1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia, baik material maupun spiritual
yaitu dengan tersedianya kebutuhan pokok berupa sandang (pakaian), pangan
(makanan), dan papan (perumahan) yang layak sebagaimana yang diamatkan
oleh Pancasila sebagai falsafah dan ideologi Negara Indonesia serta Undang-
Undang Dasar 1945.1 Pangan dalam bentuk makanan dan minuman adalah salah
satu kebutuhan pokok manusia yang diperlukan untuk hidup, tumbuh,
berkembang biak, dan reproduksi. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia
yang juga merupakan komoditas perdagangan. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan menentukan bahwa pangan adalah:
Segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik
yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan
atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam
proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau
minuman.
Industri pangan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin berperan
penting dalam pembangunan industri nasional, sekaligus dalam perekonomian
keseluruhan. Perkembangan industri pangan nasional menunjukkan
perkembangan yang cukup berarti. Hal ini ditandai oleh berkembangnya
1 Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h.1.
2
berbagai jenis industri yang mengolah bahan baku baik dari sektor pertanian,
perternakan, dan lain sebagainya. Pertumbuhan dan perkembangan industri
tersebut dapat membawa dampak positif diantaranya tersedianya kebutuhan
dalam jumlah yang mencukupi, mutunya yang lebih baik, serta adanya alternatif
pilihan bagi konsumen dalam pemenuhan kebutuhannya. Munculnya
globalisasi dan perdagangan bebas juga telah memperluas ruang gerak arus
transaksi barang melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang
yang ditawarkan makin bervariasi, baik produk luar negeri maupun produksi
dalam negeri.2 Di samping itu, agar barang yang ditawarkan dapat menjangkau
konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat
bervariasi pula, maka pelaku usaha melakukan kegiatan pemasaran dan
distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat
mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut.3
Pertumbuhan pengguna internet yang sedemikian pesatnya merupakan
suatu kenyataan yang membuat internet menjadi salah satu media yang efektif
bagi perusahaan maupun perseorangan untuk memperkenalkan dan menjual
barang atau jasa kepada konsumen dari seluruh dunia. Perdagangan secara
elektronik (e-commerce) tidak terlepas dari laju pertumbuhan internet karena e-
commerce berjalan melalui jaringan internet, dapat dikatakan e-commerce
menjadi penggerak ekonomi baru dalam bidang teknologi. E-commerce
2 Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen,
Ghalia Indonesia, Bogor, h.1.
3 Zumroetin K. Soesilo, 1996, Penyambung Lidah Konsumen, Swadaya, Jakarta, h. 12.
3
merupakan model bisnis modern yang non-face (tidak menghadirkan pelaku
bisnis secara fisik) dan non-sign (tidak memakai tanda tangan asli).4
Dengan berbagai macam variasi produk pangan hasil olahan yang ada,
kini banyak pelaku usaha yang memilih untuk menjual produk pangan olahan
impor sebagai salah satu cara untuk mendapatkan keuntungan ekonomi melalui
media elektronik. Keinginan konsumen terhadap produk pangan olahan impor
sangat tinggi karena adanya kecenderungan konsumen untuk mencoba berbagai
jenis makanan dan minuman yang baru. Walaupun produk pangan olahan impor
tersebut dilengkapi dengan pelabelan lengkap tetapi pesan informasi pada label
seringkali tidak sampai ke konsumen hal ini dikarenakan menggunakan bahasa
yang tidak dipahami konsumen, karena dalam pelabelannya menggunakan
bahasa negara asal produk tersebut, seperti Cina dan Jepang.5 Pelaku usaha
tidak memperhatikan tentang pencantuman label berbahasa Indonesia pada
produk pangan olahan impor yang dipasarkan, hal ini diperparah dengan
kemudahan konsumen untuk mendapatkan produk yang diinginkan tersebut
melalui media elektronik. Peredaran produk pangan olahan impor ini tidak
disertai dengan pengawasan yang optimal sehingga makin banyaknya produk
pangan impor ilegal yang masuk ke Indonesia.
Berdasarkan Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
Tentang Pangan yang dimaksud “Pangan Olahan adalah makanan atau
minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa
4 Niniek Suparni, 2001, Masalah Cyberspace Problematika Hukum dan Antisipasi
Pengaturannya, Fortun Mandiri Karya, Jakarta, h. 33.
5 Sudaryatmo, 1999, Hukum & Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 15.
4
bahan tambahan”. Jika dikaitkan dengan label maka dapat dilihat dalam Pasal 1
angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan
Pangan yang menentukan bahwa label pangan adalah “Setiap keterangan
mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau
bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan
pada atau merupakan bagian kemasan pangan, yang selanjutnya dalam
Peraturan Pemerintah ini disebut Label”.
Label itu ibarat jendela, konsumen yang jeli bisa mengintip suatu produk
dari labelnya.6 Dari informasi pada label, konsumen secara tepat dapat
menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi pangan. Tanpa
adanya informasi yang jelas maka kecurangan-kecurangan dapat terjadi.7
Ketiadaan label berbahasa Indonesia pada produk pangan olahan impor tersebut
dapat menyesatkan konsumen yang memungkinkan berakibat buruk terhadap
perkembangan kesehatan manusia dan keselamatan jiwa manusia. Seperti
halnya gangguan kesehatan yang bisa terjadi pada konsumen yang memiliki
alergi terhadap suatu zat dalam produk makanan tetapi tidak mengetahui karena
bahasa pelabelan yang tidak dipahami.
Sebenarnya mengenai pencantuman label berbahasa Indonesia pada
produk pangan telah diatur di beberapa peraturan perundang-undangan
diantaranya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan yang
kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang
6 Purwiyatno Hariyadi, 2009, “Mencermati Label dan Iklan Pangan”,
http://www.republika.co.id. diakses tanggal 29 Oktober 2014.
7 Yusuf Shofie, 2000, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 15.
5
Pangan (selanjutnya disebut UU Pangan), Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan
Konsumen), Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan
Iklan Pangan (selanjutnya disebut PP Label dan Iklan Pangan), dan ketentuan
teknis lebih lanjut tentang pelabelan pangan olahan diatur dalam Peraturan
Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 03.1.5.12.11.09955
Tahun 2011 Tentang Pendaftaran Pangan Olahan (selanjutnya disebut Peraturan
Kepala BPOM Tahun 2011).
Disini terlihat sudah cukup banyak peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pencantuman label berbahasa Indonesia pada produk
pangan. Hal ini menunjukkan bahwa pencantuman label berbahasa Indonesia
pada produk pangan amatlah penting. Akan tetapi jika dikaitkan dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) hanya ditentukan bagi pelaku usaha
yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan
informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen,
dan produk yang ditawarkan (Pasal 9 UU ITE). Tidak ada keharusan mengenai
pemberian informasi yang lengkap dan benar dengan menggunakan bahasa
Indonesia terhadap produk yang dipasarkan dalam perdagangan elektronik (e-
commerce).
Dari uraian tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
lebih lanjut sehingga penulis mengangkat judul “Pencantuman Label
Berbahasa Indonesia Oleh Pelaku Usaha Pada Produk Pangan Olahan
6
Impor Yang Merugikan Konsumen Dalam Perdagangan Elektronik (E-
Commerce)”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian sebagaimana telah dipaparkan dalam latar belakang masalah
di atas, dapatlah dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah tanggung jawab importir sebagai pelaku usaha yang tidak
mencantumkan label berbahasa Indonesia pada produk pangan olahan
impor dalam perdagangan elektronik (e-commerce)?
1.2.2 Apakah upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen yang
dirugikan dalam hal pembelian produk pangan olahan impor tanpa
pencantuman label berbahasa Indonesia dalam perdagangan elektronik (e-
commerce)?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk mendapakatkan uraian yang lebih terarah dan sistematis terhadap
pokok bahasan, maka ruang lingkup masalah dibatasi yang secara umum
pembahasan disini adalah untuk mendapatkan jawaban mengenai
bagaimanakah tanggung jawab importir sebagai pelaku usaha yang tidak
mencantumkan label berbahasa Indonesia pada produk pangan olahan impor
dalam perdagangan elektronik (e-commerce) serta serta upaya hukum apakah
yang dapat ditempuh oleh konsumen yang dirugikan dalam hal pembelian
produk pangan olahan impor tanpa pencantuman label berbahasa Indonesia
dalam perdagangan elektronik (e-commerce).
7
1.4 Orisinalitas Penelitian
Skripsi ini berjudul “Pencantuman Label Berbahasa Indonesia Pada
Produk Pangan Olahan Impor Dalam Perdagangan Elektronik (E-Commerce)”.
Dengan rumusan masalah bagaimanakah tanggung jawab importir sebagai
pelaku usaha yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia pada produk
pangan olahan impor dalam perdagangan elektronik (e-commerce), serta apakah
upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen yang dirugikan dalam hal
pembelian produk pangan olahan impor tanpa pencantuman label berbahasa
Indonesia dalam perdagangan elektronik (e-commerce). Ini merupakan hasil
karya orisinil, tidak terdapat karya dengan judul dan rumusan masalah yang
sama yang pernah diajukan, pernah ditulis, atau diterbitkan di Fakultas Hukum
Universitas Udayana. Namun adapun beberapa penelitian terkait tentang
pelabelan di luar Fakultas Hukum Universitas Udayana, antara lain:
No. Judul Penulis Rumusan Masalah
1 Tesis: Pengaturan,
Penggunaan dan
Pengawasan Label
Halal Terhadap
Produk Makanan
Perspektif
Perlindungan
Konsumen.
Ali Amran Tanjung
(Program Magister
Pasca Sarjana
Program Studi Ilmu
Hukum Universitas
Sumatera Utara,
Medan, 2009).
1. Bagaimana
pengaturan,
penggunaan label
halal terhadap
produk makanan.
2. Bagaimana
pengawasan
penggunaan label
halal terhadap
produk makanan.
3. Bagaimana sanksi
terhadap
pelanggaran
penggunaan label
halal.
8
2 Skripsi: Konsumen
dan Label (Study
tentang
Perlindungan
Hukum Bagi
Konsumen dalam
Mengkonsumsi
Produk Berlabel
Halal di Kota
Yogyakarta).
Ari Fatmawati
(Fakultas Hukum
Universitas
Muhammadiyah
Surakarta, 2011).
1. Bagaimanakah
profil label dalam
makanan kemasan
yang beredar di
kota Yogyakarta.
2. Bagaimanakah
perlindungan
hukum yang
diberikan terhadap
masyarakat muslim
sebagai konsumen
makanan yang
beredar di kota
Yogyakarta.
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini yang meliputi tujuan umum dan tujuan
khusus yaitu:
a. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan
pemikiran mengenai pencantuman label berbahasa Indonesia pada produk
pangan oleh pelaku usaha merupakan bagian dari hak konsumen atas
informasi dalam perlindungan konsumen. Selain itu, penelitian ini juga
dimaksudkan untuk menyumbangkan pemikiran berkenaan dengan
pencantuman label berbahasa Indonesia pada produk pangan, mengingat
makin banyaknya produk pangan impor yang dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia, sehingga nantinya dapat membantu dalam usaha-usaha
pemberdayaan konsumen itu sendiri.
9
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus meliputi:
1. Untuk mengetahui bagaimanakah tanggung jawab importir sebagai
pelaku usaha yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia pada
produk pangan olahan impor dalam perdagangan elektronik (e-
commerce).
2. Untuk mengetahui apakah upaya hukum yang dapat ditempuh oleh
konsumen yang dirugikan dalam hal pembelian produk pangan olahan
impor tanpa pencantuman label berbahasa Indonesia dalam perdagangan
elektronik (e-commerce).
1.6 Manfaat Penelitian
Dalam setiap penulisan karya ilmiah ada beberapa manfaat yang dapat
diambil dari penelitian yang dilakukan. Adapun manfaat dari penelitian ini
dapat diklasifikasikan atas dua hal, baik yang bersifat teoritis maupun bersifat
praktis, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman dan
pengembangan wawasan pengetahuan dibidang hukum perlindungan
konsumen khususnya tentang pencantuman label berbahasa Indonesia pada
produk pangan olahan impor dalam perdagangan elektronik (e-commerce).
10
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan
pemikiran bagi mereka yang terlibat langsung dalam usaha perlindungan
konsumen baik Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Yayasan
Lembaga Konsumen (YLKI), konsumen itu sendiri, pelaku usaha, dan juga
pemerintah. Dimana nantinya hasil penelitian ini juga dapat digunakan
sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam membentuk peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen.
1.7 Landasan Teoritis
Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen menentukan bahwa
konsumen adalah “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Perlindungan
terhadap konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya
menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya.
Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai
dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan
antara konsumen, pengusaha, dan pemerintah.8
Hukum tentang perlindungan konsumen menjadi sangat penting di era
globalisasi. Hukum tentang perlindungan konsumen mempersoalkan
perlindungan hukum yang diberikan konsumen dalam usahanya memperoleh
8 Erman Raja Guguk et. al., 2003, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Jakarta,
h.7.
11
barang atau jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya,
maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang
mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka
pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian, hukum
perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan
kewajiban produsen, serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan
kewajiban itu.9
Menurut Hans W. Micklitz bahwa secara garis besar dalam hukum
perlindungan konsumen dapat ditempuh dua model kebijakan, yang pertama
adalah kebijakan komplementer yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha
untuk memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas
informasi). Kedua adalah kebijakan kompensatoris yaitu kebijakan yang
berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas
kesehatan dan keamanan).10 Di Indonesia mengenai hak-hak konsumen diatur
dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen. Adapun hak-hak konsumen
tersebut ialah:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
9 Yusuf Shofie, op.cit, h.55.
10 Yusuf Shofie, op.cit, h. 60.
12
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Dari hak-hak konsumen yang telah dijabarkan diatas jika dikaitkan
dengan permasalahan tidak dicantumkannya label berbahasa Indonesia pada
produk pangan olahan impor dalam perdagangan elektronik (e-commerce),
maka terlihat adanya hak konsumen yang diabaikan oleh importir sebagai
pelaku usaha. Seharusnya merupakan kewajiban pelaku usaha agar
terpenuhinya hak-hak konsumen tersebut. Konsumen berhak untuk
memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap mengenai hal-hal yang
diperlukannya mengenai pangan yang beredar di pasar. Sehingga konsumen
juga memperoleh rasa nyaman, aman dan selamat dalam mengkonsumsi produk
pangan yang ada.
Bagi konsumen informasi tentang barang dan/ atau jasa memiliki arti
yang sangat penting. Menurut Troelstrup, konsumen pada saat ini
membutuhkan lebih banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan lima
puluh tahun lalu, karena pada saat ini terdapat lebih banyak produk, merek dan
tentu saja penjualnya, saat ini daya beli konsumen makin meningkat, saat ini
lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak
diketahui semua orang, saat ini model-model produk lebih cepat berubah saat
ini transportasi dan komunikasi lebih mudah sehingga akses yang lebih besar
13
kepada bermacam-macam produsen atau penjual.11 Dan diantara berbagai
informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen,
tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang
bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan dan label,
tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha
lainnya.12
Pasal 8 ayat (1) huruf j UU Perlindungan Konsumen menentukan bahwa
“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/ atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/ atau petunjuk
penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku”. Pada produk pangan, informasi atau
petunjuk penggunaan yang dimaksud pada umumnya dapat dilihat pada label
yang tercantum pada kemasan pangan.
Label atau label pangan merupakan setiap keterangan mengenai pangan
yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang
disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau
merupakan bagian kemasan pangan.Ketentuan lebih lanjut terkait dengan
pencantuman label berbahasa Indonesia dapat dilihat pada UU Pangan.Pasal 97
UU Pangan menentukan bahwa:
(1) Setiap Orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk
diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada
Kemasan Pangan.
11 Erman Raja Guguket. al., op.cit, h.2.
12 Celine Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 71.
14
(2) Setiap Orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan pada
saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Pencantuman label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau dicetak
dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit
keterangan mengenai:
a. nama produk;
b. daftar bahan yang digunakan;
c. berat bersih atau isi bersih;
d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor;
e. halal bagi yang dipersyaratkan;
f. tanggal dan kode produksi;
g. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa;
h. nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan
i. asal usul bahan Pangan tertentu.
(4) Keterangan pada label sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditulis,
dicetak, atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga mudah
dimengerti oleh masyarakat.
Selanjutnya dapat dilihat pula pada Pasal 2 PP Label dan Iklan Pangan
yang menentukan bahwa:
(1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang
dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.
(2) Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak
mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan
yang mudah untuk dilihat dan dibaca.
Pada Pasal 15 PP Label dan Iklan Pangan ditentukan bahwa “Keterangan pada
label, ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab,
dan huruf Latin”. Dalam bagian penjelasan dari pasal 15 PP Label dan Iklan
Pangan disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar pangan yang
diperdagangkan di Indonesia harus menggunakan label dalam bahasa Indonesia.
Khusus bagi pangan untuk diekspor, dapat dikecualikan dari ketentuan ini.
Dalam Pasal 16 PP ini disebutkan bahwa:
15
(1) Penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf
Latin diperbolehkan sepanjang tidak ada padanannya atau tidak
dapat diciptakan padanannya, atau dalam rangka perdagangan
pangan ke luar negeri.
(2) Huruf dan angka yang tercantum pada Label harus jelas dan mudah
dibaca.
Apabila ditinjau dari Peraturan Kepala BPOM Tahun 2011, maka terkait
dengan ketentuan pencantuman label berbahasa Indonesia dapat dilihat pada
Lampiran III Bagian I mengenai Ketentuan Umum yaitu pada angka:
1. Pangan Olahan yang diproduksi di dalam negeri atau dimasukkan ke
dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dalam kemasan,
wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan/atau di kemasan
pangan.
11. Label pangan olahan paling sedikit harus mencantumkan:
a. Nama pangan olahan;
b. Berat bersih atau isi bersih;
c. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan
pangan ke dalam wilayah Indonesia;
d. Daftar bahan yang digunakan;
e. Nomor pendaftaran pangan;
f. Keterangan kedaluwarsa; dan
g. Kode produksi.
12. Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada angka 11, pada label
pangan olahan juga harus dicantumkan keterangan sebagai berikut:
a. Keterangan tentang kandungan gizi,
b. Keterangan tentang iradiasi pangan,
c. Keterangan tentang Pangan organik,
d. Keterangan tentang Pangan rekayasa genetika,
e. Keterangan tentang pangan yang dibuat dari bahan baku alamiah,
f. Petunjuk penggunaan/penyiapan,
g. Petunjuk tentang cara penyimpanan,
h. Keterangan tentang petunjuk atau saran penyajian,
i. Keterangan tentang peruntukan,
j. Keterangan lain yang perlu diketahui mengenai dampak pangan
terhadap kesehatan manusia,
k. Peringatan.
13. Pencantuman keterangan sebagaimana dimaksud pada angka 11 dan
12 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Serta dapat dilihat pula pada Pada Lampiran III bagian II mengenai Tulisan dan
Gambar, yaitu:
16
1. Bahasa, Huruf dan Angka
a. Keterangan sebagaimana dimaksud pada Bagian I angka 12 dan angka
13 ditulis dan dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka
Arab dan huruf Latin.
b. Penggunaan istilah asing dalam keterangan sebagaimana dimaksud pada
bagian I angka 12 dan angka 13 dapat dilakukan sepanjang tidak ada
padanannya, tidak dapat diciptakan padanannya atau digunakan untuk
kepentingan perdagangan pangan ke luar negeri.
c. Istilah asing sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah bahasa, angka
atau huruf selain bahasa Indonesia, angka Arab atau huruf Latin serta
istilah teknis atau ilmiah, misalnya rumus kimia untuk menyebutkan
suatu jenis bahan yang digunakan dalam komposisi.
d. Dalam label dengan keterangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
huruf b dapat ditambahkan keterangan yang sama dalam bahasa selain
bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin.
Penggunaan label berbahasa Indonesia pada produk pangan memiliki
peranan yang penting dalam perlindungan konsumen. Dengan label berbahasa
Indonesia, konsumen bisa mengetahui informasi produk yang dibelinya
sehingga bisa meminimalisasi resiko kejadian yang tidak diinginkan. Label
selain bahasa Indonesia tentu akan menyulitkan konsumen dalam memahami,
menggunakan, serta mengetahui bahan-bahan yang terdapat pada produk yang
dibelinya. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan perdagangan elektronik (e-
commerce) maka dalam UU ITE pada Pasal 9 hanya menentukan bahwa
“Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus
menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat
kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”. Pada penjelasan pasal ini
menentukan bahwa yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan
benar”, meliputi:
a. informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan
kompetensinya, baik sebagai produsen, pemasok, penyelenggara
maupun peratara;
17
b. informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat
sahnya perjanjian serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang
ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi barang/jasa.
Disini terlihat bahwa dalam UU ITE tidak ada keharusan mengenai
pemberian informasi yang lengkap dan benar dengan menggunakan bahasa
indonesia terhadap produk yang ditawarkan dalam perdagangan elektronik (e-
commerce), sehingga dimungkinkan bagi pelaku usaha untuk memberikan
informasi menggunakan bahasa lain selain bahasa Indonesia (bahasa asal
produk) pada produk yang dipasarkannya tersebut.
Dengan adanya hak-hak konsumen dan kewajiban dari pelaku usaha,
timbul persoalan mengenai tanggung jawab. Tanggung jawab pelaku usaha
merupakan hal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen.
Tanggung jawab secara etimologi adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya
atau fungsi menerima pembebanan sebagai akibat tindakan sendiri atau pihak
lain. Sedangkan pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, jika
terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya.13
Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Konsumen, menentukan bahwa pelaku usaha
adalah:
Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
13 Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, h. 1139
18
Adapun prinsip-prinsip tanggung jawab pelaku usaha secara umum dalam
hukum perlindungan konsumen dapat dibedakan menjadi 5(lima) prinsip, yaitu:
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (liability based on
fault)
Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannya. Prinsip ini tergambar dalam beberapa ketentuan pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata), yaitu
Pasal 1365, 1366, dan 1367 KUH Perdata. Dalam Pasal 1365 KUH Perdata
menjelaskan bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, membawa kerugian tersebut”. Pasal 1365 KUH
Perdata mengharuskan terpenuhinya empat pokok untuk dapat dimintai
pertanggungjawaban hukum dalam perbuatan melawan hukum yaitu
adanya perbuatan, unsur kesalahan, adanya kerugian yang diderita, adanya
hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Pasal 1366 dan 1367 KUH Perdata menjelaskan bahwa tanggung
jawab untuk mengganti kerugian tidak saja karena dilakukannya perbuatan
melanggar hukum, tetapi juga karena kelalaian atau kekuranghati-hatian.
Bahkan tanggung jawab itu meliputi perbuatan orang-orang yang menjadi
atau termasuk tanggung jawabnya. Mengenai beban pembuktiannya, asas
ini mengikuti ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata yang mengatur bahwa
19
barangsiapa yang mengakui mempunyai suatu hak maka harus
membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.14
2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab (presumption of liability)
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung
jawab sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi beban
pembuktian ada pada si tergugat. Pembuktian semacam ini dikenal dengan
sistem pembuktian terbalik.
Dasar pemikiran dari teori pembalikan beban pembuktian ini adalah
seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat
membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum
praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang lazim dikenal
dalam hukum. Ketika asas ini diterapkan dalam kasus konsumen maka akan
tampak teori ini sangatlah relevan di mana yang berkewajiban untuk
membuktikan kesalahan ada dipihak pelaku usaha yang digugat.15
3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab (presumption of
nonliability).
14 Destania Suswantika, 2011, “Perlindungan Konsumen Terhadap Pemadaman Listrik
Sepihak Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009”, Tesis Fakultas Hukum Universitas
Indonesia”, Depok, h. 34.
15 Ibid.
20
Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu
bertanggung jawab, di mana tergugat selalu dianggap tidak bertanggung
jawab sampai dibuktikan bahwa ia bersalah.16
4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability)
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan
dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Namum
demikian ada juga ahli yang mengatakan bahwa prinsip tanggung jawab
mutlak ini tidak selamnya sama dengan prinsip tanggung jawab absolut.
Dalam tanggung jawab mutlak, kesalahan tidak ditetapkan sebagai faktor
yang menentukan, terdapat pengecualian-pengecualian yang
memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab sepertikeadaan
memaksa(force majeur). Di lain pihak tanggung jawab absolut merupakan
prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.17
5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan (limitation of liability)
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan disenangi oleh pelaku
usaha untuk dimuat dalam perjajian standar yang dibuatnya. Prinsip
tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen jika ditetapkan secara
sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU Perlindungan Konsumen, pelaku
usaha tidak boleh secara sepihak menetapkan klausula yang merugikan
konsumen, termasuk di dalamnya mengenai pembatasan maksimal
16 Ibid, h. 35. 17 Ibid.
21
tanggung jawabnya.18 Mengenai klasula baku telah diatur dalam Pasal 18
UU Perlindungan Konsumen.
Konsumen yang merasa dirugikan atas barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan dan/atau diproduksi oleh pelaku usaha, dapat mengajukan upaya
hukum. Ada 2 (dua) upaya hukum yang dapat ditempuh konsumen untuk
meyelesaikan sengketa yaitu upaya hukum di luar pengadilan (non litigasi) dan
upaya hukum melalui pengadilan (litigasi), hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal
45 UU Perlindungan Konsumen yang menjelaskan bahwa:
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan
atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana
diatur dalam undang-undang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila
upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh
para pihak yang bersengketa.
1.8 Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini ialah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Penelitian hukum jenis
ini meliputi penelitian asas hukum, norma hukum, sejarah hukum,
18 Ibid.
22
perbandingan hukum, inventarisasi hukum, sistematika hukum, sinkronisasi
hukum (vertikal dan horizontal). Perlunya penelitian hukum normatif dalam
penelitian ini berkaitan dengan sinkronisasi hukum baik secara vertical
maupun secara horizontal. Sinkronisasi hukum secara vertikal yakni antara
UU ITE dengan PP Label dan Iklan Pangan. Sedangkan sinkronisasi hukum
secara horizontal antara UU Pelindungan Konsumen dan UU Pangan
dengan UU ITE.
b. Jenis Pendekatan
Pendekatan ini merupakan jenis penelitian hukum normatif dengan
menggunakan pendekatan:
1. Pendekatan perundang-undangan (the statute approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan
perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu
hukum) yang sedang dihadapi, yaitu untuk dapat menjelaskan
bagaimana tanggung jawab importir sebagai pelaku usaha yang tidak
mencantumkan label berbahasa Indonesia dalam perdagangan
elektronik (e-commerce), serta upaya hukum yang dapat ditempuh oleh
konsumen yang dirugikan akibat tidak dicantumkannya label berbahasa
indonesia pada produk pangan oahan impor dalam perdagangan
elektronik (e-commerce).
23
2. Pendekatan fakta (the fact approach)
Pendekatan ini merupakan pendekatan terhadap fakta-fakta yang
ada berdasarkan permasalahan yang dikaji yang selanjutnya dikaitkan
dengan penerapan hukum yang berlaku. Yaitu dengan adanya fakta
tidak dicantumkannya label berbahasa Indonesia pada produk pangan
olahan impor yang diperoleh melalui perdagangan elektronik (e-
commerce) kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan
yang ada.
3. Pendekatan frasa (words & phrase approach)
Pendekatan ini merupakan pendekatan dengan menelaah suatu
kata atau kalimat sehingga diperoleh sebuah pemahaman, dalam
penelitian ini berkenaan dengan isi pasal terkait pencantuman label
berbahasa Indonesia pada produk pangan dengan pasal 9 UU ITE.
c. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini ialah bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum
primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas
atau memiliki kekuatan mengikat,19 yaitu berupa peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan permasalah yang diteliti. Sedangkan bahan
hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, literatur, makalah,
19 Soerjono Soekanto & Sri Mahmmudji, 1988, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali
Press, Jakarta, h. 34.
24
tesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan
dengan permasalahan penelitian.20 Disamping itu, juga dipergunakan
bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu
melalui internet dengan jalan mengcopy (download) bahan hukum yang
diperlukan. Yang terakhir ialah bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum
yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan sistem kartu (card system). Dimana baik judul,
dan pengarang selanjutnya agar lebih mudah, dibantu dengan menggunakan
kartu catatan. Yang ditekankan pada sistem ini ialah pencatatan mengenai
informasi yang relevan dengan topik permasalahan.
e. Teknik Analisis Bahan Hukum
Dari bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini,
baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum
tersier dianalisis dengan menggunakan teknik deskripsi, evaluasi, dan
sistematisasi. Teknik deskripsi, yaitu dengan cara memaparkan,
mendeskripsikan, maupun menganalisa bahan hukum yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti. Teknik evaluasi yaitu dengan melakukan
20 Peter Mahmud Marzuki, op. cit, h. 141.
Top Related