BAB3
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
SISTEM EKONOMI DAN FISKALPADA MASA PARA KHALÎFAH
DAN AMIRUL MU’MINÎN*
A. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Abu Bakar
ash-Shiddîq
Bernama lengkap Abdullah ibn Abu Quhâfah at-Tamimi terpilih
sebagai Khalifah Islam yang pertama berdasarkan hasil pemilihan di
Saqîfah bani Sa’idah1. Peristiwa ini menimbulkan banyak kontroversi
baik pro maupun kontra di kalangan para sahabat Anshar maupun
Muhajirin, serta kaum muslimimin pada saat itu. Terlepas dari
segala kontroversi itu semua, Ia merupakan kepala pemerintahan
kaum muslimin pasca wafatnya Rasulullah saw. Pada masa
pemerintahannya yang hanya berlangsung selama dua tahun, Abu
Bakar banyak menghadapi persoalan dalam negeri yang berasal
dari kelompok oposisi pendukung setia Ali bin Abi Thalib, nabi palsu,
dan “pembangkang zakat”. Berdasarkan hasil musyawarah dengan
beberapa sahabat pendukungnya, ia memutuskan untuk memerangi
kelompok tersebut melalui apa yang disebut sebagai Perang Riddah
(Perang Melawan kelompok oposisi yang tidak mahu membayar
zakat di wilayah kekhalifahannya). Setelah berhasil menyelesaikan
urusan dalam negeri, Khalifah Abu Bakar mulai melakukan ekspansi
ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia
yang selalu mengancam kedudukan umat Islam. Namun, ia
meninggal dunia sebelum usaha ini selesai dilakukan.
Ketika terpilih sebagai Khalifah, Abu Bakar pernah berkata,
“Seluruh kaum muslimin telah mengetahui bahwa hasil
perdaganganku tidak mampu mencukup kebutuhan keluarga.
Namun, sekarang aku dipekerjakan untuk mengurus kepentingan
* Bab ini merupakan pengembangan dari tulisan M. A. Sabzwari, Economic and Fiscal System During Khilafat E-Rashida, dalam Journal of Islamic Banking and Finance, Karachi, Vol.2, No.4, 1985, h. 49-66.
1 Lihat, O.Hasyim, Saqifah Awal Perselisihan Umat, (Jakarta: al-Muntazhar, 1995), cet ke- 3, h. 106.
43
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
kaum muslimin”. Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarga Abu
Bakar diurus dengan menggunakan harta Baitul Mâl. Menurut
beberapa riwayat, ia diperbolehkan mengambil dua setengah atau
tiga per empat dirham setiap harinya dari Baitul Mal dengan
tambahan makanan berupa daging domba dan pakaian. Setelah
berjalan beberapa waktu, ternyata tunjangan tersebut kurang
mencukupi. Oleh karena itu, tunjangan untuk Abu Bakar ditambah
menjadi 2.000 atau 2.500 dirham, menurut riwayat lain 6.000
dirham, per tahun.2
Namun demikian, beberapa waktu menjelang ajalnya, Abu Bakar
banyak menanyakan berapa banyak upah atau gaji yang telah
diterimanya. Ketika diberitahukan bahwa jumlah tunjangannnya
sebesar 8.000 dirham, ia langsung memerintahkan untuk menjual
sebagian besar tanah yang dimilikinya dan seluruh hasil
penjualannya diberikan kepada negara. Di samping itu, Abu Bakar
juga menanyakan lebih jauh mengenai berapa banyak fasilitas yang
telah dinikmatinya selama menjadi khalifah. Ketika diberitahukan
bahwa fasilitas yang diberikan kepadanya berupa beberapa budak
yang bertugas memelihara anak-anaknya dan membersihkan
pedang-pedang milik kaum muslimin, seekor unta pembawa air dan
sehelai pakaian biasa, ia segera menginstruksikan untuk
mengalihkan semua fasilitas tersebut kepada pemimpin berikutnya
nanti. Pada saat diangkat sebagai khalifah dan mengetahui hal ini,
Umar berkata, ”Wahai Abu Bakar, engkau telah membuat tugas
penggantimu ini menjadi sangat sulit”.3
Dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan umat Islam,
Khalifah Abu Bakar melaksanakan berbagai kebijakan ekonomi
seperti yang telah dipraktekkan Rasulullah saw. Ia sangat
memperhatikan keakuratan penghitungan zakat, sehingga tidak
terjadi kelebihan atau kekurangan pembayarannya. Dalam hal ini,
Abu Bakar pernah berkata kepada Anas, “Jika seseorang
2 M. A. Sabzwari, Economic and Fiscal System During Khilafat E-Rashida, dalam Journal of Islamic Banking and Finance, Karachi, Vol. 2, No.4, 1985, h. 50.
3 Ibid.
44
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
mempunyai kewajiban untuk membayar zakat berupa seekor unta
betina berumur 1 tahun tetapi dia tidak mempunyainya lalu
menawarkan seekor unta betina berumur 2 tahun, maka hal yang
demikian dapat diterima dan petugas zakat akan mengembalikan
kepada orang tersebut sebanyak 20 dirham atau 2 ekor domba
sebagai kelebihan dari pembayaran zakatnya”. Dalam kesempatan
yang lain, Abu Bakar juga pernah berkata kepada Anas, “Kekayaan
orang yang berbeda tidak dapat digabung atau kekayaan yang telah
digabung tidak dapat dipisahkan (karena dikhawatirkan akan terjadi
kelebihan atau kekurangan pembayaran zakat)”.4 Hasil
pengumpulan zakat tersebut dijadikan sebagai pendapatan negara
dan disimpan dalam Baitul Mal untuk langsung didistribusikan
seluruhnya kepada kaum muslimin hingga tidak ada yang tersisa.
Abu Bakar juga melaksanakan kebijakan pembagian tanah hasil
taklukan berdasarkan ijtihadnya pribadi, sebagian diberikan kepada
kaum muslimin dan sebagian yang lain tetap menjadi tanggungan
negara. Di samping itu, ia juga mengambil alih tanah-tanah dari
orang-orang yang “murtad” untuk kemudian dimanfaatkan demi
kepentingan umat Islam secara keseluruhan.5
Dalam mendistribusikan harta Baitul Mal tersebut, Abu Bakar
berdasarkan hasil ijtihadnya, menerapkan prinsip kesamarataan,
yakni memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat
Rasulullah saw dan tidak membeda-bedakan antara ahlulbait Nabi
saw, sahabat yang terlebih dahulu memeluk Islam dengan sahabat
yang kemudian, antara hamba dengan orang merdeka, dan antara
pria dengan wanita6. Menurutnya, dalam hal keutamaan beriman,
Allah swt yang akan memberikan ganjarannya, sedangkan dalam
4 Ibid., h. 49.5 Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dhana Bakti Wakaf,
1995), Jilid 2, h. 320.6 ? . Fakta ini menjadikan sebuah perbedaan tentang siapa yg berhak menerima harta baitul Mal yang berbeda dengan apa yang dilakukan Rasulullah saw., kebijakan ini
dianggap sebagai salah satu ijtihad pribadinya.
45
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
masalah kebutuhan hidup, prinsip kesamaan lebih baik daripada
prinsip keutamaan.7
Dengan demikian, selama masa pemerintahan Khalifah Abu
Bakar, harta Baitul Mâl tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu
yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum
muslimin, bahkan ketika Beliau wafat, hanya ditemukan satu dirham
dalam perbendaharaan negara. Seluruh kaum muslimin diberikan
bagian yang sama dari hasil pendapatan negara. Apabila
pendapatan meningkat, seluruh kaum muslimin mendapat manfaat
yang sama dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam
kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan
aggregate demand dan aggregate supply yang pada akhirnya akan
menaikkan total pendapatan nasional, di samping memperkecil
jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dengan yang miskin.
B. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Umar ibn al-
Khattab
Untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan
perpecahan di kalangan umat Islam, Khalifah Abu Bakar langsung
menunjuk Umar ibn al-Khattab sebagai Khalifah setelahnya.
Keputusan tersebut diterima dengan baik oleh kaum muslimin.
Setelah diangkat sebagai khalifah, Umar ibn al-Khattab menyebut
dirinya sebagai Khalifah Khalifati Rasulillah (Pengganti Dari
Pengganti Rasulullah).
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh
tahun, Umar ibn al-Khattab banyak melakukan ekspansi hingga
wilayah Islam meliputi Jazirah Arab, sebagian wilayah kekuasaan
Romawi (Syiria, Palestina, dan Mesir), serta seluruh wilayah
kerajaan Persia, termasuk Irak. Atas keberhasilannya tersebut,
orang-orang Barat menjuluki Umar sebagai the Saint Paul of Islam.8
7 Ibid., Jilid 1, h. 163.8 M. A. Sabzwari, op. cit., h. 51.
46
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar ibn al-
Khattab segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh
Persia. Administrasi pemerintah diatur menjadi delapan wilayah
propinsi: Mekah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina,
dan Mesir. Ia juga membentuk jawatan kepolisian dan jawatan
tenaga kerja.9
1. Pendirian Lembaga Baitul Mal
Seiring dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam
pada masa pemerintahan Umar ibn al-Khattab, pendapatan negara
mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini memerlukan
perhatian khusus untuk mengelolanya agar dapat dimanfaatkan
secara benar, efektif dan efisien. Setelah melakukan musyawarah
dengan para pemuka sahabat, Khalifah Umar ibn al-Khattab
mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan harta Baitul Mal
sekaligus, tetapi dikeluarkan secara bertahap sesuai dengan
kebutuhan yang ada, bahkan di antaranya disediakan dana
cadangan. Cikal bakal lembaga Baitul Mal yang telah dicetuskan dan
difungsikan oleh Rasulullah saw dan diteruskan oleh Abu Bakar ash-
Shiddiq, semakin dikembangkan fungsinya pada masa
pemerintahan Khalifah Umar ibn al-Khattab sehingga menjadi
lembaga yang reguler dan permanen. Pembangunan institusi Baitul
Mal yang dilengkapi dengan sistem administrasi yang tertata baik
dan rapih merupakan kontribusi terbesar yang diberikan oleh
Khalifah Umar ibn al-Khattab kepada dunia Islam dan kaum
muslimin.10
Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi Baitul Mal
dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu
menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil
pengumpulan pajak al-kharaj sebesar 5.00.000 dirham. Hal ini
terjadi pada tahun 16 H. Oleh karena jumlah tersebut sangat besar,
Khalifah Umar mengambil insitatif memanggil dan mengajak
9 Badri Yatim, loc. cit.10 M. A. Sabzwari, op. cit., h. 51.
47
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan dana
Baitul Mal tersebut. Setelah melalui diskusi yang cukup panjang,
Khalifah Umar memutuskan untuk tidak mendistribusikan harta
Baitul Mal tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk keperluan
darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan
ummat lainnya.11
Sebagai tindak lanjutnya, pada tahun yang sama, bangunan
lembaga Baitul Mâl pertama kali didirikan dengan Madinah sebagai
pusatnya. Hal ini kemudian diikuti dengan pendirian cabang-
cabangnya di ibukota provinsi. Untuk menangani lembaga tersebut,
Khalifah Umar ibn al-Khattab menunjuk Abdullah ibn Arqam sebagai
bendahara negara dengan Abdurrahman ibn Ubaid al-Qari dan
Muayyab sebagai wakilnya. Pasca penaklukan Syiria, Sawad (Irak)
dan Mesir, pendapatan Baitul Mal meningkat secara substansial,
kharaj dari Sawad mencapai seratus juta dinar dan dari Mesir dua
juta dinar.12
Secara tidak langsung, Baitul Mâl berfungsi sebagai pelaksana
kebijakan fiskal negara Islam dan Khalifah merupakan pihak yang
berkuasa penuh terhadap harta Baitul Mal. Namun demikian,
Khalifah tidak diperbolehkan menggunakan harta Baitul Mal untuk
kepentingan pribadi. Dalam hal ini, tunjangan Umar sebagai
Khalifah untuk setiap tahunnya adalah tetap, yakni sebesar 5000
dirham, dua stel pakaian yang masing-masing untuk musim panas
dan musim dingin serta seekor binatang tunggangan untuk
menunaikan ibadah haji.13
Dalam hal pendistribusian harta Baitul Mal, sekalipun berada
dalam kendali dan tanggung jawabnya, para pejabat Baitul Mâl tidak
mempunyai wewenang dalam membuat suatu keputusan terhadap
harta Baitul Mal yang berupa zakat dan ushr. Kekayaan negara
11 Ibid.12 Ibid. Sebagai perbandingan lihat juga Irfan Mahmud Ra’ana, Ekonomi
Pemerintahan Umar ibn al-Khattab, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), Cet. ke-3, h. 150.
13 Ibid.
48
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
tersebut ditujukan untuk berbagai golongan tertentu dalam
masyarakat dan harus dibelanjakan sesuai dengan prinsip-prinsip
Alquran.
Harta Baitul Mal dianggap sebagai harta kaum muslimin,
sedangkan Khalifah dan para amil hanya berperan sebagai
pemegang amanah. Dengan demikian, negara bertanggung jawab
untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim,
serta anak-anak terlantar; membiayai penguburan orang-orang
miskin; membayar utang orang-orang yang bangkrut; membayar
uang diyat untuk kasus-kasus tertentu, seperti membayar diyat
prajurit Shebani yang membunuh seorang Kristiani untuk
menyelamatkan nyawanya; serta memberikan pinjaman tanpa
bunga untuk tujuan komersial, seperti kasus Hind binti Ataba.
Bahkan, Umar pernah meminjam sejumlah kecil uang untuk
keperluan pribadinya.14
Khalifah Umar ibn al-Khattab juga membuat ketentuan bahwa
pihak eksekutif tidak boleh turut campur dalam mengelola harta
Baitul Mal. Di tingkat provinsi, pejabat yang bertanggung jawab
terhadap harta umat tidak bergantung kepada gubernur dan
mereka mempunyai otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya
serta bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat.15
Untuk mendistribusikan harta Baitul Mal, Khalifah Umar ibn al-
Khattab mendirikan beberapa departemen yang dianggap perlu,
seperti:16
a. Departemen Pelayanan Militer. Departemen ini berfungsi
untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang
terlibat dalam peperangan. Besarnya jumlah dana bantuan
ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarga setiap penerima
dana.
b. Departemen Kehakiman dan Eksekutif. Departemen ini
bertanggung jawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan 14 M. A. Sabzwari, op. cit., h. 52.15 Irfan Mahmud Ra’ana, op. cit., h. 152-153.16 Afzalurrahman, op. cit., h. 169-173.
49
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
pejabat eksekutif. Besarnya gaji ini ditentukan oleh dua hal, yaitu
jumlah gaji yang diterima harus mencukupi kebutuhan
keluarganya agar terhindar dari praktek suap dan jumlah gaji
yang diberikan harus sama dan kalaupun terjadi perbedaan, hal
itu tetap dalam batas-batas kewajaran.
c. Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam.
Departemen ini mendistribusikan bantuan dana bagi penyebar
dan pengembang ajaran Islam beserta keluarganya, seperti guru
dan juru dakwah.
d. Departemen Jaminan Sosial. Departemen ini berfungsi untuk
mendistribusikan dana bantuan kepada seluruh fakir miskin dan
orang-orang yang menderita.
Bersamaan dengan reorganisasi lembaga Baitul Mal, sekaligus
sebagai perealisasian salah satu fungsi negara Islam, yakni fungsi
jaminan sosial, Khalifah Umar membentuk sistem diwan yang,
menurut pendapat terkuat, mulai dipraktekkan untuk pertama
kalinya pada tahun 20 H.17 Dalam rangka ini, ia menunjuk sebuah
komite nassab ternama yang terdiri dari Aqil bin Abi Thalib,
Mahzamah bin Naufal, dan Jabir bin Mut’im untuk membuat laporan
sensus penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan
golongannya.18 Daftar tersebut disusun secara berurutan dimulai
dari orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan
Nabi Muhammad saw, para sahabat yang ikut berperang dalam
Perang Badar dan Uhud, para imigran ke Abysinia dan Madinah,
para pejuang perang Qadisiyyah atau orang-orang yang menghadiri
perjanjian Hudaibiyah, dan seterusnya. Kaum wanita, anak-anak dan
para budak juga mendapat tunjangan sosial.19
Jumlah tunjangan yang diberikan kepada masing-masing
golongan untuk setiap tahunnya berbeda-beda. Secara umum,
17 Irfan Mahmud Ra’ana, op. cit., h. 155.18 Ibid., h. 156.19 M. A. Sabzwari, loc. cit.
50
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
jumlah tunjangan yang diberikan kepada mereka adalah sebagai
berikut:20
NO. penerima jumlah
1.Aisyah dan Abbas ibn Abdul Mutthalib
Masing-masing 12.000 dirham
2. Para istri Nabi selain AisyahMasing-masing 10.000 dirham
3.Ali, Hasan, Husain, dan para pejuang Badar
Masing-masing 5.000 dirham
4.Para pejuang Uhud dan migran ke Abysinia
Masing-masing 4.000 dirham
5.Kaum Muhajirin sebelum peristiwa Fathul Makkah
Masing-masing 3.000 dirham
6.
Putra-putra para pejuang Badar, orang-orang yang memeluk Islam ketika terjadi peristiwa fathul Makkah, anak-anak kaum Muhajirin dan Anshar, para pejuang perang Qadisiyyah, Uballa, dan orang-orang yang menghadiri perjanjian Hudaibiyah
Masing-masing 2.000 dirham
Orang-orang Mekkah yang bukan termasuk kaum Muhajirin
mendapat tunjangan 800 dirham, warga Madinah 25 dinar, kaum
muslimin yang tinggal di Yaman, Syiria dan Irak memperoleh
tunjangan sebesar 200 hingga 300 dirham, serta anak-anak yang
baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing memperoleh 100
dirham. Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan
pensiun berupa gandum, minyak, madu, dan cuka dalam jumlah
yang tetap. Kualitas dan jenis barang berbeda-beda di setiap
wilayah. Peran negara yang turut bertanggung jawab terhadap
pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian bagi setiap warga
negaranya ini merupakan hal yang pertama kali terjadi dalam
sejarah dunia.21
Dengan demikian, Khalifah Umar ibn al-Khattab menerapkan
prinsip keutamaan dalam mendistribusikan harta Baitul Mal. Ia
20 Ibid.21 Ibid., h. 53.
51
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
berpendapat bahwa kesulitan yang dihadapi umat Islam harus
diperhitungkan dalam menetapkan bagian seseorang dari harta
negara dan, karenanya, keadilan menghendaki usaha seseorang
serta tenaga yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam
harus dipertahankan dan dibalas dengan sebaik-baiknya.22
Kebijakan Khalifah Umar tersebut mengundang reaksi dari salah
seorang sahabat yang bernama Hakim bin Hizam. Menurutnya,
dalam hal ini, tindakan Umar akan memicu lahirnya sifat malas di
kalangan para pedagang yang berakibat fatal bagi kelangsungan
hidup mereka sendiri jika suatu saat pemerintah menghentikan
kebijakan tersebut.23
Kaum muslimin dan para sejarahwan meyakini bahwa pada
dasarnya, kebijakan Khalifah Umar tersebut semata-mata hanya
untuk menghormati orang-orang yang telah gigih berjuang
membela dan menegakkan agama Islam di masa-masa awal
kehadirannya. Khalifah sendiri sangat tidak menginginkan
terbentuknya suatu kelompok prejudices dalam suatu masyarakat
ataupun membuat bangsa Arab malas dan tergantung.24 Hal
tersebut setidaknya tercermin dari rasa penyesalannya di kemudian
hari. Khalifah Umar ibn al-Khattab menyadari bahwa cara tersebut
keliru karena membawa dampak negatif terhadap strata sosial dan
kehidupan masyarakat. Ia pun bertekad akan mengubah
kebijakannya tersebut apabila masih diberi kesempatan hidup.25
Akan tetapi, Khalifah Umar telah tewas terbunuh sebelum
rencananya berhasil direalisasikan.
2. Kepemilikan Tanah
22 Afzalurrahman, op. cit., Jilid 1, h. 164.23 Peringatan ini terbukti benar ketika tunjangan para pedagang dihentikan
pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, Hijaz menjadi kota yang tidak produktif dan tidak dapat memperoleh vitalitasnya kembali. Lihat M. A. Sabzwari, loc. cit.
24 Ibid.25 Afzalurrahman, op. cit., h. 165.
52
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
Pada masa Rasulullah saw, jumlah kharaj yang dibayar masih
sangat terbatas sehingga tidak diperlukan suatu sistem administrasi
yang terperinci. Selama pemerintahan Khalifah Umar, wilayah
kekuasaan Islam semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-
daerah yang berhasil ditaklukkan, baik melalui peperangan maupun
secara damai. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan baru.
Pertanyaan yang paling mendasar dan utama adalah kebijakan apa
yang akan diterapkan negara terhadap kepemilikan tanah-tanah
yang berhasil ditaklukkan tersebut. Para tentara dan beberapa
sahabat terkemuka menuntut agar tanah hasil taklukan tersebut
dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan
sementara sebagian kaum muslimin yang lain menolak pendapat
tersebut. Muadz bin Jabal, salah seorang di antara mereka yang
menolak, mengatakan, ”Apabila engkau membagikan tanah
tersebut, hasilnya tidak akan menggembirakan. Bagian yang bagus
akan menjadi milik mereka yang tidak lama lagi akan meninggal
dunia dan keseluruhan akan menjadi milik seseorang saja. Ketika
generasi selanjutnya datang dan mereka mempertahankan Islam
dengan sangat berani namun mereka tidak akan menemukan
apapun yang tersisa. Oleh karena itu, carilah sebuah rencana yang
baik dan tepat untuk mereka yang datang pertama dan yang akan
datang kemudian”.26
Umar bersikap sesuai dengan saran tersebut. Dalam perjalanan
ke Palestina dan Syiria, ia mengadakan pertemuan dengan para
komandan militer dan pemimpin pasukan di Djabiya untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut. Setelah melalui debat yang
panjang dan dengan didukung sejumlah sahabat lainnya, Khalifah
Umar memutuskan untuk memperlakukan tanah-tanah tersebut
sebagai fai, dan prinsip yang sama diadopsi untuk kasus-kasus yang
akan datang. Sayyidina Ali tidak hadir dalam pertemuan tersebut
karena sedang menggantikan posisi Umar sebagai Khalifah di
Madinah. Diriwayatkan bahwa Ali tidak sependapat dengan
26 M. A. Sabzwari. op. cit., h. 53-54.
53
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
pandangan Umar seluruhnya. Ia juga berpendirian bahwa seluruh
pendapatan Baitul Mal harus didistribusikan seluruhnya tanpa
menyisakan sedikitpun sebagai cadangan.27
Dalam memperlakukan tanah-tanah taklukan, Khalifah Umar
tidak membagi-bagikannya kepada kaum muslimin tetapi
membiarkan tanah tersebut tetap berada pada pemiliknya dengan
syarat membayar kharaj dan jizyah.28 Ia beralasan bahwa
penaklukan yang dilakukan pada masa pemerintahannya meliputi
tanah yang demikian luas sehingga bila dibagi-bagikan
dikhawatirkan akan mengarah kepada praktek tuan tanah.29
Khalifah Umar ibn al-Khattab juga melarang bangsa Arab untuk
menjadi petani karena mereka bukan ahlinya. Menurutnya, tindakan
memberi lahan pertanian kepada mereka yang bukan ahlinya sama
dengan perampasan hak-hak publik.30 Ia juga menegaskan bahwa
negara berhak untuk mengambil alih tanah yang tidak
dimanfaatkan pemiliknya dengan memberikan ganti rugi
secukupnya.31
Mayoritas sumber pemasukan pajak al-kharaj berasal dari
daerah-daerah bekas kerajaan Romawi dan Sasanid (Persia) dan hal
ini membutuhkan suatu sistem administrasi yang terperinci untuk
penaksiran, pengumpulan dan pendistribusian pendapatan yang
diperoleh dari pajak tanah-tanah tersebut. Berdasarkan hal ini,
Khalifah Umar mengutus Utsman ibn Hunaif al-Anshari untuk
melakukan survei batas-batas tanah di Sawad. Berdasarkan hasil
survei, luas tanah tersebut 36 juta jarib dan setiap jarib ditentukan
jumlahnya. Setelah itu, Utsman mengirim proposalnya tersebut
kepada Khalifah untuk dimintakan persetujuannya.32
27 Ibid., h. 54.28 Irfan Mahmud Ra’ana, op. cit., h. 34.29 Ibid., h. 35.30 Ibid., h. 36.31 Ibid., h. 39.32 M. A. Sabzwari, loc. cit.
54
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
Dalam hal ini, Khalifah Umar menerapkan beberapa peraturan
sebagai berikut:33
1. Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik
muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat
sedangkan bagian wilayah yang berada di bawah perjanjian
damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan
tersebut dapat dialihkan.
2. Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada di bawah
kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memeluk
agama Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat
dikonversi menjadi tanah ushr.
3. Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan selama mereka
membayar kharaj dan jizyah.
4. Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau
tanah yang diklaim kembali (seperti Bashra) bila diolah oleh
kaum muslimin diperlakukan sebagai tanah ushr.
5. Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz
(satu ukuran lokal) gandum dan barley (sejenis gandum) dengan
asumsi tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi
dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan
perkebunan.
6. Di Mesir, berdasarkan perjanjian Amar, setiap pemilik tanah
dibebankan pajak sebesar dua dinar, di samping tiga irdabb
gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka, dan madu, dan
rancangan ini telah disetujui Khalifah.
7. Perjanjian Damaskus (syiria) berisi pembayaran tunai,
pembagian tanah dengan kaum muslimin, beban pajak untuk
setiap orang sebesar satu dinar dan satu beban jarib (unit berat)
yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah.
3. Zakat
Pada masa Rasulullah saw, jumlah kuda di Arab masih sangat
sedikit, terutama kuda yang dimiliki oleh kaum muslimin karena
33 Ibid., h. 54-55.
55
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
digunakan untuk kebutuhan pribadi dan jihad. Misalkan pada perang
badar, pasukan kaum muslimin yang berjumlah 313 orang hanya
memiliki dua kuda. Pada saat pengepungan suku Bani Quraizha (5
H), pasukan kaum muslimin memiliki 36 kuda. Pada tahun yang
sama ,di Hudaybiyah mereka mempunyai sekitar dua ratus kuda.
Karena zakat dibebankan terhadap barang-barang yang memiliki
produktivitas maka seorang budak atau seekor kuda yang dimiliki
kaum muslimin ketika itu tidak dikenakan zakat.34
Pada periode selanjutnya, kegiatan berternak dan
memperdagangkan kuda dilakukan secara besar-besaran di Syiria
dan di berbagai wilayah kekuasaan Islam lainnya. Beberapa kuda
mempunyai nilai jual yang tinggi, bahkan pernah diriwayatkan
bahwa seekor kuda Arab Taghlabi diperkirakan bernilai 20.000
dirham dan orang-orang Islam terlibat dalam perdagangan ini.
Karena maraknya perdagangan kuda, mereka menanyakan kepada
Abu Ubaidah, Gubernur Syiria ketika itu, tentang kewajiban
membayar zakat kuda dan budak. Gubernur memberitahukan
bahwa tidak ada zakat atas keduanya. Kemudian mereka
mengusulkan kepada Khalifah agar ditetapkan kewajiban zakat atas
keduanya tetapi permintaan tersebut tidak dikabulkan. Mereka
kemudian mendatangi kembali Abu Ubaidah dan bersikeras ingin
membayar. Akhirnya, Gubernur menulis surat kepada Khalifah dan
Khalifah Umar menanggapinya dengan sebuah instruksi agar
Gubernur menarik zakat dari mereka dan mendistribusikannya
kepada para fakir miskin serta budak-budak. Sejak itu, zakat kuda
ditetapkan sebesar satu dinar atau atas dasar ad valorem, seperti
satu dirham untuk setiap empat puluh dirham.35
Di antara beberapa barang, Abu Bakar membebani zakat
terhadap war, sejenis rumput herbal yang digunakan untuk
membuat bedak dan parfum. Sementara itu, Umar mengenakan
khums zakat atas karet yang ditemukan di semenanjung Yaman,
34 Ibid., h. 5535 Ibid.
56
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
antara Aden dan Mukha, dan hasil laut karena barang-barang
tersebut dianggap sebagai hadiah dari Allah. Thaif dikenal sebagai
tempat peternakan lebah dan, menurut beberapa riwayat, Bilal
datang kepada Nabi dengan ushr atas madunya dan memintanya
agar lembah Salba dicadangkan untuknya. Permintaannya ini
diterima oleh Nabi.36
Pada masa Umar, Gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik
sarang lebah tidak membayar ushr tetapi menginginkan sarang-
sarang lebah tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan
bahwa bila mereka mau membayar ushr maka sarang lebah mereka
akan dilindungi. Namun, jika menolak, mereka tidak akan
memperoleh perlindungan. Menurut riwayat Abu Ubaid, Umar
membedakan madu yang diperoleh dari pegunungan dan madu
yang diperoleh dari ladang. Zakat yang ditetapkan adalah
seperduapuluh untuk madu yang pertama dan sepersepuluh untuk
madu jenis kedua.37
4. Ushr
Sebelum Islam datang, setiap suku atau kelompok yang tinggal
di pedesaan biasa membayar pajak (ushr) jual-beli (maqs).
Besarnya adalah sepuluh persen dari nilai barang atau satu dirham
untuk setiap transaksi. Akan tetapi, setelah Islam hadir dan menjadi
sebuah negara yang berdaulat di Semenanjung Arab, Nabi
mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan
menghapus bea masuk antar propinsi yang masuk dalam wilayah
kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditandatangani
olehnya bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada
kekuasaannya. Secara jelas dikatakan bahwa pembebanan
sepersepuluh hasil pertanian kepada pedagang Manbij (Hierapolis)
diriwayatkan sebagai hal yang pertama di masa Umar.38
Orang-orang Manbij adalah orang-orang harbi yang meminta izin
kepada khalifah memasuki negara muslim untuk melakukan 36 Ibid.37 Ibid., h. 56.38 Ibid.
57
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
perdagangan dengan membayar sepersepuluh dari nilai barang.
Setelah berkonsultasi dengan beberapa sahabat yang lain, Umar
memberikan izin. Tetapi terdapat kasus khusus ketika Abu Musa al-
Asy’ari menulis surat kepada Umar yang menyatakan bahwa
pedagang muslim dikenakan pajak sepersepuluh di tanah harbi.
Khalifah Umar menyarankan agar membalasnya dengan
mengenakan pajak pembelian dan penjualan yang normal kepada
mereka. Ada perbedaan versi menurut tingkat ukurannya. Tingkat
ukuran yang paling umum digunakan adalah 2,5% untuk pedagang
muslim, 5% untuk kafir dzimmi, dan 10% untuk kafir harbi dengan
asumsi harga barang melebihi dua ratus dirham. Menurut Ziyad ibn
Hudair, seorang asyir atau pengumpul ushr di jembatan Efrat
mengatakan kita biasanya mengumpulkan ushr dari para pedagang
Roma saja. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kafir harbi yang
tinggal di negara Islam selama periode 6 bulan atau kurang dikenai
sepuluh persen dan, bila memperpanjang masa tinggal hingga satu
tahun, mereka dikenakan pajak sebesar 5%.39
Ushr dibebankan kepada suatu barang hanya sekali dalam
setahun. Seorang Taghlibi datang ke wilayah Islam untuk menjual
kudanya. Setelah dilakukan penaksiran oleh Zaid, seorang asyir,
kuda tersebut bernilai 20.000 dirham. Oleh karena itu, Zaid
memintanya untuk membayar 1000 dirham (5%) sebagai ushr.
Jumlah tersebut dibayarkan tetapi kuda tersebut tidak terjual
sehingga ia mengambil kembali kudanya. Setelah beberapa waktu,
ia datang kembali dengan kudanya dan pemungut pajak kembali
meminta ushr kepadanya. Orang tersebut menolak membayar
apapun dan mengadukan masalahnya kepada Umar. Setelah
mendengarkan kasusnya, Umar menginstruksikan para pegawainya
agar tidak menarik ushr dua kali dalam setahun walaupun barang
tersebut diperbaharui.40
39 Ibid., h. 56.40 Ibid.
58
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
Pos pengumpulan ushr terletak di berbagai tempat yang
berbeda-beda, termasuk di ibukota. Menurut Saib bin Yazid,
pengumpul ushr di pasar-pasar Madinah, orang-orang Nabaetean
yang berdagang di Madinah juga dikenakan pajak pada tingkat yang
umum tetapi setelah beberapa waktu Umar menurunkan
persentasenya menjadi 5% untuk minyak dan gandum untuk
mendorong import barang-barang tersebut di kota.41
5. Shadaqah dari Non-Muslim
Tidak ada ahli kitab yang membayar shadaqah atas ternaknya
kecuali orang Kristen Bani Taghlib yang keseluruhan kekayaannya
terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar dua kali lipat dari yang
dibayar kaum muslimin. Bani Taghlib merupakan suku Arab kristen
yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada
mereka tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar
jizyah dan malah membayar shadaqah. Nu’man ibn Zuhra
memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan
bahwa pada dasarnya tidak bijaksana memperlakukan mereka
seperti musuh dan seharusnya keberanian mereka menjadi aset
negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan
shadaqah yang harus mereka bayar dengan syarat mereka setuju
untuk tidak membaptis seorang anak atau memaksanya untuk
menerima kepercayaan mereka. Mereka setuju dan menerima untuk
membayar shadaqah ganda.42
Baladzuri meriwayatkan bahwa Ali sering kali mengatakan bahwa
bila dirinya berkesempatan untuk melakukan negosiasi dengan Bani
Taghlib, dia akan menggunakan caranya sendiri dengan mereka.
Menurut Ali, dengan mengkristenkan anak-anak mereka, Bani
Taghlib telah melanggar persetujuan dan tidak lagi dapat dipercaya.
Walaupun demikian, kaum muslimin sepakat bahwa yang didapat
dari Bani Taghlib tidak untuk dibelanjakan seperti halnya kharaj
karena shadaqah tersebut merupakan pengganti pajak.43
41 Ibid., h. 5742 Ibid.43 Ibid.
59
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
6. Mata Uang
Pada masa Nabi dan sepanjang masa pemerintahan al-Khulafa
ar-Rasyidun, koin mata uang asing dengan berbagai bobot telah
dikenal di Jazirah Arab, seperti dinar, sebuah koin emas, dan
dirham, sebuah koin perak. Bobot Dinar adalah sama dengan satu
mitsqal atau sama dengan dua puluh qirat atau seratus grains of
barley. Oleh karena itu, rasio antara satu dirham dan satu mitsqal
adalah tujuh per sepuluh.
7. Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara
Seperti yang telah disinggung di muka, kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan pendapatan negara adalah mendistribusikan
seluruh pendapatan yang diterima. Kebijakan tersebut mengalami
perubahan pada masa Umar. Pada saat itu, pendapatan meningkat
tajam dan Baitul Mal didirikan secara permanen di pusat ibukota
dan ibukota propinsi. Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar
ibn al-Khattab mengklasifikasi pendapatan negara menjadi empat
bagian, yaitu:44
a. Pendapatan zakat dan ‘ushr. Pendapatan ini didistribusikan di
tingkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut
disimpan di Baitul Mal pusat dan dibagikan kepada delapan
ashnaf, seperti yang telah ditentukan dalam Alquran.
b. Pendapatan khums dan shadaqah. Pendapatan ini
didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk membiayai
kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang
muslim atau bukan. Dalam sebuah riwayat, di perjalanan menuju
Damaskus, Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang
menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, Khalifah
Umar segera memerintahkan pegawainya agar memberikan
dana kepada orang tersebut yang diambilkan dari hasil
pendapatan shadaqah dan makanan yang diambilkan dari
persediaan untuk para petugas.
44 Ibid., h. 58.
60
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
c. Pendapatan kharaj, fai, jizyah, ‘ushr (pajak perdagangan), dan
sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana
pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya
operasional administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
d. Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk
membayar para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan
dana sosial lainnya.
8. Pengeluaran
Di antara alokasi pengeluaran dari harta Baitul Mal tersebut,
dana pensiun merupakan pengeluaran negara yang paling penting.
Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara dan dana
pembangunan.
Seperti yang telah dijelaskan, Khalifah Umar menempatkan dana
pensiun di tempat pertama dalam bentuk rangsum bulanan (arzaq)
pada tahun 18 H, dan selanjutnya pada tahun 20 H dalam bentuk
rangsum tahunan (atya). Dana pensiun ditetapkan untuk mereka
yang akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran. Dengan kata
lain, dana pensiun ini sama halnya dengan gaji reguler angkatan
bersenjata dan pasukan cadangan serta penghargaan bagi orang-
orang yang telah berjasa. Beberapa orang yang telah berjasa diberi
pensiun kehormatan (sharaf) seperti yang diberikan kepada para
istri Rasulullah atau para janda dan anak-anak pejuang yang telah
wafat. Nonmuslim yang bersedia ikut dalam kemiliteran juga
mendapat penghargaan serupa.45
Dana ini juga meliputi upah yang dibayarkan kepada para
pegawai sipil. Sejumlah penerima dana pensiun juga ditugaskan
untuk melaksanakan kewajiban sipil tetapi mereka dibayar bukan
untuk itu. Khalifah Umar sebagai ahli Badr juga terpilih sebagai
penerima penghargaan sebesar 5.000 dirham. Sejak saat itu, ia
tidak meminta apa-apa (upah atau gaji) lagi dari Baitul Mal. Orang-
orang yang tidak ikut dalam kegiatan militer, seperti orang Mekkah,
45 Ibid.
61
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
orang-orang desa (petani, peternak dan sebagainya), pedagang,
dan pengrajin, tidak mendapat dana pensiun tersebut.46
Sistem administrasi dana pensiun dan rangsum dikelola dengan
baik. Dalam setahun, dana pensiun dibayarkan dua kali, sedangkan
pemberian rangsum dilakukan secara bulanan. Administrasi dana
pensiun terdiri dari dua bagian, bagian pertama berisi catatan
sensus dan jumlah yang telah menjadi hak setiap penerima dana
dan bagian kedua berisi laporan pendapatan. Dana tersebut
didistribusikan melalui seorang arif yang masing-maisng
bertanggung jawab atas sepuluh orang penerima dana.47
Angkatan bersenjata terdiri dari pasukan berkuda dan prajurit.
Pasukan berkuda dipersenjatai dengan pelindung, pedang dan
tombak atau pelindung, anak panah, dan busur panah. Kehebatan
dari pasukan ini terletak pada kemampuan mobilisasi yang sangat
tinggi, keteguhan hati dan kesabarannya. Pasukan selalu diberi
perbekalan dan peralatan dengan baik dan perjalanan panjang
dilakukan dengan menggunakan unta. Awalnya, pasukan
mendirikan perkemahan yang dibangun dengan menggunakan
pohon-pohon palem tetapi setelah itu, Umar menginstruksikan
untuk membangun tempat permanen atau distrik. Kemudian,
markas-markas militer dibangun di Bashra, Kufah, Fastal, Qairawan
dan lain-lain. Markas besar militer juga dibangun di beberapa
tempat lainnya. Pengeluaran untuk hal-hal ini termasuk bagian dari
pengeluaran untuk pertahanan negara.48
Kehakiman ditangani oleh hakim sipil yang biasa disebut hakim
atau qazis yang ditunjuk oleh Umar dan bersifat independen dan
terpisah dari pemerintahan. Khalifah Umar merupakan pemimpin
pertama dalam Islam yang menetapkan gaji untuk para hakim dan
membangun kantornya terpisah dari kantor eksekutif. Ia juga
membangun sistem administrasi pemerintahan Islam dan membagi
daerah-daerah taklukan ke dalam satu organisasi pemerintahan 46 Ibid., h. 59.47 Ibid.48 Ibid.
62
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
yang tertata rapih, sehingga memungkinkan para wakilnya di
daerah mengembangkan berbagai sumber daya di wilayahnya
masing-masing.49
Dalam sistem administrasi pemerintahannya tersebut, Khalifah
Umar menetapkan perbaikan ekonomi di bidang pertanian dan
perdagangan sebagai prioritas utama. Untuk mencapai tujuan
tersebut, di Mesir, Syiria, Irak, dan Persia Selatan telah dilakukan
pengukuran ladang demi ladang dan penilaiannya dilakukan secara
seragam. Catatan hasil survei pengukuran tanah-tanah tersebut
membentuk sebuah catalog otentik yang selain menggambarkan
luas daerah juga mendeskripsikan secara terperinci kualitas tanah,
produksi alam, karakter, dan sebagainya. Jaringan kanal-kanal telah
dibangun di Babilonia dan di sekitar daerah sungai Tigris dan Eufrat
di bawah pengawasan para petugas khusus. Untuk memfasilitasi
komunikasi langsung antara Mesir dengan Arab, Khalifah Umar
memfungsikan kembali sebuah kanal di antara sungai Nil dan Laut
Merah yang telah lama tidak terpakai. Pembangunan jaringan ini
selesai dalam waktu kurang dari satu tahun. Pembangunan kanal-
kanal tersebut tidak hanya mempermudah pelayaran kapal-kapal
yang memuat padi-padian dari Mesir berlayar ke Yanbu dan Jeddah
sehingga sangat membantu ketika terjadi bencana kelaparan pada
tahun 18 H tetapi juga harga jual padi-padian tersebut turun secara
permanen di pasar Madinah dan Mekkah.50
Selain itu, Khalifah Umar memperkenalkan sistem jaga malam
dan patroli serta mendirikan dan mensubsidi sekolah-sekolah dan
masjid-masjid di seluruh wilayah negara. Ia juga menjamin orang-
orang yang melakukan ibadah haji dan para pengembara dapat
menikmati fasilitas air dan tempat peristirahatan di sepanjang jalan
antara Mekkah dan Madinah, di samping membangun depot
makanan dan gudang tempat penyimpanan persediaan dan
perlengkapan yang dibutuhkan.51
49 Ibid.50 Ibid., h. 59-60.51 Ibid., h. 60.
63
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
Seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah saw, Khalifah
Umar menetapkan bahwa negara bertanggung jawab membayarkan
atau melunasi utang orang-orang yang menderita pailit atau jatuh
miskin, membayar tebusan para tahanan muslim, membayar diyat
orang-orang tertentu, serta membayar biaya perjalanan para
delegasi dan tukar menukar hadiah dengan negara lain. Dalam
perkembangan berikutnya, setelah kondisi Baitul Mal dianggap
cukup kuat, ia menambahkan beberapa pengeluaran lain dan
memasukkannya ke dalam daftar kewajiban negara, seperti
memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.52
C. Sistem Ekonomi dan Fiskal Pemerintahan Khalifah Utsman ibn
Affan
Berbeda halnya dengan Abu Bakar ash-Shiddiq dalam
menentukan calon penggantinya, Khalifah Umar ibn al-Khattab
membentuk sebuah tim yang terdiri dari enam orang sahabat, yaitu
Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah, Zubair ibn al-Awwam,
Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan Abdurrahman ibn Auf. Ia meminta
kepada tim tersebut untuk memilih salah seorang di antara mereka
sebagai penggantinya. Setelah Umar ibn al-Khattab wafat, tim ini
melakukan musyawarah dan berhasil menunjuk Utsman ibn Affan
sebagai Khalifah Islam Ketiga setelah melalui persaingan yang ketat
dengan Ali ibn Abi Thalib.
Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12
tahun, Khalifah Utsman ibn Affan berhasil melakukan ekspansi ke
wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa
dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan.53 Ia juga berhasil
menumpas pemberontakan di daerah Khurasan dan Iskandariah.54
Pada enam tahun pertama masa pemerintahannya, Khalifah
Utsman ibn Affan melakukan penataan baru dengan mengikuti
52 Ibid.53 Badri Yatim, op. cit., h. 38.54 Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna,
1994), Jilid 1, Cet. ke-8, h. 270.
64
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
kebijakan Umar ibn al-Khattab. Dalam rangka pengembangan
sumber daya alam, ia melakukan pembuatan saluran air,
pembangunan jalan-jalan, dan pembentukan organisasi kepolisian
secara permanen untuk mengamankan jalur perdagangan. Khalifah
Utsman ibn Affan juga membentuk armada laut kaum muslimin di
bawah komando Muawiyah, hingga berhasil membangun supremasi
kelautannya di wilayah Mediterania. Laodicea dan wilayah di
Semenanjung Syiria, Tripoli dan Barca di Afrika Utara menjadi
pelabuhan pertama negara Islam. Namun demikian, pemerintahan
Khalifah Utsman ibn Affan harus menanggung beban anggaran yang
tidak sedikit untuk memelihara angkatan laut tersebut.55
Khalifah Utsman ibn Affan tidak mengambil upah dari kantornya.
Sebaliknya, ia meringankan beban pemerintah dalam hal-hal yang
serius, bahkan menyimpan uangnya di bendahara negara. Hal
tersebut menimbulkan kesalahpahaman dengan Abdullah ibn Irqam,
bendahara Baitul Mal. Konflik ini tidak hanya membuat Abdullah
menolak upah dari pekerjaannya, tetapi juga menolak hadir pada
setiap pertemuan publik yang dihadiri Khalifah. Permasalahan
tersebut semakin rumit ketika muncul berbagai pernyataan
kontroversi mengenai pembelanjaan harta Baitul Mal yang tidak
hati-hati.56
Khalifah Utsman ibn Affan tetap mempertahankan sistem
pemberian bantuan dan santunan serta memberikan sejumlah besar
uang kepada masyarakat yang berbeda-beda. Meskipun meyakini
prinsip persamaan dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat,
ia memberikan bantuan yang berbeda pada tingkat yang lebih
tinggi.57 Dengan demikian, dalam pendistribusian harta Baitul Mal,
Khalifah Utsman ibn Affan menerapkan prinsip keutamaan seperti
halnya Umar ibn al-Khattab.
Dalam hal pengelolaan zakat, Khalifah Utsman ibn Affan
mendelegasikan kewenangan menaksir harta yang dizakati kepada 55 M. A. Sabzwari, op. cit., h. 61.56 Ibid.57 Afzalurrahman, op. cit., h. 181.
65
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
para pemiliknya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk
mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam
pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum
pengumpul zakat.58 Di samping itu, Khalifah Utsman berpendapat
bahwa zakat hanya dikenakan terhadap harta milik seseorang
setelah dipotong seluruh utang-utang yang bersangkutan. Ia juga
mengurangi zakat dari dana pensiun. Selama menjadi Khalifah,
Utsman bin Affan menaikkan dana pensiun sebesar 100 dirham, di
samping memberikan rangsum tambahan berupa pakaian. Ia juga
memperkenalkan tradisi mendistribusikan makanan di masjid untuk
para fakir miskin dan musafir.59
Untuk meningkatkan pengeluaran di bidang pertahanan dan
kelautan, meningkatkan dana pensiun, dan pembangunan berbagai
wilayah taklukan baru, negara membutuhkan dana tambahan. Oleh
karena itu, Khalifah Utsman ibn Affan membuat beberapa
perubahan administrasi tingkat atas dan pergantian beberapa
gubernur. Sebagai hasilnya, jumlah pemasukan kharaj dan jizyah
yang berasal dari Mesir meningkat dua kali lipat, yakni dari 2 juta
dinar menjadi 4 juta dinar setelah dilakukan pergantian Gubernur
dari Amr kepada Abdullah bin Saad. Namun, hal ini mendapat
kecaman dari Amr. Menurutnya, pemasukan besar yang diperoleh
Gubernur Abdullah bin Saad tersebut merupakan hasil pemerasan
penguasa terhadap rakyatnya.60
Dengan harapan dapat memberikan tambahan pemasukan bagi
Baitul Mal, Khalifah Utsman menerapkan kebijakan membagi-
bagikan tanah negara kepada individu-individu untuk tujuan
reklamasi. Dari hasil kebijakannya ini, negara memperoleh
pendapatan sebesar 50 juta dirham atau naik 41 juta dirham jika
dibandingkan pada masa Umar ibn al-Khattab yang tidak membagi-
bagikan tanah tersebut.61
58 M. A. Sabzwari, loc. cit.59 Ibid., h. 62.60 Ibid.61 Ibid.
66
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
Sekalipun tidak ada kebijakan kontrol harga, seperti halnya
khalifah sebelumnya yang tidak menyerahkan tingkat harga
sepenuhnya kepada para pengusaha tetapi berusaha untuk tetap
memperoleh informasi yang akurat tentang kondisi harga di
pasaran, bahkan terhadap harga dari suatu barang yang sulit
dijangkau sekalipun, Khalifah Utsman bin Affan selalu
mendiskusikan tingkat harga yang sedang berlaku di pasaran
dengan seluruh kaum muslimin di setiap selesai melaksanakan
shalat berjamaah.62
Memasuki enam tahun kedua masa pemerintahan Utsman ibn
‘Affan, tidak terdapat perubahan situasi ekonomi yang cukup
signifikan. Berbagai kebijakan Khalifah Utsman ibn ‘Affan yang
banyak menguntungkan keluarganya telah menimbulkan benih
kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum muslimin.
Akibatnya, pada masa ini, pemerintahannya lebih banyak diwarnai
kekacauan politik yang berakhir dengan terbunuhnya sang Khalifah.
D. Sistem Ekonomi dan Fiskal pada Masa Amîrul Mu’minîn
Ali bin Abi Thalib. (ra)
Setelah diangkat sebagai Khalifah Islam keempat oleh segenap
kaum muslimin, Ali ibn Abi Thalib langsung mengambil beberapa
tindakan, seperti memberhentikan para pejabat yang korup,
membuka kembali lahan perkebunan yang telah diberikan kepada
orang-orang kesayangan Utsman, dan mendistribusikan pendapatan
pajak tahunan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Umar
ibn al-Khattab.63
Masa pemerintahan Imam Ali ibn Abi Thalib yang hanya
berlangsung selama enam tahun selalu diwarnai dengan
ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus menghadapi perang
Jamal yang disutradai oleh Thalhah, Zubair ibn al-Awwam, dan
Aisyah yang menuntut kematian Utsman ibn Affan. Berbagai
kebijakan tegas yang diterapkannya menimbulkan api permusuhan
62 Ibid.63 Badri Yatim, op. cit., h. 39.
67
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
dengan keluarga Bani Umayyah yang dimotori oleh Muawiyah ibn
Abi Sufyan. Pemberontakan juga datang dari golongan Khawarij,
mantan pendukung Imam Ali ibn Abi Thalib yang kecewa terhadap
keputusan tahkim pada perang Shiffin.
Sekalipun demikian, Amirul Mukminin Imam Ali ibn Abi Thalib
tetap berusaha untuk melaksanakan berbagai kebijakan yang dapat
mendorong peningkatan kesejahteraan umat Islam. Menurut sebuah
riwayat, ia secara sukarela menarik diri dari daftar penerima dana
bantuan Baitul Mal, bahkan menurut riwayat yang lain, Ali
memberikan sumbangan sebesar 5000 dirham setiap tahun. Apapun
faktanya, kehidupan Ali sangat sederhana dan sangat ketat dalam
membelanjakan keuangan negara. Dalam sebuah riwayat,
saudaranya yang bernama Aqil bin Abi Thalib pernah mendatangi
Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib untuk meminta bantuan
keuangan dari dana Baitul Mal. Namun, Imam Ali menolak
permintaan tersebut. Dalam riwayat yang lain, Imam Ali diberitakan
pernah memenjarakan Gubernur Ray yang dianggapnya telah
melakukan tindak pidana korupsi.64
Selama masa pemerintahannya, Imam Ali ibn Abi Thalib
menetapkan pajak terhadap para pemilik hutan sebesar 4000
dirham dan mengizinkan Ibnu Abbas, Gubernur Kufah, memungut
zakat terhadap sayuran segar yang akan digunakan sebagai bumbu
masakan.
Seperti yang telah disinggung, Imam Ali tidak menghadiri
pertemuan Majelis Syuro di Jabiya yang diadakan oleh Khalifah
Umar untuk memusyawarahkan beberapa hal penting yang
berkaitan dengan status tanah-tanah taklukan. Pertemuan itu
menyepakati untuk tidak mendistribusikan seluruh pendapatan
Baitul Mal tetapi menyimpan sebagian sebagai cadangan. Imam Ali
menolak seluruh hasil pertemuan tersebut. Oleh karena itu, ketika
menjabat sebagai Khalifah, Imam Ali mendistribusikan seluruh
pendapatan dan provisi yang ada di Baitul Mal Madinah, Basrah dan
64 M. A. Sabzwari, op. cit., h. 63.
68
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
Kufah. Imam Ali ingin mendistribusikan harta Baitul Mal yang ada di
Sawad, namun urung dilaksanakan demi menghindari terjadinya
perselisihan di antara kaum muslimin.65
Pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi
Thalib, prinsip utama dari pemerataan distribusi uang rakyat telah
diperkenalkan. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama
kalinya diadopsi. Hari Kamis adalah hari pendistribusian atau hari
pembayaran. Pada hari itu, semua penghitungan diselesaikan dan
pada hari Sabtu dimulai penghitungan baru. Cara ini mungkin solusi
yang terbaik dari sudut pandang hukum dan kondisi negara yang
sedang berada dalam masa-masa transisi. Imam Ali bin Abi Thalib
meningkatkan tunjangan bagi para pengikutnya di Irak.66
Pada masa Imam Ali bin Abi Thalib, alokasi pengeluaran kurang
lebih masih tetap sama sebagaimana halnya pada masa
pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khattab. Pengeluaran untuk
angkatan laut yang ditambah jumlahnya pada masa kekhalifahan
Utsman bin Affan hampir seluruhnya dihilangkan karena sepanjang
garis pantai Syiria, Palestina dan Mesir berada di bawah kekuasaan
Muawiyah. Namun demikian, dengan adanya penjaga malam dan
patroli yang telah terbentuk sejak masa pemerintahan Khalifah
Umar, Imam Ali membentuk polisi yang terorganisasi secara resmi
yang disebut syurthah dan pemimpinnya diberi gelar Shahib as-
Syurthah. Fungsi lainnya dari Baitul Mal masih tetap sama dan tidak
ada perkembangan aktifitas yang berarti pada masa ini.67
Imam Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan,
administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan
dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal
yang ditujukan kepada Malik Astar bin Harits. Surat yang panjang
tersebut antara lain mendeskripsikan tugas, kewajiban serta
tanggung jawab para penguasa dalam mengatur penarikan pajak,
perintah ini tercatat dalam kumpulan khutbah Imam Ali dalam 65 Ibid., h. 64.66 Ibid.67 Ibid.
69
Sistem Ekonomi dan Fiskal Pada Masa al-Khulafa ar-Rasyidun
Nahjul Balaghah, surat no.53 surat ini dikirimkan kepada Malik al-
Asytar saat pengangkatannya untuk memerintah Mesir sebagai
berikut:
“Dan jadikanlah pandangan masa depanmu untuk pembangunan lebih bijak daripada tujuanmu menarik pajak, karena pajak hanya dapat dicapai dengan pembangunan. Maka barang siapa yang menarik pajak tanpa pembangunan, berarti dia menghancurkan negerinya dengan menindas rakyatnya. Kekuasaan hanya akan berlangsung sesaat. Dan jika mengeluhkan beban hidup yang berat, penyakit, kekurangan air, atau produksi, atau kerusakan tanah yang diakibatkan oleh banjir dan kekeringan, maka kurangilah tanggung jawab mereka. Jangan terbebani oleh hal yang dengannya engkau dapat meringankan beban mereka, tetapi ini hanyalah tabungan yang akan kembali sebagai pembangunan negaramu dan menyuburkan kekuasaanmu, selain itu juga akan menambah penghargaan mereka atas dirimu”.68
Imam Ali bin Abi Thalib juga menekankan Malik al-Aystar agar
lebih memperhatikan kesejahteraan para prajurit dan keluarga
mereka dan diharapkan berkomunikasi langsung dengan
masyarakat melalui pertemuan terbuka, terutama dengan orang-
orang miskin, orang-orang yang teraniaya dan para penyandang
cacat. Dalam surat tersebut, juga terdapat instruksi untuk melawan
korupsi dan penindasan, mengontrol pasar, dan memberantas para
tukang catut laba, penimbun barang, dan pasar gelap. Singkatnya,
surat itu menggambarkan kebijakan Imam Ali bin Abi Thalib yang
ternyata konsep-konsepnya tersebut dikutip secara luas dalam
administrasi publik.69
68 Naim Qassem, Blueprint Hizbullah Rahasia Manajemen Ormas Islam tersukses di Dunia,Terj. Ruslani, (Jakarta : Ufuk Press, 2008), Cet ke-I, h. 31-32
69 Ibid.
70
Top Related