Anti tuberkulosisKel.III
Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu kelompok obat lini-pertama dan obat lini-kedua. Kelompok obat lini-pertama, yaitu isoniazid, rifampisisn, etambutol, streptomisin, dan pirazinamid. Obat-obat ini memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. Sebagian besar pasien dapat disembuhkan dengan dengan obat-obat ini. Antituberkulosis lini-kedua adalah antibiotik golongan fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin), sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin, dan para aminosalisilat.
ISONIAZID… Efek antibakteri
dengan kadar hambat minimum sekitar 0,025-0,05µg/mL. efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Mikroorganisme yang sedang ‘istirahat” mulai lagi dengan pembelahan biasa bila kontaknya dengan obat dihentikan.
Mekanisme kerja
Isoniazid kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan bentuk awal molekul asam mikolat. Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh methanol dari mikobakterium. Hanya kuman peka yang menyerap obat kedalam selnya dan ambilan ini merupakan proses aktif.
Farmakokinetik
isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Dihati, isoniazid mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa paruhnya. Isoniazid mudah berdifusi kedalam sel dan semua cairan tubuh. Antara 75-95% isoniazid diekskresi melalui urin dalam waktu 24 jam dan hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit.
Efek samping
dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas, reaksi hematologik, gejala arthtritis, neuritis perifer, dapat mencetuskan terjadinya kejang, menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya. Efek samping lainnya adalah mulut terasa kering, rasa tertekan, methemoglobinemia, tinitus dan retensi urin.
Dosis
untuk TBC berat dapat diberikan 10 mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari. Anak dibawah 4 tahun dosisnya 10 mg/kgBB/hari.
RIFAMPISIN…
Aktivitas antibakteri
rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman Gram-positif dan Gram-negatif. Rifampisin dalam kadar 0,995-0,2 µg/mL dapat menghambta pertumbuhan M. tuberculosis.
Mekanisme kerja
rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh.kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari mikobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan awal terbentuknya rrantai dalam sintesis RNA. Inti RNA Polymerase dari berbagai sel eukariotik tidak mengikat rifampisin dan sintesis RNAnya tidak dipengaruhi. Rifampisin dapat menghambat sintesis RNA mitokondria mamlia tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi dari kadar untuk penghambatan pada kuman.
Efek samping
terjadi ruam kulit, demam, mual muntah, rasa lelah, mengantuk, sakit kepala, ataksia, reaksi hipersensitivitas, trombositopenia dan anemia.
Interaksi obat
pemberian PAS bersama rifampisin akan menghambat absorpsi rifampisin sehingga kadarnya dalam darah tidak cukup. Rifampisin merupakan pemacu metabolisme obat yang cukup kuat, sehingga berbagai obat hipoglikemik oral, kortikosteroid dankontrasepsi oral akan berkurang efektivitasnya bila diberikan bersama rifampisin.
Dosis
diberikan sehari sekali sebaiknya satu jam sebelum makan atau dua jam setelah makan. Dosis untuk dewasa dengan berat badan kurang dari 50kg adalah 450 mg/hari dan untuk berat badan lebih dari 50 kg adalah 60mg/hari. Untuk anak-anak dosisnya 10-20 mg/kgBB per hari dengan dosis maksimum 600mg/hari.
ETAMBUTOL… Aktivitas antibakteri
obat ini menekan pertumbuhan kuman tuberkulosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati. Karena itu, obat ini hanya efektif pada sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik.
Farmakokinetik
pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap dari saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Dalam waktu 24 jam, 50% etambutol diekskresikan dalam bentuk asal melalui urin, 10% sebagai metabolit, berupa derivat aldehid dan asam karboksilat.
Efek samping
gangguan penglihatan, pruritus, nyeri sendi, gangguan saluran cerna, sakit kepala, disorientasi dan peningkatan asam urat darah pada 50% pasien.
Status dalam pengobatan
etambutol berhasil digunakan dalam pengobatan tuberkulosis dan menggatntikan asam paraaminosalisilat karena tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya serta dapat diterima dalam terapi.
Dosis
diberikan biasanya 15mg/kgBB, diberikan sekali sehari, ada pula yang menggunakan 25mg/kgBB selama 60 hari pertama, kemudian diturunkan menjadi 15mg/kgBB. Pada pasien gangguan fungsi ginjal, dosisnya perlu disesuaikan karena etambutol terakumulasi dalam badan.
PIRAZINAMID… Aktivitas antibakteri
dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam. Mekanisme kerja obat ini belum diketahui.
Farmakokinetik
pirazinamid mudah diserap diusus dan tersebar luas keseluruh tubuh. Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus. Asam pirazinoat yang aktif kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan metabolit utama. Masa paruh eliminasi obat ini adalah 10-16 jam.
Efek samping
kelainan hati, artralgia, anoreksia, mual dan muntah dan demam. Dosis
dosis oral adalah 20-35mg/kgBB sehari, diberikan dalam satu atau beberapa kali sehari.
KAPREOMISIN… Aktivitas antibakteri
kapreomisin digunakan pada infeksi paru oleh M. tuberculosis yang resisten terhadap antituberkulosis primer. Efektivitasnya hampir sama dengan streptomisin, dan karena tak ada resistensi silang dengan streptomisin, obat ini dapat digunakan untuk kuman yang telah resisten terhadap streptomisin.
Efek samping
hipokalemia, eosinofilia, trombositopenia, memburuknya angka-angka uji fungsi hati.
Kapreomisin hanya digunakan dalam kombinasi dengan antituberkulosis lain. Dalam kombinasi dengan etambutol dan INH, obat ini terbukti bermanfaat dalam terapi tuberkulosis yang gagal diobati. Kapreomisin tidak tersedia di Indonesia.
Indikasi
obat ini hanya digunakan pada kegagalan terapi dengan obat primer atau bila kumannya resisten terhadap obat-obat itu. Penggunaanya harus bersama obat lain yang efektiv.
STREPTOMISIN
Streptomisin adalah antituberkulosis
pertama yang secara klinik di nilai efektif.
Namun sebagai obat tunggal bukan sebagai
obat ideal.
AKTIVITAS ANTIBAKTERIStreptomisin in vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman tuberkulosis. Kadar serendah 0,4 µg/mL dapat menghambat pertumbuhan kuman. Sebagian besar Mycoibacteria tuberculosis strain human dan bovin dihambat dengan kadar 10 µg/mL. Mikobakterium atipik fotokromatogen, skotokromatogen, nokromatogen, dan spesies yang tumbuh cepat tidak peka terhadap sterptomisin. Adanya mikroorganisme yang hidup dalam asbes atau kelenjar limfe regional serta hilangnya pengaruh obat setelah beberapa bulan pengobatan, mendukung konsep bahwa kerja streptomisin in vivo ialah supresi, bukan eredikasi kuman tuberkulosis. Obat ini dapat mencapai kavitas, tetapi lebih relatif sukar berdifusi ke cairan intrasel.
RESISTENSIDalam populasi yang besar selalu terdapat kuman
yang resisten terhadap streptomisin. Resistensi ini
mungkin disebabkan oleh mutasi yang terjadi
secara kebetulan. Kemungkinan terjadi resistensi in
vitro dan in vivo sama besar. Secara umum
dikatakan bahwa makin lama terapi dengan
streptomisin berlangsung, makin meningkat
resistensinya. Pada beberapa pasien resistensi ini
terjadi dalam satu bulan. Setelah 4 bulan, 80%
kuman tuberkulosis tidak sensitif lagi.
RESISTENSISetengahnya tidak dapat dihambat dengan
kadar 1000 µg/mL. bila kavitas tidak menutup
atau sputum tidak menjadi steril dalam waktu
2-3 bulan, bakteri yang tertinggal telah
resisten dan pengobatan tidak efektif lagi.
Penggunaan streptomisin bersama
antituberkulosis yang lain menghambat
terjadinya resistensi. Tetapi hal ini tidak
mutlak, pada pengobatan jangka lama dapat
juga terjadi resistensi kuman terhaap kedua
obat itu.
FARMAKOKINETIKSetelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua streptomisin berada dalam plasma. Hanya sedikit sekali yang masuk kedalam eritrosit. Streptomisin kemudian menyebar keseluruh cairan ekstrasel. Kira-kira sepertiga streptomisin yang berada dalam plasma, terikat protein plasma. Streptomisin di eksresi melalui filtrasi glomerulus. Kira-kira 50-60% dosis streptomisin yang diberikan secara parenteral dieksresi dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Sebagian besar jumlah ini dieksresi dalam waktu 12 jam. Masa paruh obat ini pada orang dewasa normal antara 2-3 jam, dan dapat sangat memanjang pada gagal ginjal. Otoktoksisitas lebih sering terjadi pada pasien yang fungsi ginjalnya terganggu.
EFEK SAMPING STREPTOMISIN
1. Kadang-kadang terjadi sakit kepala sebentar atau malaise.
2. Parestasi dimuka terutama disekitar mulut
3. Rasa kesemutan ditangan tidak mempunyai arti klinisi yang penting
4. Reaksi hipersensitivitas biasanya terjadi dalam pengobatan minggu-minggu pertama
5. Streptomisin bersifat neurotoksik pada saraf kranial ke VIII, bila diberikan dalam dosis besar dan jangka lama
6. Seperti aminoglikosida lainnya, obat ini juga bersifat nofrotoksik. Ototoksisitas dan nofrotoksisitas ini sangat tinggi kejdiannya pada kelompok usia diatas 65 tahun, oleh karena itu tidak boleh diberikan pada kelompok usia tersebut.
EFEK SAMPING STREPTOMISIN
7. Efek samping lainnya yaitu reaksi
anafilaktik, agranulositosis, anemia
aplastik, dan demam obat
8. Belum ada data tentang efek teratogeni,
tetapi pemberian obat pada trimester
pertama kehamilan tidak dianjurkan.
Selain itu dosis total tidak boleh melebihi
20 gram dalam 5 bulan terakhir kehamilan
untuk mencegah ketulian pada bayi
INTERAKSI OBAT
Interaksi obat dapat terjadi dengan obat
penghambat neuromuskular berupa potensial
penghambatan. Selain itu interaksi juga
terjadi dengan obat lain yang bersifat
ototoksik (misalnya asal etakrinat dan
furosemid) dan yang bersifat nefrotoksik.
SEDIAAN DAN POSOLOGIStreptomisin terdapat dalam bentuk bubuk
injeksi dalam vial 1 dan 5 gram. Dosisnya 20
mg/kg BB secara IM, maksimum 1 gram/hari
selam 2 sampai 3 minggu. Kemudian
frekuensi pemberian dikurangi menjadi 2-3
kali seminggu. Pasien dengan fungsi ginjal
normal dapat menerima paduan ini untuk
beberapa bulan. Dosis harus dikurangi untuk
pasien usia lanjut, anak-anak, orang dewasa
yang badannya kecil, dan pasien dengan
gangguan fungsi ginjal.
SIKLOSERIN
Sikloserin merupakan antibiotik yang
dihasilkan oleh Streptomyces orchidaceus,
dan sekarang dapat dibuat secara sintetik.
Sikloserin berupa bubuk putih atau
kuningan, agak pahit, dan higroskopis. Obat
ini larut dalam air sampai 100 mg/mL pada
25°C, stabil dalam larutan askalis, tetapi
cepat dirusak dalam larutan netral atau
asam.
AKTIVITAS ANTIBAKTERIIn vitro, sikloserin menghambat pertumbuhan
Mycoibacteria tuberculosis pada kadar 5-20
µg/mL melalui penghambatan sintesis dinding
sel. Jenis-jenis yang sudah resisten terhadap
streptomisin, PAS, INH, pirazinamid, dan
viomisin masih mungkin sensitif terhadap
sikloserin.
In vivo terlihat bahwa khasiat sikloserin
berbeda paa berbagai spesies, tetapi efeknya
paling nyata pada manusia.
FARMAKOKINETIKSetelah pemberian oral absorbsinya baik. Kadar puncak dalam darah dicapai 4-8 jam setelah pemberian obat. Dengan dosis 20 mg/kg BB diperoleh kadar dalam darah sebesar 20-35 µg/mL pada anak-anak. Dengan dosis 750 mg tiap 6 jam pada orang dewasa akan diperoleh kadar lebih dari 50 µg/mL. distribusi dan difusi keseluruh cairan dan jaringan tubuh baik sekali. Sawar darah otak dapat dilintasi dengan baik. Karena obat ini terkonsentrasi di urin, tidak diperlukan dosis besar untuk mengobati tuberkulosis saluran kemih.
FARMAKOKINETIK
Eksresi maksimal tercapai dalam 2-6
jam setelah pemberian obat dan 50%
dieksresi melalui urin dalam bentuk
utuh selama 12 jam pertama. Bila ada
insufisiensi ginjal, terjadi akumulasi
obat dalam tubuh sehingga
memperbesar kemungkinan reaksi
toksik.
EFEK SAMPINGEfek samping yang paling sering timbul dalam
penggunaan sikloserin adalah pada SSP dan
biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama
pengobatan. Gejalanya ialah somnolen, sakit
kepala, tremor, disartria, vertigo, gangguan
tingkah laku, paresis, serangan psikosis akut,
dan konvulsi. Serangan dapat menyerupai
epilepsi grand mal atau epilepsi petit mal, dan
insidensnya berhubungan dengan dosis yang
digunakan. Dosis 2 gram sehari dapat
menimbulkan konvulsi pada 5-10% pasien.
EFEK SAMPINGDengan menurunkan dosis menjadi 500 mg
sehari, insidensnya mencolok turun. Risiko
konsulvi bertambah bila sikloserin diberikan
bersama etil-alkohol Karena efek pada SSP itu
sikloserin dikontraindikasikan bagi pasien
epilepsi, dan mungkin berbahaya pada orang
yang sedang depresi atau yang mengalami
ansietas.
SEDIAAN DAN POSOLOGISikloserin dalam bentuk kapsul 250 mg,
diberikan 2 kali sehari. Dengan dosis ini
kemungkinan reaksi toksik kecil. Jika keadaan
lebih berat, dapat diberikan dosis lebih besar
untuk jangka waktu yang lebih singkat. Hasil
terapi yang paling baik bila dicapai kadar
lembah dalam plasma sebesar 25-30 µg/mL.
Oleh karena itu sebaiknya kadar dalam plasma
dipantau sewaktu-waktu selama pengobatan.
Sikloserin dosis besar (250-500 mg tiap 6 jam)
dapat digunakan dengan aman bila diberikan
bersama piridoksin atau depresan SPP.
ETIONAMIDEtionamid merupakan antituberkulosis
sekunder yang harus dikombinasikan
dengan antituberkulosis lain bila obat primer
tidak efektif lagi atau dikontraindikasikan.
Obat ini tidak beredar di Indonesia
AKTIVITAS ANTIBAKTERIIn vitro, etionsmid menghambat Mycoibacteria tuberculosis jenis human pada kadar 0,9-2,5 µg/mL. Basil yang sudah resisten terhadap tuberkulostatik lain masih sensitif terhadap etionamid. Mikobakterium jenis lain kurang sensitif terhadap etionamid, atau memerlukan kadar yang lebih tinggi. Obat ini sama efektifnya terhadap basil intrasel maupun ekstrasel.Resistensi mudah terjadi bila dosis kurang tinggi atau obat ini digunakan sendiri, dan timbul lebih lambat jika dikombinasikan dengan streptomisin atau INH.
FARMAKOKINETIKPada pemberian per oral etionamid mudah
diabsorbsi. Kadar puncak tercapai dalam 3
jam dan kadar terapi bertahan selama 12
jam. Distribusi cepat, luas, dan merata
keseluruh cairan dan jaringan tubuh. Eksresi
berlangsung cepat dan terutama dalam
bentuk metabolitnya, hanya 1% dalam
bentuk aktif.
EFEK SAMPING
1. Anoreksia2. Mual dan muntah3. Hipotensi postural yang hebat4. Depresi mental5. Mengantuk6. Asthenia7. Dapat pula terjadi rasa kecap metalik8. Kejang dan neuropati primer tetapi jarang
terjadi9. Pada sistem saraf pusat mencakup gangguan
pada saraf olfaktorius10. Penglihatan kabur11. Diplopia
EFEK SAMPING12. Vertigo13. Parestesia14. Sakit kepala15. Rasa lelah16. Tremor17. Kemerahan kulit18. Purpura19. Stomatitis20. Ginekomastia21. Impotensi22. Menoragi23. Akne
24. Alopesia juga pernah dilaporkan
EFEK SAMPING
Hepatitis terjadi pada sekitar 5% pasien yang
menggunakan obat ini. Gejala hepatotoksik
hilang bila pengobatan dihentikan. Fungsi hati
pasien yang mendapat etionamid perlu diperiksa
secara teratur dan penggunaannya dianjurkan
bersama dengan piridoksin.
SEDIAAN DAN POSOLOGI
Etionamid terdapat dalam bentuk tablet
250 mg. dosis awal ialah 2 kali 250 mg
sehari, kemudian dinaikkan setiap 5 hari
dengan 125 mg sampai maksimal 1 g/hari.
Obat ini sebaiknya diberikan pada waktu
makan untuk mengurangi iritasi lambung
KANAMISIN
Kanamisin bersifat bakterisid dengan
menghambat sintesis protein bakteri. Efeknya
pada M. tuberculosis hanya bersifat supresif.
Kanamisin telah lama digunakan sebagai
antituberkulosis lini-kedua untuk pengobatan
tuberkulosis yang disebabkan oleh bakteri yang
sudah resisten terhadap streptomisin, tetapi sejak
ditemikan amikasin dan kapreomisin yang relatif
kurang toksik, maka kini telah ditinggalkan.
AMIKASINAmikasin adalah semisintetik kanamisin dan lebih resisten terhadap berbagai enzim yang dapat merusak aminoglikosida lain. Peran amikasin sebagai antituberkulosis lini kedua meningkat dengan bertambahnya kejadian dan prevalensi timbulnay tuberkulosis yang multidrug-resistant. Umumnya mikobakteria yang multidrug-resistant tersebut masih peka terhadap amikasin. Pada uji in vitro ada resistensi silang antara amikasin dan kanamisin dan kapreomisin pada M. tuberculosis. Tidak ada resistensi silang antara amikasin dan streptomisin.