BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sirosis hepatis adalah stadium akhir penyakit hati menahun dimana secara anatomis
didapatkan proses fibrosis dengan pembentukan nodul regenerasi dan nekrosis. Diseluruh
dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang
meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering
ditemukan dalam ruang perawatan bagian penyakit dalam.
Salah satu peran dan fungsi perawat adalah memberi penyuluhan kesehatan agar
masyarakat dapat mewaspadai bahaya penyakit sirosis hepatis, merawat pasien dengan
penyakit sirosis hepatis adalah mencakup perbaikan masukan nutrisi klien, membantu klien
mendapatkan citra diri yang positif dan pemahaman dengan penyakit dan pengobatanya.
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien
dengan penyakit sirosis hepatis untuk memudahkan kita sebagai perawat dalam merawat
pasien dengan penyakit sirosis hepatis dengan penanganan tepat dan asuhan keperawatan
yang komprehensif.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar penyakit dari sirosis hepatis?
2. Bagaimanakah konsep dasar asuhan keperawatan dari sirosis hepatis?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar penyakit dari sirosis hepatis.
2. Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar asuhan keperawatan dari sirosis hepatis.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi
Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan
menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi, dan, regenerasi
sel-sel hati, sehjngga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati (Mansjoer, dkk,
1999 : 508).
Menurut Doengoes,dkk (2000 : 544) Sirosis Hepatis adalah penyakit kronis hati
yang di karakteristikkan oleh gangguan struktur dan perubahan degenerasi gangguan
fungsi seluler dan selanjutnya aliran darah ke hati. Penyebab meliputi malnutrisi,
inflamasi (bakteri atau virus), dan keracunan (contoh : alkohol, karbon tetraklorida,
asetaminofen).
Penyakit hati kronik yang dicirikan oleh distorsi arsitektur hati oleh lembar-lembar
jaringan ikat dan nodula-nodula regenerasi hati yang tidak berkaitan dengan vascular
normal (Price & Wilson, 2002).
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses
peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi
nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro
menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C.
Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).
2. Etiologi
Sirosis Hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan
pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati
kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono Hadi, 2002). Namun, adapun faktor
predisposisinya antara lain ialah sebagai berikut :
2
a. Alkohol
Sirosis terjadi dengan frekuensi paling tinggi pada peminum minuman keras.
Mengonsumsi alkohol pada tingkat-tingkat yang tinggi dan kronis dapat melukai sel-
sel hati. Alkohol merupakan zat hepatotoksis yang merupakan penyebab utama pada
perlemakan hati sehingga menyebabkan infiltrasi lemak sehingga menghalangi
pembentukan lipoprotein yang berdampak pada terjadinya penimbunan lemak dalam
hati.
b. Faktor keturunan dan malnutrisi
Malnutrisi dapat mengurangi kekebalan tubuh, dan dapat mengurangi daya
pertahanan sel-sel liver terhadap zat toksik dan virus. Kekurangan nutrisi terutama
protein hewani dapat menyebabkan Sirosis hepatis. Protein hewani yang memegang
peranan penting ialah kholin dan methionin, demikian pula kekurangan vitamin B
komplek, tocoferol, cystine dan alfa 1-antitripsin dapat terjadi Sirosis hati.
c. Hepatitis virus
Hepatitis virus yang telah menginfeksi sel hati, semakin lama dapat berkembang
menjadi sirosis hati. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak
mempunyai kecenderungan untuk menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukkan perjalanan yang kronis bila dibandingkan dengan hepatitis virus A.
Penderita dengan hepatitis aktif kronik banyak yang menjadi sirosis karena banyak
terjadi kerusakan hati yang kronis serta terbentuknya jaringan parut dan nodul yang
semakin meluas.
d. Obat-obatan hepatotoksik
Beberapa obat-obatan (pain killer) dan zat kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan fungsi sel hati secara akut dan kronik. Pemberian bermacam obat-obatan
hepatotoksik secara berulang kali dan terus menerus. Mula-mula akan terjadi
kerusakan setempat, kemudian terjadi kerusakan hati yang merata, dan akhirnya dapat
terjadi Sirosis Hepatis. Obat obat TB yang juga mengandung hepatotoksik juga harus
diperhatikan indikasi dan pemberian alternative pengganti obat yang tidak
menimbulkan efek yang progesive bagi kerusakan hati.
3
e. Kelainan-kelainan genetik yang diturunkan/diwariskan
Berakibat pada akumulasi unsur-unsur beracun dalam hati yang menjurus pada
kerusakan jaringan dan sirosis. Contohnya akumulasi besi yang
abnormal (hemochromatosis) atau tembaga (penyakit Wilson).
f. Kolestasis
Saluran empedu membawa empedu yang dihasilkan oleh hati ke usus, dimana
empedu membantu mencerna lemak. Saluran empedu yang mengalami obstruktif
menyebabkan penumpukkan empedu didalam massa hati dengan kerusakan sel-sel
hati, terbentuk lembar-lembar fibrosa ditepi lobulus, hati membesar, keras, bergranula
halus dan berwarna kehijauan.
3. Klasifikasi
Berdasarkan etiologinya, sirosis hepatis dibedakan menjadi 3 tipe yaitu :
a. Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas
mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholisme kronis.
b. Sirosis pasca nekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat
lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
c. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran
empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis). Bagian
hati yang terlibat terdiri atas ruang portal dan periportal tempat kanalikulus biliaris
dari masing-masing lobulus hati bergabung untuk membentuk saluran empedu baru.
Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan jaringan yang berlebihan terutama terdiri
atas saluran empedu yang baru dan tidak berhubungan yang dikelilingi oleh jaringan
parut.
Secara morfologi sirosis hepatis dibagi menjadi 3 jenis antara lain :
a. Mikronodular (portal).
1) Septa tebal teratur
2) Besar nodul sampai dengan 3 mm
3) Mengandung nodul kecil dan halus diseluruh lobulus
b. Makronodular (pasca nekrotik)
1) Septa tebal bervariasi
4
2) Mengandung nodul yg besarnya bervariasi (> 3mm)
c. Campuran (bilier).
4. Patofisiologi
Hati dapat terlukai oleh berbagai macam sebab dan kejadian. Kejadian tersebut dapat
terjadi dalam waktu yang singkat atau dalam keadaan yang kronis atau perlukaan hati yang
terus menerus yang terjadi pada peminum alkohol aktif. Hal ini kemudian membuat hati
merespon kerusakan sel tersebut dengan membentuk ekstraselular matriks yang mengandung
kolagen, glikoprotein, dan proteoglikans, dimana sel yang berperan dalam proses
pembentukan ini adalah sel stellata. Pada cedera yang akut sel stellata membentuk kembali
ekstraselular matriks ini dimana akan memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya
septa fibrosa difus dan nodul sel hati sehingga ditemukan pembengkakan pada hati.
Sel stellata dalam memproduksi kolagen mengalami kontraksi yang cukup besar untuk
menekan daerah perisinusoidal. Adanya kapilarisasi dan kontraktilitas sel stellata inilah yang
menyebabkan penekanan pada banyak vena di hati sehingga mengganggu proses aliran darah
ke sel hati dan pada akhirnya sel hati mati. Kematian hepatocytes dalam jumlah yang besar
akan menyebabkan banyaknya fungsi hati yang rusak sehingga menyebabkan banyak gejala
klinis. Kompresi dari vena pada hati akan dapat menyebabkan hipertensi portal yang
merupakan keadaan utama penyebab terjadinya manifestasi klinis.
Hipertensi portal ini mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga perfusi
ginjal pun menurun. Hal ini meningkatkan aktifitas plasma renin sehingga aldosteron juga
meningkat. Aldosteron berperan dalam mengatur keseimbangan elektrolit terutama natrium .
Dengan peningkatan aldosteron maka terjadi terjadi retensi natrium yang pada akhirnya
menyebabkan retensi cairan dan lama-kelamaan menyebabkan asites dan juga edema.
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa sirosis hepatis merupakan penyakit hati
menahun yang ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul dimana terjadi
pembengkakan hati. Etiologi sirosis hepatis ada yang diketahui penyebabnya, misal
dikarenakan alkohol, hepatitis virus, malnutrisi, hemokromatis, penyakit Wilson dan juga ada
yang tidak diketahui penyebabnya yang disebut dengan sirosis kriptogenik. Patofisiologi
sirosis hepatis sendiri dimulai dengan proses peradangan, lalu nekrosis hati yang meluas
yang akhirnya menyebabkan pembentukan jaringan ikat yang disertai nodul.
5
6
5. Gejala Klinis
a. Pembesaran hati
Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh
lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui
melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati
yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung
fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran
hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati.
Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler).
b. Obstruksi Portal dan Asites
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan
sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif
praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati yang
sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut
akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa
organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua
organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja
dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia
kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan
asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau
gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau
dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering
dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.
c. Varises Gastrointestinal
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga
mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan
pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan
tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering
memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada
inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus
7
gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah
yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh
darah ini akan membentuk varises atau temoroid tergantung pada lokasinya. Karena
fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat
sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan
perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui
perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih
25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi
masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus.
d. Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis.
Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya
edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta
air dan ekskresi kalium.
e. Defisiensi Vitamin dan Anemia
Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yan tidak
memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin
tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan
dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal
bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut
menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status
nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang
mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pada Darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom
mikrositer / hipokrom makrositer, anemia dapat dari akibat hipersplemisme dengan
leukopenia dan trombositopenia, kolesterol darah yang selalu rendah mempunyai
prognosis yang kurang baik.
8
2) Kenaikan kadar enzim transaminase - SGOT, SGPT bukan merupakan petunjuk
berat ringannya kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum
akibat kebocoran dari sel yang rusak, pemeriksaan bilirubin, transaminase dan gamma
GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.
3) Albumin akan merendah karena kemampuan sel hati yang berkurang, dan juga
globulin yang naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan
menghadapi stress.
4) Pemeriksaan CHE (kolinesterase). Ini penting karena bila kadar CHE turun,
kemampuan sel hati turun, tapi bila CHE normal / tambah turun akan menunjukan
prognasis jelek.
5) Kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretic dan pembatasan garam dalam
diet, bila ensefalopati, kadar Na turun dari 4 meg/L menunjukan kemungkinan telah
terjadi sindrom hepatorenal.
6) Pemanjangan masa protrombin merupakan petunjuk adanya penurunan fungsi hati.
Pemberian vit K baik untuk menilai kemungkinan perdarahan baik dari varises
esophagus, gusi maupun epistaksis.
7) Peningggian kadar gula darah. Hati tidak mampu membentuk glikogen, bila terus
meninggi prognosis jelek.
8) Pemeriksaan marker serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg/ HbcAb, HBV
DNA, HCV RNA., untuk menentukan etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP (alfa
feto protein) penting dalam menentukan apakah telah terjadi transpormasi kearah
keganasan.
b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya :
1) Radiologi : dengan barium swallow dapat dilihat adanya varises esofagus untuk
konfirmasi hepertensi portal.
2) Esofagoskopi : dapat dilihat varises esofagus sebagai komplikasi sirosis
hati/hipertensi portal. Akelebihan endoskopi ialah dapat melihat langsung sumber
perdarahan varises esofagus, tanda-tanda yang mengarah akan kemungkinan
terjadinya perdarahan berupa cherry red spot, red whale marking, kemungkinan
perdarahan yang lebih besar akan terjadi bila dijumpai tanda diffus redness. Selain
9
tanda tersebut, dapat dievaluasi besar dan panjang varises serta kemungkinan terjadi
perdarahan yang lebih besar.
3) Ultrasonografi : pada saat pemeriksaan USG sudah mulai dilakukan sebagai alat
pemeriksaa rutin pada penyakit hati. Diperlukan pengalaman seorang sonografis
karena banyak faktor subyektif. Yang dilihat pinggir hati, pembesaran, permukaan,
homogenitas, asites, splenomegali, gambaran vena hepatika, vena porta, pelebaran
saluran empedu/HBD, daerah hipo atau hiperekoik atau adanya SOL (space occupyin
lesion0. Sonografi bisa mendukung diagnosis sirosis hati terutama stadium
dekompensata, hepatoma/tumor, ikterus obstruktif batu kandung empedu dan saluran
empedu, dll.
4) Sidikan hati : radionukleid yang disuntikkan secara intravena akan diambil oleh
parenkim hati, sel retikuloendotel dan limpa. Bisa dilihatbesar dan bentuk hati, limpa,
kelainan tumor hati, kista, filling defek. Pada sirosis hati dan kelainan difus parenkim
terlihat pengambilan radionukleid secara bertumpuk-tumpu (patchty) dan difus.
5) Tomografi komputerisasi : walaupun mahal sangat berguna untuk mendiagnosis
kelainan fokal, seperti tumor atau kista hidatid. Juga dapat dilihat besar, bentuk dan
homogenitas hati.
6) E R C P : digunakan untuk menyingkirkan adanya obstruksi ekstrahepatik.
7) Angiografi : angiografi selektif, selia gastrik atau splenotofografi terutama
pengukuran tekanan vena porta. Pada beberapa kasus, prosedur ini sangat berguna
untuk melihat keadaan sirkulasi portal sebelum operasi pintas dan mendeteksi tumopr
atau kista.
8) Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan cairan asites dengan
melakukan pungsi asites. Bisa dijumpai tanda-tanda infeksi (peritonitis bakterial
spontan), sel tumor, perdarahan dan eksudat, dilakukan pemeriksaan mikroskopis,
kultur cairan dan pemeriksaan kadar protein, amilase dan lipase.
7. Penatalaksanaan Medis
a. Istirahat yang cukup.
b. Makanan tinggi kalori dan protein.
c. Vitamin yang cukup.
10
d. Pengobatan terhadap penyulit.
Terapi & prognosis sirosis hati tergantung pada derajat komplikasi kegagalan hati dan
hipertensi portal. Dengan kontrol pasien yang teratur pada fase dini akan dapat dipertahankan
keadaan kompensasi dalam jangka panjang dan kita dapat memperpanjang timbulnya
komplikasi.
a. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan kontrol yang teratur,
istirahat yang cukup, susunan diet TKTP, lemak secukupnya. Bila timbul ensefalopati,
protein dikurangi.
b. Pasien sirosis hati dengan sebab yang diketahui, seperti :
Alkohol & obat-obat lain dianjurkan menghentikan penggunaannya. Alkohol akan
mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh. Hemokromatosis, dihentikan pemakaian
preparat yang mengandung besi atau terapi kelasi (desferioxamine). Dilakukan venaseksi
2x seminggu sebanyak 500 cc selama setahun.
Pada penyakit wilson (penyakit metabolik yang diturunkan), diberikan D-penicilamine 20
mg/kgBB/hari yang akan mengikat kelebihan cuprum, dan menambah ekskresi melalui
urin. Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid.
Pada keadaan lain dilakukan terapi terhadap komplikasi yang timbul yaitu:
a. Untuk asites, diberikan diet rendah garam 0,5 g/hr dan total cairan 1,5 l/hr. Spirolakton
dimulai dengan dosis awal 4×25 mg/hr dinaikkan sampai total dosis 800 mg sehari,bila
perlu dikombinasi dengan furosemid.
b. Perdarahan varises esofagus. Pasien dirawat di RS sebagai kasus perdarahan saluran
cerna. Pertama melakukan pemasangan NG tube, disamping melakukan aspirasi cairan
lambung. Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik 100 x/mnt atau Hb ,9 g% dilakukan
pemberian IVFD dengan pemberian dekstrosa/salin dan transfusi darah secukupnya.
Diberikan vasopresin 2 amp. 0,1 g dalam 500 cc cairan d 5 % atau salin pemberian
selama 4 jam dapat dulang 3 kali. Dilakukan pemasangan SB tube untuk menghentikan
perdarahan varises. Dapat dilakukan skleroterapi sesudah dilakukan endoskopi kalau
ternyata perdarahan berasal dari pecahnya varises. Operasi pintas dilakukan pada Child
AB atau dilakukan transeksi esofagus (operasi Tanners). Bila tersedia fasilitas dapat
dilakukan foto koagulasi dengan laser dan heat probe. Bila tidak tersedia fasilitas diatas,
untuk mencegah rebleeding dapatdiberikan propanolol.
11
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Data dasar focus pengkajian menurut Doenges (2000: 544-545) adalah:
1) Aktivitas/ istirahat.
Gejala : Kelemahan, kelelahan.
Tanda : Letargi, penurunan massa otot/ tonus.
2) Sirkulasi
Gejala : Riwayat gagal jantung kongestif kronis, perikarditis, penyakit jantung
rematik, kanker.
Tanda : Disritmia, bunyi jantung ekstra (S3, S4), distensi vena abdomen.
3) Eliminasi
Gejala : Flatus.
Tanda : Distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites), penurunan/ tidak
adanya bising usus, faeces warna tanah liat, melena, urine gelap, pekat.
4) Makanan/ cairan
Gejala : Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/ tidak dapat mencerna, mual,
muntah.
Tanda : Penurunan berat badan atau peningkatan (cairan), penggunaan
jaringan,edema umum, kulit kering, turgor buruk, ikterik, angioma spider, napas
berbau/ fetor hsepatikus, perdarahan gusi.
5) Neurosensoris
Gejala : Orang terdekat dapat melaporkan perubahan kepribadian, penurunan
mental.
Tanda : Perubahan mental, bingung, halusinasi, koma, bicara lambat/ tidak
jelas, asterik (encephalophati hepatic).
6) Nyeri dan kenyamanan
Gejala : Nyeri tekan abdomen/ nyeri kuadran kanan atas, pruritus, neuritis perifer.
Tanda : Perilaku berhati-hati/ distraksi, fokus pada diri sendiri.
7) Pernapasan
Gejala : Dispnea.
12
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan, ekspansi paru
terbatas (asites), hipoksia.
8) Keamanan
Gejala : Pruritus.
Tanda : Demam (lebih umum pada Sirosis alkoholik), ekimosis, ikterik,petekie,
anggioma spider/ teleangiektasis, eritema palmar.
9) Seksualitas
Gejala : Gangguan menstruasi, impoten.
Tanda : Atropi testis, ginekomastia, kehilangan rambut (dada, bawah lengan,
pubis).
10) Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala : Riwayat penggunaan alkhohol, riwayat penyakit empedu, hepatitis,
terpajan pada toksin, trauma hati, perdarahan GI atas, episode
perdarahan varices esofageal, penggunaan obat yang mempengaruhi fungsi hati.
b. Pemeriksaan diagnostic
1) Bilirubun serum
Meningkat karena gangguan seluler, ketidakmampuan hati untuk meng-konjugasi,
atau obstruksi bilier.
2) SGOT, SGPT, dan LDH
Meningkat karena kerusakan seluler dan mengeluarkan enzim.
3) Albumin serum
Menurun karena penekanan sintesis.
4) Globulin (IgA dan Ig G)
Peningkatan sintesis
5) Darah lengkap
Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan, leukemia mungkin ada
sebagai akibat hipersplenisme.
6) Fibrinogen
Menurun.
13
7) Blood Ureum Nitrogen
Meningkat menunjukkan kerusakan darah/ protein.
8) Amonia serum
Meningkat karena ketidakmampuan untuk berubah amoniak menjadi urea.
9) Glukosa serum
Hipoklikemi diduga mengganggu glikogenesis.
10) Urobilinogen fekal
Menurunkan ekskresi
11) Urobilinogen urine
Ada / tidak ada bertindak sebagai petunjuk untuk membedakan penyakit hati,
penyakit hemolitik, dan obstruksi bilier
12) HbSAg
Dapat positif (tipe B)
B. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
a. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia diet
tidak adekuat; ketidakmampuan untuk memproses/ mencerna makanan, anoreksia, mudah
kenyang (asites)
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu pada kulit,
adanya edema.
c. Pola pernafasan tak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intra abdomen
(asites)
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
e. Gangguan harga diri / citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan fisik
f. Resiko tinggi cedera terhadap perdarahan berhubungan dengan perubahan mekanisme
pembekuan
14
C. Intervensi (Tindakan dan Rasionalisasi)
1. Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia diet tidak adekuat;
ketidakmampuan untuk memproses/ mencerna makanan, anoreksia, mudah
kenyang (asites)
KH : Menunjukkan peningkatan berat badan progresif mencapai tujuan dengan nilai
laboratorium normal, tidak mengalami tanda malnutrisi lebih lanjut.
Intervensi Rasional
1. Observasi masukan diet harian dengan
jumlah kalori.
1. Memberikan informasi tentang
kebutuhan pemasukan atau defisiensi
2. Bantu dan dorong pasien untuk makan,
jelaskan alasan tipe diet.
Pertimbangkan pilihan makanan yang
disukai.
2. Diet yang tepat penting untuk
penyembuhan. Pasien mungkin makan
lebih baik bila keluarga terlibat dan
makanan yang disukai sebanyak
mungkin.
3. Dorong pasien untuk makan semua
makanan/makanan tambahan.
3. Pasien mungkin hanya makan sedikit
gigitan karena kehilangan minat pada
makaanan dan mengalami mual,
kelemahan umum, malaise.
4. Pertahankan kebersihan mulut. 4. Akumulasi partikel makanan di mulut
dapat menambah bau dan rasa tak sedap
yang menurunkan nafsu makan.
5. Batasi makanan dan cairan yang tinggi
lemak.
5. Kerusakan aliran empedu
mengakibatkan malabsorbsi lemak.
6. Anjurkan makan sedikit tapi sering. 6. Peningkatan tekanan intra abdominal
akibat asites menekan saluran GI dan
menurunkan kapasitasnya.
7. Kolaborasi pemberian obat sesuai
indikasi, contoh : pemberian vitamin,
tiamin, besi, asam folat.
7. Pasien biasanya kekurangan vitamin
karena diet yang buruk sebelumnya.
15
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu pada
kulit , pembentukan edema.
KH : Mampu mempertahankan integritas kulit dan menunjukkan perilaku/teknik untuk
mencegah kerusakan kulit.
Intervensi Rasional
1. Lihat permukaan kulit/titik tekanan
secara rutin. Pijat penonjolan tulang
atau area yang tertekan terus- menerus.
Gunakan lotion minyak, batasi
penggunaan sabun untuk mandi.
1. Edema jaringan lebih cenderung untuk
mengalami kerusakan dan terbentuk
dekubitus. Asites dapat meregangkan
kulit sampai pada titik robekan pada
sirosis berat.
2. Ubah posisi pada jadwal teratur, saat di
kursi/tempat tidur, bantu dengan latihan
rentang gerak aktif/pasif
2. Pengubah posisi menurunkan tekanan
pada jaringan edema untuk
memperbaiki sirkulasi.
3. Tinggikan ekstremitas bawah 3. Meningkatkan aliran balik vena dan
menurunkan edema pada ekstremitas
4. Pertahankan spei kering dan bebas
lipatan
4. Kelembaban meningkatkan pruritus
dan neningkatkan risiko kerusakan
kulit
5. Berikan lotion kalamin, berikan mandi
soda kue. Berikan kolesteramin
(questran) bila diindikasikan
5. Mungkin menghentikan gatal
sehubungan dengan ikterik, garam
empedu pada kulit
16
3. Pola pernafasan tak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intra
abdomen (asites)
KH : Mempertahankan pola pernafasan efektif, bebas dispnea dan sianosis, dengan nilai
GDA dan kapasitas vital dalam batas normal.
Intervensi Rasional
1. Observasi frekuensi, kedalaman dan
upaya pernafasan
1. Pernafasan dangkal cepat/dispnea
mungkin ada sehubungan dengan
hipoksia akumulasi cairan dlama
abdomen
2. Pertahankan kepala tempat tidur tinggi.
Posisi miring
2. Memudahkan pernafasan dengan
menurunkan tekanan pada diafragma dan
meminimalkan ukuran aspirasi secret
3. Ubah posisi dengan sering, dorong
nafas dalam, latihan dan batuk
3. Membantu ekspansi paru dan
memobilisasi secret
4. Kolaborasi Siapkan bantu untuk
prosedur, missal : parasentesis
4. Kadang dilakukan untuk membuang
cairan asites bila keadaan pernafasan
tidak membaik dengan tindakan lain
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
KH : Melaporkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan
tanda-tanda vital dalam batas normal selama aktivitas, kelemahan berkurang.
Intervensi Rasional
1. Catat perubahan mental tingkat kesadaran 1. Perubahan dapat menunjukkan penurunan
perfusi jaringan serebral sekunder terhadap
hipovolemia, hipoksemi.
2. Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein
(TKTP).
2. Memberikan kalori bagi tenaga dan protein
bagi proses penyembuhan
17
3. Motivasi pasien untuk melakukan latihan
yang diselingi istirahat
3. Menghemat tenaga pasien sambil
mendorong pasien untuk melakukan latihan
dalam batas toleransi pasien
4. Kolaborasi dalam pemberian suplemen
vitamin (A, B kompleks, C dan K)
4. Memberikan nutrien tambahan.
5. Gangguan harga diri / citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan fisik
KH : Menyatakan pemahaman dan penerimaan diri pada situasi yang ada.
Intervensi Rasional
1. Diskusikan situasi / dorong pernyataan
takut/masalah.
1. Pasien sangat sensitive terhadap perubahan
tubuh dan juga mengalami perasaan
bersalah bila penyebab berhubungan
dengan alcohol.
2. Dukung dan dorong pasien : berikan
perawatan dengan positif ; perilaku
bersahabat.
2. Pemberi perawatan kadang-kadang
memungkinkan penilaian perasaan untuk
mempengaruhi perawatan pasien.
3. Dorong keluarga atau orang terdekat untuk
menyatakan perasaan, berkunjung atau
berpartisipasi pada perawatan.
3. Anggota keluarga dapat merasa bersalah
tentang kondisi pasien dan takut terhadap
kematian.
4. Kolaborasi :
Rujuk ke pelayanan pendukung, contoh :
konselor, sumber psikiatrik, pelayanan
social, pendeta, atau program pengobatan
alcohol.
4. Peningkatan kerentanan / masalah
sehubungan dengan penyakit ini
memerlukan sumber professional pelayanan
tambahan.
18
6. Resiko tinggi cedera terhadap perdarahan berhubungan dengan perubahan
mekanisme pembekuan.
KH : Menunjukan perilaku penurunan risiko pendarahan.
Intervensi Rasional
1. Kaji adanya tanda dan gejala pendarahan
GI, contoh periksa semua sekresi untuk
adanya darah warna coklat atau samar.
1. Traktus GI (esophagus dan rektum) paling
biasa untuk sumber pendarahan sehubungan
dengan mukosa yang mudah rusak dan
gangguan dalam hemostasis karena sirosis.
3. Awasi nadi, TD, dan CVP bila ada 4. Peningkatan nadi dengan penurunan TD
dan CVP dapat menunjukkan kehilangan
volume darah sirkulasi, memerlukan
evaluasi lanjut
4. Gunakan jarum kecil untuk injeksi. tekan
lebih lama pada bagian suntikan
4. Meminimalkan kerusakan jaringan,
menurunkan resiko pendarahan/hematoma
5. Berikan obat sesuai indikasi
Misal : Vitamin tambahan (contoh vitamin
K, D dan C)
5. Meningkat sintesis protombin dan
koagulasi bila hati berfungsi. Kekurangan
vitamin C meningkatkan kerentanan
terhadap system GI untuk terjadi iritasi /
pendarahan
D. Implementasi
Implementasi sesuai dengan intervensi
E. Evaluasi
1. Dx 1: Pemasukan nutrisi adekuat
2. Dx 2: Terjadi perbaikan integritas kulit
3. Dx 3: Pola nafas pasien kembali efektif
4. Dx 4: Peningkatan toleransi terhadap aktivitas, kelemahan berkurang
5. Dx 5: Penerimaan diri pada situasi yang ada
6. Dx 6: Terjadi perilaku penurunan risiko pendarahan
19
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Volume 2.
Jakarta : EGC
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta: EGC
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2002. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah 2, Edisi ).
Jakarta: EGC
Sujono, Hadi. 2002. Sirosis Hepatis dalam Gastroenterologi. Edisi ke-7. Bandung
Tjokronegoro dan Hendra Utama. 1996. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: FKUI.
20