1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul
Wacana Kekuasaan Fundamentalisme (Analisis Relasi Wacana dan
Kekuasaan Terhadap Fundamentalisme Islam di Media Sosial).
B. Alasan Pemilihan Judul
Di dalam melakukan penelitian, judul merupakan salah satu bagian yang
penting, karena judul dalam penelitian harus berdasarkan atas beberapa
pertimbangan dan alasan-alasan logis berkaitan dengan penelitian yang akan
dilakukan. Selain itu itu isi dari penelitian ini juga bisa digambarkan dari judul
yang diberikan.
1. Relevansi dengan Jurusan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Judul pada penelitian ini memiliki keterkaitan dengan bidang ilmu yang
penulis dalami selama ini, yaitu ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan
yang banyak mempelajari mengenai masalah-masalah sosial yang ada di
masyarakat. Permasalahan sosial seperti kemiskinan, jaminan sosial,
pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya sudah sering menjadi pokok
bahasan. Adapun permasalahan sosial yang kontemporer seperti
fundamentalisme belum menjadi pokok bahasan utama dalam perkuliahan di
jurusan ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan, akan tetapi sebagai
sebuah permasalahan sosial fundamentalisme yang menjadi akar-akar dari
tindakan radikalisme (kekerasan) dan sikap intoleransi yang terjadi dalam
masyarakat menjadi penting untuk dijadikan kajian.
2
Hal ini juga sesuai dengan peran yang diharapkan akademisi untuk
merumuskan akar permasalahan setiap masalah sosial dan membantu
pemerintah untuk mencari solusi dalam menciptakan ketertiban sosial melalui
kebijakan yang tepat dan efektif. Kebijakan yang efektif yang dilakukan
pemerintah erat kaitannya dengan penggunaan strategi yang tepat dalam
menghadapi gejala fundamentalisme. Pembangunan sosial yang salah satunya
menitikberatkan kepada pembangunan sumber daya manusia yang produktif,
unggul dan berbudaya mempunyai ancaman yang serius dari kalangan
fundamentalisme yang terus berkembang akhir-akhir ini dan menjadi masalah
sosial.
2. Aktualisasi Penelitian
Fundamentalisme Islam menjadi salah satu tema yang sering
diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia bahkan dunia, gejala kekerasan
atas nama agama seolah-olah menjadi sajian yang rutin dihidangkan kepada
khalayak melalui pemberitaan dari media massa. Kekerasan yang
dipertontonkan atas nama agama, peperangan yang membabi buta di timur
tengah dan semakin meningkatnya intoleransi di tengah-tengah masyarakat
Indonesia menjadi keprihatinan semua pihak.
Lembaga-lembaga dunia tak kurang seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), Organsasi Kerjasama Islam (OKI), Liga Arab bahkan ASEAN ikut
membahas isu fundamentalisme Islam dan mencari solusi yang cepat dan tepat
dalam menyelesaikan permasalahan serius ini.
3
Pencarian akar-akar permasalahan dan memahami polarisasi gerakan
fundamentalisme yang merupakan ajaran yang diklaim sebagai bentuk
perjuangan suci dari kitab suci menjadi sangat penting diteliti menjadi sebuah
kajian penelitian.
Selain itu, penggunaan media sosial yang sangat populer menjadi sarana
bagi gerakan fundamentalisme Islam, wacana-wacana keagamaan yang
memuat ajaran-ajaran fundamentalisme disebarluaskan dan menjadi begitu
familiar menjadi konsumsi dominan dalam bidang keagamaan. Maka
penelitian ini menjadi aktual untuk memahami wacana fundamentalisme di
media sosial sebagai media penyebarluasan paham.
3. Orisinalitas
Sebuah penelitian dikatakan orisinil atau asli apabila masalah yang
dikemukakan belum terpecahkan oleh penulis terdahulu ataupun jika pernah
diteliti maka dinyatakan secara cermat perbedaannya. penelitian mengenai
wacana fundamentalisme Islam di media sosial khususnya tentang analisis
bagaimana relasi wacana dan kekuasaan sejauh ini belum pernah dilakukan
penulis lain.
Tetapi terdapat penelitian yang meneliti mengenai isu fundamentalisme
Islam seperti penelitian yang dilakukan oleh Subakti dari pasca sarjana
Sosiologi, Universitas Indonesia, dalam peneltiannya unit analisis yang
dipakai dikhusukan kepada organisasi HTI dan JAT, yang melihat statement
dari selebaran-selebaran dengan hasil penelitian tersebut menjelaskan
4
bagaimana formasi diskursif JAT dan HTI membentuk sebuah wacana tentang
khilafah Islam.
C. Latar Belakang Masalah
Istilah fundamentalisme seringkali terdengar dan dipakai, namun makna
yang sesungguhnya terlalu umum dan rentan akan perubahan. Meski tersirat
dalam pengertian secara umum fundamentalisme bisa dimaknai; keteguhan
dan kekakuan. Makna fundamentalisme mulai mengalami penyempitan,
terbatas pada agama dan kebudayaan dan lebih disempitkan lagi dihubungkan
dengan fundamentalisme pada agama Islam.
Hal ini karena adanya pengaruh media massa Barat yang mengidentikkan
fundamentalisme dengan golongan Islam politik. Asumsi di atas erat
kaitannya sejak dimulainya dengan Revolusi Iran yang dipimpin Ayatullah
Khomeini, yang mengatakan kemampuannya untuk menciptakan tatanan
politik masyarakat dengan tetap berpegang pada pemahaman agama
tradisional, fundamentalisme yang identik dengan agama Islam juga
dipengaruhi oleh kemuculan gerakan-gerakan seperti al-Qaidah dan Islam
Taliban.
Setiap agama besar monoteis di dunia seperti Yahudi, Kristen dan Islam
mempunyai akar sejarah kemuculan golongan fundamentalisme. Dari ketiga
agama monoteis tersebut gerakan fundamentalisme mempunyai beberapa
kesamaan ciri yaitu menolak perubahan, intoleransi, tertutup, kekakuan
5
madzhab, keras, tunduk kepada tradisi, kembali ke belakang, dan menentang
pertumbuhan dan perkembangan.1
Fundamentalisme Islam menjadi sangat aktual untuk di perbincangkan
akhir-akhir ini baik oleh pemerintah maupun masyarakat di Indonesia bahkan
di dunia, fundamentalisme kerap kali dimengerti oleh sebagian besar
masyarakat sebagai masalah sosial yang sangat membahayakan karena
pemahaman mereka yang acap kali menggunakan teks keagamaan sebagai
satu-satunya tafsir dan ideologi yang paling benar untuk melawan kelompok
lain yang berseberangan dan pemerintahan yang ada dalam sebuah negara.
Fundamentalisme kerap kali menggunakan kekerasan sebagai tujuan
perjuangan. sejak munculnya al-Qaidah, sebelas September 2011 tercatat
sebagai hari yang mengubah tatanan dunia, kehancuran World Trade Center
(WTC) yang menghilangkan ribuan nyawa, Menara WTC yang menjadi ikon
abad kedua puluh satu hancur luluh lantak diserang teroris. Untuk pertama
kalinya sejak berakhirnya perang dunia kedua, mata dunia terhenyak,
kejadian yang tidak terpikirkan oleh Negara-negara dunia barat, al-Qaidah
sebagai pihak yang mengaku bertanggungjawab menjadi sangat fenomenal
dikenal dan menjadi perhatian dunia.
Karen Armstrong berpendapat,
kemunculan al-Qaidah menunjukan
fundamentalisme bisa menjadi sangat membahayakan, merusak dan
memunculkan tindakan radikalisme, kehadiran fundamentalisme agama
membuat dunia menghadapi periode perubahan yang mengerikan dan
1 Garaudy. Roger. 1992. Al Ushûliyyah Al Mu'âshirah; Asbabuha Wa Madhahiruha. Ta'rib Khalil
Ahmad Khalil. Paris, Dar Alfain, 1992, hlm 16.
6
merisaukan. Fundamentalisme beranjak dari sebuah bentuk yang tujuannnya
adalah menarik Tuhan dan agama dari batas-batas pinggiran, di mana Tuhan
dan agama telah ditempatkan dalam budaya sekuler modern, dan membawa
kaum fundamentalis mengisi panggung utama. Kaum sekuler dan para pakar
yang sebelumnya yakin bahwa ideologi sekuler adalah ideologi yang menjadi
kekuatan utama dan agama tak akan pernah lagi menjadi kekuatan dalam
perkara-perkara internasional.2 Tetapi, kaum fundamentalis telah
membalikkan kecenderungan ini secara bertahap, baik di Forum tertinggi
lembaga antar negara (PBB), forum-forum internasional maupun di Dunia
Islam, agama telah menjadi kekuatan yang terpaksa dianggap serius oleh
setiap pemerintah.
Dari al-Qaidah itu kemudian muncul berbagai macam gerakan
fundamentalisme lintas negara, di Indonesia fundamentalisme menjadi
perhatian pemerintah dan masyarakat setelah aksi terorisme yang dilakukakan
organisasi Jama‟ah Islamiyyah yang melakukan aksi teror bom Bali pada
tahun 2002 dan 2005 (http://www.republika.co.id)3, setelah peristiwa itu
terjadi serangkaian aksi penyerangan menyusul terjadi di tanah air.
Gejolak yang terjadi di timur tengah sejak invasi Amerika ke Irak telah
memicu tumbuh sumburnya paham dan gerakan fundamentalisme dan
beberapa kelompok garis keras lain di timur tengah dan gerakan ini lintas
2 Armstrong, Karen. 2013, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme Dalam Islam, Kristen dan
Yahudi. Bandung, Penerbit Mizan, hlm 16. 3 http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/07/19/m7ef2u-kisah-bom-di-indonesia-ii-
simbol-kapitalis-asing, diakses tanggal 4 Oktober 2015
7
negara dan bangsa. Gerakan fundamentalis muncul dan berkembang di
sejumlah negara muslim, di Indonesia Fundamentalisme menjadi ancaman
yang sangat serius karena pandangan-pandangan yang radikal yang
meghalalkan kekerasan sebagai jalan yang di tempuh sebagai bentuk
perjuangan.
Dawam Rahardjo mengemukakan beberapa sebab munculnya gerakan
fundamentalisme di Indonesia dan menjadi sumber gejala kekerasan. Pertama,
adalah karena pengaruh gerakan-gerakan Islam transnasional seperti Ikhwan
al-Muslimun, Hizbut Tahrir, Wahabisme Saudi Arabia, Islam Taliban, serta
Al-Qaeda, yang kesemuanya mencita-citakan tegaknya syariat Islam di semua
bidang kehidupan. Kedua, karena euphoria demokratisasi di Indonesia, yang
dimaknai sebagai peluang bagi munculnya gerakan-gerakan Islam radikal
yang pada masa Orde Baru dibungkam dan dipaksa tiarap oleh pemerintah
otoriter-sekuler. Ketiga, gagalnya penegakan negara hukum demokratis yang
menimbulkan kembali aspirasi menegakan syariat Islam, sesuatu yang
bertentangan dengan sistem negara hukum demokratis yang pada dasarnya
sekuler. Dan keempat, gagalnya dakwah Islam yang rahmatan lil‟alamin,
sebagaimana dibuktikan dengan kenyataan tidak tolerannya guru-guru agama
Islam seperti diungkapkan oleh penelitian berbagai lembaga kajian mengenai
topik Islam dan perdamaian. 4
Masyarakat dunia sekarang digemparkan dengan muculnya gerakan
bersenjata ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang mengakibatkan tragedi
4 Masduqi, Irwan 2011, sebuah pengantar Dawam Rahardjo, Fanatisme dan Toleransi, Berislam
Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat beragama. Bandung: Penerbit Mizan, hlm 5-6
8
kekerasan dan kemanusiaan di timur tengah, tak pelak hal ini semakin menyita
perhatian dunia tatkala ribuan orang tewas dan ratusan ribu pengungsi
membanjiri Eropa. Sebagaimana gerakan Fundamentalisme, ISIS mempunyai
simpatisan dan pengikut ideologi lintas negara tidak terkecuali di Indonesia,
munculnya simpatisan ISIS di berbagai daerah menjadi perhatian khusus dari
pemerintah setelah diketahui banyak warga negara Indonesia yang telah
bergabung menjadi anggota ISIS.
Di kutip dari (http//news.detik.com),5 kekhawatiran dari pihak pemerintah
ini karena semakin berkembangnya ISIS yang merupakan salah satu gerakan
Fundamentalis lintas negara, kemudian membuat pemerintah sempat
mewacanakan revisi atas UU Terorisme yang bisa menjerat para pendukung
ISIS.
Fundamentalisme sebagai sebuah ajaran yang mempunyai pandangan yang
cenderung intoleran dan sikap ekslusif dalam pandangan keagamaan membuat
kelompok ini mudah untuk dikenali. Pandangan, sikap dan ciri individu dalam
berujar, berkomunikasi dan berpakaian mempunyai ciri khas yang
membedakan kelompok fundamentalisme dengan yang bukan kelompoknya.
Ciri-ciri yang khas yang biasa orang awam kenali karena kelompok
fundamentalisme mempunyai pakem yang stagnan yaitu sikap teguh
memegang teks keagamaaan yang menyatakan teks bersifat universal daripada
5 http://news.detik.com/berita/2872936/menkum-ham-wacanakan-revisi-undang-undang-
terorisme-terkait-isis, diakses tanggal 5 Oktober 2015
9
konteks atau konteks perkembangan zaman dan pengetahuan modern
ditempatkan sebagai sesuatu yang partikular daripada teks6.
Fundamentalisme agama sebagai sebuah ideologi yang kaku dan keras
dalam menyuarakan ideologi dan ajarannya merupakan wujud perjuangan dari
tafsir keagamaan. Perjuangan ini dianggap sebagai dakwah suci dan jihad
membela nama agama. Perasaan selalu menjadi kelompok yang teraniaya,
tertindas dan menjadi korban membuat fundamentalis mempunyai militansi
yang tinggi, sekulerisme barat dan modernisasi dianggap sebagai musuh
agama Islam dan keduanya menjadi sebab utama umat Islam mengalami
kemunduran setelah terakhir berjaya di era Turki Ottoman.7
Perang suci melawan ketidakadilan barat kepada umat Islam membuat
semua yang berasal dari barat dianggap sesuatu yang patut dicurigai bahkan
dimusuhi seperti demokrasi dan HAM, bagi kelompok fundamentalisme
demokrasi dan HAM adalah produk barat yang membahayakan, demokrasi
adalah bentuk sekulerisme yang menjauhkan manusia untuk patuh terhadap
kedaulatan Tuhan, sementara dalam demokrasi menempatkan rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi, dianggap mengesampingkan otoritas Tuhan
dan menuhankan sesama manusia, maka usaha untuk menghapus demokrasi
sebagai sebuah ajaran yang harus dimusuhi oleh kaum Fundamentalis karena
bertentangan dengan ideologi yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai
kedaulatan di atas segalanya. HAM bagi kaum Fundamentalis adalah pemanis
6 Jalil, Abdul, Makalah seminar “Pesantren dalam Menyikapi radikalisme Agama” tanggal 8 Juli
2015 di Pesantren Al-Munawwir. Krapyak, Yogyakarta. 7 Armstrong, Karen. Op.Cit no. 2, hlm 18.
10
lidah para pemimpin negara barat karena dalam prakteknya HAM mempunyai
standar ganda, fundamentalis melihat kasus Palestina sebagai penerapan
standar ganda, HAM yang digadang-gadang sebagai jalan untuk
membebaskan manusia merdeka dan penghargaan atas hak setiap individu
justru pihak barat sama sekali tidak ada yang bersuara ketika warga Palestina
diperlakukan keji oleh Israel. Kasus bangsa Palestina sering menjadi
pembenaran bagi kaum Fundamentalis bahwa barat dan sekulerismenya
adalah musuh bagi Islam.
“Fundamentalisme yang telah muncul pada masa sekarang memiliki hubungan
simbiotik dengan modernitas” (Karen Armstrong:2013).8
Hubungan simbiotik antara fundamentalisme dan modernitas dapat
dijumpai dalam penggunaan media sosial. Media sosial yang merupakan
produk modernitas digunakan oleh kelompok fundamentalisme sebagai sarana
penyebaran ide, paham dan gagasan. Penyebaran ide, paham dan ideologi ini
membentuk wacana fundamentalisme di media sosial.
Kelompok fundamentalisme meskipun jelas mereka menyatakan
penolakan terhadap barat, namun bersamaan dengan itu mereka juga mampu
hidup bersama dan berkompromi seperti terhadap perkembangan Ilmu dan
teknologi dari barat, media sosial yang menjadi produk perkembangan
teknologi dari barat digunakan sebagai sarana penyebaran paham dan
ideologi. Penyebaran ideologi fundamentalisme yang pada awalnya hanya
pada ruang-ruang publik yang berupa kajian dan pertemuan rutin, kini
8 Ibid, hlm 19.
11
merambah lewat dunia maya, melalui Facebook, Twitter dan media sosial lain.
Melalui media-media sosial tersebut kaum fundamentalis giat menyebarkan
paham fundamentalisme.
Seperti bola salju, sebuah isu yang dibahas oleh ratusan bahkan jutaan
orang di media sosial mampu bergerak semakin besar dan membuat sebuah
gerakan bersama-sama termasuk pembentukan wacana dan aksi sosial. Media
sosial saat ini telah menjadi forum untuk membahas berbagai isu dan
permasalahan.
Saat teknologi internet dan mobile phone semakin maju maka media sosial
pun ikut tumbuh dengan sangat pesat. Kini untuk mengakses facebook atau
twitter, bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja hanya dengan
menggunakan sebuah mobil phone. Demikian cepatnya orang bisa mengakses
media sosial mengakibatkan terjadinya fenomena besar terhadap arus
informasi tidak hanya di negara-negara maju, tetapi juga di Indonesia.
Gambar 1 (https://id.techinisia.com/)9
Berdasarkan gambar 1 di atas, menurut data dari We Are Social, sampai
pada Agustus Tahun 2015, pengguna internet aktif di seluruh dunia kini
mencapai angka 3,17 miliar. Dari tahun ke tahun, jumlah pengguna internet
9 https://id.techinasia.com/talk/statistik-pengguna-internet-dan-media-sosial-terbaru-2015/ diakses
pada tanggal 24 Oktober 2015
12
bertumbuh hingga 7,6 persen. Dari jumlah seluruh pengguna internet sekitar
3,17 milyar tersebut 2,2 milyar memiliki akun aktif di media sosial. Dan 1,9
milyar diantaranya mengakses internet dari mobile phone.
Dari keseluruhan pengguna aktif media sosial di dunia yang berjumlah 2.2
milyar, data menunjukan bahwa 72 juta orang di Indonesia sudah memiliki
akun aktif di sosial media. Sebanyak 62 juta di antaranya mengakses melalui
ponsel. Rata-rata tiga jam waktu yang dihabiskan untuk melihat Facebook,
Twitter, dan jejaring lain. Data ini menunjukan pengguna media sosial di
Indonesia lebih tinggi dari statistik pengguna di India, China, Jepang, dan
Singapura. Dari 72,7 -jumlah akun aktif di media sosial. Sekitar 14 persen
menggunakan facebook. Facebook masih menjadi yang paling populer dengan
pangsa pasar terbesar, diikuti WhatsApp dan Twitter.10
Media sosial yang semakin populer dan memiliki jumlah pengguna yang
cukup besar telah menjadi kebutuhan dan gaya hidup menjadi sarana paling
efektif bagi sebuah kelompok maupun individu untuk menyebarkan ide,
gagasan dan ideologinya, Hal ini juga dimanfaatkan kelompok fundamentalis
dengan menggunakan media sosial seperti facebook, twitter dan youtube
sebagai sarana propaganda dan kampanye untuk menebarkan ideologi yang
mereka anut.
Berbagai macam strategi untuk menyebarkan paham oleh kaum
fundamentalis salah satunya dengan penggunaan istilah atau slogan yang
10 http://www.bbc.com/indonesia/multimedia/2015/02/150226_trensosial_viral_secret, diakses 5
Oktober 2015
13
bernuansakan keagamaan, bentuk simbol atau slogan yang merupakan wacana
digunakan untuk penyebaran ide merupakan srategi untuk mempermudah dan
menyederhanakan paham fundamentalisme.
Wacana seperti “Islam Satu”, sering kali dijumpai di media sosial, wacana
ini seringkali digaungkan oleh kaum fundamentalisme untuk mengkritik
berbagai macam paham dan aliran dalam Islam yang ada di bumi pertiwi,
berbagai macam paham keagamaan bagi kaum fundamentalisme merupakan
bentuk lain dari perpecahan. Wacana Islam Satu juga seringkali dimengerti
oleh kaum fundamentalisme sebagai dukungan untuk menyatukan umat Islam
dalam bingkai solidaritas dan sistem integrasi umat Islam.
Wacana berupa simbol seperti “Khilafah Solusi Dunia” merupakan anti
tesis dari wacana mapan negara bangsa yang menjadi bentuk Negara.
Indonesia. Fundamentalisme telah sampai pada pandangan bahwa bentuk
negara bangsa merupakan produk buatan negara kafir dari bekas jajahan dan
tidak mempunyai dasar dalam al-Quran maupun hadits Nabi. Wacana
penolakan terbuka terhadap ide negara bangsa menjadi sangat berbahaya bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara karena fundamentalisme menempatkan
entitas negara sebagai sesuatu yang menjadi musuh.
Fundamentalisme mempunyai ciri khas dalam ujaran penggunaan bahasa
dalam kehidupan sehari-hari, bahasa arab yang menjadi bahasa resmi kitab
suci biasa digunakan untuk memanggil dan menyebut anggota kelompok yang
sepaham dengan ide fundamentalisme. Ujaran ana untuk menyebut saya
dalam terjemahan bahasa Indonesia, antum yang berarti kamu, akhi sebutan
14
untuk memanggil laki-laki, ukhti sebutan untuk perempuan, ikhwan sebagai
kata ganti orang kedua jamak yang berarti saudara-saudara, dan masih banyak
ujaran lain yang bisa digunakan oleh kelompok fundamentalisme. Ciri
penggunaan bahasa arab ini yang menjadi kekhasan dari kelompok
fundamentalisme. Ciri universalitas kesatuan dalam berbagai hal terjadi juga
dalam kesatuan penggunaan bahasa yang digunakan di media sosial.
Dalam hal berpakaian kelompok fundamentalisme sering
mengkampanyekan ciri khas dari kelompoknya sebagai pakaian resmi agama.
Dengan pembenaran pakaian yang digunakan adalah pakaian yang digunakan
oleh nabi dan orang-orang terdekatnya semasa hidup dulu. Penggunaan
pakaian sebagai simbol keagamaan bagi perempuan disebut sebagai hijab
syar‟i. Wacana Hijab syar‟i yang berarti pakaian penutup bagi perempuan
yang sesuai dengan syariat atau hukum Islam. Kampanye dalam penggunaan
hijab syar‟i kerap kali menyerang cara berpakaian wanita muslimah lain yang
dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam. Bagi laki-laki berpakaian di atas
betis merupakan bagian dari pelaksaan kebiasaan nabi. Permasalahan Jenggot
yang ramai diperbincangkan karena sindiran dari Ketua Umum PBNU Prof.
Dr. KH Said Aqil Siradj (http://www.youtube.com/)11
yang menyatakan
semakin panjang jenggot seseorang maka semakin bodoh. Hal ini memancing
kelompok fundamentalisme untuk menyerang Ketua Umum NU sebagai
seseorang yang anti terhadap sunnah Nabi, antek liberal dan tuduhan lainnya.
11
https://www.youtube.com/watch?v=SklouxBi5_8, diakses tanggal 19 Oktober 2015. (Video ini
berisi 3 pernyataan. Pertama, pernyataan dari Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj yang mengkritik
jenggot. Kedua, klarifikasi dan penjelasan dari Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj tentang pernyataan
yang sebelumnya. Ketiga, pernyataan Buya Yahya yang membela jenggot sebagai identitas
keislaman seseorang)
15
Sikap reaktif yang ditunjukan kaum fundamentalisme terhadap permasalahan
jenggot bisa dimengerti karena jenggot merupakan bagian dari simbol
pembiasaan yang dilakukan nabi semasa hidup.
Wacana fundamentalisme lain yang sering dijumpai di media sosial adalah
kampanye anti toleransi seperti tuduhan-tudahan terhadap kristenisasi dengan
menyerang kelompok Kristen sebagai penghambat kemajuan Islam. Tuduhan-
tuduhan terhadap orang yang tidak sepaham dengan ideologi fundamentalisme
sangat banyak dijumpai, kelompok fundamentalisme tidak segan-segan
menuduh seseorang yang berbeda paham dengan sebutan antek liberal, Antek
amerika, antek yahudi dan antek liberal. Sebagai contoh tuduhan yang
menimpa tokoh bangsa yang kerap dipanggil Gus Dur, pemikiran Gus Dur
tentang ide toleransi, pluralisme, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat
dianggap menyimpang dan berlawanan dengan agama Islam.
Yenny wahid dari Wahid Intitute (http://m.news.viva.co.id/)12
dalam
peringatan hari perdamaian dunia menyatakan kekhawatiran kampanye
kekerasan di media sosial yang kerap kali disuarakan kelompok
fundamentalis, kekhawatiran intoleransi yang menyeruak di media sosial bisa
menular dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Maka Yenny Wahid mengajak kampanye cinta damai dalam media sosial,
kampanye cinta damai merupakan bentuk wacana tandingan untuk
12
http://m.news.viva.co.id/news/read/676505-yenny-wahid--media-sosial-harusnya-penuh-
dengan-pesan-cinta, diakses tanggal 5 Oktober 2015.
16
mengurangi pengaruh dari kampanye kekerasan yang disampaikan kelompok
lain.
Berbagai macam bentuk wacana fundamentalisme dari ujaran berbicara,
pakaian, identitas pribadi dan wacana kekerasan dalam memproduksi liyan di
media sosial dapat memunculkan dominasi wacana baru yang mengikis
wacana lama yang merupakan gambaran Islam yang moderat dan toleran.
Dominasi wacana dari kelompok Fundametalis yang sering dijumpai di
media sosial di dukung sikap militan dalam kehidupan sehari-hari yang juga
menular di dalam semangat militansi penyebaran paham di dunia maya. selain
sebagai penyebarluasan paham, kampanye dan propaganda, wacana kaum
fundamentalis di media sosial juga untuk mengukur sejauh mana respon
masyarakat luas terhadap ide-ide fundamentalisme yang sudah disebarkan.
Kekhawatiran penggunaan wacana fundamentalisme menjadi dominan di
media sosial bisa menular dan membahayakan sikap toleransi di dalam
kehidupan bermasyarakat sehari-hari.
17
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka
dirumuskan tentang konstruksi wacana fundamentalisme Islam di media sosial
sehingga menjadi relasi kuasa dominan dengan beberapa batasan bahwa satu
wacana (prior discourse) mengajukan klaim kebenaran, sedangkan wacana
lain melakukan kritik atau penyerangan (counter-discourse), untuk selanjutnya
dibalas lagi oleh wacana pertama dalam bentuk pembelaan (apollogetic
discourse), atau malah serangan balik (counter-counter discourse). Maka,
dalam penelitian ini ada tiga unsur penting yang terlibat, yakni discourse,
yang menghasilkan counter-discourse yang merespon discourse dan penulis
yang menafsirkan counter-discourse. untuk memperoleh makna discourse.
Dengan demikian pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana
makna discourse tentang fundamentalisme Islam di media sosial
berlangsung?.
Untuk mengetahui makna discourse fundamentalisme Islam yang
berlangsung di media sosial, maka beberapa batasan pertanyaan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk wacana (discourse) kelompok fundamentalisme Islam
di media sosial?
2. Bagaimana substansi diskursif wacana yang disebarkan fundamentalisme
Islam di media sosial?
3. Bagaimana wacana tandingan (counter-discourse) dari wacana dominan
fundamentalisme Islam di media sosial?
18
E. Tujuan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
a. Mengetahui bagaimana bentuk-bentuk wacana kelompok
fundamentalisme di media sosial.
b. Mengetahui substansi dari wacana yang disebarkan
fundamentalisme Islam di media sosial.
c. Mengetahui bagaimana counter-discourse dari wacana dominan
fundamentalisme Islam di media sosial.
d. Untuk mengetahui makna discourse yang berlangsung di media
sosial.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah
a. Sebagai karya ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna
bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
b. Karya ilmiah ini dapat memberikan gambaran dari wacana
fundamentalisme di media sosial sebagai sebuah kajian wacana
yang menjadikannya sebagai masalah sosial.
c. Dapat membantu khalayak untuk mengisi ruang debat yang
dihadapi setiap kali permasalahan fundamentalisme dan
radikalisme muncul dengan membuat wacana tandingan.
19
d. Membantu organisasi Islam moderat yang tidak sependapat dengan
fundamentalisme untuk membuat counter-discourse yang tepat
guna mengikis dominasi wacana fundamentalisme di media sosial.
F. Kerangka Teori
1. Pengertian Wacana
Wacana adalah sebuah konsep yang masih kompleks. Jika menilik kamus
dan buku-buku referensi, ada berbagai macam definisi yang dapat ditemukan,
wacana merupakan sebuah konsep yang banyak digunakan dalam berbagai
bidang, terutama ilmu sosial, ilmu budaya dan lingusitik.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia wacana didefiniskan sebagai
berikut:13
a. Komunikasi verbal, percakapan;
b. Keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan;
c. Satuan bahasa yang terlengkap yang terealisasikan
dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel,
buku, artikel, pidato, atau khotbah;
d. Kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis;
kemampuan atau proses memberikan pertimbangan
berdasarkan akal sehat;
e. Pertukaran ide secara verbal.
13
Kamus Besar Bahas Indonesia Online dalam
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php. Diakses tanggal 21 Oktober 2015
20
“Wacana” memang tidak dapat didefiniskan pada satu makna tertentu,
tidak bisa menunjukan makna yang definitif, karena konsep wacana memiliki
sejarah yang kompleks dan digunakan dalam berbagai cara yang berbeda dari
berbagai pemikiran, bisa ditemukan mulai dari ilmu lingusitik, ilmu budaya
hingga psikologi. 14
Beberapa arti wacana yang biasa digunakan dalam banyak bidang
keilmuan adalah sebagai berikut:
- “Discourse is the particular mode of textualit of an
institution. It is a set of textual arrangements which
work to organise and co-ordinate the actions, position
and identities of the people who inhabit them”.15
- “…various social practices and institution are both
constituted by and situated within form of discourse, A
discourse, on thus view, is a means of both producing
and organizing meaning within a social context.”16
- “Discourse is the social process of making and
reproducing sense(s), discourse are the product of
social, historica, and institutional formations and
meanings are produced by these institutionalised
discourse.17
14
Mills, Sara. 1997, Discourse. Oxon: Routledge, hlm: 8. 15
Thwaites, Tony, Lloyd Davis, Warwick Mules, 2002, Introducing Cultural and Media Studies,
London: Mcmillan, hlm 24. 16
Edgar, Andrew and Peter Sedgwick, 2006, Cultural Theory – The Key Concept. Oxon:
Routledge, hlm 41. 17
Hartley, Jhon. 2002, Communication, Cultural and Media Studies – The Key Concept. Oxon:
Routledge, hlm 97.
21
Dari beberapa pernyataan tentang wacana, wacana memang banyak
digunakan dalam berbagai bidang, kadang tanpa definisi yang jelas. Konsep
ini cenderung menjadi kabur, memiliki arti yang berbeda dalam konteks
yang berbeda. Wacana mendefinisikan sekaligus mengkonstruksi objek-
objek dari pengetahuan. Wacana juga bukan merupakan sesuatu yang
permanen, karena dapat berubah dari masa ke masa.
Namun dalam penelitian ini, penggunaan istilah wacana diambil dari
terjemahan dari discourse (discourse adalah istilah asli dalam bahasa
Perancis) yang digunakan Foucault. Discourse biasanya diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi „wacana‟ atau „diskursus‟, maka „wacana‟
dalam konteks penelitian ini khususnya merujuk pada konsep discourse dari
Michel Foucault.
2. Teori Wacana Foucault
Foucault (1926-1984 adalah seorang filsuf Prancis, seorang sosiolog dan
sejarawan. Foucault dikategorikan sebagai seorang pemikir post-
strukuturalisme dan post-modernisme, Foucault semasa hidupnya
menghasilkan banyak karya, seperti The Archaelogy of Knowledge, Discipline
and Punishment, Madness and Civilization, The History of sexuality dan lain-
lain. Melalui berbagai karya Foucault meneliti tentang kekuasaan,
pengetahuan, relasi antara kekuasaan dan wacana.18
Pemikiran seorang
Foucault mempengaruhi berbagai bidang pengajaran seperti psikologi,
kedokteran, sastra, kriminologi, studi gender, teori poskolonial, sosiologi dan
kajian kebudayaan.
18
http://www.egs.edu/library/michel-foucault/biography/ diakses tanggal 21 Oktober 2015
22
Foucault membahas konsep wacana dalam „the Archaeology of
Knowledge‟ (terjemahan L‟Archeologie du Savoir, terbit 1972) ia mengkaji
wacana sebagai sistem representasi, tidak lagi hanya sekedar bahasa. Analisis
wacana dalam penelitian ini didasarkan pada pemikiran Michel Foucault,
pemikirannnya mengenai wacana bisa dibilang merupakan yang paling
terkemuka. Ide Foucault tentang wacana bisa dibilang merupakan yang paling
terkemuka dan banyak digunakan oleh pemikir-pemikir setelahnya.
Menurut Foucault, wacana mengkonstruksikan topik, mendefinisikan dan
memproduksi objek-objek pengetahuan, mengatur cara suatu topik bisa
dibicarakan dengan berarti, dan juga mempengaruhi bagaimana ide-ide diubah
menjadi praktik dan digunakan sebagai bentuk keteraturan. Wacana memiliki
kekuatan dan pengaruh di dalam suatu konteks sosial, dan menyusun struktur
pengertian tentang realitas dan gagasan tentang identitas. Wacana berfungsi
mendefinisikan berbagai hal yang dengan demikian wacana memiliki
kemampuan untuk membatasi dan mengekslusi hal lain yang berada di luar
wacana yang berlaku. Wacana yang sama dapat menghasilkan cara berpikir
atau pengetahuan pada suatu waktu yang sama akan memunculkan beragam
jenis teks dan lebih lanjut lagi dalam berbagai institusi dalam masyarakat
membentuk suatu formasi diskursif.19
Dari uraian di atas dapat dilihat salah
satu kerja wacana adalah melalui ekslusi, mengeluarkan hal-hal tertentu dari
anggapan sebagai hal yang nyata atau yang layak diperhatikan.
19
Mills, Sara. Op.Cit no. 14. hlm. 44.
23
Suatu unsur yang paling mendasar dari wacana adalah
statement.20
Statement adalah sesuatu yang menjadi balok dasar bangunan
utama suatu wacana. Suatu pernyataan bukanlah suatu ucapan saja, ini
mengandung arti bahwa suatu kalimat sebenarnya dapat berfungsi sebagai
beberapa pernyataan yang berbeda, bergantung pada konteks wacana yang
ada. Serangkaian statement yang dikelompokkan menjadi beberapa wacana
atau kerangka wacana yang berbeda membentuk episteme, suatu landasan
pemikiran, pada suatu waktu tertentu, di mana statement tertentu dianggap
sebagai pengetahuan.
Menurut Foucault, statement adalah ucapan-ucapan yang memiliki
kekuatan institusional, dan karena memiliki kekuatan institusional mendapat
legitimasi dari sesuatu bentuk otoritas. Ucapan-ucapan inilah yang termasuk
dalam kelompok „kenyataan/realitas‟. Ucapan dan teks yang menciptakan
klaim kebenaran serta yang disepakati sebagai pengetahuan, dapat
digolongkan sebagai statement. Dengan konsep ini, maka tidak ada kebenaran
yang universal. Apa yang dianggap sebagai kebenaran (truth) ditentukan oleh
regime of truth (rezim kebenaran) yang beredar dan dikuatkan oleh wacana
yang berlaku.
Regime of truth dibentuk oleh formasi diskursif atau struktur wacana, dan
kemudian dianggap sebagai pengetahuan umum atau popular knowledge.
Formasi diskursif dapat dideteksi dari teks-teks media, melalui statement-
statement di dalamnya. Kesatuan statement dari berbagai teks yang berbeda
20
Foucault, Michel. 2002, The Archeology of Knowledge. Trans. Alan Sheridan. Oxon: Routledge,
2002 hlm. 29. (Dalam karya aslinya Foucault menggunakan kata énoncé, yang secara umum
kemudian diterjemahkan sebagai statement atau pernyataan.)
24
menunjukan konsistensi dan keteraturan, dan ini yang menjadikan wacana
dominan. Agar wacana dapat diterima sebagai sesuatu yang benar, nyata dan
wajar, konstruksi dimodifikasi misalnya melalui legitimasi, pernyataan tokoh-
tokoh dan sebagainya.
Wacana dalam kumpulan statement-statement memiliki kekuasaan
institusional yang berarti memiliki pengaruh mendalam terhadap cara
bertindak dan berpikir individu. Wacana adalah berbagai statement memiliki
kekuatan serupa, dikelompokkan karena adanya suatu tekanan institusional,
karena keserupaan keadaan atau konteks, atau karena mereka bertindak
dengan cara yang sama. Dalam suatu wacana besar bisa terdapat berbagai sub-
wacana yang saling berhubungan tetapi juga saling berkontestasi, ada yang
menjadi dominan dan paling dianggap benar, dan berarti ada juga yang
marjinal atau bahkan terpinggirkan.
Wacana memproduksi objek-objek pengetahuan, dan tidak ada sesuatu
yang bermakna di luar wacana, ini bukan mengingkari keberadaan material
benda-benda, namun yang dimaksudkan Foucault tidak mengingkari yang di
luar wacana. Tidak ada objek yang memiliki makna. Objek fisik memang ada,
namun tidak memiliki makna yang tetap. Hanya dalam wacana suatu objek
bisa memperoleh makna dan menjadi sebuah objek pengetahuan. Ide bahwa
benda dan kejadian yang bersifat fisik memang ada, namun mereka baru
bermakna dan menjadi objek pengetahuan ketika berada dalam wacana,
merupakan inti dari teori pendekatan konstruksionis. Ini sejalan dengan ide
bahwa objek tidak mengandung maknanya masing-masing secara otomatis
25
Apa yang dianggap signifikan dan bagaimana menafsirkan objek dan
peristiwa serta menempatkannya dalam sistem makna adalah bergantung dari
formasi diskursif yang berlaku. Argumen ini menyatakan bahwa satu-satunya
cara untuk memahami realitas adalah melalui wacana. Dalam proses
memahami, subyek mengategorikan dan menafsirkan pengalaman dan
peristiwa menurut struktur diskursif yang ada pada subyek. Dalam proses
tersebut subyek memberi struktur itu suatu soliditas dan normalitas. Selain
objek-objek material, wacana juga mengonstruksi berbagai peristiwa tertentu
ke dalam narasi yang diakui oleh budaya tertentu sebagai peristiwa yang nyata
atau serius.21
Menurut Foucault ada tiga cara bagaimana suatu objek dibentuk melalui
wacana,22
tiga cara tersebut yaitu:
- Pemetaan permulaan kemunculannya. Kemunculan
wacana bisa berbeda-beda diakibatkan masyarakat yang
berbeda dan waktu yang berbeda. Contohnya di
keluarga, kelompok sosial, tempat kerja dan komuntas
agama. Dari perbedaan permulaan kemunculan ini,
wacana menentukan batasan-batasannya, memberi
definisi pada objek.
- Otoritas delimitasi. Ada pihak yang mempunyai otoritas
yang menguatkan atau melegitimasi sesuatu sebagai
objek, yang membedakan dan membatasi definisi akan
21
Mills, Sara., Op.Cit no. 14, Hlm 72-74 22
Foucault, Michel, Op.Cit no. 20, Hlm. 45-47
26
objek. Misalnya institusi hukum dan institusi
kedokteran.
- Keberadaan jaringan-jaringan spesifikasi. Ada suatu
sistem di mana objek diklasifikasikan, dihubungkan,
dikelompokkan, diturunkan menjadi objek-objek lain
dan seterusnya membentuk keterhubungan.
3. Teori Relasi Wacana dan Kuasa
Menurut Foucault, wacana bukan untuk pembongkaran representasi yang
benar dan akurat dan apa yang nyata, atau mempermasalahkan yang benar dan
salah, yang baik dan buruk. Foucault lebih tertarik pada cara kerja suatu
wacana menjadi yang dominan, yang didukung oleh berbagai institusi dan
mendapat banyak pengakuan dari masyarakat. Karena itu, salah satu unsur
kunci dalam membahas wacana Foucault adalah konsep power (kuasa).
Foucault melihat adanya hubungan yang erat antara kuasa (power) dengan
pengetahuan (knowledge).
Menurut Foucault, semua pengetahuan yang ada adalah merupakan hasil
atau pengaruh dari perjuangan kekuasaan. Semua pengetahuan tidak terkecuali
pengetahuan teoritis, ditentukan oleh kombinasi tekanan sosial, institusional
dan tekanan wacana yang ada saat itu. Kontestasi memperebutkan dominasi
ini akan saling bertentangan dengan beberapa pengetahuan.
Foucault tidak menempatkan kekuasaan sebagai sebuah kepemilikan yang
berada di tangan negara atau penguasa secara monolitik. Ia melihat kekuasaan
27
sebagai sebuah hubungan, bukan hanya sekedar pemaksaan satu arah, terlebih
dari atas ke bawah.
Deskripsi Foucault akan wacana yang dapat membentuk tindakan dan
keterhubungan antar kelompok. Wacana sebagai bentuk kekuasaan merupakan
sebuah bentuk tindakan atau hubungan antar individu yang dinegosiasikan
dalam setiap interaksi dapat dengan jelas dari pernyataan Foucault yang
dikutip Sara Mills sebagai berikut:
“instead of Gradually reducing the rather fluctuating meaning of
the words „discourse‟, I believe i have in fact added to its
meanings:treating it sometimes as general domain statement,
sometimes as an individualizable group of statement, and
samoetimes as regulated practice that accounts for a number of
statements.” Michel Foucault23
Bagi Foucault kekuasaan beredar dalam suatu masyarakat, bukan hanya
dimiliki oleh suatu kelompok. Kekuasaan merupakan suatu bentuk tindakan
atau hubungan antar kelompok. Kekuasaan merupakan sebuah bentuk
tindakan atau hubungan antar individu dalam masyarakat yang selalu
dinegosiasikan dalam setiap interaksi, dan tidak pernah bersifat stabil.
Foucault menolak ide tentang kekuasaan yang represif belaka, karena
menurutnya pasti selalu ada negosiasi dari pihak yang mendapat tekanan
dari semua pihak. Di mana ada kekuasaan, secara otomatis akan ada pula
resistensi, artinya tidak ada kekuasaan yang menjadi dominasi total.
Wacana tidaklah beroperasi demi kekuasaan ataupun muncul untuk
menentang kekuasaan. Foucault memaparkan bahwa wacana menyalurkan
dan menghasilkan kekuasaan, memperkuat kekuasaan, namun juga dapat
23
Mills, Sara., Op.Cit no. 14, hlm 35
28
meruntuhkan kekuasaan dan mengeksposnya, melemahkan namun juga
menciptakan kemungkinan untuk menghalanginya.24
Wacana menurut Foucault bisa menjadi sebuah strategi atau alat untuk
menanamkan ideologi, pendapat tersebut berdasarkan pernyataan Foucault
sebagai berikut:
“The notion of ideology appears to me to be difficult to use for
three reasons. The first is that, wether one want it to be or not, it is
always in virtual opposition to something like the truth... The
second incoonvenience is that it refers, necesesarily I believe,to
something like subject. Thirdly, ideology is in a -secondary
position in realition to something which mst function as the infra-
structure or economic or material determinant for
it”(Foucault,1979e:36)25
Wacana bagi Foucault pada akhirnya bukan hanya sekumpulan
pernyataan tetapi juga berbagai teks yang memiliki makna, kekuatan dan
efek dalam konteks sosial. Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis
suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam konteks
tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak.
Kekuasaan bagi Foucault selalu tersampaikan melalui pengetahuan, dan
pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan selalu
memproduksi pengetahuan tentang kebenaran sebagai basis dari
kekuasaannya. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi bahwa untuk
mengetahuai kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi
24
Foucault, Michel., 2007, History of sexuality. Terjemahan “La Volonté de Savoir” . Trans.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan FIB Universitas Indonesia, hlm: 45-83 25
Mills, Sara., Op.Cit no. 14, hlm 32.
29
pengetahuan yang melandasi kekuasaan karena setiap kekuasaan disusun,
dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. 26
Menurut Fairclough dan Wodak, wacana digunakan sebagai bentuk dari
praktik sosial. Wacana memberi gambaran sebagai sebuah praktik sosial
yang menyebabkan sebuah hubungan dialektis diantara peristiwa diskursif
tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya,
wacana juga dapat menampilkan efek ideologi, wacana dapat memproduksi
dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas
sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui
perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi ruang ditampilkan.
Berikut ini karakteristik penting dari analisis wacana kritis dari Teun A
Van dijk, Fairclough, dan Wodak:27
- Tindakan
Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action).
Dengan pemahaman semacam ini mengasosiasikan
wacana sebagai bentuk interaksi. Orang berbicara atau
menulis bukan diartikan ia melakukan hal itu untuk
dirinya sendiri. Ada dua konsekensi bagaimana wacana
harus dipandang. Pertama, wacana ialah sebagai sesuatu
yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi,
mendebat, atau membujuk. Kedua, wacana dipahami
sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar,
26
Eriyanto, A. 2001, Analisis Wacana. Yogyakarta: LkiS, hlm 65 27
Ibid, hlm 8-14
30
terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau
diekspresikan di luar kesadaran.
- Konteks
Wacana dipandang, diproduksi, dimengerti dan
dianalisis pada satu konteks tertentu, seperti latar
situasi, peristiwa dan kondisi. Menurut Guy Cook,
analisis wacana juga memeriksa konteks dari
komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan, dengan
siapa dan mengapa, dari jenis khalayak dan situasi apa,
melalui medium apa, bagaimana perbedaan tipe dari
perkembangan komunikasi, dan hubungan untuk setiap
masing-masing pihak. Guy Cook menyebut ada tiga hal
yang sentral dalam pengertian wacana: teks, konteks,
dan wacana. Teks ialah semua bentuk bahasa, tidak
hanya tulisan, namun juga jenis ekspresi komunikasi,
ucapan, musik efek, gambar dan sebagainya. Konteks
memasukkan semua situasi dan hal yang berada diluar
teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti
partisipan, dalam bahasa, situasi dimana konteks
tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksud, dan
sebagainya.
- Historis
Menempatkan dalam konteks sosial tertentu, berarti
wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak
31
dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang
menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa
mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu
dalam konteks historis tertentu. Pemahaman mengenai
wacana teks ini hanya akan diperoleh bila kita dapat
memberikan konteks historis dimana teks itu
diciptakan, seperti situasi politik atau yang lainnya saat
wacana tersebut diciptakan.
- Kekuasaan
Setiap wacana yang mucul, baik berbentuk teks,
percakapan, tidak dipandang sebagai suatu yang
alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk
pertarungan kekuasaan, konsep kekuasaan adalah salah
satu kunci hubungan anatara wacana dan masyarakat.
Seperti kekuasaan laki-laki dalam wacana mengenai
seksisme, kekuasaan kulit putih terhadap kulit hitam
dalam wacana mengenai rasisme. Kekuasaan dalam
wacana penting untuk melihat apa yang disebut sebagai
kontrol. Kontrol dalam hal ini tidak harus dalam
tindakan fisik dan langsung, tetapi juga kontrol secara
mental dan psikis. Kelompok yang dominan mungkin
membuat kelompok lain bertindak seperti yang
diinginkan olehnya, berbicara dan bertindak sesuai yang
diinginkannya.
32
- Ideologi
Teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari
praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi
tertentu. Teori klasik tentang ideologi diantaranya
mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok
yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan
melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi
utamanya adalah dengan membuat kesadaran kepada
khalayak bahwa dominasi itu diterima secara taken for
granted (yang dibenarkan). Van Dijk menyatakan,
bahwa ideologi terutama dimaksudkan untuk mengatur
masalah tindakan dan praktik individu atau anggota
suatu kelompok.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. penelitian kualitatif adalah riset yang bersifat deskriptif dan
cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan
makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.
Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai
dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk
memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan
pembahasan hasil penelitian.
33
Menurut Bogdan dan Taylor, pendekatan kualitatif ini berarti sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang yang berlaku yang dapat diamati.
Sedangkan Kirk dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah
tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam
peristilahannya.28
Ada perbedaan mendasar antara peran landasan teori dalam penelitian
kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif, penelitian
berangkat dari teori menuju data, dan berakhir pada penerimaan atau
penolakan terhadap teori yang digunakan. Sedangkan dalam penelitian
kualitatif penulis bertolak dari data, memanfaatkan teori yang ada sebagai
bahan penjelas, dan berakhir dengan suatu “teori”.29
Menurut Moleong, penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motifasi, tindakan, dll, secara holistik dan dengan
cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus
yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.30
Sedangkan metode ilmiah yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini
adalah metode analisis dari Sara Mills. Metode ini untuk memperoleh data
yang obyektif dalam penelitian, dengan melihat posisi subyek dan obyek
28
Moleong, Lexy. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm.
3 29
Ibid, hlm. 165
30 Ibid, hlm 6
34
dalam representasi wacana fundamentalisme Islam di media sosial agar
penulis dapat melihat formasi diskursif wacana yang mengandung muatan
ideologi tertentu, dan penulis juga meneliti posisi wacana tandingan yang
selanjutnya digunakan penulis untuk menganalisis pemaknaan yang
sebenarnya sesuai konteks kerangka teori dalam penelitian ini.
2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung selama 3 (tiga) bulan, dari bulan Oktober
hingga Desember, Dengan obyek penelitian yaitu media sosial, khususnya
twitter dan facebook. Penulis mengkategorisasikan pernyataan dan opini-opini
melalui penelusuran user facebook dan twitter mengenai tema
fundamentalisme yang termuat pada dari Januari 2014 sampai Desember
2015.
3. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah wacana kelompok Fundamentalisme Islam di
media sosial, beberapa subyek penelitian kelompok yang termasuk
fundamentalisme Islam di Indonesia adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
Front Pembela Islam (FPI), Ikhwanul Muslimin (yang ada di dalam organisasi
KAMMI), Majelis Mujahidin Indonesia dan Jama‟ah Anshor Tauhid (JAT).
Subyek wacana dalam penelitian ini adalah wacana fundamentalisme
agama yang berhubungan dengan katagorisasi wacana Islam dan Negara,
pemberlakuan syariat Islam sebagai hukum positif, wacana pendirian khilafah
Islam dan beberapa wacana lain yang berhubungan langsung dengan wacana
fundamentalisme Islam.
35
Subyek penelitian selanjutnya adalah wacana tandingan (counter-
discourse) yang menentang berbagai wacana fundamentalisme di media
sosial. Wacana tandingan ini dapat diidentifikasi dengan statement-statement
penolakan terhadap wacana fundamentalisme Islam.
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam bagian ini, diuraikan teknik pengumpulan data yang digunakan
yaitu metode dokumentasi, Metode dokumentasi adalah metode ilmiah dalam
pengumpulan data melalui hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip,
buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat dan sebagainya.31
Penelitian ini memanfaatkan data yang berupa kumpulan teks yang
berisikan statement-statement di media sosial yaitu facebook dan twitter.
Khususnya yang memuat tentang wacana fundamentalisme Islam beserta
wacana tandingannya.
Dari Hasil penelitian ditemukan beberapa wacana yang dikelompokkan
untuk dijadikan gambaran dalam analisis wacana, sebagai berikut:
Wacana
Fundamentalisme
Islam
Jumlah
Wacana Syariat Islam 19
Wacana Khilafah
Islam
a. Wacana
Khilafah HTI
15
31
Suharsimi, Arikunto. 1993, Produser Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, hlm 202.
36
b. Wacana
Khilafah ISIS
11
Wacana Kekerasan
dan Ujaran Kebencian
a. Bahaya Islam
moderat dan
Islam Nusantara
13
b. Kampanye Syiah
Bukan Islam
16
c. Perlawanan
Negara dan
demokrasi
9
d. Kampanye
Intoleransi dan
Kekerasan
8
Countre-Discourse
Fundamentalisme
Islam
20
Dalam mengumpulkan data, penulis melakukan pencarian akun-akun
yang ada di media sosial facebook dan twitter, pencarian akun di twitter
melalui mesin pencarian (searching) dan facebook melalui penelusuran
akun-akun yang mempunyai kecenderungan dan secara jelas menyuarakan
ide-ide fundamentalisme. Akun-akun tersebut dipilih dengan beberapa
37
kriteria untuk mengidentifikasi keakuratan wacana yang akan dianalisis.
Kriteris tersebut yaitu pertama, keteraturan statement-statement yang
termediakan di media sosial, kedua, keterhubungan statement dengan tema
fundamentalisme yang penulis teliti. Ketiga, banyaknya teman dan pengikut
(follower) dari akun-akun yang akan dinalisis. Keempat, jumlah respon yang
banyak dari statement yang termediakan dari akun di facebook dan twitter,
respon tersebut baik yang menyetujui maupun yang menolak.
Beberapa kriteria tersebut mengahasilkan sejumlah akun yang akan
dianalisis, 91 akun yang mengandung ide fundamentalisme dan 20 akun
yaang menolak ide fundamentalisme. 91 akun yang mendukung
fundamentalisme Islam terdiri dari 19 akun yang mengandung muatan
wacana Syariat Islam, 15 yang mengandung wacana khilafah Islam versi
HTI, 11 akun yang mengandung wacana khilafah versi ISIS, 46 akun yang
mengandung wacana kekerasan dan kebencian yang terdiri dari 13 akun
yang mengandung wacana bahaya Islam moderat dan Islam Nusantara, 16
akun yang mengandung kampanye Syiah Bukan Islam, 9 akun mempunyai
wacana perlawanan terhadap negara dan demokrasi, dan 8 akun yang
memiliki wacana kampanye intoleransi dan kekerasan. Sedangkan yang
menolak ide fundamentalisme berjumlah 20 akun.
5. Metode Analisis Data
Dalam melakukan analisis wacana, tidak ada langkah-langkah tertentu atau
metode standar yang harus diikuti.32
Hal ini pada dasarnya berlaku pada
sebagian besar penelitian kualitatif yang memang tidak memiliki metode
32
Phillips, Nelson, dan Cynthia Hardy. 2002, Discourse Analysis: Investigating Processes of
Social Construction. Thousand Oaks: Sage. Hlm 74
38
standar untuk menghasilkan kesimpulan seperti pada metode yang lebih
bersifat kuantitatif. Maka, isu mengenai validitas yaitu bahwa gagasan bahwa
hasil penelitian berhasil merefleksikan dunia nyata dan reliabilitas yaitu
gagasan bahwa hasil penelitian yag serupa akan sama, tidal relevan dalam
analisis wacana, pemikiran yang melatarbelakangi teori-teori wacana memang
memandang bahwa apa yang nyata adalah hasil konstruksi, dan berbagai
wacana dapat menghasilkan pemaknaan yang berbeda-beda pula pada isu yang
sama.
Metode analisis yang digunakan adalah analisa wacana yang dipopulerkan
oleh Sara Mills, Sara Mills menggunakan analisa wacana dengan melihat
bagaiman posisi-posisi aktor yang ditampilkan dalam teks wacana, yaitu posisi
dalam arti siapa yang menjadi subyek pewacanaan dan siapa yang menjadi
obyek pewacanaan akan menentukan bagaimana struktur wacana dan
bagaimana makna diperlakukan dalam wacana secara keseluruhan. Selain itu
juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca mengidentifikasi dan
menempatkan dirinya dalam penceritaan teks. Posisi ini akan menempatkan
pembaca pada pada salah satu posisi dan mempengaruhi bagaimana teks itu
hendak dipahami dan bagaimana pula aktor sosial ini ditempatkan. Pada
akhirnya cara penceritaan dan posisi-posisi yang ditempatkan dan ditampilkan
dalam teks ini membuat satu pihak menjadi legitimate dan pihak lain menjadi
illegitimate.33
a. Posisi Subyek-Obyek
Sara Mills menempatkan representasi sebagai bagian terpenting
33
Eriyanto, A. Op. Cit. no 26, hlm 200
39
dari analisisnya. Bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan,
atau peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana
berita yang mempengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh
khalayak.34
Selanjutnya Sara Mills lebih menekankan pada
bagaimana posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau
peristiwa itu ditempatkan dalam teks. Posisi tersebut pada akhirnya
menentukan bentuk teks yang hadir di tengah khalayak. Misalnya
seorang aktor yang mempunyai posisi tinggi ditampilkan dalam
teks, ia akan mempengaruhi bagaimana dirinya ditampilkan dan
bagaimana pihak lain ditampilkan. Wacana fundamentalisme di
media sosial bukanlah sarana yang netral, tetapi cenderung
menampilkan aktor tertentu sebagai subyek yang mendefinisikan
peristiwa atau kelompok tertentu. Posisi itulah yang menentukan
semua bangunan unsur teks, dalam arti pihak yang mempunyai
posisi tinggi untuk mendefinisikan realitas akan menampilkan
peristiwa atau kelompok lain ke dalam bentuk struktur wacana
yang akan hadir kepada khalayak.
Posisi sebagai subyek dan obyek dalam representasi ini
mengandung muatan ideologi tertentu. Dalam hal ini bagaimana
posisi ini memarginalkan posisi liyan yang bukan kelompoknya
ketika ditampilkan melalui berbagai statement di media sosial,
pertama posisi ini menunjukan dalam batas tertentu sudut pandang
pewacanaan, artinya sebuah ide, gagasan dan gambaran aktor-
34
Ibid, hlm 201-2003
40
aktornya dijelaskan dalam sudut pandang paham fundamentalisme.
Dengan demikian khalayak tergantung sepenuhnya kepada
pewacana yang bukan hanya menampilkan dirinya sendiri tetapi
juga sebagai juru kebenaran. Kedua, sebagai subyek representasi,
pihak fundamentalis mempunyai otoritas penuh dalam
mengabsahkan penyampaian wacana tersebut kepada pembaca.
Karena posisinya sebagai subyek, kelompok fundamentalis bukan
hanya mempunyai keleluasan mewacanakan liyan tetapi juga
menafsirkan berbagai macam ide dan gagasan dari liyan untuk
membangun pemaknaan subyektif yang disampaikan kepada
khalayak. Ketiga, karena proses pendefinisian ini bersifat
subyektif, tentu saja sangat sulit dihindari kemungkinan
pendefinisian secara sepihak dari sudut pandang kelompok lain,
fundamentalis bukan hanya mendefinisikan dirinya sendiri tetapi
juga mendefinisikan pihak lain dalam perspektif atau sudut
pandangnya sendiri.
b. Posisi Pembaca
Hal yang penting dan menarik dalam model analisa yang
diperkenalkan oleh Sara Mills adalah bagaimana pembaca
ditampilkan dalam teks. Sara Mills berpandangan, dalam suatu teks
wacana posisi pembaca sangat penting dan haruslah
diperhitungkan dalam suatu teks wacana. Mills menolak
pandangan banyak ahli yang menempatkan dan mempelajari
konteks semata dari sisi penulis, sementara dari sisi pembaca
41
diabaikan, dalam model semacam ini, teks dianggap semata
sebagai konsumen yang tidak mempengaruhi pembuatan suatu teks
atau statement. Model yang diperkenalkan Mills justru sebaliknya.
Teks atau statement adalah hasil negosiaisi antara penulis dan
pembaca. Oleh karena itu, pembaca tidaklah dianggap semata
sebagai pihak yang hanya menerima teks atau statement, tetapi
juga ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat dalam
teks.
Bagi Sara Mills, membangun suatu model yang
menghubungkan antara teks dan penulis di suatu sisi dengan teks
dan pembaca di sisi lain, mempunyai sejumlah kelebihan. Pertama,
model semacam ini akan memperlihatkan secara komprehensif
bukan hanya berhubungan dengan faktor produski tetapi juga
persepsi. Kedua, posisi pemabaca di sini ditempatkan dalam posisi
nyang penting, hal ini karena teks memang ditujukan secara
langsung dan tidak “berkomunikasi” dengan khalayak.35
Kalau konsepsi ini hendak diterjemahkan dalam wacana fundamentalisme,
maka analoginya adalah demikian, wacana tentang paham fundamentalisme
tidaklah ditempatkan sebagai sebagai hasil produksi dari golongan
fundamentalis semata, golongan fundamentalis dan pembaca tidaklah
ditempatkan semata sebagai sasaran, karena wacana adalah hasil negosiasi
antara golongan fundamentalis dan pembacanya. Oleh karena itu, dalam
mempelajari konteks dari sisi golongan fundamentalis perlu juga mempelajari
35
Ibid, hlm 204
42
konteks dari sisi pembaca.
Beberapa hal yang harus dilakukan dalam menganalisa teks dalam media
sosial adalah pertama pembacaan seksama teks-teks tersebut, kemudian
mencatat isu-isu utama dan tema yang menonjol, setelah itu melihat adakah
hubungan antara isu-isu yang muncul (hubungan antar teks yang dianalisis),
bagaimana hubungan itu terjadi dan apakah dapat melihat pola-pola tertentu
yang terbentuk. Kesemuanya dilakukan dalam sebuah konteks yang
jelas.36
Seperti halnya penelitian kualitatif yang lain, hasil temuan analisis
wacana tidak dimaksudkan untuk generalisasi, analisis yang dilakukan
berdasarkan pada bahasa dan teks dalam konteks sosial yang spesifik.
Penelitian ini juga akan menganalisa formasi wacana fundamentalisme
Islam yang muncul di media sosial. Wacana tersebut dinalisis dengan melihat
statement-statement dari kelompok fundamentalis Islam yang menjadi subyek
penelitian ini. Statement-statement tersebut kemudian dikelompokkan dan
dianalisis untuk melihat hubungan dan kaitannya. Penulis juga akan melihat
formasi diskursif yang terbentuk yang kemudian membangun wacana tentang
fundamentalisme.
Fundamentalisme sebagai sebuah wacana (discourse) di media sosial yang
membentuk formasi diskursif, konstruksi wacana fundamentalisme Islam di
media sosial sehingga menjadi relasi kuasa dominan dengan beberapa batasan
bahwa satu wacana (prior discourse) yang mengajukan klaim kebenaran,
sedangkan wacana lain melakukan kritik atau penyerangan (counter-
discourse), untuk selanjutnya dibalas lagi oleh wacana pertama dalam bentuk
36
Holloway, Immy. 1997, Basic Concepts for Qualitative Research. Oxford: Blackwell. Hlm 47-
49
43
pembelaan (apollogetic discourse), atau malah serangan balik (counter-
counter discourse). Dengan demikian, dalam penelitian ini ada tiga unsur
penting yang terlibat, yakni discourse, yang menghasilkan counter-
discourse yang merespon discourse dan penulis yang menafsirkan counter-
discourse untuk memperoleh makna discourse.
Top Related