1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan kondisi
wilayah daratan dan perairan yang luas dan kompleks, terbentang mulai dari Pulau
Sabang di Provinsi Aceh sampai dengan Kabupaten Merauke di Provinsi Papua.
Beberapa referensi memberikan data tentang jumlah pulau yang ada di Indonesia,
diantaranya Tuo (2011) dan Kodoatie (2012) yang menyatakan bahwa Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau kurang lebih 17.508 pulau.
Data tersebut telah terkoreksi, berdasarkan informasi terkini tentang jumlah
pulau yang telah terdaftar dan berkoordinat yang dimiliki oleh Indonesia sebagai
hasil kerja Tim Nasional Pembakuan Rupabumi Indonesia adalah sejumlah 13.466
pulau, terbentang mulai dari Sabang sampai dengan Merauke. Informasi tersebut
disampaikan pertama kali oleh Kepala Badan Informasi Geospasial Asep Karsidi
kepada Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Eka Pangestu, saat serah
terima perangkat pendukung infrastruktur informasi geospasial di Gedung Sapta
Pesona Kemenparekraf Jakarta, pada 7 Mei 2014. Selanjutnya dijelaskan oleh Asep
Karsidi, bahwa jumlah tersebut sudah diakui dunia internasional dan tercatat di PBB
melalui United Nations Group of Experts on Geographical Names (UN GEGN),
dimana Indonesia bergabung di dalamnya (www.bakosurtanal.go.id).
Dahuri, dkk (1996) menyatakan bahwa sebagai negara kepulauan terbesar,
Indonesia memiliki panjang garis pantai lebih dari 81.000 km serta luas laut sekitar
3,1 juta km2 sehingga wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara
dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia
2
dengan memiliki ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs)
dan padang lamun (sea grass beds).
Konvensi PBB yang disepakati pada tanggal 10 Desember 1982 dan tertuang
dalam Conclution of the United Nations Convention on the Law of the Sea (1982) Bab
IV pasal 46 mendeskripsikan negara kepulauan sebagai;
“archipelagic State means a State constituted wholly by one or more
archipelagos and may include other island”
“archipelago means a group of islands, including parts of islands,
interconnecting waters and other natural features which are so closely
interrelated that such islands, waters and other natural features form an
intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically
have been regarded as such”
Wilayah Indonesia secara geografis terdiri dari sekumpulan besar pulau-pulau
yang dihubungkan oleh perairan yang luas dan merupakan satu kesatuan geografis,
politik dan ekonomi. Masing-masing pulau tanpa memperhitungkan ukuran,
karakteristik maupun posisi geografis, pada dasarnya merupakan kumpulan dari
habitat-habitat yang membentuk lingkungan tempat hidup bagi biota dan juga
manusia dalam satu kesatuan ekosistem. Masing-masing ekosistem tersebut
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari ekosistem
nasional maupun ekosistem global. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,
Indonesia memiliki tantangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan ribuan pulau yang
tersebar di seluruh wilayahnya dengan karakteristik biogeofisik yang berbeda-beda.
Kodoatie (2012) juga menyebutkan bahwa dari seluruh pulau yang ada di
Indonesia, 5 pulau memiliki luas lebih dari 10.000 km2, 26 pulau memiliki luas
3
antara 2.000-10.000 km2 dan sisanya merupakan pulau dengan luas lebih kecil dari
2.000 km2 (pulau kecil dan sangat kecil). Delinom (2007) menambahkan bahwa
pulau-pulau yang ada di Indonesia didominasi oleh pulau kecil (luas kurang dari
2.000 km2) dan pulau sangat kecil (luas kurang dari 100 km2 dan atau memiliki
lebar kurang dari 3 km). Dengan demikian pengelolaan pulau-pulau kecil secara
lestari merupakan hal yang sangat penting di Indonesia karena lebih dari 90% pulau-
pulau yang dimiliki Indonesia merupakan pulau-pulau kecil.
Pengelolaan pulau-pulau kecil secara lestari tertuang dalam Undang-undang
Nomor 27 Tahun 2007 junto Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Undang-undang tersebut
menegaskan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan bagian dari
sumberdaya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan
dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang
maupun bagi generasi yang akan datang.
Dalam undang-undang ini juga ditegaskan bahwa wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil memiliki keragaman potensi sumberdaya alam yang tinggi, dan sangat
penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga
kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan
berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan
tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional.
Pulau-pulau kecil didefinisikan sebagai pulau dengan luas 10.000 km2 atau
kurang dan mempunyai penduduk 500.000 orang atau kurang (Beler et al., 1990)
(UNESCO, 1991), Pada perkembangan selanjutnya menjadi pulau yang luasnya
4
5.000 km2, kemudian turun lagi menjadi pulau yang luasnya kurang dari 2.000 km2
(Tresnadi, 1998). Sedangkan batasan pulau sangat kecil adalah pulau yang
mempunyai luas kurang dari 100 km2 atau pulau yang memiliki lebar kurang dari 3
km (Falkland, 1992). Dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 dinyatakan
bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2
(dua ribu kilo meter persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.
Menurut Sitaniapessy (2002) beberapa karakteristik pulau-pulau kecil yang
perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan perencanaan pembangunan
adalah; 1) rentan terhadap pemanasan global yang mengakibatkan naiknya
permukaan air laut, sehingga luas daratan makin berkurang 2) mempunyai Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang cukup luas, sehingga wilayah perairan merupakan
daya dukung utama pembangunan wilayah 3) mempunyai sumberdaya alam yang
terbatas dan umumnya telah mengalami eksploitasi secara berlebihan 4) peka
terhadap bencana alam seperti vulkanisme, gempa bumi dan tsunami 5) umumnya
terisolasi dan jauh dari pasar utama 6) terbuka untuk sistem ekonomi skala kecil,
namun sangat peka terhadap kejutan pasar dari luar dalam skala yang lebih besar 7)
mempunyai laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan menyebar tidak merata
dengan kepadatan tinggi 8) mempunyai infrastruktur yang terbatas, dan 9)
pendidikan dan keterampilan penduduknya terbatas serta kepercayaan terhadap hal-
hal mistis cukup kuat.
Pulau-pulau kecil juga mempunyai karakeristik Daerah Aliran Sungai (DAS)
yang spesifik seperti panjang sungai yang relatif pendek sehingga kesempatan air
meresap ke dalam tanah juga berkurang, akibatnya banyak air hujan yang terbuang
ke laut. Di lain pihak, penduduk di pulau-pulau kecil makin berkembang sehingga
5
membutuhkan lahan untuk perumahan dan air bersih untuk kehidupan sehari-hari
(Gunawan, 2013). Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan sebaran pemukiman
memiliki implikasi yang relefan terhadap pemanenan air tanah. Upaya kebutuhan air
pada umumnya dilakukan dengan menggali sumur sehingga lama kelamaan akan
berakibat meningkatnya intrusi air laut ke daratan.
Salah satu pulau kecil di Indonesia yang telah mengalami perubahan sangat
pesat dalam satu dekade belakangan ini adalah Pulau Bintan, sebuah pulau kecil
terbesar di gugusan Kepulauan Riau. Pulau Bintan merupakan pusat pemerintahan
Provinsi Kepulauan Riau, bagian dari Free Trade Zone (FTZ) serta Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam, Bintan dan Karimun.
Disamping itu saat ini Pulau Bintan juga masih merupakan salah satu sentra
penambangan bauksit di Indonesia. Pulau Bintan merupakan salah satu kawasan
ekonomi khusus yang dikembangkan untuk kepentingan industri dan pariwisata.
Untuk kepentingan ekonomi, pelaksanaan FTZ di Pulau Bintan bertujuan
sebagai pintu gerbang bagi arus masuknya investasi, barang, dan jasa dari luar
negeri. Pulau Bintan juga berfungsi sebagai sentral pengembangan industri sarat
teknologi sebagai tempat pengumpulan dan penyaluran hasil produksi dari dan ke
seluruh wilayah Indonesia serta negara-negara lain dan menjadi pusat pelayanan lalu-
lintas kapal internasional (Anonim, 2009)
Pulau Bintan telah mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat
pesat di bidang industri, pariwisata dan demografi. Untuk kepentingan industri,
pemerintah menyediakan lahan seluas 4.000 Ha (3,4 % dari luas Pulau Bintan) dan
untuk kepentingan pariwisata pemerintah memberikan konsesi kepada swasta seluas
23.000 Ha (19,7% dari luas Pulau Bintan). Data Badan Pusat Statistik Tahun 2015
6
menunjukkan pertumbuhan jumlah penduduk di Kabupaten Bintan adalah 2,37 % per
tahun dengan kepadatan penduduk 88 jiwa/Km2, sementara itu laju pertumbuhan
penduduk kota tanjungpinang sebesar 2,54 % pertahun dengan kepadatan penduduk
822 jiwa/Km2. Data tersebut telah melampaui laju pertumbuhan penduduk Indonesia
secara keseluruhan yang hanya sebesar 1,49 % per tahun.
Gambar 1.1. Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2011-2013
(Sumber: http://kepri.bkkbn.go.id/) Dinamika pembangunan yang cukup kompleks dan tingkat pertumbuhan
penduduk yang tinggi sebagai dampak dari pembangunan Pulau Bintan berbasis
ekonomi juga memiliki efek negatif bagi lingkungan di Pulau Bintan. Analisis
spasial lahan kritis di Pulau Bintan pada tahun 2013 adalah 36.827 Ha (kriteria kritis
sampai sangat kritis) atau sekitar 31,45% dari total wilayah Pulau Bintan (BPDAS
Kepri, 2013). Sebaran lahan kritis tersebut dapat terus bertambah seiring dengan
pesatnya pembangunan infrastruktur di pulau tersebut.
Selain dampak negatif terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh
pembangunan infrastruktur perkotaan, masalah alih peruntukan kawasan dan
kegiatan pertambangan juga menjadi isu lingkungan yang perlu perhatian serius. Alih
peruntukan kawasan dan aktivitas penambangan merupakan penyumbang kerusakan
7
DAS di Pulau Bintan (Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan Provinsi
Kepulauan Riau, 2012). Peruntukan kawasan dimaksud beralih dari kawasan hutan
menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, perladangan dan sebagian dijadikan tempat
tinggal oleh masyarakat.
Kondisi DAS di Pulau Bintan digambarkan oleh hasil evaluasi klasifikasi
DAS yang dilaksanakan oleh Balai Pengelolaan DAS Kepulauan Riau pada Tahun
2014, dimana seluruh DAS di Pulau Bintan termasuk dalam klasifikasi dipulihkan.
Mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.60/Menhut-II/2014 tentang
kriteria penetapan klasifikasi Daerah Aliran Sungai, DAS dikelompokkan menjadi
dua klasifikasi, yaitu dipertahankan daya dukungnya dan dipulihkan daya
dukungnya. Klasifikasi DAS di Pulau Bintan disajikan pada Tabel 1.1 berikut.
Tabel 1.1. Klasifikasi DAS di Pulau Bintan
Sumber : Klasifikasi DAS BPDAS Kepri Tahun 2014
Permasalahan DAS di Pulau Bintan telah berdampak pada kawasan lainnya
seperti wilayah pesisir. Penelitian Tamtomo (2006) yang fokus pada analisis
kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dalam kerangka marine cadastre di
No. Nama DAS Skor Kinerja Klasfikasi1. Pekurang 100.50 dipulihkan2. Sumpai 103.00 dipulihkan3. Bintan 103.25 dipulihkan4. Anggus 103.25 dipulihkan5. Katubi 103.25 dipulihkan6. Cikolek 103.25 dipulihkan7. Gesik 103.75 dipulihkan8. Bulu 104.50 dipulihkan9. Kecil 104.50 dipulihkan10. Logo 105.75 dipulihkan11. Bong 106.00 dipulihkan12. Ekong 106.00 dipulihkan13. Sodo 108.00 dipulihkan14. Kijang 108.25 dipulihkan15. Kawal 108.25 dipulihkan16. Jang 113.75 dipulihkan17. Ular 114.75 dipulihkan
8
Pulau Bintan, menyimpulkan bahwa kebijakan pemanfaatan ruang dan pesisir di
Pulau Bintan saat ini menunjukkan Total Economic Value (TEV) yang negatif pada
kurun waktu untuk analisis sepuluh tahun yang akan datang (2005-2014). Hasil
tersebut dinyatakan dalam NPV (Net Present Value) = – Rp. 682.86; EIRR
(Economic Internal Rate of Return) = – 0.86%; dan Net B/C = 0.04. Selain itu
secara geoposisi Pulau Bintan sebagai kawasan Free Trade Zone (FTZ) dengan
penetapan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) bersama
Batam, dan Karimun akan berdampak pada arus migrasi penduduk.
Pembangunan tidak saja menghasilkan manfaat, melainkan juga membawa
risiko. Dalam usaha memperbaiki mutu hidup, harus dijaga agar kemampuan
lingkungan untuk mendukung kehidupan pada tingkat yang lebih tinggi tidak
menjadi rusak. Sebab kalau kerusakan terjadi, bukan perbaikan mutu hidup yang
akan dicapai, melainkan justru kemerosotan. Pembangunan yang demikian bersifat
tidak berkelanjutan (Soemarwoto O. , 2004).
Pemanfaatan sumberdaya tidak boleh mengorbankan hak pemenuhan
kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam perspektif konsep keberimbangan,
pendekatan pembangunan dituntut untuk memperhatikan keberimbangan dan
keadilan antar generasi (inter-generational equity). Konsep pendekatan
pembangunan yang berimbang tersebut selanjutnya dikenal sebagai pembangunan
berkelanjutan (sustainable development), yaitu suatu konsep pembangunan yang
dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang
akan datang (Rustiadi dkk, 2011).
Konsep pembangunan berkelanjutan juga dikenal dalam pengelolaan DAS.
Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar
9
sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di
DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa
lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS
(Departemen Kehutanan, 2008).
Prinsip dalam pengelolaan DAS adalah pengaturan tata guna lahan atau
pengoptimalan penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta
praktik lainnya yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indikator kunci
(ultimate indicator) kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran sungai pada titik
pengeluaran (outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik DAS adalah adanya
keterkaitan biofisik antara daerah hulu dengan daerah hilir melalui daur hidrologi
(Departemen Kehutanan, 2008).
Upaya pengelolaan DAS pada dasarnya harus merupakan bagian integral dari
pembangunan wilayah, karena berkepentingan langsung dengan pendayagunaan
sumberdaya alam, tanah dan air di wilayah tersebut secara rasional, optimal dan
berkelanjutan bagi pengembangan ekonomi wilayah. Karena pengelolaan DAS itu
bukanlah miniatur dari pembangunan wilayah, maka upaya pengelolaan DAS tidak
seharusnya digeneralisir tetapi perlu dilaksanakan menurut lokasi demi lokasi
ditinjau dari segi permasalahan, potensi, peluang dan kendala yang ada baik
sumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya (Santoso, 2012).
Dalam konsep kewilayahan, pulau kecil dan DAS di pulau kecil dapat
dipandang sebagai wilayah yang khusus (spesific region). Bintarto dan Hadisumarno
(1979) mengklasifikasikan spesific region sebagai klasifikasi wilayah yang menurut
kekhususannya merupakan daerah tunggal serta memiliki ciri-ciri geografi yang
khusus. Pulau kecil memiliki permasalahan, potensi, peluang dan kendala yang
10
berbeda jika dibandingkan dengan pulau kontinental. Dengan demikian diperlukan
konsep dan framework yang berbeda pada pengelolaan DAS di pulau kecil
dibandingkan dengan pengelolaan DAS di pulau kontinental. Jika dikaitkan dengan
pengelolaan DAS di Pulau Bintan, maka dibutuhkan konsep dan framework yang
berbeda dibanding dengan pengelolaan DAS di pulau-pulau kontinental seperti
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Pulau kecil tidak memiliki sungai dominan dan umumnya sumberdaya air
yang digunakan untuk kepentingan ekonomi berasal dari air tanah, dimana
ketersediaan air tanah tersebut secara eksklusif berasal dari air hujan. Ekosistem
DAS pulau kecil cenderung mengalami tekanan (pressures) yang lebih besar
dibandingkan ekosistem daratan atau pulau besar yang disebabkan oleh faktor isolasi
dan pengaruh ekosistem laut (Beukering dkk, 2007).
Pulau kecil merupakan ekosistem yang spesifik ditinjau dari aspek posisi
geografis, keragaman bentangalam, genesis, kerentanan, sumberdaya alam serta
socio culture. Perbedaan karakteristik pulau kecil yang spesifik menyebabkan
karakteristik DAS di pulau kecil berbeda dibandingkan dengan DAS di pulau
kontinental. Karena karakteristiknya yang spesifik maka pengelolaan DAS di pulau
kecil membutuhkan upaya dan pendekatan pengelolaan yang berbeda dibandingkan
DAS pada umumnya.
Pedoman pengelolaan DAS di Indonesia saat ini mengacu pada Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Untuk
kepentingan monitoring dan evaluasi mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.61/Menhut-II/2014 tentang Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Peraturan dan petunjuk di atas bersifat umum serta tidak membedakan
11
DAS berdasarkan karakteristik dan ekosistem tertentu, salah satunya adalah
ekosistem DAS pulau kecil .
Berdasarkan uraian di atas, pengelolaan DAS pulau kecil terutama Pulau
Bintan merupakan obyek kajian yang sangat menarik untuk diteliti. Dampak
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan berbasis ekonomi di Pulau Bintan
menimbulkan beberapa permasalahan DAS. Permasalahan DAS tersebut merupakan
indikator kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan di Pulau Bintan.
1.2 Permasalahan Penelitian
Air telah menjadi permasalahan utama kehidupan manusia selama berabad-
abad. Manusia telah berusaha mengontrol kuantitas dan kualitas air sejak ribuan
tahun yang lalu. Catatan tentang permasalahan air telah ada sejak 4.500 tahun yang
lalu di kota-kota Mesopotamia yaitu Lagash dan Umma (McDonald dan Kay, 1988).
Bonnin (1988) dalam (Heathcote, 1998) mencatat bahwa Tahun 1989 merupakan
tahun ke 2.000 lahirnya keputusan Roma (senatus consultus) yang isinya dalam
bahasa Romawi kuno menyatakan:
Ne quis aquam oletuto dolo maio ubi publice saliet si quis oletarit sestertiorum x mila mulsa esto
Artinya adalah bahwa siapa saja dilarang untuk mencemari pasokan air publik,
pelanggaran yang disengaja akan dihukum dengan denda 10.000 sestertium.
Sertertium merupakan mata urang perak pada saat itu.
Pada abad ke-19 dan terutama pada abad ke-20, pembangunan ekonomi di
banyak negara berlangsung dengan cepat dan sering mengabaikan seruan tentang
pengelolaan air. Optimisme tentang penggunaan teknologi dalam pembangunan
bendungan, pengolahan air limbah serta irigasi menjadi kekhawatiran atau bahkan
kepentingan utama dalam mengatasi kekurangan air. Pencemaran dipandang sebagai
12
konsekuensi tak terelakkan dari pembangunan, harga yang harus dibayar untuk
mencapai kemajuan ekonomi. Pada Tahun 1970-an pemerintah di seluruh dunia
mulai memahami dan kemudian membatasi penyalahgunaan sumberdaya air,
membangun legeslasi yang kuat tentang perlindungan lingkungan dengan struktur
administrasi yang efisien dan mengawasi penggunaan air (Heathcote, 1998).
Pada bulan Maret 1977, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mensponsori
sebuah konferensi tentang air di kota Mar del Plata, Argentina. Konferensi ini
dipandang oleh banyak peneliti sebagai peristiwa penting dalam pengelolaan air.
Konferensi ini menghasilkan empat rekomendasi tetang pengelolaan sumberdaya air
(Heathcote, 1998). Beberapa tahun setelah konferensi Mar del Plata muncul
terminologi watershed (daerah aliran sungai) yang dikemukakan oleh beberapa
penulis diantaranya Linsley (1980) dan Schramm (1980), dimana DAS dipandang
sebagai suatu sistem sungai, seluruh daratan pada basin atau catchment area dimana
air mengalir pada satu sistem sungai.
Penelitian dan pengembangan pengelolaan DAS telah dilakukan oleh banyak
pihak dan ahli di dunia. Penelitian oleh Raphael Zon, seorang imigran Rusia pada
Grande National Forest of Wagon Wheel Gap Colorado pada Tahun 1910 sampai
1926 tercatat sebagai penelitian pertama tentang DAS. Raphael Zon merupakan
seorang profesional yang dipekerjakan oleh Gifford Pinchot, rimbawan profesional
pertama pada Biro Kehutanan Amerika Serikat . Penelitian Zon pada DAS kecil
bekas eksploitasi hutan menunjukkan adanya perubahan pada aliran sungai (Glasser,
2004).
Sedell, dkk (2000) dalam Edwards, dkk (2015) menyatakan bahwa banyak
tulisan tentang DAS di Amerika lebih fokus pada ekosistem hutan, hal ini disebabkan
13
karena 80% sumber air bersih di negara tersebut berasal dari kawasan hutan.
Edwards, dkk (2015) juga menyatakan bahwa terdapat beberapa penulis tentang DAS
yang fokus pada kawasan rawa seperti Verry (1997, 1981), Sun, dkk (2001) and Xu,
dkk (2002),
Program-program yang berhubungan dengan pengelolaan DAS juga dimulai
di India pada awal Tahun 1970an (Wani dan Garg, 2009). Program tersebut fokus
pada permasalahan air dan tanah pada lahan pertanian di India. Tujuan utama dari
program tersebut adalah meningkatkan hasil tanaman dan kesejahteraan penduduk di
wilayah DAS.
Sejarah pengelolaan DAS di Indonesia juga tidak lepas dari aspek
ketergangguan ekosistem dan bencana. Peristiwa banjir besar Bengawan Solo pada
Tahun 1966 menjadi awal kesadaran multi pihak akan pentingnya pengelolaan DAS
di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Pengelolaan DAS pada skala kegiatan diawali
dengan proyek penghijauan Departemen Pertanian pada Tahun 1969 yang
dilanjutkan dengan proyek upper Solo watershed management and upland
development project sampai dengan Tahun 1978 bekerja sama dengan FAO.
Pada skala kebijakan nasional, Pengelolaan DAS tercantum dalam GBHN
Tahun 1988 (Repelita V) yang menyatakan bahwa rehabilitasi sumberdaya alam
perlu terus ditingkatkan melalui pendekatan terpadu pengelolaan daerah aliran sungai
(DAS) dan wilayah. Dalam hal ini perlu makin ditingkatkan dan disempurnakan
upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis, konservasi tanah, rehabilitasi sungai, danau,
rawa, hutan bakau, karang laut serta pengembalian fungsi DAS (Santoso H. , 2012).
Sampai dengan saat ini konsep dan praktik pengelolaan DAS banyak
berkembang di pulau-pulau besar atau pulau kontinental. Konsep pengelolaan DAS
14
di pulau kecil belum menjadi wacana banyak pihak. Rumusan pendekatan kompleks
wilayah dalam pengelolaan DAS di pulau kecil belum banyak diketengahkan oleh
para ahli. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan pulau kecil lebih fokus pada
aspek sumberdaya air, pencemaran, sumberdaya ekonomi, pesisir dan kerentanan
bencana (disaster vulnerability).
Sebagai tindak lanjut konferensi Rio de Janeiro (3-14 Juni 1992), United
Nations Conference on Environment and Development (UNCED) memprakarsai
terbentuknya Small Island Development States (SIDS) yang fokus pada program-
program dalam menghadapi kerentanan sosial, ekonomi dan lingkungan negara-
negara pulau dan kepulauan yang sedang berkembang. Indonesia tidak tergabung
dalam organisasi ini.
Salah satu action plan SIDS di bindang kepesisiran dan perairan laut adalah
pengembangan dan penguatan kapasitas hukum dan administrasi nasional dalam
pembangunan serta implementasi rencana dan strategi manajemen kepesisiran
terpadu pada DAS pesisir dan zona ekonomi ekslusif. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa wacana pengelolaan DAS di pulau kecil secara eksplisit sudah
menjadi perhatian dunia.
Di Indonesia wacana pengelolaan DAS pulau kecil belum mengemuka secara
luas. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan persentase pulau kecil lebih
dari 90% dari seluruh pulau yang dimiliki oleh Indonesia, maka wacana pengelolaan
DAS pulau kecil cukup layak untuk diangkat, apalagi mengingat beberapa pulau
kecil yang dimiliki indonesia termasuk dalam zona ekonomi khusus.
Pernyataan Sitaniapessy (2002) dapat disimpulkan bahwa pulau kecil
memiliki karakteristik yang berbeda dengan pulau besar yaitu 1) memiliki tingkat
15
kerentanan yang tinggi 2) biodiversitas yang rendah 3) sumberdaya alam yang
terbatas 4) sosial budaya dan ekonomi yang spesifik. Dimensi yang kecil
menyebabkan pulau kecil juga memiliki DAS yang kecil.
Di bidang penelitian, konsep pengelolaan DAS pulau kecil merupakan aspek
kajian yang sangat menarik, riset DAS pulau kecil dapat dikatagorikan sebagai
spesialisasi regional. Yunus (2010) menegaskan bahwa spesialisasi regional adalah
suatu bidang kajian yang menarik untuk dikembangkan contohnya adalah tema
wilayah atas dasar kondisi fisiografis seperti wilayah kepesisiran, wilayah dataran
tinggi, wilayah pegunungan lipatan dan lain sebagainya.
Pulau Bintan merupakan salah satu pulau kecil di Indonesia dengan
perkembangan pembangunan cukup pesat. Pulau Bintan merupakan pulau kecil
dengan aktivitas eksploitasi sumberdaya alam dan penggunaan ruang yang kompleks.
Dimulai dengan penambangan bauksit oleh pemerintahan Hindia Belanda pada tahun
1935 melalui perusahaan Naamloze Vennootschap Nederlandsch Indische Bauxit
Exploitatie Maatschappij. Setelah Indonesia merdeka dilanjutkan oleh perusahaan
Aneka Tambang pada tahun 1968.
Pulau Bintan menjadi salah satu kawasan ekonomi khusus melalui Undang-
Undang No. 36 Tahun 2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas dan PP No. 47 Tahun 2007 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Pulau Bintan. Sebagai salah satu kawasan ekonomi khusus,
pembangunan infrastruktur dan industri berkembang pesat di pulau ini.
Sebagai salah satu pulau kecil di Indonesia, laju pertumbuhan industri dan
pembangunan infrastruktur sebagai efek pemberlakuan kawasan ekonomi khusus
tersebut menimbulkan dampak lingkungan yang dengan cepat dapat dirasakan. Isu-
16
isu seperti degradasi lingkungan dan laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat
tidak dapat dipisahkan dari permasalahan DAS di pulau ini. Permasalahan DAS
sangat berpengaruh pada kinerja DAS dan pada akhirnya dapat menimbulkan ketidak
seimbangan ekosistem DAS.
Kementerian kehutanan telah merumuskan model penilaian kinerja DAS
sesuai tercantum dalam Permenhut nomor P.60/Menhut-II/2014 dan Permenhut
nomor P.61/Menhut-II/2014. Penilaian kinerja DAS dalam pedoman tersebut
digunakan dalam menyusun klasifikasi DAS di Indonesia serta untuk kepentingan
evaluasi DAS. Penggunaan model kinerja tersebut dipandang mampu
menggambarkan kondisi DAS secara utuh baik dari aspek biofisik maupun sosekbud
masyarakat dalam DAS.
Penggunaan model tersebut bersifat umum tanpa ada variabel yang
membedakan setiap DAS. Implementasi model kinerja DAS dalam memahami dan
mempelajari ekosistem DAS di pulau kecil perlu penyesuaian variabel sesuai dengan
karakteristik DAS di pulau kecil. Hasil penilaian kinerja DAS selanjutnya menjadi
dasar dalam menentukan strategi pengelolaan DAS di Pulau Bintan.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, selanjutnya dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Berdasarkan karakteristik, potensi dan permasalahannya bagaimanakah kinerja
DAS di Pulau Bintan?
2. Berdasarkan kinerjanya, bagaimanakah strategi dan kebijakan pengelolaan DAS
di Pulau Bintan?
17
3. Sebagai pertimbangan dalam pengelolaan DAS pulau kecil lainnya,
bagaimanakah pola hubungan antar DAS dan antar komponen DAS di Pulau
Bintan ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengevaluasi dan memetakan kinerja seluruh DAS di Pulau Bintan berdasarkan
karakteristik, potensi dan permasalahannya sebagai dasar penyusunan strategi
pengelolaan DAS Pulau Bintan.
2. Menyusun strategi pengelolaan DAS berdasarkan kinerja DAS di Pulau Bintan.
3. Memahami pola hubungan antar DAS di Pulau Bintan sebagai dasar
pertimbangan dalam pengelolaan DAS di pulau kecil.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk pemerintah, dunia usaha dan pengembangan
ilmu pengetahuan, yang dirinci sebagai berikut:
1. Pemerintah pusat dan daerah, sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan
pengelolaan DAS pulau kecil terutama di Pulau Bintan.
2. Masyarakat, sebagai referensi dalam pengelolaan lingkungan pulau berbasis
Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam rangka pembangunan berkelanjutan.
3. Pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam menemukenali berbagai
persoalan yang sangat kompleks seperti masalah-masalah lingkungan, cara
melakukan atau menyelidiki permasalahan secara holistik dan sistematis
khususnya pada aspek pengelolaan DAS di pulau kecil.
1.5 Keaslian dan Pentingnya Penelitian
Berbagai hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pengelolaan pulau
kecil dan DAS khususnya Pulau Bintan telah banyak dilakukan, baik di dalam negeri
18
maupun diluar negeri. Pengumpulan hasil-hasil penelitian atau literatur terkait dalam
rangka membangun state of art dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa belum
terdapat penelitian yang spesifik dan fokus pada pengelolaan pulau kecil berbasis
DAS. Berdasarkan relevansi, substansi dan kemutakhiran penelitian, maka keaslian
konsep penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Konsep dan implementasi pengelolaan pulau kecil masih bersifat parsial,
tergantung kepentingan dan sektor. Konsep pengelolaan DAS juga masih bersifat
umum, terutama di Indonesia. Belum pernah ada kajian pengelolaan pulau kecil
dengan pendekatan kompleks wilayah berdasarkan kinerja DAS. Kajian
pengelolaan pulau kecil pada umumnya fokus pada aspek sumberdaya air,
pencemaran, sumberdaya ekonomi, pesisir dan kerentanan bencana (disaster
vulnerability) seperti yang dinyatakan oleh UNEP (2014), Philips (2014), Silbert
(2011), Bengen, dkk (2012), Sitaniapessy (2002) Retraubun (2001), Kelman
(2005) dan banyak ahli lainnya.
2. Dalam konsep pengelolaan DAS, belum banyak kajian pengelolaan DAS yang
fokus pada wilayah pulau kecil, umumnya merupakan kajian pengelolaan DAS di
pulau-pulau besar seperti yang dinyatakan oleh Linsley (1980), Asdak (2004),
Senawi (2007), Mawardi (2010), Edwards, dkk (2015), Santoso (2012) dan
banyak ahli lainnya. Disisi lain kebutuhan kajian pengelolaan DAS di pulau kecil
sebagaimana tertuang dalam program kerja SIDS dan program pengelolaan DAS
di Indonesia sangat diperlukan (Pramono, dkk 2015), mengingat karakteristik
pulau kecil yang spesifik dan dapat diklasifikasikan sebagai specific region.
Untuk itu peneliti akan berusaha melakukan kajian pengelolaan pulau kecil
dengan berdasarkan kinerja DAS. Kendala-kendala dalam analisis strategi
19
pengelolaan pulau kecil dengan pendekatan kompleks wilayah seperti pada kajian
ini akan dupayakan dengan penggunaan Spacial Multi Criteria Analysis (SMCA).
Berdasarkan lokus penelitian, upaya pengumpulan hasil-hasil penelitian
terdahulu di Pulau Bintan menyimpulkan bahwa belum terdapat penelitian yang
spesifik dan fokus pada pengelolaan Pulau Bintan berbasis DAS. Petikan beberapa
penelitian terdahulu pada berbagai aspek terkait pengelolaan Pulau Bintan dapat
dideskripsikan sebagai berikut:
1. Penelitian tamtomo (2006) tentang kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut
dalam kerangka “Marine Cadastre” (studi kasus di wilayah Pulau Bintan,
Kabupaten Kepulauan Riau). Penelitian ini menyarankan tentang mendesaknya
pengadministrasian sistem tenurial wilayah pesisir dan laut berbasis konsep
“marine cadastre”, khususnya ditinjau dari aspek legal dan kelembagaan, serta
dalam aspek ekonomi sumberdaya dan lingkungan dalam bentuk-bentuk “the
bundle of rights”
2. Penelitian Partini (2009) tentang efek sedimentasi terhadap terumbu karang di
pantai timur Kabupaten Bintan. Penelitian ini menghasilkan data tentang
persentase tutupan karang di pantai timur Pulau Bintan, klasifikasi laju
sedimentasi di wilayah penelitian serta korelasi antara laju sedimentasi terhadap
tutupan karang dan indeks mortalitas terumbu karang.
Rangkuman beberapa penelitian terkait pulau kecil dan pengelolaan DAS disajikan
pada Tabel 1.2 dengan diagram kedudukan dan keaslian penelitian disajikan
sebagaimana Gambar 1.2.
20
Tabel 1.2. Keaslian Penelitian
No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Metoda Analisis Hasil1. Max Maanema (2003).
Model Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu).
(1) Menentukan parameter variabel lingkungan yang berpengaruh terhadap penurunan kualitas perairan, pengelompokan wilayah perairan sesuai kemiripan parameter variabel lingkungan. (2) Memformulasikan alternatif skenario pembangunan optimal berkelanjutan.(3) Menentukan model pemanfaatan gugus Pulau Pari yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, (4) Penataan pemanfaatan ruang yang baik dengan memperhatikan keterpaduan ekologis.
Analisis Komponen Utama (Principal Conzponent Analysis/PCA).
(I) Tidak terdapat parameter variabel lingkungan yang dominan berpengaruh (2) Model pemanfaatan pariwisata pantai di Pulau Burung dan Pulau Kongsi (3) Skenario pembangunan optimal.(4) Model Penataan pemanfaatan ruang.
2. Johanes P. Tamtomo (2006)Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Dalam Kerangka “Marine Cadastre” (Studi Kasus di Wilayah Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau).
Melakukan analisis kebijakan serta mendesain pemanfaatan ruang pesisir dan laut berbasis konsep “marine cadastre ” sehingga dapat dicapai pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang berkelanjutan
Analisis kebijakan publik menggabungkan lima prosedur dalam satu langkah, dimulai dari analisis spasial, analisis prioritasi dan realisasi kebijakan, riset persepsional konsep “marine cadastre ”, TEV kebijakan eksisting, dan TEV kebijakan dalam kerangka “marine cadastre ” dalam skema analisis “ex-post Ф ex-ante ” kebijakan publik.
Penelitian ini menyarankan tentang mendesaknya pengadministrasian sistem tenurial wilayah pesisir dan laut berbasis konsep “marine cadastre ”, khususnya ditinjau dari aspek legal dan kelembagaan, serta dalam aspek ekonomi sumberdaya dan lingkungan dalam bentuk-bentuk “the bundle of rights ”.
21
No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Metoda Analisis Hasil3. Muh. Yusuf (2007)
Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Kawasan Taman Nasional Karimun Jawa secara berkelanjutan
(1) menentukan kesesuaian lahan kawasan Taman Nasional Karimunjawa bagi peruntukan wisata bahari, budidaya ikan kerapu, budidaya rumput laut, budidaya teripang, dan konservasi hutan mangrove (2) menyusun alternatif zonasi baru (zonasi ulang) kawasan Taman Nasional Karimunjawa berdasarkan kriteria ekologi, ekonomi, sosial, dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat serta diintegrasikan dengan kesesuaian lahan (lingkungan), (3) menentukan prioritas strategi kebijakan dalam pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa.
Pengumpulan data sosekbud dan kebijakan secara partisipatoris dengan pendekatan PCRA dengan cara FGD melalui teknik wawancara; sedangkan data biogeofisik dikumpulkan melalui survei lapang. Metoda analisis data terdiri dari analisis spasial dengan menggunakan alat SIG, analisis kesesuaian lahan (lingkungan), analisis zonasi dengan menggunakan kriteria ekologi, ekonomi dan sosial yang diintegrasikan dengan hasil analisis kesesuaian lahan (lingkungan), dan usulan masyarakat. Selanjutnya, dilakukan analisis kebijakan dengan pendekatan A’WOT yaitu integrasi antara AHP dan SWOT.
Kesesuaian lahan bagi peruntukan wisata bahari, wisata pantai, budidaya ikan kerapu, dan budidaya rumput laut. Hasil analisis penentuan zonasi dibagi ke dalam 4 zona, yaitu zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona rehabilitasi. Diperolehnya tiga strategi kebijakan dalam pengelolaan Karimunjawa.
4. Partini (2009)Efek Sedimentasi Terhadap Terumbu Karang di Pantai Timur Kabupaten Bintan
1) Mengkaji komunitas terumbu karang; 2) Menghitung laju sedimentasi di ekosistem terumbu karang; dan 3) Menganalisis hubungan dan pengaruh laju sedimentasi terhadap komunitas terumbu karang.
Metode transek kuadarat untuk pengamatan terumbu karang, penggunaan software image-J untuk Analisis photo dan pengamatan laju sedimen.
Persentase tutupan karang di pantai timur Pulau Bintan, Klasifikasi laju sedimentasi di wilayah penelitian serta korelasi antara laju sedimentasi terhadap tutupan karang dan indeks mortalitas.
5. Muhammad Rasman Manafi (2010)Rancangbangun Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berbasis Pemanfaatan Ruang (Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi)
1.Menganalisis masalah pemanfaatan ruang GPK2. Menduga kesesuaian lahan dan daya dukung di GPK.3. Mengoptimasi pola pemanfaatan ruang GPK. 4. Mevaluasi nilai ekonomi total sumberdaya di GPK.
1)Analisis kesesuaian lahan dan daya dukung ekologis, 2)Valuasi ekonomi sumberdaya (mangrove dan terumbu karang)
Pola pemanfaatan ruang Pulau Kaledupa.
22
No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Metoda Analisis Hasil6. Yar Johan (2011)
Pengembangan Wisata Bahari Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Berbasis Ekologi: Studi Kasus Pulau Sebesi Provinsi Lampung
1). Mengkaji kesesuaian kawasan Pulau Sebesi untuk kegiatan wisata bahari berbasis ekologi kategori diving dan snorkling , 2). enganalisis daya dukung (carryng capacity ) kawasan Pulau Sebesi untuk kegiatan wisata bahari berbasis ekologi, dan 3). Menentukan arahan strategi dan kebijakan dalam pengembangan wisata bahari berbasis ekologi di Pulau Sebesi.
Metode Line Intercept Transect (LIT) untuk penentuan kondisi tutupan komunitas karang. Data ikan karang diperoleh dengan metode Underwater Visual Census (UVC) pada transek terumbu karang yang sama yaitu metode untuk mengidentifikasi ikan karang melalui pengamatan terhadap ikan-ikan karang yang ditemukan pada jarak 2.5 meter ke kiri dan kanan di garis transek
Kesesuaian kawasan wisata bahari untuk kategori diving pada Pulau Umang dan Segenom. Kategori snorkling di Bangunan, Regan Lada dan Sianas. Daya dukung (carryng capacity ) kawasan wisata bahari Arahan strategi dan kebijakan dalam pengembangan wisata bahari Pulau Sebesi. Peningkatan SDM, Pemberdayaan Masyarakat, Upaya pencegahan kerusakan terumbu karang, Pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang secara optimal.
7. Megan Elizabeth Silbert (2011)Small Island Economic Vulnerability To Natural Disasters
Mengkaji kerentanan pulau kecil terhadap risiko bencana alam. Secara khusus menganalisis dampak yang berbeda akibat bencana alam di negara pulau dan rumah tangga di negara tersebut dalam menghadapi frekuensi bencana alam yang meningkat dalam waktu yang panjang.
Fokus pada penelitian pulau kecil, menggunakan pendekatan kerentaan bencana alam untuk mengesplorasi perbedaan kedapatan, risiko dan akses terhadap sumber daya yang memungkinkan dapat menyebabkan bertambahnya nilai kerugian akibat bencana alam. Analisis menggunakan Negative binomial regression.
Penelitian ini memberikan wawasan tentang hubungan antara pembangunan ekonomi dan risiko bencana alam dengan mengkaji hubungan antara kedapatan risiko, asuransi diri, dan tingkat kekayaan.
8. Adriman (2012)Desain Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan Di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau.
(1) menganalisis kondisi terumbu karang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya;(2) menganalisis indeks dan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang; (3) mengidentifikasi pengelolaan saat ini dan menyusun skenario strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan; dan (4) membangun strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan.
Analisis Komponen Utama (PCA), Metode Pendekatan Multi Dimensional Scaling (MDS), dan analisis prospektif.
Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang untuk dimensi ekolog, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan. Faktor-faktor kunci yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur, strategi implementasi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur
23
No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Metoda Analisis Hasil9. Senawi (2007)
Pemodelan Spasial Ekologis Untuk Optimalisasi Penggunaan Lahan DAS (Kasus di DAS Solo hulu)
(1) Identifikasi karakteristik biogeofisik bentanglahan dan pemodelan spasial ekologis lahan yang representatif untuk evaluasi lahan dalam optimalisasi lahan penggunaan DAS(2) Mengkaji kesesuaian spasial ekologis bentuk penggunaan lahan aktual terhadap arahan fungsi kawasan dan kelas kemampuan lahan DAS(3) Mengkaji dampak penggunaan lahan aktual terhadap erosi tanah dan degradasi lahan, koefisien aliran permukaan dan indeks kekeringan DAS(4) Menghitung nilai faktor konversi bentuk penggunaan lahan untuk mengestimasi nilai erosi tanah permukaan, koefisien aliran permukaan, dan indeks kekerigan berdasarkan genesis geomorfologi bentanglahan DAS
Pemodelan spasial ekologis bentanglahan dengan pendekatan genesis geomorfologi bentuklahan, arahan fungsi kawasan,kemampuan lahan, perhitungan erosi (USLE), perhitungan neraca air dan optimalisasi penggunaan lahan melalui pemodelan linear programming menggunakan program QSB+
(1) Penggunaan lahan aktual terbukti banyak yang tidak sesuai dengan karakteristik dan potensi biogeofisik DAS(2) Lahan hutan terbukti memiliki kemampuan pengendalian tata air dan erosi tanah paling baik dibanding penggunaan lahan yang lain.(3) Kebutuhan luas hutan optimal setiap DAS tidak sama tergantung genesis geomorfologi bentuk lahan, kepekaan tanah,kemiringan lahan dan komposisi penggunaan lahan yang lain.
9. Sulthani Aziz (2015)Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Pulau Kecil di Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau.
(1) Mengkaji potensi dan permasalahan DAS di Pulau Bintan sebagai dasar penyusunan kinerja DAS Pulau Bintan.(2) Mengevaluasi dan memetakan model kinerja DAS Pulau Bintan berdasarkan potensi dan permasalahannya sebagai dasar penyusunan strategi pengelolaan DAS Pulau kecil. (3) Menyusun strategi dan kebijakan pengelolaan DAS di Pulau Bintan sebagai model pengelolaan DAS Pulau Kecil
Metode survei, Analisis potensi lahan dengan LCLP (Landuse Classification and Landuse Planning), Geowepp, Pendekatan Kinerja DAS dan Spasial Multi Criteria Analysis
Sedang dilaksanakan
Top Related