1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut keyakinan agama Kristen, Allah pada mulanya menciptakan alam semesta dan
manusia dalam waktu enam hari. Manusia diciptakan segambar dengan Allah, menurut
gambar Allah diciptakan-Nya dia, laki-laki dan perempuan. Allah melihat untuk segala
sesuatu yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah
hari keenam. Tuhan Allah memisahkan terang itu dari gelap, dan Ia menyebutkan terang itu
hari dan gelap itu malam. Tuhan Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri
saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadang dengan dia.”1
Melalui
perkataan Tuhan Allah yang seperti itu maka bisa dipahami bahwa antara laki-laki dan
perempuan sebenarnya sederajat. Perempuan dibuat dari tulang rusuk laki-laki dan bukan dari
tanah seperti halnya hewan (Kejadian 2:19-20). Dunia menganggap bahwa manusia itu terdiri
dari laki-laki dan perempuan, berasal dari daging yang sama yaitu Adam dan Hawa (Kejadian
2:23) dan keduanya bersama-sama mewakili umat manusia.2
Alkitab sebagai kitab suci Agama Kristen memuat tentang keberadaan perempuan dan
laki-laki. Misalnya dalam Jemaat di Korintus terdapat perempuan-perempuan yang bernubuat
dan berdoa. Ada beberapa perempuan yang memiliki kemampuan di Filipi, seperti Lidia
(lihat Kisah para rasul 16) dan Euodia dan Sintikhe (Filipi 4:2). Ada perempuan-perempuan
lain yang disebut dalam Roma 16. Dalam ayat 7 Yunias disebut ”diantara para rasul,” ada
kemungkinan bahwa nama ini adalah nama seorang perempuan. Maria, Trifena dan Trifosa
yang terkenal karena pekerjaannya dan Yulia juga disebut. Disamping itu, janda-janda yang
lebih tua di Efesus didaftarkan bukan hanya untuk menerima bantuan keuangan tetapi juga
1 Alkitab Edisi Studi, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2011), 36-37.
2 F.L. Bakker. Sejarah Kerajaan Allah 1, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, Cet.11.1996 ), 16-22.
2
untuk mengambil bagian dalam pelayanan (1 Timotius 5:9-10). Semua bukti ini memberikan
kesan bahwa Paulus melihat pekerjaan dari perempuan-perempuan Kristen sangat diperlukan
dalam Jemaat Kristen. Meskipun demikian tidak ada kesan bahwa ia mengakui bahwa
seseorang perempuan memegang suatu posisi kewenangan tertentu.3
Rasul Paulus memberi kesan adanya konsep pemahaman yang melarang perempuan
untuk terlibat aktif dalam pelayanan dan ibadah jemaat. Berdasarkan 1 Korintus 14:34-40,
tindakan membatasi kesempatan kepada perempuan untuk terlibat secara aktif dalam
kepemimpinan gereja. Paulus menganjurkan kepada jemaat di Korintus agar kaum
perempuan tidak berbicara dan tidak terlibat pada ibadah jemaat. Ada alasan bahwa kaum
Perempuan tidak diizinkan berbicara ialah karena mereka harus menundukkan diri, seperti
yang dikatakan juga oleh Hukum Taurat. Dalam ayat 21, Rasul Paulus telah mengacu pada
hukum Taurat sebagai keseluruhan Perjanjian lama, dengan menggunakan cara para rabi
dalam mengacu pada Kitab Suci.4 Ternyata anjuran ini sering dijadikan dasar bagi gereja-
gereja untuk membatasi peran dan keterlibatan perempuan hanya dalam bidang pelayanan
tertentu.5
Pemahaman teks yang tidak tepat ternyata sangat menghambat partisipasi secara total
perempuan dalam kehidupan gereja, bahkan merupakan penolakan terhadap diterimanya
perempuan dalam tingkat pengambilan keputusan digereja. Akibatnya, kepemimpinan gereja
lebih banyak dominasi oleh kaum laki-laki sehingga dalam pengambilan keputusan gerejapun
lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Sementara perempuan hanya berperan sebagai
pelaksana-pelaksana keputusan yang dibuat oleh kaum laki-laki.6
3 Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996, cetakan 4), 109-110.
4 V.C. Pfitzner,D.Theol, Kesatuan dalam Kepelbagaian tafsiran atas Surat 1 Korintus, (Jakarta : BPK Gunung
Mulia, 2004, cet 4), 283. 5 Retnowati, Perempuan-perempuan dalam Alkitab, Peran, Partisipasi dan Perjuangan (Jakarta : BPK Gunung
Mulia,cet 1,2002), 80. 6 Retnowati, Perempuan, 80.
3
Pandangan Paulus terhadap perempuan banyak dipengaruhi oleh tradisi Yahudi dengan
sistem patriarkalnya yang kuat. Sehingga dalam kehidupan Paulus hampir tidak ada
kemungkinan menerapkan pemikiran Yesus seperti dalam Galatia 3:26-28 tentang kesamaan
derajat antara laki-laki dengan perempuan. Sistem patriarkal mempunyai kesan adanya
diskriminasi terhadap perempuan.7
Alkitab dan tradisi gereja sering dijadikan dasar atau alasan penyebab terjadinya
permasalahan ketidakseimbangan peran serta tempat antara laki-laki dan perempuan. Tradisi
gereja selama berabad-abad telah menggunakan konsep-konsep Teolog-teolog Barat dan
Timur. Para Teolog Barat dan Timur yang menganut sistem patriarkal membawa pengaruh
yang besar sehingga peran perempuan sangat berbeda dengan laki-laki. Demikian pula dalam
kehidupan masyarakat di pulau Jawa yang menganut sistem patriarkal, Perempuan Jawa
selalu dianggap lebih rendah, lemah dan kurang mampu sehingga gampang dikuasai.
Sedangkan laki-laki mempunyai kedudukan lebih tinggi, sebagai pihak yang menguasai,
karenanya laki-laki lebih banyak mempunyai kesempatan untuk memegang kekuasaan dan
kepemimpinan. Konsep inilah yang sering dan masih mempengaruhi cara dan pola berpikir
Gereja Kristen Jawa di jaman ini.8
Penulis yang lahir, hidup, hadir dan melayani di Gereja Kristen Jawa, merasakan begitu
besar dampak dari sistem patriarkal ini. Kehidupan warga Gereja Kristen Jawa yang tidak
bisa di lepaskan dari pengaruh budaya Jawa dengan Patriarkalnya.9 Dalam budaya Patriarkal,
laki-lakilah yang selalu mendominasi dan memegang kendali kehidupan. Budaya patriarkal
akan terasa pengaruhnya apabila semakin mengenal dalam kehidupan masyarakat yang
budaya Jawa. Kebudayaan Jawa telah tua umurnya, sepanjang orang Jawa ada di Pulau Jawa
7 Retnowati, “Perempuan,” 82.
8 Retnowati, Perempuan,” 79.
9 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Ketiga, 2005), 837. (pat.ri.ar.kat [n] sistem
pengelompokan sosial yg sangat mementingkan garis turunan bapak)
4
yaitu mulai pertengahan abad 3 ZB. Orang Jawa (Pithecanthropus erectus) yang sudah
ratusan ribu tahun telah menempati dibumi Sangiran (sekarang masuk wilayah Sragen), oleh
para sarjana dunia disebut sebagai manusia yang tertua didunia. Menurut para ahli arkeologi,
orang Jawa sudah mengerti tentang tata cara beribadah menurut keadaan dan situasi pada
waktu itu.10
Sedangkan yang dimaksud dengan Budaya Jawa adalah pancaran atau
pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun
semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin.11
Adapun ciri-ciri utama budaya Jawa selalu bersifat religius, non-doktriner, toleran,
akomodatif, dan optimistik. Religius artinya orang Jawa percaya kepada Tuhan sebagai
sangkan paraning dumadi dengan segala sifat dan kebesarannya. Non doktriner berarti
sebagai sifat yang lebih menghargai kebebasan atau bisa juga diartikan sebagai sifat yang
demokratis. Sifat toleran budaya Jawa dalam hal ini bisa kita kaitkan dengan sifat budaya
Jawa yang lain yaitu akomodatif, karena bisa dikatakan sikap akomodatif merupakan sikap
lanjutan dari sebuah toleransi. Optimistik berarti sebagai sikap yang dilandasi pandangan
positif dalam menghadapi segala hal. Kesemuanya itu melahirkan corak, sifat dan
kecenderungan yang khas bagi orang Jawa.12
Pengaruh budaya patriarkal dalam kehidupan orang Jawa sungguh sangat mendalam
dan berakar. Orang Jawa sudah ditakdirkan untuk bertemu dengan bangsa lain. Seperti
Bangsa India yang datang ke Jawa dengan membawa agama Hindu dan Budha, bangsa Cina
yang mengungsi ke pulau Jawa dengan membawa agama Khong Hu Cu. Orang Arab dan
sebagian orang Timur Tengah datang membawa agama Islam. Demikian pula dengan bangsa
10
Soetomo Siswokartono, WE, Filsafat Jawa (Semarang: Yayasan Studi Basa Jawa “Kanthil”, 2010), 9. 11
Suwardi Endraswara, Buku Pinter Budaya Jawa Mutiara Adiluhung Orang Jawa (Yogyakarta: Gelombang
Pasang, 2005), 1. 12
Sujamto, Refleksi Budaya Jawa,dalam Pemerintahan dan Pembangunan (Semarang: Dahara Prize,1997),143-
144.
5
Barat yang semula datang hanya untuk berdagang, lalu karena mempunyai sifat yang serakah
maka selanjutnya menjadi penjajah. Bangsa Barat kecuali membawa kebudayaan, juga
membawa agama Nasrani (Protestan). Pertemuan dari berbagai bangsa dan budaya inilah
yang mempengaruhi adanya kontak budaya.13
Misalnya secara konsep menganggap bahwa
laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki adalah penulis sejarah kebudayaan Jawa
yang tentu akan terus mempertahankan nilai kelaki-lakiannya. Kebudayaan Jawa
menempatkan perempuan sebagai the second sex yang bahkan tercermin dalam ungkapan-
ungkapan proverbial yang sangat mengunggulkan laki-laki. Hal ini didukung dengan
ungkapan swargo nunut, neraka katut, yang berarti kebahagiaan atau penderitaan istri hanya
tergantung kepada laki-laki, adalah contoh perempuan tidak berperanan dalam kehidupan.14
Dalam paham “patriarki” yang terdapat didalam masyarakat yang berpola tradisional
dijumpai suatu keadaaan tentang adanya” ketidaksetaraan gender” antara laki-laki dan
perempuan.15
Dalam kebudayaan Jawa, selama ini dikenal ada mitos peran bagi kaum
perempuan yaitu ma-telu: masak (memasak), macak (berhias), dan manak (melahirkan).16
Berdasarkan budaya patriarkal yang sudah mendarah daging dalam hidup orang Jawa,
peranan perempuan menjadi sangat kecil. Misalnya, dalam kehidupan bergereja, sejak
berdirinya Gereja Kristen Jawa (GKJ) pada tahun 1931-1964, perempuan belum ada yang
berperan menjadi Penatua, Diaken atau bahkan Pendeta. Hal ini disebabkan karena adanya
peraturan yang diputuskan dalam aras Sinodal dan dijadikan pedoman hidup bergereja,
misalnya :17
Pitakenan (Akta I / 1949. Art. 31):
Punapa tiyang estri kenging kacalonaken dados warga pradata?
Wangsulanipun :
13
Siswokartono,WE, Filsafat, 6-7. 14
Ridjal,Fauzie, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1993), 50. 15
Pusat Studi Budaya Jawa Progdi Pendidikan Sejarah FKIP UKSW, Pernik-Pernik Budaya Jawa(2006), 4. 16
Monografi Lembaga Studi Realino-9,Perempuan dan Politik tubuh Fantasis (Yogyakarta: Kanisius,1998), 24. 17
Himpunan Pokok-pokok Akta Sinode GKJ, No 2, dihimpun oleh Siwandargo (Salatiga: Kantor Sinode
Gereja- gereja Kristen Jawa (1976), 205-206.
6
Mboten.
Pitakenan (Akta V/1956. Art. 75. Tiyang estri nglenggahi kalenggahan)
Tiyang estri ingkang karana kawontenan nglenggahi kalenggahan ing pasamuan
punapa kenging?
Wangsulanipun : boten kenging.
Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia
Pertanyaan (Akta I/1949. Art.31):
Apakah perempuan boleh dicalonkan menjadi anggota Majelis?
Jawanannya: tidak boleh.
Pertanyaan (Akta V/1956. Art.75) tentang perempuan yang menjadi Majelis.
Seorang perempuan yang karena keadaan tertentu, apakah boleh menduduki jabatan
sebagai Majelis?
Jawabannya: tidak boleh.
Dalam perjalanan waktu, tepatnya delapan tahun kemudian (terhitung sejak 1964 dalam
Sidang Sinode GKJ), dimunculkan lagi usulan yang berkenaan dengan peran perempuan
dalam jabatan gerejawi. Selanjutnya Sidang menyetujui bahwa perempuan diperbolehkan
memegang jabatan gerejawi, baik sebagai pendeta, penatua maupun sebagai diaken. Adapun
pelaksanaanya diserahkan kepada Majelis Jemaat setempat supaya mempertimbangkan
dengan penuh kebijaksanaan, apakah hal itu bermanfaat bagi Jemaat yang bersangkutan atau
tidak.18
Berdasarkan keputusan Sidang Sinode GKJ yang disebutkan diatas maka secara resmi
GKJ telah membuka kesempatan bagi para perempuan untuk mengambil bagian di bidang
pemerintahan gereja, tetapi didalam praktek rupanya masih dijumpai banyak kendala dan
kesulitan. Perbedaan partisipasi laki-laki dan perempuan tersebut cukup banyak dan
kompleks, namun disini akan dicatat dua penyebab utama yang menonjol. Pertama, Gereja
Kristen Jawa adalah gereja suku, jelas sedikit banyak ada nilai-nilai tertentu didalam
kebudayaan dan tradisi Jawa mengenai citra perempuan dan kaitannya dengan kedudukan,
peranannya merembet dan mempengaruhi sikap serta perlakuan gereja terhadap perempuan.
Kedua, Pengaruh pemahaman Alkitab, khususnya pemahaman yang kurang menguntungkan
18
Himpunan Pokok-pokok Akta Sinode GKJ, 205-206.
7
bagi perempuan, yang pada dasarnya berakar kepada cara berpikir, sistim kemasyarakatan
dan cara berteologi yang bercorak patriarkal.19
Sejak ada Keputusan tidak ada larangan perempuan untuk menduduki jabatan dalam
pemerintahan gereja, termuat dalam Akta IX Sidang Sinode GKJ 1964 artikel 50 tentang
Perempuan dalam jabatan. Dalam keputusan Nomor 2. Ada pendapat yang muncul dalam
sidang seksi mengatakan bahwa tidak ada larangan ataupun keharusan tentang perempuan
yang menjabat jabatan di dalam Gereja Kristen Jawa sebagai Pendeta, Penatua, Diaken.20
Berpijak kepada keputusan Sidang Sinode tersebut, seharusnya Gereja Kristen Jawa
terus mengalami pencerahan dalam tugas pelayanan yang dilakukan oleh kaum perempuan.
Misalnya, tidak harus berkiblat kepada teolog-teolog Barat dalam menafsirkan ayat-ayat yang
ada dalam 1 Korintus 14:34-40.21
Keputusan sidang Sinode tersebut, ternyata belum bisa
dirasakan oleh kaum perempuan karena masih adanya pengaruh budaya Jawa yang sangat
kuat. Kemungkinan dengan adanya pemahaman yang baru tentang hal tersebu, diharapkan
Pejabat Gereja akan bisa mengambil sikap dengan tepat. Semuanya tentu sangat berkaitan
erat dengan budaya patriarkal, di mana hanya laki-lakilah yang boleh mengambil keputusan
dan mempunyai jabatan dalam kehidupan bergereja.
Sepanjang perjalanan perkembangan GKJ yaitu sejak 1931, Sinode GKJ baru
mempunyai Pendeta perempuan pada tahun 90-an yaitu dalam diri Pdt. Widdwissoeli, S.Th
(di tahbiskan sebagai pendeta di GKJ Samirono Baru Yogyakarta, 5 Februari 1991). 22
Sampai
tahun 2012, jumlah Pendeta se-Sinode GKJ: 316 orang, yang terdiri dari Pendeta Laki-laki:
19
Dien Sumiyatiningsih,Kedudukan dan peranan wanita dalam pemerintahan gerejawi dilingkungan gereja
Kristen Jawa (Salatiga: Skripsi S1 UKSW,1979), 4-5 20
Himpunan Pokok2 Akta Sinode GKJ, 205-206 21
V.C. Pfitzner,D.Theol, Kesatuan dalam Kepelbagaian tafsiran atas Surat 1 Korintus (Jakarta: Gunung Mulia,
cet 4, 2004), 282. 22
Widdwissoeli M.Soleh, Hari Raya & Simbol Gerejawi (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen,2008),143-144.
8
287 dan Pendeta Perempuan: 29.23
Berdasarkan data tersebut, Pendeta perempuan yang
terpanggil berperan dalam pelayanan di GKJ masih sangat kecil yaitu hanya sekitar 10,5 %.
Prosentasi 10,5 % ini didapat dari 29/287 X100%. Padahal jumlah jemaat GKJ (baca warga
gereja) ada 218.822 orang dengan 321 gereja dewasa. Maka berdasarkan data tersebut, jelas
keberadaan Pendeta perempuan di GKJ sangat tidak terwakili. Ini membuktikan bahwa
budaya patriarkal tetap dan masih mencengkeram warga perempuan Gereja Kristen Jawa
untuk menduduki posisi sebagai pejabat penting gerejawi. Kita tidak bisa menutup mata akan
pengaruh yang begitu kuat dari tradisi budaya Jawa dan budaya patriarkal dalam Alkitab.
Tradisi Alkitab yang patriarkal hampir sama dengan budaya Jawa dalam kehidupan Gereja
Kristen Jawa. Ini bisa dipahami, ketika warga Gereja Kristen Jawa menerapkan ayat-ayat
Alkitab secara teks apa adanya. Sehingga peran warga perempuan Gereja Kristen Jawa belum
maksimal dengan alasan budaya patriarkal. Masyarakat Jawa umumnya berhasil
menempatkan patriarkal, dengan menonjolkan peranan dominan umum laki-laki. Sedangkan
perempuan ditempatkan pada peran yang kurang penting.24
Menurut pandangan Rosaldo Zimbalist yang menyimpulkan pengamatan dari berbagai
kebudayaaan manusia, memang hampir merupakan gejala umum bahwa citra perempuan
selalu diketengahkan berfungsi sebagai ibu, menjadi fungsi mata rantai reproduksi. Berkaitan
dengan citra tersebut peranan perempuan dibatasi, terutama dalam urusan-urusan domestik,
yaitu urusan yang berkaitan dengan kehidupannya didalam rumah tangga, yang berkaitan
ikatan ibu dengan anak-anaknya serta peranannya sebagai isteri; hampir tidak ada atau sedikit
sekali memberikan alokasi peran dalam urusan publik. Itulah gagasan-gagasan utama
23
Webside Sinode Gereja Kristen Jawa 2015 24
Pusat Studi Budaya Jawa, Pernik-Pernik Budaya Jawa, (Salatiga: UKSW, 2006), 5.
9
mengenai citra perempuan, sehubungan dengan citra demikian berkembanglah aturan-aturan
adat-istiadat yang mendukung citra tersebut.25
Menurut, Arief Budiman dalam pembahasannya mengenai pembagian kerja secara
seksual mengetengahkan bahwa fenomena yang ada adalah terbentuk oleh lingkungan/
“nurture “ dan bukan karena kodrat manusia / ”nature “. 26
Munculnya teori ini membuktikan
bahwa memang ada perbedaan pandangan mengenai kehidupan dan keberadaan perempuan
dalam masyarakat. Pengertian tentang kodrat perempuan masih berbeda, baik kalangan laki-
laki maupun kalangan perempuan sendiri. Pengertian tentang kodrat ini perlu mendapat
perhatian khusus mengingat kodrat mengandung pengertian yang tidak dapat diubah.27
Teori nature adalah teori yang mengandaikan bahwa peran laki-laki dan perempuan,
merupakan peran yang telah digariskan oleh alam. Munculnya teori ini, bisa dikatakan
diilhami oleh sejumlah teori filsafat sejak era kuno. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno
misalnya, dinyatakan bahwa alam dikonseptualisasikan dalam pertentangan kosmik yang
kembar, misalnya: siang malam, baik buruk, kesinambungan-perubahan, terbatas-tanpa batas,
basah-kering, tunggal-ganda, terang-gelap, akal-perasaan, jiwa-raga, laki-perempuan, dan
seterusnya. Dengan demikian, ada dua entitas yang selalu berlawanan, yang berada pada titik
eksistensial yang asimetris dan tidak berimbang. Dalam hal ini, kelompok pertama selalu
dikonotasikan secara positif dan dikaitkan dengan laki-laki, sementara kelompok kedua
berkonotasi negatif yang selalu dikaitkan dengan perempuan.28
Pada umumnya tugas
perempuan adalah untuk mengurus urusan domestik, sifat keibuan dinilai yang sangat tinggi,
25
Michelle Zimbalist Rosaldo, Women, Culture and Society (California : Stanford University Press,1974),17-41 26
Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual (Jakarta: Gramedia, 1982), 2-5. 27
Lembaga Studi Realino, Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa) (Yogyakarta: Kanisius, Cetakan Pertama,1992),
21. 28
Hidle Hein, “Liberating Philisophy: An End to the Dichotomy of Spirit and Matter,” eds. dalam Ann Gary dan
Marlyn Persall, Women, Knowledge and Reality (London: Unwin Hyman, 1989), 294.
10
sehingga nasib perempuan berada dalam perlindungan laki-laki dan janda adalah buruk
sekali.29
Berdasarkan pemahaman yang seperti itu, maka perlu merekontruksi pemahaman ayat
Alkitab yang ada pada 1 Korintus 14:34-40. Menurut Sugirtharajah, Studi Poskolonial adalah
strategi pembacaan teks dari perspektif orang yang mengalami penjajahan dan dampak dari
penjajahan yang sampai sekarang masih tetap berlangsung dan sangat peduli dengan identitas
diri agar dapat memberikan alternative pemahaman yang barangkali merupakan perlawanan
dari pemahaman-pemahaman yang didiktekan dari konteks yang berbeda. Studi poskolonial
diharapkan mampu untuk membantu mengadakan perubahan itu. Studi Poskolonial mendapat
perhatian dengan cepat sebagai bagian dari kategori studi kritis yang menyangkut suara dari
orang-orang minoritas dan tenggelam, diabaikan dan ditekan dalam sejarah dan narasi-narasi.
Untuk mengangkat dan menghadirkan suara-suara kaum minoritas dan terabaikan yang telah
hilang dalam sejarah. Poskolonial adalah teori yang memberikan kebebasan penafsir untuk
mendekati teks-teks dari perspektif penafsir dalam konteks pengalaman sebagai orang yang
mengalami kolonisasi bangsa-bangsa barat dan dampak yang masih dirasakan sampai saat
ini.30
Keterlibatan konteks melibatkan pengalaman pribadi, sosial, budaya dan politik.
Dengan demikian diharapkan akan muncul asumsi-asumsi yang mendobrak “penjajahan” dan
menata hidup dalam kemerdekaan yang sesungguhnya.31
29
Tugas wanita untuk mengurusi domestic: Kej 18:16, Kel 2 : 16f, 1 Sam 8: 13, 6: 1, Rut 2:2jf, Kid Ag 1 :8
Sifat2 keibuan: kej 12: 16, II Sam 21:10, I Raja-raja 3 : 26, Keadan para janda / yang tanpa perlindungan laki-
laki, Bil 27, Ul 24:17,27:19, Yer 22:3 band Kel 22 :21. 30
Yusak B Setyawan, “Tuhan Yesus Kristus” sebagai Diskursus Politik : suatu Perspektif poskolonial terhadap
Pernyataan Yesus Kritus dalam Kitab Efesus, Waskita Jurnal Studi Agama dan Masyarakat ( Salatiga: Fakultas
Teologi UKSW,2012), 3. 31
Yusak B Setyawan, “Poskolonial Hermeneutic” Buku Ajar ( Salatiga: Fakultas Teologi UKSW,2014), 7.
11
1.2. Batasan Masalah
Dalam penulisan tesis ini akan dibatasi hanya kepada :
1. Teks 1 Korintus 14: 34-40.32
2. Perempuan warga gereja Gereja Kristen Jawa di kota Semarang yang menunjuk
perempuan sebagai warga dewasa atau Sidi.33
3. Lingkungan GKJ: menunjuk kepada batasan dari sekelompok orang yang menjadi
warga Gereja Kristen Jawa di kota Semarang.
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis dapat melakukan perumusan masalah
dalam penulisan ini adalah Bagaimana rekontruksi terhadap identitas perempuan dalam 1
Korintus 14: 34-40 dari perspektif Poskolonial Perempuan Jawa?
1.4. Tujuan Penulisan
Untuk menjawab rumusan permasalahan diatas, maka tujuan penulisan tesis ini adalah
Melakukan rekontruksi pengalaman identitas perempuan dalam 1 Korintus 14: 34-40 dari
perspektif Pengalaman Perempuan Jawa.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat teoritis: memberi kontribusi bagi lembaga akademik (UKSW) dalam
menganalisis dan menyikapi mengenai penerapan konsistensi diri dalam pelayanan.
1.5.2. Manfaat praktis:
1.5.2.1. Bagi Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa dapat digunakan sebagai bahan kebijakan
dalam menentukan arah pelayanan ke depan.
1.5.2.2. Bagi para Pendeta Gereja-gereja Kristen Jawa, dapat menolong membuka wawasan
tentang Identitas perempuan Kristen Jawa.
32
Alkitab Edisi Studi,1884 33
Tata Gereja dan Tata Laksana Sinode Gereja Kristen Jawa, Salatiga,2005,Pasal 6.Tentang Warga Gereja, 9.
12
1.5.2.3. Bagi Jemaat, dapat memahami kehadiran Pendeta perempuan.
1.5.2.4. Sebagai sumber referensi bagi peneliti selanjutnya yang tertarik meneliti
permasalahan yang sama, sehingga diharapkan dapat menyempurnakan hasil
temuan yang lebih bervariatif sehingga akan semakin mendekati kebenaran teoritis.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1.Pendekatan Penelitian
Hermeneutik poskolonial merupakan Interpretasi yang memahami teks dengan
melibatkan konteks. Keterlibatan konteks berarti melibatkan pengalaman pribadi, sosial,
budaya dan politik. Dengan demikian interpretasi terhadap teks tidak muncul dalam situasi
terisolir tetapi berada dalam konteks kongkrit dimana penafsir berada dan bergulat dengan
persoalan-persoalan komunitasnya.34
Hermeneutik Poskolonial yang berhubungan dengan
pembelajaran Alkitab ialah untuk menempatkan situasi kolonialisme di tengah Alkitab dan
interpretasi Alkitab. Apa yang kita temukan pada segi sejarah dan naskah hermeneutik dari
pengetahuan tentang Alkitab lebih dari empat ratus tahun adalah dampak dari reformasi atau
reformasi balasan atau efeknya dari pergerakan filosof Eropa pada abad 18 dan membentuk
disiplin oleh pemikiran rasionalis atau sesuatu yang berkembang, kritik sejarah. Namun
terdapat keengganan yang sangat luar biasa untuk menyebutkan imperialisme sebagai
pembentuk garis batas pengetahuan tentang Alkitab. Apa yang dilakukan oleh kritik
Poskolonial dalam Alkitab terfokus pada keseluruhan isu mengenai perluasan, dominasi dan
imperalisme sebagai pusat kekuatan dalam mendefinisikan antara narasi Alkitab dan
interpretasi Alkitab.35
34
Setyawan, “Poskolonial Hermeneutic” 22. 35
R.S, Sugirtharajah, Postcolonial Criticism, 26.
13
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk
mendiskripsikan kesatuan-kesatuan dari variabel-variabel yang ingin diteliti. Metode ini
digunakan agar penulis dapat memusatkan perhatian dan menganalisa pada masalah-masalah
yang diteliti.36
Yang ditekankan dari metode ini adalah bahwa apa yang diteliti adalah subjek dan
peneliti harus mengandalkan tentang apa yang hidup pada yang diamati. Interpretasi harus
dilakukan pada akhir pengamatan dan sesudah melalui konten analisis dari semua gejala yang
diamati. Pendekatan kualitatif menekankan kepada cara pikir yang lebih positivistis yang
bertitik tolak dari fakta sosial yang ditarik dari relalitas objektif.37
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data
1.6.2.1. Studi Kepustakaan
Teknik pengumpulan data melalui Studi Pustaka adalah upaya untuk mengumpulkan
berbagai informasi tertulis guna menjawab persoalan pada rumusan dan tujuan masalah serta
penyusunan kerangka teoritis.38
1.6.2.2.Diperkuat dengan melakukan wawancara
Melakukan wawancara tentang identitas Perempuan Jawa kepada para tokoh
Perempuan Jawa yang ada di Gereja Kristen Jawa Kota Semarang. Wawancara ialah tanya
jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung. Pewawancara disebut intervieuwer,
sedangkan orang yang mewancarai disebut interviewer.39
Sedangkan Wawancara adalah
suatu cara untuk mengambil data melalui tatap muka secara langsung dengan orang atau
pihak yang dapat memberikan informasi kepada peneliti. Informannya adalah tokoh
perempuan Gereja Kristen Jawa yang sudah menjadi warga dewasa. Jumlah informan yang
dikunjungi berjumlah 24 perempuan. Wawancara tersebut bertujuan untuk mendapatkan
36
Hari H. Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1983), 63. 37
Dr. Lexy J. Moleong, Metode Penellitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), V. 38
J. D. Engel, Metodologi Penellitian Sosial dan Teologi Kristen (Salatiga: Widya Sari Press,2005), 32. 39
Husaini usman & Purnomo Setiady Akbar” Metodologi Penelitian Sosial,” (Bumi Aksara,cet 1,Mei 1996, 57-
58; Cet 2, April 2008), 55.
14
keterangan tentang masalah yang diteliti, melalui percakapan tatap muka. Wawancara yang
dipakai adalah wawancara mendalam (indepth interview). Tipe wawancara mendalam ini
bersifat terbuka demi memperoleh informasi yang kaya, bervariasi dan mendalam dari orang-
orang yang kompeten dalam bidang yang diteliti mengenai pandangan, informasi, keterangan
mereka.40
Deskriptif kualitatif adalah pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi
partisipasif, wawancara, studi pustaka yang berupa buku-buku, makalah, atau artikel yang
berkaitan dengan masalah penelitian.
1.6.2.3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di kalangan Gereja Kristen Jawa baik melalui kantor Sinode GKJ
maupun tokoh-tokoh pemikir yang kompeten di GKJ secara khusus di Kota Semarang.
Waktu penelitian dilakukan pada bulan September 2013-Februari 2014.
1.7. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini akan disajikan dalam suatu sistematika sebagai berikut. Pertama,
Bab I pendahuluan yang berisi uraian mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah,
rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Dalam
bagian yang kedua, bab ini berisi Perspektif Perempuan Jawa Tentang Identitas Perempuan.
Sedangkan bagian yang ketiga, bab ini berisi Konteks Sosio Politik 1 Korintus. Keempat,
berisi analisa kritis terhadap penafsiran atau pemahaman ulang 1 Korintus 14:33-40 dari
perspektif perempuan Jawa. Akhirnya, Penutup dan Kesimpulan, Refleksi Teologis serta
Rekomendasi.
40
Bruce L. Berg, Qualitative Research Methods: For The Social Sciences (Messachusetts: Needham Heights,
1989), 16-17.
Top Related