1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini kehidupan sosial dan budaya sehari-hari masyarakat Bali
tergantung pada sektor pariwisata, dan dunia pariwisata telah mengubah kondisi
Bali, juga pola pikir masyarakat setempat. Bali sebagai tujuan wisata unggulan di
Indonesia karena memiliki berbagai potensi kebudayaan. Keunikan budaya Bali
dan keindahan alam Bali, juga tampaknya menjadi daya tarik yang paling
dominan dalam perkembangan kepariwisataan di Bali (Ardika, 2007: 28).
Pengaruh keberhasilan dari dunia pariwisata telah membawa kehidupan sosial
dan budaya masyarakat lokal mengalami perubahan yang sangat cepat,
menjadikannya komoditi utama dalam perekonomian untuk mencapai
kesejahteraan, meningkatkan devisa negara, bertambahnya pendapatan daerah
Bali, dan tanpa disadari telah mempengaruhi sektor kebutuhan lainnya.
Pariwisata adalah salah satu fenomena kebudayaan global yang dipandang
sebagai suatu sistem, dan pariwisata budaya yang dikembangkan di Bali
tampaknya selaras dengan kecenderungan pariwisata global yang terus
berkembang mempengaruhi kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat
setempat (Ardika, 2007: 29). Globalisasi bukan sekedar hegemoni Barat,
globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan
global yang semakin tinggi intensitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang selama
ini digunakan sebagai acuan atau panutan oleh masyarakat pendukungnya tidak
jarang telah mengalami perubahan karena nilai-nilai budaya global dengan
2
kemajuan teknologi informasi yang semakin mempercepat proses perubahan
tersebut.
Menurut Leiper pariwisata terdiri atas tiga komponen: (1) wisatawan
(tourist), (2) elemen geograpi (geographical elements), dan (3) industri pariwisata
(tourism industrial) (Cooper, dkk. dalam Ardika, 2007: 29). Pariwisata sebagai
industri yang paling besar dan berkembang tercepat di dunia maka hal ini akan
menimbulkan tekanan terhadap lingkungan, sosial dan budaya masyarakat lokal
yang biasanya digunakan untuk mendukung pariwisata tersebut. Kawasan pesisir
merupakan daerah pertama yang terkena dampak pariwisata sehingga cepat
mengalami perubahan akibat gaya pariwisata global. Industri pariwisata di era
global cenderung meningkat dan menjadi katalisator dalam pembangunan
nasional karena mendukung peningkatan perekonomian masyarakat dan devisa
negara. Perkembangan industri pariwisata berpengaruh positif juga dapat
berdampak negatif yang perlu diwaspadai oleh masyarakat (Sirtha, 2007: 62).
Wisatawan global cenderung mencari pengalaman tentang sesuatu yang
otentik atau asli, termasuk benda cagar budaya. Benda cagar budaya merupakan
hasil adaptasi manusia terhadap lingkungan yang mempunyai berbagai nilai, baik
nilai historis, arkeologis, seni, religius, maupun nilai ekonomis (Wiguna, 2002:
163). Mengingat pentingnya nilai tersebut dan dapat berpengaruh terhadap
kehidupan manusia, maka apa pun bentuknya benda cagar budaya itu harus
dilestarikan agar terhindar dari bahaya kemusnahan. Perkembangan pariwisata
global saat ini merupakan peluang benda cagar budaya sebagai daya tarik wisata
budaya yang dikembangkan di Bali, dan telah dirasakan manfaatnya oleh
3
masyarakat, namun, jika pengelolaan dan pemanfaatanya tidak terkendali, industri
pariwisata dapat menjadi ancaman yang sangat berbahaya bagi kelestarian nilai-
nilai budaya tersebut (Sirtha, 2007: 62-63).
Bali sebagai daerah tujuan wisata memiliki warisan cagar budaya yang
relatif banyak yaitu benda/bangunan cagar budaya dari masa klasik Hindu dan
Budha. Salah satunya adalah “Pura Petitenget” yang berlokasi di Banjar Batu
Belig, di depan pantai Petitenget, berada di Desa Adat Kerobokan, di wilayah
Kecamatan Kuta Utara, Badung. Pura ini memiliki riwayat yang panjang dan
unik, pura tua yang dirawat secara baik dan bersih ini selain sebagai tempat
persembahyangan, juga sebagai bangunan cagar budaya yang dijaga dan
dilestarikan. Pura Petitenget merupakan salah satu pura dang kahyangan yang
disucikan. Pura Dang Khayangan merupakan tempat pemujaan terhadap jasa
seorang pandita atau guru suci yang telah memberikan ajaran agama kepada
umatnya (Suadnyana, 2010: vi). Pura Dang Kahyangan termasuk dalam
klasifikasi pura umum, sebagai pura yang tergolong umum dapat dipuja oleh
seluruh umat Hindu sehingga sering disebut kahyangan jagat. Pura Kahyangan
Jagat sesuai arti harafiahnya, adalah pura yang universal atau umum, artinya
seluruh umat ciptaan Tuhan sejagat boleh bersembahyang di pura tersebut untuk
memohon keselamatan/kerahayuan, kesejahteraan, dan keteduhan jagat semesta
(Suadnyana, 2010: vii).
Pemanfaatan dan pengelolaan pariwisata budaya ibarat pisau bermata dua
yang mempunyai dua sisi yang berbeda, dapat menimbulkan dampak positif dan
dampak negatif. Dampak positif; lestarinya benda cagar budaya, memberikan
4
keuntungan ekonomi kepada masyarakat lokal/setempat. Sedangkan dampak
negatif; rusak/hancurnya benda cagar budaya, terjadinya komersialisasi benda
cagar budaya (Ardika, 2007: XI). Faktor yang sangat berpengaruh terhadap benda
cagar budaya ialah kondisi lingkungan alam dan lingkungan manusia, maka
perkembangan industri pariwisata global yang sangat cepat dan tidak terkendali,
di dukung kondisi lingkungan semacam ini dapat berpengaruh positif dan negatif
terhadap benda cagar budaya tersebut, sekaligus menjadi ancaman yang sangat
membahayakan terutama apabila terjadi proses akulturasi antara budaya
masyarakat lokal dan budaya wisatawan akibat dari kesalahan pemanfaatan dan
pengelolaan pariwisata budaya tersebut (Ardika, 2007: 48).
Dalam aspek budaya terjadi komersialisasi nilai budaya dan pergeseran
nilai budaya dari sakral menuju profan. Apabila nilai budaya masyarakat telah
merosot, maka masyarakat akan kehilangan kepribadiannya. Bahkan kemerosotan
nilai budaya masyarakat menyebabkan pengembangan pariwisata budaya akan
terancam. Karena luasnya pengaruh globalisasi dalam pariwisata, akan
berpengaruh terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial dan budaya, maka
kebijakan pembangunan pariwisata seharusnya tidak hanya untuk mendapatkan
keuntungan pada aspek ekonomi tetapi juga harus ada upaya pengembangan dan
pelestarian lingkungan hidup (tangible) maupun lingkungan sosial dan budaya
(intangible) demi terwujudnya lingkungan yang lestari (Sirtha, 2007: 63).
Dari hasil penelitian yang ada terkait dengan Pura Petitenget sebelumnya
hanya mengungkapkan secara umum tentang keberadaan dan sejarah berdirinya
Pura Petitenget yang unik tersebut. Dalam penelitian ini, penulis menemukan
5
adanya pergeseran nilai dan makna, dulu dan sekarang. Pada awal berdirinya,
Pura Petitenget merupakan pura yang sakral, penuh dengan “religio-magis”
karena riwayat sejarahnya yang panjang dan unik, dan penyungsung pura ini
selalu menjaga kesucian pura tersebut tetap dalam nilai-nilai kesakralannya
sebagai sebuah pura dang kahyangan tempat memohon keselamatan dan
kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya. Saat ini sebagai warisan budaya
mengalami pergeseran nilai dan makna yang terkandung di dalamnya. Hal ini
dapat dilihat dari pemanfaatan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya
dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali, yang telah membuat ketertarikan
wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke pura tersebut. Secara sadar atau
tidak, pada akhirnya membawa berbagai macam persoalan budaya global yang
terkait untuk masuk di dalamnya. Persoalan yang ditemukan di lapangan yakni, di
daerah sekitar Pura Petitenget saat ini sudah banyak dibangun dan dikelilingi oleh
fasilitas-fasilitas sarana dan prasarana penunjang pariwisata, dan wisatawan yang
berkunjung ke dalam Pura Petitenget dapat leluasa masuk hingga ke areal
halaman tersuci (jeroan) dari pura ini, yang seharusnya hanya digunakan sebagai
tempat persembahyangan, dan radius kesucian Pura Petitenget, baik di dalam
maupun di luar pura, seharusnya tetap terjaga dan terpelihara, tetapi saat ini sudah
mengalami perubahan karena dampak dari perkembangan pariwisata Bali.
Persoalan-persoalan di atas telah menyebabkan kesakralan Pura Petitenget
dalam konteks pariwisata budaya di Bali tidak lagi sebagaimana pada awal
mulanya dibangun, tetapi saat ini telah terjadi profanisasi makna dan nilai asli
yang terkandung di dalamnya. Di mana komersialisasi tempat suci dapat
6
mengakibatkan menurunnya nilai-nilai religiusitas/kesakralan tempat suci tersebut
akibat industri pariwisata Bali. Masyarakat lokal sebagai pewaris dan pemilik
budaya seringkali tidak memahami makna yang terkandung di dalam sumber daya
budaya yang dimilikinya. Kesakralan suatu pura harus tetap dipelihara dan dijaga
untuk keberadaan kesucian pura tersebut. Dengan adanya konsepsi tentang
kesucian pura yang harus terjaga dan terpelihara kesakralannya, baik di dalam
maupun di luar pura, maka Pura Petitenget seharusnya tetap sakral (suci), baik di
dalam maupun di luar pura itu sendiri, dan sebagai tempat suci bagi umat Hindu
dalam menjalankan ajaran agamanya, di samping sebagai warisan benda cagar
budaya (living monument).
Dalam Peraturan Daerah Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Bali Tahun 2009 – 2029 yang mengacu
kepada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Radius Kesucian Pura
(Sempadan Kesucian Pura) sesuai Bhisama PHDI adalah; 5 (lima) kilometer
untuk sepuluh (10) pura berstatus Sad Kahyangan, dan 2 (dua) kilometer untuk
puluhan pura berstatus Dang Kahyangan. Dalam radius tersebut tidak dibolehkan
membangun apapun, termasuk fasilitas hiburan dan pariwisata. Kemudian
dipertegaskan lagi dalam Keputusan Bupati Badung Nomor 637 Tahun 2003
Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kuta Utara menyebutkan :
Pasal 9
Kawasan Limitasi merupakan kawasan yang tidak dapatdikembangkan sama sekali yang memiliki ratio tutupan lahan samadengan 0% sehingga tidak boleh ada bangunan di dalam kawasan ini.Kawasan Limitasi yang ditetapkan adalah :
7
a. Kawasan Suci merupakan kawasan yang dipandang memiliki nilaikesucian oleh umat Hindu di Bali. Kawasan suci diantaranyapantai, campuhan (pertemuan sungai), mata air (beji), catuspatha/pempatan agung dan setra/kuburan Hindu.Lokasi kawasan suci tersebut diantaranya di Pantai Canggu danPantai dekat Pura Petitenget.
b. Kawasan Radius Kesucian Pura berpedoman pada KeputusanPHDI Pusat Nomor 11/Kep/I/PHDIP/1994 tentang BhisamaKesucian Pura yang terdiri atas Apaneleng Agung (minimal 5 Kmdari pura) untuk Sad Kahyangan, Apaneleng Alit (minimal 2 Kmdari pura) untuk Dang Kahyangan, dan Apanimpug atauApanyengker untuk Kahyangan Tiga dan lain-lain.
Dalam Pasal 3 (tiga), PERDA Nomor 16 tahun 2009 (RTRWP) Bali
tentang Radius Kesucian Pura, tujuan Perda ini menyatakan secara tegas adalah
mewujudkan ruang aman, nyaman, produktif, berjatidiri berbudaya Bali, dan
berwawasan lingkungan berlandaskan “Tri Hita Karana”, yaitu falsafah hidup
masyarakat Bali yang memuat 3 (tiga) unsur yang membangun keseimbangan dan
keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia,
dan manusia dengan lingkungan sekitarnya, yang menjadi sumber kedamaian,
kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia.
Terkait dengan Perda tersebut di atas, di lapangan ditemukan adanya
berbagai persoalan yakni; (1) jaba Pura Petitenget dipakai sebagai areal halaman
parkir untuk para wisatawan dan masyarakat sekitarnya, (2) wantilan Pura
Petitenget selain digunakan untuk kegiatan masyarakat setempat dalam kaitannya
melaksanakan aktivitas upacara keagamaan, juga dapat dimanfaatkan/digunakan
oleh masyarakat/kelompok lain untuk kegiatan acara tertentu yang tidak ada
hubungannya dengan keagamaan, (3) wisatawan mancanegara dapat dengan
leluasa masuk ke Pura Petitenget hingga ke areal halaman tersuci (jeroan) dari
8
pura tersebut, (4) daerah di sekitar Pura Petitenget banyak terdapat fasilitas sarana
dan prasarana penunjang pariwisata, seperti restoran, café, hotel/penginapan, mini
market dan sebagainya. Persoalan- persoalan yang disebutkan di atas merupakan
realitas atau kenyataan yang dihadapi sekarang ini, dan proses industrialisasi
pariwisata global telah membawa dampak profanisasi yang berpengaruh terhadap
keberadaan dan fungsi utama Pura Petitenget sebagai tempat suci, sehingga dapat
mengurangi rasa hikmat umat ketika bersembahyang di dalam melaksanakan
ajaran agamanya.
Profanisasi budaya menyebabkan terjadinya pergeseran nilai, bentuk dan
makna kesucian Pura Petitenget sebagai warisan budaya akibat pengembangan
pariwisata budaya di Bali. Pura Petitenget sebagai warisan budaya tidak lagi
sebagai sebuah pura yang disucikan dan disakralkan sebagaimana nilai, makna
dan fungsi aslinya pada masa dulu di bangun, tetapi sekarang telah bergeser
karena berfungsi menjadi sebuah objek wisata budaya yang dikunjungi oleh
wisatawan asing. Wisatawan/pengunjung dengan leluasa bisa masuk hingga ke
areal halaman tersuci (jeroan) pura yang seharusnya tetap terjaga dan dilestarikan
sesuai dengan sejarah keberadaan Pura Petitenget tersebut. Konservasi warisan
cagar budaya memang bertujuan baik untuk menjaga keutuhan dan kelestarian
Pura Petitenget ini agar tetap terpelihara dan dapat diwariskan kepada generasi
penerusnya, namun tidak semua bahan yang digunakan dalam konservasi tersebut
menggunakan bahan asli seperti sediakala. Karena pengaruh globalisasi maka
pola pikir masyarakat pendukungnya mengalami perubahan, agar tidak cepat
rusak maka digunakan material lain yang lebih kuat dan tahan lama. Untuk
9
mempertahankan keaslian material pura ini sebelumnya, sebaiknya menggunakan
bahan yang sama dengan bahan aslinya agar tetap terjaga dan lestari sesuai
dengan bentuk semula.
Pemanfaatan, perencanaan pembangunan dan operasional pariwisata harus
bersifat lintas sektoral, terintegrasi, dan melibatkan masyarakat lokal dalam
perencanaan, implementasi/pelaksanaan, dan monitoring dari kegiatan pariwisata
budaya (Ardika, 2007: 48). Pemanfaatan dan pengelolaan warisan budaya Pura
Petitenget dalam dunia pariwisata di rancang sesuai kesepakatan antara pihak-
pihak terkait demi terjaganya kelestarian dan keberadaan pura tersebut sebagai
benda/bangunan cagar budaya. Pemanfaatan dan pengelolaannya tetap melibatkan
desa adat setempat sebagai penyungsung pura ini, dan para pemangku desa yang
turun temurun sudah melaksanakan kewajibannya di Pura Petitenget.
Profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat
Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, terjadi karena ketidaktegasan
penerapan aturan-aturan adat, lemahnya pengawasan dan pelaksanaan peraturan
daerah di lapangan tentang radius kesucian pura, serta perubahan pola pikir dan
pandangan masyarakat lokal yang mulai ke arah modern akibat dampak
pariwisata global serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala
bidang. Di mana pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget berdampak pada
aspek sosial ekonomi dan sosial budaya, perlahan namun pasti kesakralan pura
tersebut mulai terabaikan. Keseluruhan hal di atas berimplikasi kuat menyebabkan
terjadinya pergeseran nilai dan makna yang terkandung di dalamnya terhadap
10
fungsi utama atau aslinya, serta religiusitas akan kesucian pura tua tersebut, sesuai
dengan riwayat sejarahnya yang panjang dan unik ketika saat pertama dibangun.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura
Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung?
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan profanisasi pemanfaatan
warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan
Kuta Utara, Badung?
3. Bagaimanakah dampak dan makna profanisasi pemanfaatan warisan
budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta
Utara, Badung?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi gambaran tentang profanisasi
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,
Kecamatan Kuta Utara, Badung. Penelitian ini memiliki tujuan umum dan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui secara jelas dan
memahami tentang profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di
Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks
pembangunan pariwisata budaya di Bali.
11
1.3.2 Tujuan Khusus
Sejalan dengan tiga rumusan masalah penelitian yang telah dikemukakan
maka ada tiga tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni
sebagai berikut:
1. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profanisasi pemanfaatan
warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan
Kuta Utara, Badung.
2. Penelitian ini dilakukan untuk mengungkap faktor-faktor penyebab
profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat
Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung.
3. Penelitian ini dilakukan untuk memahami dan menginterpretasi
dampak dan makna profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura
Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai di bawah ini.
1. Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
berkenan dengan profanisasi pemanfaatan warisan cagar budaya di
Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung.
2. Hasil penelitian ini dapat menambah referensi tentang profanisasi
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,
Kecamatan Kuta Utara, Badung.
12
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan
pengetahuan serta pemahaman kepada masyarakat setempat terkait profanisasi
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,
Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata budaya di Bali.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka memiliki keterkaitan baik secara langsung maupun tidak
langsung dengan permasalahan yang diteliti dan hasil-hasil penelitian terdahulu.
Kajian pustaka juga diharapkan dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa
penelitian yang dilakukan penulis saat ini berbeda dalam aspek-aspek tertentu
dengan yang telah dikerjakan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian tentang obyek
warisan budaya dalam dunia kepariwisataan, dalam bidang perencanaan dan
pengembangan pariwisata, kebijakan pengembangan pariwisata, dan pengaruh
globalisasi terhadap dunia pariwisata sudah pernah dilakukan, namun penelitian
tentang profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat
kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata budaya
sejauh ini belum pernah diteliti.
Asmyta Surbakti (2008) dalam disertasi yang Berjudul “Pusaka Budaya
dan Pengembangan Pariwisata di Kota Medan: Sebuah Kajian Budaya”.
Mengungkapkan bagaimana terjadinya kontra – hegemoni terhadap penghancuran
pusaka budaya, keadaan bangunan bersejarah yang sangat memprihatinkan, di
tengah semangat upaya pelestarian pusaka budaya dan pengembangan pariwisata
di Kota Medan. Pusaka budaya harus tetap dilestarikan agar tidak terjadi
kerusakan atau hilang/punah, dan dapat digunakan sebagai warisan budaya yang
dikembangkan menjadi objek pariwisata di kota Medan. Disertasi ini memberi
14
masukan bagaimana pusaka budaya tetap dilestarikan dan dijaga agar tidak terjadi
penghacuran, dan masyarakat sebagai pendukung dan penjaga pusaka budaya
tidak mengalami pro-kontra, tetapi sama-sama menjaga dan melestarikannya
sebagai warisan budaya dan objek pariwisata budaya. Pusaka budaya yang ada di
Kota Medan sebagian telah mengalami kerusakan dan tidak terpelihara dengan
baik, akibat terjadi kontra-hegemoni di dalam masyarakatnya. Relevansinya
dalam penelitian ini mempunyai persamaan yang berkaitan dengan pusaka
budaya yang harus dijaga dan dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan atau punah,
yang dapat dikembangkan menjadi objek pariwisata budaya. Perbedaannya, di
mana Pura Petitenget sebagai pusaka budaya dan objek wisata cagar budaya tetap
terjaga dengan baik, dan dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya, tetapi
sebagai objek wisata cagar budaya Pura Petitenget mengalami profanisasi
pemanfaatan akibat perkembangan industri pariwisata budaya di Bali.
Sita Laksmi (2003) dalam Tesis yang berjudul “Pengelolaan Pariwisata
Berbasis Masyarakat : Studi Objek Wisata Tanah Lot di Desa Beraban Kecamatan
Kediri Kabupaten Tabanan”. Menjelaskan bagaimana dampak dan makna
pengelolaan wisata Tanah Lot berbasis masyarakat dapat memberikan
kesejahteraan bagi penduduk setempat dan desa adat, yang justru bertambah kuat
dengan kemajuan pariwisata karena dana yang diperoleh dari pengelolaan
pariwisata tersebut dapat digunakan untuk pembangunan desa adat. Tesis ini
memberi gambaran bagaimana pengelolaan objek wisata budaya memberi
kesejahteraan bagi penduduk setempat dalam pariwisata budaya di Bali, dan dana
yang diperoleh digunakan untuk kepentingan pembangunan pura dan kepentingan
15
masyarakat di sekitar Tanah Lot. Relevansinya dengan penelitian ini mempunyai
persamaan yang berkaitan terhadap bagaimana bentuk pengelolaan dan
pemanfaatan wisata budaya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat
setempat dan Desa Adat. Perbedaannya warisan budaya Pura Petitenget di dalam
pengelolaan dan pemanfaatannya telah mengalami profanisasi dalam
pembangunan pariwisata budaya di Bali sebagai akibat dampak dari industri
pariwisata global yang berkembang pesat di Desa Adat Kerobokan.
Darmiati (2011) dalam tesis yang berjudul “Pura Kebo Edan sebagai Daya
Tarik Wisata Budaya di Desa Pejeng Kecamatan Tampaksiring Kabupaten
Gianyar”. Menjelaskan bagaimana daya tarik wisata budaya terhadap pura tua
Kebo Iwo yang ada di Gianyar untuk tetap menjadi objek kunjungan para
wisatawan dengan keunikan tersendiri agar tidak terpinggirkan, yang di dukung
dengan atraksi pementasan tari Barong calonarang. Keberadaan Pura Kebo Edan
sebagai peninggalan cagar budaya kurang di lirik dan diminati oleh industri
pariwisata Bali, karena lingkungannya kurang tertata dan bersih, di mana sampah
berserakan, serta fasilitas yang tersedia sangat kurang memadai sebagai daerah
tujuan wisata di Gianyar. Tesis ini memberi persamaan, sebagai pura tua yang
masih terawat, tetap terjaga dan terpelihara, di mana keduanya sebagai objek
wisata cagar budaya, untuk tetap dikunjungi oleh wisatawan, agar tidak
terpinggirkan. Perbedaannya, bentuk serta cara pengelolaan dan pemanfaatan
pada kedua pura tua tersebut sebagai objek wisata cagar budaya dalam konteks
pariwisata budaya di Bali yang sangat berbeda. Relevansinya dengan penelitian
ini bagaimana Pura Petitenget sebagai pura tua yang berlokasi di Desa Adat
16
Kerobokan, Kuta Utara, tetap menarik untuk dikunjungi wisatawan mancanegara
sebagai objek wisata cagar budaya, sehingga wisatawan bersedia mengunjungi
pura tersebut agar tidak terpinggirkan dan tetap menjadi salah satu tujuan utama
wisata budaya di kabupaten Badung, namun tidak membawa persoalan ke dalam
pengelolaan dan pemanfaatan pura ini sebagai tempat persembahyangan umat
Hindu agar tetap terjaga kesuciannya.
Tesis Aniek Purniti (2008) yang berjudul “Pengelolaan Candi Gunung
Kawi Tampaksiring di Kabupaten Gianyar sebagai Objek dan Daya Tarik Wisata
Budaya”. Memberi masukan dan gambaran bagaimana bentuk pengelolaan Candi
Gunung Kawi Tampaksiring sebagai objek wisata dan daya tariknya sebagai
wisata budaya di Gianyar tetap dipertahankan nilai dan ciri-cirinya yang khas
dalam kaitannya dengan kegiatan kepariwisataan, dan di dalam pengelolaannya
lebih mengedepankan peran masyarakat setempat, sehingga dampak yang
dihadapinya sebagai objek dan daya tarik wisata budaya diupayakan agar tidak
melanggar konsep pelestariannya dalam pengawasan dan pengelolaan Dinas
Pariwisata kabupaten Gianyar. Persamaannya dengan penelitian ini adalah sama-
sama sebagai objek wisata cagar budaya yang tetap terjaga, terpelihara dan
dilestarikan, mempunyai daya tarik sebagai tempat tujuan wisata budaya yang ada
di Bali. Perbedaanya, bentuk pemanfaatan dan pengelolaan ke dua pura tersebut
sebagai objek dan daya tarik wisata budaya dalam pembangunan pariwisata Bali
yang berbeda. Pura Petitenget dalam pemanfaatan dan pengelolaannya di
serahkan kepada pengempon pura itu sendiri, panitia pengelolaan pura, dan
masyarakat di sekitar Pura Petitenget, agar tetap terjaga kesakralan/kesuciannya.
17
Relevansinya dengan penelitian ini memberi masukan bagaimana pemanfaatan
dan pengelolaan Pura Petitenget sebagai objek wisata dan daya tarik wisata
budaya dalam pembangunan pariwisata Bali, untuk tetap terjaga kelestarian dan
kesuciannya sebagai pura dang kahyangan dalam industri pariwisata budaya di
Bali.
Ardika (2007) dalam buku Pusaka Budaya dan Pariwisata, memberi
rujukan pengetahuan dan menjelaskan bagaimana pusaka budaya yang
diantaranya berbentuk tinggalan-tinggalan arkeologis dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan pengembangan pariwisata budaya di Bali. Buku ini juga
mengungkapkan; (1) warisan Budaya, kekayaan tradisi dan budaya lokal
merupakan potensi yang dapat dikembangkan sebagai objek dan daya tarik
wisata, (2) semakin banyak jumlah wisata yang berkunjung ke suatu daerah maka
dampak kultural yang ditimbulkan terhadap masyarakat lokal dan objek wisata
bersangkutan juga akan semakin besar, (3) masyarakat sebagai salah satu
stakeholder yang harus dilibatkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber
daya budaya yang terdapat di daerah atau wilayah mereka. Relevansinya dalam
penelitian ini, rujukan buku ini memberi pengetahuan dan masukan tentang
bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan warisan cagar budaya, faktor-faktor
penyebab akibat adanya pariwisata budaya, dan bagaimana dampak dari
pariwisata global yang terus berkembang pesat terhadap pengembangan
pariwisata budaya di Bali.
I Putu Anom, dkk. (2010) dalam buku Pariwisata Berkelanjutan dalam
Pusaran Krisis Global, memberi rujukan pengetahuan dan memaparkan
18
bagaimana sebuah diskursus pembangunan pariwisata berkelanjutan dengan
mengambil latar belakang pariwisata Bali sebagai suatu model pembelajaran.
Pariwisata Bali yang selama ini dianggap sebagai pembawa kesejahteraan dan
nama besar bagi Bali. Pariwisata yang kepadanya segala harapan masa depan
masyarakat Bali ditumpukan dalam segala sektor kehidupan, juga membawa
dampak negatif yang tidak kecil; degradasi lingkungan, hilangnya ruang-ruang
publik, pudarnya identitas dan kejatidirian manusia Bali, ketimpangan
kemakmuran antar wilayah, disharmoni sosial, mulai hilangnya kesakralan area
pura sebagai tempat suci, dan masih banyak persoalan lain yang timbul akibat
adanya pembangunan pariwisata Bali. Beragam aspek pengembangan pariwisata
Bali diuraikan di dalam buku ini yang di bahas dan disimpulkan dalam belasan
tulisan yang dimuat di dalam buku ini. Relevansinya dalam penelitian ini, rujukan
buku ini memberi pengetahuan dan masukan tentang masalah-masalah dampak
pengembangan pariwisata budaya di Bali yang dianggap memberi kesejahteraan
dalam segala sektor kehidupan masyarakat Bali, tetapi juga membawa dampak
negatif yang tidak kecil bagi lingkungan alam dan budaya Bali itu sendiri.
Dari hasil-hasil penelitian di atas, terlihat perbedaan secara substansial
dengan penelitin ini, adalah objek kajian, yakni objek wisata cagar budaya Pura
Petitenget di Desa Adat Kerobokan. Di samping itu, penelitian ini menjadi
berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena berkaitan dengan
profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa adat kerobokan,
Kecamatan Kuta Utara, Badung.
19
2.2 Konsep
Konsep merupakan unsur-unsur pokok dari suatu pengertian, definisi,
dan/atau batasan secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala/merupakan
definisi dari apa saja yang perlu di amati di dalam proses pelaksanaan penelitian.
Ada beberapa konsep yang dipakai dalam penelitian ini. Konsep-konsep tersebut
adalah konsep profanisasi pemanfaatan, warisan budaya, Pura Petitenget, dan
Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung.
2.2.1 Profanisasi Pemanfaatan
Profanisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
mengadung kata sifat yang berarti (1) tidak bersangkutan dengan agama atau
tujuan keagamaan; lawan sakral, (2) tidak kudus (tidak suci) karena tercemar,
kotor, dan sebagainya; tidak suci lagi, (3) tidak termasuk yang kudus (suci);
bersifat duniawi (Alwi, 2001: 897). Dari pengertian di atas, profanisasi yang
dimaksudkan di dalam penelitian ini adalah tidak bersangkutan dengan agama
atau tujuan keagamaan, tidak suci lagi karena sifat keduniawiaan yang masuk.
Dari pengertian di atas profanisasi yang dimaksudkan di sini adalah menjadikan
Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya yang tidak bersangkutan
dengan tujuan keagamaan sehingga mendatangkan sumber pendapatan bagi
masyarakat sekitarnya. Awalnya merupakan pura yang disucikan, sekarang
menjadi tidak suci lagi akibat adanya sifat-sifat keduniawiaan yang masuk di
dalam pura tersebut.
Kata pemanfaatan mempunyai arti/definisi sebagai berikut (1) proses,
cara perbuatan memanfaatkan, (2) proses melakukan kegiatan tertentu dengan
20
memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk pembangunan,
(3) proses kegiatan memanfaatkan sumber daya yang ada (sumber daya; alam,
manusia dan budaya) dalam bentuk barang (goods) dan jasa (service) guna
mendatangkan pendapatan (income) bagi masyarakat (Ali, 2012: 22). Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan adalah cara kegiatan
atau perbuatan dalam memanfaatkan sumber daya budaya dan sumber daya
manusia dalam bentuk barang dan jasa guna mendatangkan pendapatan bagi
masyarakat. Pemanfaatan yang dimaksudkan di dalam penelitian ini adalah
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget sebagai sumber daya budaya yang
dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai sumber daya manusia guna
mendatangkan pendapatan untuk peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat di
sekitarnya dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali.
Konsep profanisasi pemanfaatan yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah menjadikan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya yang tidak
bersangkutan dengan tujuan keagamaan, di mana pada awalnya merupakan pura
yang disucikan, saat ini menjadi tidak suci lagi akibat adanya sifat-sifat
keduniawiaan yang masuk di dalamnya, sebagai akibat atas pemanfaatan Pura
Petitenget sebagai sumber daya budaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal
sebagai sumber daya daya manusia, guna mendatangkan pendapatan untuk
peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya dalam pembangunan
pariwisata budaya di Bali.
21
2.2.2 Warisan Budaya
Pengertian tentang warisan budaya adalah warisan peninggalan masa lalu
yang diwariskan dari generasi yang satu kepada generasi yang lain, yang tetap
dilestarikan, dilindungi, dihargai dan dijaga kepemilikannya (Ardika, 2007: 19).
Ada banyak warisan budaya di Indonesia, namun istilah culrural heritage lebih
mengarah kepada pengertian warisan budaya fisik (arsitektur) yakni“cagar
budaya” sehingga aspek kultural dalam nonfisik terabaikan. Harus ditegaskan di
sini, bahwa warisan budaya yang dimaksudkan adalah apa yang diwariskan dari
kehidupan masa sebelumnya (masa lalu) yang berhubungan dengan peninggalan
monumen/bangunan.
Warisan budaya dapat digolongkan atas yang tangible (dapat disentuh;
monumen/bangunan) dan yang intangible (tidak dapat disentuh; seperti musik,
tari) juga abstrak (konsep-konsep) (Ardika, 2007: X). Di antara warisan budaya
yang tangible ada yang berupa monumen, artinya karya unggul manusia yang
patut dihargai selamanya. Dalam hal ini diadakan pembedaan antara apa yang
disebut living monument ( monumen “hidup”) dan dead monument ( monumen
“mati”). Definisi dari “hidup” itu adalah masih berfungsi seperti semula dibuat,
dan tetap digunakan sebagaimana fungsi awalnya, contoh Pura Besakih, Pura
Kebo Iwo, Pura Petitenget, dan sebagainya. Ada pun yang didefinisikan sebagai
“mati” adalah monumen yang bersangkutan sudah atau pernah tak berfungsi lagi
sebagaimana seperti fungsi semula ketika diciptakan, yang pernah ditinggalkan
oleh pembuat dan pengguna awalnya, contoh Candi Borobudur, Candi
Prambanan, Candi Penataran dan sebagainya.
22
Sebagaimana diketahui pemerintahan Indonesia baru pada tahun 1992
memiliki Undang-Undang Nomer 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
(UUBCB). Undang-Undang ini selanjutnya mengalami revisi pada tahun 1997,
dan pada tahun 2010 direvisi menjadi Undang-undang Benda Cagar Budaya.
Konvensi PBB mengenai pusaka budaya dunia terkait dengan perlindungan
budaya dan pusaka budaya (United Nations World Heritage Convention
Concerning Proctecting of the World Cultural Natural Heritage) menjelaskan
cakupan pusaka budaya sebagai berikut: (1) monumen (monuments), (2)
kelompok bangunan (group of buildings), dan (3) situs (sites) (Ardika, 2007 : 79).
Pemanfaatan cagar budaya sebagai pariwisata budaya (cultural tourism)
cenderung untuk mendapatkan pengalaman budaya baru yang berbeda dengan
budaya masa lalu. Sebagai sebuah ciri industri pariwisata postmodern maka faktor
masyarakat menjadi sangat penting, karena secara umum mereka adalah pemilik,
pendukung, dan pelaku kebudayaan. Pemanfaatan pusaka budaya buatan manusia
(built heritage) dalam industri pariwisata, seperti bangunan cagar budaya
mencakup konteks budaya (cultural contexts) dan konteks alamiah (natural
contexts) (Nuryanti, dalam Surbakti, 2008: 32).
Dengan demikian konsep bangunan cagar budaya Pura Petitenget sebagai
warisan budaya adalah merupakan warisan peninggalan masa lalu berupa
monumen atau bangunan yang diwariskan dari generasi satu ke generasi lain,
untuk tetap dilestarikan dan dijaga kepemilikannya, di mana Pura Petitenget
sebagai buatan manusia, merupakan salah satu bentuk yang masuk dalam kategori
konteks budaya, dan Pura Petitenget merupakan living monument, artinya masih
23
berfungsi seperti semula dibuat, dan tetap digunakan sebagaimana fungsi awalnya
hingga sekarang. Di mana pemanfaatan Pura Petitenget sebagai warisan budaya
dalam industri pariwisata budaya mengalami komersialisasi budaya sehingga
terjadi profanisasi makna dan nilainya atas keberadaan dan fungsi utamanya,
karena dijadikannya Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya akibat
dampak dari pengembangan pariwisata budaya di Bali.
2.2.3 Pura Petitenget
Pura Petitenget terletak di Banjar Batu Belig, Kelurahan Kerobokan
Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Propinsi Bali. Pura Petitenget
merupakan salah satu pura tua yang ada di Bali, di bangun pada abad XV,
merupakan salah satu pura dang kahyangan yang berada di Kabupaten Badung.
Pura Petitenget di-empon (pangemong/disungsung) oleh 49 banjar adat dan 1
(satu) subak se-Desa Adat Kerobokan, Kabupaten Badung.
Upacara keagamaan (odalan/piodalan) yang berlangsung di Pura
Petitenget jatuhnya setiap enam bulan sekali (210 hari) yakni, pada hari Buda
Wage Merakih, dengan puncak upacara (odalan/piodalan) selama empat hari, di
mana satu hari sebagai persiapan upacara keagamaan dan tiga hari sebagai puncak
upacara keagamaan (Sudiani, 1990: 17).
Keberadaan Pura Petitenget sesuai dengan riwayat sejarahnya, mempunyai
hubungan dengan perjalanan suci sang pendeta Dang Hyang Nirartha atau Dang
Hyang Dwijendra (Pedanda Sakti Wawu Rauh), yang berarti keberadaan Pura
Petitenget di sini sebagai pura “dang kahyangan” yakni, merupakan tempat
pemujaan terhadap jasa seorang pandita atau guru suci yang telah memberikan
24
ajaran agamanya kepada umat. Sebagai pura dang kahyangan, berarti Pura
Petitenget termasuk dalam klasifikasi pura umum, artinya sebagai pura yang
tergolong umum dipuja oleh seluruh umat Hindu sehingga sering disebut dengan
kahyangan jagat (Sudiani, 1990: 14).
Konsep pura sebagai tempat suci pada umumnya di Bali berdasarkan
konsep “Tri Mandala”, di mana Tri berarti tiga, Mandala berarti wilayah, jadi Tri
Mandala adalah tiga wilayah/daerah yang dimiliki oleh setiap pura sebagai tempat
suci. Konsep Tri Mandala tersebut adalah membagi wilayah/daerah pura menjadi
tiga bagian halaman yakni, untuk halaman luar (jaba sisi) disebut dengan Nista
Mandala, untuk halaman jaba tengah disebut dengan Madya Mandala, dan untuk
halaman suci (jeroan) disebut dengan Utama Mandala. Antara mandala yang satu
dengan mandala yang lain dibatasi oleh tembok atau pintu masuk yang khas.
Pembagian atas tiga halaman tersebut mempunyai dasar pemikiran filosofis
agama Hindu, yaitu pura dianggap sebagai simbol makrokosmos yang
melambangkan tiga tingkatan dunia, yaitu Bhurloka, di mana jaba pura
melambangkan bhurloka yaitu dunia bawah tempat kehidupan manusia.
Bhuwarloka, di mana jaba tengah melambangkan bhuwarloka yaitu dunia tengah
tempat kehidupan manusia yang sudah dibersihkan /disucikan. Swarloka, di mana
jeroan melambangkan swarloka yaitu dunia atas tempat kehidupan para Dewa
(Sumber: http://history1978.wordpress.com/pengetahuan-candi/pura-di-bali/.
Tanggal 6 maret 2013).
Berdasarkan konsepsi pura di atas maka konsep Pura Petitenget dalam
penelitian ini, sebagaimana konsep pura di Bali sebagai tempat suci pada
25
umumnya, maka bentuk areal Pura Petitenget juga berdasarkan atas konsep Tri
Mandala tersebut. Memasuki areal Pura Petitenget, pamedek melewati jalan di
sebelah selatan pura dan keluar melalui jalan di sebelah utara pura. Pada halaman
terluar (jaba) Pura Petitenget yang disebut Nista Mandala atau jaba sisi yang
masih menjadi satu kesatuan dengan Pura Petitenget berdiri wantilan pura yang
cukup besar dan bersih.
Untuk memasuki halaman Pura Petitenget, pamedek melewati Candi
Bentar, yaitu merupakan pintu masuk, batas wilayah antara jaba sisi (Nista
Mandala) dengan areal luar, juga merupakan pintu masuk yang menentukan batas
wilayah memasuki halaman tengah (jaba tengah) Pura Petitenget yang disebut
dengan Madya Mandala, di mana pamedek mesti melewati Apit Surang dengan
menaiki beberapa anak tangga.
Untuk bisa sampai ke bagian halaman tersuci (Jeroan) Pura Petitenget
yang disebut dengan Utama Mandala, pamedek mesti melewati Apit Surang.
Masing-masing pura memiliki Apit Surang yang menghadap ke barat. Sementara
itu, untuk menuju ke halaman Utama Mandala (jeroan) Pura Petitenget, pamedek
melewati Kori Agung dengan tiga (3) pintu, yaitu pintu utama di tengah, dengan
dua pintu di samping kiri dan di samping kanan. Sebagai pura dang kahyangan,
pada halaman Utama Mandala Pura Petitenget ini terdapat bangunan utama yakni,
pelinggih Gedong Petitenget, yaitu sebagai tempat berstananya sang guru suci
Dhang Hyang Dwijendra, di mana pelinggih ini juga sebagai tempat penyimpanan
peti pecanangan sang guru suci (Sudiani, 1990: 18-20).
26
Pura Petitenget berdampingan dengan Pura Masceti-Ulun Tanjung yang
berdiri sendiri dalam sebuah areal, di mana Pura Petitenget berada di sebelah
utara, sedangkan Pura Masceti-Ulun Tanjung berdiri di sebelah selatan. Kedua
pura ini tampak asri dan bersih, serta terawat dengan sangat baik, di depan
halaman terluar (jaba) Pura Petitenget ditumbuhi pepohonan yang cukup rimbun
dan sejuk dengan keindahan pemandangan pantai Petitenget dengan pasirnya
yang berwarna putih kemilau yang menghadap ke arah Barat.
2.2.4 Desa Adat kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung
Desa Adat Kerobokan adalah sebuah Kelurahan, masuk ke dalam wilayah
kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Kecamatan Kuta Utara mempunyai
luas wilayah adalah 3,386 km², dengan kode wilayah Kelurahan/Desa
51.03.06.1002. Secara astronomis terletak pada 8038’44.2” LS – 115009’42.3” BT.
Secara geografis Kecamatan Kuta Utara mempunyai batas-batas sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Mengwi. Sebelah Timur berbatasan
dengan Kecamatan Denpasar Barat. Sebelah Selatan berbatasan dengan
Kecamatan Kuta dan Samudra Indonesia. Sebelah Barat berbatasan dengan
Kecamatan Mengwi. Kecamatan Kuta Utara berbentuk wilayah (daratan) datar
sampai berombak (pantai) (Monografi Kecamatan Kuta Utara tahun 2012).
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No. 643 Tahun 1997, tentang
Penetapan Kelurahan-kelurahan definitive sebagai Pemecahan Kelurahan di
Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, maka Kelurahan Kerobokan yang ada di
Kecamatan Kuta Utara dimekarkan lagi menjadi sebagai berikut: 1) Kelurahan
Kerobokan Kaja, 2) Kelurahan Kerobokan, dan 3) Kelurahan Kerobokan Kelod.
27
Di mana masing-masing Kelurahan di bawah pimpinan seorang Lurah, yaitu; 1)
Kelurahan Kerobokan Kaja di bawah pimpinan Lurah I Made Adyana, S.STP. 2)
Kelurahan Kerobokan di bawah pimpinan Lurah I Gusti Made Kaler Sudana,SH.
3) Kelurahan Kerobokan Kelod di bawah pimpinan Lurah I Made Wistawan, SE
(Profil Kecamatan Kuta Utara 2011).
Secara geografis Desa Adat Kerobokan, berbatasan di sebelah utara
dengan Banjar Adat Padang Luwih, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Adat Seminyak, di sebelah timur berdampingan dengan Desa Adat Padang-
sambian, dan di sebelah barat, bersebelahan dengan Desa Adat Padonan dan Desa
Adat Tandeg. Desa Adat Kerobokan memiliki empat puluh sembilan (49) Banjar
Adat dan satu (1) Subak Desa. Dari ke-empat puluh sembilan Banjar Adat, lima
belas Banjar Adat di antaranya berada di wilayah kedinasan Kota Denpasar.
Secara keseluruhan, masing-masing Banjar Adat diberikan otonomi sesuai dengan
Awig-awig Desa Adat. Walaupun diberikan otonomi sesuai Awig-awig Desa
Adat, tetapi tetap di bawah koordinasi Desa Adat Kerobokan, dengan demikian
Swadharma (kewajiban) dan Swadikara (hak) tetap berjalan dengan baik, lancar
dan aman. Sesuai dengan Visi dan Misi yang diemban oleh Desa Adat kerobokan
yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Kuta Utara (Profil Kecamatan
Kuta Utara 2011).
Kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Adat Kerobokan dipengaruhi
oleh unsur-unsur agama Hindu, yakni menjunjung tinggi konsep Tri Hita karana,
yaitu mencakup tiga unsur utama lingkungan, yang terdiri dari parhyangan
(lingkungan spiritual), pawongan (lingkungan sosial), dan palemahan (lingkungan
28
alamiah). Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan,
yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang antar ketiga unsur tersebut dan
diyakini akan membawa manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia lahir-bathin.
Wilayah Desa Adat Kerobokan ini, terdapat sebuah pura yang sangat
terkenal yakni “Pura Petitenget”. Pura ini berdiri di depan pantai Petitenget
menghada ke Barat, merupakan warisan budaya masyarakat desa Adat Kerobokan
yang difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya sehingga banyak dikunjungi
masyarakat dan wisatawan mancanegara. Pura Petitenget merupakan salah satu
pura “Dang Kahyangan” sebagai tempat persembahyangan umat Hindu di Bali
yang terletak di Kabupaten Badung. Pura Petitenget ini mempunyai tempat
tersendiri bagi masyarakat (pamedek) sebagai tempat suci sesuai dengan riwayat
sejarah berdirinya pura ini yang panjang dan unik.
Konsep pemanfaatan Pura Petitenget di Desa Adat kerobokan, Kecamatan
Kuta Utara, Badung, yang dimaksudkan di sini adalah memanfaatkan sumber
daya budaya lokal yang berasal dari masyarakat Desa Adat Kerobokan itu sendiri
sebagai pemilik pusaka budaya lokal tersebut guna mendatangkan keuntungan
ekonomi, dengan memberi penambahan pendapatan bagi masyarakat setempat,
dan membuka lapangan pekerjaan baru, sehingga mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di sekitarnya, sehingga menggeser fungsi utama atau
aslinya sebagai tempat suci yang difungsikan menjadi objek wisata cagar budaya
akibat dampak pengembangan pariwisata budaya di Bali. Pemanfaatan Pura
Petitenget sebagai warisan budaya di Desa Adat Kerobokan di sini adalah
berpegang pada pembangunan pariwisata budaya berkelanjutan dengan tetap
29
mempertahankan jati diri sebagai masyarakat Bali, yang bertujuan mewujudkan
keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara kesejahteraan masyarakat,
pengembangan pelestarian lingkungan alam dan sosial budaya. Selain
berpengaruh positif juga akan membawa dampak negatif yang ditimbulkan karena
adanya perubahan nilai dan makna aslinya sebagai tempat suci, hal ini yang perlu
diwaspadai oleh masyarakat setempat, juga oleh masyarakat Bali.
2.3 Landasan Teori
Pada hakikatnya, teori adalah rumusan yang berisikan prinsip umum,
membuat asumsi, meramalkan serta menjelaskan suatu gejala atau masalah yang
untuk sebagian atau keseluruhan telah dibuktikan kebenarannya (Nazir, 1998: 21).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori untuk membedah
masalah penelitian agar diperoleh data yang bisa dipertanggungjawabkan secara
keilmuan, yakni profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa
Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yaitu (1) teori praktik, (2) teori
dekonstruksi, dan (3) teori komodifikasi.
2.3.1 Teori Praktik
Pierre Felix Bourdieu yang lahir pada 1 Agustus 1930 dan meninggal pada
23 Januari 2002, merupakan salah seorang pemikir Perancis paling terkemuka di
penghujung abad ke 20. Bourdieu dikenal sebagai seorang sosiolog, antropolog,
juga ahli filsuf. Bourdieu dalam teori praktik (practice) sosial dengan persamaan:
(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Teori Praktik merupakan gagasan
pemikiran Bourdieu sebagai produk dari relasi habitus, sebagai produk sejarah,
30
dan ranah yang juga produk sejarah, yang mana dalam ranah ada pertaruhan,
kekuatan-kekuatan serta orang yang banyak memiliki modal, serta orang yang
tidak memiliki modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi dari kekuatan,
sesuatu kekuatan spesifik yang beroperasi dalam ranah (Bourdieu, dalam Harker
dkk. 2009: xxi).
Secara sederhana, habitus bisa diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan,
tetapi Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003: 9) menyatakan bahwa habitus
merupakan keterampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu
disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang
kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus
mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui
kombinasi srtuktur obyektif dan sejarah personal. Disposisi diperoleh dalam
berbagai posisi sosial yang berada dalam suatu ranah, dan mengimplikasikan
suatu penyesuaian yang subyektif terhadap posisi itu (Bourdieu, dalam Harker
dkk. 2009: 13-14).
Konsepsi ranah yang dipergunakan Bourdieu hendaknya tidak dipandang
sebagai ranah yang berpagar di sekelilingnya, melainkan sebagai ranah kekuatan.
Hal ini dikarenakan adanya tuntutan untuk melihat ranah tersebut sebagai
dinamis, suatu ranah di mana beragam potensi eksis (Bourdieu, dalam Harker
dkk. 2009: 9-10). Ranah selalu didefinisikan oleh sistem relasi objektif kekuasaan
yang terdapat di antara posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem relasi
objektif yang terdapat di antara titik-titik simbolik.
31
Modal menurut Bourdieu merupakan hubungan sosial yang artinya suatu
energi sosial hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan di
mana ia memproduksi dan diproduksi. Setiap kepemilikan yang terkait dengan
kelas menerima nilainya dan efektivitasnya dari hukum-hukum khas setiap arena
dalam praktik artinya dalam suatu arena khusus, semua disposisi dan kepemilikan
objektif, kekayaan ekonomi atau budaya (Haryatmoko, 2003: 11).
Sejalan dengan sifat adaptif dan strategi adaptasi manusia dengan
lingkungan sekitarnya, terkait dengan konsep hasrat, Bourdieu mengemukakan
secara singkat penekanan “keterlibatan si subyek” dalam proses konstruksi
budaya. Bourdieu mencoba menjelaskan hal ini dengan mengatakan bahwa di
antara manusia dengan kebudayaannya terdapat suatu proses interaksi terus
menerus, di mana manusia mencoba mengolah dan mengkonstruksikan simbol-
simbol budaya demi “kepentingannya” dalam kondisi sosial, ekonomi, dan politik
tertentu secara situasional. Usaha-usaha manusia untuk mengkonstruksikan
simbol atau nilai budaya oleh Bourdieu disebut “praktik”. Bagi Bourdieu, seluruh
praktik memiliki sisi ekonomi jika praktik-praktik itu melibatkan benda-benda
(material ataupun simbolik) yang ‘merepresentasikan dirinya sebagai sesuatu
yang jarang dan layak dicari’ (Bourdieu, dalam Harker dkk. 2009: 19).
Dalam teori praktik ini, ditunjukkan bahwa bagaimana nilai-nilai budaya
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari,
bukan semata-mata nilai-nilai budaya itu terbentuk dengan sendirinya dan
mempengaruhi perilaku manusia. Atau dengan kata lain, bahwa ada hubungan
timbal-balik secara terus menerus antara perilaku yang dipengaruhi sistem simbol
32
dan sebaliknya sistem simbol di produksi oleh pelaku berdasarkan kepentingan-
kepentingan situasional. Hubungan timbal-balik itu oleh Bourdieu disebut sebagai
“struktur obyektif” yang mencakup juga kebudayaan sebagai sistem konsepsi
yang diwariskan maupun direproduksi atas dasar kepentingan-kepentingan
situasional. Implikasi utama dari konsep kebudayaan seperti ini, bahwa simbol-
simbol atau nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan senantiasa bersifat
cair, dinamis dan sementara, karena keberadaannya tergantung praktik para
pelakunya yang mempunyai kepentingan tertentu. Implikasi lain, bahwa suatu
kebudayaan hanya dapat terwujud dalam kaitannya dengan “subyek” yang
melalui praktiknya; dan salah satu praktik yang unik karena secara langsung
mengkonstruksi kebudayaan adalah “wacana” (discourse). Wacana merupakan
bentuk penuturan verbal yang berkaitan erat dengan kepentingan si penutur,
berbeda dari “teks” yang merupakan penuturan verbal yang telah lepas dari posisi
si penutur (Bourdieu, dalam Harker dkk. 2009: 20).
Dengan konsep hasrat, praktik, dan wacana memberi peluang yang seluas-
luasnya bagi manusia bahwa secara realistis apa saja bisa terjadi dalam kehidupan
ini. Teori ini dipakai untuk memahami dan menjelaskan di mana manusia
mencoba mengolah dan mengkonstruksikan simbol-simbol budaya demi
“kepentingannya” dalam kondisi sosial, ekonomi, dan politik tertentu secara
situasional.
Dalam konteks penelitian ini teori praktik menjawab bahwa hasrat,
praktik, dan wacana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Desa Adat
Kerobokan, khususnya di daerah sekitar Pura Petitenget sebagai pendukung
33
kebudayaan lokal dan kepentingannya dapat terjadi perubahan setiap saat karena
situasional yang dinamis akibat industri pariwisata global yang membawa dampak
realistis terhadap warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan dalam
perkembangan pariwisata budaya Bali. Teori praktik dalam penelitian ini akan
membedah variabel bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura
Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam
konteks pariwisata budaya di Bali.
2.3.2 Teori Dekonstruksi
Jacques Derrida adalah pendiri Teori Dekonstruksi. Dia adalah seorang
filsuf kontemporer yang lahir pada 15 Juli 1930 dan meninggal pada 8 Oktober
2004. karya Derrida yang memiliki dampak besar dan mempengaruhi ilmu sosial
adalah teori dekonstruksi. Dekonstruksi adalah sebuah bentuk kritik yang
didasarkan pada pembacaan secara hati-hati. Dekonstruksi adalah politis, ia begitu
kuat mengganggu cara-cara standar memahami dunia, apa yang mungkin telah
terima begitu saja, dengan adanya dekonstruksi, kini harus dipertimbangkan
kembali.
Paham pasca-srtukturalisme sering juga disebut pengkajian dekonstruksi,
yakni sebuah ragam penelitian sastra yang tidak begitu memperhatikan struktur.
Artinya memahami karya sastra boleh dari sisi apa saja. Paham ini begitu bebas,
tak terikat struktur, di antara peneliti sastra ada yang menyebut posmodernisme.
Istilah ini sebagai kontras paham struktural yang masih terkategorikan modern
(Endraswara, 2008: 167). Jadi kajian pasca-struktural maupun dekonstruksi boleh
34
disebut juga postmodern, postmodern berarti sebagai pijar penelitian yang
selangkah lebih maju dari modernitas.
Selain teks dalam pandangan dekonstruksi akan selalu menghadirkan
banyak makna, sehingga teks tersebut sangat kompleks. Jaringan-jaringan makna
dalam teks juga bisa rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna.
Makna tidak tunggal, melainkan bersifat plural, makna bukan mati (tetap)
melainkan hidup dan berkembang, maka dekonstruksi membiarkan teks itu dan
menantang segala kemungkinan.
Kajian dekonstruksi sastra akan selalu tak percaya pada arti bahasa. Kalau
struktural lebih mengandalkan bahasa teks, dimungkinkan akan menemui jalan
buntu, karena tak setiap bahasa dapat dikembalikan ke kenyataan. Itulah sebabnya
keluar dari srtuktur dan mencoba menghubungkan dengan teks-teks dan bahkan
konteks lain, diharapkan lebih memadai. Inilah yang dilakukan oleh kaum
dekonstruktif yang ingin selalu ada kebaharuan pemahaman sastra. Dalam kaitan
ini, Barthes (1983: 119) memberikan tahapan penelitian dekonstruksi sebagai
berikut; (1) Mendasarkan semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan
meletakkan semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur
dipahami secara terpisah. Dengan demikian, tidak satu pun dianggap tidak penting
atau tidak mempunyai peranan. (2) Unsur-unsur yang telah dipahami
dihubungkan dengan unsur yang lainnya dalam upaya untuk mengetahui apakah
unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan, baik jaringan antarsemua unsur
(jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain (jaringan X dan Y).
Berdasarkan tahapan tersebut, memang tidak tertutup kemungkinan sebuah teks
35
sastra dipahami berdasarkan teks lain. Teks sastra dipahami tidak lewat struktur,
melainkan melalui kode-kode lain di luar teks. Dalam kaitan ini, membaca karya
sastra adalah kegiatan yang paradoks. Maksudnya, pembaca boleh menciptakan
kembali dunia ciptaan, dunia rekaan, dan menjadikannya sesuatu yang akhirnya
mudah dikenal. Hal yang aneh, menyimpang, dan mengejutkan dalam teks
dinaturalisasikan dan dikembalikan ke dalam dunia yang mudah dikenali.
Menurut Derrida, mendekonstruksi suatu oposisi adalah membalikkan
suatu hierarki. Akan tetapi, aktivitas itu baru tahap pertama. Pada tahap
berikutnya, pembalikan harus dilakukan terhadap sistem keseluruhan yang di
dalamnya oposisi itu menjadi bagian-bagiannya. Hanya dengan syarat itulah
dekonstruksi dapat memberikan alat untuk menembus lapangan oposisi-oposisi
yang dikritiknya yang juga merupakan lapangan kekuatan-kekuatan nondiskursif.
Praktik dekonstruksi bekerja dalam batas-batas sistem tertentu tetapi dengan
tujuan menghancurkan, melakukan subversi (Aminuddin, 2002: 165).
Menurut Derrida (dalam Aminuddin, 2002: 170) dekonstruksi merupakan
Inventive or nothing. Dekonstruksi juga bukan merupakan prosedur metodelogi
karena dekonstruksi hanya membuka jalan dalam aktivitas berpikir dan
penandaan dalam proses penjejakan jaringan makna guna membentuk
pemahaman. Bagi Derrida, dekonstruksi juga merupakan writing, dalam arti
bukan hanya mengacu pada writing sebagai informasi, melainkan juga sebagai
proses penyusunan pengertian, pemahaman, dan pembentukan posisi yang
berlangsung secara terus-menerus dalam aktivitas berpikir.
36
Secara tegas dapat dipahami bahwa teori dekonstruksi dalam penelitian ini
untuk memandang sebuah fenomena budaya yang dapat bermakna banyak (tidak
tunggal), dan selalu dalam proses (tidak pernah final) yang terjadi pada kehidupan
masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura
Petitenget. Teori dekonstruksi juga akan membawa pada hal-hal yang selama ini
kurang diperhatikan dalam kehidupan di sekitar masyarakat Desa Adat
Kerobokan dengan membuka aktivitas berpikir masyarakat setempat, sebagai
akibat adanya pengembangan industri pariwisata budaya di Bali. Dalam konteks
penelitian ini, teori dekonstruksi dengan di dukung teori yang lain, digunakan
untuk mengetahui variabel faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya profanisasi
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,
Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata budaya di Bali.
2.3.3 Teori Komodifikasi
Teori komodifikasi merupakan salah satu teori aliran Neo-Marxisme
terpenting pada abad ke 20. Teori ini muncul sebagai hasil reaksi pemikiran para
eksponen Neo-Marxisme, terhadap pemikiran Marx dan dan Marxisme-Ortodoks
tentang berbagai problem kebudayaan. Marx dan Marxisme-Ortodoks
berpandangan bahwa problem kebudayaan bukan berasal dari dalam dirinya
sendiri, tetapi muncul sebagai akibat dari adanya bias material hubungan produksi
dalam kegiatan ekonomi (Sutrisno, 2005: 26).
Bertolak dari pandangan Marx dan Marxisme-Ortodoks tersebut, maka
para pemikir Neo-Marxisme kemudian melakukan kritik dan mengembangkannya
dalam satu pandangan baru, dengan penekanan bahwa masalah kebudayaan yang
37
timbul bukan semata-mata karena bias material hubungan prodiksi dalam kegiatan
ekonomi, tetapi disebabkan oleh bias seluruh aspek kehidupan manusia (Sutrisno,
2005: 28).
Melalui karyanya History and Class Conciousness (1922), Georg Lukacs
(1885-1971) merupakan salah satu dari para pemikir Neo-Marxisme,
menguraikan bahwa kapitalisme mengusai seluruh dimensi kehidupan
masyarakat, sehingga interaksi dalam kehidupan masyarakat selalu ditandai oleh
pemiskinan makna hidup yang autentik. Kebebasan untuk mengaktualkan dimensi
kemanusiaan dalam masyarakat sebagai ciri autentik kehidupan masyarakat, yang
mampu memaknai kebebasan dirinya, kemudian digantikan oleh adanya aktivitas
pertukaran nilai uang yang secara objektif dapat menimbulkan keterasingan
hidup, dan proses ini yang oleh Lukas disebut sebagai komodifikasi (Sutrisno,
2005: 28).
Komodifikasi adalah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan
komoditi, sehingga kini menjadi komoditi (commodity). Sedangkan komoditi
adalah segala sesuatu yang di produksi dan dipertukarkan dengan sesuatu yang
lain, biasanya uang, dalam rangka memperoleh nilai lebih atau keuntungan
(Piliang, 2004: 21). Komodifikasi tidak hanya berkutat kepada barang-barang
yang terlihat, tetapi merambat pada bidang kebudayaan. Hal ini seperti yang
dikatakan oleh Piliang, bahwa kapitalisme global telah memangsa apa saja,
artinya menjadikan komoditi apa saja, mulai dari hiburan, olahraga, pendidikan,
informasi, kesehatan, hingga kebugaraan, kepribadian, penampilan; mulai dari
tubuh, pikiran, kekuasaan, hingga ilusi, halusinasi dan fantasi, demi
38
keberlangsungan perputaran kapital, dan demi menggelembungnya kapital
(Piliang, 2004: 140).
Piliang juga mengatakan bahwa peralihan dari masyarakat industri
menuju masyarakat posindustri telah mempengaruhi bagaimana makna-makna
diamati dalam objek-objek seni dan dikomunikasikan lewat media (massa).
Objek-objek seni dalam kebudayaan posmodern merupakan bagian dari
kebudayaan materi masyarakat global/mutakhir. Sekali objek-objek diproduksi
dan dikonsumsi akan menjadi produk sosial masyarakat yaitu produk yang
digunakan untuk mengkomunikasikan, menyampaikan makna-makna dan
kepentingan-kepentingan sosial yang ada di belakangnya (Piliang, 2004: 62-63).
Teori komodifikasi adalah suatu proses produksi komoditas yang tidak
hanya dalam lingkup ekonomi sempit, tetapi juga bergerak ke lingkup yang lebih
luas, yakni, produksi, distribusi dan konsumsi. Dalam penelitian ini teori
komodifikasi digunakan sebagai teori pendukung teori-teori di atas untuk
menganalisa bagaimana bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura
Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung. Teori ini
juga digunakan untuk mengungkap dampak dan makna profanisasi pemanfaatan
warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,
Badung.
39
2.4 Model Penelitian
Model penelitian profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget
di Desa Adat kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dapat digambarkan
sebagai berikut.
Gambar 2.1Model Penelitian
Keterangan Garis:
: Hubungan pengaruh searah: Hubungan dua arah/saling mempengaruhi: Dari umum ke khusus
Budaya Tradisional
Faktor-faktor yangMenyebabkan
Profanisasi
- Sakral- Ritual- Tradisi
BentukProfanisasi
Budaya Global
- Ekonomi- Teknologi- Informasi- Komunikasi- Transportasi
Dampak danMakna
Profanisasi
Profanisasi PemanfaatanWarisan Budaya Pura
Petitenget di Desa AdatKerobokan, Kecamatan
Kuta Utara, Badung
Pura Petitenget
40
Penjelasan Model Penelitian :
Dalam model penelitian ini, tampak bahwa profanisasi pemanfaatan
warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,
Badung, telah terjadi pada pura ini sebagai akibat dari pembangunan pariwisata
budaya di Bali. Sesuai dengan sejarah pendiriannya, Pura Petitenget pada awal di
bangun merupakan pura yang disucikan (sakral), mempunyai nilai dan makna
keagamaan dalam religiusitas, yang merupakan budaya tradisional yang
berkembang pada waktu itu, saat ini mengalami pergeseran makna dan nilainya
dikarenakan adanya budaya global yang masuk ke dalamnya, ditandai dengan
pergerakan manusia, ekonomi (uang), teknologi, dan komersialisasi (media).
Fenomena ini menunjukkan adanya tarik menarik atau saling
mempengaruhi antara budaya tradisional dengan budaya global, di mana Pura
Petitenget yang semula sakral telah bergeser fungsinya menjadi profan karena
perubahan nilai dan makna aslinya sebagai tempat suci, karena difungsikannya
sebagai objek wisata cagar budaya akibat dampak dari pembangunan pariwisata
budaya di Bali. Suatu fenomena yang menarik untuk diteliti, oleh karena itu,
dalam penelitian ini, peneliti akan menelaah bagaimana bentuk profanisasi
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,
Kecamatan Kuta Utara, Badung, faktor-faktor apa yang menyebabkan profanisasi
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di desa Adat Kerobokan, Kecamatan
Kuta Utara, Badung, bagaimana dampak dan makna profanisasi pemanfaatan
warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,
Badung, dalam konteks pariwisata budaya di Bali.
41
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kajian budaya, tentang profanisasi
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,
Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata budaya di Bali.
Merupakan sebuah penelitian dengan menggunakan metode kualitatif, yakni
penelitian yang menghasilkan data deskriptif, baik data tertulis maupun lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati, oleh karena penekanannya pada
uraian detail, maka penelitian kualitatif oleh Bogdan dan Taylor disebut riset
interpretasi (Moleong, 1994: 3).
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Pura Petitenget yang terletak di
Banjar Batu Belig, Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara,
Kabupaten Badung. Lokasi Pura Petitenget ini berjarak sekitar 10 (sepuluh)
kilometer barat daya Kota Denpasar, di tempuh dengan waktu kurang lebih 20
menit. Dari arah Kota Denpasar ke arah barat daya, berbelok ke selatan menuju ke
Kuta Utara, kemudian ke arah utara menuju ke selatan menyusuri jalan raya
Seminyak – Kuta Utara. Selanjutnya menuju ke arah barat daya ke pantai
Petitenget, karena lokasi pura ini tepat berada di depan pantai Petitenget
berdampingan dengan Pura Masceti-Ulun Tanjung, berdiri dalam sebuah areal.
42
Pemilihan Pura Petitenget sebagai lokasi penelitian karena pura ini
merupakan warisan budaya yang dilestarikan juga berfungsi sebagai objek wisata
budaya. Sebagai objek wisata cagar budaya Pura Petitenget terletak di daerah
pariwisata Desa Adat Kerobokan, Kuta Utara, yang banyak mendapat pengaruh
globalisasi dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali, dan kehidupan
ekonomi masyarakat di sekitarnya sebagian besar bergantung pada sektor
pariwisata, sehingga membawa dampak dan makna atas keberadaan pura tua
tersebut, baik di dalam pura itu sendiri maupun di luar Pura Petitenget tersebut
dalam perkembangan industri pariwisata Bali pada umumnya dan di Desa Adat
Kerobokan pada khususnya yang terus berkembang pesat.
3.3 Jenis dan Sumber Data
3.3.1 Jenis Data
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan menggunakan
analisis deskriptif kualitatif, yaitu penelitian tentang data dari subjek penelitian
yang dikumpulkan dan dinyatakan dalam bentuk kata-kata dan gambar.
Pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara, observasi dan studi
kepustakaan.
3.3.2 Sumber Data
Menurut Moleong (1994), sumber data dapat dibedakan menjadi dua yaitu
sumber data langsung (primer), dan sumber data tidak langsung (sekunder).
Sumber data langsung (primer) dalam penelitian ini, yaitu data yang diperoleh
langsung dari objek penelitian berupa hasil observasi di lapangan serta dari
43
informan. Di sini peneliti melalui wawancara dan observasi yang mendalam,
mendapat data primer yang akurat berkaitan dengan profanisasi pemanfaatan
warisan budaya Pura Petitenget. Sumber data tidak langsung (sekunder) dalam
penelitian ini adalah data yang diperoleh tidak secara langsung dari objek
penelitian yang diperoleh dari jurnal, makalah, hasil-hasil penelitian,
perpustakaan, dan instansi pemerintah.
3.4 Teknik Penentuan Informan
Penentuan informan dilakukan secara purposive sampling yaitu pemilihan
informan berdasarkan pertimbangan tertentu sesuai dengan kapasitas informan
dalam memberikan informasi agar tujuan penelitian tercapai, yakni informan
dipilih yang memiliki pengetahuan tentang penelitian ini. Informan dalam
penelitian ini adalah orang-orang yang memiliki banyak pengetahuan tentang
objek penelitian, seperti pemangku Pura Petitenget, tokoh masyarakat Desa Adat
Kerobokan, dan masyarakat setempat di Desa Adat Kerobokan yang menjadi
subjek yang diteliti. Jumlah informan dalam penelitian ini dihentikan apabila
terjadi pengulangan jawaban atau kejenuhan jawaban atas pertanyaan yang sama,
sehingga tidak terdapat informan baru lagi (Moleong, 1994: 15).
3.5 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif peneliti merupakan instrumen utama. Peneliti
di sini sebagai perencana, pengumpul data, analisis, penafsir data dan pelapor
hasil penelitian. Dalam hal ini, peneliti harus terjun langsung ke lapangan untuk
memperoleh data tersebut. Pengumpulan data dapat diperoleh dengan wawancara
44
maupun pengamatan langsung. Untuk itu perlu adanya instrumen untuk
menunjang kegiatan tersebut. Menurut Nawawi (1995: 69) dalam pengumpulan
data diperlukan alat instrumen yang tepat agar data yang berhubungan dengan
masalah dan tujuan penelitian dapat dikumpulkan secara lengkap. Instrumen
penunjang tersebut misalnya pedoman wawancara, kamera, alat perekam suara,
dan alat tulis.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah suatu cara yang digunakan untuk
mendapatkan data tertentu dengan menggunakan teknik tertentu. Data yang
dikumpulkan dihimpun secara sistematis dan terencana, agar tujuan tercapai
dengan baik. Untuk mendapatkan data maka dalam penelitian ini digunakan
beberapa teknik pengumpulan data.
3.6.1 Teknik Observasi
Observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan
sistematik (Nazir, 1988: 212). Pengumpulan data dengan metode observasi yakni
pengumpulan data dilakukan dengan mengamati secara langsung ke objek
penelitian dengan cermat dan dibarengi dengan pencatatan hal-hal yang dianggap
penting untuk memperkuat akurasi data. Pengamatan dilakukan di lokasi Pura
Petitenget, yang terletak di Banjar Batu Belig, Kelurahan Kerobokan Kelod,
Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung.
45
3.6.2 Teknik wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti
untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui percakapan dan
berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada peneliti
(Mardalis, 1999: 64). Wawancara dilakukan dengan beberapa informan yang
dirancang oleh peneliti dengan pertimbangan-pertimbangan atau tujuan tertentu.
Ada sejumlah informan yang direncanakan untuk diwawancarai, dan
syarat-syarat informan yang bersangkutan adalah sebagai berikut. (1) Orang yang
menguasai masalah yang berkaitan dengan penelitian ini. (2) Orang yang mudah
ditemui dan dihubungi dan bersedia sebagai informan. Dalam kaitannya dengan
penelitian ini wawancara dilakukan dengan pamangku Pura Petitenget, tokoh
masyarakat Desa Adat Kerobokan, dan masyarakat sekitar Desa Adat Kerobokan.
3.6.3 Studi Dokumen dan Kepustakaan
Selain observasi dan wawancara, peneliti juga melakukan studi dokumen
dan kepustakaan. Dalam penelitian ini studi dokumen dan kepustakaan mutlak
diperlukan dalam tahap pengumpulan data. Penelitian ini menggunakan studi
dokumen dilakukan untuk pengumpulan data yang bersumber dari arsip dan
dokumen yang ada hubungannya dengan penelitian ini, seperti buku, majalah,
jurnal, surat kabar, arsip-arsip, peraturan-peraturan, maupun dokumen pribadi
lainnya sebagai pendukung terhadap penelitian ini. Cara ini dilakukan dengan
mencari, memahami, kemudian mencatat data yang relevan sebab dokumen
serikali mencakup hal-hal yang sifatnya khusus, yang sulit ditangkap melalui
observasi langsung (Nawawi, 1995: 180).
46
Studi kepustakaan dilakukan oleh peneliti untuk mencari data yang berisi
tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan warisan budaya Pura
Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam
pembangunan pariwisata budaya Bali yang bisa didapatkan dari informan atau
dari hasil pencarian di tempat lain, di kantor desa, instansi pemerintah,
perpustakaan, maupun yang dimiliki oleh informan dan pribadi. Melalui teknik ini
dapat diperoleh data yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini.
3.7 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini merupakan tahapan yang sangat penting.
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan terus menerus sepanjang
proses penelitian berlangsung, dilakukan secara deskriptif, kualitatif, dan
interpretatif. Analisis data dilakukan mulai dari perumusan masalah,
pengumpulan data, dan pasca pengumpulan data. Kemudian melakukan reduksi
data dengan cara membuat rangkuman yang inti prosesnya dan pertanyaan-
pertanyaannya yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya (Moleong,
1994: 190). Dengan adanya perumusan masalah maka peneliti telah melakukan
analisis terhadap permasalahan tersebut dalam berbagai prespektif teori dan
teknik yang digunakan.
Berdasarkan hal tersebut maka peneliti akan melakukan proses
pengumpulan data dan analisis data sepanjang rangkaian kegiatan penelitian dan
dituangkan dalam hasil penelitian. Jadi teknik analisis data dalam penelitian ini
adalah melakukan penyederhanaan data yang terkumpul, yang selanjutnya diolah,
47
ditafsirkan, dan melakukan pemaknaan terhadap data yang telah terkumpul
tersebut, kemudian disajikan secara sistematis.
3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian
Kegiatan yang paling akhir dalam penelitian ini adalah penyajian hasil
penelitian. Penyajian hasil penelitian dilakukan secara informal dan formal.
Teknik penyajian secara informal adalah cara penyajian hasil penelitian dengan
mempergunakan kata-kata atau kalimat verbal sebagai sarananya, dengan
memakai ragam bahasa ilmiah. Ciri ragam bahasa ilmiah adalah objektif, tidak
emotif, lugas dan komunikatif. Sementara itu secara formal penyajian hasil
penelitian berupa tabel, peta, gambar atau foto yang disesuaikan dengan
kepentingan dan proporsi yang diperlukan.
48
BAB IV
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN
PURA PETITENGET
4.1 Desa Adat Kerobokan
4.1.1 Letak Geografi
Desa Adat Kerobokan juga sebuah Kelurahan, masuk ke dalam wilayah
kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Kecamatan Kuta Utara mempunyai
luas wilayah adalah 3,386 km², dengan jumlah penduduk mencapai 62.508 jiwa,
dengan kode wilayah Kelurahan/Desa 51.03.06.1002. Secara geografis Kecamatan
Kuta Utara mempunyai batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan
dengan Kecamatan Mengwi. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan
Denpasar Barat. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kuta dan
Samudra Indonesia. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Mengwi.
Kecamatan Kuta Utara berbentuk wilayah (daratan) datar sampai berombak
(pantai), secara astronomis terletak pada 8038’44.2” LS – 115009’42.3” BT,
dengan curah hujan rata-rata 1.618 mm/tahun, dan jumlah hari dengan curah hujan
yang terbanyak 91 hari, dengan suhu rata-rata tertinggi 330C dan terendah 280C.
Dengan luas daerah/wilayah tanah sawah 1.497 ha. dan tanah kering 1.751 ha. Di
mana kepadatan penduduk mencapai 1.890 km/jiwa, serta jumlah Kepala
Keluarga (KK) sebanyak 15.543 KK dengan mayoritas penduduk beragama
Hindu (Monografi Kecamatan Kuta Utara tahun 2012).
Terbentuknya Kecamatan Kuta Utara bermula saat ketika masih menjadi
bagian dari wilayah Kecamatan Kuta. Pada waktu itu Kecamatan Kuta termasuk
49
wilayah Kabupaten Badung yang memiliki sumber daya alam dan sumber daya
manusia maupun kelembagaan yang ditunjang sarana dan prasarana yang ada,
serta cukup mendukung dalam rangka program pembangunan.
Letak secara geografis Kecamatan Kuta, merupakan daerah dataran rendah
berada pada ketinggian kurang dari 100 meter di atas permukaan laut. Terletak 16
km dari ibukota Kabupaten dan 13 km dari ibukota Provinsi Bali, dengan luas
wilayah saat itu 17,52 km2 (sebelum pemekaran dan penambahan wilayah) dan
memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut; di sebelah Utara berbatasan dengan:
Kecamatan Kuta Utara, di sebelah Timur berbatasan dengan Kota Denpasar, di
sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kuta Selatan, dan di sebelah Barat
berbatasan dengan Samudera Indonesia. Secara administratif wilayah Kecamatan
Kuta dibagi menjadi 5 Kelurahan, 27 Lingkungan dan 6 Desa adat. Kelima
kelurahan tersebut yaitu; Kelurahan Kedonganan, Kelurahan Tuban, Kelurahan
Kuta, Kelurahan Legian, dan Kelurahan Seminyak.
Pemerintahan Kecamatan Kuta, dimulai pada zaman Pemerintahan Hindia
Belanda, wilayah (Kabupaten) Badung terdiri dari 5 Kedistrikan yang masing-
masing Distrik di perintah oleh seorang “Punggawa” (Camat) dan seorang
“Manca” (Sekretaris). Adapun kelima Kedistrikan tersebut adalah sebagai beriku:
1) Distrik Denpasar, 2) Distrik Kesiman, 3) Distrik Kuta, 4) Distrik Abiansemal,
dan 5) Distrik Mengwi.
Kedistrikan Kuta mempunyai wilayah bawahan yang disebut wilayah
Keprebekelan yaitu setingkat dengan Desa/Kelurahan yang di perintah atau di
pimpin oleh seorang Prebekel atau Kepala Desa, dengan wilayah bawahan disebut
50
Banjar Dinas, yang dikepalai oleh seorang Kelian Dinas. Wilayah Keprebekelan
pada jaman Kedistrikan Kuta, yaitu; 1) Keprebekelan Dalung, 2) Keprebekelan
Canggu, 3) Keprebekelan Kerobokan, 4) Keprebekelan Kuta, 5) Keprebekelan
Tuban, 6) Keprebekelan Jimbaran, 7) Keprebekelan Pecatu, 8) Keprebekelan
Ungasan, 9) Keprebekelan Bualu, dan 10) Keprebekelan Tanjung Benoa.
Dalam perkembangan pemerintahan selanjutnya wilayah Keprebekelan ini
mengalami penciutan atau penggabungan hingga menjadi 9 wilayah Keprebekelan
yang kemudian disebut Desa, yaitu; 1) Prebekelan/Desa Dalung dengan 16 Banjar
dinas, 2) Prebekelan/Desa Canggu dengan 18 Banjar Dinas, 3) Prebekelan/Desa
Kerobokan dengan 25 Banjar Dinas, 4) Prebekelan/Desa Kuta dengan 12 Banjar
Dinas, 5) Prebekelan/Desa Tuban dengan 9 Banjar Dinas, 6) Prebekelan/Desa
Jimbaran dengan 10 Banjar Dinas, 7) Prebekelan/Desa Pecatu dengan 3 Banjar
Dinas, 8) Prebekelan/Desa Ungasan dengan 4 Banjar Dinas, 9) Prebekelan/Desa
Benoa dengan 14 Banjar Dinas.
Selanjutnya Kedistrikan Kuta yang kemudian dikenal dengan Kecamatan
Kuta terdiri dari 9 Desa dengan 111 Banjar Dinas. Sejak pergantian kepala
wilayah Kecamatan dari Punggawa menjadi Camat, sebutan Manca digantikan
dengan sebutan Sekretaris Kecamatan (Sekwilcam), dan sejalan dengan
perkembangan pemerintahan sejak tahun 1991 berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 140-502, tertanggal 22 September 1980, tentang
Penetapan Desa menjadi Kelurahan, maka Kecamatan Kuta dimekarkan lagi atau
dibagi menjadi 4 Desa dan 5 Kelurahan, yaitu; 1) Desa Dalung, 2) Desa Canggu,
51
3) Desa Pecatu, 4) Desa Unggasan, 5) Kelurahan Kuta, 6) Kelurahan Kerobokan,
7) Kelurahan Jimbaran, 8) Kelurahan Tuban, dan 9) Kelurahan Benoa.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No. 643 Tahun 1997, tentang
Penetapan Kelurahan-kelurahan definitive sebagai Pemecahan Kelurahan di
Kabupaten daerah Tingkat II Badung, maka Kelurahan yang ada di Kecamatan
Kuta dimekarkan lagi sebagai berikut: 1) Kelurahan Kerobokan, menjadi: -
Kelurahan Kerobokan, -Kelurahan Kerobokan Kaja, dan -Kelurahan Kerobokan
Kelod. 2) Kelurahan Kuta, menjadi: -Kelurahan Kuta, -Kelurahan Seminyak, dan
-Kelurahan Legian. 3) Kelurahan Benoa, menjadi: -Kelurahan Benoa, dan -
Kelurahan Tanjung Benoa.
Pada tahun 1999, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No. 350
Tahun 1999, Tertanggal 31 Juli 1999, di mana Kecamatan Kuta dimekarkan lagi
menjadi 1(satu) Kecamatan dan 2 (dua) Kecamatan Pembantu. 1(satu) Kecamatan
tersebut yaitu: Kecamatan Kuta, yang meliputi: -Kelurahan Seminyak, -Kelurahan
Legian, -Kelurahan Kuta, -Kelurahan Tuban, -Kelurahan Kedonganan. Sementara
2 (dua) Kecamatan Pembantu tersebut meliputi sebagai berikut: 1) Kecamatan
Pembantu Kuta Utara, meliputi : -Kelurahan Kerobokan, -Kelurahan Kerobokan
Kaja, -Kelurahan Kerobokan Kelod, -Desa Dalung, -Desa Canggu, dan -Desa
Tibubeneng. 2) Kecamatan Pembantu Kuta Selatan, meliputi: -Kelurahan Benoa, -
Kelurahan Tanjung Benoa, -Kelurahan Jimbaran, -Desa Ungasan, -Desa Kutuh,
dan -Desa Pecatu (Profile Kecamatan Kuta Utara tahun 2012 dan
http://www.badungkab.go.id Tanggal, 16 April 2013, 12:06).
52
Secara garis besar, Kecamatan Kuta Utara mewilayahi atau menaungi
enam (6) Kelurahan/Desa, yaitu; 1) Desa Tibubeneng, 2) Desa Canggu, 3) Desa
Dalung, 4) Kelurahan Kerobokan Kaja, 2) Kelurahan Kerobokan, dan 6)
Kelurahan Kerobokan Kelod. (Lihat Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Luas Wilayah Desa / Kelurahan di Kecamatan Kuta Utara
No Desa / KelurahanLuas Wilayah(Km2)
Kepadatan Per(Km2)
1 Desa Tibubeneng 6,50 1.510
2 Desa Canggu 5,23 1.022
3 Desa Dalung 6,15 2.951
4 Kelurahan Kerobokan Kaja 5,30 2.498
5 Kelurahan Kerobokan 5,42 1.464
6 Kelurahan Kerobokan Kelod 5,26 1.522
Sumber: Kecamatan Kuta Utara dalam Angka 2011.
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No. 643 Tahun 1997, tentang
Penetapan Kelurahan-kelurahan definitive sebagai Pemecahan Kelurahan di
Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, maka Kelurahan Kerobokan yang ada di
Kecamatan Kuta Utara dimekarkan lagi menjadi sebagai berikut: 1) Kelurahan
Kerobokan Kaja, 2) Kelurahan Kerobokan, dan 3) Kelurahan Kerobokan Kelod.
Kecamatan Kuta Utara sebagai induk Pemerintahan Desa /Kelurahan di
bawah pimpinan Dra. A.A. Putu Yuyun Hanura Eny, M.Si sebagai Camat Kuta
Utara yang mewilayahi tiga Desa dan tiga Kelurahan. Tiga Desa tersebut yakni;
1) Desa Tibubeneng, di bawah pimpinan Kepala Desa I Gede Suharja, SH. 2)
Desa Canggu, di bawah pimpinan Kepala Desa I Nyoman Mustiada, 3) Desa
Dalung, di bawah pimpinan Kepala Desa Drh. I Nyoman Triasa. Sementara tiga
53
Kelurahan tersebut, yaitu; 1) Kelurahan Kerobokan Kaja di bawah pimpinan
Lurah I Made Adyana, S.STP. 2) Kelurahan Kerobokan di bawah pimpinan Lurah
I Gusti Made Kaler Sudana,SH. 3) Kelurahan Kerobokan Kelod di bawah
pimpinan Lurah I Made Wistawan, SE. Kecamatan Kuta Utara juga mewilayahi
88 Lingkungan/Dusun yang masing-masing di bawah pimpinan seorang Kepala
Lingkungan (Kelian) (Profil Kecamatan Kuta Utara 2011). (Lihat Tabel 4.2).
Tabel 4.2 Desa / Kelurahan di Kecamatan Kuta Utara
No Desa / KelurahanJumlah
Banjar Dinas/Lingkungan
Nama Perbekel/Lurah
1 Desa Tibubeneng 13 I Gede Suharja, SH
2 Desa Canggu 7 I Nyoman Mustiada
3 Desa Dalung 23 Drh. I Nyoman Triasa
4 Kelurahan Kerobokan Kaja 23 I Made Adnyana, STP
5 Kelurahan Kerobokan 10 I Gst. Made Kaler Sudana,SH
6 Kelurahan
Kerobokan Kelod
12 I Made Wistawan, SE
Jumlah 88
Sumber: Profil Kecamatan Kuta Utara 2011.
Desa Adat Kerobokan memiliki empat puluh sembilan Banjar Adat dan
satu Subak Desa. Dari ke-empat puluh sembilan Banjar Adat, lima belas Banjar
Adat di antaranya berada di wilayah kedinasan Kota Denpasar. (lihat Tablel 4.3).
54
Tabel 4.3 Desa Adat, Jumlah Banjar Adat dan Kelian Desa Adat diKecamatan Kuta Utara Tahun 2011
NoDesa Adat
Jumlah
Banjar Adat Kelian Desa Adat
1 Kerobokan 49 A.A. Putu Sutarja
2 Tandeg 2 Drs. I Nyoman Punia
3 Berawa 1 I Wayan Warsa
4 Padonan 7 Drs. I Wayan Jigra
5 Canggu 7 Drs. I Wayan Suamba
6 Dalung 10 I Made Parmita S.Ag.
7 Padang Luwih 6 I Gusti Ketut Suparta, SPd.
8 Tuka 1 I Wayan Dana
Sumber: Profil Kecamatan Kuta Utara 2011.
Secara geografis Desa Adat Kerobokan berbatasan di sebelah utara dengan
Banjar Adat Padang Luwih, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Adat
Seminyak, di sebelah timur berdampingan dengan Desa Adat Padang-sambian,
dan di sebelah barat, bersebelahan dengan Desa Adat Padonan dan Desa Adat
Tandeg. Secara keseluruhan, masing-masing Banjar Adat diberikan otonomi
sesuai dengan Awig-awig Desa Adat. Awig-awig merupakan hukum adat berupa
peraturan atau undang-undang yang disusun atau ditetapkan oleh seluruh anggota
masyarakat desa, banjar, dan subak, tentang aturan tata kehidupan masyarakat di
bidang agama, budaya, dan sosial-ekonomi di Bali (Alwi, dkk. 2001: 80).
Walaupun diberikan otonomi sesuai Awig-awig Desa Adat, tetapi tetap di bawah
koordinasi Desa Adat Kerobokan, dengan demikian Swadharma (kewajiban) dan
Swadikara (hak) tetap berjalan dengan baik, lancar dan aman. Sesuai dengan Visi
55
dan Misi yang diemban oleh Desa Adat kerobokan yang merupakan bagian dari
wilayah Kecamatan Kuta Utara.
Visi dan Misi tersebut adalah; Visinya: Terwujudnya pelayanan prima
berdasarkan Tri Hita Karana di Kecamatan Kuta Utara. Dimana dengan Misinya:
(1) Peningkatan sumber daya manusia serta sarana dan prasarana kerja. (2)
Mewujudkan kepastian hukum. (3) Menciptakan ketentraman dan ketertiban
masyarakat, dan (4) Peningkatan partisipasi masyarakat (Profile Kecamatan Kuta
Utara tahun 2011).
Dengan Tugas Pokok adalah sebagai berikut; Melaksanakan kewenangan
pemerintah yang dilimpahkan oleh Bupati untuk menangani sebagian urusan
otonomi daerah. Dengan Fungsi Pokok adalah:
-Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat.-Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan
ketertiban umum.-Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan
perundang-undangan.-Mengkoordinasikan pemeliharaa prasarana dan fasilitas
pelayanan umum.-Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di
tingkat Kecamatan.-Membina penyelenggaraan pemerintah desa dan/atau kelurahan.-Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup
tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahDesa atau Kelurahan (Profile Kecamatan Kuta Utara tahun 2011).
Sementara itu, kelurahan Kerobokan Kelod merupakan sebuah kelurahan
yang berada di wilayah Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Kelurahan
Kerobokan Kelod adalah wilayah lokasi berdirinya Pura Petitenget. Kelurahan
Kerobokan Kelod merupakan kelurahan paling selatan di wilayah Kecamatan
Kuta Utara. Secara geografis Kelurahan Kerobokan Kelod terletak di wilayah
56
dataran rendah dengan ketinggian 0 - 100 meter di atas permukaan laut. Dengan
batas-batas perbatasan Kelurahan Kerobokan kelod sebagai berikut. Di Utara
berbatasan dengan Kelurahan Kerobokan. Di Timur berbatasan dengan Kota
Madya Denpasar. Di Selatan berbatasan dengan Kelurahan Seminyak. Sementara
di Barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Secara administratif Kelurahan
Kerobokan Kelod di bawah pimpinan Lurah I Made Wistawan, SE. Kelurahan
Kerobokan Kelod mempunyai 12 Banjar Dinas/Lingkungan yang masing-masing
di bawah pimpinan seorang Kepala Lingkungan (Kelian). (Lihat Tabel 4.4).
Tabel 4.4 Banjar Dinas / Lingkungan
NO Nama Lingkungan / Banjar Kepala Lingkungan / Kelian
Kelurahan Kerobokan Kelod
1 Lingkungan Pengipian I Made Budiyasa
2 Lingkungan Umasari I Ketut Suardika
3 Lingkungan Taman I Nyoman Sunarka, SE
4 Lingkungan Dukuh Sari I Ketut Suamba
5 Lingkungan Batu Belig I Made Sudika
6
Lingkungan
Pengubengan Kangin I Gusti Putu Sukawijaya
7 Lingkungan Semer I Wayan Winata
8 Lingkungan Kuwum I Nyoman Gede Trisaka, SE
9 Lingkungan Pengubengan Kauh I Nengah Suwirya
10 Lingkungan Merthanadi I Gusti Putu Sujendra
11 Lingkungan Umalas Kangin I Made Suarka, SH, SE
12 Lingkungan Umalas Kauh I Made Karpa
Sumber: Profil Kecamatan Kuta Utara 2011.
57
Kehidupan secara sosial ekonomi, Keluruhan Kerobokan Kelod ini
sebagian besar masyarakatnya bertumpu pada sektor pariwisata sehingga banyak
menyerap berbagai tenaga kerja. Di mana perkembangan industri pariwisata di
wilayah Kelurahan Kerobokan Kelod sangat pesat bila dibandingkan dengan
wilayah lainnya di Desa Adat Kerobokan, sehingga banyak menarik minat pencari
tenaga kerja dan terjadinya arus urbanisasi, akibatnya banyak penduduk
pendatang melebihi penduduk asli (krama uwed). Hal ini disebabkan karena
lapangan pekerjaan yang tersedia pada industri pariwisata di wilayah ini cukup
memadai, karena banyaknya pembangunan fasilitas-fasilitas sarana dan prasarana
pariwisata di daerah sekitarnya.
Secara tata letaknya, Kelurahan Kerobokan Kelod di bagian sebelah
pesisir Barat dari Kelurahan ini terdapat dua pantai yang sangat indah, yaitu
pantai Batu Belig dan pantai Petitenget. Pantai Batu Belig adalah sebuah pantai
yang landai dan berpasir putih dengan ombak yang kecil sehingga nyaman dan
aman sebagai tempat bermain anak-anak dan berjalan kaki menyusuri pantai.
Pantai ini memang tidak begitu terkenal seperti pantai Kuta, sehingga tidak begitu
banyak pengunjung yang datang, tetapi pantai Batu Belig tidak kalah indahnya
ketika melihat matahari terbenam di ufuk Barat dari pantai ini saat senja hari.
Sedangkan pantai Petitenget merupakan pantai yang cukup terkenal di mata
masyarakat Desa Adat Kerobokan dan wisatawan mancanegara. Pantai Petitenget
mempunyai pemandangan yang sangat indah mempesona dan berada pada garis
pantai yang sama dengan pantai Legian dan dan Kuta. Pantai Petitenget memiliki
pasir yang berwarna putih eksotis berkilauan dengan kuantitas sinar matahari
58
yang tinggi sepanjang hari sehingga membuat para wisatawan menyukainya untuk
berjemur dan berenang. Gelombak ombaknya yang besar sangat cocok digunakan
sebagai tempat olah raga surfing/selancar. Pantai Petitenget pada sore hari sangat
ramai dikunjungi masyarakat dan wisatawan untuk menikmati indahnya panorama
matahari terbenam (sunset).
Wilayah kelurahan Kerobokan Kelod ini, di Banjar Batu Belig, terdapat
sebuah pura yang sangat terkenal yakni “Pura Petitenget”. Pura ini berdiri di
depan pantai Petitenget menghadap ke Barat, merupakan warisan budaya yang
berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya sehingga banyak dikunjungi
masyarakat dan wisatawan mancanegara. Pura Petitenget merupakan salah satu
pura “Dang Kahyangan” sebagai tempat persembahyangan umat Hindu di Bali
yang terletak di Kabupaten Badung. Pura Petitenget ini mempunyai tempat
tersendiri bagi masyarakat (pamedek) sebagai tempat suci sesuai dengan riwayat
sejarah berdirinya pura ini yang panjang dan unik.
Konsekuensi terhadap kondisi dan hal-hal di atas, akan membuat
wisatawan mancanegara maupun domestik akan mengunjungi Pura Petitenget
sebagai objek wisata cagar budaya. Selain itu tentu akan mengundang setiap
orang dan wisatawan mancanegara untuk datang ke wilayah Kelurahan
Kerobokan Kelod, dan kedatangan mereka dengan membawa berbagai
kepentingan dalam berbagai aspek kehidupan.
4.1.2 Penduduk
Penduduk atau warga masyarakat desa merupakan salah satu sumber daya
atau modal untuk menggerakkan roda pembangunan di Desa Adat Kerobokan
59
khususnya, dan Kecamatan Kuta Utara pada umumnya. Namun jika kuantitas dan
kualitas dari sumber daya manusia ini tidak dikelola dan diarahkan secara tepat
dan sungguh-sungguh akan dapat menjadi beban sekaligus menjadi penghambat
pembangunan. Pengendalian kuantitas dan kualitas sumber daya manusia di Desa
Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, telah dilaksanakan secara mandiri dan
terarah maupun melalui pola pembinaan untuk menciptakan kondisi masyarakat
yang mandiri dan sejahterah dalam segala bidang, dimana Desa Adat kerobokan
merupakan salah satu tempat tujuan daerah wisata yang sangat populer di dalam
masyarakat Kecamatan Kuta Utara.
Untuk mengetahui perkembangan penduduk Kecamatan Kuta Utara,
Kabupaten Badung, berdasarkan registrasi/pendataan kependudukan Kecamatan
Kuta Utara pada tahun 2012 memiliki jumlah penduduk 63.993 jiwa, di mana
jumlah laki-laki sebanyak 32.027 orang, dan jumlah perempuan sebanyak 31.966
orang, dengan kepadatan penduduk 1.890 km/jiwa. Keseluruhan dalam
penyebaran penduduk yang merata di segala tempat, dengan jumlah Kepala
Keluarga 15.543 KK. Di mana penduduk Kewarganegaraan Indonesia sebanyak
63.992 orang, dan Kewarganegaraan Asing sebanyak 1 (satu) orang (Monografi
Kecamatan Kuta Utara Tahun 2012).
Dalam pengelolaan masalah penduduk di wilayah Kuta Utara pada
umumnya dan Desa Adat Kerobokan khususnya, tetap pada koridor atau aturan
kependudukan yang ada sesuai dengan kebijakan yang sudah disepakati bersama.
Di masing-masing Banjar, ada Awig-Awig Adat yang mengikat krama uwed/asli
dan krama tamiu/pendatang. Di mana krama tamiu/pendatang yang sudah
60
memiliki rumah, bisa masuk sampai pada tingkat Banjar “Suka-Duka”. Mereka
tidak sampai diharuskan/dipaksakan masuk Banjar Desa Adat, sebab, mereka juga
sudah masuk Banjar Desa Adat di rumah atau tempat asalnya/kelahirannya.
Dengan masuk Banjar Suka-Duka, mereka akan otomatis mendapat suaran kulkul
(kentongan) jika tertimpa pancabaya/masalah/petaka seperti pencurian,
perampokan, kebakaran, layu sekar dan sebagainya.
Peraturan untuk penduduk pendatang (krama tamiu) diharuskan
mempunyai identitas KIPS (Kartu Identitas Penduduk Sementara). Dalam setiap
operasi penertiban itu tentu mengikut sertakan unsur-unsur dari Desa Adat
setempat, seperti pecalang dan prajuru desa. Operasi penertiban ini penting agar
tidak sampai ada warga yang tanpa identitas, untuk menjaga keamanan
masyarakat setempat. Penduduk pendatang (krama tamiu) juga banyak menetap di
daerah Kerobokan.
4.1.3 Mata Pencaharian
Sebagai daerah yang wilayahnya cukup luas, maka penduduknya tergolong
banyak dengan berbagai macam mata pencaharian. Mata pencaharian sebagian
besar masyarakat Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara adalah bergerak
di bidang pertanian, perdagangan, perikanan, industri, pemerintahan, dan jasa,
sebagai mata pencaharian utamanya. Sektor pariwisata merupakan sektor yang
paling diunggulkan dan mendapat perhatian utama dari masyarakat Kerobokan-
Seminyak, Kecamatan Kuta Utara, dan sektor pariwisata memberikan kontsribusi
yang paling besar terhadap perekonomian dan pendapatan masyarakat setempat,
serta pendapatan daerah terkait. Penyerapan tenaga kerja yang sangat besar dalam
61
sektor pariwisata menyebabkan sebagian besar masyarakatnya bekerja dalam
industri pariwisata, baik yang berhubungan langsung dengan segala aktivitas
pariwisata maupun dalam bidang sarana dan prasana yang tersedia sebagai
penunjang sektor pariwisata tersebut.
Berdasarkan registrasi/pendataan Kecamatan Kuta Utara tahun 2012,
jumlah perusahaan/usaha industri (besar dan Sedang) sebanyak 91 buah, dengan
jumlah tenaga kerja sebesar 6.779 orang, industri kecil sebanyak 479 buah,
dengan jumlah tenaga kerja sebesar 3.014 orang, dan Industri rumah tangga
sebanyak 408 buah, dengan jumlah tenaga kerja sebesar 1265 orang. Terdapat
perhotelan/losmen/penginapan sebanyak 288 buah, dengan penyerapan tenaga
kerja sebesar 1.481 orang, rumah makan/warung makan sebanyak 202 buah,
dengan jumlah tenaga kerja mencapai 1.064 orang. Di bidang perdagangan/
wirausaha terdapat sebanyak 8.335 buah, dengan menyerap tenaga kerja sebanyak
9.979 orang. Di bidang angkutan/travel terdapat sebanyak 536 buah, dengan
jumlah tenaga kerja sebanyak 701 orang. Di bidang wiraswasta terdapat sebanyak
114 buah, dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 426 orang (Monografi
Kecamatan Kuta Utara tahun 2012).
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sektor pariwisata memegang
peranan yang sangat penting terhadap pereokonomian masyarakat Kerobokan
khususnya dan Kecamatan Kuta Utara pada umumnya. Masyarakat di Kelurahan
kerobokan-Seminyak, Kuta Utara, ikut berperan aktif dalam industri pariwisata,
hal tersebut merupakan nilai penting dan pokok dalam peningkatan kesejahteraan
perekonomian dan pendapatan bagi masyarakat setempat, sehingga dengan penuh
62
kesadaran mereka turut serta ikut mengembangkan industri pariwisata yang terus
berkembang di wilayah tersebut.
4.1.4 Agama
Masyarakat Desa Adat Kerobokan sebagian besar dari jumlah
penduduknya sekitar 90 persen beragama Hindu, dan sisanya 10 persen beragama
lain, seperti Islam, Kristen, dan Budha, mereka hidup saling berdampingan satu
sama lainnya, menghormati perbedaan agama diantara mereka sesuai dengan
penerapan dan aturan desa yang berlaku dan dipatuhi. Berdasarkan
registrasi/pendataan yang ada di Kecamatan Kuta Utara, penduduk yang
beragama Hindu sebanyak 45.965 orang, beragama Islam sebanyak 9.955 orang,
beragama Kristen Katolik sebanyak 3.185 orang, Kristen Protestan sebanyak
4.124 orang dan beragama Budha sebanyak 764 orang.
Sebagai daerah yang memiliki wilayah yang luas, dan sebagian besar
masyarakatnya beragama Hindu, di mana pura sebagai tempat persembahyangan
bersama, dan juga menjadi milik bersama masyarakat Desa Kerobokan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh informan A.A Putu Sutarja, sebagai Bendesa
Adat Kerobokan pada tanggal 5 Mei 2013, mengatakan bahwa Desa Adat
Kerobokan hanya mempunyai satu Pura Puseh dan satu Pura Desa, serta memiliki
delapan Pura Dalem Kahyangan. Kedelapan Pura Dalem itu adalah; Pura Dalem
Robokan, Pura Dalam Teges, Pura Dalam Umaduwi, Pura Dalem Kayuaya, Pura
Dalem Dukuh, Pura Dalem Banjar Anyar, Pura Dalem Desa, dan Pura Dalem
Kerobokan. Sedangkan untuk Pura Puseh dan Pura Desa merupakan
pengempon/penyungsung dari semua masyarakat Desa Adat Kerobokan.
63
Karena hanya memiliki satu Pura Desa dan Satu Pura Puseh, di samping
krama atau masyarakat Desa Adat Kerobokan cukup banyak, maka pada saat
upacara keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Puseh dan di Pura Desa yang hanya
berlangsung selama tiga hari, persembahyangan diatur secara bergilir dengan
sistem prani, yakni setiap krama Banjar Adat bergiliran menghaturkan
persembahyangan selama upacara keagamaan (odalan/piodalan) berlangsung,
sehingga dalam tiga hari semua masyarakat Desa Adat Kerobokan sudah merata
mendapatkan persembahyangan bersama di Pura Puseh dan Pura Desa tersebut.
Hal ini dilakukan agar persembahyangan berjalan lancar, baik dan aman,
mengantisipasi agar warga masyarakat yang ingin melakukan persembahyangan
tidak serempak berdatangan ke Pura Puseh dan Pura Desa pada saat adanya
upacara keagamaan (odalan/piodalan).
4.1.5 Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Adat Kerobokan dipengaruhi
oleh unsur-unsur agama Hindu, yakni menjunjung tinggi konsep Tri Hita karana,
yang berarti “tiga penyebab kesejahteraan”, (Tri = tiga, Hita = sejahterah, dan
Karana = sebab) yaitu mencakup tiga unsur utama lingkungan, yang terdiri dari
parhyangan (lingkungan spiritual), pawongan (lingkungan sosial), dan palemahan
(lingkungan alamiah). Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang antar ketiga unsur
tersebut dan diyakini akan membawa manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia
lahir dan bathin. Desa Adat Kerobokan dengan wilayahnya yang luas, dalam
aspek palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan alamiah) juga tidak
64
luput dari persoalan klasik yang terjadi saat ini akibat industri pariwisata, yakni
adanya alih fungsi lahan tanah pertanian ke nonpertanian.
Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh informan A.A. Putu
Sutarja sebagai Bendesa Adat Kerobokan pada tanggal 5 Mei 2013, mengatakan
bahwa hampir 70 persen lahan persawahan di desa ini sudah beralih fungsi, yang
semula sebagai salah satu daerah penghasil padi di Kabupaten Badung, kini sudah
tidak lagi dan telah terjadi perubahan dratis, dari delapan subak yang ada
sebelumnya, hanya tersisa dua subak yang masih bertahan, yakni Subak Tegal dan
Subak Kedapan, kedua subak tersebut masih berfungsi, walaupun saat ini hanya
mampu berproduksi 50 persen dari lahan pertanian yang ada. Subak adalah suatu
sistem pengairan teratur dalam hal pengaturan air untuk penataan irigasi sawah
dalam kehidupan pertanian masyarakat Bali (Alwi, 2001: 1094). Subak
merupakan budaya lokal rakyat Bali tentang sistem pembagian/penataan air yang
diwariskan secara turun temurun hingga sekarang.
Wilayah Kerobokan sebagai Desa Adat yang berada di daerah perkotaan,
yang mengalami perkembang pesat dalam industri pariwisata, serta banyaknya
penduduk pendatang yang masuk, sehingga membawa berbagai macam persoalan
serta pola kehidupan sosial budaya global yang masuk ke dalam kehidupan
masyarakatnya. Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di
segala bidang, pergaulan antar masyarakat lokal dengan pendatang dan
wisatawan, terjadinya perubahan sistem perekonomian dari pertanian ke
pariwisata akibat pengembangan industri pariwisata Bali, serta hubungan
perdagangan global akibat kecanggihan transportasi, semakin mempercepat
65
terjadinya proses interaksi sosial budaya serta perubahan pandangan dan pola
pikir dalam perilaku kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Adat Kerobokan.
4.1.6 Kesenian
Kehidupan berkesenian masyarakat di wilayah Desa Adat Kerobokan
masih tetap berlangsung hingga saat ini dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai
seni dan budaya peninggalan nenek moyang yang diwariskan dari generasi ke
generasi, walaupun kehidupan mereka sebagian besar menggantungkan
perekonomian dalam industri pariwisata. Masyarakat Desa Adat Kerobokan juga
memiliki kesenian sakral yang masih tetap dipertahankan dan dipertunjukan pada
saat-saat tertentu, yaitu pada saat upacara keagamaan di Pura Desa, Pura Puseh,
dan Pura Dalem, termasuk ketika odalan/piodalan di Pura Petitenget. Seni sakral
yang dipertunjukkan di sini merupakan seni tarian yang selalu mengiringi
kegiatan upacara keagamaan dengan seni tari yang bersifat ritual, seni tarian
sakral tersebut adalah Tari Rejang dan Tari Baris Tekok Jago.
Berdasarkan dengan apa yang dituturkan oleh informan A.A. Putu Sutarja
(48 tahun) sebagai Bendesa Desa Adat Kerobokan pada tanggal 5 Mei 2013,
mengatakan bahwa Tari Rejang merupakan tarian yang bersifat sakral bagi
masyarakat Desa Adat Kerobokan, karena hanya dipertunjukkan atau pentaskan di
dalam pura pada saat adanya upacara keagamaan (pujawali) di Pura Dalem, Pura
Desa, Pura Puseh maupun Pura Petitenget. Sedangkan tari Baris Tekok Jago
merupakan tarian sakral asli yang berasal dari Desa Adat Kerobokan, di mana
hanya bisa ditarikan atau dibawakan oleh masyarakat dari Banjar Adat Jambe
(Keluruhan Kerobokan Kaja), serta merupakan satu-satunya tarian sakral Baris
66
yang ada di Kabupaten Badung. Tari Baris Tekok Jago mempunyai makna
filosofis yang menggambarkan ketika seorang atma atau roh pergi menuju surga
dengan penuh pengharapan. Tari Baris Tekok Jago juga merupakan tarian
pemujaan kepada Sang Pencipta untuk memohon hujan ketika musim kering atau
paceklik melanda Desa Adat Kerobokan.
Selain kesenian sakral di atas, kehidupan berkesenian masyarakat Desa
Adat Kerobokan terhadap seni daerah Bali juga sangat berkembang, terutama di
dalam bidang seni kerawitan, seni gamelan, seni tari, seni pahat dan lukis, seni
wayang dan hias, seni mejejaitan dan kerajinan, hal ini dapat dilihat dari
banyaknya sanggar-sanggar seni yang dimiliki, yang selalu mengiringi kegiatan
keagamaan dan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Adat Kerobokan, mulai
dari seni yang bersifat ritual maupun seni yang bersifat menghibur, terutama seni
gamelan dan tarian yang mampu memberikan daya tarik sekaligus kesejukan
bathin bagi setiap masyarakat di sekitarnya termasuk kepada wisatawan.
4.2 Pura Petitenget
4.2.1 Lokasi
Lokasi penelitian ini dilakukan di Pura Petitenget yang terletak di Banjar
Batu Belig, Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten
Badung, Propinsi Bali. Untuk mencapai Pura Petitenget sangat mudah karena
berada di daerah pariwisata Desa Adat Kerobokan, lokasi Pura Petitenget ini
berjarak sekitar 10 (sepuluh) kilometer Barat Daya Kota Denpasar, di tempuh
dengan waktu kurang lebih 20 menit. Dari arah Kota Denpasar ke arah Barat
Daya, berbelok ke Selatan menuju ke Kuta Utara, kemudian ke arah Utara menuju
67
ke Selatan menyusuri jalan raya Seminyak-Kuta Utara. Selanjutnya menuju ke
arah Barat Daya ke pantai Petitenget. Lokasi keberadaan Pura Petitenget ini tepat
berada di depan pantai Petitenget, dan Pura Petitenget juga berdampingan dengan
Pura Masceti-Ulun Tanjung yang berdiri sendiri dalam sebuah areal. Pura
Petitenget merupakan salah satu pura tua yang ada di Bali, di bangun pada abad
XV, yang berhubungan dengan perjalanan suci Dang Hyang Nirartha dan
merupakan salah satu pura dang kahyangan di Bali yang berada di Kabupaten
Badung. (Lihat Gambar 4.1).
Gambar 4.1 Pahatan Nama Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)
Berpandangan dengan konsep pura sebagai tempat suci pada umumnya di
Bali, maka struktur atau bentuk areal Pura Petitenget juga berdasarkan atas konsep
pura Tri Mandala, yakni terbagi atas tiga bagian halaman, yaitu jaba pura
(halaman luar), jaba tengah (halaman tengah), dan jeroan (halaman dalam).
Pembagian atas tiga halaman tersebut mempunyai dasar pemikiran filosofis agama
Hindu, yaitu pura dianggap sebagai simbol makrokosmos yang melambangkan
tiga tingkatan dunia, yaitu Bhurloka, di mana jaba pura melambangkan bhurloka
68
yaitu dunia bawah tempat kehidupan manusia. Bhuwarloka, di mana jaba tengah
melambangkan bhuwarloka yaitu dunia tengah tempat kehidupan manusia yang
sudah disucikan. Dan Swarloka, di mana jeroan melambangkan swarloka yaitu
dunia atas tempat kehidupan para Dewa.
Memasuki areal Pura Petitenget mesti melewati jalan di sebelah selatan
pura dan keluar melalui jalan di sebelah utara pura. Di halaman terluar atau Nista
Mandala (jaba) Pura Petitenget berdiri sebuah wantilan yang cukup besar dan
bersih, biasa digunakan sebagai tempat aktivitas yang berhubungan dengan segala
kegiatan di pura ini, berupa kesenian profan yang bersifat hiburan, yaitu seni
balih-balihan. (Lihat Gambar No.4.2).
Gambar 4.2 Wantilan Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)
Sebelum memasuki Pura Petitenget mesti melewati Apit Surang (Candi
Bentar) dengan menaiki beberapa anak tangga sebagai pemisah antara jaba sisi
(Nista Mandala) dengan jaba tengah (Madya Mandala). (Lihat Gambar 4.3).
69
Gambar 4.3 Halaman Depan Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)
Memasuki halaman Madya Mandala (jaba tengah) Pura Petitenget dari
arah barat dengan pintu utamanya Candi Bentar (Apit Surang). Pada Madya
Mandala Pura Petitenget ini terdapat bangunan Perantenan (dapur) dan Balai
Wantilan yang berfungsi sebagai tempat menyiapkan segala keperluan upakara
dalam rangka upacara (pujawali) pura, serta bangunan Balai Gong yang berfungsi
sebagai tempat untuk memainkan gamelan/gong saat upacara keagamaan (odalan/
piodalan) untuk kesenian yang bersifat profan (seni Bebali) seperti, Balaganjur,
dan Wayang kulit. Di Madya Mandala ini, di bagian sudut timur halaman terdapat
pelinggih Padma Ratu Ayu, pelinggih Sedan Gede Tedung Jagat dan pelinggih
Sedan Lingsir sebagai tempat untuk memohon kesembuhan. (Lihat Gambar 4.4).
Gambar 4.4 Beberapa Pelinggih di Madya Mandala Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)
70
Sementara untuk bisa sampai ke Utama Mandala pura (Jeroan) mesti
melewati Kori Agung, yakni merupakan pintu masuk dan batas wilayah antara
jaba tengah (Madya Mandala) dengan jeroan (Utama Mandala), dengan tiga pintu,
yaitu pintu utama di tengah, dengan dua pintu lagi di sebelah kanan dan di sebelah
kiri. (Lihat Gambar 4.5).
Gambar 4.5 Kori Agung di Madya Mandala Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)
Memasuki Halaman Utama Mandala (jeroan) Pura Petitenget terdapat
bangunan Balai Gong, yang berfungsi sebagai tempat untuk memainkan gamelan
saat upacara keagamaan (odalan/piodalan) pura yang bersifat sakral (seni Wali)
seperti, tari Rejang, tari Baris, tari Saron dan Gambang. Bangunan Balai Upakara,
yang berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan sesaji (banten) upakara dan
menghaturkan sesaji (banten) oleh pendeta/pedanda saat berlangsungnya upacara
keagamaan (odalan/piodalan), dan Balai Penyimpenan, yang berfungsi sebagai
tempat penyimpanan alat-alat upacara keagamaan pura. Pada Utama Mandala
Pura Petitenget ini, terdapat pelinggih Naga Gombang, pelinggih Padmasari,
Padmasana, pelinggih Meru Tumpang Tiga, yang merupakan linggih Ida
Luhuring Dalem Solo, pelinggih Majapahit, yang merupakan linggih Ida Dalem
Majapahit, pelinggih Sad Pada dan Catu. Pelinggih yang paling utama di pura ini
71
adalah pelinggih “Gedong Petitenget” yang merupakan tempat berstananya Dhang
Hyang Dwijendra, juga sebagai tempat penyimpanan peti pecanangan sang
pendeta suci tersebut. (Lihat Gambar 4.6 dan Gambar 4.7).
Gambar 4.6 Beberapa Pelinggih di Utama Mandala Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)
Gambar 4.7 Pelinggih Gedong Petitenget di Utama Mandala(Dokumentasi: Budiasih)
4.2.2 Sejarah
Pura Petitenget sebagai pura dang kahyangan mempersilahkan umat
Hindu untuk tidak ragu-ragu dalam melakukan persembahyangan di pura ini,
karena sebagai pura dang kahyangan merupakan tempat suci untuk menghormati
jasa sang guru suci. Sebagai bentuk penghormatan maka dibuatkan tempat
72
pemujaan terhadap jasa sang guru suci dalam perannya sebagai Dang Guru atas
dasar ajaran agama Hindu yang disebut “Rsi Rna”. Di mana makna sejarah
berdirinya pura dang kahyangan berdasarkan dari ajaran Rsi Rna tersebut, yakni
sebagai wujud rasa bakti umat yang tulus, sehingga mendirikan tempat suci untuk
memuja sang guru suci atas jasanya yang telah mengajarkan ajaran agama, dan
bentuk rasa terimakasih umat itu diwujudkan atas pendirian pura dang kahyangan,
dan pura dang kahyangan tersebut didirikan di ashram atau tempat di mana sang
guru melakukan yoga semadi/bertapa. Berdasarkan hal tersebut maka hendaknya
umat menghormati orang suci sebagai guru suci atau dang guru yang telah berjasa
memberi dan mengajarkan ajaran agama, dan sebagaimana halnya umat beragama
Hindu mewujudkan rasa baktinya kepada Tuhan, para Dewa dan para
leluhur.(Sumber:http://www.network54.com/forum/78267/message/1011745902/
Pemujaan+terhadap+Guru+Suci Tanggal 6 juli 2013).
Sesuai dengan apa yang dituturkan oleh informan A.A. Putu Sutarja (48
tahun) sebagai Bendesa Adat Kerobokan pada tanggal 5 Mei 2013, mengatakan
sejarah berdirinya Pura Petitenget bermula ketika seorang pendeta suci yang
bernama Dang Hyang Dwijendra dalam perjalanan sucinya meninggalkan Pura
Serangan menuju ke arah Selatan. Dalam perjalanan suci itu, akhirnya beliau tiba
di sebuah tempat yang kemudian saat ini dikenal sebagai daerah yang bernama
Desa Adat Kerobokan. Sebelum melanjutkan perjalanan sucinya menuju Pura
Uluwatu, Dhang Hyang Dwijendra menyempatkan diri bercengkerama dengan
Ida Batara Masceti di sekitar daerah Petitenget, lokasi Pura Petitenget saat ini. Di
tempat ini, ketika Dhang Hyang Dwijendra dan Ida Batara Masceti sedang asyik
73
bercakap-cakap membicarakan tentang hal-hal yang berhubungan dengan
keagamaan, tanpa sengaja percapakan beliau di dengar oleh Bhuto Ijo dan sang
pendeta melihat kehadiran Bhuto Ijo (raksasa yang memiliki wajah sangat
menakutkan dalam mitologi Bali) yang bersembunyi di balik semak dan hutan.
Mengetahui hal itu, Bhuto Ijo dipanggil oleh sang pendeta dan menanyakan
maksud dan tujuannya menampakkan diri di hadapan beliau, kemudian Bhuto Ijo
menjelaskan dan memohon kepada pendeta Dhang Hyang Dwijendra untuk
membiarkan dirinya menempati/mendiami daerah tersebut sebagai tempat
tinggalnya, yang akhirnya dikabulkan oleh sang pendeta.
Sebelum sang pendeta suci Dhang Hyang Dwijendra meninggalkan daerah
Kerobokan, beliau memberi mandat/tugas kepada Bhuto Ijo, di mana beliau
menitipkan sebuah kotak sebagai tempat menyimpan sirihnya yang berbentuk
seperti sebuah peti. Kemudian sang pendeta berpesan dan meminta kepada Bhuto
Ijo untuk menjaganya dengan baik peti pecanangannya sampai beliau kembali
dari tempat pertapaannya yakni, di Pura Uluwatu. Namun, ketika sang pendeta
belum menyelesaikan pertapaannya, beliau di datangi utusan warga Kerobokan
yakni kelian kerobokan dan tokoh masyarakat setempat untuk mendengarkan
laporan dari warga Kerobokan tersebut. Di mana menceritakan bahwa ada
sebidang tanah di wilayah Kerobokan (daerah Petitenget saat ini) yang terbilang
angker, siapa saja yang memasuki daerah tersebut akan terkena sakit/penyakit.
Dikatakannya bahwa suatu ketika ada anggota masyarakat yang memasuki
daerah itu dengan tujuan mencari kayu bakar, memetik dedaunan dan sebagainya,
namun anehnya, setelah pulang dari daerah itu orang tersebut langsung jatuh
74
sakit. Kejadian tersebut sering terjadi berulangkali, dan cerita itu menjadi tersebar
di masyarakat kerobokan sehingga membuat masyarakat merasa takut memasuki
wilayah tersebut. Rupanya oleh masyarakat setempat tidak ada yang mengetahui
bahwa itu daerah yang angker, karena memang dijaga oleh mahkluk gaib Bhuto
Ijo yang dengan setia menjaga peti pecanangan sang pendeta suci Dhang Hyang
Dwijendra sekaligus menjaga wilayah itu sehingga menjadi angker (tenget).
Akhirnya kelian kerobokan bersama tokoh masyarakat menemui pendeta Dhang
Hyang Dwijendra di Uluwatu untuk memohon petunjuk beliau.
Sang pendeta suci memberitahukan kepada utusan warga kerobokan
bahwa wilayah tersebut memang dijaga oleh mahluk gaib yang bernama Bhuto
Ijo, yang telah diberi mandat oleh beliau untuk menjaga peti pecanangannya yang
dititipkan kepadanya. Oleh sang pendeta diberi petunjuk agar makhluk gaib itu
tidak lagi mengganggu atau mengusik ketenangan masyarakat sekitarnya ketika
memasuki daerah angker itu. Beliau berpesan untuk melakukan dan memberi
persembahan kepada Bhuto Ijo berupa Lelaban setiap Tilem Kawulu, masarana
sampi selem batu, lengkap dengan ajeng-ajengan cacahan. Sedangkan pada
Purnama Kasangan dihaturkan upakara Lelaban Penangluk Merana, masarana
sampi biyang, belang kebangsapi yang sudah beranak, ada tompel dibalik paha
atau lengannya. Semua hal tersebut mesti dilakukan supaya palemahan (tanaman
pertanian) tidak diserang hama penyakit. Sang pendeta suci juga meminta kepada
masyarakat Kerobokan dan sekitarnya untuk membangun sebuah tempat suci
sebagai tempat persembahyangan, dan oleh masyarakat setempat dibangunlah
sebuat tempat suci di daerah itu sesuai dengan perintah sang pendeta. Setelah
75
dilakukan persembahan kepada Bhuto Ijo sesuai dengan pesan sang pendeta,
kemudian didirikanlah tempat suci oleh masyarakat setempat, maka di daerah
sekitarnya menjadi aman, tidak mendapat gangguan lagi seperti sebelumnya,
penduduk setempat ketika memasuki wilayah yang dijaga oleh Bhuto Ijo tidak
lagi mengalami sakit/penyakit seperti kejadian sebelumnya.
Akhirnya lokasi di mana berdirinya tempat suci tersebut oleh masyarakat
setempat didirikanlah sebuah pura yang berhubungan dengan perjalanan suci sang
pendeta Dang Hyang Nirartha atau Dang Hyang Dwijendra (Pedanda Sakti Wawu
Rauh), pura itu oleh masyarakat setempat dinamakan “Pura Petitenget”, yang
berasal dari dua kata yakni, peti memiliki arti peti yang sesungguhnya, dan tenget
yang berarti angker. Jadi “Petitenget” secara harafiah berarti peti yang angker.
Semenjak Pura Petitenget berdiri, wilayah sekitarnya menjadi aman dan tenteram,
serta tidak ada gangguan atau hal-hal yang menimbulkan sakit, dan masyarakat
setempat leluasa untuk masuk ke daerah Petitenget dengan rasa aman hingga
sekarang ini. Peti Pecanangan sang pendeta suci Dhang Hyang Dwijendra yang
dijaga oleh Bhuto Ijo oleh masyarakat setempat dibuatkan dan diletakkan pada
sebuah bangunan yang diwujudkan dalam bentuk bangunan pelinggih “Gedong
Petitenget”, yaitu sebagai tempat berstananya sang guru suci Dhang Hyang
Dwijendra, di mana pelinggih ini juga sebagai tempat penyimpanan peti.
4.2.3 Penyungsung
Secara umum istilah penyungsung sesungguhnya memiliki arti yang sama
dengan pangempon atau pangemong, karena sama-sama berkaitan dengan umat
dan pura, yang berkewajiban menjalankan perintah agama dalam melaksanakan
76
sembah sujud bakti kehadapan Tuhan di dalam pura sebagai tempat suci bagi
umat Hindu untuk berhubungan dengan Sang Pencipta melalui persembahyangan
ataupun persembahan. Penyungsung berasal dari kata “sungsung” yang berarti
junjung, menjunjung atau memuliakan Sang Pencipta ketika bersembahyang di
dalam pura. Sedangkan istilah pangempon atau pangemong berasal dari kata
“empon” atau “emong” yang mengandung arti mengayomi atau melindungi. Jadi
pengertian penyungsung, pangempon atau pangemong maknanya lebih tertuju
kepada umat Hindu yang memuliakan Sang Pencipta dalam menjalankan ajaran
agamanya dengan melakukan persembahyangan atau persembahan di dalam pura,
dan lebih terkait dengan memberi pengayoman dan perlindungan terhadap
keberadaan suatu pura. Dalam konteks pengayoman dan perlindungan, tidak saja
secara fisik, melainkan juga dalam finansial dan terselenggaranya keseluruhan
kegiatan-kegiatan upacara yadnya atau pujawali yang di selenggarakan di pura.
(Sumber:http://suryadistira.blogspot.com/2008/07/pemedek-penyungsung-dan-
pengemong.html?m=1).
Sebagaimana yang dituturkan oleh Bendesa Adat Kerobokan A. A. Putu
Sutarja (48 tahun) dan Pemangku Pemucuk Pura Petitenget Jero Mangku Made
Widra (62 tahun) pada tanggal 5 Mei 2013, mengatakan bahwa Pura Petitenget di-
empon (pangemong/disungsung) oleh empat puluh sembilan (49) Banjar Adat dan
satu (1) Subak Adat Se-Desa Adat Kerobokan, Kabupaten Badung. Ke-empat
puluh sembilan Banjar Adat Se-Desa Adat Kerobokan tersebut yakni; Banjar
Batuculung, Banjar Babakan, Banjar Beluran, Banjar Batu Bidak, Banjar Jambe,
Banjar Gadon, Banjar Petingan, Banjar Silayukti, Banjar Gede, Banjar Tegeh,
77
Banjar Kancil, Banjar Kesambi, Banjar Muding Kaja, Banjar Muding Tengah,
Banjar Muding Kelod, Banjar Muding Mekar, Banjar Campuan, Banjar Padang,
Banjar Peliatan, Banjar Anyar Kaja, Banjar Anyar Kelod, Banjar Kuwum, Banjar
Dukuh Sari, Banjar Semer, Banjar Uma Alas Kangin, Banjar Uma Alas Kauh,
Banjar Uma Sari, Banjar Batu Belig, Banjar Batu Belig Kangin, Banjar Taman,
Banjar Taman Mertanadi, Banjar Basangkasa, Banjar Pengubengan Kauh, Banjar
Pengubengan Kangin, Banjar Pengipian, Banjar Padangsumbu Kelod, Banjar
Padangsumbu Kaja, Banjar Padangsumbu Tengah, Banjar Umadui, Banjar
Jabapura, Banjar Batubolong, Banjar Tegallantang Kaja, Banjar Tegalalantang
Kelod, Banjar Tegalbuah, Banjar Abasan, Banjar Teges, Banjar Lepang, Banjar
Tegehsari, Banjar Robokan, dan Banjar Umaklungkung.
Begitu banyak penyungsung (pangemong) Pura Petitenget dari masyarakat
desa Adat Kerobokan, maka oleh panitia penyelenggara upacara keagamaan pura
ini diberlakukan sistem prani, yakni setiap banjar adat se-Desa Adat Kerobokan
yang akan melakukan persembahyang di Pura Petitenget mesti bergantian di
dalam menghaturkan persembahan sesaji (banten) dan persembahyangan, baik
perseorangan maupun bersama keluarga, akan disesuaikan dengan waktu yang
sudah ditentukan dan disepakati bersama. Hal ini dilakukan agar terwujudnya
ketertiban dan keteraturan, serta kenyamanan bagi umat yang bersembahyang,
sehingga menghindari terjadinya kesemberawutan atau ketidakberaturan pada saat
persembahyangan umat selama proses berlangsungsungnya upacara keagamaan
(odalan/piodalan) di Pura Petitenget.
78
4.2.4 Upacara
Upacara keagamaan (odalan/piodalan) adalah upacara pemujaan ke
hadapan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dengan segala
manifestasinya lewat sarana pemerajan, pura, dan kahyangan pada saat hari–hari
tertentu. Upacara odalan/piodalan bisa juga bermakna hari ulang tahun bagi pura,
atau wedal, yang berarti keluar, turun atau dilinggakannya, dalam hal ini Sang
Hyang Widhi dengan segala manifestasinya menurut hari yang telah ditetapkan
untuk pemerajan, pura, dan kahyangan yang bersangkutan. Odalan/piodalan bisa
juga disebut pertitayan, petoyan dan pujawali. Upacara keagamaan (odalan/
piodalan) termasuk dalam upacara keagamaan Dewa Yadnya, yakni bermakna
upacara korban atau persembahan suci yang tulus ikhlas sebagai rasa bakti kepada
Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan seluruh manifestasi-Nya.
Dalam pelaksanaan upacara keagamaan (odalan/piodalan) umat Hindu
berpedoman kepada ajaran Catur Marga, makna Catur Marga adalah empat jalan
untuk mencapai kesempurnaan hidup lahir dan bathin (Sumber:
htpp://www.babadbali.com/piodalan/piodalan.htm).
Berdasarkan konsepsi upacara keagamaan (odalan/piodalan) di atas, maka
Upacara keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget sesuai dengan ajaran
agama Hindu, di mana upacara dilaksanakan dengan cara menghaturkan
persembahan berupa upakara, dengan perlengkapan upacara berbentuk sesajian
kepada kepada Hyang Widhi dengan pengharapan memohon keselamatan dan
kesejahteraan bagi semua makhluk. Adapun upacara keagamaan (pujawali) yang
dilaksanakan di Pura Petitenget menurut Jero Mangku Made Widra (62 tahun)
79
sebagai Pemangku Pemucuk (utama) Pura Petitenget yang diwawancarai pada
tanggal 5 Mei 2013. Mengatakan bahwa upacara keagamaan (odalan/piodalan) di
Pura Petitenget jatuhnya setiap enam bulan sekali (210 hari), yakni, pada hari
Buda Wage Merakih, dengan puncak upacara odalan/piodalan selama empat hari,
di mana satu hari sebagai hari persiapan upacara keagamaan dengan melakukan
upacara pembersihan dengan menghaturkan upakara banten Nyepuh, yang
bermakna mengembalikan kesucian Pura Petitenget, dan tiga hari sebagai puncak
odalan/piodalan Pura Petitenget.
Berdasarkan tuturan yang disampaikan oleh informan Jero Mangku Made
Widra sebagai Pemangku Pemucuk Pura Petitenget, mengatakan bahwa upacara
keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget rutin diperingati dan
dilaksanakan sesuai dengan waktu tertentu. Upacara keagamaan tersebut di bagi
menjadi tiga (3) tahapan upacara keagamaan. Adapun ketiga tahapan upacara
keagamaan (odalan/piodalan) tersebut adalah sebagai berikut. Pertama,
Odalan/piodalan Pujawali Agung, yang jatuh setiap enam bulan sekali yakni,
pada hari Buda Wage Merakih, disertai dengan upakara banten Pragembal.
Kedua, Odalan/piodalan Catur Rbah, atau disebut dengan upacara Panca Wali
Krama, yang datangnya setiap lima tahun sekali. Upacara keagamaan ini disebut
dengan upacara Pedudusan Alit, disertai dengan upakara banten Mebangkit
Pragembal. Ketiga, Odalan/piodalan Catur Muka, yang datangnya setiap sepuluh
tahun sekali, disebut dengan upacara Karya Agung, disertai dengan upakara
banten Nyatur Rbah.
80
BAB V
BENTUK PROFANISASI PEMANFAATAN WARISAN BUDAYA
PURA PETITENGET DI DESA ADAT KEROBOKAN,
KECAMATAN KUTA UTARA, BADUNG
5.1 Pemanfaatan Jeroan dan Jaba Tengah Pura Petitenget Sebagai Objek
Wisata Budaya
Adanya pengaruh budaya global yang mendominasi industri pariwisata
Bali sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi,
komunikasi dan transportasi, yang mempunyai kekuatan saling mempengaruhi
satu sama lainnya sehingga berimplikasi pada segala aspek kehidupan masyarakat
Desa Adat kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget. Bentuk
pengaruh budaya global itu telah mempengaruhi keberadaan Pura Petitenget
sebagai benda cagar budaya, sehingga mempengaruhi perubahan pandangan dan
pola pikir masyarakat setempat untuk memanfaatkan warisan budaya tersebut ke
dalam bentuk nilai ekonomi atas pemanfaatan warisan budaya ini.
Pura Petitenget yang berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya atas
pemanfaatannya dalam konteks pariwisata budaya di Bali, telah memberi nilai
ekonomi untuk penambahan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat setempat
serta para pengelola/pengurus pura ini. Unsur kekayaan sumber daya budaya lokal
yang dilestarikan dan dimiliki oleh masyarakat Desa Adat Kerobokan tersebut
dikomersialkan untuk kepentingan pariwisata budaya di Bali, sehingga memberi
peluang bagi wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Pura Petitenget.
Dengan adanya tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan pariwisata
81
budaya Bali, serta adanya praktik-praktik kapitalisme telah mendorong terjadinya
profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat
kerobokan dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali.
Bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa
Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, di sini adalah pemanfaatan
Pura Petitenget sebagai objek wisata budaya telah membuat rasa ketertarikan
wisatawan mancanegara maupun domestik untuk berkunjung ke pura ini akibat
komersialisasi tempat suci. Secara sadar atau tidak, pada akhirnya membawa
berbagai macam persoalan budaya global yang terkait untuk masuk di dalamnya,
sehingga mempengaruhi keberadaan Pura Petitenget sebagai tempat suci. Dengan
diijinkannya wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Pura Petitenget, dengan
leluasa masuk hingga ke halaman tersuci (jeroan) pura ini, yang seharusnya hanya
sebagai tempat persembahyangan umat. Kondisi tersebut mengakibatkan kesucian
Pura Petitenget tidak lagi menjadi sakral sesuai dengan riwayat sejarahnya atas
keberadaan pura ini ketika pertama kali di bangun, yang seharusnya tetap terjaga
dan terpelihara, tetapi saat ini mengalami perubahan nilai dan maknanya sebagai
tempat suci, semenjak pemanfaatannya sebagai objek wisata budaya, akhirnya
bergeser ke nilai profan karena berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya. Hal
ini menyebabkan kesucian Pura Petitenget tidak lagi penuh kereligiusan tetapi
bersifat keduniawiaan akibat budaya global yang masuk di dalamnya, sebagai
akibat perkembangan industri pariwisata Bali.
Persoalan di atas telah menyebabkan kesakralan Pura Petitenget dalam
konteks pariwisata budaya di Bali tidak lagi sebagaimana pada awal mulanya di
82
bangun, tetapi telah terjadi profanisasi atas nilai utamanya sebagai tempat suci
akibat pemanfaatannya yang difungsikan sebagai objek wisata budaya dalam
industri pariwisata Bali. Di mana komersialisasi tempat suci dapat mengakibatkan
menurunnya nilai-nilai religiusitas/kesakralan tempat suci tersebut karena
memfungsikannya sebagai daya tarik objek wisata budaya, dan masyarakat lokal
sebagai pewaris dan pemilik pusaka budaya ini seringkali tidak memahami makna
yang terkandung di dalam sumber daya budaya yang dimilikinya. Kesakralan
suatu pura harus tetap terpelihara dan terjaga untuk keberadaan kesucian pura
tersebut, dengan adanya konsepsi tentang kesucian pura yang harus terjaga dan
terpelihara kesakralannya, baik di dalam maupun di luar pura, maka Pura
Petitenget harus tetap sakral (suci), baik di dalam maupun di luar pura itu sendiri,
dan sebagai tempat suci bagi umat Hindu dalam menjalankan ajaran agamanya, di
samping sebagai warisan benda cagar budaya (living monument).
Komersialisasi bangunan suci/pura sebagai objek wisata budaya sejalan
dengan pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar
budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali. Kedatangan wisatawan
mancanegara yang sengaja mengunjungi Pura Petitenget, dan melihat-lihat
keadaan pura ini hingga leluasa masuk ke areal halaman tersuci (jeroan) Pura
Petitenget telah mengakibatkan pura ini kehilangan hakekat kesuciannya sebagai
tempat suci akibat sifat-sifat keduniawiaan yang masuk ke dalamnya yang
berimplikasi dengan budaya global, yaitu sebagai benda yang dikomersialkan,
sebagai objek wisata cagar budaya untuk kepentingan industri pariwisata Bali.
Masuknya wisatawan mancanegara hingga ke areal halaman tersuci (jeroan) Pura
83
Petitenget tanpa sadar telah membawa budaya global yang modernis untuk masuk
ke budaya lokal yang tradisionalis, dalam konteks ini, di mana budaya global
yang modernis dengan bercirikan etika berpakaian (busana atas) yang bebas
terbuka tidak sesuai dengan budaya lokal yang tradisionalis dengan ciri
berpakaian yang rapi dan bersih sesuai kaidah dan norma berbusana ke pura
sebagai tempat suci. (Lihat Gambar 5.1, Gambar 5.2 dan Gambar 5.3).
Gambar 5.1 Wisatawan Mancanegara di Jeroan Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)
Gambar 5.2 Wisatawan Mancanegara di Jeroan Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)
Gambar 5.3 Umat Hindu/Pamedek di Jeroan Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)
84
Sementara budaya global dengan ideologi individualis kebebasannya, bisa
saja tidak mengenal aturan kotor kain (haid) tentang hal-hal mengenai memasuki
suatu tempat suci, dalam hal ini pura. Berbeda dengan budaya lokal sebagai umat
beragama yang mengenal aturan kotor kain (haid), tidak mengijinkan seorang
(wanita) yang menstruasi/nifas, memasuki pura sebagai tempat suci karena aturan
norma/adat. Budaya global dengan kebebasan berekspresi ketika menyentuh unsur
kebudayaan tradisional yang unik dan khas, akan melibatkan kecanggihan media
teknologi saat wisatawan mancanegara memasuki halaman tersuci (jeroan) Pura
Petitenget untuk merekam segala objek yang diamatinya dengan segala simbol-
simbol, ikon-ikon seni dan budaya, dan keagamaan yang terkandung di dalamnya,
menjadi keunikan yang khas. Menyebabkan wisatawan mancanegara berkeinginan
untuk mempelajari, melihat cara hidup dan budaya bangsa lain, tanpa sadar
masyarakat lokal telah membuka pintu lebar-lebar atas kebudayaan asing/global
untuk berbaur dan masuk di dalamnya, yakni saat wisatawan memasuki halaman
tersuci (jeroan) Pura Petitenget untuk merekam, melihat keadaan di sekelilingnya
sehingga menciptakan bentuk ruang profan akan hal tersebut. (Lihat Gambar 5.4).
Foto 5.4 Wisatawan Mancanegara di Jeroan Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)
85
Secara bersamaan pada waktu dan tempat yang sama, memungkinkan
wisatawan mancanegara yang berkunjung, akan bertemu dengan pamedek/umat
Hindu yang sedang bersembahyang di jeroan Pura Petitenget, dengan kata lain,
dapat menyebabkan rasa ketidaknyamanan persembahyangan umat di dalam pura.
Kondisional ini disebabkan karena perubahan fungsi asli Pura Petitenget sebagai
tempat suci, semenjak difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya yang
dikomersialkan dalam konteks pariwisata budaya Bali. Sehingga telah mengubah
religiusitas nilai utama atau asli pura ini sebagai tempat suci yang bersifat sakral
telah bergeser menjadi ruang profan akibat sifat-sifat keduniawiaan yang masuk
di dalamnya. Konsekuensi terhadap hal-hal di atas, disebabkan pemanfaatan Pura
Petitenget sebagai objek wisata budaya dalam industri pariwisata Bali telah
mengakibatkan terjadinya profanisasi atas pura ini. Secara sadar atau tidak,
masyarakat lokal sebagai pemilik warisan budaya ini telah menciptakan bentuk
ruang profan yang beradaptasi dengan praktik kapitalis atas pemanfaatan Pura
Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya sehingga menggeser bentuk ruang
sakral Pura Petitenget sebagai tempat suci, dengan mengubah fungsi aslinya.
Terkait dengan hal-hal di atas, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh
informan A.A. Ngurah Putra (70 tahun) sebagai Ketua Panitia Pengelola Pura
Petitenget. Hasil kutipan wawancaranya dapat dilihat sebagai berikut:
“...wisatawan mancanegara maupun domestik boleh masuk ke dalampura, dan diijinkan melihat ke semua halaman pura, termasuk kejeroan pura, tetapi mesti mengikuti syarat sesuai dengan aturan yangterpasang di papan pengumuman. Berpakaian sopan, tidak sedangkotor kain (haid) dan menjaga kesopanan selama di jeroan pura,tetapi kami tidak mengetahui apakah mereka memahaminya...”(Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013).
86
Ungkapan di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Bendesa Adat
Kerobokan, Anak Agung Putu Sutarja (45 tahun), yang juga merupakan tokoh
masyarakat setempat. Hasil wawancara dapat dilihat dalam kutipan penuturannya
sebagai berikut:
“...terkait dengan diijinkannya para wisatawan memasuki semuahalaman pura, termasuk ke jeroan pura, karena mereka ingin melihatkeadaan pura secara keseluruhan. Selain itu kami selalu menjelaskanaturan yang berlaku ketika mereka akan memasuki pura. Kami tidakmengetahui apakah wisatawan itu memahami tentang sedang kotorkain (haid) atau tidak, karena budaya asing mereka yang berbeda...”(Wawancara, Minggu, 5 Mei 2013).
Hal yang sama dituturkan oleh Jero Mangku Mangku Made Widra (62
tahun), sebagai Pemangku Pemucuk (Utama) dan Jero Mangku Ni Ketut Netri (40
tahun) sebagai Pemangku Pengayah Pura Petitenget, yang sedang bertugas di Pura
Petitenget ketika diwawancarai. Hasil kutipan wawancaranya sebagai berikut:
“Para wisatawan boleh masuk hingga ke jeroan pura, dengan syaratberpakaian sopan dengan memakai kain dan selendang yang sudahdisediakan oleh panitia pengelola, berperilaku sopan ketika berada didalam pura, dan tidak sedang kotor kain (haid) atau nifas, kami tidakmengetahui keadaan mereka yang sebenarnya ketika memasuki pura.Beberapa wisatawan ada juga yang bersembahyang di sini memohonkesembuhan, saat mereka ke Bali lagi, pasti akan mampir kembali...”(Wawancara, Minggu, 5 Mei 2013).
Melihat tuturan dari para informan di atas menunjukan bahwa peraturan
yang terpasang di papan pengumuman di halaman depan Pura Petitenget sudah
diterapkan oleh pihak pengelola Pura Petitenget semaksimal mungkin, namun ada
hal-hal yang tidak bisa dihindari, yaitu masuknya budaya asing yang terkait di
dalamnya, yang di bawa oleh wisatawan mancanegara ketika mengunjungi Pura
Petitenget, yang dengan leluasa memasuki areal halaman tersuci (jeroan) pura ini.
Budaya global yang modernis dengan kebebasan berekspresinya di segala aspek
87
kehidupan telah menyentuh ranah budaya lokal yang tradisonalis sehingga
mengubah pola pikir masyarakat setempat ke arah modern dengan pola ideologi
ekonomi untuk memanfaatkan sumber daya budaya yang dimilikinya yang
berimplikasi dengan budaya kapitalis untuk mendatangkan pendapatan dengan
dalil pemeliharaan dan pemberdayaan warisan budaya ini serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini merupakan konsekuensi logis atas
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya
yang dikomersialkan sebagai akibat pengembangan pariwisata budaya di Bali.
Dari pengamatan di lapangan, juga ditemukan situasi pada saat yang sama
antara pamedek yang akan melakukan persembahyangan di Pura Petitenget dan
wisatawan mancanegara yang ingin melihat ke halaman tersuci (jeroan) pura ini,
secara bersamaan bisa datang dalam waktu yang sama. Pada saat pamedek yang
sedang bersembahyang di jeroan Pura Petitenget, wisatawan mancanegara yang
kebetulan berada di halaman jeroan pura, bisa menyaksikannya dengan leluasa
karena berada pada waktu dan tempat yang sama, sehingga dapat menyebabkan
rasa ketidaknyamanan bagi umat yang sedang bersembahyang di halaman tersuci
(jeroan) Pura petitenget. Kondisi tersebut telah mengakibatkan kesakralan Pura
Petitenget dalam fungsi utamanya sebagai tempat suci dapat menurun atau
kehilangan hakekat nilai kesuciannya akibat budaya global yang masuk ke
dalamnya sebagai bentuk adaptif sifat keduniawaan yang dibawa oleh wisatawan
mancanegara akibat komersialisasi tempat suci dalam industri pariwisata Bali.
Berorientasi akan hal-hal tersebut, maka bentuk profanisasi pemanfaatan
warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,
88
Badung, adalah memberikan kebebasan kepada wisatawan mancanegara maupun
domestik yang berkunjung ke Pura Petitenget, dengan leluasa dapat memasuki
Pura Petitenget hingga ke areal halaman tersuci (jeroan) pura ini. Kondisi ini telah
mengubah fungsi aslinya Pura Petitenget sebagai tempat suci umat dalam
menjalankan ajaran agamanya telah bergeser menjadi bentuk ruang profan karena
dikomersialkan menjadi objek wisata cagar budaya akibat dampak pembangunan
pariwisata budaya di Bali. Kebijakan pariwisata budaya yang berimplikasi dengan
praktik-praktik kapitalisme sejalan dengan perubahan sosial budaya masyarakat
Desa Adat kerobokan, serta terbukanya akses luar telah mempengaruhi pandangan
dan pola pikir masyarakat setempat selaras dengan situasional masyarakat lokal
yang berusaha melestarikan tinggalan warisan budaya yang dimilikinya dengan
tetap mempertahankan nilai-nilai kesakralannya. Namun di sisi lain, adanya
keinginan perubahan sosial ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di sekitarnya telah membuat masyarakat Desa Adat kerobokan
memanfaatkan sumber daya budaya mereka menjadi objek dan daya tarik wisata
budaya yang dikomersialkan dalam pembangunan pariwisata budaya Bali.
Profanisasi telah mengakibatkan kesucian Pura Petitenget dalam fungsi
utamanya sebagai tempat suci telah menurun atau kehilangan hakekat nilai-nilai
kesakralannya akibat bentuk adaptif budaya global yang masuk di dalamnya.
Sebagai bentuk sifat keduniawaan yang dibawa oleh wisatawan mancanegara
karena adanya komersialisasi tempat suci, dalam konteks ini Pura Petitenget
sebagai objek wisata cagar budaya dalam perkembangan industri pariwisata Bali
telah mengalami kehilangan statusnya dahulu sebagai pura yang penuh dengan
89
religiusitas karena riwayat sejarahnya saat pertama di bangun, namun sekarang
telah bergeser menjadi profan semenjak dikomersialkan menjadi objek wisata
budaya. Hal ini ditandai dengan kedatangan wisatawan mancanegara yang
mengunjungi Pura Petitenget, dengan leluasa bisa masuk hingga ke halaman
tersucinya (jeroan) pura, yang akhirnya menciptakan nilai suatu kebudayaan lokal
menjadi sebuah benda atau objek berharga yang bisa diperlihatkan atau dijual
kepada wisatawan mancanegara melalui jalur pariwisata budaya di Bali.
5.2 Pemanfaatan Wantilan Pura Petitenget Sebagai Tempat Kegiatan Sosial
Bagi Masyarakat Umum
Industri pariwisata di era globalisasi saat ini dengan di dukung oleh
otonomi daerah menyebabkan fenomena tersendiri bagi masyarakat pendukung
pariwisata, hal itu menunjukkan bahwa tingkat kemampuan masyarakat daerah
dalam berperan aktif mengembangkan sektor pariwisata cukup besar karena
perkembangan industri pariwisata Bali. Kecenderungan fenomena ini terlihat
dalam kehidupan masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya masyarakat di
sekitar Pura Petitenget. Salah satu wujud kreativitas dalam pelestarian dan
pengembangan potensial aspek kebudayaaan lokal yang dimilikinya adalah
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget dalam pariwisata budaya di Bali.
Adanya perubahan pola pikir masyarakat setempat untuk memanfaatkan tinggalan
pusaka budaya tersebut ke dalam bentuk nilai ekonomi praktis atas pemanfaatan
Pura Petitenget yang difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya, yang mana
merupakan unsur kesatuan dari bagian daerah/wilayah kompleks Pura Petitenget
adalah pemanfaatan wantilan Pura Petitenget yang berada di halaman terluar pura
90
ini yang disebut dengan Nista Mandala atau jaba sisi/jaba luar dari Pura Petitenget
tersebut. (Lihat Gambar 5.5).
Gambar 5.5 Wantila Pura Petitenget di Nista Mandala(Dokumentasi: Budiasih)
Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget yang cukup besar dan bersih, yang
terletak di halaman terluar atau Nista Mandala (jaba) pura, selain digunakan untuk
hal-hal yang biasa berhubungan dengan segala aktivitas atau kegiatan di pura ini
ketika adanya upacara keagamaan (odalan/piodalan) berupa kesenian profan yang
bersifat hiburan, menghibur masyarakat, seperti seni balih-balihan, contohnya;
Joged Bumbung, Gong Kebyar, Rindik, Geguntangan dan sebagainya, juga dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat umum di sekitarnya, maupun oleh masyarakat/
kelompok dari luar wilayah Desa Adat kerobokan yang tidak berhubungan dengan
kegiatan keagamaan di pura tersebut.
Keberadaan dan kondisi wantilan Pura Petitenget yang cukup besar dan
terlihat bersih, serta berada tepat di depan pantai Petitenget yang indah dan selalu
ramai dikunjungi masyarakat sekitarnya dan wisatawan mancanegara, telah
menjadi perhatian tersendiri dan mempunyai daya tarik untuk dimanfaatkan baik
oleh masyarakat umum setempat maupun oleh masyarakat/kelompok dari luar
Desa Adat kerobokan. Daya tarik lokasi wantilan Pura Petitenget dengan
91
pemandangan pantai Petitenget yang berpasir putih dan indah menjadi pesona
tersendiri bagi masyarakat umum untuk memanfaatkan/menggunakan wantilan
pura ini untuk kegiatan atau aktivitas yang bersifat sosial (Lihat Gambar 5.6).
Gambar 5.6 Lokasi Wantilan Pura Petitenget di Nista Mandala(Dokumentasi: Budiasih)
Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum sekitarnya
maupun masyarakat/kelompok dari luar wilayah Desa Adat Kerobokan, biasanya
tidak ada hubungannya dengan aktivitas/kegiatan keagamaan di pura ini, dan
penggunaannya hanya sebentar. Kondisi di mana memang tidak ada upacara
keagamaan (pujawali) di pura ini, diijinkan oleh pengurus/pengelola Pura
Petitenget sesuai dengan kesepakatan bersama antara panitia pengelola Pura
Petitenget dengan masyarakat setempat. Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget
untuk kegiatan sosial oleh masyarakat umum di sekitarnya maupun masyarakat/
kelompok dari luar Desa Adat kerobokan diperbolehkan, dengan kompensasi
dalam bentuk dana punia secara sukarela/keikhlasan kepada pihak pengelola Pura
Petitenget. Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget biasanya hanya sebentar dan
tidak berlangsung lama, dan hanya sekali-kali digunakan oleh masyarakat umum
maupun masyarakat/kelompok dari luar Desa Adat Kerobokan, seperti kegiatan
yang bersifat sosial dan membutuhkan tempat yang agak luas dan lebar, di
92
samping itu karena lokasi atau letaknya di depan pantai Petitenget dengan
pemandangan pantai yang mempesona.
Terkait dengan hal di atas, sesuai dengan apa yang dituturkan oleh
informan A.A. Ngurah Putra (70 tahun) sebagai Ketua Panitia Pengelola Pura
Petitenget. Hasil kutipan wawancaranya sebagai berikut:
“...masyarakat Desa Adat Kerobokan maupun masyarakat/kelompokdari luar Desa Adat Kerobokan dapat menggunakan wantilan PuraPetitenget untuk kegiatan atau acara yang bersifat sosial, tetapidengan syarat berdana punia untuk kepentingan pura, dan biasanyahanya sekali-kali digunakan oleh masyarakat umum...”(Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013).
Pendapat di atas serupa dengan apa yang disampaikan oleh Bendesa Adat
Kerobokan, Anak Agung Putu Sutarja (45 tahun). Hasil wawancaranya dapat
dilihat dalam kutipan berikut:
“...masyarakat Desa Adat kerobokan maupun masyarakat/ kelompokdari luar Kerobokan boleh menggunakan wantilan Pura Petitengetuntuk kegiatan yang bersifat sosial, dengan syarat adanya pemberiandana punia, tidak ditentukan nominalnya, hanya bersifat keikhlasan,walaupun jarang digunakan oleh masyarakat umum...”(Wawancara, Minggu, 5 Mei 2013).
Hal senada juga dituturkan oleh Jero Mangku Made Widra (62 tahun)
sebagai Pemangku Pemucuk (Utama) Pura Petitenget. Hasil wawancaranya dapat
dilihat dari kutipan berikut:
“...siapa saja bisa menggunakan wantilan Pura Petitenget, asalkanbersifat sosial, dengan persyaratan berdana punia untuk kepentinganpura, dan tidak ditentukan berapa pun besarnya, keikhlasannya saja,hal ini tidak sering digunakan oleh masyarakat umum”.(Wawancara, Minggu, 5 Mei 2013).
Dari penuturan ketiga informan di atas tersebut, menunjukkan telah terjadi
profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,
93
yaitu profanisasi atas pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat
umum maupun masyarakat/kelompok dari luar Desa Adat Kerobokan, di luar dari
kegiatan keagamaan yang berhubungan dengan Pura petitenget. Kondisi tersebut
bertujuan kepada hal-hal yang bersifat ekonomi praktis dengan menekankan dalil
demi pelestarian warisan budaya ini , di mana dengan melepaskan nilai gunanya
sebagai wantilan pura yang biasa digunakan untuk aktivitas yang berhubungan
dengan upacara keagamaan (pujawali) saat sedang berlangsung di Pura Petitenget,
dan digantikan dengan nilai tukar yang mendatangkan nilai ekonomis praktis demi
pelestariannya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Berorientasi atas hal tersebut, maka bentuk profanisasi pemanfaatan
wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum, tidak terlepas dari pengaruh
budaya global yang masuk ke ranah kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi
masyarakat lokal yang berimplikasi dengan praktik-praktik kapitalisme sehingga
terjadi perubahan pola pikir masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumber
daya budaya lokal dengan pemikiran modern dan praktis dengan motif ekonomi,
di mana fungsi asli penggunaan wantilan Pura Petitenget telah terjadi perubahan
fungsi menjadi profan dengan menggeser nilai gunanya dan digantikan menjadi
nilai tukar akibat pemanfaatan wantilan Pura Petitenget ketika digunakan oleh
masyarakat umum untuk kegiatan yang bersifat sosial yang mendatangkan nilai
ekonomi praktis dengan dalil untuk beaya pemeliharaan pura dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Hal itu terjadi sebagai akibat proses
globalisasi yang tidak bisa dihindari yang masuk ke dalam ranah kehidupan
masyarakat Desa Adat Kerobokan dalam industri pariwisata Bali.
94
5.3 Pemanfaatan Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Kendaraan
Peranan pariwisata sangat besar terhadap kehidupan sosial ekonomi
masyarakat Desa Adat Kerobokan, di mana sebagian besar perekonomian
masyarakatnya bertumpu pada sektor pariwisata di wilayah tersebut. Keberadaan
Pura Petitenget sebagai objek wisata budaya mempunyai nilai ekonomis atas
pemanfaatan dan pengelolaan warisan budaya ini dalam perkembangan industri
pariwisata Bali. Di samping itu lokasi berdirinya Pura Petitenget yang terletak di
depan pantai Petitenget, selain sebagai tempat upacara melasti (pembersihan) bagi
umat Hindu dalam menjalankan ajaran agamanya, juga sebagai tempat rekreasi
dengan memanfaatkan keindahan pantai Petitenget yang berpasir putih berkilau
yang menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan mancanegara.
Lokasi Pura Petitenget yang strategis itu semakin menambah terkenalnya
keberadaan pura tua ini di mata masyarakat umum dan wisatawan mancanegara
ketika memasuki daerah pariwisata di wilayah Kerobokan, khususnya di daerah
sekitar Petitenget. Di tunjang oleh sarana dan fasilitas yang tersedia bagi sektor
pariwisata di wilayah ini, serta di dukung dengan keterbukaan dan penerimaan
masyarakat yang positif atas perkembangan pariwisata di daerah tersebut semakin
menumbuh kembangkan kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat
Desa Adat Kerobokan. Bertitik tolak dari kondisi di atas, masyarakat Desa Adat
kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget memanfaatkan
sumber daya budaya lokal Pura Petitenget terutama pemanfaatan atas halaman
Nista Mandala (jaba) Pura Petitenget ini yang merupakan satu kesatuan dari
95
wilayah/daerah kompleks Pura Petitenget untuk kepentingan pariwisata di daerah
Petitenget pada khususnya dan di Desa Adat Kerobokan pada umumnya.
Pemanfaatan halaman terluar (jaba) Pura Petitenget sebagai areal parkir
kendaraan bermotor akan dikenakan ketika tidak ada aktivitas/kegiatan upacara
keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget, berlaku bagi semua masyarakat
dan wisatawan asing yang menggunakan kendaraan bermotor ketika memasuki
daerah/pantai Petitenget, baik yang akan masuk ke pantai Petitenget maupun yang
keluar dari daerah Petitenget, maka dikenakan restribusi parkir yang besarnya
sudah ditentukan oleh pihak pengelola Pura Petitenget atas pemanfaatan jaba Pura
Petitenget sebagai halaman parkir kendaraan bermotor. Apabila ada kegiatan
upacara keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget maka tidak dikenakan
beaya parkir kendaraan khusus bagi masyarakat setempat atau pamedek yang akan
bersembahyang ke Pura Petritenget selama odalan/piodalan berlangsung. Hal ini
merupakan unsur nyata bahwa kawasan Pura Petitenget sebagai tempat suci masih
ada ruang sakral yang dijalankan masyarakat setempat atas pemanfaatan jaba Pura
Petitenget yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Untuk pemanfaatan jaba
Pura Petitenget sebagai areal parkir, maka beaya restribusi parkir kendaraan yang
dikenakan adalah untuk kendaraan roda dua sebesar Rp.1000,- untuk kendaraan
roda empat sebesar Rp.3000,- serta untuk kendaraan besar seperti bis dan truk
sebesar Rp.5000,- (Lihat Gambar 5.7 dan Gambar 5.8).
96
Gambar 5.7 Memasuki Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Kendaraan.(Dokumentasi: Budiasih)
Gambar 5.8 Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Kendaraan.(Dokumentasi: Budiasih)
Atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan,
serta adanya pemasukan dari restribusi parkir yang didapatkan atas pemanfaatan
jaba Pura Petitenget sebagai tempat parkir bagi para wisatawan mancanegara
maupun masyarakat umum di sekitarnya ketika memasuki kawasan/pantai
Petitenget, baik untuk kegiatan pariwisata maupun untuk kegiatan sehari-hari.
Kecuali saat adanya aktivitas/kegiatan upacara keagamaan (odalan/piodalan) di
Pura Petitenget tidak dipungut beaya parkir, khusus bagi masyarakat/pamedek
yang bersembahyang. Keseluruhan hasil yang didapatkan atas pemanfaatan jaba
Pura Petitenget sebagai lahan parkir dimasukan ke dalam Kas pengelola Pura
Petitenget Desa Adat Kerobokan. (Lihat Gambar 5.9, Gambar 5.10, Gambar 5.1).
97
Gambar 5.9 Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Kendaraan.(Dokumentasi: Budiasih)
Gambar 5.10 Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Mobil.(Dokumentasi: Budiasih)
Gambar 5.11 Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Motor.(Dokumentasi: Budiasih)
Hasil pemasukan restribusi parkir yang diperoleh atas pemanfaatan jaba
Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan secara keseluruhan digunakan
sepenuhnya untuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget. Seperti, untuk beaya
98
renovasi/perbaikan bangunan/pelinggih pura yang rusak, maupun untuk segala
keperluan pura, upacara sehari-hari atau bulanan di pura, juga pada saat upacara
keagamaan (odalan/piodalan) Pura Petitenget, baik itu setiap enam bulan (210
hari) sekali, lima tahun dan sepuluh tahun sekali. Keseluruhan beaya yang
dikeluarkan untuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget di atas, diambil dari
pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan bermotor, juga
pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum, serta sumbangan/
dana punia (sesari) dari pamedek dan para wisatawan ketika mengunjungi Pura
Petitenget. Di mana masyarakat Desa Adat Kerobokan tidak mengeluarkan beaya
untuk keperluan/kepentingan Pura Petitenget seperti hal-hal yang disebutkan di
atas, bahkan ketika adanya upacara keagamaan (pujawali) di Pura Desa dan Pura
Puseh masyarakat Desa Adat Kerobokan tidak mengeluarkan beaya, karena sudah
ditanggung/diambilkan dari Kas panitia pengelolaan Pura Petitenget.
Sesuai dengan hal-hal tersebut di atas, hal ini terkait dengan apa yang
dituturkan oleh informan A.A. Ngurah Putra (70 tahun) sebagai Ketua Panitia
Pengelola Pura Petitenget. Hasil kutipan wawancaranya sebagai berikut:
“...masyarakat Desa Adat Kerobokan tidak mengeluarkan beayauntuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget, baik renovasi maupununtuk kebutuhan sehari-hari dan upacara piodalan di Pura Petitenget,bahkan untuk keperluan upacara piodalan bagi Pura Desa dan PuraPuseh, karena kebutuhan tersebut diambilkan dari Kas pengelolaanPura Petitenget atas pemanfaatan dari jaba pura sebagai tempatparkir, wantilan pura, sumbangan dari masyarakat dan wisatawan”.(Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013).
Pendapat di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Bendesa Adat
Kerobokan, Anak Agung Putu Sutarja (45 tahun). Hasil wawancaranya dapat
dilihat dalam kutipan berikut:
99
“...dana yang masuk atas pemanfaatan jaba pura, wantilan pura, sertasumbangan (sesari) dari masyarakat dan wisatawan yang berkunjungke Pura Petitenget, dipakai untuk keperluan Pura Petitenget sehari-hari/bulanan, untuk upacara keagamaan (odalan/piodalan) dan yangterkait di dalamnya, serta untuk upacara keagamaan di Pura Desadan Pura Puseh, dana pengeluarannya di ambil dari Kas pengelolaanPura Petitenget. Masyarakat tidak mengeluarkan beaya...”(Wawancara, Minggu, 5 Mei 2013).
Dari tuturan di atas sama dengan apa yang disampaikan oleh seorang
masyarakat Desa Adat Kerobokan I Wayan Janoka (48 tahun). Hasil wawancara
tersebut dapat dilihat dari kutipan penuturannya sebagai berikut:
“Semenjak adanya pemasukan ke Kas pengelola Pura Petitenget dariwisatawan yang berkunjung ke Pura Petitenget, pemanfaatan jabapura sebagai areal parkir, sebagai masyarakat Desa Adat Kerobokan,saya tidak mengeluarkan beaya saat upacara keagamaan (pujawali)di Pura Petitenget, bahkan untuk di Pura Desa dan Pura Puseh,karena ditanggung oleh pihak panitia pengelolaan Pura Petitenget”.(Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013).
Dari penuturan para informan di atas, menunjukan telah terjadi profanisasi
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget atas pemanfaatan jaba Pura
Petitenget sebagai areal parkir kendaraan. Setiap dana/uang yang masuk, secara
keseluruhan digunakan untuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget, yakni untuk
beaya renovasi bangunan/pelinggih pura yang rusak, untuk segala keperluan pura,
baik sehari-hari/bulanan, upacara keagamaan (odalan/piodalan) Pura Petitenget
serta yang terkait di dalamnya. Hal tersebut membuat masyarakat Desa Adat
Kerobokan tidak mengeluarkan beaya bagi segala keperluan/kepentingan Pura
Petitenget, bahkan juga saat ada upacara keagamaan (pujawali) di Pura Desa dan
Pura Puseh, karena ditanggung dari Kas panitia pengelolaan Pura Petitenget.
Berorientasi atas hal-hal di atas, maka bentuk profanisasi warisan budaya
Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, adalah
100
wujud nyata atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan
yang mendatangkan nilai ekonomi praktis yang menguntungkan bagi masyarakat
setempat dengan memanfaatkan sumber daya budaya yang dimilikinya sebagai
sumber kegiatan ekonomi untuk penambahan pendapatan demi pelestarian dan
pemeliharaan warisan budaya ini, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sekitarnya. Di mana konsepsi nilai ruang dari radius kesucian Pura Petitenget,
dalam hal ini jaba Pura Petitenget dimanfaatkan sebagai areal parkir kendaraan,
telah digeser menjadi ruang profan yang menjadi perubahan nilai ruang ekonomis,
akibat perubahan pola pikir masyarakat setempat dari masyarakat tradisional ke
masyarakat modern, sehingga menghasilkan kondisi nilai ruang motif ekonomi
untuk pemberdayaan dan pelestarian warisan budaya ini, serta meningkatkan
kesejahteraan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Adat Kerobokan. Hal
ini bersamaan dengan masuknya pola-pola budaya global ke ranah kehidupan
sosial budaya masyarakat setempat sejalan dengan ideologi ekonomi dan pola-
pola kapitalisme dengan memanfaatkan modal sumber daya budayanya guna
mendapatkan nilai material akibat perkembangan industri pariwisata Bali.
Secara pasti dapat disimpulkan, bentuk profanisasi pemanfaatan warisan
budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung,
adalah menjadikan sumber kebudayaan lokal yang dimiliki masyarakat Desa Adat
Kerobokan menjadi benda wisata budaya yang mempunyai daya tarik sebagai
objek wisata cagar budaya. Di mana memberikan kebebasan kepada wisatawan
yang berkunjung ke Pura Petitenget, dengan leluasa memasuki Pura Petitenget
hingga ke areal halaman tersuci (jeroan) pura ini. Kondisi ini telah mengubah
101
fungsi utama Pura Petitenget sebagai tempat suci umat dalam menjalankan ajaran
agamanya telah bergeser menjadi bentuk ruang profan karena dikomersialkan
menjadi objek wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya Bali.
Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum yang dapat
digunakan untuk kegiatan di luar keagamaan, tidak terlepas dari pengaruh budaya
global yang masuk ke ranah kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi
masyarakat lokal yang berimplikasi dengan praktik-praktik kapitalisme sehingga
terjadi perubahan pola pikir masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumber
daya budayanya dengan pemikiran yang modernis dan praktis dengan motif
ekonomi. Di mana telah mengubah fungsi asli/utama penggunaan wantilan Pura
Petitenget menjadi ruang profan dengan menggeser nilai gunanya dan digantikan
menjadi nilai tukar akibat pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat
umum untuk aktivitas yang bersifat sosial yang mendatangkan nilai ekonomis
dengan dalil pelestarian dan pemeliharaan Pura Petitenget, dan penambahan
pendapatan bagi kepentingan Pura Petitenget demi meningkatkan taraf
kesejahteraan bagi para pengurus pura dan masyarakat di sekitarnya.
Adanya pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal halaman parkir
kendaraan yang mendatangkan nilai ekonomi praktis yang menguntungkan bagi
masyarakat setempat dengan memanfaatkan warisan budaya yang dimilikinya
sebagai sumber penghasilan ekonomi demi kelangsungan pemeliharaan dan
terjaganya warisan budaya tersebut, selain untuk penambahan pendapatan dan
peningkatan kesejahteraan bagi para pengelola pura dan masyarakat di sekitarnya.
Di mana konsepsi nilai ruang dari radius kesucian Pura Petitenget, dalam hal ini
102
jaba Pura Petitenget, telah digeser menjadi ruang profan, yang menjadi nilai ruang
ekonomis akibat perubahan pola pikir masyarakat setempat dari masyarakat
tradisional ke masyarakat modern, sehingga menghasilkan kondisi nilai ruang
motif ekonomi demi pemeliharaan dan pelestarian sumber daya budaya ini, serta
untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa
Adat Kerobokan. Hal itu bersamaan dengan masuknya praktik-praktik kapitalisme
dengan motif ekonomi yang berimplikasi dengan bentuk adaptif budaya global
yang masuk ke ranah kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Adat kerobokan
akibat pengaruh industri pariwisata global sehingga terjebak ke dalam ruang
realitas modernisasi yang menimbulkan pergeseran bentuk nilai dan ruang sakral
Pura Petitenget sebagai tempat suci menjadi bentuk nilai dan ruang profan dengan
mengubah fungsi asli/utamanya menjadi objek wisata budaya dengan ideologi
ekonomi yang menghasilkan nilai uang untuk beaya pelestarian dan pemeliharaan
warisan budaya lokal tersebut, serta penambahan pendapatan demi meningkatkan
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Perkembangan industri pariwisata Bali yang pesat telah membawa
kapitalisme masuk ke dalam aspek kebudayaan masyarakat Desa Adat kerobokan,
dan profanisasi warisan budaya Pura Petitenget terjadi karena komersialisasi yang
memperlakukan sumber daya budaya lokal ini menjadi unsur nilai ekonomis yang
menghasilkan uang sehingga mengesampingkan nilai-nilai religiusitas utama Pura
Petitenget sebagai tempat suci. Hal ini terjadi karena adanya kesempatan dan
peluang, sehingga masyarakat lokal sebagai pemilik kebudayaan itu termotivasi
dan melahirkan bentuk kreativitas yang bercirikan praktik kapitalisme di bidang
103
ekonomi. Di mana secara situasional dengan hasrat dan praktik memberi peluang
yang seluas-luasnya bagi masyarakat Desa Adat kerobokan, Kecamatan Kuta
Utara, Badung, untuk merepresentasikan “kepentingannya” ke dalam motif sosial
ekonomi dengan mengkonstruksikan simbol-simbol kebudayaan yang dimilikinya
demi nilai pakai yang menghasilkan uang karena situasional yang dinamis akibat
perkembangan industri pariwisata global yang membawa dampak realistis
terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa
Adat Kerobokan dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali.
104
BAB VI
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PROFANISASI
PEMANFAATAN WARISAN BUDAYA PURA PETITENGET DI DESA
ADAT KEROBOKAN, KECAMATAN KUTA UTARA, BADUNG
6.1 Daya Tarik Pura Petitenget Sebagai Daya Tarik Wisata Cagar Budaya
Paradigma berpikir masyarakat lokal sebagai pendukung kebudayaan dan
pemilik nilai budaya lokal, akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
didukung dengan industri pariwisata global yang mendunia mengalami sangat
pragmatis dan berinteraksi terhadap perubahan lingkungannya, sehingga konsepsi
tentang nilai-nilai kesucian pura bergeser dan menjadi terfokus pada nilai-nilai
materialistik, di mana religiusitas pura mengalami perubahan nilai secara dramatis
(Pujaastawa, 2008: 406).
Terkait dengan konsep di atas, serta kenyataan yang ditemui di lapangan,
pengaruh pariwisata dalam aspek nilai ekonomi dengan memanfaatkan sumber
daya budaya masyarakat lokal, dalam hal ini Pura Petitenget, di mana keberadaan
warisan budaya ini menjadi daya tarik tersendiri sebagai sumber daya budaya
lokal dan sajian utama bagi industri pariwisata Bali. Keberlangsungan faktor daya
tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata cagar budaya di Desa Adat
Kerobokan merupakan faktor utama, dan sebagai benda komoditi yang
dipublikasikan dan dikomersialkan bagi pengembangan pariwisata budaya di Bali
untuk mendapatkan keuntungan nilai material ekonomi sesuai dengan kebutuhan
masa sekarang tanpa mengesampingkan aspek nilai budayanya. Namun menjadi
sebuah proses dinamis mengikuti perkembangan zaman akibat industri pariwisata
105
global untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat lokal sebagai
pemilik kebudayaan dan aspirasi masyarakat pendukung pariwisata.
Semua kebudayaan pasti mengalami perubahan akibat perkembangan
zaman, begitu juga dengan budaya Bali, dalam hal ini Pura Petitenget sebagai
warisan budaya. Secara sadar atau tidak, perubahan sumber daya budaya ini
mengalami pergeseran nilai karena difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya
yang mendatangkan nilai material ekonomis, di mana masyarakat Desa Adat
Kerobokan sebagai pemilik sumber daya budaya ini mengalami perubahan pola
pikir akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang sehingga
mengalami metamorfosis dalam segala aspek sosial kehidupan mereka sebagai
akibat perkembangan industri pariwisata dunia. Di mana naluri materialistik untuk
memanfaatkan sumber daya budaya lokal ini menjadi suatu benda komoditi yang
kemudian dikomersialisasikan, telah menyebabkan terjadinya faktor profanisasi
atas pemanfaatan warisan budaya Pura petitenget di Desa Adat Kerobokan.
Pura Petitenget sebagai sumber daya budaya lokal yang mempunyai nilai
arkelogis yang berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya atas pemanfaatannya
dalam konteks pariwisata budaya menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya
profanisasi atas keberadaan warisan budaya ini sebagai akibat perkembangan
industri pariwisata budaya di Bali. Di mana faktor yang menjadi nilai simbol
kesucian Pura Petitenget sebagai tempat suci kehilangan hakikat nilainya karena
difungsikan sebagai benda objek wisata budaya akibat komersialisasi bangunan
suci/pura. Aspek komersialisasi tersebut yang menyebabkan terjadinya profanisasi
terhadap Pura Petitenget karena menjadi barang komoditi yang mengkondisikan
106
kehilangan nilai kesakralannya. Hal tersebut merupakan suatu konsekuensi logis
dari kapitalisasi industri pariwisata Bali, lewat dunia pariwisata kekuatan kapitalis
global merambah pada segala aspek kehidupan sosial budaya masyarakat lokal.
Sebagai sumber daya budaya lokal yang bernilai arkeologis, sebagai pura tua,
maka Pura Petitenget mempunyai daya tarik tersendiri sebagai daya tarik wisata
budaya, sehingga menyebabkan terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan
budaya Pura Petitenget di desa Adat Kerobokan. Hal ini merupakan faktor yang
berasal dari dalam Pura Petitenget, karena menjadi daya tarik wisata cagar budaya
akibat pemanfataannya sebagai objek wisata budaya dalam konteks pariwisata
budaya di Bali, dengan unsur-unsur ideologi ekonomi yang masuk di dalamnya.
Unsur faktor daya tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata cagar
budaya menyebabkan terjadinya profanisasi adalah; 1) faktor untuk kepentingan/
keperluan Pura Petitenget, 2) faktor untuk penambahan pendapatan bagi pengelola
dan pengurus Pura Petitenget, serta 3) faktor untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget. Faktor
daya tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata budaya yang menjadi
dominansi profanisasi atas pemanfaatan Pura Petitenget sebagai warisan budaya
yang dikomersialkan. Secara perlahan tapi pasti, tradisi kesakralan/kesucian Pura
Petitenget ini mulai diabaikan, yang digantikan dengan mementingkan aspek nilai
ekonomis sehingga menggeser aspek nilai tradisionalis dengan memfungsikannya
sebagai benda objek daya tarik wisata budaya untuk wisatawan mancanegara.
Terkait dengan kondisi dan unsur faktor tersebut, dapat dilihat dari hasil
107
wawancara dengan Pemangku Pemucuk (utama) Pura Petitenget yaitu Jero
Mangku Made Widra (62 tahun). Kutipan penuturannya sebagai berikut:
“...setiap dana yang masuk ke Kas pengelolaan Pura petitengetdigunakan bagi kepentingan/keperluan pura, perbaikan bangunan purayang rusak, keperluan sehari-hari/bulanan pura, upacara keagamaan(odalan/piodalan) setiap enam bulan, lima tahun, dan sepuluh tahun,maupun upakara pecaruan melasti ke laut. Selain itu dana digunakanuntuk keperluan honorarium bagi pengelola/pengurus Pura Petitengetsesuai dengan kesepakatan yang sudah ditentukan...”(Wawancara, Minggu 5 Mei 2013).
Melihat dari pendapat di atas, sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh
A.A. Ngurah Putra (70 tahun) sebagai Ketua Panitia Pengelola Pura Petitenget,
kutipan penuturannya sebagai berikut:
“...dana yang masuk ke Kas pengelolaan Pura Petitenget, sebagianbesar digunakan untuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget, baikkebutuhan sehari-hari/bulanan pura, kegiatan upacara keagamaan(odalan/piodalan) secara keseluruhan yang berkaitan dengan PuraPetitenget, dan perbaikan bangunan/pelinggih pura yang rusak. Danajuga untuk keperluan para pengelola/pengurus Pura Petitenget yangpembagiannya sudah diatur sesuai kesepakatan bersama...”(Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013).
Hal serupa juga disampaikan Bendesa Adat Kerobokan, Anak Agung Putu
Sutarja (45 tahun), kutipan penuturannya sebagai berikut:
“...uang yang terkumpul masuk ke Kas pengelolaan Pura Petitenget,semua dana untuk keperluan/kebutuhan Pura Petitenget, kebutuhansehari-hari/bulanan pura, bagi upacara keagamaan (odalan/piodalan)pura, dan perbaikan bangunan/pelinggih yang rusak atau direnovasi.Dana juga digunakan untuk honor para pengelola/pengurus pura,sesuai dengan kesepakatan yang ada selama ini...”(Wawancara, Minggu 5 Mei 2013).
Dari penuturan ketiga informan di atas memberikan gambaran bahwa
faktor profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget sebagai objek
wisata budaya di Desa Adat Kerobokan, merupakan faktor daya tarik internal Pura
108
Petitenget sebagai sumber daya budaya lokal yang berfungsi sebagai objek wisata
cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali. Demi kepentingan unsur
ekonomi untuk penambahan pendapatan dan pemasukan sehingga menyebabkan
terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya ini oleh masyarakat Desa
Adat Kerobokan dengan motif ekonomi, guna mendatangkan nilai uang untuk
beaya pemeliharaan dan pelestarian sumber daya budaya lokal ini, dipergunakan
untuk pembiayaan sarana fisik (renovasi) dan nonfisik (honorarium). Dana
digunakan bagi kepentingan/keperluan Pura Petitenget, baik perbaikan/renovasi
bangunan/pelinggih pura yang rusak atau harus direnovasi, kebutuhan sehari-hari
atau bulanan pura (pembiayaan sesaji, air, listrik dan sebagainya), dan kebutuhan
upacara keagamaan (pujawali) di Pura Petitenget. Kemudian untuk kepentingan
pengelola/pengurus Pura Petitenget (honorarium) bagi kebutuhan ekonominya
sehingga mempunyai pendapatan cukup dan berkelanjutan setiap bulannya. Selain
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, khususnya di sekitarnya
Pura Petitenget, yang sebelumnya merupakan masyarakat petani tradisional kini
beralih ke sektor pariwisata yang memang menjadi andalan utama perekonomian
masyarakat setempat akibat pengembangan industri pariwisata Bali.
Pengaruh daya tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata cagar
budaya menjadi faktor dominan terjadinya profanisasi warisan budaya Pura
Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam
perkembangan pariwisata budaya di Bali, karena telah mendorong kreativitas
masyarakat Desa Adat kerobokan dengan alasan pelestarian dan pemeliharaan
warisan budaya lokal yang dimilikinya yang beradaptasi dengan ideologi
109
ekonomi. Adanya kebutuhan ekonomi serta praktik-praktik kapitalis dalam era
globalisasi menyebabkan masyarakat lokal berpikir dinamis untuk beaya
pemeliharaan dan pelestarian sumber daya budaya lokal ini, selain juga untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Sesungguhnya secara tidak
langsung telah menggeser nilai sakral Pura Petitenget ke nilai profan. Hal Ini
merupakan fakta nyata terjadinya komersialisasi aspek kebudayaan karena sudah
mengubah fungsi asli Pura Petitenget sebagai tempat suci menjadi benda komoditi
guna mendatangkan nilai motif ekonomi di dalamnya. Di mana pola kapitalisme
berperan karena kebutuhan beaya untuk pelestarian atas pemanfaatannya sebagai
objek wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali.
6.2 Perkembangan Industri Pariwisata dengan Semakin Terkenalnya Pantai
di sekitar Pura Petitenget
Industri pariwisata pada awalnya lebih di pandang sebagai suatu kegiatan
ekonomi, dan tujuan utama pengembangan pariwisata adalah untuk mendapatkan
keuntungan material/ekonomi, baik bagi masyarakat daerah/negara. Sumbangan
sektor pariwisata terhadap pendapatan daerah Bali terus meningkat tiap tahunnya
bahkan mengungguli sektor-sektor-sektor lainnya. Tidak berlebihan apabila
industri pariwisata dimasukkan ke dalam bidang ekonomi yang pembangunannya
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Anom, dkk. 2010: 189).
Faktor perkembangan industri pariwisata Bali telah membawa masyarakat
Desa Adat kerobokan mengalami perubahan dalam segala kegiatan sosial
ekonominya, maka kehadiran dunia pariwisata telah mengangkat kesejahteraan
masyarakat di sekitarnya sehingga mengalami perubahan struktural perkonomian
110
yang cukup signifikan dari masyarakat tradisional pertanian beralih ke masyarakat
pendukung sektor kepariwisataan semenjak wilayah Desa Adat Kerobokan
menjadi daerah pengembangan industri pariwisata di Kabupaten Badung. Industri
pariwisata Bali pertama-tama adalah pengembangan dari ekonomi moneter, yang
memasarkan pemandangan alam dan hasil budaya manusia, mengubah kawasan-
kawasan dan masyarakat-masyarakat dunia menjadi produk pariwisata.
Keberadaan budaya Bali yang menjadi sajian utama bagi pariwisata harus dijaga
kelestariannya, karena budaya adalah sesuatu yang membuat pulau Bali begitu
diminati oleh wisatawan mancanegara di samping keindahan alam yang
dimilikinya. Namun di balik memasarkan dunia pariwisata ini sesungguhnya
berlangsung proses lain, yang menyangkut jati diri bangsa, budaya lokal dan
makna-makna baru, serta inti kebudayaan itu sendiri (Picard, 2006: 9). Pengaruh
perkembangan industri pariwisata di wilayah Desa Adat Kerobokan dengan di
dukung oleh keindahan pemandangan alam pantainya yang terkenal, seperti pantai
Petitenget, hal ini terjadi karena kegiatan industri pariwisata di daerah itu terus
berkembang dengan di tunjang oleh sarana fasilitas di sektor pariwisata, serta
bersamaan masuknya aktivitas pariwisata global ke ranah kebudayaan masyarakat
lokal, dan fenomena inilah yang menggeser secara perlahan namun pasti ke dalam
struktur kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat setempat.
Terkait dengan hal-hal di atas, faktor perkembangan industri pariwisata
Bali menjadi faktor eksternal yang telah memberikan konstribusi nilai ekonomis
besar terhadap pemasukan daerah terkait atas devisa yang masuk, juga pemasukan
nilai ekonomi yang tinggi terhadap kehidupan masyarakat Desa Adat Kerobokan,
111
khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget, yang hampir sebagian besar
kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya bertumpu pada dunia pariwisata. Selain
itu didukung oleh keindahan alam pantainya yang terkenal menjadi salah satu
daya tarik bagi wisatawan mancanegara untuk berdatangan ke daerah Petitenget
akibat perkembangan industri pariwisata di wilayah Kerobokan.
Hal-hal tersebut dikuatkan oleh penuturan seorang informan, I Made
Wistawan, SE (40 tahun) selaku Lurah Kerobokan Kelod. Hasil petikan
wawancaranya sebagai berikut:
“...masyarakat di wilayah Desa Adat Kerobokan, terutama di daerahKerobokan Kelod, sebagian besar kehidupan sosial ekonominyaberasal dari sektor pariwisata. Masyarakat memanfaatkan apa yangmereka miliki untuk berwirausaha/berbisnis di dunia pariwisata. Halyang berhubungan dengan sektor pariwisata pasti mendatangkannilai ekonomis bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraankehidupan masyarakat sekitarnya. Kehidupan mereka yang tadinyapetani tradisional kini beralih ke sektor pariwisata, karena regenerasianak-anak mereka yang lebih memilih bekerja di dunia pariwisata...”(Wawancara, Jumat 10 Mei 2013).
Pendapat senada juga disampaikan oleh seorang masyarakat setempat I
Made Adnyana Putra (35 tahun) selaku wiraswastawan, memilih berwirausaha
dengan membuka usaha jasa laundry dan toko keperluan sehari-hari. Hasil petikan
wawancaranya dituturkan sebagai berikut:
“Saya sebagai generasi muda dan masyarakat yang tinggal di daerahPetitenget, dengan adanya perkembangan industri pariwisata lebihmemilih berwiraswasta, karena lebih menjanjikan di bidangekonomi. Pendapatan dalam berbisnis di sektor pariwisata lebihbesar peluangnya. Sebagian besar masyarakat di sini banyak yangbekerja di dunia pariwisata. Kunjungan wisatawan mancanegara kedaerah Petitenget telah membawa perubahan pola pikir kami ke arahyang modern, karena adanya interaksi dengan dunia internasional,selain di dukung oleh kemajuan teknologi”.(Wawancara, Jumat 10 Mei 2013).
112
Dari penuturan kedua informan tersebut di atas menunjukkan adanya
faktor perubahan pandangan dan pola pikir masyarakat setempat terhadap
perkembangan industri pariwisata Bali. Pemahaman masyarakat Desa Adat
Kerobokan yang semula tradisional berubah ke arah global karena pengaruh
modernisasi yang memasuki kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya
masyarakat setempat akibat perkembangan industri pariwisata internasional. Nilai
motif ekonomi tinggi yang ditimbulkan oleh pengaruh industri pariwisata Bali
telah memberikan nilai spesifik dan positif dalam pemikiran masyarakat lokal
sehingga mendominasi aspek kehidupan ekonominya untuk penambahan
pendapatan, meningkatkan kesejahteraan dan ketersediaan lapangan pekerjaan.
Pada akhirnya mempengaruhi tatanan kehidupan sosial budaya masyarakat lokal
sebagai pemilik kebudayaan tersebut, namun di balik itu, tanpa sadar mulai terjadi
proses penurunan nilai sosial budaya sehingga mempengaruhi aspek kebudayaan
masyarakat setempat.
Pariwisata Bali sejalan dengan industri pariwisata global ketika perangkat-
perangkat dan pelaku-pelakunya menjamah langsung suatu masyarakat akibat
pengaruh budaya global, maka yang ditimbulkan berbagai faktor masalah yang
dihadapi masyarakat pendukung dunia pariwisata. Kajian tentang akibat budaya
dari pengembangan pariwisata dalam suatu masyarakat ini sering terjebak oleh
suatu pendekatan normatif, para peneliti berulangkali sekadar mempertanyakan,
apakah kebudayaan asli rusak atau terlindungi, telah tercemar atau sebaliknya
diperkuat oleh pariwisata (Picard, 2006: 9). Berpandangan terhadap hal di atas,
singkatnya perkembangan industri pariwisata di wilayah Desa Adat Kerobokan
113
dengan di dukung oleh keindahan alam pemandangan pantai di daerah sekitarnya
menjadi faktor kekuatan eksternal yang telah memberi nilai ekonomi kongkrit
dalam kehidupan masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya di sekitar Pura
Petitenget atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget yang berfungsi
sebagai objek wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali.
Secara sadar atau tidak, faktor perkembangan industri pariwisata di wilayah ini
telah memberikan aktivitas nilai ekonomis secara signifikan ke arah yang lebih
progresif, yakni dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan masyarakat setempat, mendukung dan menciptakan lapangan
pekerjaan baru, memperoleh devisa asing dan motif-motif ekonomi lainnya, selain
itu menimbulkan berbagai faktor masalah yang muncul dari konsekuensi nyata
bagi suatu daerah yang secara sengaja membuka diri untuk dikunjungi wisatawan
mancanegara akibat pengembangan industri pariwisata global di wilayah tersebut.
Menyadari hal-hal di atas, maka faktor perkembangan industri pariwisata
dengan di dukung keindahan alam pantai di sekitarnya sehingga menjadi daya
tarik untuk dikunjungi wisatawan mancanegara menjadi faktor dominan di bidang
ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Adat Kerobokan,
khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget, hal ini merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya
Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan. Faktor pemanfaatan warisan budaya ini
berfungsi satu arah yang memposisikan Pura Petitenget sebagai obyetivikasi
aspek kebudayaan untuk kepentingan nilai ekonomi, demi pemeliharaan dan
pelestarian sember daya budaya tersebut, selain itu meningkatkan pendapatan dan
114
pemasukan bagi kesejahteraan masyarakat setempat dalam perkembangan industri
pariwisata Bali. Sederhananya dapat diimplementasikan secara nyata dalam
pengembangan industri pariwisata budaya Bali yang mempromosikan warisan
budaya Pura Petitenget sebagai objek komoditi yang mendatangkan nilai
ekonomis bagi pemeliharaan sumber daya budaya lokal ini dengan disertai minat
wisatawan yang ingin mengetahui warisan budaya tersebut. Masyarakat Desa adat
Kerobokan, khususnya di sekitar Pura Petitenget berharap dengan adanya industri
pariwisata yang berkembang pesat di wilayahnya akan berpihak kepada
kesejahteraan ekonomi penduduk setempat, serta mampu memberikan manfaat
bagi pelestarian sumber daya budaya yang dimilikinya dengan di dukung oleh
lingkungan pemandangan alam pantai yang indah di daerah sekitar Petitenget,
sehingga secara merata dan berkelanjutan dapat bermanfaat tanpa menghilangkan
religiusitas kebudayaan masyarakat lokal ini.
Nilai estetika yang dimiliki oleh sumber daya budaya Pura Petitenget itu
seringkali menjadi faktor penyebab terjadinya komersialisasi bangunan suci, di
mana proses komersialisasi terjadi ketika pura ini menjadi benda komiditi yang
dipromosikan untuk mendatangkan motif ekonomi sehingga menarik wisatawan
mancanegara berdatangan ke Pura Petitenget. Hal itu terjadi karena perkembangan
industri pariwisata di Desa Adat Kerobokan menyebabkan seringnya para
wisatawan asing mengunjungi Pura Petitenget karena berada di daerah pariwisata
Kuta Utara. Selain itu, Pura Petitenget ini berlokasi di depan pantai Petitenget
yang indah dan terkenal di mata wisatawan mancanegara, dan wisatawan asing
sering menikmati pemandangan pantai Petitenget yang indah dengan matahari
115
tenggelam di sore harinya. Perlahan namun pasti, di dukung kemajuan teknologi
di segala bidang, maka proses komersialisasi warisan budaya Pura Petitenget di
Desa Adat Kerobokan berlangsung terus menerus sebagai objek wisata cagar
budaya di Kabupaten Badung. Ditunjang sarana fasilitas sektor pariwisata yang
semakin berkembang pesat di daerah sekitar Pura Petitenget telah memberi akses
ruang faktor eksternal makin terbuka, sehingga memberi peluang lebih besar
terjadinya faktor profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget
sebagai akibat adanya komersialisasi tempat suci yang difungsikan sebagai objek
wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali. (Lihat Gambar 6.1,
Gambar 6.2, dan Gambar 6.3).
Gambar 6.1 Suasana di Sekitar Pantai Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)
Gambar 6.2 Restoran di Depan Pantai Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)
116
Gambar 6.3 Panorama Matahari Terbenan/Sunset di Pantai Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)
6.3 Kebutuhan Ekonomi dalam Pengelolaan Pura Petitenget
Masyarakat sebagai salah satu komponen pendukung pariwisata juga harus
dilibatkan dan mendapatkan keuntungan dari pariwisata, jangan sampai hanya
dapat dinikmati oleh kapitalis sebagai pemilik modal tanpa dapat dinikmati oleh
masyarakat, tetapi masyarakat lokal sebagai pemilik sumber daya budaya dan
pelaku kegiatan aktivitas pariwisata itu berlangsung harus juga menikmati
keuntungan atas industri pariwisata dengan cara memaksimalkan proporsi
pendapatan ekonomi yang dikelola secara lokal beserta keuntungan-keuntungan
lainnya pada masyarakat lokal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat (Ardika, 2007: 120).
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa salah satu
faktor yang menyebabkan terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya
Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, adalah
memberi kebebasan masyarakat lokal untuk mengembangkan aset warisan budaya
berupa peninggalan monumen, dalam hal ini Pura Petitenget itu sendiri. Selain
berfungsi sebagai tempat suci, juga difungsikan sebagai objek wisata cagar
117
budaya dengan daya tariknya sebagai daya tarik wisata budaya yang menarik
minat wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Pura Petitenget sebagai akibat
pengaruh industri pariwisata global. Adanya faktor-faktor nilai ekonomis selalu
mempengaruhi pola pikir masyarakat setempat yang berusaha memperbaiki
kehidupan sosial ekonomi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya masyarakat di daerah sekitar Pura
Petitenget. Terjadinya kesempatan ruang dan waktu, yang berkorelasi dengan
pengembangan pariwisata budaya berkelanjutan di Bali, yang bertumpu pada tiga
landasan pokok, yaitu berkualitas (quality), berkelanjutan (continuity), dan
berkesinambungan (balancy), akan melahirkan motivasi dan kreativitas
masyarakat lokal sebagai pemilik kebudayaan untuk mempromosikan tinggalan
pusaka budaya sebagai suatu komoditi, yang memberikan keuntungan ekonomi
kepada masyarakat lokal (Ardika, 2007: 50).
Berorientasi pada konsepsi di atas, berkaitan juga dengan pendapat yang
disampaikan oleh pengurus Pura Petitenget tentang kebutuhan ekonomi dalam
pengelolaan warisan budaya Pura Petitenget adalah untuk beaya pemeliharaan
pura dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Berdasarkan hasil
wawancara dengan informan Pemangku Pemucuk (utama) Pura Petitenget Jero
Mangku Made Widra (62 tahun), hasil petikan wawancaranya sebagai berikut:
“...setiap dana yang masuk untuk keperluan Pura Petitenget, danpengurus/pengayah pura (para jero mangku) yang bergilir menjagakeseharian di dalam Pura Petitenget, tetap diperhatikan dan diberitunjangan sesuai dengan kesepakatan yang disepakati bersama olehsemua pihak dengan pengurus/panitia pengelola Pura Petitenget ini.Bila ada sisa dana akan dimasukan kembali ke kas atau ditabunguntuk penggunaan selanjutnya”.(Wawancara, Minggu 5 Mei 2013).
118
Hal senada sama dengan apa yang disampaikan oleh dua orang Pemangku
Pengayah (pemangku yang bertugas setiap hari) yang lagi bertugas di Pura
Petitenget saat diwawancarai, yaitu Mangku Ni Wayan Sumartini (42 tahun) dan
Mangku I Putu Ngarta (40 tahun), mereka mengatakan pendapat yang sama
dengan apa yang disampaikan oleh Pemangku Pemucuk atau Pemangku Gede
(utama) Pura Petitenget. Hasil kutipan penuturan mereka sebagai berikut:
“Keuangan yang masuk, baik dana punia (sesari), pemanfaatan jabadan wantilan Pura Petitenget, keseluruhannya dimasukkan ke dalamkas panitia pengelolaan Pura Petitenget, kemudian dirinci/dihitungsesuai dengan semua kebutuhan yang dikeluarkan untuk segalakepentingan Pura Petitenget dan para pengurusnya, serta panitiapengelolanya. Bila ada kelebihannya,tetap dimasukan ke kas panitiadan ditabung untuk digunakan pada kebutuhan selanjutnya”.(Wawancara, Minggu, 12 Mei 2013).
Melihat dari penuturan di atas, serupa dengan apa yang disampaikan oleh
Anak Agung Putu Sutarja (45 tahun) sebagai Bendesa Adat Kerobokan dan I
Nyoman Sunarka (40 tahun) sebagai Kelian Adat Kerobokan Kelod. Hasil kutipan
penuturan mereka sebagai berikut:
“...semua keuangan yang masuk ke Kas pengelolaan Pura Petitenget,digunakan untuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget, untuk parapengurus/pengelola pura. Dana yang dikeluarkan sesuai denganseluruh kebutuhan yang ada, sesuai juga dengan kesepakatan yangsudah ditentukan. Bila ada sisa dana akan dikembalikan ke Kaspanitia dan ditabung, digunakan untuk keperluan selanjutnya...”(Wawancara, Minggu 5 Mei 2013).
Dari tuturan beberapa nara sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor
kebutuhan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya budaya Pura Petitenget ini
telah menyebabkan profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di
Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yaitu untuk pelestarian
dan kepentingan Pura Petitenget. Seperti beaya pemeliharaan atas warisan budaya
119
ini agar tetap terjaga dan terlestarikan. Di samping untuk penambahan pendapatan
dengan memberi nilai ekonomis bagi para pengelola/pengurus Pura Petitenget,
juga demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya atas pemanfaatan
dan pengelolaan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya dalam industri
pariwisata Bali. Melihat hal-hal di atas, dan hasil dari beberapa wawancara yang
dilakukan dengan beberapa pihak terkait, maka faktor kebutuhan ekonomi dalam
pengelolaan Pura Petitenget menyebabkan terjadinya profanisasi pemanfaatan
warisan budaya Pura Petitenget dalam konteks pariwisata budaya di Bali, telah
membuka ruang dan peluang pura ini berfungsi sebagai benda komoditi, sehingga
sekat Pura Petitenget sebagai tempat suci yang bersifat “ritual-magis” akhirnya
menjadi kepentingan ekonomi praktis untuk memperoleh keuntungan ekonomi
dalam bentuk nilai uang. Apabila harapan untuk meningkatkan mutu hidup dan
memperbaiki pendapatan ekonomi, menjadi inspirasi masyarakat lokal untuk
meningkatkan taraf kesejahteraan hidup dengan memanfaatkan potensi internal
yang bersumber dari masyarakat itu sendiri, maka memberikan keuntungan
tersendiri bagi masyarakat setempat, khususnya di sekitar Pura Petitenget atas
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget dalam pembangunan pariwisata Bali.
Perkembangan industri pariwisata Bali dengan kebijakan-kebijakan
institusi formal yang lebih mementingkan manfaat-manfaat nilai ekonomi, di
mana unsur-unsur palemahan (lingkungan alamiah), seperti gunung, hutan,
sawah, sungai, danau, pantai dan kawasan suci pura, yang dianggap sakral/suci
sekalipun, kini terusik dan ternoda oleh keserahkahan naluri bisnis pariwisata, di
mana kearifan-kearifan budaya lokal yang telah diwariskan turun-temurun,
120
sekarang mulai terabaikan atas nama peningkatan kesejahteraan masyarakat
sekitarnya (Pujaastawa, 2008: 418). Berorientasi pada nilai ekonomi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka faktor kebutuhan
ekonomi dalam pengelolaan Pura Petitenget dengan daya tariknya sebagai warisan
budaya lokal atas pemanfaatannya yang berfungsi sebagai objek wisata cagar
budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali menjadi faktor relevansi dalam
wewenang aktivitas masyarakat Desa Adat kerobokan untuk memanfaatkan
kemampuan mereka sendiri dalam mengelola sumber daya budaya lokal yang
dimilikinya demi pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya tersebut serta
penambahan pendapatan demi meningkatkan ekonomi dan taraf kesejahteraan.
Selaku pemeran utama, masyarakat lokal Desa Adat Kerobokan ikut
terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam membuat keputusan-keputusan
dan melakukan kontrol-kontrol kebijakan yang mempengaruhi kehidupan sosial
ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, baik bagi para
pengurus/pengelola Pura Petitenget, serta membuka lapangan pekerjaan baru.
Maka pengelolaan atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget yang
berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya di Desa Adat kerobokan dalam
pembangunan pariwisata budaya di Bali dilakukan secara optimal oleh masyarakat
lokal untuk memberikan ruang bagi kegiatan keseharian masyarakat setempat
sebagai pemilik kebudayaan lokal tersebut sehingga menghasilkan motif ekonomi
praktis untuk kebutuhan pengelolaan Pura Petitenget sebagai sumber daya budaya
demi pelestariannya serta mendatangkan peningkatan kesejahteraan dalam
121
kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya
masyarakat di lingkungan sekitar Pura Petitenget.
komersialisasi sering menjadi isu utama dalam pemanfaatan dan
pengelolaan pura sebagai daya tarik wisata, selain dijadikannya tempat suci, juga
berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya. Ini merupakan fakta terjadinya
komersialisasi kebudayaan dalam industri pariwisata budaya di Bali, karena
berubahnya atau bertambahnya fungsi kesenian atau monumen/objek cagar
budaya tersebut (Ardika, 2007: 52). Berorientasi dari konsepsi di atas, hal serupa
juga dialami Pura Petitenget sebagai warisan budaya, selain fungsi utamanya
sebagai tempat suci, juga difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya demi
kepentingan pariwisata budaya di Bali. Terkait dengan hal-hal di atas sesuai
dengan apa yang disampaikan oleh A.A. Ngurah Putra (70 tahun) sebagai Ketua
Panitia Pengelola Pura Petitenget dan Anak Agung Putu Sutarja (45 tahun)
sebagai Bendesa Adat Kerobokan, mengatakan bahwa faktor komersialisasi Pura
Petitenget sebagai objek wisata budaya telah mendatangkan banyak wisatawan
mancanegara mengunjungi pura ini dan memberikan nilai ekonomis tinggi atas
pemanfaatan dan penggunaan keseluruhan kompleks Pura Petitenget dalam
perkembangan industri pariwisata Bali. Kondisi ini diciptakan karena dana
bantuan dari pemerintah maupun instansi terkait sangat minim untuk pembiayaan
atas pemeliharaan dan pelestarian bagi warisan budaya lokal ini, menyebabkan
masyarakat setempat dengan pemikiran modern yang berorientasi logika kapitalis
memanfaatkan sumber daya budaya yang dimilikinya guna mendatangkan nilai
motif ekonomi. Faktor ini menunjukkan bahwa walaupun terlibat langsung dalam
122
aktivitas kepariwisataan di wilayahnya, masyarakat lokal menyadari sepenuhnya
bahwa proses komersialisasi akan memunculkan faktor-faktor yang akan dapat
mengancam budaya lokal yang dimilikinya. Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut
secara sadar masyarakat Desa Adat kerobokan memanfaatkan warisan budaya
Pura Petitenget ini yang difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya untuk
menghasilkan nilai ekonomis akibat dari komersialisasi tempat suci ini untuk
beaya pemeliharaan demi pelestarian sumber daya budaya ini, hal itu merupakan
konsekuensi logis akibat perkembangan industri pariwisata di wilayah Kuta Utara.
Adanya faktor demi pelestarian dan meningkatkan kesejahteraan di sini,
berfungsi sebagai penambahan pendapatan dana pemeliharaan, juga kesejahteraan
para pengurus/pengelola Pura Petitenget. Di mana segala bentuk keuangan yang
masuk, seperti sumbangan sukarela dari wisatawan/pengunjung, iuran-iuran pura,
saricanang (sesari), pemasukan atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai
areal parkir bagi masyarakat dan wisatawan mancanegara. Kemudian sumbangan
dari kegiatan sosial bila ada yang menggunakan wantilan pura. Keseluruhan hal di
atas, uang yang masuk selalu digunakan untuk kebutuhan Pura Petitenget dengan
segala keperluan pura ini. Misalnya; pemugaran/konservasi bangunan/pelinggih
jika ada kerusakan/diperbaiki, untuk upacara keagamaan yang berhubungan
dengan odalan hari raya, piodalan pura, dan berbagai kebutuhan upacara, bantuan/
honorarium untuk pengelola/pengurus pura setiap bulan, di samping kesejahteraan
masyarakat secara keselurahan atas pemanfaatan dan pengelolaan warisan budaya
Pura Petitenget yang di fungsikan sebagai objek wisata cagar budaya dalam
konteks pariwisata budaya di Bali.
123
Pengaruh faktor Kebutuhan ekonomi dalam Pengelolaan Pura Petitenget di
atas, terkait juga dengan kenyataan di lapangan, bahwa faktor profanisasi atas
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,
Kecamatan Kuta Utara, Badung, lebih di pandang sebagai kegiatan motif
ekonomi, yang mendatangkan nilai uang untuk penambahan pendapatan beaya
pelestarian warisan budaya ini, memberi peningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat dengan meningkatkan kualitas hidup komunitas lokal, yang semula
sederhana tradisional dalam kehidupan sosial ekonomi, saat ini mulai mengikuti
arus perkembangan pariwisata global yang mengubah pola pikir serta perilaku
masyarakat setempat ke arah modern, karena keterlibatan masyarakat di dalam
perencanaan dan manajemen di daerah wisata Desa Adat Kerobokan, khususnya
di daerah sekitar Pura Petitenget. Sehingga menimbulkan rasa aman, memuaskan,
serta dapat memenuhi harapan pengunjung atau wisatawan. Selain tetap menjaga
unsur kebudayaan lokal agar tetap terjaga dan terlestarikan, yakni warisan budaya
Pura Petitenget. Di samping juga memberi kesejahteraan bagi para pengelola/
pengurus Pura Petitenget, dengan harapan semua masyarakat Desa Adat
Kerobokan dapat disejahterahkan dalam keterlibatan mereka di bidang industri
pariwisata Bali yang berkembang pesat.
124
BAB VII
DAMPAK DAN MAKNA PROFANISASI PEMANFAATAN WARISAN
BUDAYA PURA PETITENGET DI DESA ADAT KEROBOKAN,
KECAMATAN KUTA UTARA, BADUNG
Dampak pariwisata merupakan dampak wilayah yang berpengaruh
terhadap masyarakat lokal dalam segala aspek kehidupannya, yang dapat pula
melahirkan makna-makna baru yang tersirat di dalamnya. Pariwisata merupakan
kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat setempat.
Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang
mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorfose dalam berbagai
aspeknya (Pitana, dkk. 2005: 109). Terkait atas hal tersebut, maka dampak dan
makna profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat
Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yang difungsikan sebagai daya tarik
wisata cagar budaya tentu akan membawa dampak dan makna dalam seluruh
aspek kehidupan sosial dan budaya masyarakat Desa Adat Kerobokan atas
pemanfaatannya dalam konteks pariwisata budaya di Bali.
7.1 Dampak Profanisasi
7.1.1 Dampak Ekonomi Terjadi Penambahan Pendapatan Untuk
Pembiayaan Pura
Harus diakui bahwa dunia pariwisata memberikan dampak positif pada
keuntungan ekonomi. Bentuk keuntungan perekonomian selalu lebih penting
daripada kebudayaan dan religiusitas. Di sertai perubahan pola pikir masyarakat
mulai ke arah modern akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala
125
bidang, dan logika kapitalis menjadi unsur pelengkap dari perkembangan industri
pariwisata global (Anom, dkk. 2010: 194). Dalam kerangka idealnya, masyarakat
Desa Adat Kerobokan berharap dengan model pembangunan pariwisata budaya di
Bali, khususnya perkembangan pariwisata di wilayah Kerobokan, diharapkan
untuk lebih berpihak kepada kesejahteraan ekonomi masyarakat Desa Adat
kerobokan, khususnya di daerah Petitenget, sebagai pemilik aspek kebudayaan
lokal atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget yang difungsikan sebagai
objek wisata cagar budaya dalam pembangunan pariwisata budaya Bali.
Bila di lihat dari target di atas, dari sisi ekonomi, telah membawa dampak
yang mempengaruhi terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura
Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung. Dampak
ekonomi yang dirasakan akibat pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget
dalam konteks pariwisata budaya di Bali, di sini adalah memberikan pemasukan
ekonomi tinggi berupa sejumlah nilai uang yang masuk ke dalam Kas panitia
pengelolaan Pura Petitenget sebagai usaha nyata penambahan penghasilan untuk
beaya pelestarian dan pemeliharaan sumber daya budaya Pura Petitenget atas
pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan bagi masyarakat
dan wisatawan. Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum bila
ada yang menggunakannya, serta sumbangan masyarakat dan wisatawan dalam
bentuk dana punia (sesari) ketika mengunjungi Pura Petitenget. Ideologi kapitalis
dengan motif ekonomi telah mempengaruhi pola pikir masyarakat setempat
sehingga melibatkan diri secara langsung dalam mengelola warisan budayanya
dengan dalil demi pelestarian sumber daya budaya Pura Petitenget, serta
126
meningkatnya taraf hidup perekonomian masyarakat setempat sebagai akibat
perkembangan industri pariwisata global. Peran masyarakat setempat yang
melibatkan diri pada sektor pariwisata, dengan munculnya berbagai macam
bidang usaha/bisnis yang dijalankan oleh masyarakat lokal di daerah sekitar Pura
Petitenget, hal ini merupakan bentuk usaha untuk meningkatkan taraf ekonomi
dan kesejahteraan hidup mereka. Motivasi motif ekonomi demi pelestarian dan
pemberdayaan sumber daya budaya lokal Pura Petitenget, serta meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat inilah yang akhirnya menciptakan
kemandirian perekonomian yang dibentuk oleh masyarakat Desa Adat Kerobokan
dengan memanfaatkan aspek kebudayaan yang dimilikinya.
Potensi budaya yang dimiliki Pura Petitenget sebagai warisan budaya yang
difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya telah mendatangkan nilai ekonomi
tinggi, yaitu memberikan sumber pendapatan devisa daerah terkait, sumber
pembiayaan atas pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya lokal ini, juga
untuk meningkatkan kesejahteraan pengurus/pengelola pura, memberikan peluang
usaha kerja bagi masyarakat sekitarnya di sektor pariwisata, serta meningkatkan
taraf hidup masyarakat sekitarnya menjadi lebih baik. Dampak ekonomi telah
mempengaruhi terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura
Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, akibat
potensi budaya yang dimilikinya. Di mana kegiatan kebutuhan ekonomi tidak bisa
dihindari karena potensi budaya Pura Petitenget sebagai warisan budaya yang
difungsikan menjadi benda daya tarik wisata cagar budaya yang mendatangkan
nilai ekonomi praktis akibat komersialisasi bangunan suci/pura dalam pariwisata
127
budaya di Bali. Sehingga menyebabkan keluar dari fungsi utamanya sebagai
tempat suci, tetapi diciptakan menjadi nilai jual untuk menarik wisatawan
mancanegara untuk mengunjunginya sebagai objek wisata cagar budaya. Dari
hasil pengamatan di lapangan, ditemukan bahwa dampak ekonomi mendominansi
atas pemanfaatan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya terhadap
pemanfaatan dari keseluruhan kompleks Pura Petitenget, adalah untuk
kepentingan pelestarian dan pemeliharaan Pura Petitenget itu sendiri, untuk
penambahan pendapatan bagi pengurus/pengelola Pura Petitenget sehingga dapat
meningkatkan taraf hidup perekonomian masyarakat setempat. Hal ini dapat
dilihat dari hasil wawancara dengan Pemangku Pemucuk (utama) Jero Mangku
Made Widra (62 tahun). Petikan hasil wawancara tersebut sebagai berikut:
”...semua dana yang masuk ke Kas pengelolaan pura lebihdiutamakan untuk kepentingan Pura Petitenget, kemudian untukpembagian honorarium yang dikeluarkan dari Kas pengelolaan PuraPetitenget sesuai dengan kesepakatan bersama, pembagiannya sesuaidengan fungsinya masing-masing, baik untuk pengayah pura danpengelola pura, sehingga pendapatan dan kesejahteraan merata bagipara pemangku dan pihak pengelola Pura Petitenget”.(Wawancara, Minggu 5 Mei 2013).
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Panitia Pengelola Pura Petitenget
A.A. Ngurah Putra (70 tahun). Sesuai dengan penuturannya, petikan hasil
wawancara tersebut sebagai berikut:
”...pembagian dana yang masuk ke Kas pengelolaan Pura Petitengetsesuai dengan kesepakatan bersama dari awal pembentukan panitiapengelolaan Pura Petitenget tersebut. Semua dana digunakan untukkeperluan dan kepentingan pura. Kemudian dana pembagian bagipengayah pura dan pengelola pura, sehingga pendapatan dankesejahteraan dapat dirasakan merata bagi para pemangku danpanitia pengelola Pura Petitenget ini”.(Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013).
128
Dari penuturan kedua informan di atas, menunjukkan bahwa dampak
ekonomi menyebabkan terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura
Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yakni akibat
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget yang berfungsi sebagai objek wisata
cagar budaya untuk mendatangkan sumber ekonomi praktis berupa nilai uang
demi pelestarian sumber daya budaya lokal ini, serta penambahan pendapatan
untuk meningkatkan taraf kesejahteraan bagi para pengurus/pengelola Pura
Petitenget, juga masyarakat di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari setiap dana
yang masuk, baik atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai halaman parkir
kendaraan untuk setiap kendaraan yang masuk ke daerah sekitar Pura Petitenget
bagi masyarakat umum dan wisatawan. Adanya pemanfaatan wantilan Pura
Petitenget bagi masyarakat umum/kelompok dari luar Desa Adat Kerobokan
dengan kompensasi berdana-punia bila ada yang menggunakannya, serta
sumbangan atau dana punia (sesari) dari masyarakat dan wisatawan yang
berkunjung ke Pura Petitenget, akan menambah pemasukan bagi Kas pengelolaan
Pura Petitenget atas pemanfaatan warisan budaya lokal ini akibat perkembangan
industri pariwisata Bali.
Dampak ekonomi menjadi dominan yang dirasakan oleh masyarakat Desa
Adat Kerobokan, khususnya di sekitar Pura Petitenget, yakni sebagai sumber
ekonomi praktis yang mendatangkan nilai uang sebagai bentuk pola-pola kapitalis
yang mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal demi pelestarian,
pemeliharaan dan pemberdayaan warisan budaya Pura Petitenget yang harus tetap
terjaga dan terlestarikan. Di samping meningkatkan kesejahteraan perekonomian
129
masyarakat setempat, terbukanya lapangan pekerjaan baru di sektor pariwisata,
serta peluang berbisnis yang berhubungan dengan dunia pariwisata global. Hal ini
terjadi karena adanya interaksi penduduk lokal dengan wisatawan mancanegara
lewat transaksi perdagangan internasional dan pertukaran mata uang sehingga
berdampak terhadap penerimaan pajak dan pendapatan daerah terkait, semua itu
sejalan dengan aktivitas masyarakat yang secara perekonomian bertumpu pada
sektor pariwisata.
Dominansi dampak ekonomi atas pemanfaatan warisan budaya Pura
Petitenget dalam konteks pariwisata budaya memberikan akses ruang motif
ekonomi dengan logika kapitalis berupa nilai uang yang menjadi unsur pelengkap
dari kegiatan ekonomi yang dominan ditimbulkan atas pemanfaatan sumber daya
budaya lokal tersebut sebagai akibat perkembangan industri pariwisata di Desa
Adat Kerobokan. Bentuk keuntungan ekonomi selalu lebih penting daripada
kebudayaan dan religiusitas sehingga mempengaruhi pola pikir masyarakat
setempat ke dalam kehidupan sosial budayanya, akibatnya religiusitas Pura
Petitenget sebagai tempat suci bergeser ke ruang profan karena berfungsi sebagai
objek wisata budaya akibat komersialisasi tempat suci. Perkembangan industri
pariwisata global telah menciptakan kreativitas masyarakat lokal ke arah
pemikiran modern untuk memanfaatkan sumber daya budaya yang dimilikinya
demi mendatangkan motif nilai ekonomi sebagai akibat pengaruh industri
pariwisata Bali yang berimplikasi dengan budaya global.
130
7.1.2 Dampak Lingkungan Dilakukan Pengembangan Sarana Atau
Fasilitas Kepariwisataan
Kebijakan pembangunan pariwisata Bali dewasa ini diharapkan mampu
memberi manfaat bagi pelestarian budaya dan lingkungan secara merata dan
berkelanjutan, tanpa merusak sumber daya budaya serta lingkungan ekologi
disekitarnya. Namun dalam kenyataannya manfaat-manfaat ekonomi yang
diperoleh dari sektor pariwisata masih kerap dibarengi oleh berbagai masalah
sosial budaya bahkan juga masalah lingkungan alam (Pujaastawa, dkk. 2008:24).
Pengembangan pariwisata Bali yang semakin tidak terkendali telah memaksa
masyarakat lokal mengikuti arus perubahan dan dampak yang terjadi, di mana
fenomena pengembangan dan pembangunan sarana dan prasarana penunjang
fasilitas dunia kepariwisataan telah mempengaruhi keselurahan aspek kehidupan
sosial masyarakat setempat, serta pendukung dan pelaku pariwisata dengan
menggunakan kecanggihan teknologi dan berbagai peralatan mesin yang
mengkonsumsi energi dan sumber daya dalam jumlah yang tinggi, sekaligus
mengakibatkan kerusakan lingkungan alam sekitarnya yang disertai pencemaran
lingkungan dan polusi.
Seiring perkembangan zaman dan perkembangan industri pariwisata Bali,
telah mengubah pola kehidupan masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya
masyarakat di sekitar Pura Petitenget. Tuntutan kebutuhan yang semakin banyak
dan beragam telah membuat masyarakat setempat semakin mengutamakan
pendekatan-pendekatan bersifat ideologi ekonomi. Akibatnya pembangunan
kawasan-kawasan komersial demi pariwisata tidak terelakkan dan menyebabkan
131
terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Perubahan itu semakin parah dipicu
tumbuhnya pariwisata budaya di Bali, sehingga berdampak pada perkembangan
pariwisata dan lingkungan di wilayah Desa Adat kerobokan, Kecamatan Kuta
Utara, Badung tersebut. Selain menjanjikan pekerjaan atau mata pencaharian baru
bagi masyarakat lokal, juga membutuhkan sarana dan prasarana fisik penunjang
sektor kepariwisataan, baik sebagai jawaban atas kontribusi industri pariwisata di
wilayah Desa Adat kerobokan, khususnya di sekitar Pura petitenget, juga bagi
masyarakat Bali dan pendatang yang mencari penghidupan di wilayah tersebut.
Tidak dapat dimungkiri bahwa ketika suatu wilayah, dalam hal ini Desa
Adat kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, ketika dikembangkan menjadi
kawasan pariwisata, proses yang tidak dapat dihindarkan adalah perubahan atas
lingkungan alam di sekitarnya. Dampak lingkungan yang ditimbulkan, yakni
adanya aktivitas dan kegiatan pengembangan sarana dan prasarana fasilitas
pariwisata seperti pembangunan hotel, penginapan, villa, restoran, café, rumah
makan, mini market, fasilitas olah-raga, dan sebagainya, serta berbagai bidang
usaha atau bisnis yang berhubungan dengan dunia kepariwisataan. Di topang oleh
teknologi maju yang digunakan di sekitar Desa Adat kerobokan, khususnya
daerah disekitar Pura Petitenget, telah mengubah lingkungan setempat hingga
melampaui batas-batas daya dukungnya. Misalnya; pembuatan kolam renang,
padang golf, pengambilan air tanah yang sangat berlebihan akibat konsumsi
tinggi, pembuangan limbah dari pembangunan sarana fasilitas pariwisata, dan
polusi yang terjadi akibat penggunaan teknologi. Di samping pesatnya
penggunaan transportasi darat yang menghubungkan satu tempat ke tempat
132
lainnya, menyebabkan kerusakan lingkungan alam sebagai sumber pendukung
sektor kepariwisataan. Di sisi lain, rendahnya kesadaran dan pengetahuan
masyarakat setempat tentang arti pentingnya lingkungan hidup bagi kelangsungan
kehidupannya kelak, telah menyebabkan mereka bertindak tanpa menghiraukan
dampaknya ke depan.
Meningkatnya minat masyarakat Desa Adat Kerobokan dalam hal kualitas
hidup yang semakin modern, menyiratkan asumsi bahwa kebutuhan akan lahan
untuk pembangunan berbagai fasilitas fisik akomodasi pariwisata, baik yang
berskala besar maupun kecil harus ditingkatkan demi pertumbuhan ekonomi
sehingga mendatangkan devisa daerah terkait, meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan kehidupan ekonomi masyarakat sekitarnya. Sejalan dengan hal itu,
masyarakat lupa bahwa pembangunan fasilitas penunjang pariwisata yang begitu
pesat kerap menjadi ancaman bagi lahan-lahan pertanian yang merupakan sumber
produksi ekonomi rakyat (petani), yang pada akhirnya cepat atau lambat akan
terkikis dan habis. Selain itu dikuatirkan akan terus berpindah tangan ke pemilik
modal/kapital, akibatnya akan ada banyak petani setempat kehilangan mata
pencaharian pokoknya, dan sudah tentu akan berdampak negatif pada lingkungan
alam di wilayah Desa Adat Kerobokan, khususnya di daerah sekitar Pura
Petitenget. Selain itu akan berdampak pula terhadap perubahan struktur demografi
dan ekologi lingkungan alam di sekitarnya. Di samping hal di atas, juga terjadinya
polusi udara dan kemacetan arus lalu lintas akibat frekwensi penggunaan
kendaraan bermotor yang tinggi, disebabkan unsur pemusatan wilayah pariwisata
dalam hal ini, terfokus pada wilayah Kerobokan dan Petitenget.
133
7.1.3. Dampak Sosial Ada Perubahan Pola Pikir dan Mata Pencaharian
Dampak pariwisata terhadap kehidupan sosial masyarakat lokal seringkali
tidak segera dirasakan dan diketahui, karena pariwisata itu sendiri bersifat
kompleks dan saling berkaitan. Implisitas konflik yang demikian itu cenderung di
simpan di dalam benak masyarakat sehingga menunggu waktu yang tepat atas
pemunculannya ke permukaan, akibatnya dampak sosial yang muncul lebih dari
satu jenis dan bersifat kompleks juga (Anom, dkk. 2010: 197). Bersandar pada
pedoman ini, dampak sosial dari pengaruh budaya global yang terbawa oleh
pergaulan antarbangsa melalui kegiatan industri pariwisata di Desa Adat
Kerobokan, khususnya di daerah sekitar Pura Petitenget, tanpa disadari telah
mempengaruhi pola pikir dan karakter/perilaku serta emosional masyarakat lokal
akan perubahan yang terjadi di ranah kehidupannya, baik lingkungan fisik
maupun lingkungan sosial masyarakat setempat, hal itu disebabkan perubahan
pandangan ke arah yang modernis.
Dampak sosial atas perubahan tersebut antara lain: 1) Adanya perubahan
pola pikir dan karakter masyarakat setempat karena munculnya kreativitas
semangat dalam berwirausaha di sektor kepariwisataan. 2) Perubahan struktur
pekerjaan utama masyarakat Desa Adat kerobokan, khususnya masyarakat di
sekitar Pura Petitenget, dari petani tradisional beralih ke sektor pariwisata karena
menjadi wilayah pengembangan industri pariwisata Bali, selain itu semakin
terbatasnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan. 3) Berkembangnya pola
hidup konsumtif masyarakat lokal karena perubahan pemikiran ke arah modern.
4) Terjadinya perpindahan atau pertambahan penduduk pendatang baru dari luar
134
daerah Bali, akibatnya akan semakin terdesaknya penduduk lokal Bali, juga dalam
SDM. Dampak sosial terhadap profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura
Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, adanya
perubahan pola pikir masyarakat Desa Adat Kerobokan yang semakin modern dan
ikut berpartisipasi aktif terlibat dalam sektor kepariwisataan di wilayahnya.
Masyarakat lokal yang semula petani, kini ikut berperan aktif di sektor pariwisata
akibatnya terjadi perubahan mata pencaharian, serta alih fungsi lahan pertanian
karena pengembangan dan pembangunan sarana fisik fasilitas kepariwisataan.
Masyarakat lokal semakin semangat dalam berwirausaha dengan membuka rumah
makan, restoran, café, penginapan, laundry, mini market, dan sebagainya.
Masyarakat setempat mulai memanfaatkan pekarangan halaman rumah mereka
untuk disewakan atau dipakai sendiri sebagai tempat usaha/bisnis sehingga
menambah penghasilan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup. Semakin
bertambahnya fasilitas akomodasi kepariwisataan di wilayah Desa Adat
kerobokan, khususnya di sekitar Pura Petitenget, semakin mempermudah akses
masuknya wisatawan ke daerah ini, sehingga peluang Pura Petitenget sebagai
objek wisata cagar budaya semakin populer dan sering dikunjungi wisatawan
mancanegara. Masyarakat lokal sebagai pemilik warisan budaya ini mulai berpikir
dinamis dan modern karena kesempatan dan peluang yang terbentuk semakin
berkembang sehingga melahirkan kreativitas dan motivasi untuk memanfaatkan
dan mendayagunakan sumber daya budaya lokal untuk memacu pertumbuhan
ekonomi masyarakat setempat dalam menyambut industri pariwisata global.
135
7.1.4. Dampak Budaya Terjadi Komersialisasi Bangunan Suci
Konsekuensi logis bagi suatu daerah yang secara sengaja membuka diri
untuk pariwisata, adalah masuknya berbagai pengaruh kebudayaan asing ke dalam
lingkungan kebudayaan tuan rumah. Pengaruh kebudayaan asing akan terasa kian
meningkat ketika industri pariwisata menuntut adanya fasilitas-fasilitas dan
layanan internasional dengan standar internasional, ini berarti masuknya unsur-
unsur budaya global yang tidak bisa dihindarkan sebagai akibat kontak lintas
budaya antara tuan rumah dengan wisatawan dan kelompok pendatang pencari
kerja (Pujaastawa, dkk. 2008: 31). Melihat dari pandangan ini, dapat dikatakan
bahwa perkembangan pariwisata di Desa Adat kerobokan, khususnya di daerah
sekitar Pura Petitenget sebagai daerah baru yang membuka diri terhadap industri
pariwisata Bali, tidak terlepas dari pengaruh budaya global yang masuk, seperti;
terjadinya tukar-menukar kebudayaan antara wisatawan dengan masyarakat
setempat. Contohnya, wisatawan mancanegara dapat lebih banyak mengenal
kebudayaan masyarakat lokal serta lingkungan budaya yang lain, sedangkan
penduduk lokal juga dapat mengetahui tempat-tempat lain dari cerita wisatawan.
Dampak budaya yang terjadi dalam pembangunan pariwisata Bali, adalah
menimbulkan adanya kegairahan penggalian, pemeliharaan, dan pengembangan
aspek-aspek kebudayaan lokal akan tetap terpelihara dan lestari (sustainable).
Tentu saja hal tersebut memberikan efek ganda yaitu bertambahnya pendapatan
masyarakat setempat dari kegiatan ini sebagai konsumsi bagi wisatawan karena
sumber daya budaya tersebut dianggap sebagai objek wisata budaya dengan daya
tarik tersendiri, selain itu dapat menjaga kelestarian aspek-aspek kebudayaan dan
136
warisan budaya itu sendiri. Berpandangan terhadap hal ini, dampak budaya atas
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat kerobokan, Kecamatan
Kuta Utara, Badung, yakni adanya kegairahan masyarakat Desa Adat Kerobokan
untuk menggali potensi sumber daya budaya lokal yang dimilikinya, memelihara
dan mengembangkan Pura Petitenget sebagai warisan budaya yang diwariskan
secara turun-temurun, serta mendayagunakannya sebagai daya tarik wisata cagar
budaya agar tetap terjaga, terpelihara dan terlestarikan, sehingga semakin menarik
dan dikunjungi wisatawan mancanegara. Selain itu juga memberikan penambahan
pendapatan untuk pelestarian dan pemeliharaan pusaka budaya ini, serta dapat
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat setempat sebagai akibat
pengembangan pariwisata budaya di Bali.
Semakin banyak jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah
maka dampak kultural/budaya yang ditimbulkannya terhadap masyarakat lokal
dan objek wisata bersangkutan juga akan semakin besar (Ardika, 2007: 104).
Berorientasi pada hal tersebut, maka dampak budaya terjadinya profanisasi
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,
Kecamatan Kuta Utara, Badung, yakni di sini terlihat jelas terjadinya proses
penurunan kualitas nilai kebudayaan, karena adanya komersialisasi bangunan
suci/pura, dalam hal ini Pura Petitenget, yang difungsikan sebagai daya tarik
wisata cagar budaya untuk wisatawan. Selain itu adanya interaksi masyarakat
lokal dengan wisatawan mancanegara yang sering mengunjungi Pura Petitenget
sebagai objek wisata cagar budaya, di mana wisatawan asing dengan leluasa bisa
137
masuk hingga ke halaman tersuci (jeroan) Pura Petitenget untuk mengenal lebih
dekat sumber daya budaya lokal ini.
Ada hal-hal yang harus diperhitungkan, karena apabila suatu pura sebagai
tempat suci dijadikan sebagai obyek wisata cagar budaya, dalam konteks ini Pura
Petitenget itu sendiri, maka bisa menyebabkan menurunnya atau hilangnya nilai-
nilai kesakralan/religiusitas tempat suci tersebut akibat pengembangan pariwisata
budaya. Kemungkinan bisa saja terjadi, kedatangan penduduk lokal atau pamedek
yang bersembahyang ke Pura Petitenget, bertemu dengan wisatawan mancanegara
yang berkunjung ke pura ini, yang secara bersamaan masuk ke dalam jeroan Pura
Petitenget. Ketika hal itu terjadi kemungkinan dapat membuat penduduk lokal
atau pamedek yang sedang bersembahyang di dalam Pura Petitenget menjadi
tidak konsentrasi atau kurang nyaman. Hal ini merupakan dampak budaya yang
terjadi, sehingga mengakibatkan menurunya nilai kebudayaan lokal tersebut
karena komersialisasi Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya sehingga
mengakibatkan terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura
Petitenget di Desa Adat kerobokan dalam konteks pariwisata budaya, karena telah
mengubah nilai utamanya sebagai tempat suci, bergeser menjadi objek wisata
budaya yang dikomoditikan dan dikomersialkan sehingga dikonsumsikan bagi
wisatawan mancanegara. Di mana masyarakat lokal ingin menyuguhkan sesuatu
yang diinginkan wisatawan, disadari atau tidak, masyarakat lokal sebagai pemilik
warisan budaya ini sudah terlalu mengkomersialkan atau mengeksploitasikan
sumber daya budaya yang dimilikinya. Sehingga tanpa sadar, mereka telah
mengurangi dan mengubah sesuatu yang khas dari kebudayaan itu sendiri, bahkan
138
menggeser atau menurunkan nilai dari sumber daya budaya tersebut, yakni Pura
Petitenget itu sendiri, yang seharusnya tetap terjaga, terlestari dan terpelihara baik
agar tetap bernilai religius atau sakral akhirnya bergeser menjadi ruang profan.
7.2 Makna Profanisasi
7.2.1 Makna Kesucian Pura
Pandangan tentang makna kesucian Pura sebagai tempat suci yang sakral
adalah bermakna sebagai tempat suci yang memiliki unsur-unsur kesucian serta
dapat menggetarkan kesucian Sang Hyang Atman yang bersemayam di dalam
jiwa setiap individu. Di samping berfungsi sebagai sarana untuk meningkatkan
kualitas kesucian umat manusia secara individu, yang berfungsi untuk
mengkomunikasikan Sang Hyang Atma yang ada pada diri manusia dengan
Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumbernya. Pura sebagai tempat suci juga dapat
difungsikan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas kesucian umat manusia
sebagai manusia sosial. Pura sebagai tempat suci berfungsi sebagai sarana untuk
meningkatkan berbagai macam keterampilan umat manusia, dan sebagai tempat
untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan yang bersifat ritual dan ritus.
Kesucian Pura tidak hanya perlu dijaga pada saat adanya upacara-upacara
keagamaan (pujawali) saja, melainkan setiap hari, kesucian pura sebagai tempat
dan ruang suci harus tetap terjaga, baik oleh para Jero Mangku yang bersangkutan
perlu memperhatikannya dengan seksama, maupun juga oleh masyarakat lokal
sebagai pengempon atau penyungsungnya. Jika terjadi sesuatu yang melanggar
akan kesucian pura tersebut, maka perlu segera diadakan upacara pembersihan
atau penyucian dengan melaksanakan upakara pecaruan penyucian.
139
Dalam kaitannya dengan fungsi pura sebagai tempat atau ruang suci, hal
ini berdasarkan pada falsafah ruang dari ajaran Tat Twam Asi dalam agama
Hindu, Tat Twam Asi berarti “itu adalah aku”. Inti ajaran Tat Twam Asi adalah
menjaga keharmonisan dalam kehidupan terhadap segala bentuk ciptaan Tuhan,
termasuk dunia ini. Ajaran Tat Twam Asi mengandung makna konsep ruang
dalam keseimbangan kosmos (balance cosmologi), dalam hal ini ruang makro
(Bhuwana Agung) senantiasa harus seimbang dengan ruang mikro (Bhuwana
Alit). Di dalam makrokosmos, terdapat tiga struktur ruang secara vertikal yang
dianalogikan sebagai tiga dunia (Tri Bhuwana). Struktur ruang Tri Bhuwana atau
Tri Loka ini terdiri dari; Bumi dan alam lingkungannya sebagai “alam paling
bawah” disebut Bhur loka, “alam tengah” adalah alam roh-roh suci disebut
Bhuwah loka, dan “alam atas” adalah alam para Dewa disebut Swah loka
(MenujuPencerahan.http://hardisanatana.blogspot.com/2013/05/kosmologi-
pura.html. Tanggal 11 May 2013).
Dalam buku fenomenal “Sakral dan Profan” karya Mircea Eliade, Eliade
mendiskripsikan dua macam perbedaan mendasar dari ruang pengalaman
manusia, antara; manusia tradisional dan manusia modern. Di mana manusia
tradisional atau homo religius selalu terbuka untuk memandang dunia sebagai
pengalaman ruang yang sakral, manusia religius mendapatkan dalam dirinya
kesucian yang sama dengan yang dia temukan di dalam dunia kosmos. Sedangkan
manusia modern tertutup bagi pengalaman-pengalaman yang bersifat sakral, di
mana manusia profan atau manusia non-religius mendapatkan bahwa segala
sesuatu telah didesakralisasi atau diprofanisasi, artinya; akan merusak sekaligus
140
juga memiskinkan karena semua tindakan dan kejadian telah tercabut dari
signifikansi spiritualnya. Manusia tradisional seringkali mengekspresikan
pertentangan ini sebagai ruang dunia nyata melawan (versus) ruang tidak nyata,
artinya manusia tradisional berusaha sebisa mungkin untuk hidup dalam ruang
yang sakral agar sepenuhnya dapat menghempaskan dan menyempurnakan
dirinya dalam realitas.
Menurut Eliade, yang sakral diketahui oleh manusia tradisional karena
mereka memanifestasikan dirinya secara berbeda dari dunia profan. Tempat dan
ruang sakral menjadi kiblat atau acuan utama bagi ruang lainnya. Di mana
manusia mendiami sebuah dunia tengah (midland), diantara dunia-luar yang
kacau, yang diperbaharui lagi oleh praktik-praktik duniawi, dan dunia-dalam yang
sakral, penuh dengan ritual sakral/ritus. Dalam hal ini ritual mengambil tempat
dalam ruang sakral ini, di mana tempat dan ruang suci menjadi satu-satunyanya
penghubung dan cara partisipasi masuk ke dalam kosmos yang sakral ketika
berupaya menghidupkan dan menyegarkan kembali dari dunia profan.
Selanjutnya Eliade mengaitkan “waktu sakral” dengan mitologi, di mana waktu
sakral adalah waktu perayaan, yang membutuhkan tempat dan ruang suci, adalah
kembali kepada waktu mistis, kembali kepada permulaan, manakala segalanya
nampak lebih “nyata” daripada keadaan sekarang, dan waktu sakral digerakkan
kembali dengan menjadikannya baru kembali. Sedangkan “waktu profan” adalah
linear atau sejajar, di mana manusia modern cenderung merasa dan melihat bahwa
semua ruang dan tempat adalah sama, manusia modern selalu memandang waktu
profan adalah keseluruhan hidupnya, dan ketika mereka meninggal atau
141
meninggalkan dunia ini hidupnya juga ikut binasa atau mati (Sumber:
http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/membaca-nalar-studi-agama-sakral-
dan-profan-karya-mercia-eliade/ Tanggal 3 Maret 2013).
Berorientasi terhadap hal-hal di atas, maka makna Pura Petitenget dalam
konteks sebagai tempat suci, dalam arti luas mempunyai makna kegunaannya
sebagai tempat suci, sarana pemujaan bagi umat Hindu dalam menjalankan ajaran
agamanya, bersifat nuansa kosmologi yang dilandasi pandangan pentingnya
hubungan antar manusia dengan sang pencipta (parhyangan), merupakan ekspresi
dari hubungan manusia dengan lingkungan spiritual yang sekaligus merupakan
refleksi dari hakikat manusia sebagai homo religius, yakni makhluk yang
memiliki keyakinan akan adanya kekuasaan adikodrati atau super natural, sebagai
salah satu upaya untuk mencapai kesejahteraan hidup bathiniah. Maka manusia
senantiasa berusaha untuk menjaga interaksi yang harmonis dengan lingkungan
spiritualnya, dalam hal ini fungsi Pura Petitenget sebagai tempat dan ruang suci,
sebagai sarana penghubung antara dunia kosmos dengan dunia manusia.
Namun ketika makna Pura Petitenget sebagai tempat suci, dimasukan ke
dalam konteks nilai dan makna sebagai suatu benda komoditas yang bersifat lebih
kepemikiran rasional modern ke arah kehidupan ekonomi praktis, maka eksistensi
nilai dan makna religius sebagai tempat dan ruang suci pemujaan semakin
dipinggirkan, lebih dari itu proses profanisasi mulai terjadi dengan ukuran
penilaian industri dan jasa demi kepuasan para wisatawan. Akibatnya terjadi
pergeseran nilai dan makna kesucian Pura Petitenget ini dari fungsi asli atau
utamanya sebagai tempat suci yang disakralkan, tetapi bergeser menjadi benda
142
yang dikomersialisasikan. Di mana fungsinya sebagai warisan budaya diposisikan
sebagai objek wisata yang menarik minat wisatawan mancanegara untuk
mengunjunginya sebagai objek wisata cagar budaya, sehingga terjadi proses
eksploitasi kultural, yang dapat mengakibatkan menurunnya nilai-nilai kesucian
atau religiusitas Pura Petitenget sebagai tempat suci untuk kepentingan pariwisata
budaya di Bali sehingga mengalami pergeseran nilai dan makna, yang berfungsi
menjadi tempat dan ruang profan.
Perubahan pada dimensi nilai, ruang dan makna Pura Petitenget sebagai
tempat suci, dalam konteks pariwisata budaya di Bali, di sini terletak pada
perubahan fungsi utamanya sebagai tempat dan ruang suci pemujaan dalam
makna penuh religiusitas bergeser menjadi benda komoditi sebagai objek wisata
cagar budaya yang dikomersialkan. Di mana kehidupan industri dan jasa dalam
kapitalisme dunia pariwisata Bali telah memberi iklim relatif yang bersifat ke
pemikiran rasional dan modern secara keseluruhan terhadap pandangan atas
kegunaan asli atau utamanya, sehingga bergeser dari simbol konstruktif spritual,
di mana merupakan pura yang bersifat sakral, penuh dengan “religio-magis”
karena riwayat sejarahnya yang panjang dan unik, ke perubahan yang bersifat ke
arah yang lebih ke pemikiran universal modern dan ekonomis, yang pada akhirnya
membawa berbagai macam persoalan budaya global yang masuk ke dalamnya,
dengan ditandainya komersialisasi tempat suci Pura Petitenget sebagai objek
wisata cagar budaya. Hal tersebut telah menyebabkan terjadinya perubahan nilai
dan makna kesucian Pura Petitenget sebagai tempat suci dengan memberi nilai
dan makna yang memenuhi fungsi ekonomi praktis ke dalam dimensi ekspresif
143
penggalian, pemeliharaan dan pemberdayagunaan atas tinggalan pusaka budaya
tersebut untuk menghasilkan dana sebagai bentuk upaya pelestarian sumber daya
budaya ini. Tanpa melihat fungsi aslinya sebagai tempat suci tetapi lebih ke dalam
konteks pariwisata budaya sehingga bersenyalemen terjadinya profanisasi akibat
kesalahan atau kelemahan dalam perencanaan dan pengawasan pelaksanaan
kebijakan publik, serta terjadinya eksploitasi kultural/budaya untuk kepentingan
industri pariwisata budaya di wilayah Desa Adat kerobokan khususnya.
7.2.2 Makna Ritual
Makna ritual yang dimaksudkan di sini, mempunyai konotasi ruang
lingkup yang bersifat nilai dalam kereligiusan atau ritus, yang didasarkan atas
hubungan dan tempat dalam situasi perbuatan sebagai lambang atau peristiwa
terhadap lingkungan tertentu di dalam melaksanakan upacara keagamaan. Makna
ritual selalu berkaitan dengan kereligiusan atau ritual (ritus) upacara keagamaan,
bagaimana masyarakat melaksanakan dan menjalankan ritual-ritual upacara
keagamaan, dan aspek kepercayaan kepada kekuatan kosmologi alam dan
keajaiban di luar dari diri manusia.
Mircea Eliade (1907-1986) dalam buku fenomenal “Sakral dan Profan”
menjelaskan, bagaimana bentuk sakralitas alam dan agama kosmik selalu
mengungkapkan sesuatu di luar dirinya, tidak semata-mata alami namun dunia
adalah simbolis atau transparen; antara dunia dewa-dewa yang bersinar terang
melalui dunianya, dan alam raya dilihat sebagai sebuah semesta yang tertata dan
memanifestasikan modalitas yang berlainan dari yang sakral. Bagaimana upacara
penyucian memungkinkan manusia tradisional yang religius untuk hidup dalam
144
eksistensi yang terbuka, ini berarti manusia tradisional mengarungi kehidupannya
dalam dua dunia. Di mana manusia hidup dalam dunia kesehariannya, yaitu
kehidupan duniawi yang profan, namun juga berbagi hidup di luar dari dunia
hidupnya sehari-hari, yakni kehidupan kosmos atau dewa-dewa dari dunia yang
sakral. Dunia yang ganda ini, yakni, dunia dari kehidupan manusia sehari-hari,
dan dunia kehidupan kosmis ini secara tepat terekspresikan dalam pengalaman
manusia tradisional itu sendiri dan tempat tinggal mereka sebagai mikrokosmos
atau semesta kecil. Manusia tradisional menyucikan hidupnya dengan serangkaian
ritual-ritual atau upacara keagamaan yang bersifat ritus sebagai bentuk ekspresi
dirinya menuju ruang dan waktu dari yang profan menuju ke ruang dan waktu
yang sakral (ataupun sebaliknya), atas hilangnya pengalaman-pengalaman
spiritual yang dirasakan manusia sebagai akibat dari kehidupan modernisme yang
dihadapi dan dilaluinya terhadap kehidupan sehari-hari (Sumber:
http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/membaca-nalar-studi-agama-sakral-
dan-profan-karya-mercia-eliade/).
Agama, adat, dan seni-budaya di Bali mempunyai hubungan yang sangat
erat dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari dalam upacara
keagamaan masyarakat Bali. “Pura” sebagai tempat suci pemujaan bagi umat
Hindu dalam menjalankan ajaran agamanya juga tidak terlepas dari pengaruh
tersebut. Berbagai bentuk upacara keagamaan atau ritual yang berhubungan
dengan “piodalan” (upacara ritual keagamaan) di pura selalu dilakukan di dalam
pura sebagai tempat pemujaan dan permohonan. Makna ritual dalam upacara
keagamaan bagi umat Hindu adalah rangkaian tindakan atau perbuatan yang
145
terkait dengan aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama. Dalam suatu
upacara yang terkait dengan aturan adat dan agama, seperti upacara ritual (ritus),
sembahyang, upacara kurban, persembahan, dan lain-lain, selalu dilaksanakan di
tempat suci atau pura. Ritual selalu dimaknai sebagai suatu nilai yang bersifat
ritus atau yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat religius, misalnya, tarian
suci keagamaan yang hanya dipentaskan di dalam pura sebagai bentuk gerakan
pemujaan kepada Sang Pencipta, contohnya; tarian wali, Sanghyang Dedari.
Sedangkan makna ritual “pura” sebagai tempat suci, yakni sebagai tempat sarana
mempersembahkan upacara keagamaan dan upacara penyucian dengan segala
bentuk simbol-simbolnya yang bersifat ritus penuh dengan makna kereligiusan
sebagai bentuk rasa syukur umat kepada Sang Pencipta.
Upacara keagamaan dalam agama Hindu, khususnya upacara piodalan di
pura, pada tiap hari raya piodalan tempat-tempat suci dan pada hari-hari tertentu,
orang-orang mengadakan upacara persembahyangan yang disertai pula dengan
upacara banten dan upacara penyucian, persembahyangan ini ada yang dilakukan
sendiri-sendiri dan ada pula yang dilakukan secara bersama-sama. Ritual di dalam
pura ini merupakan kepercayaan kepada kesakralan sesuatu dan menuntut hal-hal
yang “sakral” diperlakukan secara khusus yang tidak dapat dipahami secara
ekonomi dan rasional, seperti cara perlakuan terhadap sesuatu yang di”sakral”kan
di dalam pura, segala sesuatu yang dihubungkan atau disangkutkan dengan
kesucian lahir dan bathin antara manusia dengan Sang Pencipta, memusatkan
perhatian pada penyembahan pujaan-pujaan yang menjadi tempat kesatuan antara
dunia ilahi dan dunia manusiawi, sebagai tempat penghubung dalam
146
mempersembahkan upacara kurban keagamaan yang bersifat ritus. Makna upacara
keagamaan atau ritual yang dilaksanakan di dalam pura, baik saat piodalan
maupun pada hari-hari tertentu yang berhubungan dengan hari raya umat Hindu,
bukan hanya suatu persembahan, tetapi juga suatu bentuk penyucian diri, yaitu
suatu perpindahan dari yang profan kepada yang sakral, yang mengubah bentuk
nilai dan makna upacara kurban yang dipersembahkan maupun orang yang
mempersembahkannya. Melalui upacara ritual kurban yang bersifat ritus itulah
komunikasi berlangsung antara yang sakral dan yang profan di bangun, atau
sebaliknya antara yang profan menuju ke yang sakral, yang juga merupakan suatu
tindakan penghormatan kepada Sang Pencipta dengan persembahan peribadahan
upacara ritual (Sumber: http://makalah85.blogspot.com/2008/12/upacara-dan-
kebaktian.html. Tanggal 6 April 2013).
Berorientasi terhadap hal-hal tersebut, makna profanisasi atas pemanfaatan
Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, di
mana “makna ritual” mengambil alih secara filosofis atas keberadaan Pura
Petitenget yang berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya, dibersihkan kembali
dengan bentuk upacara ritual penyucian yang bersifat ritus. Ketika ruang dan
waktu Pura Petitenget berfungsi sebagai tempat suci bergeser yaitu saat Pura
Petitenget difungsikan menjadi objek wisata cagar budaya untuk wisatawan asing
karena komersialisasi tempat suci, dan menjadi nilai ekonomis demi pelestarian
dan pemeliharaan pusaka budaya ini, serta meningkatkan taraf kesejahteraan
masyarakat setempat. Dalam hal ini, maka makna sakral bergeser ke profan, dan
proses profanisasi berjalan seiring waktu, saat ruang Pura Petitenget dibentuk dan
147
difungsikan sebagai warisan budaya yang diberdayakan dan dilestarikan sebagai
objek wisata cagar budaya dalam pengembangan pariwisata budaya di Bali.
Sedangkan waktu dan ruang Pura Petitenget berfungsi kembali ke makna
utama aslinya sebagai tempat suci, ketika adanya aktivitas dan kegiatan upacara
keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget sedang berlangsung. Di sini
kembali “makna ritual” menjadi filosofis yang dihubungkan atau disangkutkan
dengan upacara-upacara ritual keagamaan yang bersifat ritus untuk penyucian diri
dalam bentuk upacara kurban atau upakara pecaruan penyucian untuk menyucikan
kembali Pura Petitenget menuju ke fungsi utamanya sebagai tempat/ruang suci
untuk melaksanakan upacara ritual, maka akan menjadi “sakral”, mempunyai
makna mengembalikan lagi kesakralan Pura Petitenget ke bentuk awal/semula
sesuai dengan bentuk aslinya sebagai tempat suci umat dalam menjalankan
ajarannya. Berpandangan terhadap hal tersebut, sesuai dengan apa yang dituturkan
oleh Jero Mangku Made Widra (62 tahun) sebagai Pemangku Pemucuk (utama)
Pura Petitenget, petikan wawancaranya adalah sebagai berikut:
“...mengembalikan kesucian Pura Petitenget sebagai tempat suci,yaitu saat berlangsungnya upacara keagamaan (odalan/piodalan) dipura, maka diadakan upacara penyucian dengan banten upakarapecaruan. Upacara penyucian ini dilakukan sehari sebelum puncakpiodalan pura, hal itu dimaksudkan untuk mengembalikan maknakesucian Pura Petitenget ke fungsi awalnya sebagai tempat suci.Apabila kegiatan upacara keagamaan (pujawali) telah selesai, makakembali wisatawan bisa mengunjungi pura”.(Wawancara, Minggu 5 Mei 2013).
Hal yang sama juga disampaikan oleh Anak Agung Putu Sutarja (42
tahun) sebagai Bendesa Adat Kerobokan, petikan wawancaranya sebagai berikut:
“...untuk mengembalikan kesucian Pura Petitenget, yakni saatberlangsungnya upacara keagamaan (odalan/piodalan) di PuraPetitenget, wajib dilakukan upacara pembersihan, yaitu upacara
148
penyucian dengan banten upakara pecaruan. Upacara dilaksanakansehari sebelum puncak upacara piodalan pura. Hal ini bertujuanmengembalikan makna kesucian pura secara niskala dan sekala.Ketika upacara piodalan di pura telah selesai, dipersilahkan kembalipara wisatawan untuk berkunjung ke Pura Petitenget”.(Wawancara, Minggu 5 Mei 2013).
Ungkapan dari kedua informan di atas, memberikan gambaran bahwa
makna yang sakral terjadi pada saat adanya upacara ritual keagamaan (odalan/
piodalan) yang berlangsung di dalam Pura Petitenget, dengan melakukan upacara
ritual yang bersifat ritus, penuh dengan makna kesakralan, yang hanya bisa
dilaksanakan dan dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Kerobokan sebagai
manusia religius dalam berhubungan dengan dunia kosmologi dengan Sang
Pencipta. Tampak di sini “makna ritual” adalah dalam bentuk upacara penyucian
yang dilaksanakan di Pura Petitenget, yakni ketika berlangsungnya upacara
keagamaan (pujawali) yang bersifat ritus dengan mempersembahkan upacara
ritual penyucian diri berupa banten upakara pecaruan sebagai simbol filosofis
untuk mengembalikan kembali makna kesucian Pura Petitenget ke fungsi awalnya
sebagai tempat/ruang suci sarana pemujaan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Di sini upacara “ritual”, mempunyai arti dan makna filosofis sebagai
penghubung untuk suatu upacara persembahan suci, sebagai bentuk penyucian diri
untuk membersihkan dan mengembalikan fungsi Pura Petitenget sebagai tempat
suci agar kembali ke fungsi awalnya sebagai tempat ruang pemujaan ke hadapan
Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini bermakna sebagai suatu perpindahan dari yang
profan kepada yang sakral, agar mereka kembali memanifestasikan dirinya secara
berbeda dari keadaan sebelumnya. Sementara makna yang profan terjadi ketika
tidak ada aktivitas atau tidak berlangsungnya kegiatan upacara keagamaan
149
(odalan/piodalan) yang bersifat ritual di dalam Pura Petitenget, maka kembali
dunia profan dengan motif nilai ekonomi berperan di sini, dengan memfungsikan
kembali Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya untuk mendapatkan
nilai material untuk penambahan pendapatan pemeliharaan demi pelestarian
pusaka budaya ini, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya tanpa
menghilangkan makna asli dari fungsi Pura Petitenget sebagai tempat suci umat.
Orang-orang Bali tahu dengan jelas batas antara yang sakral dengan yang
profan, batas antara apa yang dapat dijual dan apa yang harus dilindungi sekuat
tenaga, hal tersebut sesuai pendapat Maurer (Maurer, dalam Picard, 2006: 179).
Berorientasi dari pemikiran ini maka dapat dikatakan bagaimana masyarakat Bali
memisahkan antara yang sakral dengan yang profan, bagaimana mengetahui batas
mana yang boleh di“profan”kan dan batas bagian mana yang harus tetap
di”sakral”kan dalam pengembangan pariwisata budaya di Bali. Kehidupan
masyarakat Bali yang memeluk budaya kolektivis, budaya di mana melakukan
sesuatu secara bersama-sama (gotong-royong), bertemu dan berinteraksi dengan
wisatawan mancanegara yang membawa budaya global atau individualis, artinya
budaya di mana melakukan sesuatu secara sendiri, atau dapat juga di sebut budaya
religius berhadapan dengan budaya modernis, atau homo religioustus bertemu
dengan homo economicus. Perpaduan antara homo religioustus dari masyarakat
tradisional Bali dan homo economicus dari wisatawan mancanegara telah
menghasilkan atau menciptakan dua dunia yang berbeda bagi orang Bali, yakni,
dunia tradisi/tradisional dan dunia modern/internasional, atau biasa dikatakan
sebagai dunia yang sakral dan dunia yang profan.
150
Demikian juga terhadap pemanfaatan dan pengelolaan Pura Petitenget
sebagai warisan budaya di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,
Badung, di mana masyarakat Desa Adat Kerobokan sebagai pemilik pusaka
budaya ini tahu dengan jelas dan pasti batas mana yang harus tetap di”sakral”kan
dengan budaya kolektivis atau budaya religiusnya untuk tetap mempertahankan
dunia tradisionalnya, yaitu ketika berlangsungnya upacara ritual keagamaan saat
odalan/piodalan di Pura Petitenget, maka kembali fungsi pura sebagai tempat suci
menjadi otoritas mutlak yang berperan di sini, dengan tidak diperbolehkannya
pengunjung/wisatawan mancanegara memasuki areal Pura Petitenget selama
berlangsungnya prosesi ritual upacara keagamaan di pura ini. Begitu juga halnya
batas mana yang boleh di”profan”kan dengan memberi ruang dan waktu bagi
budaya modernis untuk wisatawan mancanegara dengan dalil motif ekonomi,
yaitu ketika kegiatan ritual upacara keagamaan di dalam Pura Petitenget telah
selesai dari keseluruhan prosesi ritual upacara keagamaan, maka kembali Pura
Petitenget berfungsi menjadi objek wisata cagar budaya yang dikomersialkan
dengan segala aturan yang sudah ditetapkan.
7.2.3 Makna Susila/Etika
Makna susila/etika merupakan hal-hal tentang yang baik dan yang buruk,
tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak (Alwi, 2001: 309). Sehubungan
dengan pengertian tersebut, maka makna susila/etika dalam hal ini, bagaimana
menjaga hubungan yang baik dan harmonis antara dunia agama dan budaya
dengan dunia pariwisata, sehingga tetap terjaganya kesucian pura agar terpelihara
dengan baik, saling memberi pengertian, dan menumbuhkan toleransi terhadap
151
norma adat dan budaya masyarakat lokal, serta tidak melanggar larangan agama
dan adat istiadat setempat.
Makna susila/etika dalam agama Hindu merupakan kerangka dasar yang
memegang peranan penting bagi tatanan kehidupan manusia sehari-hari, realitas
hidup bagi seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungannya. Makna susila/
etika adalah acuan penting dalam berperilaku secara individu dan bermasyarakat,
bagaimana seseorang menempatkan dirinya dalam berperilaku sesuai dengan
tempatnya, bagaimana berperilaku melaksanakan dan menjalani rasa cinta kasih
pada diri sendiri maupun menghargai orang lain. Kata “susila” berasal dari dua
suku kata, yaitu; “su” yang berarti baik, indah dan harmonis. Sementara “sila”
yang berarti perilaku atau tata laku. Jadi susila adalah tingkah laku manusia yang
baik, yang terpancar sebagai cerminan objektif kalbu dalam mengadakan
hubungan dengan lingkungannya. Berpandangan dari pengertian di atas, maka
pengertian makna “susila/etika” menurut pandangan agama Hindu merupakan
nilai-nilai serta norma-norma moral dalam berperilaku yang menjadi pegangan
seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam mengatur tingkah laku timbal
balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta
(lingkungan) yang berdasarkan atas korban suci (yadnya) keikhlasan dan kasih
sayang. Dalam hal ini pengertian makna susila/etika dirumuskan sebagai suatu
sistem nilai yang bisa berfungsi baik dalam kehidupan manusia perseorangan
maupun pada taraf kehidupan sosial bermasyarakat (Sumber:
http://sitidharma.org/menjaga-kesucian-pura/ Tanggal 8 Mei 2013).
152
Tujuan dari makna susila/etika di dalam agama Hindu dilihat dari konteks
ketika manusia menyatukan diri dengan Sang Pencipta adalah untuk menyadari
keberadaan diri yang sebenarnya, sehingga kesadaran akan diri sejati sebagai
manusia untuk menginsyafkan dan menyadarkan akan adanya “Brahman” (Sang
Hyang Widhi Wasa) yang kekal sebagai tujuan utama dari penjelmaan “Atman”
dengan badan manusia ke dunia ini, dan tempat untuk menyatukan secara filosofis
dan kosmologis atas keberadaan tersebut adalah ketika manusia berkonsentrasi
memusatkan pikiran menyatukan diri dengan Sang Pencipta saat bersembahyang
di tempat dan ruang suci, dalam hal ini adalah “pura” sebagai tempat suci
pemujaan tersebut. Selanjutnya, makna susila/etika diarahkan untuk tujuan-tujuan
yang positif, serta bermanfaat, dengan simbol-simbol yang diciptakan oleh
manusia dan digunakan secara bersama-sama, teratur, rapi, dan bersih. Salah satu
simbol dari makna susila/etika itu yakni dalam tata cara berbusana yang sopan dan
pantas, rapi dan bersih, sesuai dengan kaidah adat dan norma agama Hindu, ketika
manusia menghubungkan diri kehadapan Sang Pencipta di dalam pura sebagai
sarana tempat suci saat mengorientasikan diri manusia dan berinteraksi kepada
lingkungan yang bersih dan suci, ataupun memasuki pura sebagai tempat/ruang
suci, maka hal ini berfungsi sebagai makna susila/etika, baik dalam berpakaian,
berperilaku, dan berbicara yang sopan dan pantas sesuai dengan adat istiadat
masyarakat tradisional yang religius.
Kaitanya dalam dunia pariwisata dengan makna susila/etika berbusana
yang sopan dan pantas, rapi dan bersih dalam adat dan agama Hindu,
adalah perbedaan pandangan dan pola pikir masyarakat negara maju atau
153
masyarakat wisatawan yang berbeda dengan masyarakat lokal atau masyarakat
tradisional tentang makna susila/etika dalam berpakaian ketika memasuki pura
sebagai tempat/ruang suci, dan waktu berinteraksi dengan Sang Pencipta saat
bersembahyang di dalam pura, ada aturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat
tradisional. Atas hal itu, para wisatawan mancanegara yang mengunjungi Pura
Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya, telah membawa budaya globalnya
untuk masuk di dalamnya, dengan pola berpakaian wisatawan yang bebas dan
tidak sesuai aturan norma dan adat masyarakat tradisional, menjadi salah satu
dampak terjadinya penurunan nilai terhadap makna susila/etika tentang tata cara
berbusana yang baik dan sopan ketika memasuki Pura Petitenget sebagai tempat/
ruang suci. Hal ini telah menyebabkan terjadinya profanisasi atas pemanfaatan
warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,
badung, dalam industri pariwisata Bali.
Sesuai dengan yang ditemukan di lapangan, Budaya global yang di bawa
oleh wisatawan mancanegara, karena keterbatasan waktu yang dimilikinya ketika
mengunjungi objek wisata cagar budaya Pura Petitenget telah mempengaruhi nilai
dan makna susila/etika yang baik dan sopan akan moralitas mengenai berbusana
ketika memasuki pura sebagai tempat suci. Tatanan cara berpakaian wisatawan
mancanegara, khususnya wanita, ketika mengunjungi Pura Petitenget hingga
memasuki halaman tersuci (jeroan) Pura Petitenget sebagian besar lebih mengarah
pada pola berpakaian yang modernis, dengan busana atas yang sedikit terbuka,
sehingga memberi kesan menonjolkan keseksian atau memperlihatkan bentuk
tubuh, hal ini tidak sesuai dengan norma susila/etika yang baik dalam berbusana
154
ke pura sebagai tempat suci. Di sadari atau tidak, hal tersebut telah menyebabkan
terjadinya penurunan kualitas kesucian Pura Petitenget dalam nilai dan makna
susila/etika berbusana yang tidak mencirikan budaya tradisional, apalagi para
wisatawan tersebut dengan leluasa bisa masuk hingga sampai ke areal tersuci
(jeroan) Pura Petitenget. Memandang terhadap hal tersebut, pihak pengelola Pura
Petitenget telah berusaha untuk meminimalisasikan dengan menjelaskan aturan
dan larangan sesuai dengan yang tertulis di papan pengumuman di halaman luar/
depan (jaba) Pura Petitenget, namun tidak dapat menolak keinginan wisatawan
untuk mengunjungi dan memasuki Pura Petitenget dengan pola berbusana
wisatawan mancanegara yang modernis tersebut. Hal ini merupakan konsekuensi
nyata yang harus dihadapi akibat pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget
sebagai objek wisata cagar budaya dalam industri pariwisata budaya Bali,
sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kualitas kesakralan Pura Petitenget
dalam nilai dan makna susila/etika tentang tata cara berperilaku dalam berbusana
yang baik dan sopan ketika memasuki pura sebagai tempat/ruang suci.
7.2.4 Makna Kesejahteraan
Makna kesejahteraan yang dimaksudkan di sini adalah menunjukkan
kepada kesejahteraan sosial kehidupan manusia, yaitu tercukupinya segala
kebutuhan material dan non-material. Dalam istilah umum, kesejahteraan
menunjuk kepada “keadaan yang baik”, kondisi manusia di mana orang-orangnya
dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai, dalam hal ini
kesejahteraan berhubungan dengan hal-hal atau keadaan sejahtera, keamanan,
keselamatan, kemakmuran, dan ketenteraman (Alwi, 2001: 1011). Dalam
155
ekonomi, kesejahteraan dihubungkan dengan keuntungan benda atau materi yang
menghasilkan nilai uang. Kesejahteraan memiliki arti khusus secara ekonomi
kesejahteraan, yakni dalam istilah fungsi kesejahteraan sosial, yang menunjukkan
keterjangkauan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang
dimaksud dengan kesejahteraan sebagai sebuah keadaan adalah kesejahteraan
yang meliputi jasmaniah dan rohaniah, yang memberi kesempatan untuk
memperkembangkan seluruh kemampuan dan untuk meningkatkan kesejahteraan
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan keperluan keluarga dan masyarakat,
yang mencerminkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang harus saling
membantu agar menciptakan suasana yang harmonis dan sejahtera.
Berpandangan terhadap hal di atas, tidak berlebihan apabila perkembangan
pariwisata di Desa Adat kerobokan dimasukkan ke dalam makna kesejahteraan
dengan kaidah ekonomi untuk mencapai target meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya di sekitar Pura Petitenget. Makna
kesejahteraan dalam hal ini berkaitan dengan kebahagiaan lahir dan bathin dalam
arti luas, sejauhmana masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya di sekitar
Pura Petitenget, serta para pengurus/pengelola Pura Petitenget, mengalami dan
merasakan makna kesejahteraan itu di dalam kehidupan sosial ekonominya.
Bagaimana proses kehidupan mereka mengalami suatu perubahan dalam konteks
sejahtera, dari yang kehidupan sederhana menuju kepada perbaikan yang lebih
baik dari kehidupan sebelumnya. Kesejahteraan yang dimaksudkan di sini tidak
hanya di ukur dari faktor fisik semata melainkan juga di ukur dari faktor kejiwaan.
156
Perkembangan industri pariwisata di Desa Adat Kerobokan, khususnya di
sekitar Pura Petitenget menjadikan penduduk lokal mulai mengubah lahan
pertanian mereka ke arah sektor pariwisata, sehingga terjadi pengurangan tanah
pertanian akibat alih fungsi lahan ke bentuk bangunan fisik sarana fasilitas
kepariwisataan, adanya penjualan tanah lahan pertanian dan tidak berfungsinya
sistem subak (pengairan) di lingkungan sekitarnya. Di mana penduduk lokal
mulai mengembangkan modal yang mereka miliki ke bidang sektor pariwisata,
tetapi mereka kehilangan lahan pertanian sebagai penghasilan dan pekerjaan
utama mereka. Selain itu adanya persaingan dalam modal yang besar dengan
kapitalis dari luar Bali menyebabkan penduduk lokal tidak mampu bersaing,
bahkan hanya dijadikan unsur pelengkap di industri pariwisata yang sulit
dibendung akibat persaingan global. Di samping itu, juga mulai terlihat dan
terbentuknya pola pikir masyarakat setempat yang terpengaruh membiasakan
penggunaan logika kapitalis yang berorientasi pada keuntungan ekonomi, bahwa
modal dan angka-angka dalam bentuk keuntungan selalu lebih penting daripada
bentuk kebudayaan dan religiusitas. Melihat dari kondisi ini, sesuai dengan apa
yang disampaikan oleh I Made Wistawan, SE (44 tahun) sebagai Lurah
Kerobokan Kelod. Adapun hasil petikan dari wawancaranya sebagai berikut:
“...perkembangan pariwisata di wilayah Desa Adat Kerobokan, telahmengubah pola pikir masyarakat beralih profesi ke sektor pariwisata.Sebagian petani mulai mengubah lahan pertanian mereka ke dalambentuk bangunan fisik sebagai pendukung fasilitas pariwisata yangmendatangkan keuntungan lebih besar bila dibandingkan menjadipetani. Selain itu sistem subak mulai tidak berfungsi normal lagi.menyebabkan banyak petani menjual sebagian lahan pertaniannya.Uang yang milikinya dijadikan modal usaha di sektor pariwisata,dengan harapan akan memberikan peningkatan pendapatan dankesejahteraan hidup, namun jika tidak mampu mengelola dengan
157
baik, mereka harus bersaing dengan kapitalis pemiliki modal besardan para pendatang yang mencari kerja di wilayah Kerobokan”.(wawancara, Jumat 10 Mei 2013).
Pendapat yang senada juga dituturkan oleh I Made Gede Yasa (35 tahun)
seorang masyarakat yang bekerja di sektor pariwisata. Adapun hasil kutipan dari
wawancaranya sebagai berikut:
“Perkembangan pariwisata di Desa Adat Kerobokan sangat pesat.Sebagai masyarakat yang bekerja di sektor pariwisata, sayamerasakan adanya peningkatan perekonomian. Banyaknya saranafasilitas fisik kepariwisataan memudahkan kami mendapatkanpenambahan pendapatan, walaupun harus bersaing dan bekerja kerasuntuk meraih hasil yang lebih baik”.(wawancara, Jumat 10 Mei 2013).
Dari tuturan kedua informan tersebut dapat disimpulkan bahwa makna
kesejahteraan yang dimaksudkan, adalah dalam bentuk modal/kapital untuk
berwirausaha di sektor pariwisata guna mendatangkan penambahan penghasilan
untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup secara ekonomi, selain itu harus
menghadapi persaingan dari luar Bali akibat kemajuan industri pariwisata global.
Makna kesejahteraan menyebabkan terjadinya profanisasi pemanfaatan
warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,
Badung, yaitu dengan kedatangan para wisatawan mancanegara ke wilayah Desa
Adat Kerobokan, dari sisi ekonomi, memberi penambahan pendapatan atas
keterlibatan masyarakat setempat dalam berwirausaha di sektor pariwisata
sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat lokal
menjadi lebih baik. Akibat komersialisasi tempat suci Pura Petitenget yang
difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya dengan dalil pelestarian dan
pemeliharaan warisan budaya ini yang mendatangkan nilai ekonomi praktis atas
158
pemanfaatannya dalam konteks pariwisata budaya, yang bergandengan dengan
budaya kapitalisme akibat industri pariwisata global yang masuk ke ranah
kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat, hal ini dapat dilihat dengan
adanya kunjungan wisatawan mancanegara ke Pura Petitenget, telah memberi
dampak nilai ekonomi tinggi untuk peningkatan kesejahteraan bagi para pengurus
dan pengelola Pura Petitenget, serta masyarakat di sekitarnya. Motif ideologi
ekonomi selalu memberi nilai lebih ke dalam makna kesejahteraan secara umum,
kondisi ini dapat di lihat dari setiap dana yang masuk, baik atas pemanfaatan jaba
Pura Petitenget yang digunakan sebagai areal parkir kendaraan, kemudian
pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum dengan kompensasi
berdana punia, serta sumbangan (sesari) dari wisatawan dan masyarakat yang
mengunjungi Pura Petitenget. Keseluruhan dana itu masuk ke Kas pengelolaan
Pura Petitenget, dipergunakan bagi kepentingan/pemeliharaan Pura Petitenget,
serta memberi penambahan pendapatan bagi para pengurus/pengelola Pura
Petitenget. Namun di balik semua dampak positif yang dirasakan dari makna
kesejahteraan itu, tidak semua masyarakat di sekitarnya dapat menikmati makna
kesejahteraan hidup atas perkembangan pariwisata di wilayah Desa Adat
Kerobokan, khususnya di daerah sekitar Pura Petitenget. Hal ini dapat dilihat dari
adanya alih fungsi lahan pertanian ke sektor pariwisata, yang mengakibatkan
banyaknya petani kehilangan pekerjaan utamanya sebagai petani, kemudian
adanya persaingan dalam tenaga kerja dan SDM di sektor pariwisata, sehingga
menyebabkan terjadinya arus urbanisasi yang kian meningkat, serta masyarakat
159
harus menghadapi persaingan dengan kapitalis/pemilik modal besar yang berasal
dari luar Bali akibat perkembangan industri pariwisata global.
Refleksi
Sudah waktunya industri pariwisata Bali memberikan tanggung jawab
moral dalam menjawab persoalan-persoalan aspek kebudayaan saat ini, terutama
dampak dan faktor terjadinya profanisasi terhadap bangunan/monumen tinggalan
pusaka budaya masyarakat lokal. Dalam konteks ini peran pemerintah daerah Bali
sebagai pemegang kebijakan politik, masyarakat Bali sebagai pemilik sumber
daya budaya lokal, para pelaku pariwisata sebagai pendukung industri pariwisata
Bali, dan para pemodal/kapitalis sebagai pemain dalam industri pariwisata global.
Semua komponen tersebut agar bersama-sama dapat memberikan kontribusi
berarti terhadap dunia kepariwisataan, khususnya kepada kebudayaan Bali.
Saat ini profanisasi sudah merambah hampir ke segala aspek-aspek
kebudayaan Bali, salah satunya tempat-tempat suci. Adanya pengaruh arus budaya
global yang berimplikasi dengan praktik-praktik budaya kapitalisme, telah
menyebabkan terjadinya profanisasi terhadap bangunan suci/pura. Hal ini secara
sadar atau tidak, telah menyentuh langsung makna-makna aspek kebudayaan lokal
tersebut sebagai akibat peranannya di dalam dunia pariwisata Bali. Pemanfaatan
warisan budaya Pura Petitenget yang difungsikan sebagai objek wisata cagar
budaya di Desa Adat Kerobokan telah mengalami profanisasi sebagai bentuk
adaptif budaya global yang masuk di dalamnya, sehingga menggeser nilai dan
makna aslinya sebagai tempat suci, yang dipromosikan dan dikomersialkan
sebagai benda komoditi dengan motif ideologi ekonomi untuk mendatangkan nilai
160
ekonomi praktis demi pelestarian dan pemeliharaan sumber daya budaya lokal ini,
serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat atas pemanfaatannya
sebagai daya tarik wisata cagar budaya.
Bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di desa
Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata
budaya di Bali, adalah menjadikan sumber daya budaya yang dimiliki masyarakat
lokal ini menjadi objek wisata budaya yang mempunyai daya tarik sebagai objek
wisata cagar budaya. Di mana memberikan kebebasan kepada wisatawan yang
berkunjung ke Pura Petitenget, dengan leluasa bisa memasuki Pura Petitenget
hingga ke areal tersuci (jeroan) pura ini. Kondisi ini telah mengubah fungsi utama
Pura Petitenget sebagai tempat suci menjadi ruang profan semenjak difungsikan
menjadi objek wisata cagar budaya akibat pengembangan pariwisata budaya di
Bali. Adanya pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum, tidak
terlepas dari pengaruh budaya global yang masuk ke ranah kehidupan sosial
budaya masyarakat lokal yang berimplikasi dengan praktik-praktik kapitalisme
dalam memanfaatkan sumber daya budayanya dengan motif ekonomi, dengan
menggeser nilai gunanya dan digantikan menjadi nilai tukar. Adanya pemanfaatan
jaba Pura Petitenget sebagai areal halaman parkir kendaraan yang mendatangkan
nilai ekonomi praktis, di mana konsepsi nilai ruang dari radius kesucian Pura
Petitenget, telah bergeser menjadi ruang profan dengan nilai ruang ekonomis
akibat perubahan pola pikir, dari masyarakat tradisional menuju masyarakat
modern, hal ini bersamaan dengan masuknya pola-pola budaya global ke ranah
kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat setempat sebagai bentuk
161
adaptif budaya asing sehingga terjebak ke dalam ruang realitas modernisasi yang
menimbulkan pergeseran bentuk nilai dan ruang sakral Pura Petitenget sebagai
tempat suci akhirnya bergeser menjadi bentuk nilai dan ruang profan dengan
mengubah fungsi utama atau aslinya, menjadi objek wisata cagar budaya dengan
ideologi ekonomi yang menghasilkan uang untuk penambahan pendapatan demi
pelestarian dan pemeliharaan sumber daya budaya lokal tersebut, juga untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.
Faktor pengaruh daya tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata cagar
budaya yang mempunyai nilai arkelogis karena pura ini di bangun sekitar abad
XV dalam konteks pariwisata budaya di Bali. Kemudian adanya perkembangan
industri pariwisata dengan semakin terkenalnya pantai di sekitar Pura Petitenget,
serta faktor Kebutuhan ekonomi dalam pengelolaan Pura Petitenget untuk
penambahan pendapatan demi pelestarian Pura Petitenget agar tetap terjaga dan
terpelihara, selain untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
setempat merupakan faktor yang mendominasi terjadinya profanisasi pemanfaatan
warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,
Badung, dalam pariwisata budaya Bali. Secara tidak langsung telah menggeser
nilai sakral Pura Petitenget ke nilai profan. Hal Ini merupakan fakta terjadinya
komersialisasi tempat suci menjadi benda komoditi guna mendatangkan nilai
motif ekonomi, sehingga menyebabkan menurunnya atau hilangnya nilai-nilai
kesakralan/religiusitas Pura Petitenget sebagai tempat suci akibat berfungsi
sebagai objek wisata cagar budaya dalam pengembangan pariwisata budaya Bali.
162
Dampak ekonomi merupakan dampak dominan terjadinya profanisasi
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, untuk
mendatangkan sumber ekonomi praktis demi penambahan pendapatan untuk
pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya Pura Petitenget, dan meningkatkan
kesejahteraan bagi para pengurus/pengelola Pura Petitenget serta masyarakat di
sekitarnya. Kemudian dampak lingkungan yang ditimbulkan, adanya aktivitas
pengembangan sarana fasilitas kepariwisataan, telah mengubah lingkungan
setempat hingga melampaui batas-batas daya dukungnya. Dampak Sosial, yakni
perubahan pola pikir dan mata pencaharian masyarakat lokal yang semula petani,
kini ikut berperan aktif di sektor pariwisata, karena adanya alih fungsi lahan
pertanian ke bentuk bangunan fisik penunjang kepariwisataan. Sementara dampak
budaya, terjadinya penurunan kualitas nilai kebudayaan masyarakat lokal akibat
komersialisasi bangunan suci yang berfungsi sebagai objek wisata budaya, dalam
hal ini Pura Petitenget, di mana telah menggeser fungsi utama/asli Pura Petitenget
sebagai tempat suci dengan memfungsikannya sebagai objek wisata cagar budaya
dalam pengembangan pariwisata budaya di Bali.
Makna Pura Petitenget sebagai tempat suci, makna ritual, makna susila/
etika, dan makna kesejahteraan atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget
di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, mengalami pergeseran
makna ketika berfungsi sebagai suatu benda komoditas objek wisata budaya yang
bersifat lebih kepemikiran rasional modern ke arah kehidupan ekonomi praktis,
maka eksistensi nilai dan makna religius Pura Petitenget sebagai tempat dan ruang
suci pemujaan semakin dipinggirkan. Lebih dari itu proses profanisasi mulai
163
terjadi dengan ukuran penilaian industri dan jasa demi kepuasan wisatawan akibat
budaya global yang masuk di dalamnya, sehingga terjadi proses eksploitasi
kultural/budaya yang mengakibatkan menurunnya nilai-nilai kesucian/religiusitas
Pura Petitenget sebagai tempat suci untuk kepentingan pariwisata budaya di Bali.
Hal ini merupakan suatu konsekuensi logis yang harus dihadapi akibat
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan sebagai
objek wisata cagar budaya dalam industri pariwisata Bali. Di mana kehidupan
industri dan jasa dalam kapitalisme dunia pariwisata Bali telah memberi iklim
relatif yang bersifat rasional secara keseluruhan terhadap pandangan atas
kegunaan utamanya, sehingga bergeser dari simbol konstruktif spritual, di mana
merupakan pura yang bersifat sakral, penuh dengan “religio-magis” karena
riwayat sejarahnya yang unik, ke perubahan yang bersifat ke arah yang lebih
universal dan ekonomis, dengan ditandainya komersialisasi tempat suci Pura
Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya. Hal ini menyebabkan terjadinya
perubahan makna kesucian Pura Petitenget dengan memberi nilai dan makna yang
memenuhi fungsi ekonomi praktis ke dalam dimensi ekspresif penggalian,
pemeliharaan, pemberdayagunaan atas sumber daya budaya ini untuk
menghasilkan dana sebagai bentuk pelestarian sumber daya budaya tersebut, tanpa
melihat fungsi aslinya sebagai tempat suci tetapi lebih ke dalam konteks
pariwisata budaya untuk kepentingan industri pariwisata Bali, khususnya di
wilayah Desa Adat kerobokan.
164
BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
Adanya pengaruh budaya global yang mendominasi industri pariwisata
Bali sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi,
komunikasi dan transportasi, yang mempunyai kekuatan saling mempengaruhi
satu sama lainnya sehingga berimplikasi pada segala aspek kehidupan masyarakat
Desa Adat kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget. Bentuk
pengaruh budaya global itu telah mempengaruhi keberadaan Pura Petitenget
sebagai warisan budaya sehingga mempengaruhi perubahan pola pikir masyarakat
setempat untuk memanfaatkan sumber daya budaya tersebut ke dalam bentuk nilai
ekonomis atas pemanfaatannya sebagai daya tarik objek wisata cagar budaya.
Bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa
Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, adalah menjadikan sumber
daya budaya lokal yang dimiliki masyarakat Desa Adat Kerobokan dengan
memfungsikannya menjadi objek wisata cagar budaya. Di mana memberikan
kebebasan kepada wisatawan yang berkunjung ke Pura Petitenget, dengan leluasa
memasuki Pura Petitenget hingga ke halaman tersuci (jeroan) pura. Kondisi ini
telah mengubah fungsi utama Pura Petitenget akibat adanya komersialisasi tempat
suci, sehingga menggeser nilai sakral Pura Petitenget ke bentuk nilai ruang profan
akibat pengembangan pariwisata budaya di Bali. Pemanfaatan wantilan Pura
Petitenget bagi masyarakat umum tidak terlepas dari pengaruh budaya global yang
masuk ke ranah kehidupan sosial budaya masyarakat lokal yang berimplikasi
165
dengan praktik-praktik kapitalisme dalam memanfaatkan sumber daya budayanya
dengan motif ekonomi, dengan menggeser nilai gunanya dan digantikan menjadi
nilai tukar. Adanya pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal halaman parkir
kendaraan yang mendatangkan nilai ekonomi praktis, di mana konsepsi nilai
ruang dari radius kesucian Pura Petitenget, telah digeser menjadi ruang profan
dengan nilai ruang ekonomis akibat perubahan pola pikir, dari masyarakat
tradisional ke masyarakat modern, hal ini bersamaan dengan masuknya pola-pola
budaya global sebagai bentuk adaptif budaya asing sehingga terjebak ke dalam
ruang realitas modernisasi yang menimbulkan pergeseran bentuk nilai dan ruang
sakral Pura Petitenget sebagai tempat suci menjadi bentuk nilai dan ruang profan
dengan mengubah fungsi aslinya menjadi objek wisata cagar budaya dengan
ideologi ekonomi sehingga menghasilkan uang untuk penambahan pendapatan
demi pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya ini, serta meningkatkan
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Faktor pengaruh daya tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata cagar
budaya, faktor perkembangan industri pariwisata dengan semakin terkenalnya
pantai di sekitar Pura Petitenget, faktor kebutuhan ekonomi dalam pengelolaan
Pura Petitenget untuk pelestarian sumber daya budaya ini merupakan faktor yang
mendominasi terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget
di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung. Secara tidak langsung
telah menggeser nilai sakral Pura Petitenget ke nilai profan. Hal Ini merupakan
fakta terjadinya komersialisasi tempat suci menjadi benda komoditi guna
166
mendatangkan nilai motif ekonomi, sehingga menyebabkan menurunnya atau
hilangnya nilai-nilai religiusitas tempat suci ini akibat industri pariwisata Bali.
Dampak ekonomi merupakan dampak dominan terjadinya profanisasi
pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,
Kecamatan Kuta Utara, Badung, yakni mendatangkan sumber ekonomi praktis
dengan dalil pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya ini, juga meningkatkan
kesejahteraan para pengurus/pengelola Pura Petitenget, serta masyarakat di
sekitarnya. Dampak lingkungan yang ditimbulkan adanya aktivitas pengembangan
sarana fasilitas kepariwisataan, telah mengubah lingkungan setempat hingga
melampaui batas-batas daya dukungnya. Dampak sosial, adanya perubahan pola
pikir dan mata pencaharian, masyarakat lokal yang semula petani, kini ikut
berperan aktif di sektor pariwisata karena adanya alih fungsi lahan pertanian ke
bentuk bangunan fisik. Sementara dampak budaya, terjadinya proses penurunan
kualitas nilai-nilai kebudayaan, karena adanya komersialisasi bangunan suci Pura
Petitenget itu sendiri dalam konteks pariwisata budaya di Bali.
Makna Pura Petitenget sebagai tempat suci, makna ritual, makna susila/
etika, dan makna kesejahteraan atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget
di Desa Adat Kerobokan mengalami pergeseran makna akibat budaya global yang
masuk di dalamnya. Merupakan suatu konsekuensi logis ketika Pura Petitenget
berfungsi sebagai suatu benda komoditas objek wisata budaya yang bersifat lebih
kepemikiran rasional modern ke arah kehidupan ekonomi praktis, maka eksistensi
makna dan nilai religius sebagai tempat suci pemujaan semakin dipinggirkan,
lebih dari itu proses profanisasi mulai terjadi dengan ukuran penilaian industri dan
167
jasa demi kepuasan wisatawan, sehingga terjadi proses eksploitasi kultural yang
mengakibatkan menurunnya nilai-nilai kesucian/religiusitas Pura Petitenget
sebagai tempat suci untuk kepentingan pengembangan pariwisata budaya di Bali.
8.2 Saran
Berdasarkan fakta dan data di lapangan yang telah dikemukan di atas,
maka ada beberapa hal yang mesti menjadi perhatian bersama atas pemanfaatan
warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,
Badung, dalam konteks pariwisata budaya. Melalui penelitian ini ada beberapa
saran dari peneliti kepada pihak-pihak yang terkait sebagai berikut untuk:
1. Pemerintah daerah setempat dan pelaku pariwisata, untuk lebih
memperhatikan aspek-aspek sosial dan budaya atas pemanfaatan warisan
budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan sebagai objek wisata
cagar budaya. Untuk bersama-sama menjaga hubungan antara dunia
agama dan budaya dengan dunia pariwisata, agar tetap terjaga kesucian
pura, dalam hal ini Pura Petitenget, terlestarikan dan terpelihara dengan
baik. Adanya saling memberi pengertian dan menumbuhkan toleransi
terhadap norma adat dan budaya masyarakat lokal, serta tidak melanggar
larangan atau aturan yang sudah ditetapkan.
2. Masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura
Petitenget perlu melakukan komunikasi yang baik dan berkelanjutan
dengan pemerintah daerah atau pihak-pihak tertentu sehingga jaminan
pelestarian dan pemeliharaan terhadap warisan budaya Pura Petitenget
dalam konteks pariwisata budaya di Bali dapat memberi manfaat dan
168
berguna bagi masyarakat setempat sebagai pemilik pusaka budaya lokal
ini, sehingga tetap dapat diwariskan kepada generasi penerusnya.
3. Peneliti lain, perlu adanya penelitian yang lebih mendalam secara
menyeluruh dan terfokus tentang profanisasi pemanfaatan warisan budaya
terhadap bangunan suci/pura sebagai objek wisata cagar budaya dalam
konteks pariwisata budaya di Bali. Sehingga perlu ditemukan strategi yang
tepat dan terarah akan pelestarian tinggalan pusaka budaya tersebut untuk
tetap terpelihara dan sakral tanpa mengurangi fungsi aslinya, serta nilai
dan makna kesucian atas bangunan suci/pura yang ada di Bali dalam
pengembangan pariwisata budaya Bali.
169
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Helmy. 2012. Pemanfaatan Sumber Daya Budaya sebagai Atraksi Wisatadalam Pembangunan Pariwisata. Widyaiswara Madya BKPP Aceh:http//www.bkpp.acehprov.go.id/simpegbrr/artikel.com.
Alwi, Hasan. Dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cetakan Pertama EdisiIII). Jakarta: Balai Pustaka.
Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru.
Anom, I Putu. Dkk. 2010. Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran KrisisGlobal. Udayan University Press: Denpasar-Bali.
Ardika, I Wayan. 2007. Pusaka Budaya dan Pariwisata. Pustaka Larasan:Denpasar-Bali.
Baker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Cetakan Pertama.Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Barthers, Roland. 1983. Mythologies. New York: Hill and Wang.
Bourdieu, Pierre Felix. 2009. (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik.(terjemahan). Editor: Harker, Richard. Mahar, Cheelan dan Wikes, Chris.Yogyakarta: Jalasutra.
Darmiati, Ni Made. 2011. “Pura Kebo Edan Sebagai Daya Tarik Wisata Budayadi Desa Pejeng Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar”. Tesis,Program Pascasarjana Universitas Udayana: Denpasar-Bali.
Edkins, Jenny and Williams, Nick Vaughan. 2010. Teori-Teori Kritis MenantangPandangan Utama Studi Politik Internasional. Edisi Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Baca.
Eliade. sakral dan profan.http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/membaca-nalar-studi-agama-sakral-dan-profan-karya-mercia-eliade/.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodelogi Penelitian Sastra; Epistimologi, Model,Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Presindo.
Giddens, Anthony. 2004. Runaway World: Bagaimana Globalisasi MerombakKehidupan Kita. (Terjemahan) Jakarta: Gramedia.
Haryatmoko, 2003. Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Bourdieu,Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Jakarta: Gramedia.
170
htpp://www.babadbali.com/piodalan/piodalan.htm.
http://www.badungkab.go.id www.badungkab.go.id.
http://hardisanatana.blogspot.com/2013/05/kosmologi-pura.html.
http://history1978.wordpress.com/pengetahuan-candi/pura-di-bali/.
http://makalah85.blogspot.com/2008/12/upacara-dan-kebaktian.html.
http://sitidharma.org/menjaga-kesucian-pura/
http://suryadistira.blogspot.com/2008/07/pemedek-penyungsung-dan-pengemong.html?m=1).
http://www.network54.com/forum/78267/message/1011745902/Pemujaan+terhadap+Guru+Suci
Jaya, Sapta Ida Bagus. 2012. “Penerapan Ilmu Pengetahuan Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dalamPerlindungan Situs Arkeologi”. Jurusan Arkeologi, Fakultas SastraUniversitas Udayana: Denpasar-Bali.
Keputusan Bupati Badung Nomor : 637 Tahun 2003 Tentang Rencana DetailTata Ruang Kecamatan Kuta Utara.
Laksmi, Sita A. A. Rai. 2003. “Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat:Studi Objek Wisata Tanah Lot di Desa Beraban Kecamatan KediriKabupaten Tabanan”. Tesis, Program Pascasarjana UniversitasUdayana: Denpasar-Bali.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern. PusatakaIndonesia Satu: Jakarta.
Moleong, Lexy J. 1994. Metedologi Penelitian Kualitatif. Bandung: RemajaRosdakarya.
Monografi Kecamatan Kuta Utara Tahun 2012.
Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1995. Instrument Penelitian Bidang Sosial.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Nazir, Moh. 1998. Metode Penelitian. Cetakan Ketiga. Jakarta: Ghalia.
Norris, Chistopher. 2003. Membongkar teori dekonstruksi jacques derrida.Yogyakarta: Ar-Ruzz.
171
Peratutran Daerah Propinsi Bali (PERDA) Nomor No.16 Tahun 2009 TentangRencana Umum Tata Ruang (RUTR) Daerah Propinsi Bali.
Picard, Michel. 2006. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata(Terjemahan). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat. Yogyakarta: Jalasutra.
Pitana Dan Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata: Kajian Sosiologis TerhadapStruktur, Sistem dan Dampak-Dampak Pariwisata. Yogyakarta : AndiOffiset.
Profil Kecamatan Kuta Utara tahun 2011.
Pujaastawa, I.B.G. 2008. Trihita Karana: Kearifan Lokal dengan Nilai-NilaiUniversal. Dalam Pujaastawa,I.B.G. (Ed),2008.Wawasan Budaya untukPembangunan. Pp: 403-419. Jogyakarta: Pusat studi Pariwisata UGM.
Pujaastawa, Wirawan dan Adhika. 2008. Pariwisata Terpadu; Alternatif ModelPengembangan Pariwisata Bali tengah. Program Pascasarjana UniversitasUdayana: Denpasar-Bali.
Purniti, Aniek Ni Komang. 2008. “Pengelolaan Candi Gunung KawiTampaksiring di Kabupaten Gianyar Sebagai Objek dan DayaTarik Wisata Budaya”. Tesis, Program Pascasarjana UniversitasUdayana: Denpasar-Bali.
Sirtha, I Nyoman. 2007. Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan denganPerspektif Sosial Budaya. Dalam 45 Tahun Universitas Udayana.UNUD: Denpasar-Bali.
Suadnyana, I Wayan. 2011. Sejarah Perjalanan Danghyang Nirartha di Bali(1451 – 1520). Paramitha: Surabaya.
Sudiani, Ni Nyoman. 1990. “Kekunoan Pura Petitenget dalam Kajian Arkeologi”.Skripsi, Jurusan Arkeologi: Denpasar-Bali.
Surbakti, Asmyta. 2008. “Pusaka Budaya dan Pengembangan Pariwisata diKota Medan: Sebuah Kajian Budaya”. Disertasi, Program PascasarjanaUniversitas Udayana: Denpasar-Bali.
Sutrisno. Dkk. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Tim Penyusun Bali Post, 2010. Mengenal Pura Sad Kahyangan dan KahyanganJagat. Pustaka Bali Post: Denpasar-Bali.
172
PEDOMAN WAWANCARA
A. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
1. Bagaimanakah sejarah berdirinya Pura Petitenget?
2. Bagaimanakah bentuk awal atau asli dari Pura Petitenget?
3. Bagaimanakah pelaksanaan upacara keagamaan di Pura Petitenget?
4. Kapan Pura Petitenget mulai di pugar/konservasi?
5. Kapan Pura Petitenget mulai menjadi cagar budaya?
B. BENTUK PROFANISASI PEMANFAATAN WARISAN BUDAYAPURA PETITENGET
1. Bagaimana bentuk pengelolaan Pura Petitenget sekarang ini?
2. Bagaimana Pemanfaatan Pura Petitenget sebagai warisan budaya saat ini?
3. Bagaimana perubahan Pura Petitenget setelah menjadi objek wisata cagar
budaya dan banyak wisatawan yang berkunjung ke dalam pura?
4. Perubahan apa saja yang terjadi dalam pemanfaatan Pura Petitenget sebagai
objek wisata cagar budaya?
5. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu dengan adanya pemanfaatan warisan
budaya Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya?
C. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PROFANISASIPEMANFAATAN PURA PETITENGET
1. Sejauh mana keadaan dan perkembangan Pura Petitenget sebagai objek
wisata cagar budaya di daerah Kuta Utara dan Kabupaten badung?
2. Sejauh mana situasi dan perubahan Pura Petitenget dengan ada
perkembangan pariwisata disekitar daerah Petitenget?
3. Sejauh mana manfaat dari pemanfaatan Pura Petitenget sebagai warisan
budaya bagi masyarakat setempat?
4. Perubahan apa saja yang terjadi dengan adanya wisatawan mancanegara
berkunjung ke dalam Pura Petitenget?
173
5. Mengapa para wisatawan mancanegara leluasa bebas masuk ke dalam areal
tersuci Pura Petitenget?
D. DAMPAK DAN MAKNA PROFANISASI PEMANFAATAN PURAPETITENGET
1. Bagaimana kehidupan masyarakat sekitar Pura Petitenget dengan adanya
perkembangan pariwisata Bali?
2. Bagaimana penerimaan masyarakat setempat dengan adanya pemanfaatan
Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya?
3. Apa dampak yang ditimbulkan dengan adanya pemanfaatan Pura Petitenget
sebagai warisan budaya di daerah Petitenget?
4. Bagaimana pengaruh pariwisata terhadap pemanfaatan Pura Petitenget
sebagai objek wisata cagar budaya?
5. Makna apa yang didapatkan dari pemanfaatan Pura Petitenget sebagai objek
wisata cagar budaya?
6. Bagaimana pendapak Bapak/Ibu dengan adanya pemanfaatan Pura
Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya yang dikunjungi wisatawan?
174
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Mangku Made Widra (L)Umur : 62 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : Pemangku Pemucuk (Utama) Pura PetitengetAlamat : Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara
2. Nama : Ni Wayan Sumartini (P)Umur : 42 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : Pemangku Pura PetitengetAlamat : Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara
3. Nama : I Putu Ngarta (L)Umur : 40 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : Pemangku Pura PetitengetAlamat : Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara
4. Nama : Ni Ketut Netri (P)Umur : 40 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : Pemangku Pura PetitengetAlamat : Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara
5. Nama : Made Badra (L)Umur : 70 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : Pemangku Pura PetitengetAlamat : Br. Taman, Kerobokan Kelod, Kuta Utara
6. Nama : Wayan Sari (P)Umur : 70 tahunPekerjaan : Pemangku Pura PetitengetPendidikan : SMAAlamat : Br. Taman, Kerobokan Kelod, Kuta Utara
7. Nama : I Putu Parmana, S.STP. M.M. (L)Umur : 46 tahun
175
Pendidikan : SarjanaPekerjaan : PNSAlamat : Br. Kerobokan, Kuta Utara
8. Nama : Ade Indriana, SE. (P)Umur : 46 tahunPendidikan : SarjanaPekerjaan : PNSAlamat : Jln. Gunung Andakasa Gang Walet 3 No. 2 Denpasar
9. Nama : I Wayan Janoka. (L)Umur : 48 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : PNSAlamat : Br. Anyar Kelod, Kerobokan, Kuta Utara
10. Nama : I Made Wistawan, SE. (L)Umur : 44 tahunPendidikan : SarjanaPekerjaan : Lurah Kerobokan Kelod, Kuta UtaraAlamat : Br. Taman Kerobokan Kelod, Kuta Utara
11. Nama : Ni Made Suranadi, S.Sos. (L)Umur : 51 tahunPendidikan : SarjanaPekerjaan : PNSAlamat : Br. Pemedilan, Denpasar
12. Nama : Ni Nyoman Rasmini (P)Umur : 48 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : PNSAlamat : Br. Padangsambian, Denpasar
13. Nama : Gusti Putu Sujata (L)Umur : 55 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : PNSAlamat : Br. Taman Kerobokan Kelod, Kuta Utara
176
14. Nama : Anak Agung Putu Sutarja (L)Umur : 45 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : Bendesa Adat KerobokanAlamat : Br. Gadon Kerobokan Kelod, Kuta Utara
15. Nama : I Nyoman Sunarka (L)Umur : 40 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : Kelian Adat Kerobokan KelodAlamat : Br. Taman Kerobokan Kelod, Kuta Utara
16. Nama : A.A. Ngurah Putra (L)Umur : 70 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : Ketua Panitia Pengelola Pura PetitengetAlamat : Br. Kerobokan – Seminyak, Kuta Utara
17. Nama : Odah Surya (P)Umur : 60 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : PetaniAlamat : Br. Umalas, Kerobokan Kelod, Kuta Utara
18. Nama : I Made Adnyana Putra (L)Umur : 35 tahunPendidikan : DiplomaPekerjaan : WiraswastaAlamat : Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara
19. Nama : Made Gede Yasa (L)Umur : 35 tahunPendidikan : DiplomaPekerjaan : SwastaAlamat : Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara
Top Related