1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Penelitian ini merupakan penelitian tentang tindakan mengancam muka
dan responsnya. Yang dimaksud dengan tindakan mengancam muka dalam
penelitian ini adalah tindakan yang dapat menjatuhkan harga diri seseorang.
Tindakan tersebut mengakibatkan adanya respons dari orang tersebut untuk
menyelamatkan harga dirinya. Penelitian ini penting karena harga diri merupakan
kebutuhan dasar yang diinginkan manusia setelah kebutuhan psikis yang lain,
seperti rasa aman dan cinta, di samping kebutuhan fisik/biologis (Ryckman,
2008:422—426). Manusia akan selalu mempertahankan harga diri dan
menyelamatkan harga diri ketika dia terancam oleh pihak lain. Tindakan
mengancam muka dapat terjadi dalam proses komunikasi. Bahasa memegang
peranan penting dalam komunikasi.
Tindakan mengancam muka (TMM) disebut juga dengan face-
threatening acts. TMM merupakan suatu bentuk tuturan yang mengancam nama
baik pihak lain, menghalangi keinginan pihak lain, membatasi kebebasan orang
lain, bahkan menjatuhkan harga diri pihak lain. Di dalam komunikasi, masing-
masing penutur harus menghormati nama baik atau harga diri pihak lain. Oleh
karena itu, tindak tutur TMM harus sedemikian mungkin dihindari karena dapat
merugikan bahkan menjatuhkan harga diri lawan tutur.
1
2
Faktanya, TMM tidak selalu dapat dihindari. Terkadang, pihak satu
(selanjutnya disebut P1) dapat mengancam muka pihak lain (selanjutnya disebut
P2), misalnya, dengan cara menanyakan hal-hal negatif yang berkaitan dengan
diri lawan tutur. Berikut merupakan salah satu contoh adanya tindak ancaman
muka oleh P1 dan respons dari P2. Dialog berikut diambil dari “Kabar Petang” di
TVOne dengan judul dialog “Nikah Kilat Bupati”.
1) P1 : “Bagaimana mengurus rakyat banyak kalau mengurus
rumah tangga saja belum bisa?”
P2 : “Ya terima kasih. Saya sangat sadar betul saya bukan
manusia sempurna, saya bukan manusia superior (…) Tadi
disampaikan saya seolah olah sebagai penjahat, saya katakan
ini bagian dari kepentingan politik, tapi itu hanya tahu di
permukaan. Yang tahu persis bahwa itu adalah saya sendiri.”
(14/KP/021212/NKB/001)
Dialog tersebut merupakan dialog antara P1 (pemandu acara) dan P2
(narasumber: Aceng Fikri, mantan Bupati Garut). Konteks pembicaraan dalam
dialog tersebut adalah persoalan Aceng, yang pada waktu itu masih menjabat
sebagai bupati, menikah dan setelah empat hari menikah, istrinya tersebut
diceraikan. Dalam dialog di atas, P1 melakukan TMM dengan memberikan
penilaian negatif terhadap hal yang dilakukan P2. P1 menganggap bahwa P2
(sebagai bupati) tidak dapat mengurus rakyatnya. Mendapat ancaman demikian,
P2 merespons dengan merendahkan diri dan mengakui bahwa dirinya bukan
manusia sempurna yang luput dari salah dan dosa. Tuturan P2 tersebut bermakna
tidak literal karena terdapat maksud bahwa P2 berharap masyarakat dapat
memaklumi kesalahannya.
Selain contoh di atas, terdapat berbagai tindak mengancam muka dan
respons yang lain karena hal tersebut sering terjadi dalam komunikasi. Hal yang
3
menarik adalah keadaan tersebut ada dalam talkshow yang ditayangkan di televisi,
sehingga pihak terancam akan mencari berbagai cara untuk merespons agar dapat
menyelamatkan harga dirinya. Strategi tersebut tentu tidak terlepas dari faktor-
faktor luar bahasa, misalnya latar belakang sosial, budaya, ekonomi penutur,
kedudukan penutur di masyarakat, dan situasi ketika terancam. TMM dan respons
tersebut dapat ditinjau dari kajian pragmatik dan sosiolinguistik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat tiga rumusan masalah dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Apa saja bentuk-bentuk TMM?
2. Apa saja bentuk-bentuk respons terhadap TMM?
3. Mengapa muncul bentuk-bentuk TMM dan respons yang berbeda-beda?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan di atas, terdapat tiga tujuan dalam penelitian ini,
yaitu:
1. memaparkan bentuk-bentuk TMM,
2. memaparkan bentuk-bentuk respons terhadap TMM,
3. menjelaskan faktor-faktor penyebab munculnya bentuk-bentuk TMM dan
respons yang berbeda-beda.
4
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis
maupun praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
salah satu inventaris kajian pragmatik dan sosiolinguistik, terutama tentang
kesantunan berbahasa. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan terhadap masyarakat Indonesia umum dalam hal mengancam muka
dan meresponsnya. Seharusnya, dalam berkomunikasi, kita harus berusaha untuk
tidak mengancam muka orang lain. Akan tetapi, dalam kondisi dan tujuan
tertentu, tindakan tersebut dapat dibenarkan, misalnya ketika menginterogasi
seorang tersangka untuk mendapat keterangan yang lengkap. Ketika mendapat
TMM yang dapat menjatuhkan harga diri, diperlukan respons untuk
menyelamatkan harga diri. Kedua tindakan tersebut seharusnya dituturkan dengan
cara yang baik dan santun. Hal tersebut merupakan upaya dalam menjaga
hubungan antarsesama, terutama dalam komunikasi. Selain itu, hal tersebut
merupakan wujud refleksi untuk menjadikan diri penulis, khususnya, dan diri
masyarakat Indonesia umumnya menjadi pribadi yang lebih baik dalam kehidupan
bermasyarakat, utamanya dalam berkomunikasi.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam ranah kajian pragmatik dalam aspek
kesantunan berbahasa, khususnya tindakan mengancam muka. Posisi penelitian
ini terhadap kajian pragmatik adalah melengkapi kajian pragmatik mengenai
tindakan mengancam muka; bahwa selama ini TMM seharusnya dihindari, dalam
5
penelitian ini TMM justru digunakan sebagai karakteristik talkshow di televisi
yang mengangkat topik-topik atau permasalahan di Indonesia.
Dalam kajian pragmatik, terdapat pembahasan prinsip kesopanan. Salah
satu teori dalam prinsip kesopanan adalah teori face-threatening acts (tindakan
mengancam muka) dari Brown dan Levinson atau yang disebut TMM, yang di
dalamnya terdapat konsep „muka‟. Teori tersebut meliputi TMM dan responsnya.
Untuk mendukung analisis, digunakan kajian sosiolinguistik. Dalam kajian
sosiolinguistik, terdapat teori mengenai komponen tutur SPEAKING dari Dell
Hymes yang dapat digunakan untuk mengkaji faktor yang menyebabkan
munculnya bentuk-bentuk TMM dan responsnya.
Ruang lingkup yang kedua terkait bahan, data, dan objek penelitian.
Bahan penelitian ini adalah dialog-dialog yang diindikasikan memuat adanya
TMM dan responsnya. Dialog diambil dari talkshow “Mata Najwa” dan “Prime
Time” yang tayang di Metro TV, serta “Suara Anda” dan “Kabar Petang” yang
tayang di TV One. Dari dialog-dialog dalam beberapa episode dan segmen,
diambil data berupa tuturan yang berisi TMM dan responsnya.
Pengumpulan bahan penelitian dilakukan mulai Januari 2015 sampai
Maret 2015. Video-video tersebut diunduh dari youtube.com. Terdapat 15 video
yang dijadikan bahan. Dari video-video tersebut, berhasil ditranskripsi 252 dialog.
Dari 252 dialog tersebut, terdapat 157 dialog yang berisi tuturan TMM. Untuk
keperluan analisis, diambil 52 sampel yang dapat mewakili masing-masing ciri
khas data.
6
1.6 Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa penelitian terkait kesantunan berbahasa. Penelitian-
penelitian yang telah dilakukan lebih sering meneliti cara orang memperlakukan
orang lain, termasuk cara menyelamatkan muka orang lain, sementara penelitian
ini berkaitan dengan tindakan yang justru mengancam muka orang lain. Penelitian
ini mengambil lima tinjauan pustaka yang paling dekat dengan objek penelitian.
Dari kelima tinjauan pustaka tersebut, belum ada penelitian terkait TMM dan
responsnya dalam talkshow di televisi. Kelima penelitian yang sudah dilakukan di
atas dapat menjadi acuan pengerjaan penelitian ini mengenai strategi kesopanan
dalam berbahasa.
Kelima tinjauan tersebut adalah penelitian yang berupa skripsi maupun
disertasi yang dilakukan oleh Nadar (2006), Amaroh (2010), Amaliah (2011),
Sundus (2012), dan Yuni (2013). Nadar membahas realisasi strategi kesopanan
untuk penolakan dalam tuturan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Amaroh
mengulas jenis tindak tutur yang mengancam muka dan strategi kesantunanya.
Amaliah meneliti kesantunan narasumber dan pembawa acara dalam dialog
“Suara Anda”. Sundus melakukan penelitian terkait TMM dan menyimpulkan
bahwa strategi TMM dapat mengurangi derajat keburukan Chelsea akibat
kekalahan. Yuni melakukan penelitian terkait kesantunan berbahasa dalam “Mata
Najwa”.
Secara lebih terperinci, kelima penelitian tersebut dipaparkan sebagai
berikut. Nadar (2006) melakukan penelitian terkait kesantunan berbahasa dalam
disertasinya yang berjudul “Penolakan dalam Bahasa Inggris dan Bahasa
7
Indonesia (Kajian Pragmatik tentang Realisasi Strategi Kesantunan Berbahasa)”.
Nadar menemukan adanya perbedaan dan persamaan cara menolak dalam bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia. Dengan merujuk pada teori Brown dan Levinson
terkait strategi kesantunan, Nadar menyimpulkan persamaan cara menolak dalam
kedua bahasa tersebut adalah adanya strategi kesantunan berbahasa, yaitu
memberikan alasan, membuat penawaran, meminta maaf, dan berterima kasih.
Beberapa persamaan maupun perbedaan tersebut dipengaruhi faktor latar
belakang budaya, yaitu bahwa orang Indonesia cenderung kolektif dan orang
Inggris cenderung individualis.
Amaroh (2010) melakukan penelitian tindakan pengancaman muka
dalam skripsinya yang berjudul “Tindakan Pengancaman Muka dan Strategi
Kesantunan dalam Rubrik „Pembaca Menulis‟ di Harian Jawa Pos (Sebuah Kajian
Pragmatik)”. Penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu penelitian terhadap surat
aduan dan surat tanggapan. Hasil penelitian Amaroh mengenai surat aduan,
ditemukan ada delapan jenis tindak tutur yang mengancam muka negatif lawan
tutur, yaitu tindakan memerintah, meminta, memberi saran, memberi nasihat,
bertanya, menuntut, menagih janji, dan marah. Sementara itu, tindak tutur yang
mengancam muka positif lawan tutur ada empat, yaitu menuduh, mengeluh,
mengkritik, dan menghina. Dari surat tanggapan, ditemukan tiga jenis tindak tutur
yang mengancam muka negatif, yaitu ucapan terima kasih, pembelaan, dan
melakukan janji. Tindak tutur yang mengancam muka positif ada dua, yaitu
meminta maaf dan mengakui kesalahan. Cara pengaduan yang lebih efisien adalah
8
dengan cara lebih berterus terang tanpa berupaya menyelamatkan muka (Amaroh,
2010: 154).
Amaliah (2011) meneliti kesantunan berbahasa dalam dialog “Suara
Anda” di Metro TV. Hasil penelitian tersebut berupa skripsi dengan judul
“Strategi Bertutur Pemandu Acara dan Narasumber: Sebuah Analisis Kesantunan
Berbahasa dalam Program Dialog „Suara Anda‟ Metro”. Dari hasil penelitiannya,
Amaliah menyatakan bahwa strategi kesantunan yang sering digunakan pemandu
acara dan narasumber adalah strategi kesantunan positif substrategi menghindari
pertentangan dengan cara membatasi pendapat. Pembatasan pendapat tersebut
dilakukan sebagai penanda kehati-hatian atas tuturan yang diucapkan dan
berimplikasi terbangunnya citra positif di antara keduanya. Prinsip kerja sama
Grice dalam maksim kualitas dilanggar dengan tujuan menjaga hubungan sosial.
Sundus (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Sikap Menjaga Muka
dalam Laporan Pertandingan Kekalahan Chelsea dalam „Bridge Kids‟: Sebuah
Analisis Pragmatik” meneliti laporan pertandingan kekalahan Chelsea yang
dikhususkan untuk anak-anak. Simpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa
terdapat maksud-maksud terselubung yang bertujuan untuk melindungi muka
Chelsea akibat kekalahan yang didapat. Strategi bald on-record dan positive
redressive merupakan strategi yang dominan digunakan. Dengan menggunakan
strategi dalam teori face-threatening acts (FTA) derajat keburukan Chelsea akibat
kekalahan dapat dikurangi (Sundus, 2012:87).
Penelitian mengenai kesantunan berbahasa juga dilakukan oleh Yuni
(2013) dengan judul artikel “Kesantunan Berbahasa dalam „Mata Najwa‟
9
(Tinjauan Pragmatik)”. Yuni meneliti kesantunan berbahasa dari segi pembawa
acara, yaitu Najwa Shihab sebagai tuan rumah “Mata Najwa”. Dalam
simpulannya, Yuni menyebutkan ada lima kelompok tuturan yang dapat dikatakan
santun, yaitu tuturan yang (1) menunjukkan sikap menghormati mitra tutur, (2)
menunjukkan sikap peduli pada mitra tutur, (3) menunjukkan sikap menghormati
orang ketiga, (4) menunjukkan sikap rendah hati, dan (5) menunjukkan sikap
percaya pada mitra tutur.
Seperti yang telah disebutkan di atas, penelitian ini berbeda dengan
penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian-penelitian sebelumnya menggunakan
sudut pandang pihak pertama (P1) yang harus menaati prinsip kesopanan,
termasuk mengurangi kemungkinan mengancam muka atau menyelamatkan muka
pihak kedua (P2). Dalam penelitian ini, dicobalah sebuah analisis dari sudut
pandang yang berbeda; P1 melakukan TMM dan P2 harus meresponsnya untuk
menyelamatkan harga diri yang diancam oleh P1. Hal tersebut diharapkan dapat
menjadikan kajian pragmatik dan sosiolinguistik lebih komprehensif.
1.7 Landasan Teori
Sebelum membicarakan metode penelitian, perlu dipaparkan beberapa
landasan teori untuk menyelaraskan konsep antara penulis dan pembaca.
Penelitian ini termasuk dalam ranah kajian pragmatik dan sosiolinguistik. Dalam
kajian pragmatik, teori yang dipakai adalah teori dasar tindak tutur dalam
pragmatik dan teori tindakan mengancam muka dalam kesantunan berbahasa.
10
1.7.1 Kajian Pragmatik
Konsep-konsep dalam pragmatik merupakan konsep dasar yang akan
dijadikan pijakan utama dalam penelitian ini. Dalam proses komunikasi, penutur
dan lawan tutur sebaiknya dapat saling menghormati. Pragmatik merupakan
kajian eksternal bahasa. Kajian pragmatik tepat digunakan dalam penelitian ini
karena terdapat kondisi ancaman muka dan perlunya respons terhadap ancaman
muka tersebut. Hal tersebut merupakan salah satu contoh faktor eksternal yang
muncul dalam proses komunikasi.
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur
bahasa secara eksternal; bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam
komunikasi (Wijana dan Rohmadi, 2009:4). Pragmatik mempelajari faktor-faktor
yang menentukan pilihan berbahasa seseorang dalam interaksi sosial dan efek dari
pilihan tersebut terhadap orang lain (Crystal, 1941:120). Lebih spesifik lagi,
Leech (1993:ix) menyatakan bahwa pragmatik merupakan studi mengenai makna
tuturan dalam situasi-situasi tertentu. Situasi tersebut meliputi aspek penutur dan
lawan tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tuturan sebagai bentuk tindakan, dan
tuturan sebagai produk tindak verbal. Adanya konteks membuat analisis
pragmatik tidak mengenal istilah ambigu dan sinonim karena semua makna dapat
diketahui dari konteksnya (Purwo, 1990:13).
Pragmatik sering kali diperbandingkan dengan semantik. Perbedaan
yang mendasar adalah semantik mengkaji makna yang bebas konteks, sementara
pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks. Di dalam semantik, kita hanya
bertanya, “Apa artinya X?” sementara di dalam analisis pragmatik, kita bertanya,
11
“Apa yang Anda maksud dengan X?” (Leech, 1993:8). Oleh Charles Morris
(dalam Purwo, 1990:15) semantik diberi batasan sebagai telaah mengenai
hubungan formal di antara lambang dan objeknya, sedangkan pragmatik menelaah
hubungan di antara lambang dan penafsirnya. Satuan analisis pragmatik bukanlah
kalimat, melainkan tindak tutur (Purwo, 1994:84).
1.7.1.1 Teori Tindak Tutur (Speech Acts)
Tindak tutur merupakan wujud tuturan yang diucapkan penutur. Teori
tindak tutur (speech acts) ini perlu dipaparkan karena teori ini penting untuk
menentukan kekhasan TMM dan respons terhadap TMM. Dengan mengetahui
teori tindak tutur, dapat ditentukan bentuk-bentuk tindak tutur yang dapat
memberi efek ancaman muka sehingga dapat ditentukan bentuk tindak tutur
respons terhadap TMM.
Tindak tutur berbeda dengan kalimat. Satu tuturan dapat memberi
maksud dua atau lebih tindak tutur (Purwo, 1994:84). Ada delapan jenis tindak
tutur (dalam Wijana dan Rohmadi, 2009:27—40). Berikut adalah paparan dari
delapan jenis tindak tutur tersebut.
a. Tindak tutur langsung (La)
Tindak tutur langsung merupakan tindak tutur yang modus kalimatnya
sesuai dengan maksud tuturan tersebut diucapkan. Modus kalimat berita
digunakan untuk maksud memberitakan, modus kalimat bertanya digunakan untuk
maksud bertanya, dan modus kalimat perintah digunakan untuk maksud
memerintah.
12
b. Tindak tutur tidak langsung (TLa)
Tindak tutur tidak langsung merupakan tindak tutur yang modus
kalimatnya tidak sesuai dengan maksud tuturan tersebut diucapkan. Modus
kalimat berita digunakan untuk maksud bertanya atau memerintah, modus kalimat
bertanya digunakan untuk maksud memberitakan atau memerintah. Akan tetapi,
modus kalimat perintah tidak termasuk tindak tutur tidak langsung karena tidak
ada modus perintah yang digunakan untuk memberitakan atau bertanya.
c. Tindak tutur literal (Li)
Tindak tutur literal berarti tindak tutur yang makna kata-katanya sesuai
dengan maksud tuturan tersebut diucapkan. Kata bangga, misalnya, memiliki
makna „besar hati; merasa gagah‟ digunakan untuk maksud memberitakan bahwa
dirinya atau lawan tuturnya bangga dengan makna sesungguhnya.
d. Tindak tutur tidak literal (TLi)
Tindak tutur tidak literal berarti tindak tutur yang makna kata-katanya
tidak sesuai dengan maksud tuturan tersebut diucapkan. Kata bagus, misalnya,
memiliki makna sebenarnya „baik sekali; elok‟, tetapi digunakan dalam tuturan
dengan maksud menyindir atau berarti „buruk sekali‟.
e. Tindak tutur langsung literal (La-Li)
Ini merupakan jenis tindak tutur kombinasi. Tindak tutur langsung literal
berarti tindak tutur yang memiliki maksud sesuai dengan modus kalimatnya dan
maknanya sesuai dengan makna kata-kata yang dituturkan. Jika seseorang ingin
memerintah, dia akan menggunakan kalimat perintah dan kata-kata yang
bermakna perintah, merupakan salah satu contoh tindak tutur langsung literal.
13
f. Tindak tutur langsung tidak literal (La-TLi)
Tindak tutur langsung tidak literal berarti tindak tutur yang memiliki
maksud sesuai dengan modus kalimat, tetapi makna kata tidak sesuai dengan
maksud tuturan. Seseorang memerintah menggunakan kalimat perintah, tetapi
bukan dengan kata-kata yang bermakna sesuai perintah yang dimaksud.
g. Tindak tutur tidak langsung literal (TLa-Li)
Tindak tutur tidak langsung literal berarti tindak tutur yang modus
kalimatnya tidak sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang digunakan
sesuai dengan makna sebenarnya. Misalnya, seseorang ingin bertanya dengan
menggunakan kalimat berita, tetapi kata-kata yang digunakan memiliki makna
sebenarnya, bukan kiasan.
h. Tindak tutur tidak langsung tidak literal (TLa-TLi)
Tindak tutur tidak langsung tidak literal berarti tindak tutur yang modus
kalimatnya tidak sesuai dengan maksud tuturan sekaligus kata-kata yang
digunakan tidak sesuai dengan makna sebenarnya.
Dalam penelitian ini, didapatkan pola penggunaan tindak tutur. Tindak
tutur yang sering digunakan sebagai TMM adalah tindak tutur tidak langsung
literal (TLa-Li) dan langsung literal (La-Li). Sesuai paparan di atas, TLa-Li
merupakan tindak tutur yang tujuan tuturannya tidak sama dengan modus kalimat,
tetapi maknanya sama, misalnya, seseorang yang mengancam muka dengan
menanyakan kabar buruk dapat menggunakan modus kalimat pernyataan atau
sebaliknya. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi efek ancaman muka. Tindak
tutur lain yang digunakan adalah La-Li, misalnya, seseorang yang mengancam
14
muka dengan memberi tantangan langsung menggunakan kalimat perintah agar
lawan tutur melakukan tantangan. Tindak tutur La-Li lebih sedikit digunakan
daripada TLa-Li karena TLa-Li dianggap lebih sopan.
Dengan didapatkannya TMM, dapat diperoleh respons terhadap TMM.
Pola tindak tutur TMM yang dominan digunakan adalah Tla-Li. Sementara itu,
setelah dilakukan pengamtan, diperoleh pola bahwa bentuk tindak tutur dalam
respons terhadap TMM yang paling dominan adalah tindak tutur La-TLi.
1.7.1.2 Teori Kesantunan Berbahasa
Kesantunan merupakan hal yang penting dalam berkomunikasi. Brown
dan Levinson (dalam Rahardi, 2009:27) memberikan konsep bahwa pada
dasarnya kesantunan merupakan sebuah upaya penyelamatan muka. Di dalam
teori kesantunan berbahasa, terdapat teori face-threatening acts yang berhubungan
dengan tindak ancaman muka dan responsnya. Teori tersebut mendasari konsep
„muka‟, „ancaman muka‟, dan „respons terhadap ancaman muka.
Teori kesantunan berbahasa telah dirumuskan oleh beberapa pakar, di
antaranya Lakoff (1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978) dan Leech
(1983). Masing-masing pakar mendefiniskan prinsip kesantunan secara berbeda-
beda. Dalam penelitian ini, digunakan teori kesantunan bahasa yang dirumuskan
Brown dan Levinson karena dalam teorinya tersebut, mereka memaparkan konsep
tentang muka yang berkenaan dengan harga diri seseorang. Teori tersebut tepat
digunakan untuk menganalisi tindakan tuturan dalam talkshow di televisi. Muka di
sini berarti harga diri setiap orang yang harus dipertimbangkan oleh setiap peserta
pertuturan (Wijana dan Rohmadi, 2009:132). Yule (2006:102—120)
15
mengistilahkan muka dengan wajah yang memiliki arti wujud pribadi seseorang
dalam masyarakat; mengacu pada makna sosial dan emosional yang setiap orang
memiliki dan mengharapkan orang lain untuk mengetahui. Di dalam interaksi
sosial, penutur memiliki keinginan untuk dihormati karena mereka memiliki
konsep „muka‟ yang diartikan sebagai citra diri yang harus diperhatikan oleh
lawan tutur (Wijana dan Rohmadi, 2009:59).
Oleh Brown dan Levinson, muka dibagi menjadi dua, yaitu muka negatif
dan positif. Brown dan Levinson (1978:66) mendefinisikan muka negatif dan
positif sebagai berikut.
Negative face: the basic claims to territories, personal preserves, rights
to non-distraction, in example to freedom of action and freedom from
imposition.
Positive face: the positive consistent self-image or „personality‟
(crucially including the desire that this self-image be appreciated and
approved of) claimed by interactants.
Muka negatif berarti keinginan warga masyarakat agar tindakannya tidak
dihalang-halangi oleh pihak lain, muka positif berarti keinginan warga masyarakat
agar dirinya dapat diterima oleh pihak lain (Nadar, 2006:2). Muka positif
merupakan citra diri, ide-ide, atribut-atribut, milik, prestasi, yang dimiliki
seseorang dihargai atau diakui oleh lawan tuturnya sebagai hal yang baik (Purwo,
1994:90; Wijana dan Rohmadi, 2009:60). Muka positif juga berarti kebutuhan
untuk diterima, disukai orang lain, diperlakukan sebagai anggota dari kelompok
yang sama, dan mengetahui bahwa keinginannya dimiliki bersama dengan yang
lainnya (Yule, 2006:102—120). Muka negatif merupakan citra diri seseorang
yang ingin dihargai dengan cara dibiarkan bebas melakukan tindakan, keinginan
16
untuk tidak diejek, diserang, atau dihinakan oleh lawan tuturnya (Purwo, 1994:90;
Wijana dan Rohmadi, 2009: 60).
Pada praktiknya, teori Brown dan Levinson berfokus pada tindakan
mengancam muka dan strategi kesopanan untuk mengurangi ancaman muka
tersebut (Leech, 2014:33). Menurut Brown dan Levinson (dalam Purwo,
1994:90), sebuah tindak tutur dapat merupakan ancaman terhadap muka. Mereka
menyebutnya sebagai face-threatening act (FTA) atau tindakan mengancam muka.
Tindakan mengancam muka ialah jika seorang penutur mengatakan sesuatu yang
mengandung suatu ancaman terhadap harapan-harapan individu lain berkenaan
dengan nama baiknya sendiri (Yule, 2006:103). Tindakan yang tidak santun
adalah tindakan yang menghambat atau menghalangi keinginan dan kehendak
seseorang (Rahardi, 2009:27). Karena muka terdiri atas muka positif dan muka
negatif, tindakan yang melanggar muka dapat dibedakan menjadi dua. Nadar,
setelah mencermati konsep muka dari Brown dan Levinson, menguraikan bentuk-
bentuk tindakan yang melanggar muka positif dan muka negatif (dalam Rahardi,
2009:27).
Tindakan yang melanggar muka negatif adalah sebagai berikut.
(1) Ungkapan yang menunjukkan perintah dan permintaan, saran, nasihat,
peringatan, ancaman, tantangan; merupakan TMM yang dilakukan P1 untuk
menekan P2 melakukan sesuatu seperti yang diinginkan oleh P1, misalnya,
tindakan perintah“Tolong tutup pintu itu!”, tindakan saran “Sebaiknya
Anda menutup pintu itu,” tindakan ancaman, “Jika Anda ingin selamat,
tutup pintu itu!”
17
(2) Ungkapan tentang tawaran, janji; merupakan ungkapan yang menunjukkan
tindakan P1 yang menekan P2 untuk menerima atau menolak sesuatu,
misalnya, “Anda mau memesan menu A atau B?”
(3) Ungkapan tentang pujian, ungkapan perasaan negatif yang kuat seperti
kebencian dan kemarahan; merupakan ungkapan yang menunjukkan
tindakan P1 yang menginginkan sesuatu yang dimiliki P2 dan menginginkan
agar P2 memberikannya pada P1, misalnya, “Sepatu Anda bagus sekali,
seandainya saya dapat memilikinya.”
Tindakan yang melanggar muka positif adalah sebagai berikut. Masing-
masing bentuk TMM berikut diterangkan lebih terperinci pada bab selanjutnya
yang memaparkan bentuk-bentuk TMM beserta contoh dan analisisnya.
(1) ungkapan ketidaksetujuan, kritik, tindakan merendahkan atau
mempermalukan, keluhan, kemarahan, dakwaan, penghinaan;
(2) ungkapan tentang pertentangan, ketidaksetujuan, tantangan;
(3) ungkapan tentang emosi yang tidak terkontrol yang membuat orang lain
merasa dibuat takut atau dipermalukan;
(4) ungkapan yang tidak sopan, penyebutan hal-hal yang bersifat tabu atau yang
tidak selayaknya dalam situasi tertentu;
(5) ungkapan tentang kabar buruk mengenai lawan tutur, menyombongkan berita
baik, tidak memedulikan perasaan lawan tutur;
(6) ungkapan yang memecah-belah pendapat seperti masalah politik, ras, agama,
pembebasan wanita;
18
(7) ungkapan yang menunjukkan ketidak-kooperatifan, misalnya menyela
pembicaraan;
(8) ungkapan tentang sebutan atau menunjukkan status lawan tutur pada
perjumpaan pertama yang membuatnya tidak senang.
Di dalam interaksi sosial, kita harus mengakui bahwa terkadang terdapat
tuturan-tuturan yang dapat mengancam muka atau yang disebut tindakan
mengancam muka (Cutting, 2008:43). Ketika tuturan mengancam muka terpaksa
diucapkan, ada beberapa strategi kesantunan yang dapat dipakai untuk
memperbaiki tuturan tersebut. Brown dan Levinson menyebutnya strategi positif
dan strategi negatif (dalam Wijana dan Rohmadi, 2009:135). Dalam analisis ini,
strategi tersebut dilihat dari sudut pandang teori tindak tutur.Kajian pragmatik,
utamanya kesantunan berbahasa teori tindakan mengancam muka yang telah
dipaparkan di atas digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk TMM dan
responsnya. Dengan demikian, rumusan masalah pertama dan kedua dapat
terjawab.
1.7.2 Kajian Sosiolinguistik
Kajian kedua yang dipakai adalah kajian sosiolinguistik. Kajian ini
digunakan untuk menjawab rumusan masalah ketiga yaitu faktor-faktor peyebab
munculnya TMM dan responsnya dalam talkshow di televisi. Dalam kehidupan
bermasyarakat, manusia tidak lagi sebagai individu, tetapi sebagai masyarakat
sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan manusia dalam bertutur
akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya (Wijana dan Rohmadi,
19
2006:7). Situasi dan kondisi yang tidak terpisahkan dari perkembangan tersebut menjadi
dasar munculnya kajian sosiolinguistik. Fokus studi sosiolinguistik adalah bahasa dan
dimensi kemasyarakatan (Ohoiwutun, 1996:9).
Sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan
bahasa, khususnya perbedaan yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan
faktor sosial (Nababan, 1986:2). Sementara itu, Chaer dan Agustina (2010:2)
menyatakan bahwa sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin (sosiologi
dan linguistik) yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan
bahasa dalam masyarakat. Wardhaugh (1986:12) mendefinisikan sosiolinguistik
sebagai berikut.
“Sosiolinguistics will be concerned with investigating the relationship
between language and society with the goal of a better understanding of
the structure of language and of how languages function in
communication.”
Ahli bahasa banyak yang merumuskan pengertian sosiolinguistik dan
topik-topik di dalamnya. Hymes memperkenalkan sebuah istilah ethnography of
speaking kemudian mengubahnya menjadi ethnography of communication dengan
pendekatan baru untuk memahami penggunaan bahasa (Johnston dan Marcellino,
2010:3--4). Dell Hymes menandai bahwa terjadinya peristiwa tutur antara penutur
dan mitra tutur dipengaruhi oleh faktor-faktor. Agar mudah diingat, dia
menyebutnya dengan SPEAKING, yaitu setting, participant, ends, act, key,
instrumentalities, norm, dan genre (Wijana dan Rohmadi, 2006:9). Berikut adalah
paparan masing-masing faktor tersebut.
20
1.7.2.1 Setting
“Setting including the time and place, physical aspects of the situation
such as arrangement of furniture in the classroom (Hymes dalam Johnston dan
Marcellino, 2010:7). Setting mencakup waktu dan tempat, aspek psikologis dari
situasi tertentu. Secara ringkas, setting mencakup latar dan suasana. Latar
mengacu pada waktu dan tempat terjadiya tindak tutur dan biasanya mengacu
kepada keadaan fisik. Suasana mengacu pada latar psikologis, atau batasan
budaya tentang suatu kejadian sebagai suatu jenis suasana tertentu (Sumarsono
dan Patana, 2007:326—335).
1.7.2.2 Participant
Participant dipakai untuk menunjuk kepada minimal dua pihak dalam
bertutur. Participant melibatkan dua dimensi sosial manusia, yakni dimensi
horizontal (menyangkut hubungan penutur dan mitra tutur yang terbangun
sebelumnya) dan dimensi vertikal (berkaitan dengan masalah umur, kedudukan,
status sosial, dan semacamnya (Rahardi, 2001:29—31). Dalam penelitian ini,
penutur (P1) adalah pemandu acara, mitra tutur (P2) adalah narasumber, dan
pendengar (P3) adalah publik/penonton.
1.7.2.3 Ends
Ends adalah maksud atau tujuan pembicaraan (Wijana dan Rohmadi,
2006:9). “Ends including the purpose of the event itself as well as the individual
goals of the participants (Hymes dalam Johnston dan Marcellino, 2010:7).”
Masing-masing partisipan dapat memiliki ends yang berbeda.
21
1.7.2.4 Act
Bentuk pesan menyangkut cara sesuatu itu (topik) dikatakan atau
diberitakan. Keterampilan bertutur merupakan prasyarat bagi seseorang untuk
mengungkapkan sesuatu karena itu perlu dipelajari oleh tiap peseta tutur. Isi pesan
berkaitan dengan persoalan apa yang dikatakan, menyangkut topik dan perubahan
topik. Peserta tutur tentu tahu apa yang sedang dipercakapkan orang, dan kapan
yang dikatakan itu berubah, serta bagaimana mempertahankan topik itu menjadi
bahan pembicaraan (Sumarsono dan Patana, 2007:326—335).
1.7.2.5 Key
Key atau kunci mengacu pada cara, nada, atau jiwa (semangat) tindak tutur
dilakukan. Kunci serupa dengan modalitas dalam kategori gramatika (Sumarsono
dan Patana, 2007:326—335). Nada bisa santai, serius, tegang, kasar, dan
sebagainya (Rahardi, 2001:29—31).
1.7.2.6 Instrumentalities
Instrumentalities yaitu alat yang digunakan untuk menyampaikan tuturan
(Wijana dan Rohmadi, 2006:9). Menunjuk kepada saluran tutur (channel) dan
bentuk tutur (form of speech). Saluran tutur adalah alat yang digunakan untuk
meunculkan tuturan agar sampai pada mitra tutur. Sarana yang dimaksud dapat
berupa saluran lisan, tertulis, bahkan sandi atau kode tertentu. Bentuk tutur dapat
berupa bahasa, termasuk dialek dan variasi bahasa yang lain (Rahardi, 2001:29—
31).
22
1.7.2.7 Norm
Terdiri atas norma interaksi dan norma interpretasi. Norma interaksi
merupakan perilaku khas dan sopan santun tutur yang mengikat yang berlaku
dalam kelompok masyarakat (Sumarsono dan Patana, 2007:326—335). Norma
interpretasi memungkinkan pihak-pihak terlibat untuk memberikan interpretasi
terhadap mitra tutur. Norma interpretasi berkaitan erat dengan sistem kepercayaan
masyarakat tutur tersebut (Rahardi, 2001:29—31).
1.7.2.8 Genre
Genre menunjuk kepada jenis kategori kebahasaan yang sedang
dituturkan. Genre menyangkut kategori wacana seperti percakapan, cerita, pidato,
dan semacamnya. Orang yang berpidato berbeda dengan orang yang bercerita
(Rahardi, 2001:29—31). Hymes mengatakan bahwa genre sering terjadi bersama-
sama dengan peristiwa tutur tetapi harus tetap diperlakukan berbeda dari peristiwa
tutur. Keduanya bisa terjadi dalam peristiwa berbeda (dalam Sumarsono dan
Patana, 2007:326—335).
1.8 Metode Penelitian
Metode penelitian menurut tahapan strategi terdiri atas tiga tahapan,
yaitu metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode pemaparan
hasil analisis data (Sudaryanto, 1986:57). Berikut adalah metode yang dilakukan
dalam penelitian ini.
23
1.8.1 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode simak
dengan teknik simak bebas libat cakap. Artinya, tidak ada keterlibatan langsung
untuk menentukan pembentukan dan pemunculan calon data kecuali hanya
sebagai pemerhati (Kesuma, 2007:46). Dialog-dialog yang disimak adalah dialog
yang ada dalam beberapa video talkshow “Mata Najwa” dan “Prime Time” yang
tayang di Metro TV, serta “Suara Anda” dan “Kabar Petang” yang tayang di TV
One. Acara talkshow tersebut dipilih karena adanya indikasi ciri khas dialog yang
memuat TMM dibanding acara talkshow lain yang ada di televisi. Video tersebut
diunduh melalui youtube.com. Pengumpulan video tersebut dilakukan dari bulan
Januari 2015 sampai bulan Maret 2015.
Setelah mengunduh video-video tersebut, setiap dialog yang ada dalam
talkshow didengarkan dengan saksama. Selanjutnya, digunakan teknik lanjutan
berupa teknik catat. Dialog-dialog tersebut ditranskripsi sehingga didapat data
tertulis. Transkripsi yang digunakan adalah transkripsi ortografis. Pengumpulan
data diakhiri dengan klasifikasi data atau pengelompokkan kartu data
(Sudaryanto, 1988:6).
1.8.2 Metode Analisis Data
Setelah dialog-dialog tersebut terkumpul, langkah selanjutnya adalah
analisis data. Metode analisis data yang digunakan adalah metode padan
pragmatis. Metode padan pragmatis merupakan metode padan yang alat
penentunya lawan tutur (Kesuma, 2007:49). Metode ini digunakan untuk
24
mengidentifikasi tuturan yang digunakan untuk ancaman muka dan respons
terhadap TMM. Untuk keperluan tersebut, digunakan teknik pilah unsur tertentu.
Mula-mula, dialog-dialog yang telah terkumpul diidentifikasi jenis
kalimatnya atau modus kalimatnya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan daya
pilah pragmatis, yaitu dengan melihat reaksi lawan tutur (P2) terhadap tuturan
penutur (P1). Modus kalimat menentukan jenis tuturan langsung atau tidak
langsung dengan melihat maksud kalimat tersebut dituturkan. Setelah itu, dilihat
makna kata dalam tuturan sesuai atau tidak dengan maksud tuturan. Hal tersebut
menentukan jenis tindak tutur literal atau tidak literal. Apabila hal itu telah
dilakukan, dapat diketahui jenis tindak tutur dalam setiap tuturan dalam semua
dialog yang terkumpul. Setelah mengetahui jenis tindak tutur masing-masing
tuturan, dipilah tuturan yang dapat memberi efek ancaman muka berdasarkan teori
ciri tuturan yang dapat mengancam muka. Dari tuturan yang dapat memberi efek
ancaman muka, diperoleh bentuk-bentuk TMM sehingga dapat menjawab
rumusan masalah pertama. Selanjutnya, setelah mengetahui bentuk-bentuk TMM,
dapat diketahui pula bentuk respons terhadap TMM. Analisis terhadap respons
TMM dilakukan dengan cara yang sama dalam analisis TMM. Analisis tersebut
menjawab rumusan masalah yang kedua.
Untuk menjawab rumusan masalah yang ketiga, yaitu faktor yang
mempengaruhi strategi respons terhadap TMM, digunakan analisis SPEAKING
Dell Hymes dalam kajian sosiolinguistik. SPEAKING terdiri atas komponen tutur
yang berupa tempat, waktu, suasana tuturan, partisipan, tujuan atau maksud,
pokok tuturan, kunci tuturan, instrumen, norma-norma, dan jenis tuturan. Tahapan
25
kedua berakhir dengan penemuan kaidah (Sudaryanto, 1986:58) tentang TMM
dan responsnya.
1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Setelah dianalisis, selanjutnya adalah tahap penyajian hasil analisis data.
Metode penyajian yang dilakukan adalah metode formal dan informal. Metode
formal digunakan dengan menampilkan tabel untuk menunjukkan hasil analisis.
Selanjutnya, metode informal digunakan untuk menguraikan hasil analisis data
dan menjelaskan tabel dengan kata-kata. Metode informal tersebut digunakan
untuk memudahkan pemahaman paparan penelitian.
1.9 Sistematika Penyajian
Setiap hasil penelitian tentu perlu disajikan dalam bentuk pelaporan
karya. Penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Bab 1 berisi bab pendahuluan.
Dalam bab ini terdapat sembilan subbab, yaitu latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, data dan metode penelitian, serta sistematika penyajian.
Bab II membahas bentuk-bentuk TMM dengan empat subbab yang merupakan
paparan dari masing-masing bentuk tersebut. Bab III berisi bentuk-bentuk respons
terhadap TMM dengan empat subbab yang merupakan paparan dari masing-
masing bentuk respons terhadap TMM. Bab IV membahas faktor yang
menyebabkan munculnya bentuk-bentuk TMM dan respons terhadap TMM
dengan lima subbab. Bab 5 merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Top Related