BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah autis oleh masyarakat dan orang tua pada umumnya masih belum
jelas. Keterbatasan pengetahuan dan pengalaman masyarakat, disebabkan karena
buku-buku dan berbagai jenis sumber bacaan berupa majalah, surat kabar,
makalah dan sejenisnya yang membahas tentang autis dan permasalahannya
masih susah ditemukan. Di samping itu, belum ada penelitian khusus yang dapat
menyajikan data tentang autisme di Indonesia.
Berdasarkan laporan UNESCO 2011 tercatat ada 35 juta orang
penyandang autis di seluruh dunia. Ini berarti rata-rata 6 dari 1000 orang di dunia
mengidap autisme.Sedangkan di Asia, penelitian Hongkong Study 2008
melaporkan tingkat kejadian autisme dengan prevalensi 1:68 per 1000 orang
untuk anak di bawah 15 tahun.Bila diasumsikan dengan prevalensi autisme pada
anak di Hongkong, berdasarkan data Badan Pusat Statistik jumlah anak usia 5
hingga 19 tahun di Indonesia mencapai 66.000.805 jiwa, maka diperkirakan
terdapat lebih dari 112.000 anak penyandang autis di Indonesia (Tempo, 2013).
Umumnya, anak yang mengalami gejala autisme menunjukkan sikap
menarik diri dari lingkungan dan asyik dengan dunianya sendiri. Kata autis
berasal dari bahasa Yunani yakni “autos” yang berarti „sendiri‟. Pada tahun 1943
seorang psikiater anak, Leo Kanner menjabarkan secara rinci gejala-gejala „aneh‟
yang ditemukan pada 11 pasiennya, Kanner melihat banyak persamaan gejala
pada anak-anak ini dan yang sangat menonjol adalah mereka sangat asyik dengan
dirinya sendiri, seolah-olah mereka hanya hidup dalam dunianya sendiri,
kemudian Kanner menggunakan istilah “autisme” yang artinya hidup dalam
dunianya sendiri (Nugraheni, 2008)
Autis atau autisme adalah suatu gangguan fungsi susunan saraf pusat
kelainan struktur otak, yang terjadi pada janin dalam usia dibawah tiga bulan
(SLA Fredofios, 2011). Gangguan tersebut menyebabkan terhambatnya tumbuh
kembang anak autis dalam hal komunikasi, interaksi, dan pola perilaku. Seperti
dalam hal komunikasi, perkembangan bahasa anak autis dapat dikatakan lambat
atau sedikit sekali, kaitannya dengan keterbatasan jumlah kosakata dan
ketidaksesuaian pengucapan dengan artinya, contoh misalnya: ketika si A (remaja
autis yang ada di SLA Fredofios), marah karena orangtuanya terlambat
menjemputnya di sekolah siang itu, dengan nada kesal dia ingin menyampaikan
“Makanya jangan terlambat!”, tetapi yang A ucapkan justru “Makanya hati-hati”.
(Observasi pada 11/11/13)
Selain itu, perkembangan komunikasi setiap anak autis berbeda-beda, ada
dari mereka yang kemampuan verbalnya jelas, adapula yang sama sekali tidak
mengeluarkan kata-kata. Serta sifat repetitif atau pengulangan kata yang mereka
dengar atau “membeo”, mereka senang meniru apa yang didengarnya, contohnya
meniru suara alarm yang ada di stasiun, iklan di televisi, slogan, serta menirukan
pertanyaan yang orang lain tujukan pada mereka, dan itu mereka lakukan secara
berulang-ulang.
Dalam hal interaksi sosial, anak autis memiliki kelemahan dalam hal
berinteraksi. Mereka lebih senang menyendiri dan cenderung menghindari kontak
mata dengan orang lain, tidak senang bergaul atau bermain bersama teman-
temannya, dan mereka memiliki kesenangan serta caranya sendiri dalam bermain
atau memainkan suatu benda, yang berbeda dengan anak-anak normal pada
umumnya. Contohnya, ada anak autis yang senang memainkan bola dengan cara
ditepuk-tepukan dengan kedua tangannya. Ketika diinstruksi untuk menendang
maka ia hanya diam menatap lalu melanjutkan lagi seperti semula, atau
memainkan sedotan dengan cara dipukul-pukulkan ke dinding, meja, atau lemari
(Observasi pada 03/02/14). Anak autis tidak senang pada keramaian (orang),
mereka mudah terganggu pada suara-suara misal orang mengobrol atau bernyanyi
di dekatnya, respon mereka biasanya menutup telinga, berteriak atau mengatakan
“tidaak..”. Karena itulah mereka lebih senang menyendiri di ruangan sepi dan
bergumam sendiri.
Dalam hal pola perilaku, umumnya yang masyarakat kenali dari anak
autis adalah sifat mereka yang hiperaktif (berperilaku berlebihan atau aktif),
padahal tidak semua anak autis itu hiperaktif, bahkan ada dari mereka yang justru
hipoaktif (berperilaku berkekurangan atau pasif) yakni yang lambat atau sangat
pelan dalam pola perilakunya. Anak autis memiliki sifat stereotip, seperti mereka
senang tepuk-tepuk, mengepak-ngepakkan tangan, memukul, berlari,
menggerakkan badannya kedepan dan kebelakang secara cepat, hingga bersuara
baik seperti bernyanyi atau sekedar mengeluarkan suara dan hal tersebut semakin
lama semakin keras jika tidak dihentikan. Karena mereka seperti hidup dalam
dunianya sendiri dan memiliki imajinasinya sendiri, maka tidak heran jika
mereka dapat tiba-tiba tersenyum, tertawa, menangis, atau bahkan mengamuk
tanpa kita ketahui penyebabnya.
Selain itu, gangguan perkembangan yang terjadi pada anak autis juga
berpengaruh terhadap sensoris serta emosi mereka. Anak autis peka terhadap
sentuhan dan suara terutama suara yang sudah sangat mereka kenali, seperti suara
mobil milik orangtuanya maupun suara-suara yang mereka tidak senangi, seperti
tidak senang ketika ada seseorang yang bernyanyi atau menyanyikan lagu yang
tidak disukainya, yang kemudian dia akan menutup telinga dan bergumam atau
bahkan pergi.
Dapat dikatakan fisik anak autis ini sangatlah kuat, ketika mereka marah
atau mengamuk mereka cenderung menyakiti dirinya sendiri, seperti memukul-
mukul kepala atau menggigit tangannya dengan tenaga yang dapat dikatakan
sangat kuat. Dalam hal emosi, anak autis dapat secara tiba-tiba marah dan
mengamuk, hal ini dapat disebabkan karena ada sesuatu yang tidak disenanginya
atau sesuatu yang membuatnya „kagol‟ tetapi tidak disadari oleh orang
disekitarnya. Hal ini sulit diketahui penyebabnya karena mereka tidak mampu
mengatakan apa yang tidak disukainya dan yang membuatnya marah. Untuk itu
perlu pendampingan dan pengamatan yang intensif untuk mengetahui alasan yang
melatarbelakanginya untuk upaya pencegahan.
Setiap individu autis itu berbeda-beda, baik dalam perkembangan maupun
kemampuannya, maka berbagai upaya terapi maupun pendidikan yang diberikan
harus disesuaikan pada tiap individu, guna memperbaiki kualitas pribadi autis.
Berbagai terapi disediakan sesuai dengan kebutuhan, adapun terapi-terapi
tersebut diantaranya (Veskarisyanti, 2008) :
- Terapi biomedik, dikembangkan oleh kelompok dokter, pada terapi ini anak
akan diperiksa secara intensif kaitannya dengan pembersihan fungsi abnormal
pada anak seperti gangguan metabolisme yang berdampak pada gangguan
fungsi otak, dengan harapan fungsi susunan saraf pusat bisa bekerja lebih baik
- Terapi okupasi, terapi yang bertujuan untuk melatih otot-otot halus karena
umumnya anak autis memiliki gerak-gerik yang kaku, kasar, dan cepat
- Terapi integrasi sensoris, berguna untuk meningkatkan kematangan susunan
saraf pusat, sehingga lebih mampu untuk memperbaiki struktur dan fungsinya
- Terapi wicara untuk melatih dalam hal berbahasa dan berbicara yang tepat
- Terapi perilaku, terapi fisik, terapi perkembangan, serta terapi visual.
- Serta terapi-terapi yang banyak bermunculan saat ini seperti musik terapi,
„deep preasure‟ terapi, „biomedical treatment‟, „megavitamin‟ terapi, auditory
integration, dan terapi tusuk jarum (SLA Fredofios, 2011).
Pendidikan juga tak kalah penting sebagai upaya memperbaiki kondisi
penyandang autis. Anak autis tidak dapat disembuhkan, tetapi mereka dapat
diterapi dan didik, banyak orang percaya bahwa anak autis akan tergantung
dengan orang lain untuk selamanya, oleh karena itu pendidikan untuk autis sangat
penting untuk mengurangi ketergantungan mereka dengan orang terdekat dan
melatih kemandirian.
Pendidikan dan terapi menjadi dua poin penting dalam perkembangan
kualitas hidup anak autis. Bahkan keduanya dapat berjalan beriringan atau
dileburkan untuk mencegah penurunan perkembangan anak autis. Sekolah
Lanjutan Autis (SLA) Fredofios merupakan salah satu yayasan atau lembaga
yang memberikan pendidikan khusus bagi remaja autis di Yogyakarta. SLA
Fredofios merupakan satu-satunya sekolah autis di Yogyakarta yang khusus
menangani autis remaja yakni yang berumur 10-25 tahun. Selain pendidikan yang
bersifat akademik, pendidikan yang ada di Fredofios terfokus pada „daily life
skill‟ yakni apa yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam
bentuk ketrampilan, kesenian, sosialisasi, serta program khusus yakni bina diri.
Program ini didesain khusus untuk membentuk anak semandiri mungkin. (SLA
Fredofios, 2010)
Mengingat bahwa tiap individu autis itu memiliki karakter, kemampuan,
dan pola perkembangan yang berbeda-beda, maka kurikulum pembelajaran yang
ada di SLA Fredofios pun dimodifikasi dan disesuaikan berdasarkan tahapan
perkembangan pada tiap siswa-siswinya. Isi kurikulum biasanya terdiri dari
semua skill yang dibutuhkan anak autis untuk bisa berperan seoptimal mungkin
dalam lingkungan masyarakat, tujuannya agar anak berkembang semandiri
mungkin dengan kualitas setinggi mungkin dalam hidupnya. (SLA Fredofios,
2011)
Sedangkan secara garis besar kesemua pembelajaran yang ada di SLA
Fredofios mengacu pada metode TEACCH (Treatment and Education of Autistic
and Related Communication Handicapped Children), dengan menyesuaikan pada
kemauan dan bakat si anak atau berkonsentrasi pada kelebihan, agar si anak dapat
berkembang, karena masing-masing anak itu memiliki potensi dan kelebihan
yang berbeda-beda, serta untuk meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku
adaptif anak.
Berdasar pada TEACCH, model pembelajaran yang ada di SLA Fredofios
meliputi struktur ruang, waktu, dan kegiatan. Struktur adalah cara untuk
menjelaskan situasi, arti, dan maksud di dalam lingkungan, serta menjelaskan
harapan dari lingkungan. Tetapi struktur bukanlah sebuah tujuan, sehingga anak
autis tidak boleh tergantung pada struktur. Mereka harus bisa beradaptasi dengan
lingkungan. Struktur ruang artinya setiap ruang untuk siswa belajar harus diatur
rupa, yakni harus rapi dan tenang, serta tidak terlalu banyak benda yang ada di
dalam ruangan tersebut yang dapat mengganggu fokus mereka. Struktur waktu,
berarti proses belajar harus direncanakan, disusun dan diatur dengan tetap dalam
bentuk jadwal, agar siswa tau persis urutan kegiatan setiap harinya di sekolah.
Sedangkan, struktur kegiatan disini berarti setiap kegiatan yang diberikan
dilakukan sesuai pertahap-nya, yakni ketika satu tahap selesai dilanjutkan dengan
tahap berikutnya, atau sedikit demi sedikit agar siswa dapat mengerti.
Salah satu yang menjadi kelemahan penyandang autis adalah sulitnya
mereka dalam bersosialisasi. Mereka cenderung asyik dengan dengan dunianya
sendiri dan menarik diri dari lingkungan sekitar. Karenanya untuk menumbuhkan
serta meningkatkan pemahaman akan pentingnya sosialisasi maka beberapa
kegiatan di SLA Fredofios disesuaikan dengan kebutuhan dasar ini, dimulai dari
sosialisasi kelompok kecil yakni dalam lingkup sekolah, seperti contohnya
kegiatan „Pagi Ceria‟ yang rutin dilaksanakan tiap pagi hari sebelum kegiatan
belajar dilakukan, tujuannya untuk merefresh memori anak atas kegiatan-
kegiatan yang telah dilakukannya. Lalu sosialisasi yang bersifat akademik, seperti
sosialisasi Matematika dan sosialisasi IPS, hingga sosialisasi kelompok besar
seperti kegiatanouting, yakni kegiatan di luar sekolah untuk berlatih
bersosialisasi. (Agung Tri, wawancara pada 21/02/2014)
Ketidakmampuan mereka dalam bersosialisasi ini dipengaruhi oleh
gangguan tumbuh kembang yang meliputi gangguan beriteraksi, gangguan
komunikasi dan gangguan perilaku. Anak autis bukan tidak mau berinteraksi dan
bersosialisasi, namun mereka tidak mampu. Anak autis tidak mengerti arti dan
kebersamaan. Mereka seakan terjebak dalam dunianya sendiri, dan sibuk
membangun imajinasi dan fantasinya sendiri. Ini yang menyebabkan mereka
mudah terganggu dengan kehadiran orang-orang yang ada di sekitarnya. Maka
dari itu, SLA Fredofios merasa penting untuk mengajarkan anak untuk lebih
mampu bersosialisasi dengan sekitarnya, dimulai dengan warga SLA Fredofios
yakni guru atau teman-temannya yang juga sebagai individu autistik, hingga
dengan masyarakat sekitar dan masyarakat yang cakupannya lebih luas lagi.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti
mengenai “Pola Sosialisasi Bagi Remaja Autis Di Sekolah Lanjutan Autis
Fredofios Yogyakarta”. Adapun yang melatarbelakangi diantaranya: 1)
kelemahan penyandang autis dalam bersosialisasi termasuk dalam lingkup kajian
Sosiologi, 2) masih sedikitnya hasil penelitian sosial mengenai penyandang autis
yang dapat ditemukan, 3) ketertarikan yang kian bertambah setelah penulis
melakukan magang di SLA Fredofios, dimana pihak sekolah juga welcome
dengan keinginan penulis yang ingin melakukan penelitian, 4) penulis ingin
mengetahui pola dan hasil sosialisasi yang diberikan kepada remaja autis yang
ada di SLA Fredofios Yogyakarta.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pola dan hasil sosialisasi bagi remaja autis yang ada di SLA Fredofios
Yogyakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pola sosialisasi
yang diberikan SLA Fredofios Yogyakarta, untuk membentuk mereka yang
memiliki kelemahan dalam bersosialisasi agar lebih mampu membaur dan
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya guna menjadikan mereka pribadi
individu yang lebih baik, khususnya sebagai bagian dari anggota masyarakat kita.
1.4 Manfaat Penelitian
- Dapat menjadi referensi bagi peneliti untuk selanjutnya dapat dikembangkan
dengan berbagai tindakan riil.
- Dapat menjadi wacana berbagai kalangan mengenai keberadaan anak autis
dalam proses belajar dan pengembangan ketrampilan, di Sekolah Lanjutan
Autis (SLA) Fredofios Yogyakarta.
- Dapat menjadi gambaran bagi pemerintah maupun pihak lain untuk diteliti
lebih lanjut, dalam rangka pengembangan Sekolah Lanjutan Autis (SLA)
Fredofios, sebagai satu-satunya sekolah khusus anak-anak autis tingkat remaja
di Yogyakarta.
1.5 Tinjauan Pustaka
Skripsi yang berjudul “Eksistensi Penyandang Cacat dalam
Masyarakat”yang ditulis oleh Dodi Taresa H, Jurusan Sosiatri FISIPOL UGM
(2006), menyatakan bahwa persepsi pada masyarakat terhadap penyandang autis
akan mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat terhadap penyandang autis.
Ada persepsi masyarakat yang menolak secara sosial keberadaan penyandang
autis ini, sehingga mereka juga menolak masuknya informasi berkaitan dengan
masalah tersebut. Sehingga kesempatan bagi penyandang autis untuk belajar
kehidupan sosial dari masyarakat luas akan tertutup sebagai konsekuensi dari
persepsi masyarakat yang bersifat dugaan tersebut.
Skripsi yang berjudul “Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi pada Anak Autis di
Sekolah Lanjutan Autis Fredofios Yogyakarta” yang ditulis oleh Lucia Christina
Diahningrum, Akademi Keperawatan Panti Rapih (2011), dalam penelitian
tersebut disebutkan bahwa pola makan yang teratur, frekuensi makan, diet yang
dijalani anak, jenis makan yang dapat dikonsumsi dan tidak dapat dikonsumsi
sangat berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan nutrisi pada anak, dan
merupakan faktor yang sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan nutrisi pada
anak autis.
Skripsi yang berjudul “Pola Asuh pada Keluarga yang Memiliki Anggota
Keluarga yang Autis” yang ditulis oleh Adrianus Dian Widyatmoko, Program
Studi/ Jurusan/ Fakultas Psikologi USD (2008), dimana bentuk pola asuh yang
paling ideal bagi para subjek dalam mengasuh anak autis adalah pola autoritatif.
Hal ini dikarenakan, pola ini mengajak subjek sebagai orangtua memberikan
kebebasan pada anak-anak mereka untuk bertindak namun tetap memberikan
batasan-batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka.
Dari hasil penelusuran diatas, penelitian yang berkaitan dengan
penyandang autis dalam ranah penelitian sosial sendiri masih sulit untuk
ditemukan, utamanya yang berkaitan dengan sosialisasi penyandang autis dengan
lingkungannya. Untuk itu penulis merasa tertarik untuk meneliti mengenai
penyandang autis berdasarkan jurusan yang penulis ambil yakni Sosiologi yang
tentunya berkaitan dengan interaksi sosial dan sosialisasi sebagai lingkup kajian,
dan diperoleh judul “Pola Sosialisasi Bagi Remaja Autis Di Sekolah Lanjutan
Autis Fredofios Yogyakarta”.
1.6 Kerangka Teoritik
1.6.1 Autis
A. Pengertian Autis
Anak yang mengalami gejala autisme menunjukkan sikap menarik
diri dari lingkungan dan asyik dengan dunianya sendiri. Kata autis berasal
dari bahasa Yunani yakni “autos” yang berarti „sendiri‟. Autisme pertama
kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Dia mendeskripsikan
gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang
lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkam dengan penguasaan yang
tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kata, adanya aktivitas bermain
yang repetitif dan stereotip, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif
untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.
Autisme menurut istilah ilmiah kedokteran, psikiatri, dan psikologi
termasuk dalam gangguan perkembangan pervasif (pervasive
developmental disorders) yang secara menyeluruh mengganggu fungsi
kognitif, emosi dan psikomotorik anak. Hal ini disebabkan oleh banyak
segi perkembangan psikologis dasar anak yang terganggu pada saat yang
sama secara berat, serta gangguan kualitatif berat yang tidak normal bagi
setiap tahap perkembangan manapun, karena gangguannya berupa distorsi
atau penyimpangan dalam perkembangan (Safaria, 2005).
Autism adalah suatu kondisi mengenai seseorang anak sejak lahir/
saat masa balita yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan
sosial atau komunikasi yang normal. Hal ini mengakibatkan anak tersebut
terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan
minat yang obsesif (Baron-Cohen ,1993).
Autis atau autisme adalah mereka yang mengalami gangguan
perkembangan berat, antara lain mempengaruhi cara seseorang dalam
berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain (Sutadi, 2002).
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan kompleks yang
menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi dan anak
autis adalah anak yang mempunyai masalah atau gangguan dalam bidang
komunikasi, interaksi sosial, gangguan sensoris, pola bermain, perilaku
dan emosi (Depdiknas, 2002).
B. Penyebab Autis
Penyebab autisme memang belum secara pasti diketahui, namun
beberapa ahli menyatkan bahwa penyebab autisme sangatlah kompleks
atau multifaktorial. Salah satunya adalah kelainan struktur otak yang
mungkin terjadi pada saat janin berusia dibawah tiga bulan, dimana sang
ibu ketika hamil terkontaminasi oleh beberapa virus seperti
toksoplasmosis, rubella, cytomegali dan herpes/ jamur candida (SLA
Fredofios, 2011). Mengkonsumsi makanan yang mengandung zat kimia
yang dapat mengganggu pertumbuhan sel otak atau menghirup udara yang
beracun seperti timbal, merkuri, kadmium, spasma infantile, rubella
kongenital, sclerosis tuberose, lipidosis serebral, dan anomaly kromosom
X rapuh (Safaria, 2005).
Diperkirakan kehidupan manusia yang terlalu banyak memakai zat
kimia yang beracun bisa menyebabkan terjadinya mutasi kelainan genetik
(SLA Fredofios, 2011).
C. Karakteristik Penyandang Autis
Berikut klasifikasi karakteristik penyandang autis untuk
memudahkan dalam mendefinisikan autis itu sendiri. Karakteristik dari
masing-masing masalah atau gangguan dideskripsikan sebagai berikut
(Hadis, 2006):
a) Masalah di bidang komunikasi
Mereka seringkali berperilaku nampak seperti orang tuli, selain itu
mereka juga mengalami kesulitan dalam berbicara, ada anak yang sama
sekali tidak jelas dalam berbicara namun ada juga anak yang lancar dalam
berbicara, akan tetapi keduanya sama-sama mengalami keterbatasan
dalam jumlah kosakata, serta terkadang kata yang digunakan tidak sesuai
dengan artinya. Mereka juga tidak mengerti kalimat panjang. Namun
disisi lain mereka memiliki daya ingat yang kuat. Selain itu, ciri yang
mudah dikenali dari anak autis adalah sifat repetitif atau pengulangan
kata. Mereka senang meniru apa yang baru saja didengarnya atau yang
orang lain tanyakan padanya, atau sering dikatakan “membeo”.
a) Masalah di bidang interaksi sosial
Penyandang autis lebih senang menyendiri, mereka cenderung
menghindari kontak mata dengan orang lain. Penyandang autis adalah
mereka yang memiliki dunianya sendiri, mereka tidak senang bergaul
meski dengan teman sebayanya sekalipun. Bahkan untuk bermain, mereka
memiliki caranya sendiri dalam memainkan suatu benda, misalkan mereka
senang bermain sobekan kertas, karet atau sedotan. Hal tersebut dapat
mereka lakukan secara terus-menerus, jika tidak dihentikan.
b) Masalah di bidang sensoris
Dapat dikatakan mereka sensitif terhadap sentuhan, mereka dapat tiba-
tiba terkejut atau merasa tidak nyaman ketika tiba-tiba disentuh, tidak
jarang mereka juga enggan dipeluk. Selain itu mereka juga sensitif
terhadap suara sehingga mereka lebih senang menyendiri dan ketika ada
suara yang dirasa mengganggu maka mereka akan menutup telinga dan
bergumam sendiri. Namun, mereka tidak sensitif atau tidak peka terhadap
rasa sakit misalnya saja ketika mereka dipukul maka mereka akan acuh
seperti tidak terjadi apa-apa berbeda dengan anak normal yang akan
langsung merespon atau menangis.
c) Masalah di bidang perilaku
Perilaku yang cukup melekat pada diri penyandang autis adalah sifat
stereotip, yang mana tiap anak berbeda-beda, misalnya berlari sambil
tepuk tangan, menggerakkan badan kedepan dan kebelakang ketika duduk
di kursi secara cepat, bersuara dengan irama yang sama, dan lain
sebagainya yang mereka lakukan secara berulang-ulang, dimana stereotip
disini berarti pengulangan perilaku secara monoton. Serta yang sering
dikenali masyarakat adalah sifat penyandang autis yang hiperaktif
(berperilaku berlebihan atau aktif), meskipun ada juga dari mereka yang
hipoaktif (berperilaku berkekurangan).
d) Masalah di bidang emosi
Sifat anak autis yang lebih senang menyendiri dapat membuat kita
terkejut dengan sikap mereka yang dapat secara tiba-tiba marah,
mengamuk, menangis, atau tertawa bahkan senyum-senyum sendiri.
Ketidakmampuan menyampaikan alasan membuat kita mau tidak mau
harus memperhatikan mereka secara kontinyu, untuk mengetahui
penyebab perubahan emosi para penyandang autis ini. kaitannya adalah
untuk memperbaiki emosi mereka agar lebih stabil.
1.6.2 Sosialisasi
Sosialisasi diartikan sebagai hasil dari adanya interaksi sosial, yakni
proses belajar individu di dalam dunia sosial atau masyarakat, proses belajar yang
didalamnya mencangkup pengenalan serta penanaman nilai dan norma yang
sesuai dengan konsensus dalam masyarakat. Secara luas sosialisasi dapat
diartikan sebagai suatu proses dimana warga masyarakat dididik untuk mengenal,
memahami, menaati dan menghargai norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat (Soetomo, 2008).
Hampir tidak mungkin dalam kehidupan kita tidak melakukan interaksi
dan bersosialisasi, namun hal tersebut menjadi mungkin terjadi meskipun tidak
lantas tidak ada komunikasi yang terjalin sama sekali, yang disebabkan karena
adanya gangguan perkembangan seseorang pada caranya berperilaku, bertingkah
laku dan berkomunikasi. Dan hal tersebut ada pada diri para penyandang autis.
Sebagian besar upaya penangangan individu autis lebih diarahkan pada
upaya penanganan terhadap pribadi si anak itu sendiri yakni dalam berbagai
bentuk terapi. Padahal sebagai anak yang akan tumbuh menjadi sosok remaja,
poin penting selanjutnya adalah menyadari bahwa terapi saja tidaklah cukup
apabila lingkungan masyarakat tempat kita hidup nantinya tidak bisa menerima
mereka apa adanya. Untuk itu, penting mengenalkan serta membiasakan anak
berada membaur dengan lingkungannya, baik keluarga, tempatnya bersekolah,
hingga lingkungan masyarakat sekitarnya (Bapak IS, 2005).
Pendekatan Behavioral telah terbukti dapat memperbaiki perilaku
individu autistik.Teori operant-conditioning oleh B. F. Skinner menjelaskan
pendekatan ini sebagai variasi dan pengembangan teori belajar yang semula
hanya terbatas pada sistem pengelolaan ganjaran dan hukuman (reward and
punishment).Pendekatan operan merupakan penerapan prinsip-prinsip teori
belajar secara langsung.Prinsipnya adalah mengajarkan perilaku yang sesuai dan
diharapkan serta mengurangi perilaku-perilaku yang salah pada individu
autistik.Dengan demikian harapannya dapat mengembangkan dan meningkatkan
perilaku positif, serta mengurangi perilaku negatif yang tidak produktif (Anonim,
2010).TEACCH menyarankan bahwa untuk mencapai hasil belajar yang optimal
penyandang autis perlu mendapatkan pengajaran terstruktur dan tugas yang
tujuannya sudah dianalisa dengan baik. Teknik operant conditioning dapat
diterapkan pada anak-anak penyandang autis untuk mengurangi tingkah laku
stereotip atau menyakiti diri sendiri, serta meningkatkan rentang perhatian atau
kontak (Depdiknas, 2005).
Jean Piaget dalam teori perkembangan kognitif menjelaskan bahwa
struktur pengajaran pada Cognitive Learning sedikit berbeda dengan konsep
belajar operan. Fokusnya lebih kepada seberapa baik pemahaman individu autis
terhadap apa yang diharapkan oleh lingkungan, serta seberapa baik seorang
penderita autis dapat memahami lingkungan disekitarnya dan apa yang
diharapkan oleh lingkungan tersebut terhadap dirinya. Pendekatan ini
menggunakan ganjaran dan hukuman untuk lebih menegaskan apa yang
diharapkan lingkungan terhadap anak autistik (Anonim, 2010). Intervensi tersebut
sangat umum digunakan dalam menangani penyandang autis serta terlihat dalam
teori dasar autisme dalam TEACCH, dimana anak autis memiliki kekurangan
dalam kemampuan memproses pengetahuan kognitif (Depdiknas, 2005).
Dapat dikatakan, bentuk modifikasi dari intervensi berbagai teori belajar
tersebut melahirkan berbagai teknik terapi sebagai treatment atau upaya
memperbaiki kualitas hidup individu autis, serta mendukung metode TEACCH
dalam proses belajar-mengajar pada suatu lembaga pendidikan khusus. TEACCH
dikembangkan pertama kali oleh sekolah kedokteran di University of North
Carolina di Amerika Serikat, memiliki tujuan utama yakni membantu
mempersiapkan orang-orang dengan gangguan autis untuk hidup atau bekerja
lebih efektif di rumah, di sekolah, dan dalam masyarakat. Penekanan khusus
untuk membantu penyandang autis dan keluarganya tinggal bersama-sama secara
lebih efektif dengan mengurangi atau menghilangkan perilaku stereotip dari
individu autis. Berikut konsep TEACCH (The National Autistic Society,
1993/revised 2003) :
- Peningkatan adaptasi, melalui dua strategi yakni meningkatkan keterampilan
melalui pendidikan dan memodifikasi lingkungan kaitannya dengan upaya
penyesuaianterhadap kekurangan yang dimiliki individu autis
- Peran serta orangtua, orang tua bekerja dengan profesional sebagai rekan
terapis untuk anak-anak mereka sehingga teknik dapat diteruskan di rumah
- Penilaian untuk perawatan individual, program-program pendidikan yang unik
yang dirancang untuk semua individu autis berdasarkan penilaian kemampuan
- Pengajaran terstruktur
- Peningkatan keterampilan, mengidentifikasi keterampilan dan pekerjaan yang
kemudian difokuskan untuk dikembangkan. Pendidikan prosedur dipandu oleh
teori-teori kognitif dan perilaku yang menunjukkan perilaku yang sulit
mungkin hasil dari masalah mendasar dalam persepsi dan pemahaman.
- Generalis pelatihan, profesional dalam sistem TEACCH dilatih sebagai
generalis yang mengerti seluruh anak, dan tidak mengkhususkan diri sebagai
psikolog, pidato terapis dll.
TEACCH mengembangkan konsep “budaya autis” sebagai cara untuk
berpikir tentang pola-pola karakteristik berpikir dan perilaku yang terlihat
dalam individu dengan gangguan spektrum autisme. Budaya autis yang
dimaksud diantaranya (UNC School of Medicine) :
- Mengalami masalah dalam hal komunikasi termasuk gangguan dalam
penggunaan bahasa
- Mengalami kesulitan dalam berbagai hal seperti menggabungkan dan
pengorganisasian ide, bahan dan kegiatan, kesulitan dengan perhatian, serta
kesulitan kaitannya dengan waktu termasuk bergerak terlalu cepat atau terlalu
perlahan-lahan dan mengalami masalah mengenali awal, tengah, atau akhir
dari suatu kegiatan
- Sering memperhatikan rincian tapi kesulitan memahami makna bagaimana
rincian tersebut cocok bersama
- Kecenderungan untuk menjadi melekat pada rutinitas
Walaupun anak penyandang autisme memperlihatkan kemampuan dalam
berinisiatif dan bermain yang menggunakan imajinasi, TEACCH mengakui bahwa
semua anak tetap memerlukan kahangatan dan lingkungan pembelajaran yang
terstruktur dengan tujuan yang jelas dan tidak kaku yang disediakan oleh para
guru, tanpa menghilangkan unsur yang menyenangkan dalam proses belajar.
(Depdiknas, 2005)
Meski demikian, TEACCH tidak terpaku hanya dengan teknik saja dalam
mengajarkan kemampuan dalam bersosialisasi dan berkomunikasi pada anak-anak
penyandang autisme.
1.7 Metodologi Penelitian
1.7.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah di Sekolah Lanjutan Autis (SLA) Fredofios,
yang beralamat di Jalan Perumnas Gang Indragiri 1, Blok B-II, Condongsari,
Ngropoh, Condongcatur, Depok, Sleman, D.I. Yogyakarta.
1.7.2 Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.
Penelitian ini dilakukan dalam kehidupan yang sebenarnya. Penelitian tersebut
bermaksud mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan
sekarang, dan interaksi sosial, individu, kelompok, lembaga dan masyarakat.
(Usman dan Akbar, 2009)
Pendekatankualitatifbertujuan untuk mendiskripsikan suatu fenomena
yang hanya dapat diamati dan diteliti secara mendalam, yakni merupakan
fakta tanpa adanya manipulasi. Data kualitatif merupakan sumber dari
deskripsi yang luas dan berlandasan kokoh, memuat penjelasan tentang
proses-proses yang terjadi dalam lingkup setempat. (Miles & Huberman,
1992)
Pendekatan kualitatif ini dirasa tepat dalam penelitian yang melibatkan
beberapa informan di kawasan SLA Fredofios, seperti tenaga pendidik, murid-
murid yang mengalami autisme, serta orang tua murid, mengingat penelitian
ini berkaitan erat dengan fenomena atau realitas sosial.
Kualitatif lebih condong dapat membimbing kita untuk memperoleh
penemuan-penemuan yang tak diduga sebelumnya dan untuk membentuk
kerangka teoritis baru, data tersebut membantu peneliti untuk melangkah lebih
jauh dari praduga dan kerangka kerja awal (Miles & Huberman, 1992). Proses
dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif
ini.
1.7.3 Sumber Data
- Subyek penelitian
adalah sumber data primer, yakni yang diperoleh melalui pihak-pihak
yang mengetahui dan memahami mengenai variabel-variabel yang diteliti.
Diantaranya, kepala sekolah beserta guru-guru di SLA Fredofios yang
memiliki peran penting dalam pola tumbuh kembang anak, dan orangtua
atau keluarga dalam upayanya melanjutkan apa yang sudah diberikan
pihak sekolah kaitannya dengan aktivitas sosialisasi.
- Obyek penelitian
adalah inti daripada penelitian ini yakni pola sosialisasiyang diberikan
dalam membantu remaja autis agar lebih mampu untuk berinteraksi dan
bersosialisasi.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini terdiri atas :
- Observasi
Pengumpulan data yang pertama kali dilakukan adalah observasi
lapangan.Observasi yang berarti pengamatan bertujuan untuk mendapat
data tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai
alat re-checking terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh
(Rahayu dan Ardani, 2004:1). Tujuannya adalah untuk memberikan
deskripsi atau gambaran SLA Fredofios beserta aktivitas para pelakunya.
Jenis teknik observasi partisipan umumnya digunakan untuk
melakukan penelitian yang bersifat eksploratif, disebut partisipan bila
orang yang melakukan observasi (observer) turut ambil bagian dalam
kehidupan atau kegiatan obyek yang diteliti ((Rahayu dan Ardani,
2004:11).
Dalam hal ini peneliti melakukan praktek magang sebagai bentuk
observasi partisipan.Magang dilaksanakan tiga kali dalam satu minggu
selama kurang lebih tiga bulan. Magang ini bertujuan untuk terlibat
langsung dalam proses pembelajaran yang ada di SLA Fredofios, agar
peneliti tidak hanya sekedar mengerti tetapi juga lebih memahami, karena
untuk belajar mengenai karakteristik setiap anak autis tidak bisa jika hanya
dalam beberapa kali pengamatan saja.
- Wawancara
Setelah melakukan observasi, wawancara merupakan salah satu teknik
pengumpulan data yang penting dilakukan pada metode penelitian
kualitatif.Informan penelitian ini sebanyak tujuh orang yang terdiri dari
kepala sekolah termasuk5 guru yang ada di SLA Fredofios, serta wali
murid yang berjumlah 2 orang. Wawancara dilakukan selama masa
observasi dan magang, yakni pada November 2013 hingga Juli 2014.
1.7.5 Teknik Analisa Data
Analisis adalah proses pencarian dan penyusunan data yang sistematis
melalui transkrip wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi yang secara
akumulasi menambah pemahaman peneliti terhadap yang ditemukan. Analisis
data adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Jadi analisis data
adalah proses pencarian, penyusunan, penafsiran dan pengujian data secara
sistematis untuk menentukan pola hubungan (Usman dan Akbar, 2009).
Dalam menganalisis data penulis menggunakan pendekatan kualitatif,
yang mana tujuannya adalah untuk mendiskripsikan suatu fenomena yang
hanya dapat diamati dan diteliti secara mendalam, yakni merupakan fakta
tanpa adanya manipulasi. Berikut langkah-langkah dalam proses analisis data
meliputi (Miles & Huberman, 1992) :
- Reduksi data, Reduksi data, merupakan bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perludan
mengoraganisasi data sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan
finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
- Penyajian data, sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pegambilan tindakan.
Penyajian yang paling sering digunakan adalah bentuk teks naratif.
- Menarik kesimpulan atau verifikasi, singkatnya makna-makna yang
muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan
kecocokannya, yakni merupakan validitasnya.
Dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek
penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (fact finding)
(Nawawi, 1983).
Top Related