keluarga
terhadap pekerjaan atau konflik antara pekerjaan-
keluarga dan kelelahan emosional. Mereka
menemukan bahwa konflik peran dalam pekerjaan
dan keluarga adalah determinan kausal dari
kelelahan emosional.
10
Kaitan antar variabel yang kedua adalah
variabel Work-Family conflict dan variabel tingkat
depresi pada wanita bekerja. Wanita mempunyai
tingkat depresi yang tinggi dalam menyesuaikan diri
secara psikologis terhadap adanya Work-Family
conflict. Penelitian yang dilakukan oleh Sprock &
Yoder, 1997 menyatakan bahwa wanita sering
mempunyai skor yang tinggi pada skala depresi
dibandingkan pria. Kaitan antar variabel yang ketiga
adalah antara Work-Family conflict dan tingkat work-
family conflict self-efficacy yang dimiliki oleh seorang
wanita bekerja. Beberapa penelitian menyatakan
bahwa wanita sering memiliki tingkat work-family
conflict self-efficacy yang rendah dalam mengatasi
Work-Family conflict yang dialami. Salah satu
penelitian menyatakan wanita muda mempunyai
tingkat antisipasi yang tinggi untuk kedua tipe
konflik, dan dilaporkan efikasi diri yang rendah
terhadap kemampuannya mengatasi atau
menanggulangi konflik peran dalam keluarga yang
mengintervensi peran dalam pekerjaan (Cinnamon,
2006).
Beberapa penelitian menyatakan sebagai
berikut: Work-family conflict self-efficacy yang tinggi
pada pekerjaan yang spesifik pada orang dewasa
ditemukan berkorelasi positif dengan tingginya
kerelaan mereka untuk memilih pekerjaan tersebut
(Tang,Fouad & Smith,1999) dan dengan tingginya
aspirasi karir mereka terhadap pekerjaan tersebut
(Nauta,Epperson & Kahn, 1998). Work-family conflict
self-efficacy yang rendah pada pekerjaan tertentu
11
berkontribusi terhadap eliminasi prematur terhadap
karir yang mungkin dimiliki (Betz & Hackett, 1981).
Hampir sama dengan hal tersebut di atas work-family
conflict self-efficacy sebagai orang tua berkorelasi
positif dengan adaptasi yang baik terhadap peran
sebagai orang tua (Ardelt & Eccles, 2001), dan work-
family conflict self-efficacy akan pernikahan muncul
sebagai prediktor dari kepuasan pernikahan
(Fincham, Harold & Gano-Philips, 2000). Selanjutnya
work-family conflict self-efficacy mungkin dapat
memainkan peran penting dalam menentukan efikasi
diri dalam kemampuan seseorang mengatasi konflik
pekerjaan-keluarga atau disebut juga Work-Family
conflict.
Kaitan antar variabel yang keempat adalah
antara Work-Family conflict dan kinerja. Karatepe &
Sokmen (2006) melakukan sebuah studi di Ankara,
Turki pada karyawan hotel dan menemukan sebuah
hubungan negatif yang signifikan antara Work-Family
conflict dan kinerja. Yang dimaksud dengan
hubungan negatif yang signifikan adalah apabila
tingkat Work-Family conflict tinggi maka kinerja
menurun, sebaliknya apabila tingkat Work-Family
conflict rendah maka kinerja meningkat secara
signifikan.
Dari semua kaitan antar variabel di atas belum
ada yang mengangkat kaitan antara variabel Work-
Family conflict dan work-family conflict self-efficacy
yang dihubungkan dengan kinerja, apalagi kaitan
antara kedua variabel ini secara bersamaan terhadap
kinerja. Oleh karena itu penulis ingin meneliti
12
tentang interaksi kedua variabel ini dalam
mempengaruhi kinerja terutama kinerja pendeta
wanita di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).
Pemilihan dua variabel ini sebagai prediktor
kinerja pendeta di Gereja Masehi Injili di Timor
(GMIT) secara praktis didasari oleh adanya
kenyataan bahwa jumlah pendeta wanita di gereja ini
bertambah banyak dan bahwa dalam gereja ini
memiliki pedoman penilaian kinerja yang aspek
penilaiannya sama antara pendeta wanita dan
pendeta pria, dimana diasumsikan bahwa konflik
peran dan efikasi diri di antara mereka sama. Selain
itu pedoman penilaian kinerja oleh gereja belum
sepenuhnya dilaksanakan sehingga perlu untuk
melakukan penelitian untuk mengetahui seperti
apakah kinerja pendeta di GMIT dalam hal ini
pendeta wanita dan juga melihat adanya Work-Family
conflict dan work-family conflict self-efficacy secara
bersamaan menjadi prediktor dari kinerja pendeta
wanita yang mungkin bisa menjadi tambahan aspek
dalam menilai kinerja pendeta.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah
dalam penelitian ini adalah apakah Work-Family
conflict dan work-family conflict self-efficacy yang
dimiliki oleh pendeta wanita secara bersamaan
menjadi prediktor kinerja pendeta wanita di Klasis
13
Kota Kupang dan Klasis Kupang Tengah Gereja
Masehi Injili di Timor (GMIT)?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui apakah Work-Family conflict dan work-
family conflict self-efficacy yang dimiliki oleh pendeta
wanita secara bersamaan menjadi prediktor dari
kinerja pendeta wanita di Klasis Kota Kupang dan
Klasis Kupang Tengah Gereja Masehi Injili di Timor
(GMIT) .
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan untuk memperkaya
hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan Work-
Family conflict wanita bekerja, work-family conflict
self-efficacy dan kinerja wanita yang bekerja agar
semakin lengkap dengan menambahkan satu profesi
yang dijalani wanita yaitu sebagai pendeta.
1.4.2 Manfaat Praktis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan
gambaran yang cukup jelas tentang konflik yang
dihadapi oleh wanita yang berperan ganda sebagai
pendeta dan ibu rumah tangga dan keyakinan diri
dalam menyelesaikan Work-Family conflict
berpengaruh pada kinerja yang bersangkutan.
Sehingga pihak-pihak yang bekerjasama dengan
seorang pendeta wanita dapat memahami dan
14
mengerti bagaimana sebenarnya kehidupan seorang
pendeta wanita.
Selain manfaat di atas, dapat juga ditambahkan
manfaat dari penelitian ini adalah memberikan
sumbangan aspek penilaian pada pedoman penilaian
kinerja Gereja Masehi Injili di Timor dan
menyadarkan akan pentingnya pelaksanaan
penilaian kinerja pendeta bagi Gereja ini karena
pelaksanaan penilaian kinerja di Gereja Masehi Injili
di Timor masih belum maksimal.
Top Related