BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan makin pesatnya pembangunan di berbagai bidang
timbullah berbagai masalah lingkungan yang perlu ditangani secara serius
yaitu diantaranya masalah peningkatan polusi udara yang banyak
membawa dampak terhadap status kesehatan masyarakat. Peningkatan
polusi udara ini menyebabkan banyak warga masyarakat yang dekat
dengan sumber polusi tersebut rentan menderita penyakit saluran
pernapasan baik yang menyebabkan timbulnya infeksi maupun yang
menyebabkan iritasi terhadap saluran pernapasan.
Di Indonesia dan sejumlah negara yang sedang dan belum
berkembang, infeksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
utama. Diantara penyakit infeksi maka yang paling sering menyebabkan
kematian adalah infeksi saluran pernapasan. Pembangunan kesehatan pada
hakekatnya adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa
Indonesia untuk mencapai hidup sehat bagi penduduk agar mewujudkan
kesehatan diselenggarakan dan dikembangkan secara terpadu dan secara
terpadu dan menyeluruh yaitu meliputi upaya yang bersifat promotif,
preventif , kuratif, rehabilitatif serta dapat diterima secara terjangkau oleh
seluruh masyarakat ( Depkes RI, 2000 )
1
2
Salah satu penyakit pernapasan yang sering ditemukan adalah
Pneumotoraks, yang biasa disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan
ataupun akibat trauma. Penyakit Pneumotoraks mempunyai pengaruh yang
kuat dalam hal fisik, sosial maupun ekonomis. Dalam hal fisik dapat terjadi
perubahan-perubahan berbagai proses dalam tubuh sehingga
mengakibatkan sesak napas, kelemahan fisik dan keterbatasan gerak.
Dalam hal sosial interaksi dengan orang lain menjadi terganggu baik dalam
hal berkomunikasi maupun dalam pergaulan. Dalam hal ekonomi karena
tidak semua orang tidak dapat berobat ke pelayanan kesehatan dengan
alasan biaya, dapat menjadi beban bagi yang mengalami penyakit ini.
Berdasarkan data kunjungan pasien di Rumah Sakit Margono
Soekardjo dari awal Januari hingga akhir Juni 2011 khususnya diruang
Kenanga Rumah Sakit Margono Soekarjo ada 945 pasien bedah dan ada
11 orang pasien Pneumotoraks (Rekam Medik RSUD Prof. Margono
Soekarjo , 2011).
Meski Penyakit pneumotoraks mempunyai angka kejadian yang
rendah, namun tetap memerlukan perawatan dan pengobatan serius karena
Pneumotoraks bila tidak ditangani dapat mengakibatkan gangguan dalam
pemenuhan kebutuhan O2 yang akan berdampak besar terhadap kebutuhan
lainnya dan sistem di dalam tubuh.
Salah satu tindakan untuk pengobatan Pneumotoraks yaitu dengan
tindakan Water Seal Drainage (WSD) yang bertujuan untuk mengeluarkan
cairan dan udara yang terdapat dalam rongga pleura. Setelah dilakukan
3
tindakan WSD biasanya timbul masalah nyeri akibat luka pemasangan
slang WSD dan resiko terjadinya infeksi.
Melihat fenomena di atas maka penulis tertarik untuk
melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif dengan
menggunakan proses keperawatan terhadap pasien dengan Pneumotoraks
dan menyusun laporannya dalam bentuk karya tulis ilmiah dengan judul
“ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. S DENGAN GANGGUAN
SISTEM PERNAFASAN : POST OPERASI PEMASANGAN WATER
SEAL DRAINAGE (WSD) HARI Ke-6 AKIBAT PNEUMOTORAKS
DEXTRA DI RUANG KENANGA RSUD Prof. Dr. MARGONO
SOEKARDJO PURWOKERTO“.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari laporan pengelolaan kasus ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan post
pemasangan WSD pada kasus Pneumothoraks diruang Kenanga RSUD
Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan.
2. Tujuan Khusus
Untuk mendapatkan pengalaman yang nyata tentang teknik :
a. Memberikan gambaran tinjauan teori secara medis dan tinjauan
asuhan keperawatan pada gangguan sistem pernafasan : post operasi
4
pemasangan water seal drainage (WSD) hari ke-6 akibat
Pneumotoraks dextra diruang Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono
Soekardjo Purwokerto
b. Menggambarkan hasil asuhan keperawatan dari pengkajian sampai
dengan evaluasi pada klien dengan gangguan sistem pernafasan :
post operasi pemasangan water seal drainage (WSD) hari ke-6 akibat
Pneumotoraks dextra diruang Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono
Soekardjo Purwokerto
c. Membahas kesenjangan yang ada dalam melaksanakan asuhan
keperawatan pada klien dengan gangguan sistem pernafasan : post
operasi pemasangan water seal drainage (WSD) hari ke-6 akibat
Pneumotoraks dextra diruang Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono
Soekardjo Purwokerto
d. Menggambarkan faktor pendukung dan penghambat dalam
pengelolaan kasus dengan gangguan sistem pernafasan : post operasi
pemasangan water seal drainage (WSD) hari ke-6 akibat
Pneumotoraks dextra diruang Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono
Soekardjo Purwokerto.
B. Batasan Masalah
Mengingat banyaknya kasus di Ruang Kenanga maka dalam asuhan
keperawatan ini penulis mengambil salah satu kasus yang ada di Ruang
Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto yaitu Tn. S
5
umur 65 tahun dengan diagnosa medis Tn.S dengan Post oprasi
pemasangan WSD hari ke- 6 dengan kasus Pneumothoraks, Pada saat
penulis melakukan pengkajian pasien, selama 1 hari penulis melakukan
tindakan keperawatan sesuai dengan rencana keperawatan yang telah
penulis tetapkan, dan untuk hari berikutnya tindakan keperawatan penulis
didelegasikan pada perawat ruang keperawatan Kenanga RSUD Prof. Dr.
Margono Soekardjo Purwokerto.
C. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan karya tulis ilmiah ini disusun bedasarkan
ketentuan yang meliputi bagian awal, terdiri dari: :
1) halaman judul
2) lembar persetujuan pembimbing
3) lembar pengesahan penguji
4) lembar persembahan
5) kata pengantar
6) daftar isi
Bagian selanjutnya adalah isi , yang terdiri dari :
1. BAB I : PENDAHULUAN, yang berisi latar belakang, tujuan penulisan,
batasan masalah dan sistematika penulisan.
2. BAB II : KONSEP DASAR, terdiri dari :
a. konsep dasar medis yang terdiri dari pengertian, istilah, indikasi,
klasifikasi, komplikasi penatalaksanaan.
6
b. konsep dasar keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa
keperawatan, fokus intervensi, evaluasi.
3. BAB III : RESUME KEPERAWATAN, berisi pengkajian, diagnosa
keperawatan, rencana tindakan keperawatan, tindakan keperawatan serta
evaluasi.
4. BAB IV : PEMBAHASAN, berisi pengkajian, diagnosa keperawatan,
rencana keperawatan, tindakan keperawatan, dan evaluasi.
5. BAB V : PENUTUP, berisi kesimpulan dan saran.
Selanjutnya bagian akhir adalah bagian penutup yang terdiri dari:
1) DAFTAR PUSTAKA
2) LAMPIRAN
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP DASAR MEDIS
1. Pengertian
Pneumotoraks adalah adanya penimbunan udara atau gas di dalam
rongga pleura sebagai akibat dari proses penyakit atau cedera. Tekanan di
rongga pleura pada orang sehat selalu negatif untuk dapat mempertahankan
paru dalam keadaan berkembang (inflasi). Tekanan pada rongga pleura
pada akhir inspirasi 4 s/d 8 cm H2O dan pada akhir ekspirasi 2 s/d 4 cm
H2O.yang menyebabkan paru untuk mengempis.
Pneumotoraks adalah pengumpulan udara dalam ruang potensial
antara pleura viseralis dan parietalis (Arif Mansjoer edisi 3 jilid 2 hal 295).
Pneumotoraks dibagi menjadi Tension Pneumotoraks dan non-tension
pneumotoraks. Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency
dimana akumulasi udara dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali
bernapas. Peningkatan tekanan intratoraks mengakibatkan bergesernya
organ mediastinum secara masif ke arah berlawanan dari sisi paru yang
mengalami tekanan. Non-tension pneumothorax tidak seberat Tension
pnemothorax karena akumulasi udara tidak makin bertambah sehingga
tekanan terhadap organ di dalam rongga dada juga tidak meningkat.
Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang
melapisi paru-paru dan rongga dada.
8
2. Etiologi
Terdapat beberapa jenis pneumotoraks yang dikelompokkan
berdasarkan penyebabnya:
1) Pneumotoraks spontan
Terjadi tanpa penyebab yang jelas. Pneumotoraks spontan
primer terjadi jika pada penderita tidak ditemukan penyakit paru-
paru. Pneumotoraks ini diduga disebabkan oleh pecahnya kantung
kecil berisi udara di dalam paru-paru yang disebut bleb atau bulla.
Penyakit ini paling sering menyerang pria berpostur tinggi-kurus,
usia 20-40 tahun. Faktor predisposisinya adalah merokok sigaret dan
riwayat keluarga dengan penyakit yang sama. Pneumotoraks spontan
sekunder merupakan komplikasi dari penyakit paru-paru (misalnya
penyakit paru obstruktif menahun, asma, fibrosis kistik, tuberkulosis,
batuk rejan).
2) Pneumotoraks traumatik
a) Traumanya bisa bersifat menembus (luka tusuk, peluru) atau
tumpul (benturan pada kecelakaan kendaraan bermotor), trauma
benda tumpul atau tajam , meliputi gangguan salah satu pleura
visceral atau parietal dan sering dengan patah tulang rusuk (patah
tulang rusuk tidak menjadi hal yang penting bagi terjadinya
Tension Pneumotoraks).
b) Pneumotoraks juga bisa merupakan komplikasi dari tindakan
medis tertentu misalnya pemasangan kateter vena sentral (ke
9
dalam pembuluh darah pusat), biasanya vena subclavia atau vena
jugular interna (salah arah kateter subklavia). Komplikasi
ventilator, pneumotoraks spontan, peumotoraks sederhana ke
tension pneumotoraks, tension pneumotoraks merupakan medical
emergency dimana akumulasi udara dalam rongga pleura akan
bertambah setiap kali bernapas. Peningkatan tekanan intratoraks
mengakibatkan bergesernya organ mediastinum secara masif ke
arah berlawanan dari sisi paru yang mengalami tekanan.
c) Ketidakberhasilan mengatasi pneumotoraks terbuka ke
pneumotoraks sederhana di mana fungsi pembalut luka sebagai 1-
way katup
d) Akupunktur, baru-baru ini telah dilaporkan mengakibatkan
pneumotoraks.
3) Pneumotoraks karena tekanan
Terjadi jika paru-paru mendapatkan tekanan berlebihan
sehingga paru-paru mengalami kolaps. Tekanan yang berlebihan
juga bisa menghalangi pemompaan darah oleh jantung secara efektif
sehingga terjadi syok.
3. Patofisiologi
Normal tekanan negatif pada ruang pleura adalah -10 s/d -12
mmHg. Fungsinya membantu pengembangan paru selama ventilasi.
Pada waktu inspirasi tekanan intrapleura lebih negatif daripada tekanan
intra bronchial, maka paru akan berkembang mengikuti dinding thoraks
10
sehingga udara dari luar dimana tekanannya nol (0) akan masuk
bronchus sampai ke alveoli. Pada waktu ekspirasi dinding dada
menekan rongga dada sehingga tekanan intra pleura akan lebih tinggi
dari tekanan di alveolus ataupun di bronchus sehingga udara ditekan
keluar melalui bronchus. Tekanan intra bronchial meningkat apabila
ada tahanan jalan napas. Tekanan intra bronchial akan lebih meningkat
lagi pada waktu batuk, bersin, atau mengejan, pada keadaan ini glottis
tertutup. Apabila di bagian perifer dari bronchus atau alveolus ada
bagian yang lemah maka akan pecah atau terobek. Pneumotoraks terjadi
disebabkan adanya kebocoran dibagian paru yang berisi udara melalui
robekan atau pecahnya pleura. Robekan ini akan berhubungan dengan
bronchus. Pelebaran dari alveoli dan pecahnya septa-septa alveoli yang
kemudian membentuk suatu bula di dekat suatu daerah proses non
spesifik atau granulomatous fibrosis adalah salah satu sebab yang sering
terjadi pneumotoraks, dimana bula tersebut berhubungan dengan
adanya obstruksi emfisema. Penyebab tersering adalah valve
mekanisme di distal dari bronchial yang ada keradangan atau jaringan
parut. Secara singkat penyebab terjadinya pneumotorak menurut
pendapat (MACKLIN : 2003) “ adalah sebagai berikut : Alveoli
disanggah oleh kapiler yang lemah dan mudah robek, udara masuk ke
arah jaringan peribronchovaskuler apabila alveoli itu menjadi lebar dan
tekanan didalam alveoli meningkat. Apabila gerakan napas yang kuat,
infeksi, dan obstruksi endobronchial merupakan fakltor presipitasi yang
11
memudahkan terjadinya robekan. Selanjutnya udara yang terbebas dari
alveoli dapat menggoyakan jaringan fibrosis di peribronchovaskuler
kearah hilus, masuk mediastinum dan menyebabkan pneumotoraks atau
pneumomediastinum.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis atau tanda dan gejala yang muncul pada
tension pneumotoraks penting sekali untuk mendiagnosa dan
mengetahui kondisi pasien.
Manifestasi awal : Nyeri dada dirasakan pada sisi sakit terasa
lebih nyeri pada gerakan respirasi, terasanya berat (kemeng), dispnea
(sesak nafas) biasa disertai batuk-batuk, sesak ringan sampai berat,
napas tertinggal, senggal pendek-pendek, ansietas (cemas), takipnea
(nafas cepat), takikardi (nadi cepat ), hipersonor dinding dada dan tidak
ada suara napas pada sisi yang sakit, terasa tertekan,tanpa atau dengan
sianosis (warna kebiruan yang disebabkan oleh pengurangan dalam
tingkat-tingkat oksigen darah), tampak sakit ringan sampai berat, lemah
sampai shock, berkeringat dingin.
Manifestasi lanjut : Tingkat kesadaran menurun, trachea
bergeser menuju ke sisi kontralateral, hipotensi, pembesaran pembuluh
darah leher/ vena jugularis (tidak ada jika pasien sangat hipotensi) dan
sianosis (warna kebiruan yang disebabkan oleh pengurangan dalam
tingkat-tingkat oksigen darah), kelainan akibat trauma toraks yang
berbahaya dan mematikan bila tidak dikenali dan ditatalaksana dengan
12
segera : dispnea, hilangnya bunyi napas, sianosis, asimetri toraks,
mediastinal shift.
5. Komplikasi
Komplikasi menurut Hudag 1997 dan Wikipedia adalah :
Atelektasis : pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus)
atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
ARDs : Sindroma Distres Pernafasan Dewasa ( SDPD ) adalah
kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba dan bentuk
kegagalan nafas berat, biasanya terjadi pada orang yang
sebelumnya sehat yang telah terpajan pada berbagai
penyebab pulmonal atau non-pulmonal.
Infeksi : kolonalisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap
organisme inang, dan bersifat pilang membahayakan
inang. Organisme penginfeksi, atau patogen,
menggunakan sarana yang dimiliki inang untuk dapat
memperbanyak diri, yang pada akhirnya merugikan inang
.
Edema
pulmonary
: Oedema paru- paru
Emboli paru : penyumbatan arteri pulmonalis (arteri paru-paru) oleh
suatu embolus, yang terjadi secara tiba-tiba.
Efusi pleura : pengumpulan cairan di dalam rongga pleura.
13
Emfisema : penyakit paru kronis yang dicirikan oleh kerusakan pada
jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya
Tension
Penumototrax
: Suatu keadaan dimana terjadi tekanan yang terus
meninggi di dalam rongga pleura, penderita akan sesak
nafas yang hebat, keringat dingin, gelisah.
6. Klasifikasi
Klasifikasi pneumotoraks berdasarkan terjadinya ada 3 yaitu
artifisial ,traumatik, spontan. Klasifikasi pneumotoraks berdasarkan
lokasinya ada 3 yaitu pneumotoraks parietalis, pneumotoraks
mediastinalis, pneumotoraks basalis, dan berdasarkan derajat kolaps ada
2 macam yaitu pneumotoraks totalis (keseluruhan ), pneumotoraks
partialis (sebagian), selanjutnya berdasarkan jenis fistel ada 3 yaitu
pneumotoraks terbuka : pneumotoraks dimana ada hubungan terbuka
antara rongga pleura dan bronchus yang merupakan dunia luar. Dalam
keadaan ini tekanan intra pleura sama dengan tekanan barometer (luar).
Tekanan intra pleura disekitar nol (0) sesuai dengan gerakan
pernapasan. Pada waktu inspirasi tekanannya negatif dan pada waktu
ekspirasi positif (+ 2 ekspirasi dan - 2 inspirasi). Yang kedua adalah
pneumotoraks tertutup : pneumotoraks dimna rongga pleura tertutup
tidak ada hubungan dengan dunia luar. Udara yang dulunya ada di
rongga pleura kemungkinan positif oleh karena diresorbsi dan tidak
adanya hubungan lagi dengan dunia luar, maka tekanan udara di rongga
14
pleura menjadi negatif. Tetapi paru belum mau berkembang penuh.
Sehingga masih ada rongga pleura yang tampak meskipun tekanannya
sudah negative (- 4 ekspirasi dan - 12 inspirasi). Dan yang ke 3 adalah
pneumotoraks ventil merupakan pneumotoraks yang mempunyai
tekanan positif berhubung adanya fistel di pleura viseralis yang bersifat
ventil. Udara melalui bronchus terus ke percabangannya dan menuju ke
arah pleura yang terbuka. Pada waktu inspirasi udara masuk ke rongga
pleura dimana pada permulaan masih negatif. Pada waktu ekspirasi
udara didalam rongga pleura yang masuk itu tidak mau keluar melalui
lubang yang terbuka tadi bahkan udara ekspirasi yang mestinya
dihembuskan keluar dapat masuk ke dalam rongga pleura, apabila ada
obstruksi di bronchus bagian proksimal dari fistel tersebut. Sehingga
tekanan pleura makin lama makin meningkat sehubungan dengan
berulangnya pernapasan. Udara masuk rongga pleura pada waktu
ekspirasi oleh karena udara ekspirasi mempunyai tekanan lebih tinggi
dari rongga pleura, lebih-lebih kalau penderita batuk-batuk, tekanan
udara di bronchus lebih kuat lagi dari ekspirasi biasa.
7. Pemeriksaan Penunjang
1) Photo toraks (pengembangan paru-paru)
X Foto dada : Pada foto dada PA terlihat pinggir paru yang kolaps
berupa garis, mediastinal shift dapat dilihat pada foto PA atau
fluoroskopi pada saat penderita inspirasi atau ekspirasi.
2) Laboratorium (Darah Lengkap dan Astrup).
15
3) Gas Darah arteri
4) Diagnosis fisik :
a) Bila pneumotoraks < 30% atau hematotorax ringan (300cc)
terap simtomatik, observasi.\
b) Bila pneumotoraks > 30% atau hematotorax sedang (300cc)
drainase cavum pleura dengan WSD, dainjurkan untuk
melakukan drainase dengan continues suction unit.
c) Pada keadaan pneumotoraks yang residif lebih dari dua kali
harus dipertimbangkan thorakotomi
d) Pada hematotoraks yang massif terdapat perdarahan melalui
drain lebih dari 800 cc segera thorakotomi.
8. Penatalaksanaan
Prinsip : Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan
pasien trauma secara umum (primary survey – secondary survey). Tidak
dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara
konsekutif (berturutan) Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya
bisa dilakukan bila pasien stabil), adalah : portable x-ray, portable
blood examination, portable bronchoscope. Tidak dibenarkan
melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang
emergency. Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan
tetapi terutama untuk menemukan masalah yang mengancam nyawa
dan melakukan tindakan penyelamatan nyawa. Pengambilan anamnesis
16
(riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau setelah
melakukan prosedur penanganan trauma. Penanganan pasien trauma
toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah memiliki sertifikasi
pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support). Oleh karena langkah-
langkah awal dalam primary survey (airway, breathing, circulation)
merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks
Kardiovaskular, sebaiknya setiap RS yang memiliki trauma unit/center
memiliki konsultan bedah toraks kardiovaskular.
1) Primary Survey
a. Airway
a) Assessment :
i. Perhatikan patensi airway
ii. Dengar suara napas
iii. Perhatikan retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada
b) Management :
i. inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh
ii. lakukan chin-lift dan jaw thrust
iii. hilangkan benda yang menghalangi jalan napas
iv. re-posisi kepala
17
v. pasang collar-neck
vi. lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral /
nasal)
b. Breathing
a) Assesment:
i.Periksa frekwensi napas
ii.Perhatikan gerakan respirasi
iii.Palpasi toraks
iv.Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
b) Management:
i. Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
ii. Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks
c. Circulation
a) Assesment:
i.Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi
ii.Periksa tekanan darah
iii.Pemeriksaan pulse oxymetri
iv.Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
b) Management
i.Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines
18
ii.Torakotomi emergency bila diperlukan
iii.Operasi Eksplorasi vaskular emergency
Pada pneumotoraks ventil/ tension pneumotoraks, penderita
sering sesak napas berat dan keadaan ini dapat mengancam jiwa apabila
tidak cepat dilakukan tindakan perbaikan. Tekanan intrapleura tinggi, bisa
terjadi kolaps paru dan ada penekanan pada mediastinum dan jantung.
Himpitan pada jantung menyebabkan kontraksi terganggu dan “venous
return” juga terganggu. Jadi selain menimbulkan gangguan pada
pernapasan, juga menimbulkan gangguan pada sirkulasi darah
(hemodinamik). Penanganan segera terhadap kondisi yang mengancam
kehidupan meliputi dekompresi pada hemitoraks yang sakit dengan
menggunakan needle thoracostomy (ukuran 14 – 16 G) ditusukkan pada
ruang interkostal kedua sejajar dengan midclavicular line. Selanjutnya dapat
dipasang tube thoracostomy diiringi dengan control nyeri dan pulmonary
toilet (pemasangan selang dada) diantara anterior dan mid-axillaris.
Penanganan Diit dengan tinggi kalori tinggi protein 2300 kkal + ekstra putih
telur 3 x 2 butir / hari.
2) Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a). Diagnostik : Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau
kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak,
sebelum penderita jatuh dalam shoks.
19
b). Terapi : Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga
pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis
of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.
c). Preventive : Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga
pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap baik
3) Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
a) Mencegah infeksi di bagian masuknya slang : Mendeteksi di bagian
dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan
perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya
slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
b) Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit
yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter.
c) Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
Penetapan slang : Slang diatur senyaman mungkin, sehingga slang
yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien,
sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.
Pergantian posisi badan : Usahakan agar pasien dapat merasa enak
dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan
pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh
sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan
atas yang cedera.
d) Mendorong berkembangnya paru-paru dengan WSD/Bullow
drainage diharapkan paru mengembang, latihan napas dalam,
20
latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan
batuk waktu slang diklem, kontrol dengan pemeriksaan fisik dan
radiologi.
e) Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc.
Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus
dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan
bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan
pernapasan.
f) Suction harus berjalan efektif : Perhatikan setiap 15 - 20 menit
selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam selama 24 jam
setelah operasi. Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan,
keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi,
tekanan darah. Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap
sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi
pasien dari terlentang, ke ½ terlentang atau 1/2 duduk ke posisi
miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal :
slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat
rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di
dinding paru-paru.
g) Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage, cairan dalam
botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar
kalau ada dicatat. Setiap hendak mengganti botol dicatat
21
pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari
bullow drainage.Penggantian botol harus "tertutup" untuk
mencegah udara masuk yaitu meng"klem" slang pada dua tempat
dengan kocher. Setiap penggantian botol/slang harus
memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril.
Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-
sendiri, dengan memakai sarung tangan. Cegah bahaya yang
menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang
terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.
h) Dinyatakan berhasil, bila : Paru sudah mengembang penuh pada
pemeriksaan fisik dan radiologi, darah cairan tidak keluar dari
WSD / Bullow drainage, tidak ada pus dari selang WSD.
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
22
Fokus pengkajian pada klien pneumotoraks Doengoes (1999),
meliputi :
a. Wawancara
(Hal-hal yang perlu diketahiu dalam wawancara adalah): Klien terdapat
penyakit paru, bila ditemukan adanya iritan pada paru yang meningkat
maka mungkin terdapat riwayat merokok. Penyakit yang sering ditemukan
adalah pneumotoraks, hemotoraks, pleural effusion atau empiema. Klien
bisa juga ditemukan adanya riwayat trauma dada yang mendadak yang
memerlukan tindakan pembedahan.
1) Riwayat penyakitUmur : Sering terjadi usia 18 - 30 tahun.
2) Alergi terhadap obat, makanan tertentu.
3) Pengobatan terakhir.
4) Pengalaman pembedahan.
5) Riwayat penyakit dahulu.
6) Riwayat penyakit sekarang.
7) Dan Keluhan.
b. Pemeriksaan fisik
Doengoes (1999), berpendapat pada pemeriksaan fisik pada
23
pasien gagal ginjal akan diperoleh data antara lain :
1) Sistem Pernapasan akan terkaji sesak napas, nyeri, batuk-batuk,
terdapat retraksi klavikula/dada, pengambangan paru tidak
simetris, fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain,
pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor/hipersonor/timpani/
hematotraks (redup), pada asukultasi suara nafas menurun, bising
napas yang berkurang/menghilang, pekak dengan batas seperti
garis miring/tidak jelas, dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat,
gerakan dada tidak sama waktu bernapas.
2) Sistem Kardiovaskuler akan ditemukan : Nyeri dada meningkat
karena pernapasan dan batuk, takhikardia, lemah, pucat, Hb
turun /normal, hjipotensi.
3) Sistem Persyarafan : Tidak ada kelainan.
4) Sistem Perkemihan : idak ada kelainan.
5) Sistem Pencernaan : Tidak ada kelainan.
6) Sistem Muskuloskeletal ditemukan : Kemampuan sendi terbatas,
ada luka bekas tusukan benda tajam, terdapat kelemahan, kulit
pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.
7) Sistem Endokrine ditemukan : Terjadi peningkatan metabolisme,
kelemahan.
8) Sistem Sosial / Interaksi : idak ada hambatan.
9) Spiritual ditemukan : Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.
24
Pada Pola fungsional gordon meliputi :
a) Aktivitas / istirahat
Gejala : Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat
b) Sirkulasi
Tanda : takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4 / irama
jantung gallop, nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan
mediastinal, tanda homman (bunyi rendah sehubungan dengan denyutan
jantung, menunjukkan udara dalam mediastinum).
c) Psikososial
Tanda : ketakutan, gelisah.
d) Makanan / cairan
Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral / infuse tekanan.
e) Nyeri / kenyamanan
Tanda : Perilaku distraksi, mengerutkan wajah
Gejala : nyeri dada unilateral meningkat karena batuk, timbul tiba-tiba
gejala sementara batuk atau regangan, tajam atau nyeri menusuk yang
diperberat oleh napas dalam.
f) Pernapasan
Tanda : pernapasan meningkat / takipnea, peningkatan kerja napas,
penggunaan otot aksesori pernapasan pada dada, ekspirasi abdominal kuat,
bunyi mengindikasikan bahwa paru tidaknapas menurun/ hilang
(auskultasi mengembang dalam rongga pleura), fremitus menurun, perkusi
dada : hipersonor diatas terisi udara, observasi dan palpasi dada : gerakan
25
dada tidak sama bila trauma, kulit : pucat, sianosis, berkeringat, mental:
ansietas, gelisah, bingung, pingsan.
Gejala : kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah dada / trauma : penyakit
paru kronis, inflamasi / infeksi paru (empiema / efusi), keganasan (mis.
Obstruksi tumor).
g) Keamanan
Gejala : adanya trauma dada, radiasi / kemoterapi untuk keganasan.
c. Pemeriksaan Diagnostik
a) Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area
pleural; dapat menunjukan penyimpangan struktur mediastinal.
b) GDA : variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang
dipengaruhi, gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan
mengkompensasi. Pa Co2 kadang-kadang menurun, Pa O2 normal /
menurun, saturasi O2 Menurun
c) Torasentesis : menyatakan darah / cairan sero sanguinosa.
d) Hb : mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah
2. Diagnosa Keperawatan
26
1) Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap peningkatan tekanan dalam rongga
pleura
2) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan
kemampuan ekspansi paru dan kerusakan membrane alveolar kapiler
3) Cemas berhubungan dengan Dipsnea berat/ketidakmampuan untuk
berbapas dengan normal, perubahan status kesehatan.
4) Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma
jaringan
5) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidak nyamanan
sekunder akibat pemasangan WSD.
6) Gangguan integritas kulit beubungan dengan adanya luka pasca
pemasangan WSD
7) Resiko tinggi trauma pernapasan berhubungan dengan tidak optimalnya
drainage selang sekunder akibat pipa WSD terjepit
8) Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan insersi WSD
3. Fokus Intervensi
Diagnosa I
27
Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap peningkatan tekanan dalam rongga pleura
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan pasien pola pernapasan klien kembali efektif
NOC : Respiratory Status : Ventilation
Kriteria Hasil
1. Menunjukan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu
(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah )
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal)
3. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat
menghambat jalan nafas
Indikator skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : Respiratory monitoring
1. Identifikasi factor penyebab kolaps spontan, trauma keganasan, infeksi
komplikasi mekanik pernapasan
28
2. Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap
perubahan yang terjadi
3. Baringkan klien dalam posisi yang nyaman, atau dalam posisi duduk.
4. Observasi tanda-tanda vital (nadi, RR)
5. Lakukan auskultasi suara napas setiap 2-4 jam
6. Bantu dan ajarkan klien untuk batuk dan napas dalam yang efektif
7. Kolaborasi untuk tindakan dekompresi dengan pemasangan WSD
Diagnosa II
Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan
kemampuan ekspansi paru dan kerusakan membrane alveolar kapiler
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan pasien menunjukkan perbaikan pertukaran gas
NOC : Respiratory Status
Kriteria Hasil
1. Tidal volume sesuai yang diharapkan
2. Kapasitas vital sesuai dengan yang diharapkan
3. Frekuensi pernafasan adekuat
4. Bernafas mudah
Indikator skala
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
29
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : Airway Management
1. Kaji frekuensi , kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori ,
nafas bibir, ketidakmampuan bicara/ berbincang.
2. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang
mudah untuk bernapas. Dorong napas dalam perlahan atau napas bibir
sesuai kebutuhan/toleransi individu.
3. Pertahankan istirahat tidur,dorong menggunakan teknik ralaksasi dan
aktivitas senggang
4. Kaji tingkat ansietas.
5. Dorong menyatakan masalah/perasaan. Jawab pertanyaan dengan jujur.
Kunjungi dengan sering, atur pertemuan/kunjungan oleh orang
terdekat/pengunjung sesuai indikasi
Diagnosa III
Cemas berhubungan dengan Dipsnea berat/ketidakmampuan untuk
berbapas dengan normal, perubahan status kesehatan.
30
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan Cemas yang dialami pasien berkurang
NOC : Kontrol cemas
Kriteria Hasil
1. Pasien mampu memonitor intensitas kecemasan
2. Menurunkan stimulasi ketika cemas
3. Menggunankan strategi koping efektif
4. Melaporkan cemas hilang atau menurun sampai tingkat yang dapat
ditangani
5. penampilan rileks dan istirahat/tidur dengan tepat
Indikator skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : Cemas management
1. Catat derajat ansietas dan takut. Informasikan pasien/orang terdekat
bahwa perasaannya normal dan dorong mengekspresikan perasaan.
2. Jelaskan proses penyakit dan prosedur dalam tingkat kemampuan
pasien untuk memahami dan menangani informasi. Kaji situasi saat ini dan
tindakan yang diambil untuk mengatasi masalah.
31
3. Berikan tindakan kenyamanan misalnya pijatan punggung, perubahan
posisi
4. Dukung pasien/orang terdekat dalam menerima realita situasi,
khususnya rencana untuk periode penyembuhan yang lama. Libatkan
pasien dalam perencanaan dan partisipasi dalam perawatan.
5. waspadai untuk perilaku diluar kontrol atau peningkatandisfungsi
kardiopulmonal, misal memburuknya dipsnea da takikardia.
Diagnosa IV
Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan Nyeri klien berkurang/hilang
NOC : Pain Level
Kriteria hasil :
1. Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi
2. dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan
nyeri
3. pasien tidak gelisah.
Indikator skala
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
32
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : monitor pain
1. Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi
dan non invasif.
2. Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot
rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan
relaksasi masase.
3. Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
4. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi
yang nyaman; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
5. Tingkatkan pengetahuan tentang: sebab-sebab nyeri, dan
menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
6. Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik.
7. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah
pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1
– 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 – 2 hari.
Diagnosa V
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidak nyamanan
sekunder akibat pemasangan WSD.
33
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan pasien memiliki mobilitas fisik yang adekuat selama
pemasangan WSD
NOC : Mobilitas status
Kriteria hasil
1. Klien merasakan nyeri berkurang selama bernafas dan bergerak
2. klien memiliki range of motion optimal sesuai dengan kemampuannya
3. mobilitas fisik sehari–hari terpenuhi.
Indikator skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : mobilitas monitoring
1. Kaji ROM pada ekstrimitas atas tempat insersi WSD
2. Kaji tingkat nyeri dan pemenuhan aktifitas sehari – hari
3. Dorong exercise ROM aktiif atau pasif ada lengan dan bahu dekat
tempat insersi.
4. Dorong klien untuk exercise ekstrimitas bawah dan bantu ambulansi
5. Berikan tindakan distraksi dan relaksasi
Diagnsa VI
34
Gangguan integritas kulit beubungan dengan adanya luka pasca
pemasangan WSD
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan integritas kulit kembali normal
NOC : Tissue Integrity : Skin and mucous Membrane
Kriteria Hasil
1. Menunjukkan waktu penyembuhan yang tepat tanpa komplikasi.
2. Menunjukkan teknik meningkatkan penyembuhan / mencegah
komplikasi.
3. Integritas kulit baik
4. Tidak ada lesi
5. Mampu menjaga kelembaban kulit
Indikator skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC :
1. Kaji warna kulit/ suhu dan pengisisan kapiler pada area operasi dan
tandur kulit.
35
2. pertahankan kepala tempat tidur tinggi 30-45 derajat. Awasi edema
wajah (biasanya meningkat pada hari ketiga -kelimapascaoperasi).
3. lindungi lembaran kulit dan jahitan dari tegangan atau tekanan.
Berikan bantal/ gulungan dan anjurkan pasien untuk menyokong
kepala/ leher selama aktivitas
4. awasi drainase berdarah dari sisi operasi, jahitan dan drein. Ukur
drainase dari hemovak (bila digunakan).
5. catat atau laporkan adanya drainase seperti susu.
6. ganti balutansesuai indikasi bila digunakan.
7. bersihkan insisi dengan air garam faal steril dan peroksida setelah
balutan diangkat.
Diagnosa VII
Resiko tinggi trauma pernapasan berhubungan dengan tidak optimalnya
drainage selang sekunder akibat pipa WSD terjepit
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan
diharapkan pasien tidak ada trauma pernafasan dan pernafasan adekuat
NOC : Risk Kontrol
Kriteria hasil
1. irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada dalam batas normal
2. pada pemeriksaan rontgen torak terlihat adanya pengembangan paru,
3. bunyi napas terdengar jelas.
NIC : risk management
36
1. Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan, laporkan setiap
perubahan yang terjadi
2. Observasi tanda-tanda vital (nadi, RR)
3. Bariingkan klien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk.
4. Perhatikan undulasi pada selang WSD
5. Anjurkan klien untuk memegang selang apabila akan mengubang posisi
6. Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu
7. Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh
8. Beri penjelasan pada klien tentang perawatan WSD
9. Bantu dan ajarkan klien untuk melakukan batuk dan napas dalam
edektif
Diagnosa VIII
Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan insersi WSD
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selam proses keperawatan
diharapkan klien bebas dari infeksi pada lokasi insersi selama pemasangan
WSD,
NOC : Risk Detection
Kriteria hasil :
1. Bebas dari tanda–tanda infeksi
2. tidak ada kemerahan, purulent, panas, dan nyeri yang meningkat serta
fungsiolisa.
37
3. Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Indikator skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC :
1. Berikan pengertian dan motivasi tentang perawatan WSD
2. Kaji tanda – tanda infeksi
3. Monitor reukosit dan LED
4. Dorongan untuk nutrisi yang optimal
5. Berikan perawatan luka dengan teknik aseptic dan anti septic
6. Bila perlu berikan antibiotik sesuai advis
4. Evaluasi
Diagnosa I
1) Menunjukan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu
(mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah )
2) Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal)
3) Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat
38
menghambat jalan nafas
Diagnosa II
1) Tidal volume sesuai yang diharapkan
2) Kapasitas vital sesuai dengan yang diharapkan
3) Frekuensi pernafasan adekuat
4) Bernafas mudah
Diagnosa III
1) Pasien mampu memonitor intensitas kecemasan
2) Menurunkan stimulasi ketika cemas
3) Menggunankan strategi koping efektif
4) Melaporkan cemas hilang atau menurun sampai tingkat yang dapat
ditangani
5) penampilan rileks dan istirahat/tidur dengan tepat
Diagnosa IV
1) Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi
2) dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan
nyeri
3) pasien tidak gelisah.
Diagnosa V
1) Klien merasakan nyeri berkurang selama bernafas dan bergerak
2) klien memiliki range of motion optimal sesuai dengan kemampuannya
3) mobilitas fisik sehari–hari terpenuhi.
39
Diagnosa VI
1) Menunjukkan waktu penyembuhan yang tepat tanpa komplikasi.
2) Menunjukkan teknik meningkatkan penyembuhan / mencegah
komplikasi.
3) Integritas kulit baik
4) Tidak ada lesi
5) Mampu menjaga kelembaban kulit
Diagnosa VII
1) irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada dalam batas normal
2) pada pemeriksaan rontgen torak terlihat adanya pengembangan paru,
3) bunyi napas terdengar jelas.
Diagnosa VIII
1) Bebas dari tanda–tanda infeksi
2) tidak ada kemerahan, purulent, panas, dan nyeri yang meningkat serta
fungsiolisa.
3) Tanda – tanda vital dalam batas normal.
BAB III
TINJAUAN KASUS
40
Asuhan keperawatan pada Tn. S dengan ” Gangguan sistem
pernafasan : post WATER SEAL DRAINAGE (WSD) hari ke-6 akibat
Pneumothoraks di ruang Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto” , pada tanggal 12 Juli 2011 yang dilakukan oleh penulis, akan
penulis sajikan dalam bentuk resume keperawatan yang meliputi proses
pengkajian, penyusunan diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi
dan evaluasi.
1. Pengkajian
a. Identitas
Pengkajian dilakukan oleh penulis pada hari Selasa, 12 Juli
2011 pada pukul 08.00 WIB di ruang Cempaka RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo dengan sumber informasi keluarga pasien bernama
Ny. S. Dari informasi yang didapatkan, diketahui bahwa pasien
bernama Tn. S umur 63 tahun, jenis kelamin laki-laki, beragama islam,
pendidikan terakhir SD, seorang pedagang, dan beralamatkan di
Kalisari,cilongok. Tn.S masuk ke rumah sakit pada tanggal 4 Juli 2011
dengan nomor register 857887. Penanggung jawab pasien bernama Ny.
S berusia 60 tahun. Ny. S adalah istri dari Tn.S dan tinggal bersama di
kalisari,cilongok.
b. Riwayat kesehatan
Pasien datang ke UGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto, rujukan dari RSUD Ajibarang post kecelakaan lalu lintas
41
sepeda motor yang dinaikinya masuk jurang dengan ketinggian kurang
lebih 3 meter. Saat tiba di RSUD Ajibarang pasien sadar, sampai
dengan dibawa ke RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo diketahui
glasgow coma scale (GCS) = 15 dengan E4M6V5, kesadaran compos
mentis, terdapat luka pada dada dan lebam di kelopak mata kiri,
kompresi vertebrae servikal iv- v . Kecelakaan terjadi pada tanggal 4
Juli 2011, dilakukan operasi pemasangan WSD tanggal 6 Juli 2011
kemudian dirawat di Ruang Kenanga hingga tanggal 12 Juli sampai
pada saat penulis melakukan pengkajian.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit menurun atau menular
berbahaya, dan sebelumnya tidak pernah dirawat di rumah sakit,
begitupun dengan keluarga pasien yang lainnya.
c. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik kondisi pasien secara umum dalam
keadaan cukup. Kesadaran pasien compos mentis (E4V5M6), dan pada
pemeriksaan tanda-tanda vital, tekanan darah (TD) pasien 120/80
mmHg, nadi perifer (N) 78 x/menit, respirasi (R) 27 x/menit, suhu
tubuh (S) pasien 37 ºC, terdapat luka post WSD (WATER SEAL
DRAINAGE) hari ke-6 di bagian paru-paru dextra, pupil isokor 3 mm,
lebam dan oedema pada mata kiri, terpasang oksigen (O2) via nasal
kanul 3 L/menit, tidak ada perdarahan pada hidung dan telinga, mulut
dan gigi kotor, mukosa kering, serta terpasang intravenous fluid device
(IVFD) di tangan kiri
42
d. Pemeriksaan penunjang
Data penunjang, pasien mendapatkan terapi injeksi Cefotaxime
3x500mg perhari intravena; Dexametasone 3x1amp perhari; ketorolak
2x1amp perhari; infuse RL 500ml 20 tetes permenit (tpm),
Hasil pemeriksaan foto thoraks pada tanggal 06 Juli 2010
terdapat gambaran emfisema subkutis lateral himitothoraks kanan dan
kiri.
Pemeriksaan laboratorium pasien post operasi WSD (WATER
SEAL DRAINAGE) pada tanggal 11 juli 2011, didapatkan hasil
Hemoglobin 11,2 g/dl, Leukosit 7950 /ul, Hematokrit 34%, Eritrosit 4,1
10^/ul, Trombosit 226.000/ul, MCV 83,67 fl, MCH 27,6 pg, MCHC
32,9%, RDW 14,2%, MPV 9,7 fl, Basofil 0,1%, Eosinofil 4,7%, Batang
0%, Segmen 82,4%, Limfosit 5,9 %, Monosit 6,9%, SGOT 36 u/L.
e. Pola fungsional Gordon
Berdasarkan pengkajian 11 pola fungsional Gordon, terdapat
masalah yang menonjol yaitu pada pola persepsi dan kognitif, pola
aktivitas/latihan, pola istirahat tidur, dan pola eliminasi, sedangkan 7
fungsional yang lain dalam batas normal.
Pada pola persepsi pasien mengatakan kurang begitu paham
tentang penyakit yang di deritanya,dan tindakan keperawatan yang di
berikan kepada pasien.
43
Pola latihan dan aktivitas pasien selalu dibantu keluarga dan
perawat. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien hanya tiduran.
Pasien tidak mengalami penurunan kesadaran dengan keadaan umum
sedang / compos mentis (E4M6V5) dan ada kompresi vertebrae servikal
iv- v. Berdasarkan skala tingkat ketergantungan, pasien termasuk
kriteria ketergantungan sedang / dengan pengawasan hingga total oleh
pemberi asuhan keperawatan dan keluarga..
Pola eliminasi BAK pasien dibantu dengan dower cateter (DC)
atau kateter dan pasien sama sekali belum pernah BAB sejak 6 hari
yang lalu saat kecelakaan terjadi sampai saat dilakukan pengkajian oleh
penulis.
44
2. Analisa Data
Berdasarkan pengkajian yang dilakukan pada Tn. S dengan post
operasi pemasangan WSD (WATER SEAL DRAINAGE) tanggal 6 Juli 2011
didapatkan data subyektif dan data obyektif, kemudian dilakukan analisa
data sebagai berikut:
Tabel 3.1 Analisa data Ny. S dengan post operasi pemasangan WSD
(WATER SEAL DRAINAGE)
NO DATA FOKUS ETIOLOGI PROBLEM
1. DS : Pasien mengatakan nyeri
pada punggung
belakang ,dada sebelah kiri
atas dan luka WSD
DO : P : nyeri pada punggung post
jatuh dari motor dan masuk
jurang denan kedalaman
kurang lebih 3 meter
Q : nyeri seperti dipukul-
pukul
R : nyeri di punggung,dada kiri
atas dan luka post oprasi
WSD
S : skala nyeri 6
T : saat digerakkan
Agen injuri fisik Nyeri akut
45
2. DS : Pasien mengatakan sesak
nafas
DO : Terpasang O2 : 3 liter/menit
RR :27X/Menit
Ekspansi paru tidak
maksimal karena
akumulasi udara dan
cairan
Ketidakefektifan pola
nafas
3. DS : Pasien mengatakan
punggung dan dada kiri
atas nyeri , dan ada luka
post pemasangan
WSD ,lebam disekitar
bawah clavikula kiri
DO : Pasien terlihat tidak
mampu melakukan
aktivitas mandiri
Kerusakan mobilitas
fisik
Intoleransi aktifitas
3. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian, penulis dapat mengumpulkan
beberapa masalah keperawatan yang dialami pasien diantaranya :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara dan cairan dalam rongga pleura
c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kerusakan mobilitas fisik
46
4. Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi
Berikut merupakan intervensi, implementasi, dan evaluasi guna
pemecahan masalah keperawatan di atas :
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses
keperawatan diharapkan nyeri berkurang/ hilang dengan kriteria hasil,
mampu mengontrol nyeri, menyampaikan bahwa nyeri berkurang, mampu
mengendalikan gejala- gejala nyeri, menyatakan nyaman setelah nyeri
berkurang, tanda- tanda vital dalam batas normal.
1) Intervensi
Rencana tindakan untuk mengatasi nyeri antara lain : kaji nyeri
sevara komprehensif, kurangi faktor penyebab nyeri, berikan therapi
nafas dalam jika nyeri, control lingkungan yang dapat mempengaruhi
nyeri.
2) Implementasi
Implementasi yang telah dilakukan yaitu mengkaji kondisi umum dan
kesadaran pasien, memantau tanda-tanda vital, memberikan therapy
nafas dalam saat pasian merasa nyeri, dan memberikan lingkungan
yang tenang, memberikan therapy analgesic ( ketorolak 2x1 amp).
3) Evaluasi
Evaluasi yang didapatkan selama 4 jam memberikan asuhan
keperawatan yaitu pasien dalam kesadaran baik mampu mengikuti
therapy nafas dalam yang di ajarkan perawat, dan bisa
47
menggunakannya saat pasien measa nyeri muncul, pasien megatakan
nyeri berkurang.
b) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ekspansi paru
yang tidak maksimal karena akumulasi udara dan cairan dalam
rongga pleura.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses
keperawatan diharapkan pola nafas menjadi efektif dengan kriteria
hasil, frekuensi pernafasan dalam batas normal, irama nafas dalam
batas normal, ekspansi dada simetris, pasien mampu bernafas dengan
mudah.
1) Intervensi
Rencana tindakan untuk mengatasi ketidakefektifan pola nafas
antara lain : memo nitor frekuensi, ritmen kedalaman pernafasan
pasien, monitor pernafasan hidung, monitor pola nafas, monitor
adanya krepitasi, posisikan pasien yang nyaman, auskultasi suara
nafas, palpasi ekspansi paru, beri O2 : 3 liter / menit dan beri obat
antibiotik sesuai indikasi.
2) Implementasi
Implementasi yang telah dilakukan yaitu memonitor frekuensi,
ritmen kedalaman pernafasan pasien, monitor pernafasan hidung,
monitor pola nafas, monitor adanya krepitasi, memposisikan pasien
yang nyaman, auskultasi suara nafas, palpasi ekspansi paru, beri O2
48
: 3 liter / menit dan ganti balut WSD, mengobservasi daerah kulit
yang terinvasi dan terdapat luka jahitan, dan memberi obat
antibiotik cefrotaxime.
3) Evaluasi
Evaluasi yang didapatkan selama 4 jam memberikan asuhan
keperawatan yaitu pola nafas tidak efektif teratasi sebagian namun
pasien masih merasa sesak. Pasien masih terpasang IVFD RL
20tpm, dan DC, tidak terdapat tanda-tanda infeksi pada luka jahit
post WSD (WATER SEAL DRAINAGE), TD = 120/80 mmHg, N
= 78 x/menit, R = 27 x/menit, S = 37oC.
c) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kerusakan mobilitas fisik
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 7 jam
diharapkan aktifitas pasien kembali lancar dengan kriteria hasil
keseimbangan penampilan, memposisikan tubuh,, gerakan endi,
ambulasi duduk.
1) Intervensi keperawatan
Rencana tindakan untuk mengatasi intoleransi aktifitas antara lain :
tempatkan tempat idur yang mudah di jangkau pasienm motivasi
pasien untuk tirah baring, monitor kekuatan otot dan kemampuan
gerak.
2) Implementasi
49
Implementasi yang telah dilakukan yaitu menempatkan tempat
tidur yang mudah di jangkau pasienm , memotivasi pasien untuk
tirah baring, memonitor kekuatan otot dan kemampuan gerak.
3) Evaluasi
Evaluasi yang didapatkan selama 7 jam memberikan asuhan
keperawatan yaitu pasien mengatakan sdah mampu tirah baring
sederhana.
50
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas asuhan keperawatan pada Tn. S
dengan ” Gangguan sistem pernafasan : post WATER SEAL DRAINAGE
(WSD) hari ke-6 akibat Pneumothoraks dextra di ruang Kenanga RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto”, selama satu hari yaitu pada
tanggal 12 Juli 2011, di rumah sakit Margono Soekarjo untuk memberikan
gambaran terhadap asuhan keperawatan yang telah penulis berikan.
Pembahasan asuhan keperawatan tersebut akan dilaksanakan
berdasarkan diagnosa keperawatan yang ditegakkan oleh penulis, dengan
memperhatikan tahapan proses keperawatan, dimulai dari pengkajian
hingga evaluasi. Pembahasan juga menyangkut beberapa kesenjangan
antara teori dan asuhan keperawatan yang penulis berikan pada pasien di
lapangan.
A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian dilakukan penulis pada hari Senin, 12 Juli 2010 pukul
08.00 WIB di ruang Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, dengan
sumber informasi dari wawancara dengan keluarga, pemeriksaan fisik,
catatan keperawatan didapatkan identitas pasien bernama Tn. S, umur 63
tahun. Penanggung jawab pasien bernama Ny. S, berusia 60 tahun, yang
merupakan istri dari Tn. S.
51
Pada pemeriksaan fisik kondisi pasien secara umum dalam keadaan
cukup. Kesadaran pasien compos mentis (E4V5M6), dan pada pemeriksaan
tanda-tanda vital, tekanan darah (TD) pasien 120/80 mmHg, nadi perifer
(N) 78 x/menit, respirasi (R) 27 x/menit, suhu tubuh (S) pasien 37 ºC,
terdapat luka post WSD (WATER SEAL DRAINAGE) hari ke-6 di bagian
paru-paru dextra, lebam dan oedema pada mata kiri, terpasang oksigen
(O2) via nasal kanul 3 L/menit, tidak ada perdarahan pada hidung dan
telinga, mulut dan gigi kotor, mukosa kering, serta terpasang intravenous
fluid device (IVFD) di tangan kiri
Data penunjang, pasien mendapatkan terapi injeksi Cefotaxime
3x500mg perhari intravena; Dexametasone 3x1amp perhari; ketorolak
2x1amp perhari; infuse RL 500ml 20 tetes permenit (tpm),
Hasil pemeriksaan foto thoraks pada tanggal 06 Juli 2010 terdapat
gambaran emfisema subkutis lateral himitothoraks kanan dan kiri.
Pemeriksaan laboratorium pasien post operasi WSD (WATER SEAL
DRAINAGE) pada tanggal 11 juli 2011, didapatkan hasil Hemoglobin
11,2 g/dl, Leukosit 7950 /ul, Hematokrit 34%, Eritrosit 4,1 10^/ul,
Trombosit 226.000/ul, MCV 83,67 fl, MCH 27,6 pg, MCHC 32,9%, RDW
14,2%, MPV 9,7 fl, Basofil 0,1%, Eosinofil 4,7%, Batang 0%, Segmen
82,4%, Limfosit 5,9 %, Monosit 6,9%, SGOT 36 u/L.
Berdasarkan pengkajian pola fungsional Gordon, didapatkan masalah
yang menonjol yaitu pada pola persepsi dan kognitif, pola latihan dan
aktivitas,pola tidur, serta pola eliminasi. Sedangkan menurut Doenges,
52
Moorhouse, dan Geissler (2000) yaitu neurosensori, aktivitas/istirahat, dan
eliminasi. Pengkajian berdasarkan pola fungsional Gordon, 7 pola
fungsional yang lain dalam batas normal.
Pada keluhan utama dan keluhan tambahan ditemukan bahwa pasien
mengalami gangguan pola nafas tidak efektif karena adanya penumpukan
udara dan cairan dalam rongga pleura yang menyebabkan menurunnya
ekspansi paru, serta keluhan ketidaknyamanan disebabkan nyeri post
pemasangan slang WSD.
Pengkajian menurut Doenges, Moorhouse, dan Geissler (2000)
menyebutkan gejala pada neurosensori meliputi : kehilangan kesadaran
sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinnitus, kehilangan
pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas, perubahan dalam
penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang
pandang, fotofobia, gangguan pengecapan dan penciuman. Sedangkan
tandanya yaitu perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status
mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan
masalah, pengaruh emosi/tingkah laku, dan memori), perubahan pupil
(respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata, ketidakmampuan
mengikuti, kehilangan pengindraan, seperti pengecapan, penciuman, dan
pendengaran, wajah tidak simetri, genggaman lemah, tidak seimbang,
refleks tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, hemiparese,
quadriplegia, postur (dekortikasi, desebrasi), kejang, sangat sensitif dengan
53
sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam
menentukan posisi tubuh.
Sedangkan pada kasus ditemukan data : kesadaran baik dengan
keadaan umum baik / compos mentis (E4M6V5). Pasien sadar sejak
kecelakaan dan pascaoperasi dan merintih. Berdasarkan data pasien
diatas, antara kasus dilapangan dengan teori terdapat kesamaan, yaitu
sangat sensitif dengan sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian
tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh karena ada cidera di
toraks dan ada kompresi di vertebrae clavikula iv-v . Sehingga penulis
menyimpulkan Tn. S memiliki masalah pada pola persepsi dan kognitif.
Pengkajian pada aktivitas/istirahat menurut Doenges, Moorhouse,
dan Geissler (2000) tanda dan gejalanya yaitu merasa lemah, lelah, kaku,
hilang keseimbangan, perubahan kesadaran, letargi, hemiparese,
quadriplegia, ataksia cara berjalan tidak tegap, masalah dalam
keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot
spastik. Pada pasien ditemukan adanya kesulitan tidur saat malam hari
selain di karenakan lingkungan yang terlalu berisik selain itu juga karena
nyeri post operasi pemasangan WSD , keluarga pasien mengatakan bahwa
pasien hanya tiduran dan menggeliat gelisah. Selain itu terdapat kompresi
vetebrae servikal iv-v dextra, berdasarkan skala tingkat ketergantungan,
pasien termasuk kriteria ketergantungan sedang / pengawasan hingga total
oleh pemberi asuhan keperawatan dan keluarga. Berdasarkan data pasien
antara kasus dilapangan dan teori terdapat kesamaan yaitu adanya cedera
54
(trauma) ortopedi dan luka insisi operasi pemasangan WSD dan sering
mengeluh tidak bisa tidur karena nyeri yang dirasakannya sehingga
penulis menyimpulkan, Tn. S memiliki masalah dalam pola
aktivitas/istirahat.
Doenges, Moorhouse, dan Geissler (2000) menyebutkan gejala
pada eliminasi meliputi : Inkontinensia kandung kemih/usus atau
mengalami gangguan fungsi. Pada kasus ditemukan data : BAK pasien
dibantu dengan dower cateter (DC) atau kateter dan pasien sama sekali
belum pernah BAB sejak 6 hari yang lalu saat kecelakaan terjadi sampai
saat dilakukan pengkajian oleh penulis. Berdasarkan data pasien diatas,
antara kasus dilapangan dengan teori terdapat kesamaan, yaitu adanya
inkontinensia usus. Sehingga penulis menyimpulkan, Tn. S memiliki
masalah pada pola eliminasi.
Pada keluhan utama jelas disebutkan bahwa pasien mengeluh nyeri
dan sesak nafas , ini membuat penulis mengangkat diagnosa utamya adalah
nyeri akibat agen injuri fisik dalam hal ini adalah luka post pemasangan
selang WSD, dan diagnosa prioritas ke dua adalah ketidakefektifan pola
nafas berhubungan dengan ketidak efektifan ekspansi paru karena
penumpukan cairan dan udara dalam rongga pleura.
55
B. Diagnosa Keperawatan yang Muncul berdasarkan Prioritas
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
Menurut NANDA (2005), nyeri akut adalah pengalaman emosional
dan sensori yang tidak menyenangkan dan muncul dari kerusakan jaringan
secara aktual atau potensial atau menunjukkan adanya kerusakan, serangan
mendadak atau perlahan dari intensitas ringan sampai berat yang dapat
diantisipasi atau diprediksi durasi nyeri kurang dari 6 bulan.
Batasan karakteristik mayor nyeri yaitu adanya laporan secara
verbal maupun non verbal, gerakan melindungi, tingkah laku berhati-hati,
muka topeng dan tingkah laku ekspresif, posisi untuk mengurangi nyeri
(NANDA, 2005).
Diagnosa ini ditegakkan atas dasar pasien mengatakan nyeri pada
luka post operasi pada perut bagian kanan bawah sampai simfisis yang
diekspresikan dengan wajah menyeringai menahan sakit, pengkajian skala
nyeri 6, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 78 kali per menit, respirasi 27
kali per menit dan menurunnya aktivitas yang dilakukan karena pasien
merasa nyeri pada luka post operasi apabila bergerak.
Masalah keperawatan ini diprioritaskan pada urutan pertama karena
merupakan masalah aktual yang harus segera ditangani karena dalam
penyusunan diagnosis keperawatan dapat diurutkan dengan prioritas tinggi,
sedang dan rendah. Masalah dengan prioritas tinggi mencerminkan situasi
yang mengancam kehidupan dan memerlukan penanganan segera. Masalah
dengan prioritas sedang berhubungan dengan situasi yang tidak gawat dan
56
tidak mengancam kehidupan pasien. Masalah dengan prioritas rendah yaitu
masalah yang tidak mengancam kehidupan dan tidak memerlukan
penanganan segera. Pada kasus yang dikelola pasien, nyeri dengan skala 6
termasuk dalam skala sedang yang disertai ekspresi wajah menahan nyeri
dan merasa nyeri bila bergerak dapat digolongkan dalam masalah dengan
prioritas tinggi karena dapat mengancam kehidupan pasien. Terbebas dari
rasa nyeri merupakan kebutuhan rasa aman dan nyaman, dimana
kebutuhan rasa aman dan nyaman merupakan kebutuhan dasar manusia
kedua setelah kebutuhan fisiologis (Hirarki maslow: 2000)
Menurut Wilkinson (2000), intervensi prioritas dari diagnosa nyeri
akut antara lain lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokasi,
skala dan intensitas), observasi ketidaknyamanan non verbal, gunakan
pendekatan yang positif terhadap pasien (hadir dekat pasien untuk
memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara massase, perubahan
posisi, berikan perawatan yang tidak terburu-buru), kendalikan faktor
lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan, anjurkan pasien untuk istirahat dan menggunakan teknik
relaksasi, kolaborasi medis dalam pemberian analgetik.
Tindakan yang telah dilakukan dalam mengatasi masalah ini antara
lain:
a. Mengkaji nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, skala
nyeri dan intensitas nyeri.
b. Mengobservasi ketidaknyamanan non verbal.
57
c. Menggunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat
pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara
massase, mengatur posisi senyaman mugkin dan memberikan
perawatan yang tidak terburu-buru.
d. Mengendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon
pasien terhadap ketidaknyamanan.
e. Menganjurkan pasien untuk istirahat dan mengajarkan teknik relaksasi
dengan cara menarik nafas dalam dan menghembuskannya secara
perlahan-lahan.
f. Mengkaji tanda-tanda vital dan keadaan umum,
g. Berkolaborasi medis dalam memberikan ketorolac 2x1 amp per IV.
Penulisan intervensi mengacu pada NIC NOC. Pada penulisan
tujuan intervensi tidak memenuhi pedoman SMART, dibuktikan dalam
penulisan intervensi tidak dicantumkan batasan waktu sehingga data
kurang tepat. Seharusnya penulisan tujuan intervensi pada diagnosa
pertama yaitu: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x30 menit
diharapkan nyeri berkurang atau hilang (Johnson dan Maas :2004).
Pada intervensi dicantumkan skala awal dan skala yang diharapkan
dari semua kriteria hasil sehingga tidak ada acuan dalam menentukan
evaluasi dan tidak ada data yang muncul secara tiba-tiba. Seperti pada tabel
sebagai berikut:
58
Tabel 4.1 kriteria hasil yang benar pada Dx I
Kriteria hasil Skala awal Skala akhir
a. Pasien mengatakan nyeri
berkurang
b. Ekspresi wajah rileks
c. Skala nyeri 0-3 dari 10
d. Menunjukan teknik
relaksasi yang efektif
untuk mencapai
kenyamanan.
3
3
4
4
4
4
3
4
Kekuatan dalam mengatasi masalah ini adalah pasien kooperatif
dan mau melaksanakan anjuran yang diberikan penulis. Sedangkan kendala
yang dialami penulis adalah pada saat jam besuk, ruangan agak ramai
sehingga pasien tidak dapat istirahat dan pasien masih takut nyeri bila
bergerak. Adapun data yang menunjang dari diagnosis diatas secara teori
yaitu adanya perilaku melindungi diri, memfokuskan pada diri sendiri dan
perubahan pada tekanan darah (NANDA, 2005).
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama satu hari, maka
penulis melakukan evaluasi tindakan yang telah dilakukan dan didapatkan
data bahwa pasien mengatakan nyeri berkurang, pasien terlihat sedikit
rileks, skala nyeri 5. Berdasarkan data yang diperoleh penulis, maka
masalah keperawatan nyeri belum teratasi. Rencana tindakan tetap
59
melanjutkan rencana tindakan yang telah dilakukan sebelumnya yaitu kaji
skala nyeri, anjurkan teknik relaksasi dengan cara menarik nafas dalam dan
menghembuskannya secara perlahan-lahan, atur posisi pasien senyaman
mungkin, ciptakan lingkungan yang tenang dan kolaborasi medis
pemberian analgetik sesuai indikasi. Tindakan selanjutnya penulis
mendelegasikan kepada perawat ruangan. Dalam penulisan evaluasi hanya
dicantumkan skala akhir dan skala awal, sedangkan tujuan dari skala yang
diharapkan tidak dicantumkan, sehingga penulisan evaluasi kurang tepat
(Stuart dan Laraisa : 2001)
2. Intoleransi Aktifitas berhubungan dengan kerusakan mobilitas
fisik
Menurut Carpenito (2000) kerusakan mobilitas fisik adalah
keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko mengalami
keterbatasan gerakan fisik, tetapi bukan imobil. Kerusakan mobilitas fisik
adalah keterbatasan dalam pergerakan fisik pada bagian tubuh tertentu atau
pada satu atau lebih ekstremitas (NANDA, 2005).
Batasan karakteristiknya adalah postur tubuh tidak stabil selama
melakukan aktivitas rutin, keterbatasan kemampuan motorik kasar dan
halus, tak ada koordinasi gerak, keterbatasan ROM, perubahan gaya
berjalan, penurunan waktu reaksi, dan gerak lambat. (NANDA, 2005)
Pada pengkajian pada Tn. S ditemukan data-data yang mendukung
untuk memunculkan diagnosa tersebut. Tn. S mempunyai pola latihan dan
60
aktivitas yang selalu dibantu keluarga dan perawat. Keluarga pasien
mengatakan bahwa pasien hanya tiduran dan menggeliat gelisah. Pasien
mengalam kelemahan dalam beraktivitas karena adanya slang WSD dan
nyeri jika bergerak, sehingga pasein lebi memilih meminta bantuan
keluarga dn perawat untuk membantu aktivitas nya seperti BAB, Makan,
tirah baring ringan dan kompresi vertebrae servikal iv-v dextra.
Berdasarkan skala tingkat ketergantungan, pasien termasuk kriteria
ketergantungan sedang / dengan pengawasan hingga total oleh pemberi
asuhan keperawatan dan keluarga (Tamsuri :2007)
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan dengan ekspansi paru tidak maksimal karena akumulasi
udara dan cairan dalam rongga pleura
Ketidakefektifan pola nafas merupakan Pertukaran udara inspirasi
dan/atau ekspirasi tidak adekuat, dalam hal ini adalah karena adanya
akumulasi udara dan cairan dalam ronga pleura yang menyebabkan
ekspansi paru tidak efektif,
Disebutkan di teori bahwa batasan karakteristiknya adalah
penurunan tekanan inspirasi/ekspirasi, penurunan pertukaran udara per
menit, menggunakan otot pernafasan tambahan, nasal flaring, dyspnea,
orthopnea, perubahan penyimpangan dada, nafas pendek, assumption of 3-
point position, pernafasan pursed-lip ,tahap ekspirasi berlangsung sangat
lama, peningkatan diameter anterior-posterior, pernafasan
61
rata-rata/minimal : Bayi : < 25 atau > 60,Usia 1-4 : < 20 atau > 30,Usia 5-
14 : < 14 atau > 25,Usia > 14 : < 11 atau > 24 dengan Kedalaman
pernafasan Dewasa volume tidalnya 500 ml saat istirahat ,bayi volume
tidalnya 6-8 ml/Kg,Timing rasio ,penurunan kapasitas vital dan semua hal
itu karena ada Faktor yang berhubungan diantaran ya: Hiperventilasi,
deformitas tulang, kelainan bentuk dinding dada, penurunan
energi/kelelahan ,perusakan/pelemahan muskulo-skeletal, obesitas, posisi
tubuh, kelelahan otot pernafasan, hipoventilasi sindrom, nyeri, kecemasan,
disfungsi neuromuskuler, kerusakan persepsi/kognitif, perlukaan pada
jaringan syaraf tulang belakang, imaturitas neurologis
Kenyataan yang ditemukan pada pasien yaitu Tn. S adalah pasiem
mengalami benturan keras pada dadanya yang menyebabkan adanya
robekan di bronkus yang menghubungkannya dengan rongga pleura
sehingga udara luar yang masuk ke paru- paru sebagian masuk ke dalam
rongga pleura karena tekanan di rongga pleura lebih kecil ,karena robekan
pembuluh darah juga menyebabkan adanya penumpukan cairan darah
dalam rongga pleura selain udara dan akhirnya menumpuk banyak udara
dan cairan di rongga pleura yang menyebabkan paru- paru terdesak ke
mediastinum,hal ini menyebabkan pasien tidak mampu bernafas secara
maksimal karena ekspansi paru yang terganggu sebab adanya penumpukan
udara dan cairan dalam rongga pleura,selain itu ada kesamaan antara tanda
– tanda yang disebutkan di teori dengan yang ada dalam kenyataan yaitu
pasien mengalami nafas pendek- pendek dan RR : 27, Pada kedalaman
62
pernafasan ditemukan penurunan kapasitas vital, tahap ekspirasi
berlangsung lambat. karena alasan inilah pasien mengambil diagnosa
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ekspansi paru tidak
maksimal karena akumulasi udara dan cairan dalam rongga pleura.
Tindakan yang sudah dilakukan untuk mengatasi masalah
keperawtan ketidakefektifan pola nafas ini adalah memonitor frekuensi ,
ritme dan kedalaman pernafasan, memonitor pernafasan hidung,
memnacatat pergerakan dada, kesimetrisan, peggunaan otot tambahan dan
retraksi otot intracostal, memonitor pola nafas dan ditemukan pola nafas
belum efektif karena kedalaman nafas
C. Diagnosa Keperawatan yang tidak Muncul
1. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan
penurunan kemampuan ekspansi paru dan kerusakan
membrane alveolar kapiler
Gangguan pertukaran gas adalah pertukaran inspirasi dan
ekspirasi tidak adekuat (NANDA, 2001), batasan karakteristik
ditegakkannya diagnosa ini menurut NANDA (2001) adalah
penurunan, menggunakan otot pernafasan tambahan, dipacu, nafas
pendek, orthopneu.
Pada Tn. S memang ditemukan karakteritik yang telah
disebutkan oleh NANDA di atas. Pasien mengeluh sesak nafas,
frekuensi nafas pasien tidak dalam batas normal, ada retraksi dada
63
dan pasien mengalami sesak nafas bila mengganti posisi namun
untuk keluhan ini harus didukukng dengan pemeriksaan penunjang
yaitu pemeriksaan AGD yang penulis tidak temukan di status
pasien saat penulis mengkaji,jadi penulis memilih untuk tidak
mengangkat diagnosa ini (NIC NOC )
2. Cemas berhubungan dengan Dipsnea berat/ketidakmampuan
untuk berbapas dengan normal, perubahan status kesehatan.
Cemas menurut (NANDA : 2005 )Perasaan gelisah yang tak
jelas dari ketidaknyamanan atau ketakutan yang disertai respon
autonom (sumner tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu);
perasaan keprihatinan disebabkan dari antisipasi terhadap bahaya.
Sinyal ini merupakan peringatan adanya ancaman yang akan datang
dan memungkinkan individu untuk mengambil langkah untuk
menyetujui terhadap tindakan
Ditandai dengan :Gelisah, insomnia ,resah, ketakutan, sedih,
fokus pada diri, kekhawatiran,cemas.
Pada pasien memang ditemukan kegelisahan karena pasien
ingin beraktifitas namun tidak mampu, dan pada kondisi ini pasien
masih bisa mentolelir dengan pasien bisa mengatur kegelisahannya,
pasien kadang terlihat tenang jika aktivitas ada yang menbantu
yaitu keluarganya. Untuk itu penulis merasa tidak perlu
mengangkat diagnosa ini menjadi prioritas maslah ,namun penulis
64
tetap melakukan tindakan keperawatan yaitu memberikan terapi
nafas dalam saat pasien mulai gelisah.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka
pasca pemasangan WSD
Gangguan integritas kulit adalah suatu kondisi dimana
seoran mengalami atau berada pada resiko kerusakan jaringan
epidermis dan dermis (Carpenito : 2000)
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka
pemasangan pasca WSD adalah Perubahan pada epidermis dan
dermis karena post insisi pemasangan slang WSD dengan batasan
karakteristik : Gangguan pada bagian tubuh, Kerusakan lapisa kulit
(dermis), gangguan permukaan kulit (epidermis). Faktor yang
berhubungan dari factor Eksternal : Hipertermia atau hipotermia
substansi kimia, kelembaban udara, faktor mekanik (misalnya : alat
yang dapat menimbulkan luka, tekanan, restraint) . Internal :
Perubahan status metabolic, tulang menonjol ,defisit
imunologi ,faktor yang berhubungan dengan perkembangan,
perubahan sensasi, perubahan status nutrisi (obesitas, kekurusan),
perubahan status cairan ,perubahan pigmentasi, perubahan
sirkulasi, perubahan turgor , (Carpenito :2001).
Pada pasien memang ditemukan perubahan bentuk pada
kulit post pemasangan slang WSD namun tidak ditemukan
65
perubahan pigmentasi atau perubahan warna kulit post pemasangan
slang WSD karena saat penulis mengkaji luka post pemasangan
WSD keadaanya baik. Itulah alasan mengapa penulis tidak
menegakkan diagnosa ini.
4. Resiko tinggi trauma pernapasan berhubungan dengan tidak
optimalnya drainage selang sekunder akibat pipa WSD terjepit
Pada resiko tinggi trauma pernafasan berhubungan dengan
tidak optimalnya drainage selang sekunder pipa WSD ( Wikinson
2007) adalah resiko kesulitan atau gangguan pernafasan jika ada
gangguan pada selang WSD, namun penulis tidak menemukan
adanya kerusakan pada selang WSD jadi penulis merasa tidak perlu
menegakkan diagnosa ini, akan tetapi penulis tetap melakukan
tindakan keperawatan yaitu pengawasan slang WSD dan menjaga
kebersihannya dengan mengganti balutanya 1x sehari untuk
mengurangi resiko gangguan pernafasan karena kerusakan selang
WSD.
5. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan insersi WSD
Resiko infeksi adalah peningkatan resiko untuk terinvasi
oleh organisme patogen (NANDA, 2005). Menurut Carpenito
(2000) Resiko terhadap infeksi adalah keadaan dimana seorang
individu beresiko terserang agen patogenik atau oportunistik (virus,
66
jamur, bakteri, protozoa, atau parasit lain) dari sumber-sumber
eksternal, sumber-sumber endogen atau eksogen.
Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan insersi WSD
adalah pningkatan resiko masuknya organisme pathogen kedalam
tubuh karena adanya luka yang menghubungkan udara luar dengan
organ dalam tubuh, adapun factor resikonya antara lain : posedur
Infasif. Pada pasien ditemukan luka insisi post pemasangan WSD
namun pada luka pasien tertutup dengan kasa steril sehingga
kemungkinan terpaparnya kuman untuk masuk kedalam tubuh
melalaui luka insisi kecil, alasan ini memmbuat penulis tidak
menegakkan diagnosa ini.
Data yang ditemukan pada pasien adalah TD = 120/80
mmHg, N = 76 x/menit, R = 27 x/menit, S = 37 oC, terdapat luka
jahit post WSD di area dada yang terbungkus kasa steril, dan
terpasang IVFD RL 20tpm, leukositnya 7950, dari data yang
ditemukan masih dibilang nomal, sehingga penulis tidak
mengakngkat diagnosa resiko infeksi. Resiko infeksi juga bukan
merupakan diagnose prioritas karena masih tergolong resiko, jadi
harus lebih diutamakan yang diagnose actual ( NANDA : 2005)
67
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Setelah melakukan asuhan keperawatan secara komprehensif
dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. S DENGAN
GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN : POST OPERASI
PEMASANGAN WATER SEAL DRAINAGE (WSD) HARI Ke-6
AKIBAT PNEUMOTORAKS DEXTRA DI RUANG KENANGA
RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARDJO PURWOKERTO”,
selama satu hari yaitu tanggal 12 Juli 2011, dengan melakukan pendekatan
keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi mendapatkan
beberapa kesimpulan serta akan memberikan beberapa saran sebagai
berikut:
A. Simpulan
1. Asuhan keperawatan dari pengkajian sampai dengan evaluasi pada klien
dengan post pemasangan WATER SEAL DRAINAGE ke-6 di ruang
Kenanga RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, yaitu :
e. Perawatan post WSD adalah bentuk pelayanan perawatan yang
diberikan kepada psien – pasien yang telah menjalani operasai
pemasangan selang di pleura. Yang terpenting dari penatalaksanaan
dari perawatnan WSD adalah mencegah komplikas pemasangan, dan
menjaga kesterilan dalam rindakan untuk mengurangi resiko infeksi,
mempercepat penyambuhan luka dan mempersiapkan pasien pulang.
68
f. Setelah dilakukakan tahap – tahap pengkajian , pengumpulan data ,
pengelompokan dan analisa data pada pasien Tn. S post pemasangan
selang WSD hari ke-6 yaitu didapatkan diagnose keperawatan nyeri
akur berhubungan dengan agen cidera fisik,ketidakefektifan pola
nafas berhubungan dengan ekspansi paru tidak maksimal karana
akumulasi udara udara dan cairan dalam rongga pleua, kerusakan
mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktifitas.
Penatalaksanaan pasien dengan post pemasangan WSD bertujuan
untuk mengeluarkan akumulasi udara dan cairan dalam rongga
pleura, tindakan yang dilakukan mencakup perawatan balutan pada
lubang WSD dengan menggunakan prinsio steril dan managemen
nyeri serta tindakan untuk mencegah komplikasi,. Setelah dilakukan
tindakan keperrawatan masalah yang belum tteratasi diantaranya
nyeri akut, intoleransi aktivitas dan ketidakefektifan pola nafas,
karena keterbatasan waktu asuhan keperawatan ehingga perlu
perawatan tindak lanjut.
g. Kesenjangan yang muncul dalam pengelolaan kasus dilapangan
dengan konsep yang ada berkaitan dengan penegakan diagnosa . Ada
beberapa diagnosa yang ada dalam konsep namun tidak dimunculkan
pada Tn. S antara lain : gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan penurunan kemampuan ekspansi paru, cemas berhubungan
dengan dipsnea, gangguan integritas kulit berhubungan dengan
adanya luka pasca pemasangan WSD, resiko tinggi trauma
69
pernafasan berubungan dengan tidak optimalnya drainage selang
ekunder akibat pipa WSD terjepit, resiko tinggi imfeksi berhubungan
dengan inserdi WSD. Hali itu dikarenakan tidak ada data penunjang
yang mendukung dia ngkatnya diagnosa tersebut.
h. Dalam pengelolaan kasus pada Tn. S ada beberapa factor pendukung
dan penghambat dalam menentukan keberhasilan tindakan Faktor
pendukungnya meliputi : pasien dan keluarga sangat bekerja sama
dalam pelaksanaan tindakan serta pihak rumahsakit ikut membantu
dalam pengadaan alat- alat steril yang digunakan dalam melakukan
tindakan ke pasien. Sedangkan , faktor penghambat dari pengelolaan
kasus itu sendiri adalah keterbatasan waktu dalam melakukan
tindakan keperawatan maupun pendokumenasian keperawatan.
B. Saran
Dari kesimpulan yang penulis peroleh dan telah dijabarkan diatas, dengan
tujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas serta mutu asuhan
keperawatan pada waktu yang akan datang , maka penulis berkesempatan
untuk menyampaikan beberapa saran dan rekomendasi yang dijabarkan
sebagai berikut :
1. Dalam pengkajian sebaiknya perawat dapat lebih memfokuskan pada
masalah post pemasangan water seal drainage hari ke-6 antara lain saat
terjadinya keluhan nyeri karena post pemaangan WSD biasanya
menimbulkan raa nyeri. Selain itu, observasi terhadap luka post operasi
70
pemasangan water seal drainage secara berkala perlu dilakukan untuk
mengantisipasi adanya infeksi. Sedangkan pada pola fungsional Gordon
difokuskan pada pola persepsi dan kognitif, pola aktivitas/latihan, pola
tidur, dan pola eliminasi agar nantinya dapat mempermudah dalam
penentuan diagnosa prioritas keperawatan dan selanjutnya menentukan
intervensi serta melakukan implementasi yang tepat demi keberhasilan
dalam evaluasi sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan.
2. Dalam melakukan asuhan keperawatan sebaiknya menggunakan
referensi yang pas, dan melihat kondisi pasien, sehingga mampu
melakukan asuhan keperawatan secara maksimal.
3. Dalam pelaksanaan asuhan keperawatan terdapat faktor- faktor
pendukung dan faktor penghambat yang sebaiknya dapat di
pertimbangkan sebelumnya agar dapat terselesaikan optimal.
4. Perawat diharapkan dapat memberikan pendidikan kesehatan pada
pasien, hal ini dieperlukan karena kebanyakan pasien masih awam
dengan penyakit yang dideritanya, supaya pasien mampu koopeatif
dalam semua tindakan keperawatan dan menimbulkan hubungan
terapeutik yang lebih dalam antara perawat dan pasien.