1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Menciptakan sistem pemerintahan yang baik (Good Governanace)
sesungguhnya merupakan hal yang sangat penting dalam upaya membangun kondisi
bangsa yang sedang mengalami proses pembangunan diberbagai bidang. Oleh
sebab itu, hal yang harus tetap dikembangkan oleh pemerintah, baik pusat maupun
daerah adalah bagaimana menciptakan suatu manajemen pemerintahan yang
berpihak kepada rakyat melalui penyediaan public goods and services.
Perubahan paradigma pemerintahan dari Rulling driven ke Mission driven
dan adanya pergeseran tuntutan pelayanan publik kearah yang lebih transparan,
partisipatif, dan akuntabel merupakan fenomena yang berkembang belakangan ini.
Keinginan untuk perubahan tersebut bermuara dari meningkatnya kesadaran
masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang dipicu oleh
meningkatnya pengetahuan serta semakin mandirinya media massa yang didukung
oleh teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih. Fenomena yang
berkembang lebih lanjut adalah bahwa masyarakat menuntut adanya program kerja
yang lebih bertanggung jawab dari pemerintah. Itulah sebabnya kemudian
pemerintah termasuk pemerintah daerah dituntut memiliki perangkat organisasi
atau perangkat daerah yang mampu menjawab berbagai tuntutan dan kebutuhan
publik terhadap layanan yang dapat dipertanggungjawabkan dari beragam aspek.
2
Philippidou et al (2004) menjelaskan adanya pergeseran struktur birokrasi menjadi
new management public.
Sejalan dengan konteks di atas, maka kehadiran Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) di lingkungan pemerintah kabupaten/kota yang handal dan mampu
menterjemahkan setiap visi dan misi organisasi menjadi sebuah keharusan yang
tidak bisa diabaikan. Urgensitas visi dan misi Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
tersebut, diilhami oleh peran dan fungsinya sebagai leading sector dalam
penyelenggaraan administrasi pemerintahan serta program dan kegiatan pemerintah
daerah. Selain itu, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) juga memiliki peran dan
fungsi sebagai lembaga atau institusi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan pemerintah daerah sebagaimana di amanatkan dalam
Undang-undang Nomor 23 tahun 2014. Oleh sebab itu, Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) memiliki posisi yang sangat strategis dalam mewujudkan
penyelenggaraan manajemen pemerintahan daerah yang baik (good governance)
sesuai dengan visi dan misinya.
Hadirnya manajemen pemerintahan daerah yang baik tersebut, salah satunya
tercermin dari tingginya akuntabilitas pemerintah daerah dalam menjalankan
tugasnya sesuai dengan program atau rencana yang telah ditetapkan. Tuntutan
terhadap akuntabilitas belum menyentuh beragam profesi dalam struktur
masyarakat padahal akuntabilitas telah menjadi paradigma dalam sistem tata kelola
modern seperti dikemukakan Dubnick (2012). Hal yang sama dinyatakan Frey et al
(2013) bahwa salah satu kelemahan dalam membangun akuntabilitas adalah
kurangnya landasan teori yang memadai dari sistem pengelolaan publik. Kajian
tentang akuntabilitas di sektor publik menjadi hal penting sebagai bentuk
3
perkembangan ilmu manajemen. Alvesson dan Wilmot, (2003) menjelaskan bahwa
studi manajemen dalam perspektif kritis telah mengarahkan penelitian-penelitian
pada persoalan-persoalan kemasyarakatan. Hasil penelitian menjadi landasan
orientasi dalam mewujudkan akuntabilitas publik sebagai salah satu aspek penting
dalam tata kelola lembaga publik. Kecenderungan penelitian yang lebih kritis dan
diperuntukan bagi masyarakat merupakan sebuah fenomena umum sebagai wujud
nilai aksiologi dalam ilmu manajemen. Pernyataan Alvesson dan Wilmot (2003)
tampaknya masih relevan tentang penelitian manajemen secara kritis sebagai hasil
refleksi bahwa ilmu tidak bebas nilai.
Penelitian tentang akuntabilitas di manajemen publik lebih fokus pada
akuntabilitas berdasarkan aspek keuangan. Monfardini (2013) mengemukakan
akuntabilitas dibangun atas budaya. Agyemang dan Ryan (2013) mengemukakan
akuntabilitas dengan sistem manajemen kinerja. Ferry & Murphy (2017)
mengemukakan akuntabilitas dihubungkan dengan keuangan dan transparansi dan
lebih fokus pada akuntabilitas keuangan. Penelitian akuntabilitas lebih banyak
didasarkan pada disiplin yang berkaitan dengan akuntansi.
Tinjauan studi manajemen dalam perspektif kritis merupakan sebuah telaah
mendalam yang perlu dilakukan guna menghasilkan penelitian yang relevan dengan
kebutuhan masyarakat. Sejalan dengan konteks tersebut, Finer (1941) menjelaskan
beberapa ciri pemerintahan yang akuntabel di antaranya : mampu menyajikan
informasi penyelenggaraan pemerintah secara terbuka, cepat, dan tepat kepada
masyarakat; mampu memberikan pelayanan yang memuaskan bagi publik; mampu
menjelaskan dan mempertanggungjawabkan setiap kebijakan Publik secara
proposional; mampu memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses
4
pembangunan dan pemerintahan; adanya sasaran bagi publik untuk menilai kinerja
(performance) pemerintah. Masyarakat dapat menilai derajat pencapaian
pelaksanaan program/kegiatan pemerintah dengan adanya pertanggungjawaban
publik.
Oleh karena itu Ellwood (1993) menjelaskan empat dimensi akuntabilitas
yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor publik, yaitu: pertama, akuntabilitas
kejujuran dan akuntabilitas hukum. Akuntabilitas kejujuran terkait dengan
penghindaran terhadap penyalahgunaan jabatan, sedangkan akuntabilitas hukum
terkait dengan jaminan terhadap kepatuhan hukum dan peraturan. Kedua
akuntabilitas proses. Akuntabilitas proses terkait dengan prosedur yang digunakan
dalam melaksanakan tugas. Akuntabilitas ini tercermin dari pemberian pelayanan
publik yang cepat, responsif, dan murah. Ketiga, akuntabilitas program.
Akuntabilitas program ini terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang telah
ditetapkan tercapai atau tidak. Kemudian apakah program yang telah ditetapkan
dapat dicapai secara efektif atau tidak. Keempat, akuntabilitas kebijakan.
Akuntabilitas kebijakan ini terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah, baik
pusat maupun daerah terhadap DPR/DPRD dan masyarakat. Free dan Radcliffe
(2009) menyatakan bahwa di sektor pemerintah akuntabilitas dicapai melalui audit
dan pengendalian keuangan, menciptakan standar keuangan, memelihara
pengembangan profesional, dan pengawasan pengeluaran pemerintah. Andre (2010)
menyatakan dimensi akuntabilitas di lembaga publik yaitu misi, desain organisasi,
hasil organisasi, dan proses umpan balik informasi. Dubnick (2012) menekankan
norma dan nilai sebagai landasan untuk membangun akuntabilitas.
5
Akuntabilitas bagi lembaga pemerintah memiliki kedudukan startegis.
Akuntabilitas menggambarkan keberhasilan pemerintah dalam mewujudkan
keadilan sebagai kebajikan utama dengan pertanggungjawaban. Christensen dan
Laegreid (2015) menyampaikan ada saling hubungan antara akuntabilitas, reformasi
administrasi dan Kinerja. Omotoso (2014) menegaskan menjalankan kekuasaan dan
wewenang dalam kepercayaan harus didasarkan pada akuntabilitas. Minja (2013)
menegaskan bahwa Akuntabilitas sangat penting sebagai sarana untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kurangnya akuntabilitas telah
menyebabkan terjadinya kehilangan kepercayaan pada pemerintahan yang dapat
berakhir dengan penggulingan kekuasaan pemerintah. Slaughter (2013) menjelaskan
bagaimana akuntabilitas dapat mempengaruhi legitimasi pemerintah negara-negara
maju. Artinya bahwa akuntabilitas bersifat multidimensional dan berfungsi strategis
bagi kehidupan organsiasi. Tanpa ada akuntabilitas maka sulit mencapai kinerja
organisasi yang optimal. Terjadi tren peningkatan jumlah laporan atas pelayanan
publik yang menunjukan kurangnya pertanggungjawaban atas layanan publik.
6
Gambar 1.1
Data Penyelesaian Laporan Masyarakat Triwulan I Tahun 2017
( Sumber : laporan Ombudsman 2017)
Pada tahun 2016, Ombusman menyatakan pelayanan publik di Indonesia
masih jauh dari harapan masyarakat dengan ditandai oleh pelayanan publik yang
tidak transparan, diskriminatif, berbelit-belit, dan kurang menunjukan empati pada
kebutuhan masyarakat. Pemerintah daerah adalah lembaga publik yang memiliki
persentase Sebaran Dugaan Maladministrasi selama periode tahun 2017. Sebesar
23.9 % dugaan penundaan layanan berlarut, 27.3 % tidak memberikan layanan dan
18.1 terjadi penyimpangan prosedur. Menurut Ringkasan eksekutif (2016) berada di
zona kuning seperti dapat dilihat dibawah ini
7
Penilaian terhadap pemenuhan komponen standar pelayanan di 33
pemerintah provinsi (pemprov) menunjukkan bahwa sebanyak 39,39% atau 13
pemprov masuk dalam zona hijau dengan predikat kepatuhan tinggi, 39,39% atau 13
pemprov masuk dalam zona kuning dengan predikat kepatuhan sedang dan 21,21%
atau 7 pemprov masuk dalam zona merah dengan predikat kepatuhan rendah.
Tingkat kepatuhan tinggi di tingkat Pemerintah Provinsi pada tahun 2016 yang
mencapai 39,39 % ini masih jauh dari capaian target sasaran RPJMN 2015 – 2019
dalam hal mendorong Kepatuhan Terhadap UU No. 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik, dengan target capaian tahun 2016 sebesar 70 %.
Masing-masing provinsi memiliki nilai berbeda. Jawa Barat termasuk
provinsi dengan nilai sedang. Menurut data yang disampaikan, hanya satu kabupaten
Gambar 1.2
8
di Jawa Barat yang mencapai zona hijau, sisanya masuk di zona kuning dan merah
seperti dapat dilihat pada gambar berikut:
Hasil survey awal yang dilakukan pada Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
Kabupaten/Kota di Jawa Barat, masalah yang terdeteksi tercermin dari beberapa
indikasi yaitu : pertama, dari sisi akuntabilitas kejujuran hukum ditemukan fakta
masih adanya sebagian pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Barat, khususnya
di lingkungan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang belum sepenuhnya
mentaati aturan hukum yang telah ditetapkan, seperti munculnya tindak
penyimpangan dalam melaksanakan tugasnya. Kedua, dari sisi akuntabilitas proses
ditemukan fenomena masih rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan
Gambar 1.3
9
oleh sebagian Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
Hal ini tercermin dari masih menguatnya keluhan publik seputar layanan yang
diberikan aparat di lingkungan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), seperti
pelayanan yang lambat, kurang responsive dan kurang jelasnya waktu pelayanan
yang diberikan. Ketiga, dari sisi akuntabilitas program ditemukan fenomena masih
terjadinya disparitas (gap) antara visi dan misi pemerintah daerah dengan
implementasi program Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang telah diamanatkan
dalam resntra pemerintah daerah. Dalam konteks tersebut, masih ditemukan adanya
beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten/Kota yang menyusun
program kerja secara kurang professional dan cenderung bersifat pragmatis. Dengan
perkataan lain, penyusunan program kerja tersebut “hanya didasarkan” pada
program kerja tahun sebelumnya. Padahal, idealnya sebuah program kerja yang
akan didesain dilandasi oleh suatu kajian yang sistematis dan komprehensif seraya
mempertimbangkan fakta empiris, kebutuhan publik, peluang, tantangan dan
kendala yang mungkin dihadapi oleh pemerintah daerah.
Berkenaan dengan permasalahan SDM aparatur pelayanan sebagaimana
tersebut di atas, Sofian Effendi (2010) mengidentifikasi rendahnya kapasitas SDM
pelayanan publik di Kabupaten/Kota. Dari pelayanan investasi, kesehatan dan
pendidikan dapat dilihat bahwa kapasitas SDM pelayanan publik masih rendah.
Kapasitas SDM pelayanan yang terendah ada dalam pelayanan investasi sebanyak
55,04%, kemudian yang kedua adalah pelayanan kesehatan 36,77% dan pelayanan
pendidikan 36,5%. SDM termasuk pada level pimpinan belum sesuai dengan
kualifikasi yang diperlukan guna mengoptimalkan fungsi layanan publik..
10
Penguatan atas masalah di atas, tercermin pula dari hasil penilaian
akuntabilitas oleh Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang
memperlihatkan hasil sebagaimana dapat dilihat dari tabel sebagai berikut :
Tabel 1.1
Hasil Penilaian Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah
di Jawa Barat Oleh Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi Tahun 2016
No Kabupaten/Kota Nilai
1 Kab. Bandung CC
2 Kab. Bandung Barat C
3 Kab. Bekasi CC
4 Kab. Bogor CC
5 Kab. Ciamis CC
6 Kab. Cianjur CC
7 Kab. Cirebon C
8 Kab. Garut CC
9 Kab. Indramayu CC
10 Kab. Karawang CC
11 Kab. Kuningan C
12 Kab. Majalengka C
13 Kab. Purwakarta B
14 Kab. Subang C
15 Kab. Sukabumi CC
16 Kab. Sumedang CC
17 Kab. Tasikmalaya C
18 Kota Bandung A
19 Kota Banjar B
20 Kota Bekasi CC
21 Kota Bogor CC
22 Kota Cimahi CC
23 Kota Cirebon CC
24 Kota Depok C
25 Kota Sukabumi B
26 Kota Tasikmalaya C
27 Kab. Pangandaran -
Sumber : Kemenpan RB, Tahun 2016.
Dari tabel tersebut diatas menunjukan bahwa terdapat beberapa
kabupaten/kota di Jawa Barat, yakni Kabupaten Bandung Barat, Cirebon, Kuningan,
11
Majalengka, Subang, Tasikmalaya, Kota Depok dan Kota Tasikmalaya adalah
masuk kedelapan kabupaten/kota di Jawa Barat yang mendapatkan nilai paling kecil
dibandingkan kabupaten/kota yang lain, yakni mendapat nilai rendah C. Hal ini
mencerminkan bahwa pemerintah daerah, khususnya OPD dinilai belum
sepenuhnya mampu menunjukan kinerja yang efektif dalam menterjemahkan visi,
misi dan program organisasi.
Faktor-faktor yang dapat mendukung menyelesaikan masalah tersebut diatas,
adalah kepemimpinan dan budaya organisasi melalui sistem pengendalian internal.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh O’Hagan dan Persaud (2009), yaitu
pentingnya pimpinan yang berkomitmen untuk membangun akuntabilitas pada
organisasi publik. Monfardini (2013) mengemukakan bahwa akuntabilitas dibangun
atas budaya organisasi, dan menurut Sanusi et al (2015) mengemukakan bahwa
akuntabilitas pemerintah daerah meningkat seiring dengan penerapan sistem
pengendalian internal yang efektif. SPI memainkan peran kunci dalam tercapainya
penjaminan akuntabilitas.
Faktor yang harus dimiliki oleh pemerintah daerah adalah kemampuan yang
dimiliki oleh individu atau kolektivitas individu berupa pengetahuan, keterampilan
dan sikap perilaku dalam melaksanakan tugasnya secara profesional, efektif, dan
efisien dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
12
Dalam hal ini, tentunya pemimpin daerah yaitu kepala daerah memiliki peran
dan tugas dalam mengatur daerahnya. Kepala daerah mempunyai andil besar dalam
menggerakan dan mengembangkan daerah yang dipimpinnya. Kepala daerah yaitu
para gubernur, bupati/walikota merupakan pemimpin formal di daerahnya yang
bertugas untuk membangun dan memajukan kehidupan masyarakat di daerahnya
masing-masing. Hal ini pula yang merupakan tugas utama kepala daerah. Oleh
karena itu, peran pemimpin daerah menjadi sangat penting dan strategis terutama
dalam proses pembangunan di era otonomi daerah ini.
Di tengah gencarnya pemerintah dalam melaksanakan reformasi birokrasi,
pembahasan mengenai kepala daerah juga menjadi fokus utama yang mewarnai
proses reformasi tersebut. Banyaknya kasus mengenai kepala daerah yang
tersandung masalah hukum, dapat menghambat pelaksanaan pembangunan dalam
otonomi daerah. Hal ini disebabkan, mereka akan banyak mencurahkan waktu dan
perhatian pada masalah hukum yang sedang mereka hadapi. Hingga saat ini,
Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 278 kepala daerah di seluruh Indonesia
yang tersandung hukum, baik gubernur maupun bupati/walikota. Data dari KPK
juga menunjukan, sudah 8 orang gubernur dan 31 orang bupati/walikota tersandung
perkara korupsi dan sudah dihukum selama periode 2004-2012
(www.hukumonline.com, 2012).
Banyaknya kepala daerah yang tersandung korupsi, dapat ditengarai karena
mahalnya ongkos politik dan faktor kepemimpinan. Hal ini dipaparkan pula oleh
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan, bahwa dalam pilkada
langsung dan untuk memenangkan kontestasi politik, tidak dapat dipungkiri biaya
politik pilkada langsung sangat mahal, sehingga berbagai cara dilakukan untuk
13
memenuhi kebutuhan tersebut. Ongkos politik juga dikeluarkan bukan saja saat
pencalonan dan kampanye saja. Setelah berhasil mendapat jabatannya, kepala
daerah harus mengeluarkan biaya untuk memelihara konstituen dan balas jasa
terhadap partai politk pengusung, hal ini hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang
berani mengambil resiko. Apabila dilihat dari gaji kepala daerah yang hanya sebesar
Rp 7 – 8 juta, tentunya belum memenuhi biaya yang dibutuhkan oleh para pemimpin
(www.fajar.co.id, 2012).
Modus korupsi dilakukan dengan berbagai cara, misalnya melalui
penyalahgunaan wewenang terutama dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.
Bukan hanya itu, menurut KPK, modus lain dapat melalui perizinan yang
dikeluarkan kepala daerah menjelang pemilihan kepala daerah. Seperti kasus yang
menjerat salah satu kepala daerah yakni terkait dengan adanya pengusaha yang
menyumbang dana kampanye secara ilegal dan penerbitan izin usaha perkebunan
dan hak guna Usaha PT tertentu. Modus lain juga terjadi dalam hal penyelahgunaan
dana APBD, dengan menyuap anggota DPRD terkait pembahasan APBD. Selain itu
masih banyak lagi kasus korupsi yang menimpa kepala daerah, misalnya
penyalahgunaan dana bantuan sosial dan hibah. Hasilnya kemudian digunakan untuk
membiayai konstituen dan parpol pendukung, mengembalikan modal politik atau
untuk memperoleh keuntungan secara pribadi.
Tidak jarang pula, baik kepala daerah maupun wakilnya kurang memiliki
kepemimpinan politik yang memadai. Kepemimpinan seharusnya diarahkan untuk
mewujudkan visi, misi dan program pengembangan daerah yang sudah dijanjikan
oleh para pemilih. Namun demikian, kepala daerah di Indonesia cenderung
14
memahami dan mempraktekan kepemimpinan sebagai konsentrasi dan akumulasi
kekuasaan pada dirinya.
Dalam menyongsong grand design reformasi birokrasi oleh Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, hal yang perlu
dipersiapkan oleh daerah adalah mengenai kepemimpinan. Trend kepala daerah
yang saat ini terjadi perlu menjadi cerminan untuk melakukan perbaikan dan koreksi
agar kepala daerah yang ada mampu menjadi motor penggerak mewujudkan
kesuksesan reformasi birokrasi di tingkat daerah. Dikatakan pula oleh Guru Besar
Ilmu Politik UI, Prof. Iberamsyah, bahwa salah satu keberhasilan pelaksanaan
otonomi daerah ditentukan kepemimpinan kepala daerah baik bupati, walikota
maupun gubernur (www.antarakalsel.com,2012) Oleh karena itu, daerah perlu
mempersiapkan pemimpin yang visioner, berkarakter, inovatif dan yang terutama
memiliki kesadaran yang tinggi akan tugas dan kewajibannya untuk memajukan dan
mengembangkan daerah serta menciptakan kesejahteraan masyarakat daerah.
Memilih kepala daerah seperti yang dibutuhkan bukan pekerjaan yang
mudah. Kondisi ini mengingat bahwa kepala daerah diusung oleh parpol dan dipilih
langsung oleh masyarakat. Dalam hal ini, tidak ada analisis yang tepat untuk
mengetahui tingkat kemampuan calon kepala daerah dalam memimpin daerah. Ada
banyak hal yang mempengaruhi proses tersebut, misalnya kuatnya partai yang
mengusung, ongkos politik, dan juga pengetahuan dan pendidikan masyarakat.
Diperlukan kaderisasi yang tepat oleh Partai Politik sehingga calon yang diusung
benar-benar orang yang mumpuni untuk memimpin suatu daerah. Partai politik
harus diimbau melakukan kaderisasi secara selektif. Jangan asal comot kader yang
belum jelas ideologi politiknya. Apalagi hanya mengandalkan popularitas untuk
15
dicalonkan sebagai kepala daerah yang kemudian akan muncul kepala daerah instan
yang belum paham terhadap masalah daerah. Dalam menyelenggarakan road map
reformasi birokrasi, kepala daerah yang menjabat harus memiliki kualitas dan
mampu mewujudkan keinginan masyarakatnya (www.fajar.com, 2012).
Kepemimpinan merupakan faktor kunci di dalam organisasi sektor publik.
Seorang pemimpin dituntut untuk mampu membawa dan memaksimalkan organisasi
yang dipimpinnya untuk memberikan pelayanan yang berkualitas dan mencapai
kepuasan masyarakat yang optimal. Gaya kepemimpinan merupakan cara pemimpin
mempengaruhi pegawai untuk dapat bekerja lebih baik lagi dalam rangka mencapai
tujuan organisasi karena pada hakikatnya organisasi sektor publik terbentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Suatu organisasi akan berjalan lancar
dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sangat dipengaruhi oleh
faktor kepemimpinan.
Oleh karena itu pemimpin selalu menjadi fokus evaluasi sebagai gambaran
penilaian terhadap keberhasilan sebuah organisasi. Kepemimpinan merupakan
persyaratan penting dalam rangka mencapai efektivitas atau kesuksesan organisasi
dalam mengemban peran, tugas, fungsi, atau pun tanggung jawabnya berada pada
tangan pemimpin. Pemimpin merupakan orang yang mempunyai wewenang untuk
mengarahkan orang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pimpinan tersebut
mempunyai hukum yang kuat atau otoritas pengangkatan dari atasannya untuk
memimpin, mengelola suatu lembaga yang ada di lingkungan organisasi yang
bersangkutan. Kepemimpinan tersebut pada umumnya merupakan jabatan
manajerial yang diperlukan yang dapat mendukung menyelesaikan masalah-masalah
meliputi : Direction Setter , Spokesperson, Change Agent, and Coach.
16
Selanjutnya kondusivitas lingkungan kerja dan terbangunnya saling
pengertian diantara para pegawai atau aparat serta berkembangnya motivasi kerja
pegawai merupakan hal yang sangat penting dalam mendukung akselerasi
peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini Tidak berbeda dengan budaya
pemerintah yang mempengaruhi masyarakatnya, maka budaya organisasi juga akan
mempengaruhi sikap dan perilaku semua anggota organisasi tersebut. Budaya yang
kuat dalam organisasi dapat memberikan paksaan atau dorongan kepada para
anggotanya untuk bertindak atau berperilaku sesuai dengan yang diharapkan oleh
organisasi. Dengan adanya ketaatan atas aturan dan juga kebijakan-kebijakan
pemerintah tersebut maka diharapkan bisa mengoptimalkan akuntabilitas dan
pelayanan di masyarakat untuk mencapai tujuan organisasi.
Berkaitan dengan budaya organisasi tersebut, terdapat peran budaya
organisasi pada organisasi pemerintahan. Adapun masalah yang muncul adalah
disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang secara umum terkesan rendah yang
akhirnya menghasilkan akuntabilitas yang rendah pula. Beberapa kemungkinan
dalam konsep penerapan budaya organisasi akan selalu mendapat tantangan seperti
adanya penyakit dan atau kebiasaaan buruk akuntabilitas organisasi yang
ditimbulkan oleh adanya beberapa meliputi : Tujuan telah ditetapkan, tetapi tidak
dirumuskan secara rinci dan jelas (tidak membumi); Pembagian tugas tidak adil,
tidak merata, tidak tuntas dan tidak jelas batas-batas (tidak adil); Anggota hanya
mau bekerja sesuai dengan tugasnya, terjadi pengkotak-kotakan (kaku); Merasa
dirinya/unitnya yang paling penting, yang lain tidak/kurang penting (sok penting);
Pemberian tanggung jawab yang tidak seimbang dengan wewenang (zalim); Terlalu
banyak bawahan yang harus diawasi – kewalahan (rakus); Seseorang bawahan
17
mendapat perintah dari satu atasan mengenai hal yang sama, tetapi perintahnya
saling bertentangan (plin plan); Sanksi terhadap pelanggaran tidak tegas (banyak
pertimbangan).
Selain itu, sistem ;pengendalian ingternal yang meliputi : Lngkungan
pengendalian merupakan suatu fondasi dari semua komponen pengendalian internal
lainnya yang bersifat disiplin dan berstruktur; Penilaian resiko merupakan proses
penilaian terhadap resiko yang ditanggung oleh para pegawai sesuai dengan beban
tugas yang diberikan, baik yang terkait dengan tugas yang bersifat adminitratif,
teknis maupun manajerial; Aktivitas Pengendalian merupakan kebijakan dan
prosedur yang dapat membantu suatu organisasi dalam meyakinkan bahwa tugas
dan perintah yang diberikan oleh manajemen telah dijalankan; Informasi dan
Komunikasi merupakan pengidentifikasian, penangkapan dan pertukaran informasi
dalam suatu bentuk dan kerangka waktu yang membuat orang mampu
melaksanakan tanggung jawabnya; dan Pemantauan merupakan proses yang
menilai kualitas kerja pengendalian internal pada suatu waktu. Pemantauan
melibatkan penilaian rancangan dan pengoperasian pengendalian dengan dasar
waktu dan mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan.
Ketertarikan terhadap lokus penelitian di lingkungan Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) Kabupaten/Kota di Jawa Barat didasarkan pada pertimbangan bahwa
OPD, dalam hal ini Inspektorat, Dinas, Badan, Kantor dan Sekretariat merupakan
perangkat daerah yang memiliki posisi dan tugas strategis, yakni sebagai penopang
pemerintah daerah dalam melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya sebagai pelayan
publik. Selain itu, OPD juga merupakan institusi daerah yang bertugas
melaksanakan kewenangan daerah yang telah dilimpahkan oleh pemerintah pusat,
18
baik terkait dengan kewenangan wajib, maupun kewenangan pilihan. Oleh sebab
itu, kehadiran OPD dalam konteks pelaksanaan manajemen pemerintahan
merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Tanpa organisasi perangkat daerah,
mustahil suatu pemerintah daerah akan mampu melaksanakan manajemen
pemerintahan dengan baik. Itulah sebabnya kemudian OPD, khususnya di Jawa
Barat dituntut untuk memiliki akuntabilitas kinerja yang baik. Dengan demikian,
pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Barat diharapkan mampu menampilkan
produk pelayanan yang prima terhadap masyarakat.
Berdasarkan fenomena rendahnya akuntabilitas pada OPD Kabupaten/Kota
di Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Bandung Barat, Cirebon, Kuningan,
Majalengka, Subang, Tasikmalaya, Kota Depok dan Kota Tasikmalaya sebagai
implikasi dari belum efektifnya sistem pengendalian internal, rendahnya
kepemimpinan serta belum terbangunnya budaya organisasi yang kondusif telah
menggugah peneliti untuk mengetahui lebih jauh mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Argumentasi dan pertanyaan di atas semakin menguatkan peneliti untuk melakukan
kajian yang lebih komprehensif dan mendalam melalui penelitian disertasi dengan
judul : “Pengaruh Kepemimpinan Dan Budaya Organisasi Terhadap Akuntabilitas
Melalui Sistem Pengendalian Internal Pada Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten/Kota Di Jawa Barat”
1.2 Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, terlihat bahwa rendahnya
akuntabilitas Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten/Kota di Jawa Barat
diduga disebabkan oleh sistem pengendalian internal yang belum berjalan dengan
19
efektif, rendahnya kepemimpinan serta belum kondusifnya budaya organisasi.
Berangkat dari fenomena tersebut, maka peneliti mengidentifikasi masalah
penelitian sebagai berikut: 1) Masih adanya sebagian OPD kabupaten/kota di Jawa
Barat yang belum sepenuhnya mampu mentaati aturan hukum yang telah ditetapkan.
Banyak Para pejabat tersangkut kasus hukum terkait dengan pemberian izin untuk
pelaksanaan program- program pembangunan. 2) Masih adanya tindak
penyimpangan yang dilakukan sebagian OPD dalam melaksanakan visi, misi dan
program kerjanya. 3) Masih rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan
oleh sebagian OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat. 4) Masih munculnya keluhan
publik seputar layanan yang diberikan aparat di lingkungan OPD, seperti pelayanan
yang lambat, kurang responsive dan kurang jelasnya waktu pelayanan yang
diberikan. 5) Masih adanya fenomena yang menunjukan terjadinya disparitas (gap)
antara visi dan misi pemerintah daerah dengan implementasi program OPD yang
telah diamanatkan dalam renstra pemerintah daerah. 6) Masih ditemukan adanya
beberapa OPD Kabupaten/Kota yang menyusun program kerja secara kurang
professional dan cenderung bersifat pragmatis.
1.2.2 Pembatasan Masalah
Pada hakikatnya akuntabilitas merupakan pengetahuan dan
pertanggungjawaban terhadap setiap tindakan, produk, keputusan dan kebijakan
termasuk pula di dalamnya pelaksanaan dalam lingkup peran atau posisi masing-
masing. Dengan bahasa lain, akuntabilitas publik mencakup suatu kewajiban untuk
melaporkan, menjelaskan dan mempertanyakan terhadap setiap tindakan serta
konsekuensi yang dihasilkan. Namun demikian, untuk memudahkan pemahaman
dalam konteks penelitian ini perlu dilakukan pembatasan masalah penelitian.
20
Peneliti membatasi masalah penelitian pada aspek meliputi : variabel
penelitian kepemimpinan dan budaya organisasi dalam mempengaruhi akuntabilitas
Organisasi Perangkat Daerah (OPD) melalui sistem pengendalian internal,.
Responden pada pegawai di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Barat. Unit analisis yaitu Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Barat .
1.2.3 Rumusan Masalah
Berpijak pada latar belakang di atas, maka problem statement dalam
penelitian ini adalah “rendahnya akuntabilitas pada Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten/Kota di Jawa Barat disebabkan oleh kepemimpinan dan budaya
organisasi dan sistem pengendalian internal,”. Selanjutnya, agar masalah yang
tercermin dalam latar belakang penelitian di atas lebih spesifik, perlu dinyatakan
dalam pertanyaan penelitian sehingga dapat memberikan kejelasan serta dapat
mencerminkan pokok masalah yang akan diteliti. Peneliti merumuskan masalah
penelitian dalam bentuk pertanyaan masalah (Problem Questions) yang akan dikaji
sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran, Kepemimpinan, Budaya Organisasi, Akuntabilitas dan
Sistem Pengendalian Internal pada OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
2. Bagaimana pengaruh Kepemimpinan, dan Budaya Organisasi terhadap
Akuntabilitas melalui Sistem Pengendalian Internal pada OPD Kab./Kota di
Jawa Barat.
3. Bagaimana pengaruh Kepemimpinan terhadap Akuntabilitas melalui Sistem
Pengendalian Internal pada OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
21
4. Bagaimana pengaruh Budaya Organisasi terhadap Akuntabilitas melalui Sistem
Pengendalian Internal pada OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
5. Bagaimana pengaruh Sistem Pengendalian Internal terhadap Akuntabilitas
pada OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis :
1. Gambar Kepemimpinan, Budaya Organisasi, Akuntabilitas, dan Sistem
Pengendalian Internal pada OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
2. Pengaruh Kepemimpinan, dan Budaya Organisasi terhadap Akuntabilitas
melalui Sistem Pengendalian Internal pada OPD Kab./Kota di Jawa Barat.
3. Pengaruh Kepemimpinan terhadap Akuntabilitas melalui Sistem Pengendalian
Internal pada OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
4. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Akuntabilitas melalui Sistem
Pengendalian Internal pada OPD Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
5. Pengaruh Sistem Pengendalian Internal terhadap Akuntabilitas pada OPD
Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa kegunaan, baik
secara teoritis maupun praktis. Adapun kegunaan penelitian yang dimaksud dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.4.1 Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan khasanah keilmuan,
khususnya Ilmu Manajemen yang berkaitan dengan Kepemimpinan, Budaya
Organisasi, Sistem Pengendalian Intern dan Akuntabilitas.
22
1.4.2 Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan
sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan alternatif pemecahan masalah yang
dihadapi oleh institusi pemerintah khususnya Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten/Kota di Jawa Barat untuk meningkatkan akuntabilitas lembaga.
Peningkatan akuntabilitas melalui integrasi sistem pengendalian internal,
kepemimpinan yang efektif dan membangun kondusivitas budaya organisasi di
lingkungan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat .
1.4.3 Bagi Peneliti
Penelitian Disertasi ini sebagai syarat menyelesaikan program studi S-3 pada
Program Studi Doktor Ilmu Manajemen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Pajajaran Bandung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
atau dijadikan bahan penelitian lanjutan bagi para peneliti selanjutnya dalam
mengkaji variabel-variabel khususnya yang mempengaruhi akuntabilitas.
Top Related