1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Lembaga Kenotariatan adalah salah satu lembaga kemasyarakatan yang
ada di Indonesia, lembaga ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama
manusia yang menghendaki adanya suatu alat bukti mengenai hubungan hukum
keperdataan yang ada dan atau terjadi diantara mereka.1 Terkait dengan hal ini
semakin banyak kebutuhan akan jasa Notaris. Notaris sebagai abdi masyarakat
mempunyai tugas melayani masyarakat dalam bidang perdata, khususnya dalam
hal pembuatan akta otentik. Seperti yang dimaksud dalam pasal 1868 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata jo Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut Undang-Undang Jabatan
Notaris), dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan
bahwa :
“Akta Otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.”
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa :
“Akta Notaris yang selanjutnya disebut akta otentik yang dibuat oleh atau
dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam
undang-undang ini.”
1 G.H.S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga,
Jakarta, hal. 2.
2
Fungsi dan peran Notaris dalam gerak pembangunan nasional yang
semakin kompleks dewasa ini tentunya makin luas dan makin berkembang, sebab
kelancaran dan kepastian hukum yang dijalankan oleh semua pihak makin banyak
dan luas, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hukum
yang dihasilkan oleh Notaris. Pemerintah dan masyarakat luas tentunya
mempunyai harapan agar pelayanan jasa yang diberikan oleh Notaris kepadanya
benar-benar memiliki nilai dan bobot yang dapat dipertanggungjawabkan.2
Notaris mempunyai peran serta dalam aktivitas menjalankan profesi
hukum yang tidak dapat dilepaskan dari persoalan-persoalan mendasar yang
berkaitan dengan fungsi serta peranan hukum itu sendiri, dimana hukum diartikan
sebagai kaidah-kaidah yang mengatur segala kehidupan masyarakat.3 Tanggung
jawab Notaris yang berkaitan dengan profesi hukum tidak dapat dilepaskan pada
pendapat bahwa dalam melaksanakan jabatannya tidak dapat dilepaskan dari
keagungan hukum itu sendiri, sehingga Notaris diharapkan bertindak untuk
merefleksikannya didalam pelayanannya kepada masyarakat.4
Seorang Notaris agar benar-benar menjalankan kewenangannya, Notaris
harus senantiasa melakukan tugas jabatannya menurut hukum yang tertinggi
dengan amanah, jujur, seksama, mandiri dan tidak memihak. Notaris dalam
menjalankan kewenangannya tidak boleh mempertimbangkan keuntungan pribadi,
Notaris hanya boleh memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan
kebenarannya, Notaris wajib bersikap tulus ikhlas terhadap klien dan
2 Suharwadi K. Lubis, 1994, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
hal.35-36. 3 Ibid.
4 Wiratni Ahmadi, 2000, ”Pendidikan Magister Kenotariatan”, Makalah
disampaikan pada pengenalan pendidikan Magister Kenotariatan Universitas
Padjadjaran, Bandung, hal. 1-2
3
mempergunakan segala sumber keilmuwannya, apabila Notaris yang
bersangkutan tidak menguasai bidang hukum tertentu dalam pembuatan akta,
maka ia wajib berkonsultasi dengan rekan lain yang mempunyai keahlian dalam
masalah yang sedang dihadapi, disamping itu Notaris juga wajib merahasiakan
segala sesuatu yang diketahuinya tentang masalah klien karena kepercayaan yang
telah diberikan kepadanya.5
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan
hukumnya.6 Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak
berbenturan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang
pejabat (Notaris) melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan,
dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum, seperti yang dimaksud
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Wewenang Notaris diatur dalam Pasal 15 menyebutkan :
(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan
grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain
atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris
berwenang pula:
5 Marisco A. Umbas, 2013, “Pelaksanaan Pengawasan terhadap Tugas dan
Fungsi Notaris,” Lex Privatum, Vol.I, No.4, hal. 68. 6 Philipus M. Hadjon dan Tatik Sri Djatmiati, 1997, Tentang Wewenang,
Penerbit Yuridika, Surabaya, hal. 1.
4
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat
yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
Akta;
f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat Akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal 15 ayat (1) dan (2) tersebut di atas mengatur tentang Wewenang
Notaris, sedangkan dalam Pasal 15 ayat (3)-nya merupakan wewenang yang akan
ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang (ius
constituendum).
Mengingat peranan dan kewenangan Notaris yang sangat penting bagi lalu
lintas hukum dalam kehidupan bermasyarakat, maka perilaku dan tindakan
Notaris dalam menjalankan fungsi kewenangan, rentan terhadap penyalahgunaan
yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat, sehingga lembaga pembinaan
dan pengawasan terhadap Notaris perlu diefektifkan. Ketentuan yang mengatur
tentang pengawasan bagi Notaris diatur dalam Bab IX Pasal 67 sampai dengan
Pasal 81 Undang-Undang Jabatan Notaris dan Keputusan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004
tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris sebagai peraturan
pelaksanaannya. Ketentuan-ketentuan ini merupakan salah satu upaya untuk
mengantisipasi kelemahan dan kekurangan dalam sistem pengawasan terhadap
5
Notaris, sehingga diharapkan dalam menjalankan profesi jabatannya, Notaris
dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.7
Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak menutup kemungkinan
bersinggungan dengan permasalahan hukum pidana yang melibatkan seorang
Notaris. Hal ini bisa terjadi pada waktu notaris diminta untuk membuat akta oleh
seorang client. Akta yang diminta ini mengandung suatu perbuatan pidana yang
tidak disadari atau dilakukan dengan sengaja oleh Notaris dan Client yang
bersangkutan tidak menerangkan kepada Notaris. Meskipun demikian, notaris
harus bertanggungjawab atas akta yang dibuatnya tersebut. Jika notaris tidak
menyadari bahwa akta yang dibuatnya mengandung unsur pidana, maka notaris
yang bersangkutan akan dipanggil sebagai saksi.
Dasar hukum pemanggilan terhadap Notaris tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris Pasal 66, yaitu :
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau
hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang:
(a) mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang
dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam
penyimpanan Notaris; dan
(b) memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang
berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam
penyimpanan Notaris.
(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.
(3) Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban
menerima atau menolak permintaan persetujuan.
(4) Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis
kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.
7 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis
Pengawas Notaris, hal.3.
6
Bertitik tolak pada ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris
tersebut di atas maka dapat di lihat ada 2 (dua) isu hukum. Pertama, Pasal 66 ayat
(1) huruf a tidak menjelaskan akta yang mana yang bisa diambil penyidik,
penuntut umum atau hakim. Apakah hanya sebatas akta yang tersangkut perkara
pidana atau untuk semua akta. Redaksi Pasal 66 ayat (1) huruf a ini bisa
ditafsirkan penyidik, penuntut umum dan hakim dapat mengambil semua akta
yang disimpan Notaris. Kedua, berkaitan dengan ijin Majelis Kehormatan Notaris,
apakah ijin ini mutlak ataukah bisa disimpangi. Bila dilihat dari bunyi Pasal 66
ayat (3) dan ayat (4) yaitu majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau
menolak permintaan persetujuan (Pasal 66 ayat (3)). Dalam hal Majelis
Kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Majelis Kehormatan Notaris dianggap menerima
permintaan persetujuan (Pasal 66 ayat (4)). Redaksi kedua ayat ini menunjukkan
bahwa ijin Majelis Kehormatan Notaris, tidak mutlak harus diberikan, mengingat
setelah 30 hari, penyidik, penuntut umum dan hakim dapat begitu saja mengambil
fotocopy akta dan minuta dari Notaris.
Pemanggilan Notaris sebagai saksi, seharusnya pemanggilan tidak dapat
dilakukan begitu saja. Menurut ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan
Notaris pemanggilan Notaris ini harus mendapatkan persetujuan Majelis
Kehormatan Notaris. Perlunya persetujuan Majelis Kehormatan Notaris
mengingat Notaris sebagai pejabat umum yang harus merahasiakan akta yang
dibuatnya sebagaimana diuraikan berikut ini.
7
Sebagai tindak lanjut dari amanat Pasal 66 Undang-Undang Jabatan
Notaris maka pada tanggal 5 Februari 2016 diterbitkan Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan
Notaris (selanjutnya disebut Permenkumham No. 7 Tahun 2016 saja). Konsideran
Permenkumham No. 7 Tahun 2016 ini menyebutkan bahwa peraturan ini dibuat
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 66A ayat (3) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia tentang Majelis Kehormatan Notaris. Pasal 1 angka 1
Permenkumham No. 7 Tahun 2016 yang menyebutkan Majelis Kehormatan
Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan
pembinaan Notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk
kepentingan penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi Minuta
Akta dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
Sebagai jabatan kepercayaan notaris wajib merahasiakan isi akta dan
segala keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatannya. Hal ini sejalan
dengan sumpah jabatan yang diucapkan sebelum notaris melaksanakan
jabatannya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris jo Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris. Notaris tidak bisa secara bebas mengungkapkan atau
membocorkan rahasia jabatannya kepada siapa pun kecuali terdapat peraturan
perundang-undangan lain yang memperbolehkannya untuk membuka rahasia
8
jabatannya, sumpah jabatan tersebut ditegaskan sebagai salah satu kewajiban
notaris yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, yang menyatakan dalam menjalankan jabatanya, notaris
berkewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Penggunaan hak untuk merahasiakan sesuatu yang berkaitan dengan
jabatan diatur pula dalam hukum acara pidana, hukum perdata, dan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana. Pasal 170 ayat 1 KUHAP menyatakan bahwa, mereka
yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau juga jabatannya diwajibkan untuk
menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari penggunaan hak untuk
memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan
kepadanya.
Selanjutnya dalam Pasal 1909 ayat 2 KUHPerdata dinyatakan bahwa,
segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya menurut
undang-undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata
mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagaimana
demikian. Pasal 322 ayat 1 KUHPidana menyatakan bahwasanya, barangsiapa
dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.
Dalam hal Notaris yang berkewajiban merahasiakan sesuatu yang
berkaitan dengan jabatan maka notaris dikatakan memiliki hak ingkar untuk
dijadikan saksi baik dalam peradilan perdata maupun peradilan pidana. Istilah hak
9
ingkar merupakan terjemahan dari verschoningsrech yang artinya adalah hak
untuk dibebaskan dari memberi keterangan sebagai saksi dalam suatu perkara baik
itu perkara perdata maupun perkara pidana. Hak ini merupakan pengecualian dari
Pasal 1909 KUH Perdata bahwa setiap orang yang dipanggil menjadi saksi wajib
memberikan kesaksian.
Tiap-tiap orang yang dipanggil sebagai saksi, mempunyai kewajiban untuk
memberikan keterangan-keterangan. Seseorang yang berdasarkan undang-undang
dipanggil sebagai saksi, yang sengaja tidak memenuhi kewajibannya sebagai saksi
diancam pidana sebagai melakukan suatu kejahatan. Pengecualiannya ialah
apabila seseorang yang dipanggil itu, mempunyai hak untuk menolak memberikan
keterangan-keterangan sebagai saksi, berdasarkan hubungan-hubungan tertentu
yang disebutkan dalam undang-undang.8
Dalam hukum acara perdata, Pasal 1909 KUH Perdata mewajibkan setiap
orang yang cakap menjadi saksi, untuk memberikan kesaksian di muka
pengadilan. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap mereka, yang berdasarkan
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dibebaskan dari
kewajiban untuk memberikan kesaksian yaitu sebagaimana yang telah diatur
dalam Pasal 1909 KUH Perdata dan Pasal 146 dan 277 HIR, mereka dapat
mempergunakan haknya untuk mengundurkan diri sebagai saksi, dengan jalan
menuntut penggunaan hak ingkarnya (verschoningsrecht).9
Dalam hukum acara pidana, ketentuan dalam Pasal 170 ayat (1) dan (2)
KUHAP menyebutkan:
(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
8 A. Kohar, 1984, Notaris Berkomunikasi, Alumni, Bandung, hal. 42.
9 G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit., hal. 120.
10
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan
tersebut.
Dalam hal pemanggilan Notaris sebagai tersangka atau yang terindikasi
melakukan tindak pidana, maka pemanggilan notaris yang mensyaratkan
persetujuan Majelis Kehormatan Notaris patut untuk dipermasalahkan. Karena hal
ini dapat dikatakan bertentangan Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Lebih jauh lagi persyaratan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris
bertentangan dengan ketentuan Pasal 112 Kitab Undang-Undang Acara Pidana
(KUHAP) yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan
pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi
yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah
dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya
panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan
tersebut.
(2) Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak
datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada
petugas untuk membawa kepadanya.
Ketentuan Pasal 112 KUHAP tersebut dapat dikatakan bahwa penyidik
berhak memanggil tersangka dan orang yang disangkakan ini wajib datang kepada
penyidik. Ketentuan ini berlaku untuk setiap orang dan tanpa syarat apapun.
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
mennyatakan bahwa pengambilan minuta akta dan pemanggilan Notaris yang
menyatakan untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau
hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah. Dalam perkembangan
selanjutnya ketentuan Pasal 66 ini dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
11
49/PUU-X/2012). Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak mengindahkan bahwa
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, notaris memiliki tanggungjawab
terhadap akta yang dibuatnya sehingga notaris harus berhadapan langsung dengan
Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim ketika harus berhadapan dengan
pengadilan.
Atas Putusan MKRI para Notaris tidak perlu mempermasalahkannya,
sebagai Warga Negara Indonesia yang taat hukum notaris harus tunduk dan patuh
pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, karena Putusan Mahkamah
Konstitusi telah “final and binding” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Namun pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris masalah
dimunculkan lagi tentang perlunya persetujuan bagi Penyidik, Penuntut Umum
dan Hakim untuk mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang
dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris; dan
memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta
yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.
Jika pada Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 persetujuan tersebut
berasal dari Majelis Pengawas Daerah, sedangkan pada Pasal 66 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 persetujuan berasal dari Majelis Kehormatan Notaris.
Dalam hal tersebut di atas pertanyaan yang bisa dimunculkan apa bedanya
persetujuan melalui Majelis Pengawas Daerah dengan persetujuan melalui Majelis
Kehormatan Notaris? Apakah hal ini tidak mengingkari Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut di atas mengingat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
disebutkan bahwa dibutuhkannya persetujuan seperti yang diatur dalam Pasal 66
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
12
telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Menurut penulis hal tersebut merupakan norma konflik yaitu norma yang
berasal dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 49/PUU-X/2012 yang
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 bertentangan dengan norma yang
terdapat dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 dimana norma
dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 49/PUU-X/2012 tidak mengharuskan
adanya persetujuan bagi bagi Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim untuk
mengambil fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta
akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris; dan memanggil notaris
untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau
protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notari sedangkan norma yang
terkandung dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 hal tersebut
masih memerlukan ”persetujuan” dari Majelis Kehormatan Notaris. Dalam hal ini
seolah-olah Majelis Kehormatan Notaris berdiri di atas Mahkamah Konstitusi atau
bahkan Undang-Undang Dasar 1945.
Pengaturan Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris juga memiliki
ketidakjelasan (norma kabur) mengingat apakah fotocopy akta yang dapat diambil
penyidik, penuntut umum dan hakim hanya sebatas akta yang tersangkut perkara
pidana atau untuk semua akta, karena redaksi Pasal 66 ayat (1) huruf a ini bisa
ditafsirkan penyidik, penuntut umum dan hakim dapat mengambil semua akta
yang disimpan Notaris. Selain itu ketidakjelasan juga terjadi apakah ijin Majelis
Kehormatan Notaris mutlak ataukah bisa disimpangi, mengingat setelah 30 hari
ijin disampaikan, maka ijin tersebut tidak diperlukan lagi.
Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan-
perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa
13
penelitian yang berkaitan dengan pemanggilan Notaris baik pemeriksaan terhadap
Notaris maupun membuka rahasia akta, yaitu :
1. Penelitian Muhammad Ilham Arisaputra dengan judul ”Kewajiban Notaris
Dalam Menjaga Kerahasiaan Akta Dalam Kaitannya dengan Hak Ingkar
Notaris”. Tesis pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum,
Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2012. Rumusan masalah dari tesis
ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana implementasi hak ingkar notaris dalam menjaga
kerahasiaan akta berdasarkan UUJN?
b. Bagaimana kendala terhadap penggunaan hak ingkar notaris dalam
menjaga kerahasiaan akta dalam kaitannya dengan hak ingkar
berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris?
Penelitian Muhammad Ilham Arisaputra dengan penelitian yang akan
dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua
penelitian ini sama-sama meneliti tentang kewajiban notaris dalam
menjaga kerahasiaan akta. Perbedaannya jika penelitian Muhammad Ilham
Arisaputra, mengkaitkan kewajiban notaris dalam menjaga kerahasiaan
akta dengan hak ingkar notaris, maka pada penelitian yang akan dilakukan
mengkaitkan kewajiban notaris dalam menjaga kerahasiaan akta dengan
persetujuan Dewan kehormatan Notaris.
2. Penelitian Pricilia Yuliana Kambey dengan judul ”Peran Notaris Dalam
Proses Peradilan Pidana”. Tesis Program Magister Kenotariatan, Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, tahun 2013. Rumusan masalah
dari tesis ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah keberadaan notaris sebagai pejabat umum dalam
memberikan kesaksian terhadap suatu perkara menyangkut akta yang
dibuatnya dalam proses peradilan pidana?
14
b. Bagaimanakah peran notaris dalam memberikan keterangan untuk
membantu proses peradilan pidana dikaitkan dengan rahasia
jabatannya?
Penelitian Pricilia Yuliana Kambey dengan penelitian yang akan dilakukan
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini
sama-sama meneliti tentang keberadaan notaris sebagai pejabat umum
dalam memberikan kesaksian terhadap suatu perkara menyangkut akta
yang dibuatnya dalam proses peradilan pidana. Perbedaannya jika
penelitian Pricilia Yuliana Kambey, menganalisis peran notaris dalam
memberikan keterangan untuk membantu proses peradilan pidana
dikaitkan dengan rahasia jabatannya, maka pada penelitian yang akan
dilakukan meganalisis perlunya ijin Majelis Kehormatan Notaris dalam
pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut
kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.
3. Penelitian Yenny Lestari Wilamarta dengan judul “Rahasia notaris, hak
ingkar dan perlindungan hukum bagi notaris yang membuka isi (rahasia)
akta”. Tesis Program Magister Kenotariatan, Fakultas HukumUniversitas
Indonesia, Tahun 2011. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai
berikut :
a. Apakah notaris diperbolehkan membuka isi (rahasia) akta yang
dibuatnya kepada lembaga penyidik atau lembaga penuntut?
b. Apakah notaris dapat menggunakan hak ingkar yang terdapat dalam
Undang-Undang Jabatan Notaris bila bertentangan dengan undang-
undang lainnya?
c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap notaris yang membuka isi
(rahasia) akta?
15
Penelitian Yenny Lestari Wilamarta dengan penelitian yang akan
dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua
penelitian ini sama-sama meneliti tentang notaris yang membuka rahasia
akta. Perbedaannya jika penelitian Yenny Lestari Wilamarta mengkaitkan
rahasia notaris dengan hak ingkar dan perlindungan hukum bagi notaris
yang membuka isi (rahasia) akta, maka pada penelitian yang akan
dilakukan mengkaitkan rahasia notaris dengan perlunya ijin Majelis
Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi
notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.
Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan
penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan
bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya baik substansi maupun metodologinya.
Bertitik tolak pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis
dengan judul ”Fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam Pemberian Persetujuan
Terhadap Penyidik bagi Notaris yang Tersangkut Kasus Pidana Terhadap Akta
yang Dibuatnya”.
1.2. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian latar belakang di atas, permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal
pemberian persetujuan bagi Notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap
akta yang dibuatnya (ius constitutum)?
16
2. Bagaimana sebaiknya pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris
dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus
pidana terhadap akta yang dibuatnya (ius constituendum)?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam pemberian
persetujuan terhadap penyidik bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap
akta yang dibuatnya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam
hal pemberian persetujuan bagi notaris terhadap akta yang dibuatnya yang
tersangkut hukum pidana (ius contitutum).
2. Untuk mengetahui pengaturan yang sebaiknya terhadap fungsi Majelis
Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris
terhadap akta yang dibuatnya yang tersangkut hukum pidana (ius
contituendum).
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran terkait dengan pengaturan
pemanggilan notaris terkait akta yang dibuatnya tersangkut hukum pidana.
1.4.2. Manfaat Praktis
Sebagai masukan bagi Majelis Kehormatan Notaris dalam memberikan
persetujuan atas pemanggilan notaris terkait akta yang dibuatnya tersangkut
hukum pidana.
17
1.5. Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran
1.5.1. Landasan Teoritis
Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang
telah menjadi hukum umum sehingga dipergunakan untuk membahas suatu
peristiwa atau fenomena dalam kehidupan manusia. Menurut Bernard Arief
Sidharta, teori hukum merupakan teori yang secara kritis menganalisis berbagai
aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan
keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan
tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan
sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam
kenyataan masyarakat.10
Teori-teori yang digunakan dalam melakukan penelitian
ini adalah Teori Fungsi, Teori Wewenang, Teori Tanggungjawab dan Teori
Hukum Pembuktian. Selain teori-teori tersebut, penelitian ini juga menggunakan
konsep Akta Notaris untuk dijadikan pisau analisis dalam menjawab perumusan
masalah penelitian.
1.5.1.1. Konsep Akta Notaris
Notaris dijadikan Pejabat Umum adalah ketentauan undang-undang
menghendakinya, karena satu-satunya Pejabat umum yang melayani kepentingan
umum, sesuai kewenangannya yang disebutkan dalam UUJN adalah pembuatan
akta otentik, yang berkaitan dengan. Pasal 1868 KUHPer. Adapun Pasal 1868
KUHPer. Memuat definisi tentang akta otentik sebagai berikut:
10
Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum,
Mandar Maju, Bandung, hal. 104.
18
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang
ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang
berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, maka suatu akta agar dapat
dijadikan sebagai akta otentik harus memenuhi 3 persyaratan sebagai berikut:
a. Akta itu harus dibuat “oleh” atau “dihadapan” seorang Pejabat Umum;
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
c. Pejabat Umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Setelah mengethui syarat-syarat pembuatan akta otentik, maka selanjutnya
perlu diketahui bahwa akta-akta Notaris itu ada dua macam, yaitu:
a. Akta yang dibuat oleh pejabat, yang disebut dengan akta relaas atau akta
pejabat (ambtelijke akten), misalnya: Akta Risalah Rapat Perseroan
Terbatas yang dibuat oleh Notaris; Berita Acara pembukaan Safe-deposit
box dari suatu Perseroan Terbatas Perbankan; Berita Acara penarikan
Undian;
Akta relaas atau akta pejabat itu menguraikan mengenai sesuatu tindakan
yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan serta
dialami oleh pembuat akta itu, yakni Notaris itu sendiri, dalam
menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Akta yang memuat uraian dari
hal-hal yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu dinamakan akta
yang dibuat oleh Notaris (sebagai Pejabat Umum).
b. Akta yang dibuat dihadapan pejabat, yang sering disebut dengan akta
partai (partij acten), misalnya perjanjian sewa menyewa atas sebidang
tanah berikut bangunan dari anggota masyarakat, akta jual-beli, akta hibah
19
uang, akta wasiat, surat kuasa dan lain-lain. Dalam akta partai ini
dicantumkan keterangan-keterangan dari orang-orang yang bertindak
sebagai pihak-pihak dalam akta itu.
Akta partai berisikan cerita dari hal-hal yang terjadi karena perbuatan yang
dilakukan oleh pihak lain dihadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau
diceritakan oleh pihak lain kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya
dan untuk keperluan itu, pihak yang bersaangkutan sengaja datang
menghadap Notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan
perbuatan hukum itu dihadapan Notaris, agar keterangan atau perbuatan
itu dinyatakan oleh Notaris dalam suatu akta otentik.
Dalam hubungannya dengan hal yang diuraikan diatas, maka yang pasti
secara otentik pada akta partij terhadap pihak lain adalah:
a. Tanggal dari akta itu;
b. Tanda tangan-tanda tangan yang ada dalam akta itu;
c. Identitas dari orang-orang yang hadir;
d. Bahwa hal-hal yang tercantum dalam akti itu adalah sesuai dengan
keadaan pada saat diterangkan oleh para penghadap kepada Notaris, agar
dicantumkan dalam akta itu, sedangkan kebenaran dari keterangan-
keterangan itu sendiri, hanya pasti antara pihak-pihak yang bersangkutan
sendiri.
Membuat akta partai (acte partij) inisiatif tidak berasal dari pejabat,
melainkan dari pihak-pihak yang berkepentingan memberikan keterangan,
sedangkan untuk akta pejabat (acte ambtelijk), maka pejabatlah yang aktif
membuat akta tersebut atas permintaan dari para pihak yang berkepentingan. Oleh
20
karena itu, akta pejabat berisikan keterangan yang dilihat dan didengar sendiri
serta ditulis oleh pejabat yang bersangkutan. Sedangkan akta partai berisikan
keterangan para pihak sendiri yang diformulasikan serta disampaikan kepada
pejabat, agar pejabat merampungkan maksud dan keterangannya dalam suata akta
otentik.
Ketentuan Pasal 1870 KUHPer menyebutkan bahwa akta otentik
memberikan bukti yang paling sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli
warisnya serta sekaligus orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal
yang tersurat di dalamnya; Akta otentik merupakan bukti yang cukup, atau juga
disebut bukti yang sempurna,artinya isi dari akta tersebut oleh hakim harus
dianggap benar, selama ketidak-benarannya tidak terbukti. Namun kekuatan bukti
yang sempurna masih dapat digugurkan bila ada bukti lawan yang kuat dengan
menuduh bahwa akta itu palsu, dan ternyata benar dalam akta Notaris yang
minutanya disimpan oleh Notaris itu mengandung kepalsuan, misalnya ada pihak
yang membubuhi tanda tangan palsu dan perihal kepalsuan tanda tangan tersebut
dapat dibuktikan, sehingga gugurlah kekuatan bukti otentik dari akta Notaris
tersebut.
Adapun syarat otentisitas dari akta Notaris adalah sebagai berikut:
a. Para penghadap menghadap Notaris;
b. Para penghadap mengutarakan maksudnya;
c. Notaris mengkonstantir maksud dari para pengahadap dalam sebuat akta;
d. Notaris membacakan susunan kata dalam bentuk akta kepada para
penghada;
21
e. Para penghadap membubuhkan tandatangannya, yang berarti
membenarkan hal-hal yang termuat dalam akta tersebut, dan
penandatanganan tersebut harus dilakukan pada saat itu juga.
f. Dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali ditentukan lain
oleh UU.
Akta yang bersangkutan apabila tidak memenuhi syarat otentisitas tersebut
dimuka, maka akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
di bawah tangan. Surat yang ditandan tangai oleh pihak-pihak secara di bawah
tangan itu, sekalipun merupakan salah satu bukti surat tertulis, namun kekuatan
bukti hukumnya agak lemah, karena bila ada pihak yang meragukannya, maka
surat di bawah tangan ini tidak dapat menjamin tentanggal tanggal yang pasti
pembuatan suratnya; surat di bawah tangan itu tidakmempunyai kekuatan
eksekusi dan bila suratdibawah tangan itu hilang, baik asli maupun salinannya,
maka sukar sekali pihak-pihak yang telah menanda tangani surat itu untuk
membuktikan, bahwa antara mereka telah ada suatu ikatan perjanjian atau ada
suatu perbuatan hukum yang saling mengikat.
Akta otentik yang dibuat oleh Notaris mempunyai 3 (tiga) macam
kekuatan pembuktian, yakni:
a. Kekuatan pembuktian lahiriah
Akta yang dibuat dihadapan Pejabat Umum yang memenuhi ketentuan
undang-undang itu membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Hal ini
sesuai dengan ketentuan dari Pasal 1875 KUHPer., yang antara lain
mengatakan bahwa surat dibawah tangan itu tidak dapat membuktikan
dirinya itu demikian adanya, seperti hal-hal yang disebutkan dalam surat
dibawah tangan itu; akta yang dibuat dibawah tangan baru berlaku atau
22
dianggap sah, apabila yang menanda tanganinya mengakui kebenaran dari
tanda tangannya, yang dengan sendirinya juga mengaku isi yang dimuat
dalam surat dibawah tangan itu. Sedangkan akta otentik membuktikan
sediri mengenai keabsahannya. Akta itu terhadap setiap orang dianggap
sebagai akta otentik, sampai dapat dibuktikan bahwa akta itu adalah tidak
otentik.
b. Kekuatan pembuktian formal.
Membuktikan bahwa Pejabat Umum yang bersangkutan telah menyatakan
dalam tulisan sebagaimana yang tercantum dalam akta dan yang dilakukan
serta disaksikannya dalam menjalankan jabatannya. Dalam arti formal,
sepanjang mengenai akta pejabat (ambtelijke akte), akta itu membuktikan
kebenaran dari hal-hal yang disaksikan, yakni dilihat, didengar dan juga 8
dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan
jabatannya.
c. Kekuatan pembuktian material.
Membuktikan antara pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut
dalam akta itu telah terjadi, dengan pengertian:
1) Bahwa akta itu apabila dipergunakan dimuka pengadilan, adalah cukup
dan hakim tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian
lainnya/disamping itu;
2) Bahwa pembuktian sebaliknya diperkenankan dengan alat-alat
pembuktian biasa, yang diperbolehkan untuk itu menurut undang-
undang.11
11
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal.47.
23
1.5.1.2. Teori Fungsi
Teori fungsi digunakan dalam penelitian ini untuk memecahkan rumusan
masalah pertama mengingat tesis ini membahas mengenai fungsi Majelis
Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi notaris terhadap akta
yang dibuatnya tersangkut dengan hukum pidana. Menurut The Liang Gie fungsi
merupakan sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama
berdasarkan sifatnya, pelaksanaan ataupun pertimbangan lainnya.12
Definisi
tersebut memiliki persepsi yang sama dengan definisi fungsi menurut Sutarto,
yaitu fungsi adalah rincian tugas yang sejenis atau erat hubungannya satu sama
lain untuk dilakukan oleh seorang pegawai tertentu yang masing-masing
berdasarkan sekelompok aktivitas sejenis menurut sifat atau pelaksanaannya.13
Sedangkan pengertian singkat dari definisi fungsi menurut Moekijat, yaitu fungsi
adalah sebagai suatu aspek khusus dari suatu tugas tertentu.14
Fungsi dan peran memiliki pengertian yang berbeda. Dalam pemikiran
Wrenn, peran dengan fungsi itu berbeda. Peran, dikonseptualisasikan ke dalam
suatu tujuan, sedangkan fungsi berarti proses. Konsep peran lebih ditekankan
pada suatu bagian akhir yang dituju; sedangkan fungsi, menegaskan kegiatan atau
aktivitas dalam rangka pencapaian tujuan.15
12
The Liang Gie, 2010, Unsur-unsur Administrasi: Suatu kumpulan
Karangan, Edisi 2, Penerbit Supersukses, Yogyakarta, hal. 27. 13
Sutarto, 2010, Dasar-dasar Organisasi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hal. 22. 14
Moekijat, 2012, Peran dan Fungsi Manajemen, Remaja Rosdakarya,
hal.95. 15
Wrenn, C.G., 2011, The World of the Contemporary Counselor,
Houghton Mifflin, Boston, hal 35.
24
Bagi Wrenn, peran didefinisikan sebagai harapan-harapan (expectations)
dan pengarahan-pengarahan perilaku yang dikaitkan dengan suatu posisi;
sedangkan fungsi diartikan sebagai aktivitas yang ditunjukkan untuk suatu peran.
Dengan kata lain, peran berkaitan dengan suatu posisi; sementara itu rincian
perbuatan dalam menjalankan posisi berarti fungsi.16
Apabila peran sering kali
ditegaskan melalui perilaku individu di dalam penampilan hak dan kewajiban
yang berkaitan dengan suatu posisi; maka fungsi merupakan aktivitas spesial atau
khusus dari seseorang.
Salah satu fungsi Majelis Kehormatan Notaris adalah memberikan
persetujuan dalam hal pemanggilan Notaris untuk proses peradilan, penyidikan,
penuntut umum atau hakim. Dengan persetujuan tersebut mempunyai arti bahwa
dengan tidak adanya persetujuan maka hal tersebut tidak dapat dilakukan (Pasal
66 Undang-Undang Jabatan Notaris). Selain itu berdasarkan Pasal 66 A dan Pasal
67 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris disebutkan
bahwa fungsi lain dari Majelis Kehormatan Notaris adalah melaksanakan
pembinaan dan pengawasan terhadap notaris.
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomer 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
pengawasan Notaris dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri setempat. Setelah
berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut maka pengawas terhadap
Notaris di bawah naungan langsung Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,
yang selanjutnya dilimpahkan kepada Majelis Kehormatan Notaris.
16
Ibid.
25
Pasal 1 butir 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota,
Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara
Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris menyebutkan pengertian pengawasan
adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan
yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.17
Rumusan tersebut yang menjadi tujuan pokok pengawasan adalah agar
segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris
dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang digariskan dalam peraturan dasar
yang bersangkutan, senantiasa dilakukan di atas jalur yang telah ditentukan, bukan
saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminnya
perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Pembentukan Majelis
Kehormatan Notaris untuk menyelamatkan kepentingan masyarakat dari kerugian
yang diakibatkan oleh Notaris yang tidak bertanggung jawab dan menjaga citra
dan kewibawaan lembaga Notariat serta melindungi nama baik kelompok prifesi
Notaris dari penilaian yang generaliris. Selain hal tersebut dengan adanya Majelis
Kehormatan Notaris, maka mempunyai dampak positif yaitu akan membentuk
suatu “Peradilan Profesi Notaris” yang dijalankan di setiap tingkatan secara
berjenjang selain yang sudah ada pada organisasi profesi notaris sendiri. Dengan
adanya peradilan tersebut, maka akan memberikan perlindungan hukum dan
jaminan kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya secara profesional.18
17
Widiatmoko, 2007, Himpunan Peraturan Jabatan Notaris, Pradnya
Paramita, Jakarta, hal. 20. 18
Ibid.
26
1.5.1.3. Teori Wewenang
Teori wewenang digunakan dalam penelitian ini untuk menjawab rumusan
masalah pertama dan kedua yaitu mengenai wewenang Notaris untuk membuat
akta otentik dan wewenang Majelis Kehormatan Notaris dalam fungsinya untuk
memberikan ijin pengambilan akta yang disimpan Notaris dan pemeriksaan
terhadap Notaris yang aktanya tersangkut hukum pidana.
Wewenang (atau sering pula disebut dengan istilah kewenangan)
merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan
yang bersangkutan.19
Sjahran Basah mengemukakan bahwa kewenangan
seseorang atau pejabat pemerintah untuk melakukan suatu tindakan pemerintahan
dapat diperoleh dari peraturan perundang-undangan baik secara langsung
(atribusi) ataupun pelimpahan (delegasi dan sub delegasi) serta atas dasar
penugasan (mandate).20
Pendapat ini juga dikemukakan oleh H.D. Van Wijk dan
Wilem Konijnenbelt yang mengklasifikasikan cara perolehan kewenangan atas 3
(tiga) cara antara lain:
a. Atributie : “Teoleninning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever
aan een bestuurorgaan”, atau atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.
b. Delegatie : “Overdracht van een bevoegdheid van he teen bestuurorgan
aan een ander”, atau delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan
dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
c. Mandate : “een bestuurorgan lat zijn bevoegdheid names hues uitoefenen
door een ander”, artinya mandat terjadi ketika organ pemerintahan
mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.21
19
Habib Hadjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap
UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, hal.
77. 20
Sjahran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan
Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, hal.7. 21
Ridwan H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta, hal. 45.
27
Dengan melihat kepada ada atau tidaknya suatu peralihan kewenangan, F.A.M.
Stroink dan J.G. Steenbeek berpendapat mengenai cara peralihan wewenang pada
hakekatnya hanya melalui cara atribusi dan delegasi saja. Atribusi adalah
pembangunan kekuasaan kepada bagian instansi dan pada atribusi terjadi
pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh pembuat undang-undang
(dalam arti material kepada organ administrasi negara).
Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi
kepada pejabat yang lebih rendah atas dasar peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini suatu badan juga telah memiliki wewenang secara mandiri membuat
peraturan perundang-undangan (wewenang atribusi), menyerahkan kepada suatu
badan untuk membuat peraturan perundang-undangan atas dasar kekuasaan dan
tanggung jawabnya sendiri. Menurut Indroharto penerima wewenang atas dasar
delegasi (delegataris) dapat pula mendelegasikan wewenang yang diterimanya
dari pemberi wewenang asli (delegasi) kepada organ atau pejabat TUN lainnya.22
Bagir Manan dan A. Hamid S. Attamimi menyatakan teori wewenang
pembentukan peraturan perundang-undangan dibedakan atas atribusi dan
delegasi.23
Pengertian atribusi wewenang pembentukan peraturan perundang-
undangan memuat unsur-unsur :
a. Penciptaan wewenang baru untuk membuat peraturan perundang-
undangan;
22
Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 66. 23
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Kedudukan dan Fungsi
Keputusan Presiden Sistem Perundang-undangan dan Peranannya Dalam
Akselerasi Pembangunan Ekonomi, Penerbit Alumni, Bandung, hal 206.
28
b. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk UUD atau pembentuk UU
kepada suatu lembaga;
c. Lembaga yang menerima wewenang itu bertanggung jawab atas
pelaksanaan wewenang tersebut.24
Sedangkan pengertian delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan
memuat unsur-unsur :
a. Penyerahan wewenang untuk membuat peraturan perundang-undangan;
b. Wewenang itu diserahkan oleh pemegang wewenang atributif (delegans)
kepada lembaga lainnya (delegataris);
c. Lembaga yang menerima wewenang (delegataris) bertanggung jawab atas
pelaksanaan wewenang tersebut.
Wewenang atribusi dan delegasi terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah lembaga yang menerima wewenang bertanggung jawab atas
pelaksanaan wewenang itu. Sedangkan perbedaannya adalah (1) pada delegasi
selalu harus didahului adanya atribusi, sedangkan pada atribusi tidak ada yang
mendahului dan (2) pada atribusi terjadi pembentukan wewenang, sedangkan pada
delegasi terjadi penyerahan wewenang.25
Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan konsep inti dari
hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Tanpa adanya kewenangan
yang dimiliki, maka pejabat negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan
atau tindakan pemerintahan. Menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan dengan
24
Hamid S. Atamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara Studi Analisis Mengenai
Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-
Pelita IV, Disertasi, Pasca Sarjana UI, Jakarta, hal 347-352 25
S.F. Marbun, 2004, Mandat, Delegasi, Atribusi Dan Implementasinya
Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal. 109-120.
29
kewenangan, yakni fungsi pembuatan kebijakan (policy making) yaitu kekuasaan
yang menentukan tugas (taakstelling) dari alat-alat pemerintah atau kekuasaan
yang menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy
executing) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik negara
yang telah ditentukan (verwezenlijkking van de taak).26
1.5.1.4. Teori Tanggungjawab
Teori tanggungjawab digunakan dalam penelitian ini untuk memecahkan
rumusan masalah yang pertama dan kedua mengingat permasalahan dalam
penelitian ini adalah mengenai tanggungjawab Notaris jika akta yang dibuatnya
tersangkut hukum pidana. tanggungjawab atau tanggungjawab hukum yang
dimaksudkan disini adalah terjemahan dari bahasa Inggris “Liability”.
Tanggung jawab dalam bahasa Inggrisnya adalah responsibility atau dalam
bahasan Belanda adalah aansprekelijk, yang artinya adalah bertanggung jawab,
terikat, bertanggung jawab menurut hukum atas kesalahan atau akibat suatu
perbuatan.27
Ada pula istilah lainnya yang berkaitan adalah pertanggung jawaban
yang dalam bahasa Inggris adalah accountability dan dalam bahasa Belanda
adalah aansprakelijkheid yang artinya juga tanggung jawab, keterikan, tanggung
jawab dalam hukum memikul tanggung jawab.28
Menurut Soehardi dikatakan bahwa dasar dari suatu tanggung jawab
adalah suatu wewenang (authority) atau hak wewenang itu berkaitan dengan tugas
26
Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara,
Bina Aksara, Jakarta, hal. 30. 27
Fockema Andrea, diterjemahkan oleh Adiwinata A. Teloeki dan H.
Boerchanudin St. Batoeh, 2007, Kamus Istilah Hukum, Cet. Pertama, Binacipta,
Jakarta, hal. 6. 28
Ibid, hal 6.
30
dan merupakan kekuasaan yang melekat pada tugas atau pekerjaan (responsibility,
duty), sedangkan hak melekat pada pribadi. Untuk melaksanakan suatu tugas akan
tergantung pada capability atau ability yang berfungsi secara memadai untuk
melaksanakan suatu tugas atau suatu tanggung jawab (responsibility). Hasil
hubungan antara responsibility dengan capability ini adalah suatu accountability
atau suatu pertanggungjawaban.29
Setiap orang pada umumnya harus bertanggung jawab atas segala tindakan
atau perbuatannya. Pengertian orang ini termasuk pula suatu rechtspersoon. Orang
dalam artian yuridis adalah setiap orang yang mempunyai wewenang hukum,
yang artinya adalah kecapakan untuk menjadi subyek hukum, atau sebagai
pendukung hak dan kewajiban, maka untuk itu terlebih dahulu harus ditentukan
dulu status seseorang dalam suatu hubungan hukum.30
Hubungan hukum mencerminkan adanya kepentingan-kepentingan dari
pihak-pihak yang melakukan hubungan hukum, ada kehadiran hukum akan
berfungsi untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan
kepentingan tersebut agar tidak saling bertubrukan (conflit of interest). Hukum
melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan
kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Kekuasaan
yang diberikan oleh hukum itu disebut sebagai hak. Antara hak dan kewajiban
terdapat hubungan yang sangat erat, yang satu akan mencerminkan yang lain. Di
satu sisi hak dan di sisi lainnya akan terlihat adanya kewajiban.31
29
Soehardi Sigit, 2008, Pengorganisasian, Fakultas Ekonomi Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 25 -28. 30
Ali Chidir, 2007, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 7. 31
Satijipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 53.
31
Pasal 1365 KUH Perdata dikandung ajaran tentang tanggung jawab,
seperti dalam rumusan sebagai berikut: ”Setiap orang bertanggung jawab tidak
saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
Pasal 1365 KUH Perdata di atas, menunjukan bahwa dalam KUH Perdata
dikenal ada 2 (dua) jenis tanggung jawab, yaitu :
a. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan, artinya seseorang dapat dimintai
pertanggung jawaban atas kesalahan yang telah diperbuatnya dan akibat
kesalahannya itu telah menimbulkan kerugian bagi orang lain;
b. Tanggung jawab berdasarkan risiko, artinya seseorang dapat dimintai
pertanggung jawaban atas kerugian yang diderita oleh orang lain bukan
karena kesalahan yang bersangkutan, melainkan sebagai resiko yang
ditanggungnya karena kesalahan orang lain dan orang tersebut adalah
menjadi bawahannya atau menjadi tanggungnya, atau dalam
pengawasannya.
Tanggung jawab karena kesalahan sebagaimana telah diatur dalam Pasal
1365 KUH Perdata dan Pasal 1367 KUH Perdata merupakan bentuk klasik
pertanggung jawaban perdata.
1.5.1.5. Teori Hukum Pembuktian
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam proses Hukum Acara
Pidana. Akan berakibat fatal jia seseorang yang didakwakan melakukan tindak
pidana namun setelah dibuktikan melalui proses pembuktian dipersidangan, ia
tidak terbukti bersalah. Untuk menghindari hal seperti itu Hukum Acara Pidana
bertujuan untuk mencari dan menemukan atau paling tidak agar mendekati
kebenaran materill. Menurut Ansorie Abuan bahwa pembuktian ini adalah
merpakan masalah yang pelik (ingewikkeld) dan justru masalah pembuktian
32
menempati titik sentral dalam Hukum Acara Pidana. Adapun tujuan dari
pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materill, dan
bukan untuk mencari kesalahan seseorang.32
Indonesia menganut teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatif. Pada teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikitnya
dua alat bukti yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan
keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu.33
Bambang Poernomo berpendapat bahwa sistem atau Teori pembuktian
berdasarkan Undang-Undang secara negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie)
bahwa “Sistem pembuktian ini merupakan gabungan antara sistem pembuktian
menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut
keyakinan atau conviction in time.34
Sistem pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif merupakan
keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrem.
Dari hasil penggabungan kedua teori yang saling bertentangan menghasilkan
sistem atau teori pembuktian atas dasar undang-undang secara negatif dengan
rumusannya yang berbunyi “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh
keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang”.
32
Ansorie Abuan, Syarifuddin Fetanase, Ruben Ahmad, 1990, Hukum
Acara Pidana, Angkasa, Bandung, hal. 185. 33
Ibid, hal. 188. 34
Bambang Purnomo, 1986, Hukum Acara Pidana, Pokok-Pokok Tata
Acara Peradilan Pidana Indonesia dalam UU RI Tahun 1981, Liberty, Yogyakarta,
hal. 42.
33
Bertitik tolak dari uraian di atas untuk menentukan salah atau tidaknya
seorang tedakwa menurut sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negative, terdapat dua komponen :
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang
2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang.35
D. Simons yang dikutip Wirjono Prodjodikoro, menyatakan dalam sistem
atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif ini,
pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda yaitu pada peraturan
perundang-undangan, keyakinan hakim dan menurut undang-undang, dasar
keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan perundang-undangan.36
Masih lebih lanjut menurut pendapat D. Simons bahwa teori pmbuktian
berdasarkan undang-undang bermakna dan hanya berlaku untuk keuntungan
terdakwa, tidak dimaksudkan untuk menjurus kepada dipidananya orang yang
tidak bersalah hanya dapat kedang-kadang memaksa dibebaskannya orang
bersalah.37
Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan, “Untuk
Indonesia yang telah menerapkan Teori Pembuktian berdasarkan undang-undang
secara negatif (negatief wettelijke) melalui KUHAP, sebaiknya dipertahankan,
35
Hendrastanto Yudowidagdo, dkk. 1987, Kapita Selekta Hukum Acara
Pidana Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 240. 36
Wirjono Prodjodikoro, 1992, Hukum Acara Pidana di Indonesia,
Sumur, Bandung, hal. 77.. 37
Ibid.
34
berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan
hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan hukuman pidana,
janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim
dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus
dituntut oleh hakim dalam melakukan peradilan.38
1.5.2. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teoritis,
maka dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:
38
Ibid, hal. 78.
35
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
Kewajiban sebagai Saksi
Karena jabatannya untuk menyimpan rahasia,
dapat dibebaskan sebagai saksi
Notaris
Pejabat umum pembuatan Akta
Pemanggilan oleh Penyidik
Fungsi Majelis Kehormatan Notaris Dalam Pemberian Persetujuan Terhadap Penyidik
Bagi Notaris Yang Tersangkut Kasus Pidana Terhadap Akta Yang Dibuatnya
Landasan Teori
Simpulan dan Saran
1. Bagaimana pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian persetujuan bagi
Notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya (ius constitutum)?
2. Bagaimana sebaiknya pengaturan fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam hal pemberian
persetujuan bagi notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya (ius
constituendum)?
Sebagai Saksi Sebagai Tersangka
Pasal 27 UUD
NRITahun 1945
Pasal 112 KUHAP
Pemanggilan notaris harus mendapat izin
Majelis Kehormatan Notaris
(Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris)
Norma kabur Pasal 66:
- Tidak dibatasi fotocopy akta yang boleh diambil diambil penyidik, penuntut umum dan hakim
- Ijin pemanggilan dari Majelis Kehormatan Notaris tidak diperlukan lagi, 30 hari setelah ijin
diajukan.
Tidak perlu ijin
Metode Penelitian
Teori Fungsi Teori Wewenang Teori Tanggungjawab Teori Hk. Pembuktian
Fungsi Majelis Kehormatan Notaris Dalam Pemberian Persetujuan Terhadap Penyidik
Bagi Notaris Yang Tersangkut Kasus Pidana Terhadap Akta Yang Dibuatnya
36
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Sesuai dari adanya norma kabur yaitu norma yang berasal dari Pasal 66
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, maka dalam penelitian ini peneliti
mempergunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum
tertentu yang dalam hal ini adalah permasalahan tentang fungsi Majelis
Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap penyidik bagi Notaris
yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.
Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma
dalam hukum positif.39
Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik
dengan norma-norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau
pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang
otonom, mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.40
1.6.2. Jenis Pendekatan
Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif
akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan
ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta penjelasan
hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif.
39
Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Banyumedia, Malang, hal. 295. 40
Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan
Jurimetri, Alumni, Jakarta, hal 13-14.
37
Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa
pendekatan yaitu :
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).
2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).
3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).
4. Pendekatan Historis (historical approach).
5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).
6. Pendekatan Kasus (case approach).
7. Pendekatan Teleologis.41
Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu
penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih
yang sesuai.
Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep
(conceptual approach) dan Pendekatan Historis (historical approach), mengingat
permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai
fungsi Majelis Kehormatan Notaris dalam pemberian persetujuan terhadap
penyidik bagi Notaris yang tersangkut kasus pidana terhadap akta yang dibuatnya.
Selain kedua pendekatan tersebut, dalam penelitian ini juga digunakan pendekatan
komparatif untuk membandingkan Majelis Pengawas Daerah dengan Majelis
Kehormatan Notaris.
1.6.3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian hukum normatif
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier.42
Bahan hukum tersebut antara lain :
41
Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal. 300-301
38
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang
berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari :
a. UUD NRI Tahun 1945.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432).
d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5491).
e. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Majelis Pengawas Notaris.
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku
teks, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, serta simposium yang
dilakukan para pakar terkait dengan objek kajian penelitian hukum ini.43
3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum, Surat kabar, majalah mingguan, bulletin
dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang
42
Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18. 43
Johny Ibrahim, Op.Cit, hal. 392.
39
memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum
ini.44
1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam pengumpulan bahan hukum ini harus ditegaskan permasalahan
mengenai jenis, sifat dan kategori bahan hukum serta perlakuan terhadap bahan
hukum yang dikumpulkan. Tujuannya agar pengumpulan bahan hukum dan
penganalisaan terhadap bahan hukum dapat sesuai dengan tujuan dari penelitian.45
Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan adalah studi
pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan data sekunder mengenai obyek
penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-prespektif,
dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan data sekunder mengenai objek
penelitian, baik secara konvensional maupun dengan menggunakan teknologi
informasi seperti internet, dan lain-lain.
1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data,
melainkan melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat
kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan
hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara
interpretatif, evaluatif, argumentatif dan deskriptif.
44
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif,
Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14-15. 45 Ibid.
40
a. Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu
hukum seperti penafsiran historis, sistematis. Selanjutnya bahan Hukum
tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif, sistematis dan
argumentatif.
b. Teknik evaluatif yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan,
proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan,baik yang tertera dalam
baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder.
c. Teknik Sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum
atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun
tidak sederajat.
d. Teknik Argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran
hukum.
e. Teknik deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh
gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi
pidananya.46
46
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, 2008, Program Studi
Magister Hukum, Universitas Udayana, hal. 14.
Top Related