1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan anugerah titipan dari yang maha kuasa sehingga harus dijaga
dan dipelihara serta di didik dengan baik agar menjadi anak yang baik dan jauh dari hal-
hal yang akan membawa dirinya ke dalam perbuatan atau tindakan pelanggaran hukum
pidana. Masa depan bangsa terletak pada anak sebagai generasi penerus bangsa. Anak
yang melakukan tindakan pelanggaran hukum pidana adalah anak yang berhubungan
dengan hukum. Oleh karena statusnya masih anak, maka penanganannya-pun harus beda
dengan orang dewasa.
Anak dalam pengertian yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam ilmu
pengetahuan, tetapi dapat diperhatikan dari sisi pandang sentralistis kehidupan, seperti
agama, hukum dan sosiologis yang menjadikan anak semakin rasional dan aktual dalam
lingkungan sosial.1
Anak membutuhkan perawatan dan perhatian, karena sifat, fisik dan mentalnya
masih labil, sehingga setiap anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik
fisik, mental maupun sosial. Demi mewujudkan kesejahteraan anak dan memberikan
jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi,
1 Maulana Hasan Wadang, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Gramedia
Widiasarana, 2000), hlm. 1
2
maka diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang
menjamin pelaksanaan dan menjamin hak-hak anak secara khusus.
Status dan kondisi anak di Indonesia adalah paradoks. Secara ideal, anak adalah
pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak di Indonesia masih
dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai kegiatan bermain, belajar
dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya diawarnai data
kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih dan terus mengalami kekerasan.2
Kekerasan yang dialami oleh anak ada kecenderungan untuk melakukan
kekerasan terhadap anak lainnya, sehingga terjadilah anak sebagai korban kekerasan dan
anak sebagai pelaku kekerasan. Persoalan ini muncul ketika para pendidik khususnya
dan orang tua lengah dalam memberikan pelajaran terhadap anak, sehingga anak mudah
bergaul dengan orang lain yang hidup dengan penuh kekerasan dan pelanggaran hukum
pidana seperti anak melakukan pencurian, pemerkosaan, dan menjadi pengedar obat-
obatan terlarang sejenis sabu dan norkoba.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anak tersebut termasuk pelanggaran
hukum pidana yang dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, karena setiap pelanggaran hukum pidana tidak
ditujukan untuk orang dewasa, tetapi untuk subjek hukum, tanpa dibedakan apakah
2 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Cetakan ke 1, (Bandung: Nuansa., 2006), hlm.
13
3
pelakunya masih tergolong anak atau orang dewasa, sedangkan anak termasuk subjek
hukum, sehingga ada perbedaan penanganan.
Menurut BPS, setiap tahunnya terdapat lebih dari 4.000 perkara pelanggaran
hukum yang dilakukan anak-anak di bawah usia 16 tahun. Pada tahun 1994 terdapat
9.442 perkara. Pada tahun 1995 menurun yaitu 4.724 perkara. Sebagian perkara
berkenaan dengan tindak kriminal ringan seperti pencurian, dari seluruh anak yang
ditangkap hanya hanya sekitar separuh yang diajukan ke pengadilan dan 83% dari
mereka kemudian dipenjarakan (Departemen sosial RI).3
Persoalan anak yang bermasalah dengan hukum (anak yang berhadapan dengan
hukum) di era modern ini semakin marak seiring dengan perkembangan teknologi
informasi yang dapat disalahgunakan oleh anak, keadaan ini disebut juga dengan
kenakalan remaja.
Kenakalan (anak) remaja merupakan suatu perbuatan yang dilakukan kaum
remaja yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku di masyarakat. Kenakalan
remaja dapat dibedakan menjadi kenakalan biasa dan kenakalan yang merupakan tindak
pidana. Kenakalan remaja yang merupakan tindak pidana, perbuatannya diancam dengan
hukuman pidana.4
3 Ibid, hlm. 83. 4 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Cetakan ke 2, (Jakarta: Djambatan,
2005), hlm. 4
4
Kenakalan anak dan remaja sangat bervariasi, dapat ditinjau dari segi
penyimpangan nilai atau pelanggaran hukum. Anak laki-laki lebih banyak melakukan
pelanggaran hukum yang disertai kekerasan dibandingkan anak perempuan, selanjutnya
anak dari golongan masyarakat bawah lebih banyak melakukan pelanggaran hukum
dibandingkan anak golongan menengah ke atas (karena masalah ekonomi, penegakan
hukum dan statistik).5 Oleh karena itu, anak membutuhkan pengayoman agar tidak
melakukan tindakan pelanggaran hukum pidana.
Kenakalan anak remaja ini dibuktikan dengan beberapa kasus yang berhasil
ditangani oleh pihak kepolisian Unit PPA Polres Malang Kota, di antaranya adalah kasus
penangkapan pada hari Rabu Tanggal 02 November tahun 2016 jam 09.000 oleh IPDA
Yuliana Plantika NRP 92070848 jabatan kanit PPA Satreskrim Polres Malang Kota
bersama beberapa penyidik lainnya. Penangkapan ini dilakukan terhadap Muhammad
Adi Suparman pekerja kuli bangunan alamat Jln. S. Supriadi II B Kel. Sukun, Kec.
Sukun Kota Malang, yang bersangkutan ditangkap berdasarkan bukti permulaan yang
cukup yang bersangkutan di duga ada keterkaitan tindak pidana persetubuhan terhadap
anak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang terjadi pada hari Sabtu tanggal 29 Oktober 2016 pukul 19.00.
WIB di jalan Klayatan GG 1 Kec. Sukun Kota Malang.
5 Abu Huraerah, Op.Cit, hlm. 84
5
Kejadian penangkapan ini bermula bahwa Mohammad Adi Suparman
diamankan oleh pelapor/korban beserta saksi-saksi selanjutnya di bawa ke Polres
Malang Kota karena diduga melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak yang
kemudian diserahkan kepada petugas untuk dilakukan penangkapan.
Kasus terbaru Pebruari tahun 2017 adalah kasus asusila yang dilakukan oleh
Rendra Yuwangga umur 21 Tahun warga Desa Jatiguwi Kecamatan Sumberpucung
melakukan asusila terhadap Andryani Candra Luckyta umur 16 tahun warga Desa
Trenyang Kecamatan Sumberpucung sebagai korban. Keduanya memang memiliki
hubungan asmara, tetapi kondisi Andryani Candra Luckyta masih berstatus anak,
akhirnya Rendra Yuwangga ditangkap oleh pihak kepolisian Polres Malang Kota atas
laporan kedua orang tua Andryani Candra Luckyta. Dalam suasana ditahan, keduanya
dinikahkan di Polres Malang Kota. Pernikahan Rendra Yuwangga dan Andryani Candra
Luckyta atas kesepakatan kedua pihak keluarga tersangka dan korban, dan nantinya
bukti pernikahan ini akan menjadi pertimbangan hakim saat persidangan.
Sasaran perlindungan bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus
berdasarkan konvensi hak-hak anak, salah satunya adalah anak-anak dalam konflik
dengan hukum (children in conflict with law), agar mereka:6
1. Tidak mendapat penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang keji, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat.
6 Ibid, hlm. 85
6
2. Tidak ada hukuman mati atau penjara seumur hidup bagi orang yang umurnya di
bawah 18 tahun.
3. Tidak seorangpun anak akan direnggutkan kebebasannya secara melawan hukum.
Penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan harus sesuai dengan hukum dan hanya
digunakan sebagai langkah tarakhir dan untuk masa yang sesingkat-singkatnya.
4. Setiap anak yang direnggut kebebasannya akan:
a. Akan diperlakukan secara manusiawi dan menghargai martabat kemanusiaan.
b. Dipisahkan dari tahanan atau napi dewasa, kecuali jika hal yang sebaliknya
dianggap sesuai dengan kepentingan terbaik untuk anak.
c. Tetap mempunyai hak untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua, atau
anggota keluarganya.
d. Mempunyai atas akses segera kepada bantuan hukum dan bantuan lain juga
untuk mempertanyakan legalitas perenggutan kebebasannya dan mendapat
putusan segera menyangkut hal itu.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak telah memberikan jalan keluar bagi anak yang melakukan tindak pidana
dengan memberikan jalan diversi. Menurut Pasal 1 angka 7 menyebutkan bahwa Diversi
adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke
proses di luar peradilan pidana.
Beberapa kasus yang terjadi di kota Malang sebagaimana data pada Polres
Malang Kota sejak tahun 2014, jumlah yang diversi sampai dengan tahun 2016, menarik
untuk dikaji pelaksanaan kasus Mohammad Adi Suparman Berita Acara Pemeriksaan
Pelaku (BAP) pada haru Rabu tanggal 02 November 2016 yang dilakukan oleh Setiawan
7
pangkat AIPTU NRP. 773120254, selaku penyidik pembantu pada kantor yang sama
berdasarkan Surat Keputusan Kapolda Jatim Nomor: Skep/12/VIII/201, tanggal 29
Agustus 2016, dari paparan tersebut, maka diangkat sebuah penelitian dengan judul:
Analisis Hukum tentang Pelaksanaan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak
Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak: Studi di Unit PPA Polres Malang
Kota.
B. Perumusan Masalah
Setelah penulis mengidentifikasi problematika anak yang berhadapan dengan
hukum di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi kriteria untuk menentukan diversi terhadap anak pelaku tindak
pidana dalam sistem peradilan pidana anak?
2. Bagaimana pelaksanaan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam sistem
peradilan pidana anak ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Harapan penulis yang menjadi tujuan dicapainya penulisan hukum ini
adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis apa yang menjadi kriteria untuk
menentukan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan
pidana anak.
8
b. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan diversi terhadap anak pelaku
tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak.
2. Kegunaan Penulisan
Setelah tujuan dicapai dalam penulisan ini, maka tentunya ingin
memberikan manfaat dalam penulisan hukum ini baik manfaat secara teoritis
maupun praktis sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat untuk
memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum, pidana
khususnya dalam menganalisis persoalan pelaksanaan diversi terhadap anak
pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Pemerintah
Hasil analisis penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian
mengenai pelaksanaan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam
sistem peradilan pidana anak. Hal ini dimaksudkan apakah pelaksanaan
diversi bagi anak pelaku tindak pidana sudah tepat mengingat yang namanya
pidana harus diselesaikan dengan hukum.
2) Bagi Masyarakat
Dapat digunakan sebagai informasi ilmiah yang akan menambah
pengetahuan mengenai analisis hukum tentang pelaksanaan diversi terhadap
anak pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak.
3) Bagi Mahasiswa
9
Dapat digunakan sebagai bahan kajian perbandingan jika mahasiswa
melakukan penelitian yang berkaitan dengan anak sebagai pelaku tindak
pidana.
4) Bagi Fakultas Hukum
Dapat dijadikan sebagai tambahan referensi di perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, mengingat referensi dari
skripsi merupakan hasil penelitian.
D. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Anak Dalam Perspektif Hukum
Di dalam peraturan perundang-undangan dan konvensi-konvensi
internasional serta pendapat ahli terdapat beberapa pengertian anak sebagai berikut:
a. Anak Menurut KUHP
Menurut KUHP Pasal 45 menjelaskan, dalam hal penuntutan pidana
terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum
umur 16 (enam belas) tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya
yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya,
tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan
kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan
atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497,
503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua
tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu
10
pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau
menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
b. Anak Menurut Hukum Perdata
Sedangkan menurut Burgerlijk Wetboek (BW) Pasal 330 menjelaskan
bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21
(dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
c. Anak Menurut Hukum Ketenagakerjaan
Menurut Pasal 1 angka (26) Undang-undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan bahwa yang dimaksud anak adalah setiap orang yang
berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.
d. Anak dalam Hukum Perlindungan Anak
Sedangkan menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Perlindungan
Anak menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan.
e. Anak Menurut Undang-Undang Pengadilan Anak
Sedangkan pengertian anak yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka (1)
Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bahwa anak
adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan)
tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin.
f. Anak dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak menjelaskan pengertian tentang anak, tetapi
11
memberikan pengertian anak yang bermasalah dengan batasan-batasan umurnya,
yaitu:
1) Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik
dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak
yang menjadi saksi tindak pidana.
2) Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
3) Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut
Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
4) Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut
Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
g. Anak Menurut Undang-Undang Perkawinan
Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, memberikan batasan usia, bahwa seorang pria hanya diijinkan
kawin apabila telah mencapai usia 19 tahun, dan pihak wanita mencapai 16
tahun. Penyimpangan atas batasan umur tersebut hanya dapat dimintakan
dispensasi kepada Pengadilan.
12
h. Anak dalam Undang-Undang Perdagangan Orang
Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan bahwa
anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
i. Anak dalam Undang-Undang Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejehteraan anak,
menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 (dua puluh
satu) tahun dan belum menikah.
j. Anak dalam The Minimum Age Convention
Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 Tahun 1973
memberikan pengertian tentang anak bahwa anak adalah seseorang berusia 15
(lima belas) tahun ke bawah.
k. Anak dalam Convention on The Rights of The Child
Dalam Convention on The Rights of The Child tahun 1989 yang telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
Tentang Pengesahan Convention on the Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak
Anak) disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 (delapan belas)
tahun ke bawah.
l. Anak Menurut Unicef
Sementara itu, Unicef mendefinisikan bahwa anak adalah sebagai
penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 (delapan belas) tahun.
13
Mendasarkan beberapa pengertian anak yang tersebar dibeberapa peraturan
perundang-undangan tersebut, maka yang disebut anak sesuai dengan batasan usia
yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan itu. Jika keluar dari
batas usia yang telah ditetapkan di atas, maka sudah bukan dalam kategori anak. Jika
anak melakukan tindak pidana, maka ia diberikan alternatif penyelesaiannya melalui
upaya diversi.
2. Pengertian Diversi
Diversi merupakan wewenang dari aparat penegak hukum yang
menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara
atau mengehentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan
kebijakan yang dimiliknya.7
Tujuan dari diversi adalah untuk mendapatkan cara menangani
pelanggaran hukum di luar pengadilan atau sistem peradilan yang formal. Ada
kesamaan antara tujuan diskresi dan diversi. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi
keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh
keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat
penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut
discretion atau diskresi.8
7 Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana,
(Medan: USU Press , 2010), hlm. 1. 8 Ibid, hlm. 2
14
Sementara menurut Wahyudi diversi bagi pelaku anak adalah untuk
menyediakan alternatif yang lebih baik dibanding dengan prosedur resmi
beracara di pengadilan.9
Bahkan saat ini mayoritas anak yang berhadapan dengan hukum,
terutama yang dibawa ke sistem peradilan pidana, hakim menjatuhkan pidana tetap
perampasan kemerdekaan. Efek negatif disebabkan oleh adanya proses pengadilan
pidana yaitu efek negatif sebelum pemeriksaan perkara, ini timbul karena
terdapat sumbersumber tekanan seperti: pertanyaan yang tidak simpatik; anak harus
menceritakan kembali peristiwa yang tidak menyenangkan; menunggu
persidangan; dan pemisahan dengan keluarga. Efek negatif ketika proses
persidangan terhadap anak dikarenakan adanya tata ruang pengadilan;
berhadapan dengan korban, dan para saksi; berbicara dihadapan para petugas
pengadilan. Efek negatif setelah persidangan terhadap anak, hal ini disebabkan
dengan adanya putusan hakim.10
Dalam Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan bahwa diversi adalah
pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses
di luar peradilan pidana.
9 Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembangunan Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 53 10 Ibid, hlm. 4
15
Sedangkan di dalam kamus ilmiah populer, diversi diartikan hiburan, atau
pengalihan. Tetapi baik hiburan maupun pengalihan intinya memberikan ruang
khusus bagi anak pelaku tindak pidana agar diselesaikan di ruang khusus, yaitu di
luar peradilan.
3. Sistem Peradilan Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Sistem merupakan satu kesatuan yang utuh satu sama lain saling
ketergantungan. Menurut Muladi, pengertian sistem harus dilihat dalam konteks,
baik sebagai physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu
bekerja untuk mencapai suatu tujuan dan sebagai abstract system dalam arti
gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain saling
ketergantungan.11
Pada asasnya sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya pada
Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Negeri mengacu kepada Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981, dan
ketentuan hukum materiilnya mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).12
11 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: BP Universitas Diponegoro,
1995), hlm. 23 12 M. Khalid Ali, “Kajian Sistem Peradilan Pidana Indonesia Dalam Perspektif Kebijakan
Hukum Pidana”, dalam stih-malang.ac.id upload 2015/12, diakses 2 Oktober 2016, hlm. 1
16
Pada dasarnya Sistem Peradilan Pidana dikemukakan pertama kali di
Amerika Serikat oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam Criminal Justice
Science. Menurut Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana merupakan
sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.13
Menurut Michael King sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi, ada 7
(tujuh) model Sistem Peradilan Pidana adalah sebagai berikut:14
a. Due Process Model (DPM)
Model ini menggambarkan suatu versi yang diidealkan tentang
bagaimana sistem harus bekerja sesuai dengan gagasan-gagasan atau sifat yang
ada dalam aturan hukum. Hal ini meliputi prinsip-prinsip tentang hak-hak
terdakwa, asas praduga tidak bersalah, hak terdakwa untuk diadili secara adil,
persamaan di depan hukum dan peradilan.
b. Crime Control Model (CCM)
Model ini sistem yang bekerja dalam menurunkan atau mencegah dan
mengekang kejahatan dengan menuntut dan menghukum mereka yang bersalah.
13 Mardjono Reksodiputro, Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan
Karangan Buku Ketiga, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas
Indonesia, 1994), hml. 84-85, dalam M. Khalid Ali, Ibid, hlm. 2 14 Lilik Mulyadi, Peradilan Terorisme Kasus Bom Bali, (Jakarta: Djambatan., 2005), hlm.
67, selanjutnya lihat M. Khalid Ali, “Kajian Sistem Peradilan. Ibid, hlm. 3-4
17
Lebih menjaga dan melayani masyarakat. Polisi harus berjuang melawan
kejahatan.
c. Medical Model (diagnosis, predection and treatment selection)
Model ini menggambarkan satu dari pertimbangan masing-masing
tingkat adalah bagaimana yang terbaik menghadapi para individu yang
melanggar hukum guna mengurangi kejahatan yang dilakukan melalui
pendekatan rehabilitasi. Para polisi memiliki kekuasaan untuk memperingatkan
pelanggar dan mengarahkan mereka kepada lembaga kerja sosial.
d. Bureaucratic Model
Model ini bertujuan menekan kejahatan harus dibongkar dan terdakwa
diadili, ia harus dijatuhi hukuman dengan cepat, dan sedapat mungkin efisien.
Keefektifan pelaksanaan hukum di pengadilan menjadi suatu perhatian utama.
Jika terdakwa mengaku tidak bersalah dalam suatu proses peradilan, maka
penuntut dan pembela berupaya untuk mengumpulkan bukti-bukti, memanggil
saksi dan menyiapkan berbagai dokumen yang diperlukan untuk keperluan
pembuktian.
e. Status Passage Model Model ini bertujuan menekan bahwa pelanggar harus diadili di depan
umum dan dijatuhi hukuman. Hukuman perlu dijatuhkan untuk menggambarkan
pencelaan moral masyarakat. Pengadilan publik dan hukuman perlu untuk
menunjukkan bahwa masih terdapat nilai-nilai hukum yang kebal dari
masyarakat. Hukum publik dan ungkapan pencelaan dalam rehabilitasi dapat
menyebabkan perasaan malu para pelanggar.
18
f. Power Model
Model ini bertujuan bahwa sistem peradilan pidana pada dasarnya
memperkokoh peranan penguasa sebagai pembuat hukum dan sekaligus
menerapkannya di masyarakat. Hukum pidana dan pelaksanaannya dipengaruhi
oleh kepentingan dari golongan yang dominan, seperti ras, jenis kelamin dan
lain-lain.
g. Just Desert Model (Just Desert Model & Just Punishment)
Model ini bertujuan agar setiap orang yang bersalah harus dihukum
sesuai dengan tingkat kesalahannya. Tersangka harus diperlakukan sesuai
dengan hak asasinya, sehingga hanya mereka yang bersalah yaang dihukum.
Juga memberi ganti kerugian kepada yang bersalah.
Sistem peradilan pidana lebih banyak menempatkan peran hakim
dihadapkan pada tuntutan pemenuhan kepentingan umum (publik) dan
penentuan nasib seseorang, ketimbang perkara yang lain. Oleh karenanya
terjadinya suatu perbuatan pidana menimbulkan dampak pada munculnya tugas dan
wewenang para penegak hukum untuk mengungkap siapa pelaku sebenarnya
(actor intelektual) dari perbuatan pidana tersebut.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, Pasal 1 angka (1) menyatakan, bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak adalah
keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum,
mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani
pidana.
Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:
19
a. Pelindungan;
b. Keadilan;
c. Nondiskriminasi;
d. Kepentingan terbaik bagi Anak;
e. Penghargaan terhadap pendapat Anak;
f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
g. Pembinaan dan pembimbingan Anak;
h. Proporsional;
i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir;
j. penghindaran pembalasan.
4. Tinjauan Hukum Penyidikan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
Pemeriksaan suatu kasus tindak pidana di Kepolisian akan dilakukan proses
penyidikan oleh pihak kepolisian. Menurut KUHAP dijelaskan, bahwa yang
dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.15 Untuk mengumpulkan bukti-
bukti tentang suatu tindak pidana, maka penyidik melakukan beberapa tindakan yang
harus dilakukan, di antaranya adalah pemanggilan tersangka dan saksi,
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
15 Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
20
Menurut Kuffal, suatu semboyan penting dalam hukum acara pidana
yaitu hakikat penyidikan perkara pidana adalah untuk menjernihkan persoalan
sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah dari tindakan yang seharusnya
dibebankan kepadanya. Oleh karena tersebut sering kali proses penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang cenderung lama, melelahkan dan
mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis diusahakan dari penghentian
penyidikan.16
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang- Undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pengertian
penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya
persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah
pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa
yang patut diduga merupakan tindak pidana.17
16 H.M.A. Kuffal. Penerapan Kuhap Dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press,
2008), hlm. 47. 17 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2002), hlm. 99-100
21
Pengertian penyidikan dalam bahasa Belanda disejajarkan dengan
pengertian opsporing. Menurut De Pinto, menyidik (opsporing) berarti
pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh
undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar
yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.18
5. Aspek Hukum Terhadap Hak-hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum
dalam Proses Peradilan
Konvensi Hak Anak merupakan instrument internasional dalam
penyelenggaraan perlindungan anak. Konvensi ini berdasar pada 4 (empat) prinsip,
antara lain suara anak di dengar dan kepentingan baik bagi anak. Selain itu, secara
tegas Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada Tahun 1990.
Konsekuensinya, sejak itu Indonesia tunduk pada ketentuan internasional.19
Dalam Konvensi Hak Anak, hak anak dikelompokkan ke dalam 5 (lima)
kelompok, yaitu: (1) hak dan kebebasan sipil. (2) lingkungan keluarga dan
18 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 120
19 Tb. Rachmat Sentika, “Peran Ilmu Kemanusiaan Dalam Meningkatkan Mutu Manusia
Indonesia Melalui Perlindungan Anak Dalam Rangka Mewujudkan AnakIndonesia yang Sehat,
Cerdas Ceria, Berakhlak Mulia dan Terlindungi”, dalam Jurnal Sosioteknologi Edisi 11 Tahun 6,
Agustus 2007, diakses 2 Oktober 2016, hlm. 234
22
pemeliharaan alternatife. (3) kesehatan dan kesejahteraan dasar. (4) pendidikan,
kegiatan liburan dan budaya. (5) perlindungan khusus.20
Untuk mempercepat terimplementasinya KHA di tingkat kota pada
masingmasing Negara Pihak, Unicef memperkenalkan Child Friendly City pada
Konferensi Kota Istambul, 1996. Inti dari inisiatif ini adalah mengarahkan pada
transformasi Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak dari kerangka hukumke
dalamdefinisi, strategi, dan intervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan
program yang ramah anak.21
Demi pengembangan ke pribadian secara penuh dan serasi, anak hendaknya
tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan keluarga yang bahagia penuh kasih
sayang dan pengertian. Anak harus dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan
pribadi dalam masyarakat dan dibesarkan dalam suasana yang dinyatakan dalam
piagam PBB khususnya dalam semangat perdamaian, bermartabat, tenggang rasa,
kemerdekaan, perdamaian, kesetiakawanan.22
Kemudian diadakan deklarasi Jenewa tahun 1924 tentang Hak-Hak Asasi
Anak, menyatakan perlunya perluasan pelayanan khusus bagi anak, hal ini disetujui
oleh majelis PBB pada tahun 1959 dan diakui dalam deklarasi Hak Asasi Manusia
20 Ibid.
21 Ibid. 22 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, cetakan ke-2, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2003), hlm. 104
23
sedunia, dalam perjanjian internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik anak
memerlukan pengayoman dan pemeliharaan khusus termasuk pertumbuhannya
sebelum dan sesudah kelahiran.23
Menurut I Gede Arya B. Wiranaya, pada dasarnya terdapat 2 (dua) hak dasar
pada manusia termasuk anak, yaitu:24
Pertama, hak manusia, yaitu hak yang melekat pada manusia dan secara
asasi ada sejak manusia itu dilahirkan. Ia berkaitan dengan eksistensi hidup
manusia, bersifat tetap dan utam, tidak dapat dicabut, tidak tergantung
dengan ada atau tidaknya orang lain disekitarnya. Dalam sekala yang lebih
luas hak asasi menjadi asas undang-undang. Wujud hak ini diantaranya
berupa: kebebasan batin, kebebasan beragama, kebebasan hidup pribadi atas
nama baik, melakukan pernikahan, kebebasan untuk berkumpul dan
mengeluarkan pendapat, emansipasi wanita.
Kedua, hak undang-undang (legal rights), yaitu hak yang diberikan oleh
undang-undang secara khusus kepada pribadi manusia. Oleh karena
diberikan, maka sifat pengaturannya harus jelas tertuang di dalam sejumlah
peraturan perundang-undangan. Barang siapa yang tidak memenuhi
23 Ibid. 24Muladi (ed), Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat, Cetakan Pertama, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 229
24
ketentuan undang-undang, maka kepadanya dikenakan sanksi yang
ditentukan oleh pembentuk undang-undang.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dijelaskan dengan rinci di dalam Bab III sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengenai hak dan kewajiban anak sebagai
berikut:
Kemudian, setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.25 Setiap anak berhak atas
suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.26Setiap anak berhak
untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.27
Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat
menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak
tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang
25 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 26 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
27 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
25
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.28 Setiap
anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.29
Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya. Selain hak anak tersebut, khusus bagi anak yang menyandang cacat juga
berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki
keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.30
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya
demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.31
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat,
bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangandiri.32
28 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
29 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
30 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 31 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
32 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
26
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.33 Setiap anak selama
dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung
jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
1. Diskriminasi;
2. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
3. Penelantaran;
4. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
5. Ketidakadilan; dan
6. Perlakuan salah lainnya.
Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan
pemberatan hukuman.34 Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri,
kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir.35
33 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 34 Pasal 13 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
35 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
27
Sedangkan dalam proses pengadilan, ada beberapa hak-hak anak yang harus
dibedakan dengan orang pelaku tindak pidana orang dewasa, yaitu sebagai berikut:36
1 Pemeriksaan di sidang tertutup untuk umum;
2 Pemberitaan harus menggunakan singkatan baik nama anak, orang tua, wali atau
orang tua asuh;
3 Terdakwa didampingi orangtua, wali, orangtua asuh, penasihat hukum,
pembimbing kemasyarakatan ter-masuk dalam pemeriksaan saksi;
4 Orangtua, wali atau orangtua asuh wajib hadir dalam sidang;
5 Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai
dengan umurnya;
6 Dipisahkan dari orang dewasa;
7 Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
8 Melakukan kegiatan rekreasional;
9 Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak
manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
10 Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
11 Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan
dalam waktu yang paling singkat;
12 Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
36 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
28
13 Tidak dipublikasikan identitasnya;
14 Memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh
Anak;
15 Memperoleh advokasi sosial;
16 Memperoleh kehidupan pribadi;
17 Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
18 Memperoleh pendidikan;
19 Memperoleh pelayananan kesehatan; dan
20 Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Kemudian ketika anak yang berhadapan dengan hukum ditempatkan di
Lembaga Pemasyarakatan Anak, maka juga harus dibedakan penempatannya, agar
anak tidak terkontaminasi dengan yang dewasa, yaitu:
1. Harus terpisah dari orang dewasa;
2. Dapat ditempatkan di lembaga pendidikan anak yang diselenggarakan
pemerintah/swasta syaratnya: Kepala LP mengajukan izin kepada Menteri
Kehakiman;
3. Anak yang telah berumur 18 tahun harus dipindah ke LP, tapi ditempatkan
terpisah dari yang telah berumur 21 tahun atau lebih
29
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum, menurut Soerjono Soekanto,
penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka
juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan- permasalahan yang
timbul di dalam segala yang bersangkutan.37
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kantor Polres Malang Kota, hal ini
dimaksudkan bahwa disamping bidang tugas, penelitian di Polres Malang Kota juga
terdapat kasus yang menarik untuk dijadikan bahan kajian.
3. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data 1) Data Primer, adalah data dasar atau data pokok yang diperoleh dari tempat
penelitian di mana penulis melakukan penelitian.
2) Data Sekunder, adalah data yang diperoleh dari literatur-literatur (studi
kepustakaan) yang ada hubungannya dengan rumusan masalah sebagai isu
hukum.
37 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press., 2007), hlm. 43
30
3) Data tersier, adalah data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap data primer dan sekunder.
b. Sumber Data
Penulisan hukum ini menggunakan tiga jenis sumber data yang masing
diperoleh adalah sebagai berikut:
1) Data Primer, adalah data-data yang diperoleh dari sumber responden yang
telah ditentukan untuk diwawancarai dan memberikan keterangan mengenai
pengaturan pelaksanaan diversi anak pelaku tindak pidana, dan dokumen
terkait dengan anak dalam kasus-kasus anak yang berhadapan dengan
hukum.
2) Data Sekunder, adalah data yang bersumber dari buku-buku, makalah
ilmiah, artikel-artikel, putusan pengadilan, Undang-Udang Dasar Negara RI
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015
Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Yang Belum
Berumur 12 (dua belas) Tahun.
3) Data tersier, adalah data yang bersumber dari kamus Bahasa Indonesia,
kamus hukum, ensiklopedia, indeks kumulatif dan lain-lain.
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data baik data primer, sekuder, maupun tersier dalam
penulisan hukum ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Untuk data primer cara pengumpulannya dilakukan melalui wawancara.
Pengumpulan data melalui tanya jawab terhadap pihak-pihak di Polres Malang
31
Kota yang telah ditetapkan sebagai responden dan juga melakukan observasi di
Polres Malang Kota, dan juga studi dokumen yang terkait dengan anak,
karenanya akan memperoleh data dan informasi secara yang tepat dari
sumbernya.
b. Untuk data sekunder cara pengumpulannya dilakukan melalui pengkajian
terhadap buku, makalah hukum, artikel yang biasa dikenal dengan studi
kepustakaan (library research), peraturan perundang-undangan, dan data dari
media elektronik yang berkaitan dengan rumusan masalah.
c. Untuk data tersier cara pengumpulannya dilakukan melalui studi terhadap kamus
hukum maupun kamus bahasa Indonesia, indeks.
5. Pengambilan Sampel dan Penentuan Responden
Pengambilan sampel penelitian ini dilakukan dengan non random sampling
(tidak secara acak) yang penentuannya menggunakan cara purporsive sampling atau
tidak secara acak. Artinya penulis langsung menentukan tempat penelitian dan
petugas yang dapat dimintai keterangan atau wawancara untuk mendapatkan data
dan informasi terkait dengan pelaksanaan diversi anak pelaku tindak pidana.
Menurut Hilman Hadikusuma, metode sampling cara penarikan sampel atau
pengambilan contoh, lokasi yang akan disurve dan diamati, atau para responden
yang akan diwawancarai.38 Dalam hal adalah Unit PPA Polres Malang Kota.
38 Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum,
(Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 70
32
Sementara itu, sampel responden yang akan dijadikan responden dalam
penelitian ini, yaitu:
a. Unit PPA Satreskrim Polres Malang Kota;
b. Anak Pelaku Tindak Pidana.
6. Metode Analisis Data
Metode analisis data ini dilakukan secara kualitatif. Secara kualitatif artinya
menguraikan bahan secara beruntun dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun,
logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan pemahaman dan
interpretasi data.39
Analisis data hukum dilakukan secara komprehensif dan lengkap.
Komprehensif artinya analisis data secara mendalam dan menyeluruh sesuai dengan
rumusan masalah. Lengkap artinya tidak ada data yang terlupan dari hasil analisis ini
terkait dengan pelaksanaan diversi anak pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan
pidana anak di Indonesia yang hasilnya sajikan dalam uraian dan tabel.
F. Sistematika Penulisan
Penyusunan penulisan hukum ini dibagi ke dalam 4 (empat) bab dengan
sistematika sebagai berikut:
39 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2004), hlm. 86- 87
33
BAB I : PENDAHULUAN
Bab I pendahuluan berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan
penulisan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II : HASIL PENELITIAN
Merupakan bab hasil penelitian yang telah dicantumkan dalam perumusan
masalah tentang Kriteria untuk menentukan diversi terhadap anak pelaku
tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak, tentang Pelaksanaan
diversi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana
anak.
BAB III : ANALISIS HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini akan dijelaskan hasil penelitian yang diuraikan dalam bab II
yaitu analisis tentang Kriteria untuk menentukan diversi terhadap anak
pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana anak, analisis tentang
Pelaksanaan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam sistem
peradilan pidana anak.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dianalisis, dan
saran/rekomendasi untuk perbaikan pelaksanaan diversi anak di masa
mendatang.
Top Related