ANALISIS PENGALAMAN-PENGALAMAN YANG TECERMIN DALAM PUISI ANGKATAN BALAI PUSTAKA – ANGKATAN 70 SEBAGAI
UPAYA PEMILIHAN BAHAN PEMBELAJARAN APRESIASI PUISI DI SMA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Menempuh Ujian Sarjana Pendidikan
Oleh Henda Suhenda
0721016887
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) SEBELAS APRIL SUMEDANG
2011
LEMBAR PERSEMBAHALEMBAR PERSEMBAHALEMBAR PERSEMBAHALEMBAR PERSEMBAHANNNN
“ Jadilah seperti mutiara,
walau di dalam lumpur sekalipun
mutiara tetap mutiara,
Dengan segala ketulusan hati kupersembahkan skripsi ini untuk :
ibu dan bapak tercinta dan Rony Irawan,
Kalian inspirator dan motivator terbesar dalam hidupku
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur seraya penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. karena atas
limpahan rakhmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan serta
penyusunan skripsi ini dengan tepat waktu. Skripsi yang berjudul, Analisis
Pengalaman-pengalaman yang Tercermin dalam Puisi Angkatan Balai Pustaka –
Angkatan 70 Sebagai Upaya Pemilihan Bahan Pembelajaran Apresiasi Puisi di
SMA disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana
pendidikan di STKIP Sebelas April Sumedang.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun, penulis harapkan untuk perbaikan
karya ilmiah pada masa yang akan datang.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengalami berbagai hambatan dan
rintangan. Akan tetapi, karena adanya bantuan, dorongan, dan bimbingan dari
berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan sesuai rencana. Oleh
karena itu, sudah selayaknya penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
tidak terhingga kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Yus Rusyana, selaku Dosen Pembimbing I yang selalu
memberi waktu yang leluasa untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
2. Bapak Dr. Dadang Gunadi, M.Pd. selaku pembimbing II sekaligus sebagai
Ketua STKIP Sebelas April Sumedang yang telah membimbing penulis
dengan penuh ketulusan, ketekunan, dan ketelitian kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini;
ii
3. Bapak Asep Saepurokhman, Drs, M.Pd selaku Ketua Program Studi
Dikbasasinda STKIP Sebelas April Sumedang yang telah banyak memberikan
berbagai kemudahan dan bantuan untuk kelancaran penyusunan skripsi ini;
4. seluruh dosen dan karyawan STKIP Sebelas April Sumedang yang telah
membekali pengetahuan dan berbagai fasilitas serta pelayanan kepada penulis
selama menempuh pendidikan;
5. ibu dan bapak yang telah banyak memberikan kasih sayang, dukungan, doa
dan segala pengorbanan yang tidak terhingga kepada penulis sehingga skripsi
ini dapat diselesaikan;
6. saudaraku Rudi dan Hendi yang telah banyak memberikan motivasi, kasih
sayang dan pengorbanan yang besar kepada penulis;
7. sahabat setiaku Rony (Ony), Joe-Cua, Andrew, Daniel, Yandri, Nisa, Tedi
(Adriel), Dewi, Amanda, Edward, yang telah banyak memberikan inspirasi,
dukungan, doa, perhatian, dan bantuan moril dan spirituil;
8. rekan-rekan Dikbasasinda 2007 terutama Ibu Dade, Indria, Noer aprilianti,
Erni, Trio Euis, Ani, Enjang, Pa Anwar, Yanti, Rudi, Ayu, Rohimat, dan
teman-teman lainnya yang telah banyak membantu dan memberi saran;
9. Agnes Monica, Britney Spears, Michael Jackson yang telah menjadi inspirasi
penulis. Berkat mimpi-mimpi kalian penulis termotivasi untuk selalu berusaha
menjadi yang terbaik selama sekolah, kuliah hingga menyelesaikan skripsi
ini;
10. semua pihak yang telah membantu penulis selama menempuh pendidikan di
STKIP Sebelas April Sumedang.
iii
Semua amal baik tersebut tidak dapat dinilai harganya, penulis hanya
mampu menyerahkan kepada Allah Swt. semoga dicatat sebagai amal baik dan
mendapat imbalan yang berlipat. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini
berguna bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Sumedang, Juli 2011 Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................... i DAFTAR ISI .................. ............................................................................ iv DAFTAR TABEL ...... ............................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. vii BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................. 5 1.3 Batasan Masalah................................................................ 6 1.4 Tujuan Penelitian .............................................................. 6 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................ 7 1.6 Anggapan Dasar ................................................................ 7 1.7 Definisi Operasional.......................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Puisi ..................................................................... 10 2.1.1 Pengertian Puisi ........................................................ 10 2.1.2 Jenis-jenis Puisi ........................................................ 11 2.1.3 Unsur-unsur Pembentuk Puisi .................................. 16 2.2 Pendekatan dan Angkatan Sastra ....................................... 21 2.2.1 Hakikat Pendekatan Sastra ....................................... 21 2.2.2 Angkatan Sastra ........................................................ 24 2.3 Hakikat Pendekatan Mimesis ............................................. 27 2.3.1 Pengertian Pendekatan Mimesis ............................... 27
2.3.2 Aspek Pengalaman dalam Pendekatan Mimesis ...... 30 2.4 Bahan Pembelajaran Sastra ................................................ 33
2.4.1 Pengertian Bahan Pembelajaran Sastra .................... 33 2.4.2 Kriteria Pemilihan Bahan Pembelajaran Sastra ........ 34
2.4.3 Kedudukan Pembelajaran Apresiasi Sastra dalam KTSP SMA ............................................................. 35 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ............................................................... 37 3.2 Teknik Penelitian................................................................ 37 3.2.1 Teknik Pengumpulan Data ....................................... 38 3.2.2 Teknik Analisis Data ................................................ 38 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ......................................... 39 3.3.1 Populasi Penelitian ................................................... 39 3.3.2 Sampel Penelitian ..................................................... 40 3.4 Instrumen Penelitian .......................................................... 41 3.4.1 Instrumen Pengumpulan Data .................................. 41 3.4.2 Instrumen Analisis Data ........................................... 43
v
BAB IV ANALISIS PENGALAMAN-PENGALAMAN YANG TERCERMIN DALAM PUISI ANGKATAN BALAI PUSTAKA – ANGKATAN 70 4.1 Data Penelitian .................................................................. 45 4.2 Analisis Data...................................................................... 47 4.2.1 Analisis Puisi Tanah Air ......................................... 47 4.2.2 Analisis Puisi Indonesia Tumpah Darahku ............ 49 4.2.3 Analisis Puisi Berdiri Aku ...................................... 51 4.2.4 Analisis Puisi Padamu Jua ..................................... 53 4.2.5 Analisis Puisi Kolam .............................................. 55 4.2.6 Analisis Puisi Menuju ke Laut ................................ 57 4.2.7 Analisis Puisi Dibawa Gelombang ......................... 58 4.2.8 Analisis Puisi Kerabat Kita .................................... 60 4.2.9 Analisis Puisi Derai-derai Cemara ........................ 63 4.2.10 Analisis Puisi Karawang – Bekasi ......................... 65 4.2.11 Analisis Puisi Do’a ................................................. 67 4.2.12 Analisis Puisi Sajak Anak Laut ............................... 69 4.2.13 Analisis Puisi Gadis Peminta-minta ....................... 71 4.2.14 Analisis Puisi Biar Mati Badanku Kini .................. 73 4.2.15 Analisis Puisi Kepada Saudaraku M.Natsir ........... 74 4.2.16 Analisis Puisi Makna Sebuah Titipan ..................... 75 4.2.17 Analisis Puisi Sebuah Jaket Berlumur Darah ........ 77 4.2.18 Analisis Puisi Di Sebuah Halte Bis ........................ 79 4.2.19 Analisis Puisi Dewa Telah Mati ............................. 81 4.2.10 Analisis Puisi Jembatan.......................................... 82 4.3 Pembahasan Hasil Analisis ............................................... 84 4.4 Analisis Kesesuaian Pemilihan Bahan Pembelajaran ........ 87 BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan............................................................................. 90 5.2 Saran ................................................................................... 91 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 93 LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................... 95 RIWAYAT HIDUP ...... ............................................................................. 99
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
TABEL 3.1 Sampel Penelitian ................................................................ 41
TABEL 4.1 Data Penelitian..................................................................... 46
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
LAMPIRAN 1 Surat Keputusan Ketua STKIP Sebelas April Sumedang
tentang Penulisan Skripsi ...................................................... 95
LAMPIRAN 2 Berita Acara Bimbingan Skripsi Pembimbing 1 ................... 97
LAMPIRAN 3 Berita Acara Bimbingan Skripsi Pembimbing 2 ................... 98
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu dari tujuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah
siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan berbahasa. Tujuan pembelajaran sastra berbeda dengan tujuan
bahasa. Pembelajaran sastra dimaksud untuk meningkatkan kemampuan siswa
dalam mengapresiasi berbagai ragam karya sastra. Selain itu, tujuan pembelajaran
sastra adalah agar siswa memperoleh pengalaman, dan pengetahuan tentang
sastra.
Sastra merupakan cerminan nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam
masyarakat. Karya sastra berisi pesan, ide, dan pengalaman kehidupan pengarang
yang kemudian dikemas dengan imajinasi dan khayalan yang dapat dinikmati oleh
pembaca atau penikmat sastra. Menurut Lukens (2003:9) “Sastra menawarkan dua
hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman”. Artinya, sastra hadir sebagai
hiburan yang bisa membuat pembaca atau penikmatnya senang dan gembira.
Selanjutnya, Ampera (2010:9) mengungkapkan bahwa, “Gambaran kehidupan
yang ada dalam sastra dapat memberikan pemahaman kepada pembaca tentang
berbagai persoalan hidup”. Melalui sastra, siswa dapat memperoleh, mempelajari,
dan menanggapi berbagai persoalan hidup dan kehidupan. Melalui sastra pula,
siswa akan mendapatkan pengalaman cara mengatasi berbagai persoalan yang
ada.
2
Berdasar pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran sastra
tidak hanya untuk memberikan pengalaman kepada siswa tentang sastra dan karya
sastra, tetapi juga agar siswa mendapat gambaran nilai-nilai dan pengalaman
kehidupan yang belum pernah dirasakannya. Selain itu, Rusyana (1984:306)
mengungkapkan bahwa, “Sastra dapat ikut menunjang perkembangan bahasa atau
hal-hal lain di luarnya apabila sastra itu kuat dan berkembang”. Artinya, sastra
juga berperan dalam kemajuan bahasa Indonesia dan juga dapat menjaga
kelestarian bahasa Indonesia. Dikatakan demikian, karena bahasa merupakan
medium terciptanya karya sastra. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Pradopo
(2003:107) bahwa, “Karya sastra adalah sebuah karya yang bermedium bahasa”.
Dengan demikian, dapat terlihat bahwa dicantumkannya pembelajaran sastra
dalam kurikulum pendidikan di Indonesia merupakan hal yang sangat penting.
Dikatakan penting, karena tidak hanya menyangkut pendidikan nilai kehidupan
siswa tetapi juga bagi kelangsungan kehidupan berbahasa Indonesia. Oleh karena
itu, pembelajaran sastra harus bersifat apresiatif dan ditekankan pada kenyataan
bahwa sastra merupakan salah satu bentuk seni yang dapat diapresiasi.
Salah satu genre sastra yang menjadi pembelajaran sastra adalah puisi.
Pradopo (2007:7) mengungkapkan bahwa, “Puisi itu merupakan rekaman dan
interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling
berkesan”. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan, bahwa puisi merupakan
pengalaman-pengalaman pengarang yang kemudian dibentuk dengan imajinasi
sehingga menjadi sebuah karya sastra yang memiliki pesan dan kesan untuk
dinikmati oleh pembaca atau penikmatnya.
3
Menyadari pentingnya pembelajaran sastra, termasuk puisi di dalamnya
maka guru perlu untuk menyajikan bahan pembelajaran yang menarik, tepat dan
apresiatif. Hal ini dimaksudkan agar siswa tidak hanya mengerti tentang teori
sastra tetapi siswa juga harus mampu mengapresiasi karya sastra dengan baik. Hal
itulah yang sebenarnya menjadi tujuan utama dicantumkannya pembelajaran
sastra dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pembelajaran
apresiasi puisi sebagai salah satu dari aspek pembelajaran sastra menuntut guru
agar dapat memilih, menentukan, dan memberikan materi ajar yang tepat agar
membuat siswa beroleh pengalaman dan juga mengetahui pengalaman apa yang
terkandung dalam puisi yang disajikan. Seperti yang disampaikan oleh Rusyana
(1984:322), “Dalam mengapresiasi sastra, seseorang mengalami dari hasil sastra
itu pengalaman yang telah disusun oleh pengarangnya”. Dengan demikian, terlihat
bahwa pengalaman yang terdapat dalam puisi bisa disajikan sebaga bahan ajar
yang tepat agar siswa dapat mengapresiasi karya sastra, khususnya puisi.
Pengalaman yang dimaksud dalam uraian di atas merupakan pengalaman
pengarang yang terkandung dalam sebuah puisi yang dikarangnya. Adapun yang
dimaksud dengan pengalaman adalah “Yang pernah dialami (dijalani, dirasai,
ditanggung, dsb)” (Depdiknas, 2004:456). Aspek pengalaman dalam karya sastra
dibahas dalam pendekatan mimesis. Menurut Abrams (1976:8) “Pendekatan
mimesis merupakan pendekatan estetis yang paling primitif”. Dasar pertimbangan
pendekatan mimesis adalah dunia pengalaman, yaitu “Karya sastra itu sendiri
yang tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya melainkan hanya sebagai
peniruan kenyataan” (Abrams, 1958:8). Kenyataan yang dimaksud dipakai dalam
arti yang seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan
4
yang diacu oleh karya sastra, seperti misalnya benda-benda yang dapat dilihat dan
diraba, bentuk-bentuk kemasyarakatan, perasaan, pikiran, dan sebagainya. Melalui
pandangan ini, secara hierarkis karya sastra berada di bawah kenyataan.
Berbicara mengenai pendekatan sastra, maka ada kaitannya dengan kritik
sastra. Rusyana mengungkapkan bahwa, “Sebagai guru sastra yang baik, kita
harus berinisiatif memilih bahan sendiri”. Lebih lanjut lagi beliau mengatakan
bahwa, “Hal itu hanya mungkin kita lakukan apabila kita mengikuti
perkembangan kesusastraan, dan kita mempunyai kemampuan mengadakan kritik
sastra”. Oleh karena itu, guru harus mampu untuk memahami ilmu sastra serta
kritik sastra, dan perkembangan sastra. Perkembangan sastra merupakan suatu hal
yang berhubungan dengan periodisasi sastra. Wellek (1968:265) menjelaskan
bahwa, “Periodisasi sastra yaitu sebuah bagian waktu yang dikuasai oleh sesuatu
sistem norma-norma sastra, standar-standar, dan konvensi-konvensi sastra yang
kemunculannya, penyebarannya, keberagamannya, integrasi, dan kelenyapannya
dapat diruntut”. Angkatani sastra Indonesia dimulai dari Angkatan Balai Pustaka.
Puisi yang ditulis pada angkatan sastra Balai Pustaka dan setelahnya merupakan
puisi yang sarat dengan pengalaman. Dikatakan demikian, karena pada saat itu
Indonesia sedang mengalami pasang surut dalam hal kepemerintahan,
kebudayaan, dan juga kedaulatannya, sehingga sastra yang dihasilkannya juga
memiliki perbedaan dengan sastra yang dibuat pada masa sekarang. Selain itu,
puisi-puisi yang terdapat dalam buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
didominasi oleh puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka - Angkatan 70.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap pengalaman-pengalaman yang terdapat dalam puisi Angkatan Balai
5
Pustaka, Pujangga Baru, 45, dan 70 sebagai bahan kajian utama penelitian.
Penulis menuangkan penelitian ini dalam bentuk skripsi dengan judul, “Analisis
Pengalaman-pengalaman yang Tercermin dalam Puisi Angkatan Balai Pustaka –
Angkatan 70 Sebagai Upaya Pemilihan Bahan Pembelajaran Apresiasi Puisi di
SMA”.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian adalah suatu topik untuk dipecahkan atau dicari
penyelesaiannya. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan
masalah peneilitian ini sebagai berikut.
1. Apakah terdapat pengalaman-pengalaman dalam puisi Angkatan Balai Pustaka
– Angkatan 70?
2. Pengalaman-pengalaman apa sajakah yang tercermin dalam puisi Angkatan
Balai Pustaka – 70?
3. Apakah pengalaman-pengalaman yang tercermin dalam puisi Angkatan Balai
Pustaka - 70 layak dijadikan sebagai bahan pembelajaran apresiasi puisi di
SMA?
1.3 Batasan Masalah
Agar masalah dapat diidentifikasi dengan jelas, penulis melakukan
pembatasan masalah. Oleh karena itu, masalah dalam penelitian ini dibatasi
sebagai berikut.
6
1. Pengalaman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengalaman yang
berkaitan dengan pengalaman kegiatan (jasmani), kehidupan beragama, dan
rohani (pikiran, sosial, dan budaya).
2. Angkatan sastra yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ngkatan sastra
menurut Racmat Joko Pradopo.
3. Puisi yang dimaksud dalam penelitian ini dibatasi hanya pada puisi yang telah
dibukukan atau didokumentasikan.
4. Genre puisi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sajak.
1.4 Tujuan Penelitian
“Tiap penelitian harus mempunyai tujuan atau tujuan-tujuan yang dicapai”
Nasution (1982:24). Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu :
1. mendeskripsikan pengalaman-pengalaman yang tercermin dalam puisi
angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70;
2. mendeskripsikan Pengalaman-pengalaman apa sajakah yang tercermin dalam
puisi angkatan Balai Pustaka – 70;
3. mendeskripsikan apakah pengalaman-pengalaman yang tercermin dalam puisi
Angkatan Balai Pustaka - 70 layak dijadikan sebagai bahan pembelajaran
apresiasi puisi di SMA;
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik untuk
penulis, guru bahasa dan sastra Indonesia maupun lembaga pendidikan. Adapun
manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
7
1) Guru bahasa dan sastra Indonesia, hasil penelitian ini memberikan informasi
bagi guru tentang pengalaman-pengalaman yang tercermin dalam puisi
Angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70, sehingga dapat dijadikan alternatif
pemilihan bahan pebelajaran apresiasi sastra, khususnya puisi.
2) Lembaga STKIP, hasil penelitian ini dapat menambah koleksi bahan bacaan
di perpustakaan sehingga dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa yang akan
melakukan penelitian serupa.
3) Penulis dapat mengetahui dan menambah wawasan tentang pengalaman-
pengalaman yang tercermin dalam puisi Angkatan Balai Pustaka – Angkatan
70, sekaligus berbagai hal yang berkaitan tentang pendekatan sastra.
4) Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat memotivasi siswa dalam pembelajaran
apresiasi sastra yang lebih menarik dan apresiatif.
1.6 Anggapan Dasar
Anggapan dasar adalah suatu titik tolak pemikiran yang kebenarannya
diterima penyelidik itu (Surakhmad, 1994:107). Artinya anggapan dasar berguna
sebagai dasar pijakan yang kokoh bagi masalah yang sedang diteliti, untuk
mempertegas yang menjadi pusat perhatian dan untuk merumuskan hipotesis.
Menurut Arikunto (1996:6) dikatakan bahwa tujuan dirumuskannya
anggapan dasar “1) agar ada dasar berpijak yang kukuh bagi masalah yang sedang
diteliti, 2) untuk mempertegas variabel yang menjadi pusat perhatiannya, dan 3)
guna menentukan dan merumuskan hipotesis”. Berdasarkan pendapat ini maka
penulis merumuskan anggapan dasar sebagai berikut.
8
1. Puisi merupakan salah satu karya sastra yang berisi ide, gagasan, dan
pengalaman pengarang yang ditulis dengan bahasa yang imajinatif.
2. Salah satu pendekatan dalam menganalisis puisi yaitu pendekatan mimesis.
3. Pendekatan mimesis merupakan pendekatan yang berdasar pada pengalaman
kehidupan nyata
4. Pembelajaran sastra memiliki peranan penting dalam mencapai pendidikan
susila, sosial, budaya, perasaan, dan keagamaan.
5. Puisi yang akan dijadikan bahan pembelajaran sastra sebaiknya dianalisis
terlebih dahulu dari pengalaman yang tercermin di dalamnya sehingga dapat
dijadikan alternatif bahan pembelajaran sastra.
1.7 Definisi Operasional
Untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memahami istilah-istilah yang
digunakan dalam penelitian ini, penulis mencoba membuat definisi operasional.
Adapun istilah-istilah yang digunakan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Pengalaman adalah segala sesuatu yang pernah dirasakan dan dialami
seseorang.
2. Puisi adalah rangkaian kata-kata imajinatif yang berisi pengalaman, ide, dan
pesan pengarangnya.
3. Pengalaman jasmani adalah pengalaman seseorang yang melibatkan gerak
dan menggunakan panca indera.
4. Pengalaman rohani adalah pengalaman seseorang yang melibatkan
kemampuan berpikir dan aspek kejiwaan.
9
5. Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-
sungguh sehingga menimbulkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran,
dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hakikat Puisi
2.1.1 Pengertian Puisi
Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra. Istilah puisi dan sajak
dalam pemakaiannya sering dikacaukan. Kekacauan penggunaan istilah tersebut
tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam. Para guru dan pakar sastra pun
tidak sedikit yang melakukan kekeliruan tersebut dengan berbagai alasannya
masing-masing. Sudjiman (1984:61) mengungkapkan bahwa, “Puisi itu termasuk
ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan
larik dan bait”. Namun, menurut pengamatan penulis, pendapat tersebut masih
berlaku untuk beberapa jenis genre karya sastra yang termasuk puisi, seperti:
pantun, gurindam, syair, dan soneta. Tetapi tidak berlaku untuk sajak, mengingat
sejak kehadiran karya-karya Chairil Anwar genre sajak telah mengalami
perubahan.
Waluyo (1991:25) menyatakan bahwa, “Puisi adalah bentuk karya sastra
yang mengungkapkan pikiran dan perasaan secara imajinatif dan disusun dengan
mengkosentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya”. Artinya, puisi adalah
ungkapan pikiran dan perasaan yang berdasarkan pengalaman jiwa yang bersifat
imajinatif dengan menggunakan kata konkret dan bahasa figuratif. Berdasarkan
pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa istilah puisi dalam pemakaiannya sering
dikacaukan dengan istilah sajak. Puisi dapat diartikan sebagai ragam sastra yang
bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait,
sedangkan sajak adalah persamaan bunyi atau rima terutama pada akhir baris.
11
Sedangkan Altenbernd (1970:2) menyatakan bahwa, “Puisi adalah
pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa
berirama (bermetrum) ( as the interpretive dramatization of experience in metrical
language)”. Maksud pengertian tersebut adalah bahwa pendramaan yang
dimaksud adalah penyair mengubah atau menceritakan pengalaman melalui puisi
dengan bahasa yang terstruktur. Pengalaman itu dapat berupa pengalaman
menyedihkan, menyenangkan, dan mengharukan.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
puisi adalah ekspresi pengalaman yang ditulis secara sistematik dengan bahasa
yang puitis. Kata puitis sudah mengandung keindahan yang khusus untuk puisi.
Di samping itu puisi dapat membangkitkan perasaan yang menarik perhatian,
menimbulkan tanggapan yang jelas atau secara umum menimbulkan keharuan.
2.1.2 Jenis-jenis Puisi
Berdasarkan isinya puisi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (1) Puisi epik
disebut juga puisi naratif (Cohen, 1973:184-185). Bentuk puisi ini agak panjang
dan berisi cerita kepahlawanan, tokoh kebangsaan, masalah surga, neraka, tuhan,
dan kematian. Selain itu, puisi epik tersebut dapat dikatakan bahwa penyair
menceritakan hal-hal diluar dirinya. Dari pengertian tersebut dikatakan bahwa
dalam puisi epik penyair menceritakan hal yang tidak pernah dan belum dialami.
Adapun yang termasuk puisi epik dalam sastra Indonesia antara lain syair
dan balada. (2) Puisi lirik merupakan puisi yang bersifat subjektif, personal.
Artinya penyair menceritakan masalah-masalah yang bersumber dari dalam
dirinya. Puisi ini bentuknya agak pendek dan biasanya menggunakan kata ganti
12
orang pertama. Isinya tentang cinta, kematian, masalah muda dan tua. Adapun
yang termasuk puisi lirik antara lain sonata, eligi, ode, dan himne. Puisi lirik
banyak dijumpai dalam karya-karya Amir Hamzah, misalnya sebagai berikut.
TURUN KEMBALI
Kalau aku dalam engkau
Dan engkau dalam aku
Adakah begini jadinya
Aku hamba engkau penghulu
Aku dan engkau berlainan
Engkau raja, maha raja
Caha halus tinggi mengawang
Pohon rindang menaun dunia
Di bawa teduh engkau kembangkan
Aku berhenti memati hari
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati
Diterangi cahaya engkau sinarkan
Aku menaiki tangga mengawan
Kecapi firduisi melana telinga
Menyentuh gamnbuh dalam hatiku
Terlihat ke bawah
Kandil kemerlap
Melambai cempaka ramai tertawa
13
Hati duniawi melambung tinggi
Berpaling aku turun kembali
(Hamzah, 1985 a:24) (3) Puisi dramatik. Puisi ini bersifat objektif dan subjektif. Dalam hal ini
seolah-olah penyair keluar dari dirinya dan berbiccara melalui tokoh lain. Dengan
kata lain, dalam puisi ini penyair tidak menyampaikan secara langsung
pengalaman yang ingin diungkapkan tetapi disampaikan melalui tokoh lain
sehingga tampaknya seperti sebuah dialog. Menurut Rollof (1973:65) “Unsur
yang menonjol dalam puisi dramatik adalah kemampuan memberi sugesti”. Bagi
Doreksi (1988:147) “Puisi dramatik merupakan drama dalam sajak, dihilangkan
untuk dibaca bukan untuk dipentaskan”. Adapun contoh puisi dramatik dapat
dilihat pada puisi Taufik Ismail berikut ini.
SEORANG TUKANG RAMBUTAN KEPADA ISTRINYA
“Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak seklali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak dua ratus, dua ratus!
ampai bensi juga turun harganya
Sampai kita bias naik bis pasar yang murah pula.
Mereka kehausan dalam panas bukan main
Terbakar mukanya di atas trukterbuka
Saya lemparkat sepuluh ikat rambutan kita Bu
Biarlah sepuluh ikat huga
Memang sudah rejeki mereka
14
Mereka berteriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
“Hidup tukang rambutan ! hidup tukang rambutan
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya
“Hidup rakyat!” teriaknya
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih pak, terima kasih!
“Bapak setuju kami bukan ?”
Saya menganguk-angguk. Tak bias bicara
“Doakan perjuangan kami pak!”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasihnya
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!
Saya tersedu belum pernah seumur hidup
Orang berterima kasih begitu jujurnya
Pada orang kecilnya seperti kita”
(dalam Jassin, 1968:151)
Menurut Suharianto (1981:29), berdasarkan kata-kata dalam pembentukan
puisi, puisi dibagi menjadi dua yaitu puisi prismatis dan puisi diaphan. Untuk
lebih jelasnya, penulis paparkan kedua jenis puisi tersebut sebagai berikut.
15
1. Puisi Prismatis
Puisi prismatis adalah puisi-puisi yang menggunakan kata-kata sebagai
lambang-lambang atau kiasan. Dalam puisi ini pengarang menggunakan kata-kata
yang sulit dipahami bagi yang benar-benar belum menguasai teori puisi. Misalnya
ketika penyair menggambarkan suatu keadaan, dia menggunakan simbol
tersendiri, sehingga ketika pembaca ingin memahaminya harus benar-benar
mencermati dan merasakan.
Contoh:
DEWA TELAH MATI
Tak ada dewa di rawa-rawa ini
Hanya gagak yang mengakak malam hari
Tak siang terbang mengitari bangkai
Pertapa yang terbunuh dekat kuil
Dewa telah mati di tepi-tepi ini
Hanya ular yang mendesir dekat sumber
Lalu minum dari mulut
Pelacur yang tersenyum dengan baying sendiri
Bumi ini perempuan jalang
Yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
Ke rawa-rawa mesum ini
Dan membunuhnya pagi hari.
(SIMPHONI, hal 9)
Dalam puisi tersebut lambang-lambang yang digunakan penyair
menunjuk kepada pengertian yang tidak sebenarnya. Untuk memahami maksud
16
puisi tersebut kita perlu menafsirkan kata-kata yang dipasang penyair tersebut
menghubung-hubungkan dengan hal-hal di luar puisi itu sendiri karena penyair
juga menggunakan kata-katanya sebagai perbandingan-perbandingan.
2. Puisi Diaphan
Puisi diaphan adalah puisi yang kata-katanya sangat terbuka, tidak
mengandung pelambang-pelambang atau kiasan-kiasan. Dalam puisi diaphan
pengarang menggunakan bahasa yang mudah dipahami atau dapat dikatakan
bahwa kata yang digunakan adalah kata-kata yang biasa digunakan dalam
kehidupan sehari-hari.
Contoh:
KITA ADALAH PEMILIK SYAH REPUBLIK INI
Tidak ada pilihan lain, kita harus
Berjalan terus
Karena berhenta ayau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk dalam satu meja
Dengan para pembunuh tahun yangn lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
Duli Tuanku?
Tidak adalagi pilihan lain.Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia yang bermata sayu yang ditepi jalaN
17
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh.
Kita adalah berpuluh juta yang brtahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api kutuk dan hama
Dan brtanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka
Kita yang tak punya kepentingan dengan seribut slogan
Dan seribut pengeras suarayang hampa suara
Tak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
(ANGKATAN 66, hal. 165)
2.1.3 Unsur-Unsur Pembentuk Puisi
Puisi sebagai suatu karya sastra dibangun oleh beberapa unsur penting.
Unsur-unsur tersebut yang membuat puisi berbeda dengan karya sastra lainnya.
Adapun uraian tentang unsur-unsur pembentuk puisi akan penulis paparkan
sebagai berikut.
1. Diksi
Dalam puisi kata-kata sangat besar peranannya. Setiap kata mempunyai
fungsi tertentu dalam menyampaikan ide penyairnya. Meyer (1987:457)
mengatakan bahwa, “Dalam fungsinya untuk memadatkan suasana, lembut, dan
bersifat ekonomis. Jadi, kata-kata dalam puisi hendaknya disusun sedemikian rupa
sehingga dapat menyalurkan pikiran, perasaan penulisnya dengan baik”.
Sehubungan dengan hal itu Meyer (1987:457-548) membagi diksi dalam tiga
tingkat yaitu :
18
1) diksi formal adalah bermartabat, inpersonal dan menggunakan bahasa yang tinggi. 2) diksi pertengahan. Diksi ini agak sedikit tidak formal dan biasanya kata-kata yang digunakan adalah yang dipakai oleh kebanyakan orabng yang berpendidikan. 3) diksi informal mencakup dua bahasa yaitu bahasa sehari-hari yang dalam hal ini termasuk slang, dan dialek yaitu meliputi dialek geografis dan sosial. Diksi dapat berupa denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan makna kata
dalam kamus, makna kata objektif yang pengertiannya menunjuk pada benda yang
diberi nama dengan kata kata itu. Satu sisi Alternberd (1970: 10) mengatakan
bahwa, “Kumpulan asosiasi perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata yang
diperoleh melalui setting yang dilukiskan disebut konotasi”. Selanjutnya, Meyer
(1987:549) mengungkapkan bahwa, “Konotasi adalah bagaimana kata digunakan
dan asosiasi orang yang timbul dengan kata itu”. Tentu saja makna konotasi
sangat tergantung pada konteksnya. Makna konotasi dapat diperoleh melalui
asosiasi dan sejarahnya. Menurut Pradopo (2007:54), “Penyair ingin
mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens, untuk hal ini ia
memilih kata yang setepat-tepatnya yang dapat menjilmakan pengalaman
jiwanya”.
Berdasar pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pemilihan
kata dalam menulis puisi dimaksudkan agar pengalaman pengarang dapat
disampaikan dengan baik dalam bentuk rangkaian kata, sehingga pembaca atau
pendengar mampu memahami pengalaman, ide atau gagasan pengarang tersebut.
2. Pengimajian
Pengimajian dapat memberi gambaran yang jelas, menimbulkan suasana
yang khusus, membuat hidup (lebih hidup) gambaran dalam pikiran, dan
penginderaan untuk menarik perhatian, untuk memberikan kesan mental atau
19
bayangan visual, penyair menggunakan gambaran-gambaran angan. Imaji adalah
gambaran-gambaran angan, gambaran pikiran, kesan mental atau bayangan visual
dan bahasa yang menggambarkannya. Artinya dalam tangan penyair yang baik
imaji itu segar dan hidup, berada dalam puncak keindahannya untuk
mengintensifkan, menjernihkan, dan memperkaya. Citraan menurut Alternberd
(1970:35), “Merupakan unsur yang penting dalam puisi karena dayanya untuk
menghadirkan gambaran yang konkret, khas, menggugah dan mengesankan”.
Citraan juga dapat merangsang imajinasi dan menggugah pikiran dibalik sentuhan
indera serta dapat pula sebagai alat interpretasi. Pradopo (2007:81)
mengungkapkan bahwa, “Gambaran-gambaran angan itu ada bermacam-macam,
dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan, dan
penciuman, bahkan juga diciptakan oleh pemikiran dan gerakan”.
Berdasar pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa citraan
merupakan gambaran angan atau khayalan yang terdapat dalam suatu puisi untuk
menunjukan imajinasi pengarang agar puisi yang ditulisnya dapat memberikan
kesan hidup dan keindahan.
3. Kata konkret
Kata konkret adalah kata-kata yang digunakan oleh penyair untuk
menggambarkan suatu lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud untuk
membangkitkan imaji pembaca. Waluyo (1987:45) mengatakan bahwa, “Dengan
kata yang diperkonkret, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau
keadaan yang dilukiskan oleh penyair”. Misalnya, penyair melukiskan seorang
gadis yang benar-benar pengemis gembel. Penyair menggunakan kata-kata gadis
kecil berkaleng kecil.
20
4. Bahasa Figuratif
Menurut Waluyo (1987:46) bahasa figuratif adalah majas. Bahasa figuratif
membuat puisi lebih indah, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan
makna. Kiasan merupakan majas yang mengandung perbandingan yang tersirat
sebagai pengganti kata atau ungkapan lain untuk melukiskan kesamaan atau
kesejajaran makna. Pradopo (2007:62) menyamakan kiasan dengan bahasa
figuratif dan memasukkan metafora salah satu bentuk kiasan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pada umumnya bahasa
figuratif dipakai untuk menghidupkan lukisan, untuk mengkonkretkan dan lebih
mengekspresikan perasaan yang diungkapkan. Dengan demikian, pemakaian
bahasa figuratif menyebabkan konsep-konsep abstrak terasa dekat pada pembaca
karena dalam bahasa figuratif oleh penyair diciptakan kekonkretan, kedekatan,
keakrabatan dan kesegaran. Menurut Altenbernd (1970:15), bahasa figuratif
digolongkan menjadi beberapa golongan, di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Simile
Simile adalah jenis bahasa figuratif yang menyamakan satu hal dengan hal lain
yang sesungguhnya tidak sama. Keraf menyatakan, Simile adalah
perbandingan yang bersifat eksplisit. Perbandingan yang demikian
dimaksudkan bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan yang
lainnya. Misalnya dengan menggunakan kata seperti, sama, sebagai, bagaikan,
laksana,dan lain-lain. Dari uraian di atas, smile adalah membandingkan atau
menyapakan dengan hal lain dengan menggunakan kata kata yang artinya
sama.
21
b. Metafora
Metafora adalah bentuk bahasa figuratif yang memperbandingkan sesuatu hal
dengan hal lainnya yang pada dasarya tidak serupa. Jadi, metafora itu
membandingkan sesuatu yang tidak sama namun disamakan.
c. Personifikasi
Personifikasi adalah satu corak metofora yang dapat diartikan sebagai suatu
cara penggunaan atau penerapan makna. Jadi antara personifikasi dan
metafora keduanya mengandung unsur persamaan.
d. Epik Simile
Epik Simile atau perumpamaan epos adalah pembandingan yang dilanjutkan
atau diperpanjang yaitu dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat,
perbandingan lebih lanjut dalam kalimat atau frase-frase yang berturut-turut.
e. Metonimi
Metonimi adalah pemindahan istilah atau nama suatu hal atau benda ke suatu
benda yang lainnya yang mempunyai kaitan rapat.
f. Sinekdoki
Sinekdoki adalah bahasa figuratif yang menyebutkan suatu bagian penting dari
suatu benda atau benda atau hal itu. Artinya, bahwa sebuah benda pasti
mempunyai bagian bagian yang tekandung di dalamnya. Kemudian, dalam
mencari sinekdoki cari hal yang paling penting.
5. Versifikasi
Versifikasi meliputi ritma, rima, dan metrum. Secara umum ritma dikenal
sebagai irama, yakni pergantian turun naik panjang pendek, keras lembut ucapan
bunyi bahasa dengan teratur. Panuti Sujiman memberikan pegertian irama dalam
22
puisi sebagai alunan yang dikesankan oleh perulangan dan pergantian kesatuan
bunyi dalam arus panjang pendeknya bunyi keras lembutnya tekanan, dan tinggi
rendahnya nada karena sering bergantung pada pola matra. Irama dalam
persajakan pada umumnya teratur. Rima adalah pengulangan bunyi di dalam baris
atau larik puisi, pada akhir baris puisi atau bahkan juga pada keseluruhan baris
dan bait puisi. Adapun metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya
sudah tetap menurut pola tertentu. Hal ini disebabkan oleh (1) jumlah suku kata
yang tetap, (2) tekanan yang tetap, dan (3) alun suara menaik dan menurun yang
tetap.
6. Tipografi
Tipografi merupakan pembeda yang paling awal dapat dilihat dalam
membedakan puisi dengan prosa fiksi dan drama. Tipografi merupakan bentuk
dari puisi yang bermacam-macam tergantung yang mengarangnya. Adapun fungsi
tipografi adalah untuk keindahan indrawi dan mendukung makna.
7. Sarana Retorika
Sarana retorika berbeda dengan bahasa kiasan dan citraan yang
memperjelas gambaran dan menciptakan perspektif yang baru melalui
perbandingan. Sarana retorika adalah alat untuk mengajak pembaca berfikir agar
lebih menghayati gagasan yang dikemukakan.
2.2 Pendekatan dan Angkatan Sastra
2.2.1 Hakikat Pendekatan Sastra
Untuk membahas sebuah karya sastra ada dua macam pendekatan, yaitu
pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik bertolak dari
23
karya itu sendiri. Pendekatan seperti ini disebut sebagai pendekatan struktural.
Menurut Luxemburg (1984:36) struktural adalah kaitan-kaitan tetap antar
kelompok-kelompok gejala. Kaitan tersebut dilakukan oleh peneliti berdasarkan
observasinya. Pendekatan kedua adalah pendekatan ekstrinsik. Wellek dan
Warren (1989:109) menyatakan bahwa pendekatan ekstrinsik biasanya
mempermasalahkan sesuatu di seputar sastra dan situasi sosial tertentu, sistem
ekonomi, sistem sosial, adat istiadat, dan politik. Selanjutnya, Nurgiyantoro
(1998:23) menyatakan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar
karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan karya sastra.
Bagaimanapun juga, karya sastra tidak muncul dari situasi kekosongan budaya.
Pendekatan ekstrinsik dilakukan berdasarkan teori sosiosastra. Sosiologi menurut
Soekanto (1982:3) adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dalam
masyarakat dan proses sosialnya, termasuk perubahan-perubahan sosial yang ada
dalam masyarakat. Sedangkan sastra adalah pengungkapan dari apa yang dilihat
dan dirasakan oleh manusia tentang kehidupan (Hardjana, 1981:10).
Menurut Damono (1984:4), sastra adalah lembaga sosial yang
menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan sastra menggambarkan kehidupan
yang merupakan kenyataan sosial. Semi (1988:8) juga menyatakan bahwa sastra
adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah
manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Dengan demikian, kesamaan permasalahan antara sosiologi dengan sastra adalah
sama-sama berurusan dengan manusia dan masyarakat. Namun, seorang sosiolog
hanya dapat melihat fakta berdasarkan kenyataan yang terjadi di dalam
masyarakat. Sedangkan sastrawan mampu mengungkapkan kenyataan melalui
24
imajinasinya. Sosiosastra merupakan pendekatan yang mempertimbangkan nilai-
nilai sosiologi pada karya sastra.
Grebstein (Damono, 1984:4-5) menjelaskan bahwa karya sastra tidak
dapat dipahami secara menyeluruh dan tuntas jika dipisahkan dari budaya
masyarakat yang menghasilkannya. Penelitian ini menerapkan pendekatan
mimetik dengan menggunakan teori struktural dan pendekatan ekstrinsik dengan
menggunakan teori sosiosastra, antropologi sastra, dan psikosastra. “Pendekatan
struktural digunakan karena dalam memenuhi sebuah cerita diperlukan analisis
struktural sebab pendekatan struktural merupakan tugas prioritas dalam penelitian
karya sastra” (Teeuw,1983:61).
Menurut Abrams (1979:3) dan Teeuw (1988:50) ada empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu:
(1) pendekatan mimetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan) ; (2) pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu; (3) pendekatan ekspresif yang menganggap karya sastra sebagai ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman sastrawan (penyair); dan (4) pendekatan objektif yang menganggap karya sastra sebagai suatu yang otonom terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarang. Maka, yang penting adalah dalam kritik ini adalah karya sastra itu sendiri, yang dianalisis khusus struktur intrinsiknya.
Sesuai dengan pendapat di atas, maka dalam penelitian ini diterapkan
pendekatan mimetik yang menganggap karya sastra sebagai suatu tiruan alam dan
gambaran pengalaman kehidupan yang pernah dialami pengarang ataupun orang
lain yang kemudian ditulis oleh pengarang. Selanjutnya, dilakukan analisis
sosiosastra, psikosastra, dan antropologi sastra. Analisis sosiosastra diaplikasikan
pada penelitian ini karena karya sastra dilihat dari hubungannya dengan
kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala
sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
25
Luxemburg (1984:24) menyatakan bahwa yang diteliti adalah hubungan antara
(aspek-aspek) teks sastra dan suasana masyarakat.
Sistem masyarakat serta perubahannya tercermin di dalam masyarakat.
Sastra pun dipergunakan sebagai sumber menganalisis sistem masyarakat.
Penelitian sosiosastra lebih banyak memperbincangkan hubungan pengarang
dengan kehidupan sosialnya sehingga sosiosastra disebut sebagai konsep cermin
atau mirror. Sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan masyarakat), meskipun
sastra tidak semata-mata menyodorkan fakta kehidupan secara mentah, namun
sastra merupakan kenyataan yang telah ditafsirkan.
2.2.2 Angkatan Sastra
Pradopo (2003:1) mengungkapkan bahwa, “Masalah angkatan dan
penulisan sejarah sastra Indonesia merupakan dua persoalan dalam satu wajah,
yaitu persoalan sejarah sastra”. Dikatakan demikian, karena dalam perumusan
angkatan atau periodisasi satra terdapat banyak pendapat, polemik, dan pandangan
yang berbeda dari para pakar sejarah sastra. Selanjutnya Wellek (1968:39)
mengugkapkan bahwa, “Sejarah sastra merupakan salah satu cabang studi sastra
yang dipecah menjadi tiga: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra”. Artinya,
terdapat keterkaitan antara kritik sastra, teori sastra, dan sejarah sastra.
Menurut Pradopo (2003:2), “Angkatan sastra tak lain adalah sekumpulan
sastrawan yang hidup dalam satu kurun masa atau menempati suatu periode
tertentu”. Selanjutnya, Wellek (1968:265) menjelaskan bahwa, “Periodisasi sastra
yaitu sebuah bagian waktu yang dikuasai oleh sesuatu sistem norma-norma sastra,
standar-standar, dan konvensi-konvensi sastra yang kemunculannya,
26
penyebarannya, keberagamannya, integrasi, dan kelenyapannya dapat diruntut”.
Dari kedua pandangan tersebut dapat disimpulkan, bahwa angkatan sastra
merupakan sekumpulan pengarang atau sastrawan yang hidup dan berkarya dalam
suatu periode waktu tertentu. Jadi, terdapat perbedaan antara angkatan dan
periodisasi. Dikatakan demikian, karena angkatan mencakup sekumpulan
sastrawan, sedangkan periodisasi mencakup waktu atau periode saat beberapa
sastrawan menghasilkan karyanya.
Terdapat banyak perbedaan pandangan mengenai angkatan sastra ataupun
periodisasi sastra. Namun, seperti yang dikemukakan oleh Wellek (1968:165)
bahwa, “Rangkaian periode sastra itu jangan dibayangkan seperti balok-balok
batu yang dijajarkan secara berurutan, melainkan hendaklah dilihat bahwa periode
sastra itu saling bertumpang-tindih”. Maksud dari pendapat tersebut adalah
periode sastra bukan merupakan suatu rangkaian waktu terciptanya karya sastra
semata, melainkan suatu proses perkembangan sastra. Seperti yang diungkapkan
oleh Teeuw (1983:65) bahwa, “Karya sastra itu merupakan respons (jawaban atau
tanggapan) terhadap karya sastra sebelumnya”. Selanjutnya, Pradopo (2003:18)
menggolongkan ketidakmutlakan gambaran periodisasi sastra sebagai berikut.
1. Periode Balai Pustaka : 1920-1940. 2. Periode Pujangga Baru : 1930-1945. 3. Periode Angkatan 45 : 1940-1955. 4. Periode Angkatan 50 : 1950-1970, dan 5. Periode Angkatan 70 : 1965-sekarang (1984).
Sedangkan, Ajip Rosidi (1969:13) menggolongkan periode sastra sebagai
berikut. I. Masa Kelahiran dan Masa Penjadian (kl.1990:1945)
1. Periode awal hingga 1993. 2. Peiode 1933-1942;dan 3. Periode 1942-1945.
II. Masa Perkembangan (1945 hingga sekarang) 1. Periode 1945-1953.
27
2. Periode 1953-1961, dan 3. Periode 1961 sampai sekarang (1969).
Selanjutnya, Notosusanto menguraikan periodisasi satra menjadi beberapa
periode sebagai berikut. Keseluruhan Sastra Indonesia: A. Sastra melayu lama. B. Sastra Indonesia Modern Sastra Indonesia Modern dibagi 2 macam : I. Masa Kebangkitan (1920-1945) II. Masa Perkembangan (1945-sekarang) Masa Kebangkitan terdiri atas 3 periode: 1. periode ’20; 2. periode ’33; 3. periode 42’. Masa perkembangan ada 2 periode : 1. periode ’45; 2. periode ’50.
Berdasar pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa yang
dimaksud dengan periodisasi satra merupakan suatu kurun waktu tertentu saat
para sastrawan menghasilkan karya yang sesuai dengan norma dan konvensi-
konvensi yang berlaku saat itu. Periodisasi sastra erat kaitannya dengan sejarah
sastra, karena periodisasi satra merupakan salah satu aspek yang terdapat dalam
penulisan sejarah sastra. Dalam periodisasi sastra terdapat karya sastra dan
angkatan sastra. Periode sastra tersebut merupakan jawaban atas kekosongan ide
ataupun pemikiran periode sastra sebelumnya. Artinya, periodisasi sastra juga
merupakan salah satu gambaran perkembangan kehidupan sastra Indonesia.
2.3 Pendekatan Mimesis
2.3.1 Pengertian Pendekatan Mimesis
Secara umum pendekatan mimetik adalah pendekatan yang didasarkan
pada hubungan karya sastra dengan universe (semesta) atau lingkungan sosial-
budaya yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra itu. Mimesis merupakan salah
28
satu wacana yang ditinggalkan Plato dan Aristoteles sejak masa keemasan filsafat
Yunani Kuno hingga pada akhirnya Abrams memasukkannya menjadi salah satu
pendekatan utama untuk menganalisis sastra selain pendekatan ekspresif,
pragmatik dan objektif. Mimesis merupakan ibu dan pendekatan sosiologi sastra
yang darinya dilahirkan puluhan metode kritik sastra yang lain. Mimesis berasal
bahasa Yunani yang berarti tiruan. Dalam hubungannya dengan kritik sastra
mimesis diartikan sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang dalam mengkaji
karya sastra selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan realitas atau
kenyataan. “Perbedaan pandangan Plato dan Aristoteles menjadi sangat menarik
karena keduanya merupakan awal filsafat alam, merekalah yang menghubungkan
antara persoalan filsafat dengan kehidupan” ( Ravertz, 2007: 12).
Pandangan pendekatan mimetik ini adalah adanya anggapan bahwa puisi
merupakan tiruan alam atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia di
semesta raya ini. Sasaran yang dieliti adalah sejauh mana puisi merepresentasikan
dunia nyata atau sernesta dan kemungkinan adanya intelektualitas dengan karya
lain. Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra adalah hubungan
dialektis atau bertangga : mimesis tidak mungkin tanpa kreasi, tetapi kreasi tidak
mungkin tanpa mimesis.
“Dasar pertimbangan pendekatan mimesis adalah dunia pengalaman, yaitu
karya sastra itu sendiri yang tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya
melainkan hanya sebagai peniruan kenyataan” (Abrams, 1958:8). “Kenyataan di
sini dipakai dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang berada di
luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra, seperti misalnya benda-benda
yang dapat dilihat dan diraba, bentuk-bentuk kemasyarakatan, perasaan, pikiran,
29
dan sebagainya” (Luxemberg, 1989:15). Melalui pandangan ini, secara hierarkis
karya seni berada di bawah kenyataan.
Marxis dan sosiologi sastra memandang karya seni dianggap sebagai
dokumen sosial; karya seni sebagai refleksi dan kenyataan di dalamnya sebagai
sesuatu yang sudah ditafsirkan. Sehubungan dengan pendekatan mimesis, Segers
(2000, 91-94) menyatakan bahwa “Dunia fiksional teks sastra seharusnya
merefleksikan realitas sosial”. Lebih jauh Segers mempertimbangkan
fiksionalisasi dalam telaah teks sastra yang berhubungan dengan pendekatan
mimesis. Menurutnya, norma fiksionalitas mengimplikasikan bahwa tanda-tanda
linguistik yang berfungsi dalam teks sastra tidak merujuk secara langsung pada
dunia kita, tetapi pada dunia fiksional teks karya sastra. Adapun John Baxter
(dalam Makaryk,1993: 591-593) menguraikan bahwa “Mimesis adalah hubungan
dinamis yang berlanjut antara suatu seni karya yang baik dengan alam semesta
moral yang nyata atau masuk akal”.
Mimesis sering diterjemahkan sebagai "tiruan". Secara terminologis,
mimesis menandakan suatu seni penyajian atau kemiripan, tetapi penekanannya
berbeda. Tiruan, menyiratkan sesuatu yang statis, suatu copy, suatu produk akhir;
mimesis melibatkan sesuatu yang dinamis, suatu proses, suatu hubungan aktif
dengan suatu kenyataan hidup. Menurut Baxter (1993:594), “Metode terbaik
mimesis adalah dengan jalan memperkuat dan memperdalam pemahaman moral,
menyelidiki dan menafsirkan semesta yang diterima secara riil”. Proses tidak
berhenti hanya dengan apa pembaca atau penulis mencoba untuk mengetahuinya.
Mungkin rentang batas yang riil dengan yang dihadirkan dapat dikhayalkan
walaupun hanya sesaat dalam kondisi riil, atau suatu perspektif pada aspek yang
30
riil yang tidak bisa dijangkau jika tidak dilihat. Kenyataan kadang-kadang
digambarkan berbeda karena tak sesuai dengan pandangan kenyataan yang
menyeluruh. Oleh karena itu, kenyataan tidak dapat dihadirkan dalam karya dalam
cakupan yang ideal.
Berdasar pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pendekatan
mimesis menempatkan karya sastra sebagai: (1) produk peniruan kenyataan yang
diwujudkan secara dinamis, (2) representasi kenyataan semesta secara fiksional,
(3) produk dinamis yang kenyataan di dalamnya tidak dapat dihadirkan dalam
cakupan yang ideal, dan (4) produk imajinasi yang utama dengan kesadaran
tertinggi atas kenyataan. Secara metodis, langkah kerja analisis melalui
pendekatan ini dapat disusun ke dalam langkah pokok, yaitu: (1) mengungkap dan
mendeskripsikan data yang mengarah pada kenyataan yang ditemukan secara
tekstual, (2) menghimpun data pokok atau spesifik sebagai variabel untuk
dirujukkan ke dalam pembahasan berdasarkan kategori tertentu, sesuai tujuan,
misalnya menelusuri unsur fiksionalitas sebagai refleksi kenyataan secara
dinamis, dsb., (3) membicarakan hubungan spesifikasi kenyataan dalam teks
karya sastra dengan kenyataan fakta realita, dan (4) menelusuri kesadaran
tertinggi yang terkandung dalam teks karya sastra yang berhubungan dengan
kenyataan yang direpresentasikan dalam karya sastra.
2.3.2 Aspek Pengalaman dalam Pendekatan Mimesis
Pendekatan mimesi erat kaitannya dengan pengalaman. Hal ini sejalan
dengan pendapat bahwa, “Dasar pertimbangan pendekatan mimesis adalah dunia
pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri yang tidak bisa mewakili kenyataan
31
yang sesungguhnya melainkan hanya sebagai peniruan kenyataan” (Abrams,
1958:8). Dengan demikian, hal yang dikaji dalam pendekatan mimesis adalah
aspek pengalaman yang terdapat dalam suatu karya sastra. Pada hakikatnya, aspek
pengalaman dalam suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari kenyataan hidup
masyarakat saat karya sastra tersebut diciptakan. Berikut penulis paparkan aspek
pengalaman yang terdapat dalam karya sastra berdasar pada batasan model
penelitian yang dikemukakan oleh Ratna (2008:321-358), dan dianggap relevan
terhadap khazanah sastra Indonesia.
1. Aspek Pengalaman Sosial
Aspek pengalaman sosial merupakan batasan yang diturunkan dari analisis
sosiosastra. Sosiologi menurut Soekanto (1982:3) adalah “Ilmu yang mempelajari
struktur sosial dalam masyarakat dan proses sosialnya, termasuk perubahan-
perubahan sosial yang ada dalam masyarakat”. Sedangkan “Sastra adalah
pengungkapan dari apa yang dilihat dan dirasakan oleh manusia tentang
kehidupan” (Hardjana, 1981:10). Menurut Damono (1984:23), “Sastra adalah
lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan sastra
menggambarkan kehidupan yang merupakan kenyataan sosial”. Semi (1988:8)
juga menyatakan bahwa, “Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni
kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan
bahasa sebagai mediumnya”. Dengan demikian, kesamaan permasalahan antara
sosiologi dengan sastra adalah sama-sama berurusan dengan manusia dan
masyarakat. Namun, seorang sosiolog hanya dapat melihat fakta berdasarkan
kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Sedangkan sastrawan mampu
32
mengungkapkan kenyataan melalui imajinasinya. Sosiosastra merupakan
pendekatan yang mempertimbangkan nilai-nilai sosiologi pada karya sastra
Berdasar pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek pengalaman
sosial merupakan pengalaman kehidupan antara masyarakat dengan masyarakat
lainnya. Pengalaman sosial menitikberatkan pada cara manusia, atau masyarakat
berhubungan dengan orang lain dalam lingkungannya.
2. Aspek Pengalaman Budaya
Aspek pengalaman budaya merupakan batasan pengalaman yang diturunkan
dari teori antropologi sastra. Ratna (2008:356) mengungkapkan bahwa,
“Antropologi sastra mempersalahkan karya sastra dalam hubungannya dengan
manusia sebagai penghasil kebudayaan. Dalam suatu karya sastra pasti terdapat
nilai budaya. Hal ini dijelaskan oleh Teuww (1980:11) bahwa, ‘Tak ada karya
sastra yang lahir dalam kekosongan budaya”. Artinya, setiap karya sastra
diciptakan dengan memiliki nilai budaya yang menggambarkan waktu ataupun
tempat saat karya sastra tersebut diciptakan. Grebstein (Damono, 1984:4-5)
menjelaskan bahwa, “Karya sastra tidak dapat dipahami secara menyeluruh dan
tuntas jika dipisahkan dari budaya masyarakat yang menghasilkannya”. Aspek
budaya yang termasuk dalam pengalaman pengarang merupakan cara manusia
hidup dan kebiasaan manusia dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu.
Pengalaman tersebut bisa berupa kebiasaan manusia atau masyarakat dalam
sistem pencahariannya, sistem religi, dan sistem norma yang berlaku dalam
masyarakat. Dengan membaca karya sastra, dapat dipahami kebudayaan Sunda,
Jawa, Bali, Lombok, dan sebagainya.
33
3. Aspek Pengalaman Psikologi
Aspek pengalaman psikologi merupakan salah satu aspek pengalaman yang
termasuk dalam cabang ilmu psikosastra. “Apabila sosiologi sastra dianalisis
dalam kaitannya dengan masyarakat yang menghasilkannya, sebagai latar
belakang sosialnya, maka psikologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan
psike, dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang” (Ratna, 2008:340). Artinya,
dalam psikologi sastra terdapat pengalaman-pengalaman kejiwaan pengarang.
Pengalaman kejiwaan yang dimaksud adalah pengalaman berpikir pengarang, dan
juga pengalaman yang melibatkan panca indera lainnya sebagai bagian dari
sesuatu yang melibatkan aspek psikologi pengarang.
2.4 Bahan Pembelajaran Sastra
2.4 1 Pengertian Bahan Pembelajaran Sastra
Bahan pembelajaran merupakan salah satu komponen pembelajaran yang sangat
penting. Dikatakan demikian, karena kualitas bahan pembelajaran akan sangat
menentukan tercapainya tujuan pembelajaran. Bahan pembelajaran adalah
sejumlah pengetahuan, nilai, keterampilan berupa fakta, data, konsep, dan prinsip
yang disusun secara rasional, logis, sistematis, sebagai media yang
menghubungkan siswa dengan tujuan pembelajaran. Badudu (1996:106)
mengungkapkan bahwa, “Bahan pembelajaran atau pengajaran adalah materi yang
disajikan di depan kelas kepada murid-murid”. Dengan demikian, guru dituntut
untuk mampu memilih bahan pembelajaran yang sesuai dengan tingkat
perkembangan siswa.
34
Bahan pembelajaran menurut Hidayat (1991:97), adalah “Isi dari mata
pelajaran suatu bidang tertentu yang terdapat dalam kurikulum yang diberikan
kepada siswa pada saat berlangsungnya proses pengajaran”. Artinya, bahan
pembelajaran merupakan salah satu perangkat pembelajaran yang penggunaannya
berdasar pada suatu kurikulum yang berlaku.
Berdasarkan uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud
dengan bahan pembelajaran adalah sejumlah fakta, konsep yang disusun secara
sistematis dan sesuai dengan ketentuan dan tujuan pembelajaran yang berlaku dan
berhubungan dengan materi yang tercantum dalam suatu kurikulum sebagai media
yang menghubungkan siswa dengan materi, dan tujuan pembelajaran.
2.4.2 Kriteria Pemilihan Bahan Pembelajaran Sastra
Puisi sebagai salah satu jenis karya satra pada hakikatnya memiliki
kesamaan dengan karya sastra lainnya bila dibahas hubungannya dengan
pembelajaran. Pembelajaran apresiasi sastra termasuk di dalamnya pembelajaran
apresiasi puisi merupakan pembelajaran yang bertujuan agar siswa memiliki
kemampuan untuk mengapresiasi karya sastra. Di dalamnya terkandung maksud
agar siswa dapat menghayati nilai-nilai kehidupan, dan beroleh pengalaman
kehidupan agar mereka siap melihat dan mengenal nilai sastra dengan tepat. Oleh
karena itu, setiap bahan pembelajaran sastra, khususnya pembelajaran apresiasi
puisi harus memenuhi beberapa kriteria.
Menurut Rusyana (1982:2), “Terdapat dua kriteria penting yang harus
diperhatikan, yaitu kriteria sastra dan kriteria pendidikan. Oleh karena itu, materi
ataupun bahan pembelajaran yang akan dipelajari siswa harus disesuaikan dengan
35
tujuan pengajaran yang telah ditetapkan dan sesuai dengan perkembangan jiwa
siswa. Sedangkan Rahmanto (1988:27) memberikan tiga kriteria yang harus
diperhatikan dalam pemilihan bahan pembelajaran sastra, yaitu “Dari sudut
bahasa, dari segi kematangan jiwa (psikologi), dan dari sudut latar belakang
kebudayaan siswa”. Ditinjau dari sudut bahasa, guru kiranya perlu memiliki
keterampilan untuk memilih bahan pembelajaran sastra yang bahasanya sesuai
dengan tingkat penguasaan bahasa siswa. Selajutnya, dilihat dari segi kematangan
jiwa siswa, hendaknya karya sastra yang dipilih untuk dipelajari siswa sesuai
dengan tahap psikologis siswa pada umunya. Sedangkan, dilihat dari latar
belakang budaya siswa, hendaknya guru dapat memilih bahan pembelajaran sastra
yang latar ceritanya dikenal oleh para siswa. Hal ini perlu dilakukan karena
biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra dengan latar belakang
budaya yang erat kaitannya dengan latar belakang budaya mereka.
Berdasarkan uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa kriteria bahan
pembelajaran sastra dapat ditinjau dari beberapa aspek. Di antaranya dapat dilihat
dari sudut bahasa, dari segi kematangan jiwa (psikologi), dan dari sudut latar
belakang kebudayaan siswa. Selain itu, bahan pembelajaran sastra yang akan
disampaikan kepada siswa harus memenuhi kriteria struktur, estetika,
pembaharuan, dan tradisi.
2.4.3 Kedudukan Pembelajaran Apresiasi Sastra dalam KTSP SMA
Kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan seperangkat rencana
dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa,
36
evaluasi, kegiatan belajar-mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan
dalam pengembangan kurikulum sekolah.
Kurikulum merupakan pedoman bagi guru dalam melaksanakan tugasnya
sehari-hari di sekolah. Agar setiap guru bahasa dan sastra Indonesia dapat
melaksanakan tugas kependidikannya dengan baik, setiap guru perlu memahami
semua ketentuan yang terdapat dalam kurikulum dengan baik. Pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) adalah program untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan
berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Sesuai dengan
kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, maka
kedudukan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagaimana tercantum
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebagai berikut:
1) sarana pembinaan bahasa kesatuan dan persatuan bangsa, 2) sarana
peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia dalam
rangka pelestarian dan pengembangan budaya, 3) sarana peningkatan
pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia untuk meraih dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, 4) sarana
penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai
keperluan menyangkut berbagai masalah, 5) sarana pengembangan
penalaran, dan 6) sarana pemahaman keragaman budaya Indonesia melalui
khazanah kesusastraan Indonesia (Depdiknas, 2006;4).
Berdasar pada uraian di atas, terlihat bahwa kedudukan mata pelajaran
bahasa dan sastra Indonesia tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Kedudukan tersebut di antaranya sebagai sarana pembinaan
37
kesatuan dan persatuan bangsa, sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan
berbahasa, mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni,
penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta sarana
penalaran keberagaman budaya Indonesia.
38
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah “Suatu metode yang ditujukan
untuk memecahkan masalah yang ada dengan menentukan dan menafsirkan data
yang tersedia, kemudian dianalisis dan diinterpretasikan “(Surakhmad, 1982:139-
147). Sedangkan Arikunto (2002:29) mengungkapkan bahwa, “Metode deskriptif
adalah metode yang berusaha mendeskripsikan fakta apa adanya”. Melalui metode
deskriptif ini penulis akan mendeskripsikan fakta-fakta tentang pengalaman-
pengalaman yang tercermin dalam puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka – Angkatan
70.
Upaya mendeskripsikan puisi tersebut disesuaikan dengan metode
deskriptif yang dikemukakan oleh Surakhmad (1982:142), yaitu “Memusatkan
diri pada pemecahan masalah-masalah yang aktual, dan data yang dikumpulkan,
mula-mula disusun, dijelaskan, dan dianalisis”. Dengan demikian, metode
deskriptif tidak hanya mengumpulkan data, namun lebih jauh lagi dari itu
menjelaskan hubungan antara data serta memberikan implikasi dari uraian atau
analisis data yang terkumpul.
39
3.2 Teknik Penelitian
3.2.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah studi dokumenter dan teknik analisis teks. Teknik dokumenter penulis
gunakan untuk mengumpulkan sumber data yang berupa puisi-puisi yang
termasuk dalam Angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70. Selanjutnya, penulis
menggunakan teknik analisis teks untuk mengumpulkan data yang berupa
pengalaman-pengalaman yang tercermin dalam puisi-puisi Angkatan Balai
Pustaka – Angkatan 70.
3.2.2 Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data penulis menggunakan teknik analisis teks.
Analisis teks digunakan untuk mendeskripsikan pengalaman-pengalaman yang
tercermin dalam puisi angkatan Balai Pustaka hingga angakatan ’70. Langkah-
langkah analisis teks tersebut penulis uraikan sebagai berikut.
1. Membaca puisi-puisi yang dijadikan sampel penelitian secara sungguh-
sungguh.
2. Memahami kata-kata/ungkapan dalam puisi.
3. Membentuk parafrase (memproseskan puisi).
4. Pengungkapan makna puisi.
5. Menganalisis puisi atau kaitannya dengan kenyataan dan pengalaman.
6. Mengkaji pengalaman-pengalaman apa saja yang tercermin dalam puisi-puisi
tersebut.
40
7. Menginterpretasikan hasil analisis tentang pengalaman-pengalaman yang
tercermin dalam puisi-puisi angkatan sastra Balai Pustaka hingga angkatan
’70.
8. Menyimpulkan hasil analisis tentang kelayakan pengalaman-pengalaman yang
tercermin dalam puisi-puisi angkatan Balai Pustaka – angkatan ’70 sebagai
bahan pembelajaran apresiasi puisi di SMA dilihat dari pengalaman-
pengalaman yang tercermin di dalamnya.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi adalah subjek penelitian yang merupakan sumber data penelitian.
Menurut Surakhmad, populasi adalah “Sekumpulan subjek, baik manusia, gejala,
nilai tes, benda-benda atau peristiwa” (1994:93). Hal ini sejalan dengan pendapat
Sudjana (1982:57) bahwa, “Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin,
baik hasil menghitung maupun pengukuran, kualitatif maupun kuantitatif dari
karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan jelas yang
ingin dipelajari sifat-sifatnya”. Dari pengertian tersebut terlihat jelas bahwa
populasi adalah semua unsur yang akan diteliti dari sekumpulan objek yang
lengkap.
Berdasarkan pendapat tersebut, populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh pengalaman-pengalaman yang tercermin dalam puisi-puisi Angkatan
Balai Pustaka – Angkatan 70.
41
3.3.2 Sampel Penelitian
“Sampel adalah penarikan sebagian populasi untuk mewakili seluruh
populasi” (Surakhmad, 1994:93). Ahli lain menyatakan bahwa, “Sampel adalah
sebagian dari populasi yang diambil sebagai representasi atau wakil populasi yang
bersangkutan” (Faisal, 1999:57).
Dalam penelitian ini yang menjadi sampel penelitian adalah aspek-aspek
pengalaman yang tercermin dalam puisi-puisi angkatan Balai Pustaka hingga
angkatan 70. Hal ini dilakukan dengan cara mengambil data pengalaman jasmani,
dan rohani yang terdapat dalam puisi-puisi tersebut. Dikarenakan keterbatasan
kemampuan penulis, tenaga, dan waktu maka pengambilan sampel penelitian
dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan
pertimbangan tertentu. Penentuan teknik pengambilan sampel tersebut didasarkan
pada asumsi bahwa setiap karya sastra pada suatu angkatan tertentu memiliki
pengalaman sosial, budaya, psikologi yang hampir sama dan pertimbangan
lainnya yaitu keterbatasan kemampuan penulis. Selain itu, penentuan sampel
didasarkan pada keinginan penulis yang membatasi sampel hanya puisi-puisi
Angkatan Balai Pustaka-Angkatan 70 yang banyak terdapat dalam buku pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk tingkat SMA.
Berdasarkan hasil pemikiran dan pertimbangan tersebut, maka penulis
cantumkan judul-judul puisi yang dijadikan sampel penelitian dalam bentuk tabel
sebagai berikut.
42
Tabel 3.1 Sampel Penelitian
No Kode Sampel
Judul Puisi Pengarang
1 01 Tanah Air M.Yamin 2 02 Indonesia Tumpah Darahku M.Yamin 3 03 Berdiri Aku Amir Hamzah 4 04 Padamu Jua Amir Hamzah 5 05 Kolam Rustam Effendi 6 06 Menuju Kelaut S.T Alisjahbana 7 07 Dibawa Gelombang Sanusi Pane 8 08 Kerabat Kita S.T Alisjahbana 9 09 Derai-derai Cemara Chairil Anwar 10 10 Krawang - Bekasi Chairil Anwar 11 11 Do’a Chairil Anwar 12 12 Sajak Anak Laut Asrul Sani 13 13 Sebuah jaket Berlumur Darah Toto S Bachtiar 14 14 Biar Mati Badanku Kini Hamka 15 15 Kepada saudaraku M Natsir Hamka 16 16 Makna Sebuah Titipan W.S Rendra 17 17 Sebuah Jaket Berlumur Darah Taufik Ismail 18 18 Di Sebuah Halte Bis Sapardi Djoko Pramono 19 19 Dewa Telah Mati Subagio Sastrowardojo 20 20 Jembatan Sutardi Calzoum Bachri
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat untuk memperoleh sumber informasi
yang diperlukan. Instrumen dapat menentukan keberhasilan suatu penelitian.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini akan penulis jelaskan sebagai
berikut.
3.4.1 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data yang penulis gunakan dalam pengumpulan
data sebagai berikut.
43
1. Pengimajian
Imageri adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam
mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang
dirasakan oleh penyair. Maka pengimajian digunakan sebagai instrumen
pengumpulan data karena menggambarkan pengalaman dan imajinasi
pengarangnya.
2. Diksi
Diksi digunakan sebagai isntrumen pengumpulan data karena fungsi diksi
dalam sebuah puisi yaitu untuk menggambarkan ide, pesan, perasaan, dan
pengalaman pengarang melalui kata-kata yang denotatif maupun konotatif.
3. Bahasa Figuratif
Bahasa figuratif digunakan sebagai salah satu instrumen pengumpulan data
karena dengan bahasa figuratif, membuat puisi lebih indah, artinya
memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Dengan demikian, aspek
pengalaman yang terdapat dalam puisi bisa digambarkan lewat bahasa
figuratif.
4. Kata Konkret
Kata konkret digunakan sebagai instrumen pengumpulan data karena kata
konkret merupakan kata-kata yang digunakan oleh penyair untuk
menggambarkan suatu lukisan keadaan atau suasana batin dengan maksud
untuk membangkitkan imaji pembaca, sehingga memudahkan penulis untuk
mendapatkan data peristiwa dan pengalaman yang terscermin dalam puisi
tersebut.
44
Unsur-unsur pembangun puisi di atas dijadikan sebagai instrumen
pengumpulan data karena unsur-unsur tersebut sangat berhubungan erat dalam
mengkaji aspek pengalaman sebagai analisis datanya. Dengan mengetahui unsur
pembentuk puisi tersebut maka penulis dapat mengetahui perasaan, peristiwa, dan
pengalaman yang terdapat dalam puisi tersebut.
3.4.2 Instrumen Analisis Data
Untuk menganalisis puisi-puisi angkatan Balai Pustaka-angkatan ’70
diperlukan instrumen analisis data sebagai berikut.
1. Aspek pengalaman sosial
Aspek pengalaman sosial yang dikaji berdasarkan aspek perilaku
pengarang, ataupun tokoh yang dibicarakan dalam puisi ketika berhubungan
dengan orang lain dan melakukan hubungan sosial kemasyarakatan.
2. Aspek pengalaman budaya
Aspek pengalaman budaya yang dikaji berdasarkan kebiasaan dan
gambaran kebudayaan yang berlaku dan digambarkan dalam puisi. Aspek
kebudayaan tersebut meliputi kebiasaan masyarakat, sistem mata pencaharian,
sistem religi, dan sistem kebudayaan lainnya yang terdapat pada saat puisi
tersebut ditulis.
3. Aspek pengalaman psikologi
Aspek pengalaman yang dikaji berdasarkan pengalaman cara berpikir
pengarang ataupun pengalaman berpikir pengarang dan juga pengalaman yang
melibatkan aspek kejiwaaan pengarang maupun masyarakat yang hidup pada saat
puisi tersebut diciptakan.
45
BAB IV
ANALISIS PENGALAMAN YANG TERCERMIN DALAM PUISI-PUIS I
ANGKATAN BALAI PUSTAKA – ANGKATAN 70
4.1 Data Penelitian
Data inti dalam penelitian ini adalah unsur-unsur pengalaman yang
terdapat dalam puisi-puisi yang ditulis oleh pengarang Angkatan Balai Pustaka –
Angkatan 70. Seperti yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa yang
menjadi masalah dalam penelitian ini adalah keterkaitan antara pengalaman-
pengalaman yang terdapat dalam puisi tersebut dengan upaya pemilihan bahan
pembelajaran sastra di SMA. Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang
dibangun oleh struktur lahir dan struktur batin.
Struktur lahir puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yakni unsur
estetik yang membangun strtuktur lahir dari puisi. Sedangkan, struktur batin puisi
mengungkapkan segala sesuatu yang ingin dikemukakan oleh penyair. Dengan
demikian, melalui struktur batin puisi tersebut penyair dapat mengungkapkan
perasaan, ide, gagasan, dan berbagai pengalaman kehidupan yang bernilai bagi
pembaca. Oleh karena itu, sebelum penulis melakukan analisis terhadap unsur-
unsur pengalaman yang terdapat dalam puisi Angkatan Balai Pustaka – Angkatan
70, penulis terlebih dahulu melakukan analisis terhadap struktur batin dari puisi-
puisi tersebut.
Untuk memperjelas analisis data yang dilakukan penulis, penulis
cantumkan data penelitian dalam bentuk tabel sebagai berikut.
46
Tabel 4.1 Data Penelitian
No Kode Sampel
Judul Puisi Pengarang Angkatan
1 01 Tanah Air M.Yamin Balai Pustaka 2
02 Indonesia Tumpah
Darahku M.Yamin Balai Pustaka
3 03 Berdiri Aku Amir Hamzah Balai Pustaka 4 04 Padamu Jua Amir Hamzah Pujangga Baru 5 05 Kolam Rustam Effendi Pujangga Baru 6 06 Menuju Kelaut S.T Alisjahbana Pujangga Baru 7 07 Dibawa Gelombang Sanusi Pane Pujangga Baru 8 08 Kerabat Kita S.T Alisjahbana Pujangga Baru 9 09 Derai-derai Cemara Chairil Anwar ‘45 10 10 Krawang - Bekasi Chairil Anwar ‘45 11 11 Do’a Chairil Anwar ‘45 12 12 Sajak Anak Laut Asrul Sani ‘45 13 13 Gadis Peminta-minta Toto S Bachtiar ‘50 14 14 Biar Mati Badanku Kini Hamka ‘50 15
15 Kepada saudaraku M
Natsir Hamka ‘50
16 16 Makna Sebuah Titipan W.S Rendra ‘70 17
17 Sebuah Jaket Berlumur
Darah Taufik Ismail ‘70
18 18 Di Sebuah Halte Bis
Sapardi Djoko Pramono
‘70
19 19 Dewa Telah Mati
Subagio Sastrowardojo
‘70
20 20 Jembatan
Sutardi Calzoum Bachri
‘70
Selanjutnya, puisi-puisi di atas dianalisis berdasarkan struktur batin yang
terdapat dalam puisi tersebut untuk mendapatkan gambaran mengenai
pengalaman-pengalaman yang terdapat didalamnya. Untuk mempermudah
pelaksanaan analisis data tersebut, penulis menggunakan lembar analisis yang
memuat hasil analisis struktur batin dan segala hal yang berkaitan dengan puisi
tersebut.
47
4.2 Analisis Data
Bagian ini berisi pemaparan pengalaman yang terkandung dalam puisi
Angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70. Untuk mengetahui pengalaman yang
terdapat dalam puisi, bisa dilakukan dengan pendekatan mimesis. Analisis dengan
pendekatan mimesis dapat penulis uraikan sebagai berikut.
4.2.1 Analisis Puisi Tanah Air Karya Mohamad Yamin
1. Teks Puisi TANAH AIR Pada batasan, Bukit Barisan Memandang aku, ke bawah memandang; Tampak Hutan rimba dan ngarai; Lagi pun sawah, sungai yang permai; Serta gerangan, lihatlah pula Langit yang hijau bertukar warna Oleh pucuk daun kelapa; Itulah tanah, tanah airku, Sumatra namanya, tumpah darahku. Sesayup mata, hutan semata, Bergunung bukit, lembah sedikit; Jauh di sana, di sebelah situ, Dipagari gunung satu per satu Adalah gerangan sebuah surga, Bukannya janat bumi kedua Firdaus melayu di atas dunia! Itulah tanah yang kusayangi, Sumatra namanya, yang kujunjungi. Pada batasan, Bukit barisan, Memandang ke pantai, teluk permai; Tampaklah air, air segala, Itulah laut, Samudra Hindia. Tampaklah ombak, gelombang pelbagai Memecah ke pasir, lalu berderai, “Wahai Andalas, pulau Sumatra, “Harumkan nama, selatan utara!
48
2. Analisis Pengalaman
Pengalaman yang terdapat dalam puisi tanah airku di antaranya yaitu
pengalama kegiatan yang berupa pengalaman jasmani, dan pengindraan. Untuk
pengalaman kegiatan dapat dilihat dalam larik Memandang aku, ke bawah
memandang. Kemudian, pada bait ke 3 larik kedua juga terlihat pengalaman yang
sama dengan konteks Memandang ke pantai, teluk permai. Pengalaman tersebut
bisa diasosiasikan bahwa penulis melakukan kegiatan melihat keindahan teluk dan
juga hutan rimba. Hal tersebut menggambarkan bahwa penulis memiliki
pengalaman memandang keindahan tempat yang disebutkan tersebut.
Selanjutnya, pengalaman pengindraan yang terdapat dalam puisi atau sajak
Tanah Air yaitu pengalaman pengindraan yang melibatkan indra penglihatan.
Konteks pengalaman tersebut bisa dilihat dalam larik Langit yang hijau bertukar
warna. Kemudian, terdapat pula pengalaman pengindraan yang melibatkan
pengindraan pendengaran yaitu dapat dilihat dalam larik Memecah ke pasir, lalu
berderai. Dari pengalaman pengindraan tersebut dapat penulis simpulkan bahwa
dalam puisi ini penulis memasukan pengalaman dia ketika melihat langit yang
hijau dan indah. Kemudian, dia menggambarkan pengalaman-pengalaman
tersebut dalam aspek pencitraan yang terdapat dalam puisi tersebut.
Berdasar pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa dalam sajak
Tanah Air Karya M.Yamin tercermin pengalaman penginderaan pendengaran,
pengalaman penginderaan penglihatan, dan pengalaman kegiatan.
49
4.2.2 Analisis Puisi Indonesia Tumpah Darahku Karya Mohamad Yamin 1. Teks Puisi
INDONESIA TUMPAH DARAHKU
Bersatu kita teguh Bercerai kita runtuh
Duduk di pantai tanah yang permai Tempat gelombang pecah berderai Berbuih putih di pasir terderai Tampaklah pulau di lautan hijau Gunung-gunung bagus rupanya Dilingkari air mulia tampaknya Tumpah darahku Indonesia namanya
Lihatlah kelapa melambai-lambai Berdesir bunyinya sesayup sampai Tumbuh di pantai bercerai-cerai Memagar daratan aman kelihatan Dengarlah ombak datang berlagu Mengejar bumi ayah dan ibu Indonesia namanya. Tanah airku
Tanahku bercerai seberang-menyeberang Merapung di air, malam dan siang Sebagai telaga dihiasi kiambang Sejak malam diberi kelam Sampai purnama terang-benderang Di sanalah bangsaku gerangan menompang Selama berteduh di alam nan lapang
Tumpah darah Nusa India Dalam hatiku selalu mulia Dijunjung tinggi atas kepala Semenjak diri lahir ke bumi Sampai bercerai badan dan nyawa Karena kita sedarah-sebangsa Bertanah air di Indonesia
2. Analisis Pengalaman
Pengalaman yang terdapat dalam sajak di atas di antaranya yaitu
pengalaman kegiatan, pengalaman pengindraan, dan pengalaman rohani yaitu
pengalaman pemikiran. Pengalaman kegiatan yang terdapat dalam sajak tersebut
50
yaitu pengalaman kegiatan berupa pengalaman jasmani yang bisa dilihat dalam
larik berikut ini Duduk di pantai tanah yang permai. Selanjutnya, pengalaman
pengindraan dapat dilihat dalam larik Lihatlah kelapa melambai-lambai dan larik
Sampai purnama terang-benderang. Dalam larik tersebut, terlihat adanya
pengindraan yang melibatkan penglihatan.
Selanjutnya, terdapat pula pengalaman pengindraan yang melibatkan
pendengaran dalam larik Dengarlah ombak datang berlagu dan juga larik
Berdesir bunyinya sesayup sampai. Kemudian, pengalaman rohani yang
melibatkan pemikiran dalam sajak tersebut dapat dilihat dalam larik Tumpah
darah Nusa India, Dalam hatiku selalu mulia. Dikatakan demikian, karena dalam
konteks tersebut bisa dilihat adanya suatu pemikiran yang mulia terhadap tempat
yang disebut pengarang sebagai “Tumpah darah Nusa India”, dengan kata lain
pengarang sangat mengagumi dan mencintai hal tersebut yang dia anggap selalu
mulia. Artinya, dalam larik tersebut terbersit pengalaman jiwa patriotisme
pengarang terhadap bangsa dan negaranya.
Berdasar pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa dalam sajak
Indonesia Tumpah Darahku karya M.Yamin tercermin pengalaman rohani yaitu
pengalaman berpikir, pengalaman penginderaan pendengaran, pengalaman
penginderaan penglihatan, dan pengalaman jasmani.
4.2.3 Analisis Puisi Berdiri Aku Karya Amir Hamzah 1. Teks Puisi Berdiri Aku
Berdiri aku di senja senyap Camar melayang menepis buih Melayah bakau mengurai puncak Berjulang datang ubur terkembang Angin pulang menyejuk bumi Menepuk teluk mengepas emas
51
Lari ke gunung memuncak sunyi Berayun-ayun di atas alas Benang raja mencelup ujung Naik marah menyerang corak Elang leka sayap tergulung Dimabuk warna berarak-arak Dalam rupa maha sempurna Rindu senda mengharu kalbu Ingin datang merasa sentosa Mengecap hidup bertentu tuju.
2. Analisis Pengalaman
Pengalaman-pengalaman yang tercermin dalam sajak tersebut di antaranya
pengalaman penginderaan penglihatan yang dapat dilihat dalam penggalan bait
berikut ini.
Camar melayang menepis buih Melayah bakau mengurai puncak
Dari penggalan bait tersebut terlihat adanya pengalaman penginderaan
penglihatan yang digambarkan oleh larik Camar melayang menepis buih. Hal
tersebut seperti menggambarkan keindahan pantai di sore hari. Kemudian terdapat
pula pengalaman rohani pemikiran dan perasaan yang dapat dilihat dalam
penggalan bait berikut ini.
Angin pulang menyejuk bumi Menepuk teluk mengepas emas Lari ke gunung memuncak sunyi Berayun-ayun di atas alas
Dari penggalan bait tersebut dapat dijelaskan bahwa pengarang
menyampaikan pemikiran ekspresi kesedihan yang ditampilkan dengan suasana
sunyi. Kesedihan ini tidak lain dikarenakan oleh perpisahannya dengan
52
kekasihnya. Perasaan sedih yang sangat mendalam digambarkan penyair dengan
suasana sunyi pantai di sore hari. Dengan demikian penyair hanya mampu melihat
keindahan alam sekitar karena kebahagiaannya dan harapan telah hilang.
Kesedihan yang mendalam ini juga wujud perasaan galau penyair yang
digambarkan dengan perasaannya yang dipermainkan ombak dan angin. Sehingga
hanya merenungi hiduplah yang mampu dilakukannya.
Selain itu, dalam sajak tersebut tercermin pula pengalaman kehidupan
beragama yang disampaikan oleh pengarang dan dapat dilihat dalam bait berikut
ini.
Dalam rupa maha sempurna Rindu senda mengharu kalbu Ingin datang merasa sentosa Mengecap hidup bertentu tuju
Larik Dalam rupa maha sempurnya yang ditulis pengarang tersebut
merupakan sebuah ungkapan pengarang terhadap Tuhan. Pengarang merasa
kesepian, namun sebagai seseorang yang beragama dia menyerahkan semuanya
kepada Tuhannya. Dari bait tersebut juga terihat adanya pengalaman rohani
merindukan seseorang dan keinginan untuk merasa bahagia dan sejahtera dengan
lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.
Berdasar pada uraian di atas, dalam sajak Berdiri Aku karya Amir Hamzah
tercermin pengalaman-pengalaman penginderaan dan rohani. Dalam sajak
tersebut terdapat pengalaman penginderaan penglihatan. Kemudian, pengalaman
rohani pemikiran dan perasaan. Selain itu, terdapat pula pengalaman kehidupan
beragama yakni pengalaman ingin lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.
53
4.2.4 Analisis Puisi Dibawa Gelombang Karya Sanusi Pane
1. Teks Puisi
Dibawa Gelombang
Alun membawa bidukku perlahan Dalam kesunyian malam waktu Tidak berpawang tidak berkawan Entah kemana aku tak tahu Jauh di atas bintang kemilau Seperti sudah berabad-abad Dengan damai mereka meninjau Kehidupan bumi yang kecil amat
Aku bernyanyi dengan suara Seperti bisikan angin di daun Suaraku hilang dalam udara Dalam laut yang beralun-alun Alun membawa bidukku perlahan Dalam kesunyian malam waktu Tidak berpawang tidak berkawan Entah kemana aku tak tahu
2. Analisis Pengalaman
Di dalam sajak di atas terdapat beberapa pengalaman yang disampaikan
oleh pengarang. Pengalaman tersebut di antaranya pengalaman kegiatan menaiki
biduk atau perahu kecil. Hal tersebut bisa dilihat dalam larik Alun membawa
bidukku perlahan. Larik tersebut sebenarnya bisa diasosiasikan seperti sebuah
perjalanan hidup yang dijalani oleh pengarang ataupun orang lain. Kemudian
terdapat pula pengalaman berpikir yang termasuk dalam pengalaman rohani, yaitu
bisa dilihat dalam larik Entah kemana aku tak tahu. Hal tersebut menggambarkan
adanya pengalaman berpikir yang dituliskan dalam bentuk pertanyaan tentang ke
mana si tokoh “aku” harus pergi atau mungkin tinggal. Sebenarnya larik tersebut
juga tidak seperti sebuah pertanyaan, tetapi seperti sebuah pernyataan. Oleh
54
karena itu, peneliti menganggap hal tersebut merupakan sebuah pengalaman
rohani.
Selanjutnya dalam sajak tersebut juga terdapat pengalaman pengindraan,
yang meliputi penginderaan pendengaran dan penglihatan. Hal tersebut bisa
dilihat dalam larik jauh di atas bintang kemilau dan seperti bisikan angin di daun.
Dari kedua larik tersebut dapat digambarkan bahwa pengarang menggunakan citra
atau pengimajian untuk mendeskripsikan keindahan bintang dan sinarnya, serta
sunyinya suara angin yang digambarkan seperti sebuah bisikan di atas daun.
Pengalaman lainnya yang dapat peneliti gambarkan yaitu pengalaman rohani,
yaitu nilai sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat saat sajak tersebut
ditulis. Hal tersebut bisa dilihat dalam larik kehidupan bumi yang kecil amat.
Larik tersebut dapat diasosiasikan bahwa dunia terasa sempit bila setiap orang
hidup dengan cara dan keinginannya masing-masing tanpa memperdulikan orang
di sekitarnya. Terlihat juga adanya pengalaman rohani lainnya, yaitu pemikiran
atau pengalaman berpikir bahwa sebenarnya pengarang merasa sangat kesepian.
Hal tersebut dapat dilihat dalam larik Alun membawa bidukku perlahan, Dalam
kesunyian malam waktu, Tidak berpawang tidak berkawan, Entah kemana aku tak
tahu. Keempat larik tersebut merupakan bait pertama dalam sajak “Di bawa
gelombang”. Dari bait tersebut terlihat bahwa sebenarnya pengarang memiliki
pengalaman kesepian. Dia tidak memiliki teman atau sahabat.
4.2.5 Analisis Puisi Padamu Jua Karya Amir Hamzah
1. Teks Puisi
Padamu Jua
Habis kikis
55
Segala cintaku hilang terbang Pulang kembali aku padamu Seperti dahulu Kaulah kandil kemerlap Pelita jendela di malam gelap Melambai pulang perlahan Sabar, setia selalu Satu kekasihku Aku manusia Punya rasa Rindu rupa Di mana engkau Rupa tiada Suara sayup Hanya kata merangkai hati Engkau cemburu Engkau ganas Mangsa aku dalam cakarmu Bertukar tangkap dengan lepas Nanar aku gila sasar Sayang berulang padamu jua Engkau pelik menusuk ingin Serupa dara di balik tirai Kasihmu sunyi Menunggu seorang diri Lalu waktu – bukan giliranku Mati hari – bukan kawanku
2. Analisis Pengalaman Pengalaman yang tercermin dalam sajak di atas di antaranya yaitu
pengalaman penginderaan. Pengalaman penginderaan tersebut dapat dilihat dalam
larik Kaulah kandil kemerlap. Dari larik tersebut, dapat terlihat adanya
penginderaan penglihatan yang dilukiskan dengan kata kandil dan kemerlap.
Selanjutnya, ada juga pengalaman kegiatan yaitu merindukan seseorang.
Pengalaman tersebut tercermin dalam larik Rindu rasa, Rindu rupa. Dari larik
tersebut, terlihat adanya sebuah pengalaman merindukan seseorang. Kemudian,
56
ada juga pengalaman rohani yaitu proses berpikir pengarang dalam larik bertukar
tangkap dengan lepas dan Serupa dara di balik tirai. Larik tersebut tidak dapat
dengan mudah dipahami. Hal tersebut disebabkan larik itu merupakan interpretasi
pengarang dalam menggambarkan suatu keindahan yang dimiliki wanita atau
objek yang menjadi sasaran sajak tersebut.
Kemudian, selain pengalaman-pengalaman di atas, dalam sajak ini juga
terdapat pengalaman yang diambil dari keseluruhan sajak tersebut. Pengalaman
yang dimaksud adalah pengalaman kegiatan mengagumi dan merindukan
seseorang yang sangat dikasihinya. Setelah itu, pengarang melakukan monolog
yang digambarkan lewat bentuk puisi sajak Padamu Jua. Hal tersebut bisa dilihat
dari penggalan sajak berikut ini.
Di mana engkau Rupa tiada Suara sayup Hanya kata merangkai hati
Dari bait tersebut, terlihat adanya pernyataan yang dibuat pengarang yang
berisi pertanyaan tentang dimana keberadaan orang atau kekasihnya tersebut.
Pengarang hanya melamun dan mencoba untuk mengobati hatinya sendiri, seperti
yang terlihat dalam larik Hanya kata merangkai hati.
Berdasar pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa dalam sajak
Padamu Jua karya Amir Hamzah tercermin pengalaman penginderaan,
pengalaman kegiatan, dan pengalaman rohani. Pengalaman-pengalaman tersebut
bisa dilihat dari larik yang dituliskan dan digambarkan oleh pengarang.
57
4.2.6 Analisis Puisi Kolam Karya Rustam Effendi
1. Teks Puisi
Kolam
Di tengah kolam yang indah tenang, berenang seekor gangsa Sayapnya putih bulunya jernih, jernih biji matanya Bak pulai leher semampai junjang memandang bercermin air Renangnya hening airnya bening hening tiada berdesir.
2. Analisis Pengalaman
Pengalaman yang terdapat dalam sajak di atas di antaranya pengalaman
kegiatan dan pengalaman penginderaan. Pengalaman kegiatan yang terdapat
dalam sajak di atas dapat dilihat dalam keseluruhan sajak tersebut. Pengalaman
kegiatan tersebut merupakan suatu pengalaman melihat seorang gadis yang
digambarkan oleh pengarang dengan seekor angsa putih. Kemudian, pengalaman
penginderaan dalam puisi tersebut dapat dilihat dalam larik bulunya jernih, leher
semampai, airnya bening, dan tiada berdesir. Pengalaman penginderaan untuk
ketiga larik pertama yang disebutkan merupakan pengalaman penginderaan
penglihatan karena menggambarkan sesuatu yang dapat dilihat. Selanjutnya,
pengalaman penginderaan pendengaran dalam larik terakhir yang disebutkan tadi.
58
Dalam larik tiada berdesir bisa digambarkan sesuatu yang sangat tenang dan
damai sama halnya dengan suasana ketika seorang pria melihat wanita yang
menurutnya cantik dan anggun.
4.2.7 Analisis Puisi Menuju Ke laut Karya S.T Alisjahbana
1. Teks Puisi
Menuju Ke Laut
Kami telah meninggalkan engkau, Tasik yang tenang tiada beriak, diteduhi gunung yang rimbun, dari angin dan topan. Sebab sekali kami terbangun, dari mimpi yang nikmat.
Ombak riak berkejar-kejaran di gelanggang biru di tepi langit. Pasir rata berulang di kecup, tebing curam ditentang diserang, dalam bergurau bersama angin, dalam berlomba bersama mega.
Sejak itu jiwa gelisah Selalu berjuang tiada reda. Ketenagan lama serasa beku, gunung pelindung rasa pengalang. Berontak hati hendak bebas, menyerang segala apa mengadang.
Gemuruh berderau kami jatuh, terhempas berderai mutiara bercahaya. Gegap gempita suara mengerang, Dahsyat bahna suara menang. Keluh dan gelak silih berganti, pekik dan tempik sambut menyambut.
Tetapi betapa sukanya jalan, bedana terhembas, kepala tertumbuk, hati hancur, pikiran kusut, namun kembali tiada ingin namun kembali tiada angin, ketenangan lama tiada diratap.
59
Kami telah meninggalkan engkau, Tasik yang tenang tiada beriak, diteduhi gunung yang rimbun, dari angin dan topan. Sebab sekali kami terbangun, dari mimpi yang nikmat.
2. Analisis Pengalaman
Pengalaman yang terdapat dalam sajak di atas di antaranya, pengalaman
kegiatan dan pengalaman penginderaan. Pengalaman kegiatan bisa dilihat dalam
larik Kami telah meninggalkan engkau. Dari larik tersebut digambarkan bahwa
pengarang memiliki pengalaman pergi meninggalkan sesuatu, seseorang ataupun
suatu tempat. Selajutnya, pengalaman penginderaan dapat dilihat dalam larik
Tasik yang tenang tiada beriak. Kata beriak dalam larik tersebut merupakan
pengalaman pengarang ketika menggambrkan sesuatu yang berhubungan dengan
indera pendengaran. Kemudian, terdapat juga pengalaman penginderaan lainnya
dalam larik Gemuruh berderau kami jatuh, Gegap gempita suara mengerang,
pekik dan tempik sambut menyambut. Ketiga larik tersebut merupakan konteks
dari pengalaman penginderaan pendengaran. Sedangkan larik, terhempas berderai
mutiara bercahaya merupakan konteks dari pengalaman penginderaan
penglihatan.
Selain pengalaman- pengalaman di atas, terdapat pula pengalaman rohani
yaitu pengalaman berpikir dalam larik Sebab sekali kami terbangun, dari mimpi
yang nikmat. Dari kedua larik tersebut, dapat terlihat adanya suatu proses
pemikiran tentang pengalaman pengarang dalam menggambarkan sesuatu yang
tidak mau ditinggalkan. Sesuatu tersebut bisa diasosiasikan menjadi sebuah
angan-angan terhadap kenangan dan pengalaman indah pengarang bersama
kekasihnya.
60
4.2.8 Analisis Puisi Kerabat Kita Karya S.T Alisjahbana 1. Teks Puisi Kerabat Kita Bunda, masih kudengar petuamu bergetar waktu ku tertegun di ambang pintu, melepaskan diriku dari pelikmu : "Hati-hati di rantau orang, anakku sayang, Berkata di bawah-bawah, mandi di hilir-hilir, Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung". Telah lama aku mengembara : jauh rantau kejelajah, banyak selat dan sungai kuseberangi, gunung dan gurun kuedari. Beragam warna, bahasa dan budaya manusia, teman aku bersantap, bercengkerama dan bercumbu, lawan aku bertengkar dan berselisih. Di runtuhan Harapan dan Pompeyi aku ziarah, Dari menara Eifel dan Empire State Building aku tafakur memandang semut manusia. Di pembajaan Ruhr dan Nagasaki aku bangga melihat kesanggupan umat berpikir, mengatur dan berbuat. Kuhanyutkan diriku dalam lautan manusia di Time Square di New York dan di Piccadily di London. Kuresapkan lagu kesepian pengendara unta di gurun pasir dan batu Anatolia, sega Islandia yang megah di padang salju yang putih. Bunda, Pulang dari rantau yang jauh berita girang kubawa kepadamu, resap renungan petua keramat, sendu engkau bisikkan di ambang pintu : Di mana-mana aku menjejakkan kaki, aku berjejak di bumi yang satu. Dan langit yang kunjung di mana-mana langit kita yang esa. Bunda, Alangkah luasnya dan dahsyatnya kerabat kita kaya budi kaya hati, pusparagam ciptaan dan dambaan.
61
2. Analisis Pengalaman Di dalam sajak di atas tercermin beberapa pengalaman penginderaan dan
pengalaman kegiatan. Pengalaman penginderaan dapat dilihat dalam larik masih
kudengar petuamu bergetar, aku tafakur memandang semut manusia. Dari larik
tersebut terlihat adanya pengalaman penginderaan pendengaran dan penglihatan.
Indera pendengaran dapat dilihat pada larik pertama yang disebutkan, sedangkan
pengalaman penginderaan pendengaran dapat dilihat dalam larik selanjutnya.
Selain itu, pengalaman kegiatan yang merupakan kegiatan jasmani dalam
sajak tersebut dapat dilihat dalam larik telah lama aku mengembara. Dalam larik
tersebut digambarkan bahwa sajak ini merupakan ungkapan pengarang dalam
menceritakan pengalamannya mengembara dan merantau ke luar negeri.
Selanjutnya, dalam sajak ini juga terdapat pengalaman rohani, yaitu
pengalaman nilai sosial masyarakat pada saat sajak tersebut ditulis. Pengalaman
nilai sosial tersebut dapat terlihat dalam bait berikut ini.
Di pembajaan Ruhr dan Nagasaki aku bangga melihat kesanggupan umat berpikir, mengatur dan berbuat.
Dari bait tersebut dapat terlihat adanya rasa bangga pengarang ketika
melihat suatu tempat atau pemukiman yang pernah ia singgahi. Di sana
masyarakatnya mampu berpikir, dan mengatur kehidupannya dengan baik dan
teratur. Nilai sosial kemasyarakatan yang pandai dalam berpikir dan berperilaku
terlihat dalam bait penggalan bait sajak tersebut.
Selain pengalaman-pengalaman tersebut terdapat pula pengalaman rohani
lainnya yang merupakan pengalaman nilai budaya, hal tersebut dapat dilihat
dalam larik di bawah ini.
62
Bunda, Pulang dari rantau yang jauh berita girang kubawa kepadamu, resap renungan petua keramat, sendu engkau bisikkan di ambang pintu : Di mana-mana aku menjejakkan kaki, aku berjejak di bumi yang satu. Dan langit yang kunjung di mana-mana langit kita yang esa.
Dari larik tersebut terlihat adanya hubungan antara anggota keluarga yang
merupakan salah satu aspek pengalaman nilai budaya.
Berdasar pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa dalam sajak
Kerabat Kita karya S.T Alisjahbana terdapat beberapa pengalaman penginderaan,
pengalaman rohani, dan pengalaman kegiatan. Pengalaman penginderaan tersebut
yaitu penginderaan penglihatan dan pendengaran, sedangkan pengalaman rohani
dalam sajak tersebut yaitu pengalaman nilai sosial dan budaya. Selanjutnya,
pengalaman kegiatan yang dimaksud dalam sajak tersebut yaitu pengalaman
jasmani yang menggambarkan kisah pengembaraan pengarang.
4.2.9 Analisis Puisi Derai-derai Cemara Karya Chairil Anwar 1. Teks Puisi Derai-derai cemara Cemara menderai sampai jauh Terasa hari akan jadi malam Ada beberapa dahan di tingkap merapuh Dipukul angin yang terpendam Aku sekarang orangnya bisa tahan Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi Tapi dulu memang ada suatu bahan Yang bukan dasar perhitungan kini Hidup hanya menunda-nunda kekalahan Tambah terasing dari cinta dan sekolah rendah Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan Sebelum pada akhirnya kita menyerah
63
2. Analisis Pengalaman Di dalam sajak di atas, terdapat beberapa pengalaman penginderaan dan
pengalaman rohani. Pengalaman penginderaan dapat dilihat dalam larik Cemara
menderai sampai jauh. Dari larik tersebut terlihat adanya pengalaman
penginderaan penglihatan. Ungkapan dalam puisi yang berbeda dengan makna
sebenarnya Cemara menderai sampai jauh, dipukul angin yang terpendam,
seolah-olah mencitrakan sebuah kehidupan yang mulai lelah. Dengan simbol-
simbol seperti dahan, yaitu metafora dari bagian tubuh manusia yang mulai lemah
dengan kiasan merapuh. Simbolik malam akan mengimajinasikan pada kesunyian,
tempat sedang orang istirahat, dan akhir dari sebuah kehidupan, misalnya malam
yang biasanya diidentikkan dengan kesunyian, disangkal dengan suara-suara
seperti, menderai dan dipukul.
Kemudian, pengalaman rohani yang berupa pengalaman berpikir dan
perasaan dapat dilihat dalam larik Aku sekarang orangnya bisa tahan, Tambah
terasing dari cinta dan sekolah rendah. Dari larik pertama, dapat terlihat adanya
pengungkapan kemarahan dan ungkapan tidak tahan terhadap suatu keadaan yang
pernah pengarang rasakan. Dalam larik kedua yang disebutkan tersebut, terlihat
adanya pengalaman kesepian pengarang yang jauh dari rasa kasih sayang dan
pendidikan yang kurang dan belum pernah ia rasakan. Kata “Terasing” dalam
larik tersebut seakan menguatkan pernyataan bahwa pengarang pernah kesepian
dan merasa jauh dari siapapun.
Berdasar pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa dalam sajak
Derai-derai Cemara karya Chairil Anwar tercermin pengalaman penginderaan
64
dan dua pengalaman rohani yaitu pemikiran atas sebuah pemberontakan dan
pengalaman perasaan yang menggambarkan perasaan kesepian.
4.2.10 Analisis Puisi Do’a Karya Chairil Anwar
Doa Kepada pemeluk teguh
Tuhanku, Dalam termangu Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh Menyebut Kau penuh seluruh CahayaMu panas suci Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku, Aku hilang bentuk Remuk Tuhanku, Aku mengembara di negeri asing Tuhanku, Di pintuMu aku mengetuk Aku tidak bisa berpaling 2. Analisis Pengalaman
Di dalam puisi di atas terdapat pengalaman penginderaan dan pengalaman
rohani. Pengalaman penginderaan dapat dilihat dalam larik CahayaMu panas suci,
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi. Kedua larik tersebut menggambarkan suatu
pengalaman angan atau gambaran penginderaan penglihatan. Selajutnya,
pengalaman rohani yaitu perasaan dan pemikiran ingin bertobat terlihat dalam
larik Di pintuMu aku mengetuk, Aku tidak bisa berpaling. Kemudian, selain dua
pengalaman tersebut juga terdapat pengalaman lain yaitu pengalaman kehidupan
beragama yang dapat dilihat dalam bait berikut.
65
Tuhanku, Dalam termangu Aku masih menyebut namaMu
Dari bait tersebut, terlihat adanya hubungan seorang umat manusia yang
memohon dan berdoa kepada Tuhannya. Pengalaman lainnya yaitu pengalaman
kegiatan jasmani yang merupakan pengalaman pengarang yang sering
mengembara dan bepergian ke tempat yang jauh. Tidak hanya melakukan
perjalanan dan pengembaraan, tetapi juga pengalaman pengarang yang telah
melakukan banyak kesalahan dan dosa. Hal tersebut dapat dilihat dalam bait
berikut ini.
Tuhanku, Aku hilang bentuk Remuk Tuhanku, Aku mengembara di negeri asing Tuhanku, Di pintuMu aku mengetuk Aku tidak bisa berpaling
Dari bait tersebut, dapat digambarkan bahwa keadaan pengarang saat itu
sudah tidak seperti biasanya. Kata Remuk dan kalimat Aku hilang bentuk seperti
menggambarkan kondisi kehidupan pengarang yang sudah sangat buruk.
Berdasar pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa dalam sajak
Do’a karya Charil Anwar terdapat pengalaman penginderaan, pengalaman
kegiatan jasmani, pengalaman rohani yaitu pengalaman perasaan dan pemikiran,
dan pengalaman kehidupan beragama.
66
4.2.11 Analisis Puisi Karawang-Bekasi Karya Chairil Anwar
1. Teks Puisi
KARAWANG-BEKASI Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami Terbayang kami maju dan berdegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami Menjaga Bung Karno Menjaga Bung Hatta Menjaga Bung Syahrir Kami sekarang mayat
Berilah kami arti Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
67
Kenang-kenanglah kami Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
2.Analisis Pengalaman
Sajak di atas merupakan sajak yang ditujukan kepada para pahlawan tak
dikenal yang tewas karena peperangan. Pengalaman yang terdapat dalam sajak
tersebut di antaranya yaitu pengalaman pengindraan. Hal tersebut daapt terlihat
dalam larik Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak. Pengalaman
yang tercermin dalam larik tersebut merupakan pengalaman penginderaan
pendengaran. Selanjutnya, terdapat pula pengalaman rohani dalam konteks
pengalaman berpikir. Hal tersebut dapat dilihat dalam larik Tapi siapakah yang
tidak lagi mendengar deru kami, terbang kami maju dan mendegap hati?. Pada
larik tersebut dibutuhkan pemikiran untuk memahami kata-kata tersebut di atas
terutama sebuah pertanyaan dari Sang Penyair dengan menggunakan citra
intelektual. Apakah yang dimaksud dengan “deru kami” pada kalimat tersebut?,
lalu apakah yang dimaksud oleh Sang Penyair dengan “terbang kami maju dan
mendegap hati”?. Bisa jadi yang dimaksud dengan “deru kami” yaitu segala
keinginan dan harapan dari Sang Penyair atau semua gejolak hati yang tidak dapat
disampaikan lewat kata-kata oleh Sang Penyair.
Selain pengalaman tersebut, terdapat pula pengalaman kegiatan jasmani
yaitu pengalaman saat pengarang melihat mayat-mayat berserakan yang kemudian
dia tuliskan dalam larik Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi. Dari
larik tersebut terlihat bahwa pengarang pernah melihat mayat berserakan antara
68
Karawang-Bekasi. Mayat-mayat tersebut kemudian pengarang gambarkan dengan
“kami terbaring”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa dalam sajak
Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar terdapat pengalaman penginderaan
pendengaran, pengalaman rohani yang berupa pemikiran, dan pengalaman
kegiatan jasmani.
4.2.12 Analisis Sajak Anak Laut Karya Asrul Sani 1. Teks Puisi Sajak Anak Laut Sekali ia pergi tiada bertepi Kepantai landasan matahari dan bermimpi tengah hari Akan negeri jauhan Pasir dan air seakan Bercampur. Awan tiada menutup mata dan hatinya rindu melihat laut terbentang biru “Sekali aku pergi dengan perahu ke negeri jauhan dan menyanyi kekasih hati lagu merindukan daku”. “Tenggelam matahari Ufuk sana tiada nyata bayang-bayang bergerak perlahan aku kembali padanya”. Sekali ia pergi tiada bertopi Kepantai landasan matahari dan bermimpi tengah hari Akan negeri di jauhan 2. Analisis Pengalaman
69
Di dalam sajak di atas tercermin beberapa pengalaman. Salah satu
pengalaman yang terdapat dalam sajak tersebut yaitu pengalaman penginderaan
penglihatan. Hal tersebut dapat dilihat dalam larik “Tenggelam matahari. Dari
larik tersebut diperoleh gambaran matahari yang terbenam atau suasana senja saat
sinar matahari sedang redup. Kemudian, pengalaman penginderaan penglihatan
juga dapat dilihat dalam penggalan bait berikut.
bayang-bayang bergerak perlahan aku kembali padanya Selanjutnya, terdapat pengalaman kegiatan jasmani menyanyi dalam bait
berikut ini.
“Sekali aku pergi dengan perahu ke negeri jauhan dan menyanyi kekasih hati lagu merindukan daku”.
Dari bait tersebut digambarkan pengalaman pengarang membayangkan
kehidupan di negeri yang jauh sambil bernyanyi. Dari bait tersebut juga
digambarkan adanya pengalaman rohani perasaan akan sebuah harapan
dirindukan oleh seseorang.
Berdasar pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam sajak Anak
Laut karya Asrul Sani tercermin pengalaman penginderaan penglihatan,
pengalaman kegiatan jasmani, dan pengalaman rohani yaitu perasaan
mengharapkan sesuatu.
4.2.13 Analisis Puisi Gadis Peminta-minta Karya Toto S Bachtiar 1. Teks Puisi Gadis Peminta-minta Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
70
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan Gembira dam kemayaan riang Duniamu yang lebih tinggi dari menara ketedral Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kauhafal Jiwa begitu murni, terlalu murni Untuk membagi dukaku Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil Bulan di atas itu, tak ada yang punya Dan kotaku, ah kotaku Hidupnya tak lagi punya tanda
2. Analisis Pengalaman
Pengalaman yang tercermin dalam puisi di atas, di antaranya yaitu
pengalaman kegiatan jasmani. Hal tersebut dapat dilihat dalam larik Setiap kita
bertemu, gadis kecil berkaleng kecil. Dari larik tersebut dapat dilihat adanya
pengalaamn pertemuan antara pengarang dengan seorang anak kecil perempuan
yang digambarkan dengan simbol gadis kecl.
Selanjutnya, terdapat pula pengalaman rohani yaitu pengalaman berpikir
atau pengalaman yang didasari oleh pemikiran. Gambaran pengalaman tersebut
dapat dilihat dalam larik Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan,
Gembira dan kemayaan riang. Dari larik tersebut terlihat adanya pemikiran dan
angan-angan mengenai kemewahan dan kebahagiaan yang tidak pernah dimiliki
oleh si gadis kecil tersebut. Angan-angan gadis tersebut kemudian pengarang
gambarkan dalam larik tersebut. Pengalaman rohani yang juga termasuk dalam
pengalaman berpikir lainnya terdapat dalam larik Duniamu yang lebih tinggi dari
menara ketedral. Dari larik tersebut terlihat adanya suatu pemikiran dan pendapat
71
pengarang yang menganggap bahwa gadis kecil tadi memiliki kemuliaan yang
sangat tinggi. Hal tersebut digambarkan dengan tingginya menara katedral.
Selain pengalaman-pengalaman tersebut, dalam puisi di atas terdapat pula
pengalaman penginderaan. Pengalaman penginderaan tersebut dapat dilihat dalam
larik Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kauhafal, Bulan di atas
itu, tak ada yang punya. Di dalam kedua larik tersebut terlihat adanya pengalaman
penginderaan penglihatan. Kemudian, terdapat pula pengalaman rohani yaitu
pengalaman perasaan ingin melakukan suatu perbuatan. Hal tersebut dapat dilihat
dalam larik Jiwa begitu murni, terlalu murni, untuk membagi dukaku. Dari kedua
larik tersebut dapat dilihat bahwa pengarang sebenarnya ingin bercerita kepada si
gadis kecil. Namun, karena suatu hal akhirnya dia mengurungkan niatnya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa dalam puisi
Gadis Peminta-minta karya Toto Sudarto Bachtiar tercermin pengalaman rohani,
pengalaman jasmani dan pengalaman penginderaan yaitu pengalaman
penginderaan penglihatan.
4.2.14 Analisis Puisi Biar Mati Badanku Kini Karya Hamka 1. Teks Puisi
Biar Mati Badanku Kini
Biar mati badanku kini Payah benar menempuh hidup Hanya khayal sepanjang hidup Biar muram pusaraku sunyi Cucuk kerah pudingnya redup Lebih nyaman tidur di kubur
72
2. Analisis Pengalaman
Pengalaman yang tercermin dalam sajak di atas di antaranya yaitu
pengalaman kegiatan jasmani. Pengalaman tersebut dapat dilihat dalam larik
Payah benar menempuh hidup. Dari larik tersebut dapat dilihat adanya
pengalaman lelah menjalani suatu kehidupan. Artinya, pengalaman tersebut juga
bisa menggambarkan suatu perjalanan hidup yang telah ditempuh pengarang.
Pengalaman lainnya yang terdapat dalam puisi tersebut yaitu pengalaman
penginderaan. Hal tersebut dapat dilihat dalam larik Cucuk kerah pudingnya
redup. Selanjutnya, dalam puisi ini juga terdapat pengalaman rohani yaitu
pengalaman menginginkan dirinya mati agar terlepas dari semua masalkah yang
dialami pengarang. Hal tersebut dapat dilihat dalam larik Lebih nyaman tidur di
kubur.
Berdasar pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam sajak Biar
Mati Badanku Kini karya Hamka tercermin pengalaman kegiatan, pengalaman
rohani, dan pengalamana penginderaan.
4.2.15 Analisis Puisi Kepada Saudaraku M.Natsir Karya Hamka
KEPADA SAUDARAKU M. NATSIR
Meskipun bersilang keris di leher Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu Hidangkan di atas persada nusa Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri Lindungan Ilahi memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham
73
Hidup dan mati bersama-sama Untuk menuntut Ridha Ilahi Dan aku pun masukkan Dalam daftarmu……!
2. Analisis Pengalaman
Di dalam puisi di atas tercermin pengalaman kegiatan. Pengalama kegiatan
tersebut merupakan pengalaman kegiatan pengarang melihat kematian seorang
sahabatnya yaitu M. Natsir. Hal tersebut dapat dilihat dalam penggalam bait
berikut ini.
Suka dan duka kita hadapi Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Selajutnya terdapat pula pengalaman rohani ingin berjuang melawan
peperangan dan penindasan dengan mengobarkan api semangat yang pernah
dialami oleh Nabi Muhammad. Hal tersebut dapat dilihat dalam penggalam bait
berikut.
Meskipun bersilang keris di leher Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu Hidangkan di atas persada nusa
Dari larik tersebut, terlihat adanya semangat berjuang pengarang yang
sangat mengidolakan Nabi Muhammad SAW. Pengalaman lainnya yang terdapat
dalam penggalan bait di atas yaitu pengalaman kehidupan beragama. Dikatakan
demikian, karena dalam bait tersebut terlihat bahwa pengarang mengidolakan dan
74
menjadikan Nabi Muhammad panutan. Nabi Muhammad dalam agama Islam
merupakan seorang utusan Allah.
Berdasar pada uraian di atas, dalam sajak Kepada Saudaraku M.Natsir
karya Hamka terdapat pengalaman kegiatan, pengalaman rohani, dan pengalaman
kehidupan beragama.
4.2.16 Analisis Puisi Makna Sebuah Titipan Karya W.S Rendra 1. Teks Puisi
Makna Sebuah Titipan Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan, bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya, bahwa hartaku hanya titipan Nya, bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ? Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita. Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika : aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku. Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk
75
beribadah... "ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"
2. Analisis Pengalaman
Pengalaman yang tercermin dalam puisi di atas di antaranya yaitu
pengalaman kegiatan jasmani. Pengalaman yang dimaksud yaitu pengalaman
berkata kepada orang lain mengenai apa yang dia miliki selaman ini. Hal tersebut
dapat dilihat dalam larik Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku.
Selanjutnya, terdapat pula pengalaman kehidupan beragama. Artinya, pengalaman
yang berkaitan dengan hubungan pengarang dengan Tuhannya. Hal tersebut dapat
dilihat dalam larik-larik puisi tersebut. Salah satunya dalam larik bahwa mobilku
hanya titipan Nya. Dari larik tersebut, terlihat adanya sebuah pengakuan dan
kerendahan ahti pengarang yang menganggap bahwa semua yang ia miliki hanya
milik Tuhannya. Kemudian, tercermin pula pengalaman rohani yaitu mengalami
kehilangan yang sangat besar. Hal tersebut dapat dilihat dalam larik Mengapa
hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?. Dari larik
tersebut dapat dilihat bahwa pengarang kelihatan sesuatu yang sangat dia senangi
dan cintai.
Berdasar pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa dalam sajak
Makna Sebuah Titipan tercermin pengalaman kegiatan, pengalaman kehidupan
beragama, dan pengalaman rohani.
4.2.17 Analisis Puisi Sebuah Jaket Berlumur Darah Karya Taufik Ismail Sebuah Jaket Berlumur Darah Sebuah jaket berlumur darah Kami semua telah menatapmu Telah pergi duka yang agung
76
Dalam kepedihan bertahun-tahun Sebuah sungai membatasi kita Di bawah terik matahari Jakarta Antara kebebasan dan penindasan Berlapis senjata dan sangkur baja Akan mundurkah kita sekarang Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’ Berikara setia kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan? Spanduk kumal itu, ya spanduk itu Kami semua telah menatapmu Dan di atas bangunan-bangunan Menunduk bendera setengah tiang Pesan itu telah sampai kemana-mana Melalui kendaraan yang melintas Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa Prosesi jenazah ke pemakaman Mereka berkata Semuanya berkata 2. Analisis Pengalaman
Pengalaman yang terdapat dalam puisi di atas di antaranya yaitu
pengalaman rohani berpikir. Hal tersebut dapat dilihat dalam bait berikut ini.
Sebuah jaket berlumur darah Kami semua telah menatapmu Telah pergi duka yang agung Dalam kepedihan bertahun-tahun
Dari bait tersebut, terlihat adanya sebuah pengalaman berpikir tentang
suatu pengorbanan yang telah dilakukan sejak lama. Pemikiran pengarang
terhadap pengorbanan dan penderitaan yang pernah dialaminya dia ungkapkan
dalam bait tersebut. Kemudian, terdapat pula pengalaman kegiatan. Pengalaman
tersebut dapat dilihat dalam penggalan bait berikut ini.
77
Sebuah sungai membatasi kita Di bawah terik matahari Jakarta Antara kebebasan dan penindasan Berlapis senjata dan sangkur baja Akan mundurkah kita sekarang Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’ Berikara setia kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?
Dari bait tersebut, terlihat adanya pengalaman jasmani. Pengalaman
jasmani tersebut menggambarkan perjalanan pengarang ketika akan ikut
berperang. Dalam bait tersebut dijelaskan bahwa pengarang banyak menemui
hambatan dan rintangan. Hal tersebut terlihat dalam larik Sebuah sungai
membatasi kita. Kemudian terlihat pula adanya pengalaman berpikir dalam larik
Berikara setia kepada tirani, Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?.
Dari larik tersebut terlihat adanya pemikiran pengarang tentang kesetiaan dan
sebuah kepalsuan yang dilakukan para pejabat negara yang berkuasa saat itu.
Berdasar pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa dalam sajak
Sebuah Jaket Berlumur Darah karya Taufik Ismali tercermin pengalaman
kegiatan, pengalaman rohani, yaitu pengalaman berpikir.
4.2.18 Analisis Puisi Di Sebuah Halte Bis Karya Sapardi Djoko Pramono 1. Teks Puisi Di Sebuah Halte Bis Hujan tengah malam membimbingmu ke sebuah halte bis dan membaringkanmu di sana. Kau memang tak pernah berumah, dan hujan tua itu kedengaran terengah batuk-batuk dan tampak putih. Pagi harinya anak-anak sekolah yang menunggu di halte bis itu melihat bekas-bekas darah dan mencium bau busuk. Bis tak kunjung datang. Anak-anak tak pernah bisa sabar menunggu. Mereka menjadi kesal dan, bagai para pemabok, berjalan sempoyongan sambil melempar-lemparkan buku dan menjerit-jerit menyebut-nyebut namamu.
78
2. Analisis Pengalaman
Pengalaman yang tercermin dalam puisi di atas di antaranya yaitu
pengalaman penginderaan. Pengalaman penginderaan tersebut dapat dilihat dalam
larik dan hujan tua itu kedengaran terengah batuk-batuk. Dari larik tersebut
terlihat adanya pengalaman penginderaan pendengaran yang digambarkan oleh
kata “terengah” dan “batuk-batuk”. Kemudian ada juga pengalaman penginderaan
penglihatan dan penciuman. Pengalaman penginderaan penglihatan dapat dilihat
dalam larik dan tampak putih. Sedangakan, pengalaman penginderaan penciuman
terlihat dari larik itu melihat bekas-bekas darah dan mencium bau busuk.
Selain itu, dari keseluruhan konteks puisi atau sajak di atas, terlihat adanya
pengalaman rohani yaitu pengalaman berpikir. Dikatakan demikian, karena sajak
di atas merupakan pemikiran pengarang yang menggambarkan seekor anjing liar.
Hal tersebut terlihat dari setiap larik dalam sajak tersebut yang membicarakan
tentang sosok makhluk hidup yang liar, tidak terawat, bahkan namanya sering
dijadikan atau disebut untuk mengungkapkan perasaan marah atau kesal
seseorang. Hal tersebut bisa dilihat dalam bait berikut ini.
Pagi harinya anak-anak sekolah yang menunggu di halte bis itu melihat bekas-bekas darah dan mencium bau busuk. Bis tak kunjung datang. Anak-anak tak pernah bisa sabar menunggu. Mereka menjadi kesal dan, bagai para pemabok, berjalan sempoyongan sambil melempar-lemparkan buku dan menjerit-jerit menyebut-nyebut namamu Dari bait tersebut, dapat digambarkan bahwa yang dibicarakan dalam sajak
di atas memang seekor anjing. Terlebih lagi bila dilihat kembali dari bait pertama
puisi tersebut, terlihat adanya penggantian sosok seekor anjing yang pengarang
gambarkan dengan sosok “kau”.
79
Berdasar pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa dalam sajak
Di Sebuah Halte Bis karya Sapardi Djoko Pramono tercermin pengalaman
penginderaan. Pengalaman penginderaan tersebut meliputi penginderaan
penglihatan, penciuman, dan pendengaran. Selain itu, terdapat juga pengalaman
berpikir pengarang yang termasuk dalam pengalaman rohani.
4.2.19 Analisis Puisi Dewa Telah Mati Karya Subagio Sastrowardojo 1. Teks Puisi DEWA TELAH MATI Tak ada dewa di rawa-rawa ini Hanya gagak yang mengakak malam hari Dan siang terbang mengitari bangkai pertapa yang terbunuh dekat kuil Dewa telah mati di tepi-tepi ini Hanya ular yang mendesir dekat sumber Lalu minum dari mulut pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri Bumi ini perempuan jalang yang menarik laki-laki jantan dan pertapa ke rawa-rawa mesum ini dan membunuhnya pagi hari. 2. Analisis Pengalaman
Pengalaman yang tercermin dalam puisi di atas yaitu di antaranya
pengalaman penginderaan. Pengalaman penginderaan yang terdapat dalam sajak
atau puisi di atas meliputi pengalaman penginderaan pendengaran dan
penginderaan penglihatan. Pengalaman penginderaan pendengaran dapat dilihat
dalam larik Hanya gagak yang mengakak malam hari, Hanya ular yang mendesir
dekat sumber. Sedangkan pengalaman penginderaan penglihatan dapat dilihat
dalam larik pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri. Dikatakan demikian,
karena dalam larik tersebut terdapat kata “tersenyum”, pengarang mengimajikan
80
sebuah senyuman pada seorang pelacur. Artinya, ada penggunaan indera
penglihatan dalam larik tersebut. Kemudian, terdapat pula pengalaman berpikir
yang dapat dilihat dalam larik Bumi ini perempuan jalang. Dari larik tersebut,
pengarang menggunakan pikirannya untuk membuat perumpamaan bahwa bumi
imi meupakan perempuan jalang. Perumpamaan tersebut didasarkan atas
pengalaman pengarang selama menjalani hidup di bumi dan semua hal yang dia
rasakan dan ketahui, kemudian berdasar pada semua hal tersebut pengarang
memiliki pendapat bahwa bumi ini sama halnya dengan perempuan jalang.
Berdasarkan uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa dalam sajak
Dewa Telah Mati karya Subagio Sastrowardojo tercermin pengalaman
penginderaan penglihatan, pengalaman penginderaan pendengaran dan
pengalaman rohani yaitu pengalaman berpikir.
4.2.20 Analisis Puisi Jembatan Karya Sutardi Calzoum Bachri 1. Teks Puisi
Jembatan
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna. Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota. Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan. Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit mengucap tanah air kita satu bangsa kita satu bahasa kita satu bendera kita satu ! Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
81
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita ? Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu mengucapkan kibarnnya. Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami. 2. Analisis Pengalaman
Pengalaman yang tercermin dalam puisi di atas di antaranya yaitu
pengalaman kegiatan. Pengalaman kegiatan yang terdapat dalam puisi tersebut
merupakan pengalaman kegiatan jasmani. Pengalaman tersebut bisa dilihat dalam
larik Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang. Dari larik
tersebut terlihat adanya pengalaman pergi untuk melihat atau menatap banyaknya
wajah yang menginginkan kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan dan
ketidakadilan. Selanjutnya, terdapat pula pengalaman rohani yaitu pengalaman
berpikir. Hal tersebut terlihat dalam penggalan bait berikut ini.
indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit mengucap tanah air kita satu bangsa kita satu bahasa kita satu bendera kita satu !
Dari larik tersebut dapat digambarkan bahwa pengarang memiliki
pemikiran tentang kesatuan dan persatuan yang ingin ia kobarkan kepada orang
lain yang tertindas. Selain pengalaman berpikir yang dapat dilihat dalam penggala
bait tersebut, terdapat juga pengalaman berpikir lain yang dapat dilihat dalam
penggalan bait berikut ini.
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita ?
82
Berdasar pada uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa dalam sajak
Jembatan karya Sutardi Calzoum Bachri tercermin pengalaman kegiatan jasmani,
pengalaman rohani yaitu berpikir. Sesungguhnya sajak jembatan merupakan sajak
yang memiliki banyak pengalaman berpikir dan pengalaman rohani. Dikatakan
demikian, karena walaupun sajak ini diciptakan bukan pada saat peperangan,
tetapi sajak ini dibuat saat masyarakat Indonesia terhimpit kesulitan ekonomi,
ketidakpercayaan terhadap penguasa, dan masa kebangkitan pemerintah. Hal
tersebut yang menjadikan sajak ini sarat dengan semangat dan pesan moral yang
disampaikan pengarangnya.
4.3 Pembahasan Hasil Analisis
Pada bagian akhir bab IV ini, penulis akan menyimpulkan hasil analisis
yang telah dikemukakan sebelumnya. Setelah mengkaji dan menganalisis dengan
cermat puisi-puisi yang ditulis oleh sastrawan yang tergolong dalam Angkatan
Balai Pustakan-Angkatan 70, penulis akan memaparkan pembahasan hasil analisis
puisi-puisi tersebut ditinjau dari pengalaman-pengalaman yang tercermin, serta
keterkaitannya dengan unsur-unsur lain dalam puisi-puisi tersebut.
1. Pembahasan Pengalaman Kegiatan
Pengalaman kegiatan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu semua
jenis kegiatan jasmani yang pernah dialami ataupun tercermin dalam puisi-puisi
Angkatan Balai Pustaka-Angkatan 70. Pengalaman-pengalaman kegiatan jasmani
ini meliputi kegiatan yang melibatkan semua organ tubuh, tangan, kaki, telinga,
mulut ataupun organ tubuh lainnya. Pengalaman jasmani yang terecrmin dalam
puisi-puisi atau sajak Angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70 cukup beragam.
83
Pengalaman tersebut dicerminkan dalam Puisi Tanah Airku, Indonesia Tumpah
Darahku, Padamu Jua, Dibawa Gelombang, Kolam, Menuju Ke Laut, Kerabat
Kita, Do’a, Karawang-Bekasi, Sajak Anak Laut, Biar Mati Badanku Kini, Kepada
Saudaraku M.Natsir, dan Sajak Sebuah Jaket Berlumur Darah. Dalam sajak-sajak
tersebut terdapat pengalaman kegiatan jasmani seperti duduk, memandang,
melihat, dan bahkan berperang. Hal tersebut dapat dilihat dalam larik sajak
Sebuah Jaket Berlumur Darah karya Taufik Ismail. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa pengalaman kegiatan jasmani hampir terdapat dalam seluruh
puisi Angkatan Balai Pustaka- Angkatan 70, sebagian besar pengalaman tersebut
merupakan pengalaman-pengalaman hidup dalam sebuah kehidupan yang
diwarnai peperangan, kesengasaraan, dan kehidupan pada masa kebangkitan
pemerintah.
2. Pembahasan Pengalaman Rohani
Pengalaman rohani yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu pengalaman
berpikir, berangan-angan, berharap, pengalaman nilai budaya, pengalaman nilai
sosial dan pengalaman lainnya yang melibatkan pikiran, norma dan perasaan.
Pengalaman rohani tercermin dalam puisi Indonesia Tumpah Darahku, Berdiri
Aku, Padamu Jua, Dibawa Gelombang, Padamu Jua, Menuju Ke Laut, Kerabat
Kita, Derai-derai Cemara, Do’a, dan Karawang-Bekasi. Sebagian besar
pengalaman rohani tersebut merupakan pengalaman berpikir. Hal tersebut
didasarkan pada suasana atau kondisi kehidupan saat sajak tersebut ditulis. Selain
itu, terdapat pula pengalaman rohani yang merupakan nilai sosial. Pengalaman
tersebut dapat dilihat dalam sajak Dibawa Gelombang karya Sanusi Pane. Selain
Pengalaman nilai sosial, tercermin pula pengalaman nilai budaya dalam sajak
84
Kerabat Kita karya S.T Alisjahbana. Di dalam sajak tersebut terlihat adanya aspek
nilai budaya yaitu hubungan antara orang tua dan anaknya yang termasuk dalam
aspek sistem kekerabatan dalam nilai budaya. Pengalaman rohani lainnya
mencakup pengalaman perasaan menginginkan sesuatu, merindukan sesuatu,
bahkan pengalaman berangan-angan.
3. Pembahasan Pengalaman Penginderaan
Pengalaman penginderaan yang dimaksud dalam penelitian ini mencaku
pengalaman penginderaan penglihatan, penginderaan pendengaran, penginderaan
penciuman, penginderaan perabaan. Pengalaman penginderaan tersebut juga bisa
disamakan dengan aspek imaji atau citraan yang terdapat dalam puisi-puisi
tersebut. Pengalaman-pengalaman penginderaan tersebut tercermin dalam sajak
Tanah Airku, Indonesia Tumpah Darahku, Berdiri Aku, Dibawa Gelombang,
Padamu Jua, Kolam, Menuju Ke Laut, Kerabat Kita, Derai-derai Cemara, Do’a,
Karawang-Bekasi, Sajak Anak Laut, Gadis Peminta-minta, Biar Mati Badanku
Kini, Di Sebuah Halte Bis, dan Dewa Telah Mati. Pengalaman penginderaan yang
paling banyak dicermikan dalam puisi Angkatan Balai Pustaka-Angkatan 70
yaitu pengalaman penginderaan pendengaran dan penglihatan. Namun, terdapat
juga satu pengalaman penginderaan penciuman dalam sajak Di Sebuah Halte Bis
karya Sapardi Djoko Pramono.
4. Pembahasan Pengalaman Kehidupan Beragama
Pengalaman kehidupan beragama yang dimaksud dalam penelitian ini
mencakup pengalaman pengarang sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan
dan pengalaman pengarang ketika berhubungan dengan Tuhannya ataupun pesan
85
yang disampaikan pengarang terkait dengan unsur-unsur keagamaan. Pengalaman
kehidupan beragama tercermin dalam sajak Berdiri Aku, Do’a, Kepada Saudaraku
M.Natsir, dan Makna Sebuah Titipan. Dalam sajak-sajak tersebut tercermin
adanya pengalaman ingin bertobat dan memohon ampuanan kepada Tuhan. Hal
tersebut dapat dilihat dalam sajak Berdiri Aku karya Amir Hamzah dan Do’a
karya Chairil Anwar. Namun, terdapat pula pengalaman kehidupan beragama
yang lain yaitu pengalaman menginspirasikan utusan Tuhan. Hal tersebut dapat
dilihat dalam sajak Kepada Saudaraku M.Natsir karya Hamka. Di dalam sajak
tersebut digambarkan rasa kagum pengarang kepada Nabi Muhammad SAW.
Selain itu, dalam sajak Makna Sebuah Titipan karya W.S Rendra digambarkan
sikap dan pengalaman pengarang yang mengikhlaskan sesuatu yang hilang dari
dirinya dan menganggap bahwa semua yang ia miliki hanyalah milik Tuhan.
Sajak tersebut berisi pesan dan amanat agar manusia tidak pernah lupa bahwa
semua yang dia miliki, entah itu harta, jabatan ataupun kekuasaan semuanya
hanyalah titipan dan suatu hari dapat diambil kembali.
4.4 Analisis Kesesuaian Pemilihan Bahan Pembelajaran
Berdasarkan hasil analisis terhadap puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka-
Angkatan 70 dapat penulis simpulkan bahwa dalam puisi-puisi tersbeut terdapat
pengalaman kegiatan yang meliputi aspek jasmani, pengalaman rohani,
pengalaman penginderaan, dan pengalaman kehidupan beragama. Pengalaman-
pengalaman tersebut digambarkan oleh pengarang agar pembaca atau penikmat
sastra dapat mengetahui pengalaman kehidupan yang pengarang alami. Selain itu,
86
agar penikmat sastra bisa memahami dan mengalami kehidupan saat karya sastra
tersebut diciptakan.
Di dalam pengalaman-pengalaman tersebut dicerminkan pesan dan makna
kehidupan yang tinggi sehingga penikmat sastra dapat mengambil contoh
pengalaman dan perilaku baik yang terdapat dalam pengalaman-pengalaman
tersebut. Oleh karena itu, puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka-Angkatan 70 telah
memenuhi kriteria bahan pembelajaran apresiasi puisi. Hal yang menjadi dasar
kriteria dan menjadi acuan adalah unsur-unsur pengalaman dalam puisi-puisi
tersebut layak untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran apresiasi puisi. Selain
itu, puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka-Angkatan 70 mengandung nilai didaktis,
nilai sosial, nilai budaya, dan nilai religius. Nilai-nilai kehidupan tersebut
tercermin dalam pengalaman-pengalaman yang terdapat daam setiap bait puisi
tersebut.
Rahmanto (1988:27) mengungkapkan tiga faktor yang harus
dipertimbangkan dalam menyeleksi bahan pembelajaran apresiasi puisi. Faktor-
faktor tersebut adalah faktor bahasa, faktor psikologis, dan faktor latar belakang
budaya. Berikut penulis paparkan secara singkat ketiga faktor tersebut.
1. Pertimbangan dalam Segi Bahasa
Pemilihan bahan pembelajaran sastra harus sesuai dengan masa
perkembangan bahasa siswa. Bahasa yang mudah dipahami oleh siswa akan
memudahkan siswa untuk mengapresiasi karya sastra tersebut. Bila siswa
mengalami kesulitan memahami bahasa dalam karya sastra tersebut, guru harus
menjelaskan kata-kata atau kalimat yang dianggap sulit oleh siswa. Bahasa yang
87
digunakan dalam puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70 cukup
sederhana dan mudah dipahami oleh siswa, khususnya untuk siswa tingkat SMA.
2. Pertimbangan dalam Segi Psikologis
Memilih bahan pembelajaran sastra harus mempertimbangkan tahap-tahap
perkembangan psikologis. Hal tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap minat
siswa. Selain itu, faktor psikologis berpengaruh terhadap daya ingat, kemauan
mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman
terhadap masalah yang dihadapi. Puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka – Angkatan
70 sesuai dengan tahap perkembangan psikologis siswa SMA. Hal itu didasarkan
pada pengalaman-pengalaman yang terdapat dalam puisi-puisi tersebut berkisar
tentang kehidupan nyata pengarang saat diciptakannya puisi-puisi tersebut.
Pengalaman-pengalaman tersebut banyak yang berisi kisah perjuangan pengarang
untuk mendapatkan sesuatu, dan gambaran nilai-nilai kehidupan lainnya.
3. Pertimbangan dalam Segi Latar Belakang Budaya
Bahan ajar harus sanggup berperan sebagai sarana pendidikan menuju ke
arah pembentukan pribadi siswa. Latar belakang budaya meliputi hampir semua
faktor kehidupan manusia dan lingkungan seperti geografis, sejarah, topografi,
iklim, mitologi, legenda, pekerjaan, kepercayaan, cara berpikir, nilai-nilai
masyarakat, moral, dan sebagainya. Dengan kata lain, penyusunan bahan ajar
hendaknya disesuaikan dengan lingkungan hidup mereka. Nilai budaya dalam
puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70 sesuai dengan latar belakang
budaya siswa SMA. Nilai budaya yang terkandung dalam puisi-puisi tersebut
berisi nilai-nilai releigius dan sistem kemasyarakatan yang bisa dijadikan amanat
dan pesan yang dapat diterapkan dalam kehidupan siswa.
88
Berdasarkan pada ketiga kriteria tersebut, jika dilihat dari unsur-unsur
pengalaman yang dicerminkan pengarang dalam puisi-puisi Angkatan Balai
Pustaka – Angkatan 70 dapat dikatakan bahwa cara pengarang menggambarkan
pengalaman dalam puisi-puisi menggunakan bahasa yang sesuai dengan tahap
perkembangan bahasa anak, sehingga pembaca (siswa) memahami ide, gagasan,
perasaan, dan pengalaman yang tertuang dalam puisi tersebut.
Ditinjau dari segi psikologis peserta didik, puisi-puisi Angkatan Balai
Pustaka – Angkatan 70 tepat dijadikan sebagai bahan pembelajaran apresiasi puisi
di SMA. Hal tersebut dikarenakan pada masa ini mereka mulai mencari jati diri
dan mulai beranjak dewasa. Pada masa ini, siswa mulai memahami nilai-nilai
kehidupan dan membutuhkan pengalaman-pengalaman yang dapat meningkatkan
pengetahuan dan kepekaan mereka terhadap unsur-unsur kehidupan. Puisi-puisi
Angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70 berisi pengalaman-pengalaman yang
menggambarkan kisah percintaan, kekeluargaan, perjuangan mendapatkan
sesuatu, dan nilai-nilai agama. Dengan demikian, puisi-puisi tersebut tepat bila
disajikan dalam pembelajaran apresiasi puisi di SMA.
Ditinjau dari segi latar belakang budaya, puisi-puisi Angkatan Balai
Pustaka – Angkatan 70 tepat bila disajikan dalam pembelajaran apresiasi puisi di
SMA. Hal tersebut dikarenakan puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka – Angkatan
70 mengandung unsur-unsur kebudayaan yang erat dengan kehidupan siswa.
Kebudayaan masyarakat Indonesia dan sistem kemasyarakatan, keagamaan dalam
puisi-puisi tersebut mencerminkan kehidupan yang begitu keras dan penuh
perjuangan, namun terdapat pula hal-hal indah dan unik lainnya yang menjadikan
89
puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70 layak untuk dijadikan sebagai
bahan pembelajaran apresiasi puisi di SMA.
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa puisi-puisi
Angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70 digunakan sebagai bahan pembelajaran
apresiasi puisi di SMA. Hal tersebut didasarkan pada pengalaman-pengalaman
yang terdapat dalam puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70.
Gambaran pengalaman-pengalaman tersebut sesuai dengan perkembangan bahasa
siswa SMA dan juga dari segi psikologis sangat erat kaitannya dengan kehidupan
yang dijalani siswa SMA saat ini. Demikian juga bila dilihat dari latar belakang
budaya, pengalaman-pengalaman yang terdapat dalam puisi Angkatan Balai
Pustaka – Angkatan 70 mengandung nilai-nilai kebudayaan yang tinggi dan sesuai
dengan lingkungan kehidupan siswa SMA.
90
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Masalah dan tujuan penelitian yang telah ditetapkan dalam
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pengalaman-pengalaman dan
kelayakan puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70 dijadikan sebagai
alternatif bahan pembelajaran. Hasil analisis yang telah penulis lakukan dapat
disimpulkan sebagai berikut.
1. Di dalam puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70 mengandung
banyak pengalaman kehidupan. Pengalaman-pengalaman tersebut
digambarkan dalam larik-larik yang terdapat dalam puisi Angkatan Balai
Pustaka – Angkatan 70. Selain itu, pengalaman-pengalaman tersebut
merupakan gambaran perilaku, pemikiran, kejadian, dan perasaan pengarang
saat karya sastra atau puisi tersebut diciptakan. Selain dari larik-larik dalam
puisi, ada juga pengalaman yang tercermin dalam bait dan bahkan pengalaman
yang digambarkan dan dicerminkan dari seluruh bait atau isi puisi tersebut.
2. Pengalaman-pengalaman yang tercermin dalam puisi-puisi Angkatan Balai
Pustaka – Angkatan 70 mencakup pengalaman kegiatan yang meliput kegiatan
jasmani dan perbuatan, pengalaman rohani yang meliputi pengalaman
perasaan, berpikir, pengalaman nilai sosial dan pengalaman nilai budaya.
Selain itu, tercermin pula pengalaman penginderaan yang meliputi
penginderaan pendengaran, penginderaan penglihatan, dan penglihatan
penciuman dan juga tercermin pengalaman kehidupan beragama. Pengalaman-
pengalaman tersebut mencerminkan betapa keras dan susahnya hidup di saat
91
perjuangan dan kurangnya kesejatheraan. Di antara pengalaman-pengalaman
tersebut tercermin pengalaman berperang, berjuang dan pengalaman meminta
ampunan kepada Tuhan. Pengalaman yang paling banyak tercermin dalam
puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70 yaitu pengalaman kegiatan,
rohani dan pengalaman penginderaan. Pengalaman kehidupan beragama hanya
tercermin dalam 4 buah puisi dari total 20 puisi yang dijadikan sampel
penelitian.
3. Berdasarkan analisis pengalaman-pengalaman yang tercermin ternyata puisi-
puisi Angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70 dapat digunakan sebagai
alternatif bahan pembelajaran apresiasi puisi di SMA. Hal ini berdasarkan
hasil analisis ternyata aspek-apsek pengalaman yang tercermin dalam puisi-
puisi Angkatan Balai Pustaka – Angkatan relevan dengan kehidupan
masyarakat sebenarnya, sehingga puisi-puisi tersebut layak dijadikan bahan
pembelajaran apresiasi puisi di SMA.
5.2 Saran Pada bagian akhir penelitian ini penulis ingin menyampaikan beberapa
saran sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan. Adapun saran-saran
yang ingin penulis sampaikan adalah sebagai berikut.
1. Guru bahasa dan sastra Indonesia hendaknya menggunakan puisi-puisi
Angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70 sebagai bahan pembelajaran apresiasi
sastra, khusunya puisi di SMA. Hal ini didasarkan pada hasil analisis yang
telah dilakukan oleh penulis ternyata pengalaman-pengalaman yang tercermin
dalam puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka – Angkatan 70 telah memenuhi
kriteria pemilihan bahan pembelajaran sastra.
92
2. Hasil penelitian ini tidak hanya dapat digunakan dalam pembelajaran sastra,
tetapi juga dapat digunakan dalam pembelajaran menulis puisi dan
pembelajaran gaya bahasa. Dikatakan demikian, karena ternyata pengalaman-
pengalaman yang terdapat dalam puisi-puisi Angkatan Balai Pustaka –
Angkatan 70 mengandung banyak perumpamaan dan gaya bahasa. Hal
tersebut dapat dijadikan alasan untuk memasukan unsur-unsur pengalaman
sebagai bahan pembelajaran menulis puisi, dan bahkan pembelajaran gaya
bahasa. Hal tersebut dilakukan agar siswa tidak mengalami kesulitan dalam
menyampaikan ide, gagasan dan pengalamannya dalam bentuk bahasa tulis.
3. Guru hendaknya mengkaji pengalaman-pengalaman yang terdapat dalam
karya sastra sebagai acuan ketika akan menentukan bahan pembelajaran
apresiasi sastra. Sebagian besar pengkajian hanya dilakukan pada struktur dan
gaya bahasa suatu karya sastra, tidak mencakup pengalaman-pengalaman yang
terdapat dalam karya sastra.
4. Untuk mengkaji pengalaman-pengalaman dalam karya sastra, khusunya puisi
dapat dilakukan melalui pengakajian unsur-unsur yang membangun karya
sastra tersebut.
93
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. (1979). Mirror and the lamp. London : Oxford University Press.
Altenbernd. (1970). A Handbook for the Study of Poetry. London. Collier Ltd.
Aminuddin. (1977). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru.
Ampera, T. (2010). Pengajaran Sastra. Bandung : Widya.
Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Cohen. (1973). Sense of Poetry. London : Oxord University Press.
Damono, S.J. (1984). Perahu Kertas. Jakarta : Balai Putaka.
Doreksi. (1988). The Evaluation of Literary Texts. London : De Ridder Press
Depdiknas. (2004). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Esten, M. (1990). Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung:
Angkasa. Luxemburg, J.V. (1984). Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta : PT Gramedia.
Meyer. (1987). An Introduction to Fiction. London : Rinehart and Winston, Inc.
Nurgiantoro, B. (1998). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada Press.
Pradopo, R.J. (2003). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, Dan Penerapannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Pradopo, R.J. (2007 Pengkajian Puisi. Yogyakarta. Gajah Mada Press.
Rahmanto. (1988). Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta : Kanisius.
Ratna, K. (2004). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rollof. (1973). A Prague School Reader on Esthetics. Jakarta : Gramedia Pustaka
Rosidi, A. (1959). Cari Muatan. Jakarta : Balai Pustaka.
Rosidi, A. (1964). Kapankah Kesusatraan Indonesia Lahir?. Jakarta : Bharatara.
94
Rusyana, Y. (1982). Metode Pengajaran Sastra. Bandung : CV Gunung Larang.
Sudjiman, P. (1984). Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Universitas Indonesia
Suharianto, S. (1985). Dasar-dasar Teori Sastra. Semarang. Rumah Indonesia
Surakhmad, W. (1994). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung : Tarsito.
Teeuw, A. (1983). Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta : Gramedia.
Teeuw, A. (1988). Tergantung pada Kata. Jakarta : Pustaka Jaya
Teeuw, A. (1998). Sastra Indonesia Modern II. Jakarta : Pustaka Jaya.
Waluyo, H.S. (1991). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta : Erlangga.
Wellek, R.(1968). Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia.
99
RIWAYAT HIDUP
Henda Suhenda lahir di Sumedang
pada tanggal 10 Juni 1990, sebagai putra
angkat pasangan Bapak Wahyu Tanudjaja dan
Ibu Oyoh. Penulis menamatkan pendidikan
dasar di SD Kristen Tarakanita 1 Gading
Serpong pada tahun 2001.
Pada tahun 2004 penulis menamatkan
pendidikan tingkat menengah di Sekolah
Menengah Pertama Negeri 1 Tomo.
Pendidikan tingkat atas ditempuh di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Cimalaka
Kabupaten Sumedang dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2009 penulis
menjadi mualaf dan merubah namanya menjadi Henda Suhenda setelah
sebelumnya menggunakan nama Stevanus Darens Henda Imanuel Tan.
Dengan dukungan dan dorongan dari orang tua, pada tahun 2007 penulis
melanjutkan pendidikan di STKIP Sebelas April Sumedang pada jurusan
Dikbasasinda dengan jenjang S1. Saat ini penulis bertempat tinggal di Dusun
Bantargintung Desa Karyamukti Kecamatan Tomo Kabupaten Sumedang.
Penulis merupakan salah satu putera bangsa yang menjadi kebanggaan
Indonesia, khususnya Kota Sumedang. Prestasi penulis dalam bidang akademik
meliputi Juara 3 lomba debat Bahasa Inggris tingkat nasional KEMENDIKNAS
2008, peraih beasiswa Peningkatan Akademik 3 tahun berturut-turut dan menjadi
salah satu peserta 6th International Youth Conference yang diselenggarakan di
Ballroom Grand Indonesia pada tahun 2008. Terakhir, skripsinya tentang sastra
100
menjadi salah satu 5 skripsi sastra terbaik KEMENDIKNASBUD 2011 dan dalam
tahap penerjemahan ke dalam Bahasa Inggris. Hal tersebut dikarenakan
keberanian penulis mengungkap berbagai perbedaan dan pengalaman yang
terdapat dalam puisi Angkatan Sastra Balai Pustaka-Angkatan 70.
Sedangkan prestasi penulis lainnya yaitu menjadi salah satu penulis
beberapa buku Bahasa dan Sastra Indonesia untuk siswa SMP dan SMA yang
disusun oleh KEMENDIKNASBUD dan bekerja sama dengan Gramedia. Penulis
juga telah menerbitkan banyak cerpen yang telah dimuat dalam majalah remaja
Aneka Yess!!! periode 2009. Selain itu, penulis aktif dalam kegiatan teater dan
drama yang diselenggarakan oleh Departemen Kebudayaan. Saat ini penulis
mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan gelar Magister Manajemen Pendidikan
di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung dan bekerja sebagai Business
Consultant di sebuah perusahaan pialang saham ternama di Bandung.
Top Related