BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stres adalah suatu reaksi tubuh yang dipaksa, di mana ia boleh menganggu
equilibrium (homeostasis) fisiologi normal (Julie K., 2005). Stres adalah reaksi/respons tubuh
terhadap stresor psikososial (tekanan mental/beban kehidupan).
Stres disebabkan oleh pelepasan neurotransmitters (neurotransmiter adalah bahan
kimia dalam tubuh yang membawa pesan ke dan dari saraf) dari kelenjar adrenal, medula.
Medula adrenal mengeluarkan dua jenis neurotransmiter, yaitu epinefrin atau disebut sebagai
adrenalin dan norepinefrin (noradrenalin), dalam respon terhadap stres. Pelepasan
neurotransmiter menyebabkan efek fisiologis terlihat pada respon "fight or flight", misalnya,
denyut jantung yang cepat, peningkatan kewaspadaan, dan lain-lain.
Akibat stres kecenderungan mengalami gangguan pada kulit, sakit kepala, sakit pada
punggung bagian bawah, ketegangan otot, gangguan tidur, rusaknya fungsi imun tubuh,
termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker.
Salah satu nya terjadi gangguan tidur terjadi karena Proses pemulihan yang terhambat
menyebabkan organ tubuh tidak bisa bekerja dengan maksimal, akibatnya orang yang kurang
tidur akan cepat lelah dan mengalami penurunan konsentrasi. Kondisi tidur dapat memasuki
suatu keadaan istirahat periodik dan pada saat itu kesadaran terhadap alam menjadi terhenti,
sehingga tubuh dapat beristirahat. Otak memiliki sejumlah fingsi, struktur, dan pusat-pusat
tidur yang mengatur siklus tidur dan terjaga. Tubuh pada saat yang sama menghasilkan
substansi yang ketika dilepaskan ke dalam aliran darah akan membuat mengantuk. Proses
tersebut jika diubah oleh stres, kecemasan, gangguan dan sakit fisik dapat menimbulkan
insomnia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengaruh stres atau psikologi terhadap pola tidur?
1.3 Tujuan
1. Ingin mengetahui pengaruh stres atau psikologi terhadap pola tidur
1.4 Metode Penulisan
Metode yang di gunakan ialah membaca dan merangkum dari karya orang lain serta
mencari informasi dari internet.
1
1.5 Sistematika Penulis
Kata pengantar
Daftar isi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4. Metode
1.5 Sistematika Penulisan
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Stres
2.2 Tahapan Tidur Normal
2.3 Kualitas Tidur
2.4 Hubungan Stres dengan Tidur
BAB 3 PENUTUP
3.1 Simpulan
Daftar Pustaka
2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Stres
2.1.1. Definisi
Stres adalah suatu reaksi tubuh yang dipaksa, di mana ia boleh menganggu
equilibrium (homeostasis) fisiologi normal (Julie K., 2005). Stres adalah reaksi/respons tubuh
terhadap stresor psikososial (tekanan mental/beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan
secara bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang
tidak disukai berupa respons fisiologis, perilaku, dan subjektif terhadap stres; konteks yang
menjembatani pertemuan antara individu dengan stimulus yang membuat stres; semua
sebagai suatu sistem (WHO, 2003). Menurut Morgan dan King, “…as an internal state which
can be caused by physical demands on the body (disease conditions, exercise, extremes of
temperature, and the like) or by environmental and social situations which are evaluated as
potentially harmful, uncontrollable, or exceeding our resources for coping” (Morgan & King,
1986). Jadi stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh
tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak
terkontrol (AAT Sriati, 2007).
2.1.2. Kajian mengenai stres
Konsep milieu interieur (lingkungan internal tubuh), yang pertama kali diajukan oleh
Fisiologis Perancis, Claude Bernard. Dalam konsep ini, ia menggambarkan prinsip-prinsip
keseimbangan dinamis. Dalam keseimbangan dinamis, kekonstanan, kondisi mapan (situasi)
di lingkungan badan internal, sangat penting untuk bertahan hidup. Oleh karena itu,
perubahan dalam lingkungan eksternal atau kekuatan eksternal yang mengubah
keseimbangan internal harus bereaksi dan mengkompensasi supaya organisme dapat bertahan
hidup. Contoh kekuatan eksternal adalah seperti suhu, konsentrasi oksigen di udara,
pengeluaran energi, dan keberadaan predator. Selain itu, penyakit juga stres yang mengancam
keseimbangan lingkungan internal tubuh (Nasution I. K., 2007). Ahli saraf Walter Cannon
menciptakan istilah homeostasis untuk lebih menentukan keseimbangan dinamis yang telah
dijelaskan Bernard. Dia juga adalah yang pertama untuk memperkenalkan bahwa stresors
dapat berupa emosional maupun fisik. Melalui eksperimen, dia menunjukkan respons "fight
or flight" yang timbul pada manusia dan binatang ketika terancam. Selanjutnya, Cannon juga
3
mengatakan bahawa reaksi ini juga disebabkan oleh pelepasan neurotransmitters
(neurotransmiter adalah bahan kimia dalam tubuh yang membawa pesan ke dan dari saraf)
dari kelenjar adrenal, medula. Medula adrenal mengeluarkan dua jenis neurotransmiter, yaitu
epinefrin atau disebut sebagai adrenalin dan norepinefrin (noradrenalin), dalam respon
terhadap stres. Pelepasan neurotransmiter menyebabkan efek fisiologis terlihat pada respon
"fight or flight", misalnya, denyut jantung yang cepat, peningkatan kewaspadaan, dan lain-
lain. (Nasution I. K., 2007). Seterusnya, Hans Selye, seorang ilmuwan awal yang
mempelajari stres, melanjut pengamatan Cannon. Beliau mengatakan bahawa selain daripada
respons tubuh, semasa stres kelenjar pituitary juga memainkan peranan. Dia menggambarkan
kontrol oleh kelenjar sekresi hormon (misalnya, kortisol) yang penting dalam respon
fisiologis terhadap stres dengan bagian lain dari kelenjar adrenal yang dikenal sebagai
korteks. Selain itu, Selye sebenarnya memperkenalkan istilah tegangan dari fisika dan
rekayasa dan didefinisikan sebagai "respons bersama yang terjadi di setiap bagian tubuh,
fisik atau psikologis." (Nasution I. K., 2007).
Dalam eksperimennya, Selye menginduksi stres pada tikus dalam berbagai cara. Pada tikus
yang terkena tegangan konstan, berlakunya pembesaran kelenjar adrenal, ulkus
gastrointestinal dan atrofi sistem imun. Beliau menerangkan ini sebagai suatu proses adaptasi
umum (penyesuaian) atau sindrom stres. Ia menemukan bahwa proses ini adaptif,
penyesuaian yang sesuai dan normal untuk organisme dalam menangkal stres. Proses adaptif
yang berlebihan, dapat merusak tubuh. Overstres, bisa berbahaya. (Nasution I. K., 2007)
2.1.3. Jenis-jenis stres
Quick dan Quick (1984) dan Hans Selye dalam Girdano (2005) mengatakan bahwa terdapat
dua jenis stres, yaitu eustres dan distres.
Eustres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif
(bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang
diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat
performance yang tinggi. Ini adalah semua bentuk stres yang mendorong tubuh untuk
beradaptasi dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi. Ketika tubuh mampu
menggunakan stres yang dialami untuk membantu melewati sebuah hambatan dan
meningkatkan performa, stres tersebut bersifat positif,sehat, dan menantang (Walker.J, 2002).
Di sisi lain, distres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif,
dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu terhadap
penyakit sistemik dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan
4
dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian. Distres adalah semua bentuk stres yang
melebihi kemampuan untuk mengatasinya, membebani tubuh, dan menyebabkan masalah
fisik atau psikologis. Ketika seseorang mengalami distres, orang tersebut akan cenderung
bereaksi secara berlebihan, bingung, dan tidak dapat berperforma secara maksimal (Walker.J,
2002).
2.1.4. Sumber stres
Sumber stres atau penyebab stres dikenali sebagai stresor. Antara penyebabnya
adalah, fisik, psikologis, dan sosial. Stresor fisik berasal dari luar diri individu, seperti suara,
polusi, radiasi, suhu udara, makanan, zat kimia, trauma, dan latihan fisik yang terpaksa. Pada
stresor psikologis tekanan dari dalam diri individu biasanya yang bersifat negatif seperti
frustasi, kecemasan (anxiety), rasa bersalah, kuatir berlebihan, marah, benci, sedih, cemburu,
rasa kasihan pada diri sendiri, serta rasa rendah diri, sedangkan stresor sosial yaitu tekanan
dari luar disebabkan oleh interaksi individu dengan lingkungannya. Banyak stresor sosial
yang bersifat traumatic yang tak dapat dihindari, seperti kehilangan orang yang dicintai,
kehilangan pekerjaan, pension, perceraian, masalah keuangan, pindah rumah dan lain-lain.
(Nasution I. K., 2007).
2.1.5. Mekanisme stres
Empat variabel psikologik yang mempengaruhi mekanisme respons stres:
1) Kontrol: keyakinan bahwa seseorang memiliki kontrol terhadap stresor yang mengurangi
intensitas respons stres.
2) Prediktabilitas: stresor yang dapat diprediksi menimbulkan respons stres yang tidak
begitu berat dibandingkan stresor yang tidak dapat diprediksi.
3) Persepsi: pandangan individu tentang dunia dan persepsi stresor saat ini dapat
meningkatkan atau menurunkan intensitas respons stres.
4) Respons koping: ketersediaan dan efektivitas mekanisme mengikat ansietas dapat
menambah atau mengurangi respons stres.
Secara fisiologi, situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua
sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatik
berespons terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ
dan otot polos yang berada di bawah pengendaliannya, sebagai contohnya, ia meningkatkan
kecepatan denyut jantung dan mendilatasi pupil. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal
ke medula adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. Sistem
5
korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan CRF, suatu zat kimia yang bekerja
pada kelenjar hipofisis yang terletak tepat di bawah hipotalamus. Kelenjar hipofisis
selanjutnya mensekresikan hormon ACTH, yang dibawa melalui aliran darah ke korteks
adrenal. Dimana, ia menstimulasi pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol, yang
meregulasi kadar gula darah. ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk
melepaskan sekitar 30 hormon. Efek kombinasi berbagai hormon stres yang dibawa melalui
aliran darah ditambah aktivitas neural cabang simpatik dari sistem saraf otonomik berperan
dalam respons fight or flight (Nasution I. K., 2007).
2.1.6. Gejala stres
Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis stres : kecemasan, ketegangan,
kebingungan dan mudah tersinggung, perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam
(kebencian), sensitif dan hyperreactivity, memendam perasaan, penarikan diri depresi,
komunikasi yang tidak efektif, perasaan terkucil dan terasing, kebosanan dan ketidakpuasan
kerja, kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan konsentrasi, kehilangan
spontanitas dan kreativitas serta menurunnya rasa percaya diri.
Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres adalah : meningkatnya denyut jantung, tekanan
darah, dan kecenderungan mengalami penyakit kardiovaskular, meningkatnya sekresi dari
hormon stres (contoh: adrenalin dan noradrenalin), gangguan gastrointestinal (misalnya
gangguan lambung), meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan, kelelahan secara
fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan yang kronis (chronic fatigue
syndrome), gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada, gangguan pada
kulit, sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot, gangguan tidur,
rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker.
Gejala-gejala perilaku dari stres adalah: menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari
pekerjaan, menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas, meningkatnya penggunaan
minuman keras dan obat-obatan, perilaku sabotaj dalam pekerjaan, perilaku makan yang
tidak normal (kebanyakan), mengarah ke obesitas, perilaku makan yang tidak normal
(kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba,
kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi, meningkatnya kecenderungan
berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi,
meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan kriminalitas, menurunnya kualitas hubungan
interpersonal dengan keluarga dan teman serta kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.
6
Pengalaman stres sangat individual. Stres yang luar biasa untuk satu orang tidak semestinya
dianggap sebagai stres oleh yang lain. Demikian pula, gejala dan tanda-tanda stres akan
berbeda pada setiap individu (AAT Sriati, 2007).
2.1.7. Penentuan tahap stres
Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat ringannya stres yang dialami
seseorang. Tingkatan stres ini bisa diukur dengan banyak skala. Antaranya adalah dengan
menggunakan Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS 42) atau lebih diringkaskan sebagai
Depression Anxiety Stres Scale 21 (DASS 21) oleh Lovibond & Lovibond (1995).
Psychometric Properties of The Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS) terdiri dari 42
item dan Depression Anxiety Stres Scale 21 terdiri dari 21 item.
DASS adalah seperangkat skala subjektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional
negatif dari depresi, kecemasan dan stres. DASS 42 dibentuk tidak hanya untuk mengukur
secara konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk
pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku di manapun dari status emosional,
secara signifikan biasanya digambarkan sebagai stres. DASS dapat digunakan baik itu oleh
kelompok atau individu untuk tujuan penelitian.(Lovibond & Lovibond, 1995).
Tingkatan stres pada instrumen ini berupa normal, ringan, sedang, berat, sangat berat.
Psychometric Properties of The Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS) terdiri dari 42
item, mencakup 3 subvariabel, yaitu fisik, emosi/psikologis, dan perilaku. Jumlah skor dari
pernyataan item tersebut, memiliki makna 0-29 (normal); 30-59 (ringan); 60-89 (sedang); 90-
119 (berat); >120 (Sangat berat) .(Lovibond & Lovibond, 1995).
Selain itu, ada juga skala-skala lain yang bisa digunakan seperti Perceived Stres Scale(PSS)
atau Profile Mood States(POMS). Alat-alat ini digunakan sebagai instrument untuk
mendeteksi stres dan tahap stres dan bukannya sebagai alat untuk
mendiagnosa (Cohen, 1983) .
2.2 Tahapan Tidur Normal
Setiap makhluk memiliki irama kehidupan yang sesuai dengan masa rotasi bola dunia
yang dikenal dengan nama irama sirkadian. Irama sirkadian bersiklus 24 jam antara lain
diperlihatkan oleh menyingsing dan terbenamnya matahari, layu dan segarnya tanam-
tanaman pada malam dan siang hari, awas waspadanya manusia dan bintang pada siang hari
dan tidurnya mereka pada malam hari (Harsono, 1996).
7
Tidur merupakan kegiatan susunan saraf pusat, dimana ketika seseorang sedang tidur
bukan berarti bahwa susunan saraf pusatnya tidak aktif melainkan sedang bekerja (Harsono,
1996). Sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah reticular activating
system (RAS) dan bulbar synchronizing regional (BSR) yang terletak pada batang otak
(Potter & Perry, 2005)
RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat
termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalam mesenfalon dan bagian atas pons.
Selain itu RAS dapat memberi rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga
dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir.
Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin.
Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus
yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu BSR (Potter & Perry, 2005).
2.2.1 Tahapan Tidur
Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atau Rapid Eye
Movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak cepat atau Non Rapid Eye Movement
(NREM). Tidur diawali dengan fase NREM yang terdiri dari empat stadium, yaitu tidur
stadium satu, tidur stadium dua, tidur stadium tiga dan tidur stadium empat; lalu diikuti oleh
fase REM (Patlak, 2005). Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6 siklus
dalam semalam (Potter & Perry, 2005).
2.2.2 Tidur stadium satu
Pada tahap ini seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan dapat terbangun
dengan mudah oleh karena suara atau gangguan lain. Selama tahap pertama tidur, mata akan
bergerak peralahan-lahan, dan aktivitas otot melambat (Patlak, 2005).
2.2.3 Tidur stadium dua
Biasanya berlangsung selama 10 hingga 25 menit. Denyut jantung melambat dan suhu
tubuh menurun (Smith & Segal, 2010). Pada tahap ini didapatkan gerakan bola mata berhenti
(Patlak, 2005).
2.2.4 Tidur stadium tiga
8
Tahap ini lebih dalam dari tahap sebelumnya (Ganong, 1998). Pada tahap ini individu
sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun, individu tersebut tidak dapat segera
menyesuaikan diri dan sering merasa bingung selama beberapa menit (Smith & Segal, 2010).
2.2.5 Tidur stadium empat
Tahap ini merupakan tahap tidur yang paling dalam. Gelombang otak sangat lambat.
Aliran darah diarahkan jauh dari otak dan menuju otot, untuk memulihkan energi fisik (Smith
& Segal, 2010).
Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep, dan sangat
restorative bagian dari tidur yang diperlukan untuk merasa cukup istirahat dan energik di
siang hari (Patlak, 2005). Fase tidur NREM ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai
100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya
berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau
bangun (Japardi, 2002).
Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun kelopak mata
tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan dangkal. Denyut
jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005).
Selama tidur baik NREM maupun REM, dapat terjadi mimpi tetapi mimpi dari tidur REM
lebih nyata dan diyakini penting secara fungsional untuk konsolidasi memori jangka panjang
(Potter & Perry, 2005).
2.2.6 Siklus Tidur
Selama tidur malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM dan NREM terjadi
berselingan sebanyak 4-6 kali. Apabila seseorang kurang cukup mengalami REM, maka esok
harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang dapat
mengendalikan emosinya dan nafsu makan bertambah. Sedangkan jika NREM kurang cukup,
keadaan fisik menjadi kurang gesit (Mardjono, 2008).
2.2.6 Mekanisme Tidur
Tidur NREM dan REM berbeda berdasarkan kumpulan parameter fisiologis. NREM
ditandai oleh denyut jantung dan frekuensi pernafasaan yang stabil dan lambat serta tekanan
darah yang rendah. NREM adalah tahapan tidur yang tenang. REM ditandai dengan gerakan
mata yang cepat dan tiba-tiba, peningkatan saraf otonom dan mimpi. Pada tidur REM
terdapat fluktuasi luas dari tekanan darah, denyut nadi dan frekuensi nafas. Keadaan ini
9
disertai dengan penurunan tonus otot dan peningkata aktivitas otot involunter. REM disebut
juga aktivitas otak yang tinggi dalam tubuh yang lumpuh atau tidur paradoks (Ganong, 1998).
Pada tidur yang normal, masa tidur REM berlangsung 5-20 menit, rata-rata timbul setiap 90
menit dengan periode pertama terjadi 80-100 menit setelah seseorang tertidur. Tidur REM
menghasilkan pola EEG yang menyerupai tidur NREM tingkat I dengan gelombang beta,
disertai mimpi aktif, tonus otot sangat rendah, frekuensi jantung dan nafas tidak teratur (pada
mata menyebabkan gerakan bola mata yang cepat atau rapid eye movement), dan lebih sulit
dibangunkan daripada tidur gelombang lambat atau NREM.
Pengaturan mekanisme tidur dan bangun sangat dipengaruhi oleh sistem yang disebut
Reticular Activity System. Bila aktivitas Reticular Activity System ini meningkat maka orang
tersebut dalam keadaan sadar jika aktivitas Reticular Activity System menurun, orang tersebut
akan dalam keadaan tidur. Aktivitas Reticular Activity System (RAS) ini sangat dipengaruhi
oleh aktivitas neurotransmitter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kolinergik,
histaminergik (Japardi, 2002).
Sistem serotoninergik
Hasil serotoninergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino triptofan.
Dengan bertambahnya jumlah triptofan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga
meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/ tidur. Bila serotonin dalam triptofan
terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur/ jaga. Menurut beberapa
peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotoninergik ini terletak pada nucleus raphe dorsalis
di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktivitas serotonis di nucleus raphe dorsalis
dengan tidur REM.
Sistem adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepinefrin terletak di badan sel
nucleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat
mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi
peningkatan aktivitas neuron noradrenergik akan menyebabkan penurunan yang jelas pada
tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.
Sistem kolinergik
Menurut Sitaram dkk, (1976) dalam (Japardi, 2002) membuktikan dengan pemberian
prostigimin intravena dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kolinergik ini,
10
mengakibatkan aktivitas gambaran EEG seperti dalam kedaan jaga. Gangguan aktivitas
kolinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi,
sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine) yang
menghambat pengeluaran kolinergik dari lokus sereleus maka tampak gangguan pada fase
awal dan penurunan REM.
Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.
Sistem hormon
Siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti Adrenal Corticotropin
Hormone (ACTH), Growth Hormon (GH), Tyroid Stimulating Hormon (TSH), Lituenizing
Hormon (LH). Hormon-hormon ini masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar
hipofisis anterior melalui jalur hipotalamus. Sistem ini secara teratur mempengaruhi
pengeluaran neurotransmitter norepinefirn, dopamine, serotonin yang bertugas mengatur
mekanisme tidur dan bangun.
2.3 Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang tersebut
tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis,
kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian
terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006). Kualitas
tidur, menurut American Psychiatric Association (2000), dalam Wavy (2008), didefinisikan
sebagai suatu fenomena kompleks yang melibatkan beberapa dimensi.
Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur,
waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan aspek subjektif seperti
kedalaman dan kepulasan tidur (Daniel et al, 1998; Buysse,
2.4 Hubungan stres dengan pola tidur
Tidur adalah suatu proses yang sangat penting bagi manusia, karena dalam tidur
terjadi proses pemulihan, proses ini bermanfaat mengembalikan kondisi seseorang pada
keadaan semula, dengan begitu, tubuh yang tadinya mengalami kelelahan akan menjadi segar
kembali. Proses pemulihan yang terhambat dapat menyebabkan organ tubuh tidak bisa
bekerja dengan maksimal, akibatnya orang yang kurang tidur akan cepat lelah dan mengalami
11
penurunan konsentrasi. Kondisi tidur dapat memasuki suatu keadaan istirahat periodik dan
pada saat itu kesadaran terhadap alam menjadi terhenti, sehingga tubuh dapat beristirahat.
Otak memiliki sejumlah fingsi, struktur, dan pusat-pusat tidur yang mengatur siklus tidur dan
terjaga. Tubuh pada saat yang sama menghasilkan substansi yang ketika dilepaskan ke dalam
aliran darah akan membuat mengantuk. Proses tersebut jika diubah oleh stres, kecemasan,
gangguan dan sakit fisik dapat menimbulkan insomnia.
Insomnia adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tidur, baik secara kualitas
maupun kuantitas. Insomnia adalah gejala yang dialami oleh orang yang mengalami kesulitan
kronis untuk tidur, sering terbangun dari tidur, dan tidur singkat atau tidur nonrestoratif.
Penderita insomnia mengalami ngantuk yang berlebihan di siang hari dan kuantitas dan
kualitas tidurnya tidak cukup.
Gejala-gejala insomnia secara umum adalah seseorang sulit untuk memulai tidur,
sering terbangun pada malam hari ataupun di tengah-tengah saat tidur. Orang yang menderita
insomnia juga bisa terbangun lebih dini dan kemudian sulit untuk tidur kembali.
Insomnia merupakan ganggguan tidur yang paling sering dikeluhkan. Penelitian yang
dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kurang lebih 1/3 dari orang dewasa
pernah menderita insomnia setiap tahunnya. Gangguan tidur ini dapat mempengaruhi
pekerjaan, aktifitas sosial dan status kesehatan penderitanya. Nurmiati Amir, dokter
spesialis kejiwaan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, mengatakan bahwa insomnia menyerang 10 persen dari total penduduk di
Indonesia atau sekitar 28 juta orang. Total angka kejadian insomnia tersebut 10-15 persennya
merupakan gejala insomnia kronis. Seseorang dapat mengalami insomnia transien akibat stres
situasional seperti masalah keluarga, kerja atau sekolah, jet lag, penyakit, atau kehilangan
orang yang dicintai. Insomnia temporer akibat situasi stres dapat menyebabkan kesulitan
kronik untuk mendapatkan tidur yang cukup, mungkin disebabkan oleh kekhawatiran, stres,
dan kecemasan.
12
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Stres adalah suatu reaksi tubuh yang dipaksa, di mana ia boleh menganggu
equilibrium (homeostasis) fisiologi normal (Julie K., 2005). Stres adalah reaksi/respons tubuh
terhadap stresor psikososial (tekanan mental/beban kehidupan).
Tidur adalah suatu proses yang sangat penting bagi manusia, karena dalam tidur terjadi
proses pemulihan, proses ini bermanfaat mengembalikan kondisi seseorang pada keadaan
semula, dengan begitu, tubuh yang tadinya mengalami kelelahan akan menjadi segar kembali.
Karena terjadi respon stres proses pemulihan yang terhambat dapat menyebabkan organ
tubuh tidak bisa bekerja dengan maksimal, akibatnya orang yang kurang tidur akan cepat
lelah dan mengalami penurunan konsentrasi.
Akibat dari stres kualitas tidur atau kepuasan seseorang terhadap tidur tersebut,
sehingga memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis,
kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian
terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006). Kualitas
tidur, menurut American Psychiatric Association (2000), dalam Wavy (2008), didefinisikan
sebagai suatu fenomena kompleks yang melibatkan beberapa dimensi.
Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur,
waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan aspek subjektif seperti
kedalaman dan kepulasan tidur (Daniel et al, 1998; Buysse,
13
Top Related