AntiinflamasiANTIINFLAMASI
Oleh : Haiyul Fadli
Pengertian inflamasi
Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi
menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland,
2002). Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi
rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-
reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini
disebut radang (Rukmono, 1973)
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda
(pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain.
Cedera radang yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu
terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh
cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai
oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-perubahan imunologik
(Rukmono, 1973)
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah
setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang
interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler
dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan.
Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam
produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin
yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton and Hall, 1997)
Tanda-tanda radang (makroskopis)
Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lampau. Tanda-tanda radang ini oleh Celsus, seorang
sarjana Roma yang hidup pada abad pertama sesudah Masehi, sudah dikenal dan disebut tanda-tanda radang utama. Tanda-tanda
radang ini masih digunakan hingga saat ini. Tanda-tanda radang mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit),
dan tumor (pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir yaitu functio laesa (perubahan fungsi)
(Abrams, 1995; Rukmono, 1973; Mitchell and Cotran, 2003)
Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Saat reaksi
peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalir
ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti,
menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Abrams, 1995; Rukmono, 1973)
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor disebabkan pula oleh sirkulasi darah yang
meningkat. Sebab darah yang memiliki suhu 370C disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyak daripada
ke daerah normal (Abrams, 1995; Rukmono, 1973)
Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat seperti histamin
atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan
jaringan yang meradang (Abrams, 1995; Rukmono, 1973)
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi
darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat
meradang (Abrams, 1995; Rukmono, 1973)
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland, 2002). Functio laesa merupakan reaksi peradangan
yang telah dikenal. Akan tetapi belum diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang
(Abrams, 1995)
Mekanisme radang
1. Radang akut
Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera.
Leukosit membersihkan berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat 2
komponen utama dalam proses radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari
leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan
struktural pada pembuluh darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah. Leukosit
yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Mitchell and Cotran,
2003)
Segera setelah jelas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului oleh vasokonstriksi singkat. Sfingter prakapiler membuka
dengan akibat aliran darah dalam kapiler yang telah berfungsi meningkat dan juga dibukanya anyaman kapiler yang sebelumnya
inaktif. Akibatnya anyaman venular pasca kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras. Dengan demikian, mikrovaskular
pada lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung. Kecuali pada jejas yang sangat ringan, bertambahnya aliran darah
(hiperemia) pada tahap awal akan disusul oleh perlambatan aliran darah, perubahan tekanan intravaskular dan perubahan pada
orientasi unsur-unsur berbentuk darah terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat dari segi waktu, sedikit
banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi arteriol timbul dalam beberapa menit setelah jejas. Perlambatan dan bendungan
tampak setelah 10-30 menit (Robbins and Kumar, 1995)
Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel darah putih ke dalam jaringan disebut eksudasi
dan merupakan gambaran utama reaksi radang akut. Vaskulatur-mikro pada dasarnya terdiri dari saluran-saluran yang
berkesinambungan berlapis endotel yang bercabang-cabang dan mengadakan anastomosis. Sel endotel dilapisi oleh selaput
basalis yang berkesinambungan (Robbins and Kumar, 1995)
Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara
ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar,
dengan menarik kembali cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan dalam
jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik. Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam,
dan larutan sampai berat jenis 10.000 dalton (Robbins and Kumar, 1995)
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg%
serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang
memungkinkan protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravaskular sebagai
akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya (Robbins and
Kumar, 1995)
Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-
sel darah putih mampu memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom
yang terdapat di dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih merupakan
penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti (Robbins and Kumar, 1995)
Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel darah merah menggumpal dan membentuk
agregat-agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri. Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di
bagian tengah dalam aliran aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak
dan menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat tetapi kemudian sel-sel tersebut akan
melekat dan melapisi permukaan endotel (Robbins and Kumar, 1995)
Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit
adalah pertemuan antar-sel endotel. Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit
mampu menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata (Robbins and Kumar,
1995)
Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah
ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kimia yang dapat berdifusi disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih
dipengaruhi oleh faktor-faktor kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap rangsang
kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang
lainnya bekerja secara selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen berasal dari
protein plasma atau eksogen, misalnya produk bakteri (Robbins and Kumar, 1995)
Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan
bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme
diliputi oleh opsonin, yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat pada
permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada pembentukan kantung yang dalam.
Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu
pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan
isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan
mudah dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat
menghancurkan leukosit (Robbins and Kumar, 1995)
2. Radang kronis
Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi
proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut
ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh
infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh
darah baru/angiogenesis dan fibrosis) (Mitchell and Cotran, 2003)
Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat
kronik. Perubahan radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen
penyebab jejas yang menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak awal
merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan
radang akut.
Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil
tuberkel, Treponema palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur (misalnya silika),
penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak
kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara
radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi (Robbins and Kumar, 1995)
Mediator kimia peradangan
Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan rantai penting antara terjadinya jejas dengan fenomena radang.
Meskipun beberapa cedera langsung merusak endotelium pembuluh darah yang menimbulkan kebocoran protein dan cairan di
daerah cedera, pada banyak kasus cedera mencetuskan pembentukan dan/atau pengeluaran zat-zat kimia di dalam tubuh. Banyak
jenis cedera yang dapat mengaktifkan mediator endogen yang sama, yang dapat menerangkan sifat stereotip dari respon
peradangan terhadap berbagai macam rangsang. Karena pola dasar radang akut stereotip, tidak tergantung jenis jaringan maupun
agen penyebab pada hakekatnya menyertai mediator-mediator kimia yang sama yang tersebar luas dalam tubuh. Beberapa
mediator dapat bekerja bersama, sehingga memberi mekanisme biologi yang memperkuat kerja mediator. Radang juga memiliki
mekanisme kontrol yaitu inaktivasi mediator kimia lokal yang cepat oleh sistem enzim atau antagonis (Abrams, 1995; Robbins and
Kumar, 1995)
Cukup banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen telah dikenal sebagai mediator dari respon peradangan. Identifikasinya
saat ini sulit dilakukan. Walaupun daftar mediator yang diusulkan panjang dan kompleks, tetapi mediator yang lebih dikenal dapat
digolongkan menjadi golongan amina vasoaktif (histamin dan serotonin), protease plasma (sistem kinin, komplemen, dan koagulasi
fibrinolitik), metabolit asam arakidonat (leukotrien dan prostaglandin), produk leukosit (enzim lisosom dan limfokin), dan berbagai
macam mediator lainnya (misal, radikal bebas yang berasal dari oksigen dan faktor yang mengaktifkan trombosit) (Abrams, 1995;
Robbins and Kumar, 1995)
1. Amina vasoaktif
Amina vasoaktif yang paling penting adalah histamin. Sejumlah besar histamin disimpan dalam granula sel jaringan penyambung
yang disebut sel mast. Histamin tersebar luas dalam tubuh. Histamin juga terdapat dalam sel basofil dan trombosit. Histamin yang
tersimpan merupakan histamin yang tidak aktif dan baru menampilkan efek vaskularnya bila dilepaskan. Stimulus yang dapat
menyebabkan dilepaskannya histamin adalah jejas fisik (misal trauma atau panas), reaksi imunologi (meliputi pengikatan antibodi
IgE terhadap reseptor Fc pada sel mast), fragment komplemen C3a dan C5a (disebut anafilaktosin), protein derivat leukosit yang
melepaskan histamin, neuropeptida (misal, substansi P), dan sitokin tertentu (misal, IL-1 dan IL-8) (Mitchell and Cotran, 2003;
Robbins and Kumar, 1995; Abrams, 1995)
Pada manusia, histamin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula, dan pelebaran pertemuan antar-sel
endotel. Histamin bekerja dengan mengikatkan diri pada reseptor-reseptor histamin jenis H-1 yang ada pada endotel pembuluh
darah. Pada perannya dalam fenomena vaskular, histamin juga dilaporkan merupakan bahan kemotaksis khas untuk eosinofil.
Segera setelah dilepaskan oleh sel mast, histamin dibuat menjadi inaktif oleh histaminase. Antihistamin merupakan obat yang
dibuat untuk menghambat efek mediator dari histamin. Perlu diketahui bahwa obat antihistamin hanya dapat menghambat tahap
dini peningkatan permeabilitas vaskular dan histamin tidak berperan pada tahap tertunda yang dipertahankan pada peningkatan
permeabilitas (Mitchell and Cotran, 2003; Robbins and Kumar, 1995; Abrams, 1995)
Serotonin (5-hidroksitriptamin) juga merupakan suatu bentuk mediator vaasoaktif. Serotonin ditemukan terutama di dalam trombosit
yang padat granula (bersama dengan histamin, adenosin difosfat, dan kalsium). Serotonin dilepaskan selama agregasi trombosit.
Serotonin pada binatang pengerat memiliki efek yang sama seperti halnya histamin, tetapi perannya sebagai mediator pada
manusia tidak terbukti (Mitchell and Cotran, 2003; Robbins and Kumar, 1995)
2. Protease plasma
Berbagai macam fenomena dalam respon radang diperantarai oleh tiga faktor plasma yang saling berkaitan yaitu sistem kinin,
pembekuan, dan komplemen. Seluruh proses dihubungkan oleh aktivasi awal oleh faktor Hageman (disebut juga faktor XII dalam
sistem koagulasi intrinsik). Faktor XII adalah suatu protein yang disintesis oleh hati yang bersirkulasi dalam bentuk inaktif hingga
bertemu kolagen, membrana basalis, atau trombosit teraktivasi di lokasi jejas endotelium. Dengan bantuan kofaktor high-molecular-
weight kininogen (HMWK)/kininogen berat molekul tinggi, faktor XII kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi faktor XIIa.
Faktor XIIa dapat membongkar pusat serin aktif yang dapat memecah sejumlah substrat protein (Mitchell and Cotran, 2003)
Aktivasi sistem kinin pada akhirnya menyebabkan pembentukan bradikinin. Bradikinin merupakan polipeptida yang berasal dari
plasma sebagai prekursor yang disebut HMWK. Prekursor glikoprotein ini diuraikan oleh enzim proteolitik kalikrein. Kalikrein sendiri
berasal dari prekursornya yaitu prekalikrein yang diaktifkan oleh faktor XIIa. Seperti halnya histamin, bradikinin menyebabkan
dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula dan kontraksi otot polos bronkial. Bradikinin tidak menyebabkan kemotaksis
untuk leukosit, tetapi menyebabkan rasa nyeri bila disuntikkan ke dalam kulit. Bradikinin dapat bertindak dalam sel-sel endotel
dengan meningkatkan celah antar sel. Kinin akan dibuat inaktif secara cepat oleh kininase yang terdapat dalam plasma dan
jaringan, dan perannya dibatasi pada tahap dini peningkatan permeabilitas pembuluh darah (Mitchell and Cotran, 2003; Robbins
and Kumar, 1995)
Pada sistem pembekuan, rangsangan sistem proteolitik mengakibatkan aktivasi trombin yang kemudian memecah fibrinogen yang
dapat larut dalam sirkulasi menjadi gumpalan fibrin. Faktor Xa menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan emigrasi
leukosit. Trombin memperkuat perlekatan leukosit pada endotel dan dengan cara menghasilkan fibrinopeptida (selama pembelahan
fibrinogen) dapat meningkatkan permeabilitas vaskular dan sebagai kemotaksis leukosit (Mitchell and Cotran, 2003)
Ketika faktor XIIa menginduksi pembekuan, di sisi lain terjadi aktivasi sistem fibrinolitik. Mekanisme ini terjadi sebagai umpan balik
pembekuan dengan cara memecah fibrin kemudian melarutkan gumpalan fibrin. Tanpa adanya fibrinolisis ini, akan terus menerus
terjadi sistem pembekuan dan mengakibatkan penggumpalan pada keseluruhan vaskular. Plasminogen activator (dilepaskan oleh
endotel, leukosit, dan jaringan lain) dan kalikrein adalah protein plasma yang terikat dalam perkembangan gumpalan fibrin. Produk
hasil dari keduanya yaitu plasmin, merupakan protease multifungsi yang memecah fibrin (Mitchell and Cotran, 2003)
Sistem komplemen terdiri dari satu seri protein plasma yang berperan penting dalam imunitas maupun radang. Tahap penting
pembentukan fungsi biologi komplemen ialah aktivasi komponen ketiga (C3) Pembelahan C3 dapat terjadi oleh apa yang disebut
”jalur klasik” yang tercetus oleh pengikatan C1 pada kompleks antigen-antibodi (IgG atau IgM) atau melalui jalur alternatif yang
dicetuskan oleh polisakarida bakteri (misal, endotoksin), polisakarida kompleks, atau IgA teragregasi, dan melibatkan serangkaian
komponen serum (termasuk properdin dan faktor B dan D). Jalur manapun yang terlibat, pada akhirnya sistem komplemen akan
memakai urutan efektor akhir bersama yang menyangkut C5 sampai C9 yang mengakibatkan pembentukan beberapa faktor yang
secara biologi aktif serta lisis sel-sel yang dilapisi antibodi (Mitchell and Cotran, 2003; Robbins and Kumar, 1995)
Faktor yang berasal dari komplemen, mempengaruhi berbagai fenomena radang akut, yaitu pada fenomena vaskular, kemotaksis,
dan fagositosis. C3a dan C5a (disebut juga anafilaktosin) meningkatkan permeabilitas vaskular dan menyebabkan vasodilatasi
dengan cara menginduksi sel mast untuk mengeluarkan histamin. C5a mengaktifkan jalur lipoksigenase dari metabolisme asam
arakidonat dalam netrofil dan monosit. C5a juga menyebabkan adhesi neutrofil pada endotel dan kemotaksis untuk monosit,
eosinofil, basofil dan neutrofil. Komplemen yang lainnya, C3b, apabila melekat pada dinding sel bakteri akan bekerja sebagai
opsonin dan memudahkan fagositosis neutrofil dan makrofag yang mengandung reseptor C3b pada permukaannya (Mitchell and
Cotran, 2003)
a. Metabolit asam arakidonat
Asam arakidonat merupakan asam lemak tidak jenuh (20-carbon polyunsaturated fatty acid) yang utamanya berasal dari asupan
asam linoleat dan berada dalam tubuh dalam bentuk esterifikasi sebagai komponen fosfolipid membran sel. Asam arakidonat
dilepaskan dari fosfolipid melalui fosfolipase seluler yang diaktifkan oleh stimulasi mekanik, kimia, atau fisik, atau oleh mediator
inflamasi lainnya seperti C5a. Metabolisme asam arakidonat berlangsung melalui salah satu dari dua jalur utama, sesuai dengan
enzim yang mencetuskan, yaitu jalur siklooksigenase dan lipoksigenase. Metabolit asam arakidonat (disebut juga eikosanoid) dapat
memperantarai setiap langkah inflamasi. (Mitchell and Cotran, 2003)
Jalur siklooksigenase menghasilkan prostaglandin (PG) E2 (PGE2), PGD2, PGF2, PGI2 (prostasiklin), dan tromboksan A2 (TXA2).
Setiap produk tersebut berasal dari PGH2 oleh pengaruh kerja enzim yang spesifik. PGH2 sangat tidak stabil, merupakan prekursor
hasil akhir biologi aktif jalur siklooksigenase. Beberapa enzim mempunyai distribusi jaringan tertentu. Misalnya, trombosit
mengandung enzim tromboksan sintetase sehingga produk utamanya adalah TXA2. TXA2 merupakan agen agregasi trombosit
yang kuat dan vasokonstriktor. Di sisi lain, endotelium kekurangan dalam hal tromboksan sintetase, tetapi banyak memiliki
prostasiklin sintetase yang membentuk PGI2. PGI2 merupakan vasodilator dan penghambat kuat agregasi trombosit. PGD2
merupakan metabolit utama dari jalur siklooksigenase pada sel mast. Bersama dengan PGE2 dan PGF2, PGD2 menyebabkan
vasodilatasi dan pembentukan edema. Prostaglandin terlibat dalam patogenesis nyeri dan demam pada inflamasi (Mitchell and
Cotran, 2003)
Jalur lipoksigenase merupakan jalur yang penting untuk membentuk bahan-bahan proinflamasi yang kuat. 5-lipoksigenase
merupakan enzim metabolit asam arakidonat utama pada neutrofil. Produk dari aksinya memiliki karakteristik yang terbaik. 5-
HPETE (asam 5-hidroperoksieikosatetranoik) merupakan derivat 5-hidroperoksi asam arakidonat yang tidak stabil dan direduksi
menjadi 5-HETE (asam 5-hidroksieikosatetraenoik) (sebagai kemotaksis untuk neutrofil) atau diubah menjadi golongan senyawa
yang disebut leukotrien. Produk dari 5-HPETE adalah leukotrien (LT) A4 (LTA4), LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE5. LTB4 merupakan
agen kemotaksis kuat dan menyebabkan agregasi dari neutrofil. LTC4, LTD4, dan LTE4 menyebabkan vasokonstriksi,
bronkospasme, dan meningkatkan permeabilitas vaskular (Mitchell and Cotran, 2003)
Lipoksin juga termasuk hasil dari jalur lipoksigenase yang disintesis menggunakan jalur transeluler. Trombosit sendiri tidak dapat
membentuk lipoksin A4 dan B4 (LXA4 dan LXB4), tetapi dapat membentuk metabolit dari intermediat LTA4 yang berasal dari
neutrofil. Lipoksin mempunyai aksi baik pro- dan anti- inflamasi. Misal, LXA4 menyebabkan vasodilatasi dan antagonis
vasokonstriksi yang distimulasi LTC4. Aktivitas lainnya menghambat kemotaksis neutrofil dan perlekatan ketika menstimulasi
perlekatan monosit (Mitchell and Cotran, 2003)
b. Produk leukosit
Granula lisosom yang terdapat dalam neutrofil dan monosit mengandung molekul mediator inflamasi. Mediator ini dilepaskan
setelah kematian sel oleh karena peluruhan selama pembentukan vakuola fagosit atau oleh fagositosis yang terhalang karena
ukurannya besar dan permukaan yang tidak dapat dicerna. Kalikrein yang dilepaskan dari lisosom menyebabkan pembentukan
bradikinin. Neutrofil juga merupakan sumber fosfolipase yang diperlukan untuk sintesis asam arakidonat (Robbins and Kumar,
1995)
Di dalam lisosom monosit dan makrofag juga banyak mengandung bahan yang aktif untuk proses radang. Pelepasannya penting
pada radang akut dan radang kronik. Limfosit yang telah peka terhadap antigen melepaskan limfokin. Limfokin merupakan faktor
yang menyebabkan penimbunan dan pengaktifan makrofag pada lokasi radang. Limfokin penting pada radang kronik (Robbins and
Kumar)
c. Mediator lainnya
Metabolit oksigen reaktif yang dibentuk dalam sel fagosit saat fagositosis dapat luruh memasuki lingkungan ekstrasel. Diduga
bahwa radikal-radikal bebas yang sangat toksik meningkatkan permeabilitas vaskular dengan cara merusak endotel kapiler. Selain
itu, ion-ion superoksida dan hidroksil juga dapat menyebabkan peroksidase asam arakidonat tanpa enzim. Akibatnya, akan dapat
terbentuk lipid-lipid kemotaksis (Robbins and Kumar, 1995)
Aseter-PAF merupakan mediator lipid yang menggiatkan trombosit. Hal ini karena menyebabkan agregasi trombosit ketika
dilepaskan oleh sel mast. Selain sel mast, neutrofil dan makrofag juga dapat mensintesis aseter-PAF. Aseter-PAF meningkatkan
permeabilitas vaskular, adhesi leukosit dan merangsang neutrofil dan makrofag (Robbins and Kumar, 1995)
Mekanisme kerja obat antiinflamasi
Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis, maka enzim fosfolipase diaktifkan
untuk mengubah fosfolipida menjadi asam arachidonat, kemudian sebagian arachidonat diiubah oleh enzim siklooksiganase
menjadi asam endoperoksida dan seterusnya menjadi zat-zat prostaglandin. Asam arachidonat juga diubah oleh enzim
lipooksigenase menjadi zat leukotrien.
Obat golongan kortikosteroid mempunyai kemampuan menghambat fosfolipase sehingga pembentukan prostaglandin maupun
leukotrien dihalangi. Cara kerja obat antiinflamasi non steroid (AINS) dengan cara menghambat sintesa prostaglandin dengan
memblokir siklooksigenase dan menghambat leukotrien dengan memblokir lipooksigenase. Siklooksigenase terdiri dari dua
isoenzim yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 berperan pada pemeliharaan fungsi ginjal, homeostatis vaskuler dan melindungi lambung
dengan cara membentuk bikarbonat dan lendir, serta menghambat produksi asam.
COX-1 terdapat pada jaringan, antara lain di pelat-pelat darah, ginjal, dan saluran cerna. Sedangkan COX-2 dalam keadaan normal
tidak terdapat di dalam jaringan, tetapi dibentuk selama proses peradangan. Baik prostaglandin maupun leukotrien bertanggung
jawab bagi sebagian besar dari gejala peradangan ( Tjay dan Rahardja, 2002)
Rangsangan--------kimia, fisika, imunologi, infeksi
Gangguan membran sel
Fosfolipida
Kortikosteroida-----Enzim fosfolipase
Asam arachidonat
NSAID’s - Enzim Siklooksigenase Enzim lipooksigenase
Endoperoksida Asam Hidroperoksida
COX 1 COX2
LTA
TXA4 : Tromboxan PGE : Prostaglandin
PGL2 : Prostasiklin LTA : Leukotrien
Bagan Mekanisme Kerja Antiinflamasi (Katzung, 2002)
Penggolongan obat antiinflamasi
Pengobatan antiinflamasi mempunyai dua tujuan utama yaitu, meringankan rasa nyeri yang seringkali merupakan gejala awal yang
terlihat dan keluhan utama yang terus menerus dari pasien dan kedua memperlambat atau membatasi perusakan jaringan
(Katzung, 2002)
Obat antiinflamasi adalah obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan, aktivitas ini dapat dicapai melalui
berbagai cara, yaitu menghambat pembentukan mediator radang prostaglandin, menghambat migrasi sel-sel leukosit ke daerah
radang dan menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat kedudukannya. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obata-
obat antiinflamasi terbagi ke dalam golongan steroid dan golongan non-steroid (Anonim, 1993)
1. Obat Anti-inflamasi Nonsteroid
Obat antiinflamasi (anti radang) non steroid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan NSAID (Non Steroidal Anti-inflammatory
Drugs) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi
(anti radang). Istilah "non steroid" digunakan untuk membedakan jenis obat-obatan ini dengan steroid, yang juga memiliki khasiat
serupa. NSAID bukan tergolong obat-obatan jenis narkotika.
Obat AINS adalah salah satu golongan obat besar yang secara kimia heterogen menghambat aktivitas siklooksigenase,
menyebabkan penurunan sintesis prostaglandin dan prekursor tromboksan dari asam arakidonat (Dorland, 2002)
Obat AINS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1899. Obat AINS yang pertama adalah asam asetil salisilat yang diproduksi oleh
Felix Hoffman dari Bayer Industries. Berdasarkan saran dari Hermann Dreser, senyawa tersebut diberi nama aspirin yang berasal
dari gabungan kata bahasa Jerman untuk senyawa, acetylspirsäure (spirea = nama genus tanaman asal obat tersebut, dan Säure =
asam) (Wolfe, et al., 1999; Katzung and Payan, 1998)
Hingga saat ini, obat AINS banyak digunakan sebagai peresepan yang utama. Di banyak negara, obat AINS terutama digunakan
untuk gejala yang berhubungan dengan osteoarthritis. Indikasi lain meliputi sindroma nyeri miofasial, gout, demam, dismenore,
migrain, nyeri perioperatif, dan profilaksis stroke dan infark miokard. Obat AINS memiliki spektrum luas dalam klinis, sehingga
banyak digunakan sebagai peresepan (Harder and An, 2003)
Aktivitas antiinflamasi obat AINS mempunyai mekanisme kerja melalui penghambatan biosintesis prostaglandin. Aspirin dan obat
AINS yang lain, menghambat seluruh aktivitas jalur siklooksigenase dan seluruh sintesis prostaglandin. Terdapat 2 bentuk
siklooksigenase (COX) yang disebut dengan COX-1 dan COX-2. COX-1 diekspresikan pada mukosa lambung. Prostaglandin
mukosa yang dihasilkan oleh COX-1 bersifat protektif terhadap kerusakan yang diinduksi asam. Penghambatan COX-1 dan COX-2
mengurangi inflamasi dengan menghambat sintesis prostaglandin dan juga predisposisi dari ulkus lambung. Untuk mendapatkan
efek antiinflamasi dari penghambatan COX dan pencegahan efek merugikan pada mukosa lambung, saat ini telah tersedia COX-2
inhibitor (Mitchell and Cotran, 2003)
Selektivitas terhadap COX-1 dan COX-2 bervariasi dan tidak lengkap. Misal, tes tehadap enzim tikus, aspirin, indometasin,
piroksikam, dan sulindak dianggap lebih efektif menghambat COX-1. Ibuprofen dan meklofenamat mempengaruhi COX-1 dan COX-
2 sama besarnya. Metabolit aktif nabumeton sedikit agak selektif terhadap COX-2. Celecoxib dan rofecoxib telah dikembangkan
lebih selektif terhadap enzim COX-2 (Meade, 1993 cit Katzung and Payan, 1998; Harder and An, 2003)
Selama pengobatan dengan obat AINS, peradangan berkurang dengan menurunnya pelepasan mediator dari granulosit, basofil,
dan sel mast. Obat-obat AINS menurunkan kepekaan pembuluh darah terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi
limfokindari limfosit T, dan melawan vasodilatasi. Obat-obatan AINS menghambat agregasi trombosit dan bersifat iritasi terhadap
lambung (Katzung and Payan, 1998)
Karena pentingnya ulserasi lambung pada penderita yang mendapat dosis antiinflamasi obat AINS, maka perlu dipertimbangkan
usaha pencegahan komplikasi atau mengurangi keparahannya. Analog prostaglandin E1 (misoprostol) menghambat sekresi asam
lambung pada beberapa dosis dan mungkin juga meningkatkan sekresi faktor pelindung mukosa lambung (misal, bikarbonat).
Misoprostol diberikan pada pemakai obat AINS yang mudah mendapat tukak lambung (Katzung and Payan, 1998)
Obat AINS merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun
demikian, obat-obat ini mempunyai banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping.15 Prototip obat golongan ini
adalah aspirin, karena itu obat AINS sering juga disebut sebagai obat-obat mirip aspirin (aspirin-like drug).
Aspirin-like drugs dibagi dalam lima golongan, yaitu:
1. Salisilat dan salisilamid, derivatnya yaitu asetosal (aspirin), salisilamid, diflunisal
2. Para aminofenol, derivatnya yaitu asetaminofen dan fenasetin
3. Pirazolon, derivatnya yaitu antipirin (fenazon), aminopirin (amidopirin), fenilbutazon dan turunannya
4. Antirematik nonsteroid dan analgetik lainnya, yaitu asam mefenamat dan meklofenamat, ketoprofen, ibuprofen, naproksen,
indometasin, piroksikam, dan glafenin
5. Obat pirai, dibagi menjadi dua, yaitu
(1) obat yang menghentikan proses inflamasi akut, misalnya kolkisin, fenilbutazon, oksifenbutazon
2) obat yang mempengaruhi kadar asam urat, misalnya probenesid, alupurinol, dan sulfinpirazon.
Sedangkan menurut waktu paruhnya, Obat AINS dibedakan menjadi:
1. AINS dengan waktu paruh pendek (3-5 jam), yaitu aspirin, asam flufenamat, asam meklofenamat, asam mefenamat, asam
niflumat, asam tiaprofenamat, diklofenak, indometasin, karprofen, ibuprofen, dan ketoprofen.
2. AINS dengan waktu paruh sedang (5-9 jam), yaitu fenbufen dan piroprofen.
3. AINS dengan waktu paruh tengah (kira-kira 12 jam), yaitu diflunisal dan naproksen.
4. AINS dengan waktu paruh panjang (24-45 jam), yaitu piroksikam dan tenoksikam.
5. AINS dengan waktu paruh sangat panjang (lebih dari 60 jam), yaitu fenilbutazon dan oksifenbutazon.
Klasifikasi kimiawi obat anti-inflamasi nonsteroid
Nonselective Cyclooxygenase Inhibitors
• Derivat asam salisilat: aspirin, natrium salisilat, salsalat, diflunisal, cholin magnesium trisalisilat, sulfasalazine, olsalazine
• Derivat para-aminofenol: asetaminofen
• Asam asetat indol dan inden: indometasin, sulindak
• Asam heteroaryl asetat: tolmetin, diklofenak, ketorolak
• Asam arylpropionat: ibuprofen, naproksen, flurbiprofen, ketoprofen, fenoprofen, oxaprozin
• Asam antranilat (fenamat): asam mefenamat, asam meklofenamat
• Asam enolat: oksikam (piroksikam, meloksikam)
• Alkanon: nabumeton Selective Cyclooxygenase II inhibitors
• Diaryl-subtiuted furanones: rofecoxib
• Diaryl-subtituted pyrazoles: celecoxib
• Asam asetat indol: etodolac
• Sulfonanilid: nimesulid
Contoh obat :
Ibuprofen
Ibuprofen adalah golongan obat antiinflamasi non- steroid yang mempunyai efek antiinflamasi, analgesik dan antipiretik. Obat ini
menghambat prostaglandin dan dengan kadar 400 mg atau lebih digunakan dimana rasa nyeri dan inflamasi merupakan gejala
utama. Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan banyak negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya
antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek analgesiknya sama dengan aspirin. Ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh wanita hamil
dan menyusui.
Asam mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik. Asam mefenamat sangat kuat terikat pada protein plasma, sehingga interaksi
dengan obat antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia dan gejala
iritasi lain terhadap mukosa lambung.
Aspirin
Asam salisilat adalah asam organik sederhana dengan pKa 3,0. Aspirin (asam asetilsalisilat) mempunyai pKa 3,5. Ini kira-kira 50%
lebih kuat daripada natrium salisilat, walaupun senyawa ini kurang mengiritasi lambung. Salisilat cepat diabsorbsi dari lambung dan
usus halus bagian atas, kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam. Suasana asam di dalam lambung menyebabkan
sebagian besar dari salisilat terdapat dalam bentuk nonionisasi, sehingga memudahkan absorpsi. Walaupun begitu, bila salisilat
dalam konsentrasi tinggi memasuki sel mukosa, maka obat tersebut dapat merusak barier mukosa. Jika pH lambung ditingkatkan
oleh penyangga yang cocok sampai pH 3,5 atau lebih, maka iritasi terhadap lambung berkurang. Aspirin diabsorbsi begitu saja dan
dihidrolisis menjadi asam asetat dan salisilat oleh esterase di dalam jaringan dan darah (Katzung, 1997)
Prostaglandin tromboksan A2 adalah suatu produk arakidonat yang menyebabkan trombosit untuk mengubah bentuknya, melepas
granulnya dan beragregasi. Aspirin menghambat sintesis tromboksan A2 dengan mengasetilasi secara ireversibel enzim
siklooksigenase, yang mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi senyawa endoperoksida, pada dosis tepat, obat ini akan
menurunkan pembentukan prostaglandin maupun tromboksan A2 tetapi tidak leukotrien (Katzung, 1997)
Pada dosis rendah, salisilat menunjukan aktivitas analgesik, hanya pada dosis lebih tinggi obat-obat ini menunjukkan aktivitas anti
inflamasi (Mycek dkk., 2001). Dosis optimum analgesik atau antipiretik aspirin, lebih kecil dari dosis oral 0,6 mg yang lazim
digunakan. Dosis yang lebih besar dapat memperpanjang efeknya. Dosis lazim dapat diulang setiap 4 jam dan dosis lebih kecil (0,3
g) setiap 3 jam. Dosis antiinflamasi rata-rata 4 g per hari dapat ditoleransi oleh kebanyakan orang dewasa (Katzung, 2001)
Aspirin sebagai anti-inflamasi, anti-piretik, dan analgesik, tetapi juga mempunyai efek samping pada saluran cerna. Dengan adanya
aspirin, prostanoid-prostanoid tidak terbentuk, yang mengakibatkan sekresi asam lambung meningkat dan mukus protektif
berkurang. Secara normal, prostasiklin (PGI2) menghambat sekresi asam lambung, sedangkan PGE2 dan PGF2 merangsang
sintesis mukus protektif dalam lambung dan usus kecil. Selain itu, efek aspirin yang juga menghambat tromboxan A2 bisa
mengakibatkan perdarahan pada saluran cerna. Sehingga aspirin dapat menyebabkan distres epigastrium, ulkus, dan perdarahan
(Mycek dkk., 2001; Yuan dkk., 2006)
Efek topikal dari AINS adalah erosi gaster yang superficial dan lesi petekie. Bagaimanapun juga, risiko ulkus gastroduodenal tidak
berkurang dengan penggunaan AINS secara parental atau rektal yang mengindikasi munculnya luka dari efek sistemik AINS pada
mukosa gastrointestinal. Risiko terbesar dari perkembangan terjadinya ulkus selama 3 bulan pertama dari penggunaan AINS,
setelah itu, risiko menurun tetapi terus-menerus terjadi (Shrestha and Lau, 2006). Hasil evaluasi endoskopi pada penderita yang
mendapatkan AINS menunjukkan adanya iritasi mukosa lambung berupa petekie, bahkan dapat timbul ulkus pada mukosa
lambung. Secara lokal umumnya obat-obat AINS telah menyebabkan iritasi mukosa, bila terjadi kontak selama 3 jam, dengan
endoskopi tampak tanda-tanda perdarahan mikroskopik. Secara sistemik obat-obat AINS ini menghambat pembentukan PGE2
yang berfungsi sebagai proteksi mukosa lambung (Wongso dkk., 1992)
2. Obat antiinflamasi steroid
Adapun mekanisme kerja obat dari golongan steroid adalah menghambat enzim fospolifase sehingga menghambat pembentukan
prostaglandin maupun leukotrien. Penggunaan obat antiinflamasi steroid dalam jangka waktu lama tidak boleh dihentikan secara
tiba-tiba, efek sampingnya cukup banyak dapat menimbulkan tukak lambung, osteoforosis, retensi cairan dan gangguan elektrolit.
Contoh obat antiinflamasi steroid diantaranya, hidrokortison, deksametason, metil prednisolon, kortison asetat, betametason,
triamsinolon, prednison, fluosinolon asetonid, prednisolon, triamsinolon asetonid dan fluokortolon. Penyakit lain yang dapat diobati
dengan anti inflamasi diantaranya, artritis rematoid, demam rematik dan peradangan sendi (Siswandono dan Soekarjo, 1995)
KESIMPULAN
1. Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi
menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu
2. Peradangan atau inflamasi umumnya dibagi menjadi 3 fase, yaitu : Peradangan Akut, Respon Imun dan Peradangan Kronis
3. Zat kimia dan mediator yang dapat menyebabkan terjadinya peradangan pada tubuh antara lain Amin-amin vasoaktif, Zat yang
menghasilkan oleh sistem enzim plasma, Metabolit asam arakhidonat, Produk sel lain.
4. Gejala-gejala yang timbul pada peradangan antara lain: Eritema (kemerahan), Edema (pembengkakan), Kolor (panas), Dolor
(nyeri), Functio laesa (hilangnya fungsi).
5. Obat antiinflamasi adalah obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan.
6. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi terbagi ke dalam golongan steroid dan golongan non-steroid.
7. Obat golongan kortikosteroid mempunyai kemampuan menghambat fosfolipase sehingga pembentukan prostaglandin maupun
leukotrien dihalangi.
8. Cara kerja obat antiinflamasi non steroid ( NSAID’s) dengan cara menghambat sintesa prostaglandin dengan memblokir
siklooksigenase dan menghambat leukotrien dengan memblokir lipooksigenase.
9. Obat antiinflamasi yang termasuk non steroid diantaranya yaitu asam salisilat, ibuprofen, natrium diklofenak, asaam mefenamat,
dan lain-lain.
10. Contoh obat antiinflamasi steroid diantaranya, hidrokortison, deksametason, metil prednisolon, kortison asetat, betametason
dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, G.D. (1995). Respon tubuh terhadap cedera. Dalam S. A. Price and L. M. Wilson, Patofisiologi: Konsep klinis proses-
proses penyakit (4th ed.). Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Guyton, A.C. and Hall, J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Harder, A.T. and An, Y.H. 2003. The mechanisms of the inhibitory effects of nonsteroidal anti-inflammatory drugs on bone healing: a
concise review. The Journal of Clinical Pharmacology, 43, 807-815.
Katzung, BG, 1998, Farmakologi Dasar Klinik, Edisi VI.Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Meade, E.A., Smith, W.L., DeWitt, D.L. 1993. “Differential inhibition of prostaglandin endoperoxide synthase (cyclooxygenase)
isozymes by aspirin and other non-steroidal anti-inflammatory drugs”. Journal Biology Chemistry, 268, 6610.
Mitchell, R.N. and Cotran, R.S. 2003.. “Acute and chronic inflammation”. Dalam S. L. Robbins and V. Kumar, Robbins Basic
Pathology (7th ed.)(pp33-59). Philadelphia: Elsevier Saunders.
Mycek, M.J., Harvey, R.A., and Champe, P.C. 2001. “Farmakologi Ulasan Bergambar”. Edisi 2. Terjemahan Agus, A.Widya Medika.
Jakarta.
Robbins, S.L. and Kumar, V. 1995. Buku ajar patologi I. Edisi 4. EGC. Jakarta
Rukmono 1973. ”Kumpulan kuliah patologi”. Bagian patologi anatomik FK UI. Jakarta
Tjay, H. T., 2002, “Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya”, Edisi kelima, PT. Elex Media Komputindo,
jakarta.
Wolfe, M.M., Lichtenstein, D.R. and Singh, G. 1999. “Gastrointestinal toxicity of nonsteroidal antiinflammatory drugs”. The New
England Journal of Medicine, 340, 1888-1899.
Yuan, Y., Padol, I.T., Hunt, R.H. 2006. ”Peptic Ulcer Disease Today”. Nat Clin Pract Gastroenterol Hepatol. 3(2):80-89.
Top Related