PROPOSAL TESIS
ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN DALAM
JABATAN
[Diajukan Sebagai Tugas Akhir Mata Kuliah
Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Semester II]
Oleh
H. Benny Fitra, B.Ed
[0805 S2 829]
PROGRAM PASCA SARJANA
UIN SULTAN SYARIF KASIM (SUSKA)
PEKANBARU
2009/2010
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. H. Kurnial Ilahi, MA
1
2
Analisis Kebijakan Pendidikan dalam Jabatan
Oleh: Benny Fitra, B.Ed
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Suatu kenyataan bahwa kualitas guru sangat bervariasi, dari yang
dinyatakan kurang kualitasnya, sampai dengan pada guru yang
dinyatakan berkulitas tinggi. Salah satu akar penyebab timbulnya variasi
tersebut menurut Conny R. Semiawan (1994) dilatarbelakangi oleh
pendidikan prajabatan guru. Dikatakannya bahwa beragamnya kualitas
guru yang dihasilkan oleh pendidikan persiapan prajabatan dari yang
telah dianggap baku, sampai dengan program pendidikan 12 hari.
Dalam sejarah pendidikan di Indonesia sejak zaman kemerdekaan
pemah dimiliki pendidikan prajabatan guru yang dinamakan Sekolah Guru
Laki-Laki (SGL), Sekolah Guru Putri (SGP), Sekolah Guru B (SGB 4 tahun),
Sekolah Guru C (SGC 2 tahun), Sekolah Guru A (SGA 6 tahun), Kursus
Pengajar untuk Kursus Pengantar ke Kewajiban Belajar (KPPKB), Kursus
Guru B (KGB), Kursus Guru A (KGA), kemudian muncul Sekolah Guru
Taman Kanak-kanak (SGTK), Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP),
Sekolah Guru Pendidikan Jasmani (SGPD), Pendidikan Guru Sekolah
Lanjutan Pertama (PGSLP), Pendidikan Guru Luar Biasa (PGLB), Pendidikan
Guru Sekolah Lanjutan Atas (PGSLA), Kursus B1 dan B2, Sekolah Guru
Pendidikan Teknik (SGPT), dan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG),
Institut Pendidikan Guru (IPG).
Dengan adanya perubahan kebijakan maka sejumlah sekolah dan
kursus dihapuskan. Sekitar tahun 1980-an masih Sekolah Pendidikan Guru
3
(SPG) yang mendidik guru SD dan TK, SGPLB yang mendidik guru untuk
anak luar biasa, Sekolah Guru Olahraga (SGO), FKIP, STKIP, dan IKIP.
Kemudian dengan semakin melonjaknya lulusan yang tidak mungkin
tertampung serta kualitas guru yang rendah, maka SPG, SGU, dan SGPLB
dihapus.
Pendidikan prajabatan guru diserahkan ke Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan, PGLB (Pendidikan Guru Luar Biasa), dan dalam
persiapan PGSM (Pendidikan Guru Sekolah Menengah). Guru-guru yang
ada sekarang masih cukup bervariasi. Dari jumlah guru SD sebesar
1.147.382, guru SMP sebesar 247.155 dan guru SLTA sebesar 150.658
(Data Statistik Depdikbud Maret 1993) ternyata yang mempunyai
kualifikasi Pendidikan formal guru SD ada 91.119 yang tamatan SLTP dan
1.030.407 tamatan SLTA, guru SMP dari tamatan SLTP sebesar 84.729
dan tamatan SLTA 145.336. Sedangkan guru SLTA yang tamatan SLTP
263 dan tamatan SLTA sebanyak 8.207 orang.
Permasalahan dan kendala yang dihadapi sektor pendidikan antara
lain mutu masukan, sumber daya termasuk di dalamnya adalah masalah
guru, proses belajar mengajar, pengelolaan yang kurang efektif dan
efisien, hasil belajar yang kurang diharapkan serta tingkat income yang
kurang memadai, lingkungan budaya yang kurang mendukung dan
persoalan ekonomi yang menghambat secara langsung maupun tidak
langsung.
Pada tahun tahun 1995, ketika Nilai Ebtanas Murni masih
diberlakukan daya serap mata pelajaran terhadap siswa rata-rata 35%,
kondisi ini membuat masyarakat menuding guru sebagai penyebab
ketidakberhasilan pembelajaran di sekolah.
Hal demikian memang cukup beralasan karena prosentasi dari guru
yang ada temyata memiliki latar belakang dengan bidang studi yang
diajarkan tidak cocok, terletak antara 15% sampai 67%. Sementara itu
4
daya serap yang ditunjukkan dengan NEM berkisar antara 27% sampai
67%. Ketidakcocokan latar belakang pendidikan guru dengan bidang studi
yang diajarkan temyata banyak mempengaruhi hasil belajar siswa.
Untuk mengatasi ketidakcocokan latar belakang dengan bidang
studi yang diajarkan telah diupayakan berbagai penataran. Dari data
tersebut diketahui bahwa peningkatan kemampuan profesional guru SD
adalah 26,68%, yang berarti hanya sekitar seperempat dari sasaran
kebijakan Repelita V yang dicapai, sisanya sebesar 989.785 orang guru
SD belum tersentuh peningkatan kemampuan profesional. Dapat
dikatakan pula bahwa untuk mencapai 989.785 orang memerlukan waktu
3 Repelita lagi, yakni sekitar tahun 2010.
Oleh karena itu perlu alternatif kegiatan baik yang bersifat
intensifikasi maupun bersifat ekstensifikasi dalam peningkatan
kemampuan profesional guru SD. Penataran guru SD setara D-2 yang
dicapai sebesar 60,49%, dari sasaran yang masih tersisa 118.530 orang
yang menunggu penataran guru SD setara D-2.
2. Identifikasi Masalah
Bagaimana kemampuan guru yang dipersyaratkan untuk
mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia? Kebijakan apa yang
dapat mengantisipasi kendala era globalisasi? Kebijakan apa yang perlu
diterapkan dalam pembinaan guru SD, SLTP dan SMU? Kinerja macam apa
yang diperlukan dalam pengembangan kinerja guru SD, SLTP dan SMU?
3. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada pengembangan kinerja guru melalui
pendidikan dalam jabatan dalam bentuk penataran penyegaran dan
dibatasi pada wilayah Dumai.
5
4. Perumusan masalah
a. Faktor apa yang dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan
peningkatan guru SD?
b. Bagaimana pelaksanaan kebijakan pengembangan kinerja guru SD
di Dumai?
c. Aspek apa yang dipertimbangkan dalam menentukan tujuan
pengembangan kinerja guru SD?
d. Altematif tindakan apa yang diperlukan untuk mencapai tujuan
pengembangan kinerja guru?
e. Apakah sesuai hasil evaluasi dengan tujuan pengembangan kinerja
guru?
5. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan
tujuan kebijakan tentang peningkatan guru SD?
b. Mengetahui pelaksanaan kebijakan pengembangan kinerja guru di
Dumai
c. Menganalisis kebutuhan pengembangan kinerja guru akan
diketahui aspek kinerja guru yang sedang dibutuhkan guru
d. Aspek-aspek apakah yang dipertimbangkan dalam menentukan
tujuan pengembangan kinerja guru SD?
e. Membuat rancangan altematif perangkat tindakan. Apakah
alternatif tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan
pengembangan kinerja guru.
f. Mengimplementasikan pengembangan kinerja guru maka
diperlukan evaluasi kebijakan. Apakah hasil yang diperoleh sesuai
dengan tujuan pengembangan kinerja guru?
6. Definisi Operasional Variabel
6
Analisis kebijakan adalah pengkajian terhadap suatu kebijakan
pada tahap akhir pelaksanaan sebagai suatu evaluasi terhadap seluruh
proses kebijakan, mulai dari tahap perencanaan sampai tahap
pelaksanaan yang berupa pengkajian: 1) sejauh mana kebijakan itu
mencapai tujuan yang telah ditetapkan; 2) apa kelemahan dan
keunggulan kebijakan yang telah dilaksanakan yang akan datang.
Pengembangan kinerja guru SD adalah usaha sadar terencana yang
didasari oleh suatu kebijakan dalam upaya mencapai kemampuan
profesional yang dipersyarat-kan oleh jabatan fungsional guru.
Penataran penyegaran adalah pendidikan dalam jabatan yang
berusaha untuk membekali dan melatih guru SD agar dapat mendukung
keberhasilan tugas yang dituangkan dalam jabatan profesional guru.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1. Kerangka Teori
Dengan melihat aspek ontology, epistomologi dan aksiologi dari
analisis proses kebijakan maka penelitian naturalitik mempunyai
paradigma yang cocok dengan kegiatan analisis proses kebijakan.
Kegiatan pengembangan kinerja guru melalui in-service training yang baik
harus berdasarkan berbagai kebijakan strategis, kebijakan operasional,
kebijakan umum dan kebijakan tahunan. Kebijakan yang tepat adalah
didasarkan oleh analisis proses kebijakan pada masa lalu. Dengan belajar
dari pengalaman masa lalu (empirik) maka akan dapat mengantisipasi
permasalahan yang muncul dalam melaksanakan kebijakan. Metode
analisis kebijakan dalam penelitian ini menggunakan metode: 1)
penstruktural masalah, 2) pemantauan, 3) peramalan, 4) penilaian, 5)
rekomendasi, dan 6) inferensi praktis.
2. Model Kebijakan
Model kebijakan adalah representasi yang disederhanakan dari
aspek situasi problematik yang dikonstruksikan untuk maksud tertentu.
Model kebijakan dapat dinyatakan dalam bentuk konsep, diagram, grafik,
atau persaman matematis. Model-model itu antara lain (Dunn, 1983)
adalah: 1) model deskriptik, 2) model normative, 3) model verbal, 4)
model simbolik.
Model deskriptik adalah model yang dipakai untuk menjelaskan dan
atau meramalkan sebab dan akibat pilihan kebijakan dengan cara
memonitor suatu kebijakan. Model normative adalah menjelaskan dan
atau meramalkan serta memberi rekomendasi dalam mencapai suatu
nilai, misalnya model cost benefit atau rate of return. Model verbal adalah
8
model yang direpresentasikan dalam bentuk verbal. Dalam model verbal
seorang analisis memakai judment yang bersifat penalaran. Judment ini
menghasilkan argumen kebijakan yang sedikit banyak persuasif. Model
simbolik adalah model penggunaan simbol matematik untuk melukiskan
hubungan antara variabel kunci yang merupakan ciri permasalahan.
3. Tahap Kebijakan
Brewer dan de Leon (1983) membagi fase dalam proses kebijakan
menjadi enam tahap, yaitu: 1) inisiasi, 2) estiminasi, 3) seleksi, 4)
implementasi, 5) evaluasi, dan 6) terminasi. Fase inisiasi mulai ketika
masalah yang potensi dirasakan timbul dan menunjuk kepada kegiatan
inovatif untuk mengkonseptualisasi dan membuat kerangka tentang
masalah secara kasar, mengumpulkan informasi untuk melihat kebijakan
yang mungkin paling tepat. Tahap seleksi menunjuk kepada kenyataan
bahwa akhimya seseorang harus membuat keputusan. Tahap
implementasi yaitu pelaksanaan dari pilihan yang dipilih. Tahap evaluasi
berusaha menjawab pertanyaan seperti kebijakan mana yang sukses dan
yang mana yang gagal, bagaimana kinerja dapat diukur dan kriteria apa
yang digunakan untuk mengukur. Terminasi berhubungan dengan
penyesuaian kebijakan yang tidak fungsional, tidak perlu, berlebihan, atau
tidak cocok dengan keadaan.
4. Klasifikasi Kebijakan
Klasifikasi kebijakan menurut Frank Harisson (1986:26) dapat
dilihat dari waktu, fungsi, cakupan, sifat, asal, dan jenjang kebijakan.
5. Analisis Pendidikan
a. Ciri Analisis Kebijakan
9
Dalam melakukan analisis kebijakan digunakan analisis konteks
yakni hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan masalah serta
hubungan antara kejadian masa lampau, sekarang, dan yang akan datang
(Brewer dan de Leon, 1983). Sifat kontekstual dan interdisipliner ini
merupakan ciri analisis kebijakan pendidikan. Analisis kebijakan
merupakan usaha untuk menghasilkan dan mengolah informasi (yang
relevan) dengan menggunakan ilmu sosial terapan. Untuk memecahkan
pendidikan dalam situasi politik tertentu ini dilakukan dengan metode
inkuiri dan argumen ganda.
b. Tahap Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan pendidikan dapat dilaksanakan pada tahap awal
perencanaan kebijakan pendidikan, tahap pelaksanaan kebijakan
pendidikan dan tahap sesudah pelaksanaan kebijakan pendidikan.
Kegiatan analisis kebijakan pada tahap perencanaan meliputi kegiatan-
kegiatan (1) identifikasi masalah, (2) altematif kebijakan, (3) pemilihan
alternatif kebijakan. Kegiatan analisis kebijakan pada tahap pelaksanaan
meliputi kegiatan-kegiatan penelitian dan pengkajian (1) latar belakang,
(2) alasan, (3) tujuan, (4) bagaimana kegiatan itu dilaksanakan, serta (5)
sejauh mana itu sesuai dengan kebijakan dan tujuan yang telah
ditetapkan. Kegiatan analisis kebijakan pada tahap akhir pelaksanaan
merupakan evaluasi terhadap seluruh proses kebijakan, mulai dari tahap
perencanaan sampai tahap pelaksanan.
c. Bentuk analisis kebijakan
Bentuk analisis kebijakan terdapat tiga bentuk yaitu (1) prosfektif,
(2) retrosfektif, dan (3) integrative. Analisis kebijakan Prospektif
melibatakan produksi dan tranformasi informasi sebelum pelaksanaan
kebijakan dimulai dan dilaksanakan (biasanya dilakukan oleh ahli
10
ekonomi, ahli sistem dan ahli Operasion reseach). Analisis kebijakan
Retrosfektif merupakan usaha memproduksi dan mentransformasi
informasi sesudah kebijakan dilaksanakan (biasanya dilakukan oleh
ilmuwan yang berorientasi pada disiplin ilmu dan berorintasi pada aplikasi
kebijakan). Analisis kebijakan Integrative adalah analisis yang lebih
komprehensif, yang mengkombinasikan prospektif dan retrospektif. ini
berarti analisis dilakukan secara terus menerus.
d. Hasil analisis kebijakan
Dalam analisis kebijakan, Dunn (1981) menyatakan ada tiga
macam informasi yang harus dihasilkan oleh seorang analisis, yaitu 1)
informasi tentang nilai (bagaimana nilai yang terkandung dalam kebijakan
itu), 2) fakta (apakah hal itu ada), dan 3) perbuatan (apa yang harus
dilakukan). Hasil analisis kebijakan bersifat deskriptif, prespektif, dan
prediktif. Deskriptif berarti dapat memberi pemahaman tentang kebijakan
yang direncanakan, yang sedang dilaksanakan, tujuan yang hendak
dicapai dan hasil yang akan diperoleh. Presfektif berarti hasil analisis
kebijakan yang cenderung bersifat evaluasi formatifdapat memberikan
rekomendasi tentang altematif kebijakan yang perlu diambil dalam upaya
peningkata mutu hasil yang diperoleh. Prediktif berarti hasil analisis
kebijakan dapat memberikan perkiraan apa yang akan terjadi selanjutnya,
baik yang bersifat positif maupun negatif sebagai akibat kelanjutan dari
kebijakan yang dilaksanakan.
6. Analisis kebijakan pendidikan
Analisis kebijakan pendidikan adalah suatu proses pengkajian
kebijakan pendidikan untuk memahami kebijakan dengan baik, sehingga
dapat memberikan penjelasan dan saran dalam pelaksanaan kebijakan
pendidikan itu untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Analisis kebijakan
11
dimaksudkan untuk menguraikan dan menjelaskan latar belakang, alasan,
serta akibat dari tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh suatu
organisasi. Ruang lingkup dan tujuan analisis kebijakan dapat dibedakan
menjadi analisis tentang kebijakan (ex post policy analysis) dan analisis
untuk kebijakan (ex-ante policy analysis). Dalam makalah ini analisis
kebijakan yang dimaksud adalah analisis tentang kebijakan (Ex-post
policy).
7. Pengembangan kinerja guru
Dalam pengembangan kinerja guru, Peter F. Olivia dalam
Sahertiana (1994 : 66) dikenal adanya 3 program yakni 1 ) program pre-
service education, 2) program in-service education dan 3 ) program in-
service training.
Program pre-service education adalah program pendidikan yang
dilakukan pada pendidikan sekolah sebelum peserta didik mendapat
tugas tertentu dalam suatu jabatan. Lembaga penyeleng- garaan program
pre-service education adalah suatu pendidikan mulai dari pendidikan
dasar sampai pendidikan tinggi. Pada bidang ilmu pendidikan program in-
service education diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tenaga
kependidikan (LPTK) baik non gelar maupun yang bergelar.
Program in-service education adalah program pendidikan yang
mengacu pada kemampuan akademik maupun profesional sesudah
peserta didik mendapat tugas tertentu dalam suatu jabatan. Bagi mereka
yang sudah memiliki jabatan guru dapat berusaha meningkatkan
kinerjanya melalui pendidikan lanjut yang berijasah D-2 dapat
melanjutkan ke D-3, dari D-3 ke S-1, atau dari S-1 ke S-2 dan S-3 di
samping itu dapat berupa jurusan tertentu ke jurusan lain.
Program in-service training adalah suatu usaha pelatihan yang
memberi kesempatan kepada orang yang mendapat tugas jabatan
12
tertentu, dalam hal ini adalah guru, untuk mendapat pengembangan
kinerja. Pada umumnya yang paling banyak dilakukan dalam program in-
service training adalah melalui penataran ada 3 macam peraturan yaitu)
penataran penyegaran, 2) penataran peningkatan kualifikasi, dan 3)
penataran penjenjangan.
a. penataran penyegaran yaitu usaha pengembangan kinerja guru
agar sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
serta menetapkan kinerja guru agar dapat melakukan tugas sehari-hari
dengan baik. Sifat penataran ini memberi penyegaran sesuai dengan
perubahan yang terjadi di masyarakat agar tidak ketinggalan jaman.
b. penataran peningkatan kualifikasi adalah usaha peningkatan
kemampuan guru sehingga mereka memperoleh kualifikasi formal
tertentu sesuai dengan standar yang ditentukan.
c. penataran penjenjangan adalah suatu usaha meningkatkan
kemampuan guru dalam bidang jenjang struktural sehingga memenuhi
persyaratan suatu pangkat atau jabatan tertentu sesuai dengan standar
yang ditentukan.
8. Kompetensi guru
Seorang guru yang ideal menurut Uzer Usman (1992) mempunyai
tugas pokok yaitu mendidik, mengajar dan melatih. Oleh karena itu
seorang guru harus memiliki kompetensi. Setidaknya ada tiga jenis
komptensi yang harus dimiliki seorang guru. Tiga kompetensi itu adalah
kompetensi personal, yaitu kemampuan yang ada pada diri gum agar
dapat mengembangkan kondisi belajar sehingga hasil belajar dapat
tercapai dengan lebih efektif. Kedua, kemampuan sosial yaitu
kemampuan guru yang realisasinya memberi manfaat bagi pemenuhan
yang diperiukan bagi masyarakat. Ketiga, kompetensi professional adalah
kemampuan yang dimiliki guru sebagai pengajar yang baik. Raka Joni
13
(1979) menyebutkan bahwa Komisi Kurikulum Bersama P3G menetapkan
dan merumuskan 10 kompetensi guru di Indonesia, yakni : 1) menguasai
bahan pelajaran, 2) mengelola program pembelajaran, 3) mengelola
kelas, 4) menggunakan media dan sumber belajar, 5) menguasai
landasan pendidikan, 6) mengelola interaksi belajar mengajar, 7) menilai
prestasi belajar, 8) mengenal fungsi dan layanan bimbingan dan
penyuluhan, 9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah,
dan 10) memahami dan menafsirkan hasil penelitian guna keperluan
pengajaran.
9. Kebijakan pembinaan guru di lingkungan Diknas
Keputusan Mendikbud nomor 0855/0/1989 memutuskan bahwa
untuk meningkatkan persyaratan minimal bagi guru SD, yaitu dari
setingkat SLTA menjadi diploma 2. Sementara itu bagi guru yang sudah
bertugas disediakan program penjenjangan Diploma dua guru SD yang
diatur dengan surat edaran Dirjen Dikdasmen nomor 4818/C/1991.
Sebagai realisasinya telah dilaksanakan enam jenis penyelenggaraan
program penyetaraan D2 guru SD yaitu:
1. program Penyetaraan D-2 guru kelas yang dibiayai dengan dana
APBN (beasiswa) dengan prioritas bagi guru SD di daerah pedesaan
2. program Penyetaraan D-2 guru pendidikan jasmani dan
kesehatan SD yang dibiayai dengn dana APBN (beasiswa).
3. program Penyetaraan D-2 guru kelas swadaya penuh untuk guru
di perkotaan.
4. Program Penyetaraan D-2 guru kelas melalui penyiaran radio
pendidikan (SRP) bagi guru di daerah terpencil, yang dibiayai oleh
Pustekkom Depdiknas dan hingga tahun 2002 ini masih berjalan di 13
propinsi.
14
5. Program Penyetaraan D-2 guru kelas secara tatap muka yang
diselenggarakan oleh LPTK.
2. Program Penyetaraan D-2 guru kelas secara tertulis yang
diselenggarakan oleh PPPG Tertulis di Bandung.
15
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) mengetahui faktor-faktor
yang dipertimbangkan dalam menentukan tujuan kebijakan tentang
peningkatan guru SD; 2) mengetahui pelaksanaan kebijakan
pengembangan kinerja guru SD di Dumai; 3) menganalisis kebutuhan
pengembangan kinerja guru tertentu akan diketahui aspek kineja guru
yang sedang dibutuhkan guru SD, aspek-aspek apakah yang
dipertimbangkan dalam menentukan tujuan mengembangkan kinerja
guru SD; 4) membuat rencana alternatif-alternatif tindakan yang
diperlukan untuk mencapai tujuan pengembangan kinerja guru; dan (5)
mengimplementasikan pengem-bangan kinerja guru maka diperlukan
evaluasi kebijakan. Apakah hasil yang diperoleh sesuai dengan
pengembangan kinerja guru.
2. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di SDIT Ath-Thaariq Muhammadiyah Dumai
pada pertengahan tahun 2009.
3. Populasi dan sampling
Populasi penelitian ini adalah guru-guru SD dan sample diambil
secara purposive sampling.
4. Instrumen penelitian
Kuesioner untuk guru dan Kepala Sekolah.
5. Analisis data
16
Data dan informasi yang diperoleh di lapangan dianalisis dengan
cara deskriptif prosentase serta diberi makna.
6. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain dapat dipergunakan sebagai
masukan dalam mengambil kebijakan tentang pengembangan kinerja
guru SD baik di tingkat pusat maupun daerah dalam tahap: 1) penentuan
tujuan kebijakan tentang peningkatan guru SD; 2) analisis kebutuhan
pengembangan kinerja guru SD yang digunakan; 3) penentuan tujuan
pengembangan kinerja guru SD; dan 4) penyusunan altematif-altematif
perangkat tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan
pengembangan kinerja guru SD.
17
BAB IV.
HASIL PENELITIAN
1. Pengembangan kinerja guru
Kinerja guru-guru SD dapat tergambar pada penampilan mereka
baik dari penampilan unjuk kemampuan akademik maupun kemampuan
profesional khususnya mengajar mata pelajaran yang sesuai dengan
keahliannya masing-masing atau sesuai dengan tugasnya sangat
ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain faktor latar belakang
pendidikan, pengalaman dan latihan.
Makin tinggi latar belakang pendidikan maka makin sesuai dengan
standar kualifikasi yang ditentukan, maka makin profesional tugas mereka
dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas.
Di samping itu guru SD dituntut untuk mengembangkankan diri
dengan berbagai latihan, makin banyak latihan maka makin banyak
tantangan untuk menyelesaikan permasalahan di sekitar kemampuan
akademik dan profesional.
Hanya sebagian kecil saja yakin berkisar pada 10% dari seluruh
responden belum mengikuti program D2 PGSD, namun demikian mereka
mempunyai niat untuk program penyetaraan D2, dan memang terbuka
buat siapapun.
Adapun biaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah, dan 30%
ditanggung oleh sendiri yang ditanggung oleh pemerintah 70% ini berarti
kebijakan pemerintah untuk mengembangkan kemampuan akademik dan
kemampuan profesional guru SD sangat nyata. Apabila setelah mereka
mampu menyelesaikan D2, maka nilai tambah baik pengetahuan maupun
metodologi dalam pengajaran dapat dirasakan.
Kemampuan guru di manapun mereka mengajar akan dapat
terlihat dalam satuan pelajaran yang dirancang dan pelaksanaan dari
18
satuan pelajaran itu sendiri. Kemampuan dalam membuat satuan
pelajaran bukan yang dapat dicapai tanpa harus belajar. Salah satu
program untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat satuan
pelajaran adalah program D2 PGSD.
Cara lain yang biasa ditempuh Guru SD terbiasa untuk mengikuti
penataran dan membaca buku-buku yang relevan dengan keahliannya.
Mereka mempunyai waktu khusus untuk mengembangkan diri sebagai
guru. Apabila mereka sulit mengatur waktu mengembangkan diri,
terobosan yang mereka pilih adalah membaca buku-buku yang relevan
dan mengikuti penataan lain yang diselenggarakan oleh sekolah maupun
pihak lain.
Untuk mengantisipasi masa depan seorang guru hendaknya
memiliki gagasan dengan memberikan berbagai saran yang dapat
meningakatkan keberhasialan program wajib belajar pendidikan dasar 9
tahun. Mereka sangat terbuka dan mereka sering kali siap mengadapi
kritik dan saran dari Kepala sekolah dan orang tua murid dan murid itu
sendiri. Di samping itu juga mereka guru-guru SD selalu melakukan
umpan balik terhadap kemampuan mereka dalam proses belajar
mengajar ataupun dalam pengelolaan kelas, meskipun masih ada yang
tidak melakukan umpan balik 30%.
Fungsi manajerial guru sangat penting artinya, karena mutu anak
didik sangat ditentukan oleh kejujuran guru dalam memberikan laporan
pada kepala sekolah. Dari data yang diperoleh dapat diinterpretasikan
sebagai berikut: pada umumnya sebagian SD di Dumai Timur telah cukup
menguasai materi yang diajarkan 40% hanya sebagian kecil saja yang
kurang menguasaiya sebagian, bahkan telah sangat menguasai materi
yang akan diajarkan di kelas.
19
Untuk materi bidang studi dalam kurikulum sebagian besar guru
menyatakan telah sangat menguasai 43% dan hanya 30% yang cukup
menguasainya; selebihnya 24% menyatakan kurang menguasai.
Dari data yang diperoleh di atas terlihat bahwa sebagian besar
guru telah cukup mempunyai pengetahuan serta keterampilan dalam
mengelola kelas, bahkan sebagian lagi menyatakan sangat menguasai
unsur-unsur proses belajar mengajar. Namun masih juga ada beberapa
guru yang kurang menguasainya. Sebagian besar guru telah cukup
menetapkan tujuan pengajaran 63%, sangat menguasai dalam
menetapkan tujuan pengajaran 13% dan 24% yang merasa kurang
menguasai dalam perumusan tujuan pengajaran, apalagi sama sekali
tidak tahu. Selanjutnya, untuk aspek pengetahuan tentang berbagai
metode mengajar, cara memilih dan menyusun prosedur pengajaran, dan
pelaksanaan PBM. Masing-masing guru yang cukup menguasai menduduki
jumlah paling banyak dibandingkan yang sangat menguasai pengolahan
program belajar mengajar, sedangkan hanya sebagian kecil saja yang
kurang menguasainya.
Dari data tersebut terlihat bahwa hanya sedikit jumlah guru yang
merasa sangat tahu anak bagaimana mengatur tata ruang kelas serta
menciptakan iklim belajar mengajar yang serasi (18%); sisanya
mengatakan cukup mengetahui (16%), kurang mengetahui (12%).
Pengatur tata ruang kelas sangat berpengaruh terhadap daya
tahan anak untuk tinggal di kelas sampai proses belajar mengajar berhasil
diselesaikan dengan baik. Tidak hanya itu saja pengaruh ruang kelas juga
sangat besar artinya untuk merangsang anak didik berpikir kreatif,
inisiatif dan produktif. Oleh karena itu tidak hanya di ruang kelas pra-
sekolah saja yang berisikan berbagai media pengajaran, melainkan di SD,
SLTP, dan SMU, sekalipun masih di perlukan media yang digambar di
ruang kelas sebagai variasi ruang.
20
Dari data yang ditayangkan di atas terlihat bahwa (35%) jumlah
guru yang merasa dapat sangat mampu dalam memilih & menggunakan
media dalam berbagai pelajaran. Cukup mampu dalam mampu untuk
membuat alat bantu pengajaran yang sederhana (70%), cukup mampu
menggunakan media dalam rangka proses belajar 35%, dan cukup
mengetahui dalam menggunakan perpustakaan dalam proses belajar
mengajar (43%).
Anak usia SD masih sangat dominan dalam menggunakan media
pembel-ajaran, karena usia SD masih berpikir transisi antara berpikir
kongkrit mengarah kepada berpikir abstrak. Untuk itu seperti yang sudah
dijelaskan pada uraian di atas bahwa media pembelajaran relevan dengan
penataan ruang. Media pembelajaran akan berbeda bentuk dan
macamnya untuk kelas yang berbeda pula.
Data di sini menunjukan bahwa (23%) guru yang menyatakan
bahwa dirinya telah sangat mengetahui cara memotivasi siswa untuk
belajar, (33%) mengenal berbagi bentuk pertanyaan, (33%) tahu dan
mampu menerapkan beberapa faktor psikologis yang mempengaruhi
proses belajar, dan (17%) serta cara-cara mengadakan pendekatan serta
berkomunikasi dengan siswa. Sisanya merasa cukup, kurang, atau bahkan
sama sekali belum tahu, dengan sebaran jumlah guru yang kira-kira
sama.
2. Pada Tahapan Kedua Pelaksanaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang kedua yaitu (1) membuat
rencana altematif tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan
pengembangan kinerja guru, yakni dengan memberikan penyuluhan
tentang bagaimana cara membuat satuan pelajaran yang ideal; (2)
evaluasi terhadap pengembangan kinerja guru khususnya dalam
membuat satuan pelajaran.
21
Berdasarkan tujuan tersebut maka dipersiapkan materi penyuluhan
berupa konseptual tentang profesionalisme guru SD, dan tentang
bagaimana cara membuat satuan pelajaran yang ideal dan dapat
diterapkan di semua jenjang sekolah termasuk di SD. Selanjutnya
dievakuasi suatu pelajaran yang telah yang dikembangkan oleh guru-guru
SDIT Ath-Thaariq Muhammadiyah Dumai.
Temuan yang dapat dibanggakan adalah semua guru-guru telah
merencanakan dengan membuat persiapan mengajar harian sebelum
mereka mengajar di kelas. Kepala Sekolah telah melakukan supervisi
dengan mengamati dan meneliti setiap persiapan mengajar harian yang
dibuat oleh setiap gurunya.
Namun demikian sebagai mana harapan kita semua bahwa proses
belajar mengajar adalah proses pendidikan yang hakiki, dan
mementingkan transformasi nilai-nilai yang dapat merubah sikap dan
kepribadian yang negatif, menjadi sikap dan kepribadian yang diharapkan
oleh bangsa dan negara. Untuk itu perlu penciptaan situasi yang kondusif
dalam PBM, sehingga ada beberapa tahapan yang patut dipertimbangkan
sebagai kritik pembangunan adalah berikut ini:
Penyusunan satuan pembelajaran sifatnya general, belum dapat
dioperasionalisasilkan secara detail di kelas (100%), sebaiknya dibedakan
mana tujuan pengajaran yang sifatnya khusus, selanjutnya belum
jalasnya langkah-langkah yang ditempuh dalam kegiatan belajar
mengajar yang dapat menumbuhkan kreasi, yakni hubungan dua arah
antara anak didik dengan guru (80%).
Hanya sedikit guru-guru yang menggunakan media pembelajaran,
atau mungkin tidak ada yang menggunakan media pembelajaran, karena
dari persiapan mengajar harian yang dikaji memang tidak ada kolom
tentang media, metode dalam PBM, sehingga dapat dikatakan 100%,
guru-guru SDIT Ath-Thaariq Dumai Timur khususnya di kelas yang
22
dijadikan sampel penelitian, yaitu kelas V, kemungkinan tidak
menggunakan media pembelajaran atau tidak menuliskannya dalam
persiapan mengajar hariannya, meskipun sebenarnya mereka
menggunakannya.
DISKUSI
Berdasarkan hasil yang diperoleh di dalam penelitian ini maka dapat
terlihat bahwa :
(1) hanya sebagian kecil saja yakni berkisar pada 10% dari seluruh
responden belum mengikuti program D2 PGSD, namun demikian mereka
mempunyai niat untuk mengikuti program penyetaraan D2, dan memang
terbuat siapapun. (2) kemampuan guru di manapun mereka mengajar
akan dapat terlihat dalam suatu pelajaran yang direncanakan dan
pelaksanaan dari suatu pelajaran yang direncanakan dan pelaksanaan
dari suatu pelajaran itu sendiri. Kemampuan dalam membuat suatu
pelajaran bukanlah kemampuan yang dapat dicapai tanpa harus belajar.
Salah satu program untuk dapat meningkatkan kemampuan yang dalam
membuat satu pelajaran adalah program D2 PGSD; (3) fungsi managerial
guru sangat penting artinya, karena mutu anak didik anak sangat
ditentukan oleh kejujuran guru dalam memberikan laporan kepala sekolah
dan penelitian guru secara prosedural dan proses pendidikan yang
sesungguhnya yang dapat mencerminkan keadaan anak didik yang
sebenarnya. (4) secara umum para guru SD di Dumai Timur telah cukup
atau sangat menguasai materi bidang studi yang diajarkannya, yaitu
hanya sedikit yang merasa kurang menguasainya. Semua guru merasa
bahwa mereka sangat menguasai mata pelajaran yang ada dalam
kurikulum 1994. Dengan demikian bagi mereka tidak ada masalah dalam
menguasai materi pembelajaran dan penguasaan semua mata pelajaran
yang sesuai dengan kurikulum 1994, yang lebih khusus lagi tentunya
23
yang relevan dengan pendidikan ilmu pengetahuan sosial; (5) secara
umum guru-guru masih ada saja yang kurang menguasai atau kurang
mempunyai kemampuan yang dapat dibanggakan dalam menetapkan
tujuan pengajaran. Meskipun relatif sedikit dibandingkan dari pada
sampel yang ada dan patut dibanggakan sebagian besar cukup
mengetahui bagaimana mereka harus merumuskan tujuan dalam belajar
mengajar. (6) dari responden yang ada masih ada guru-guru yang tidak
tahu bagaimana menggunakan metode yang tepat, yang paling
memprihatinkan adalah yang kurang memiliki kemampuan untuk memilih
prosedur pengajaran yang tepat, dan bahkan kemampuan awal siswa di
bidang tidak dijaring karena mereka kurang dapat mengenal bagaimana
cara menjaring kemampuan awal siswa. Meskipun demikian masih banyak
guru-guru yang peduli terhadap kekurangan dirinya sebagai guru
profesional, sehingga ada dari guru yang dijadikan responden mempunyai
kemampuan dalam membuat perencanaan pengajaran. Patut
dibanggakan bahwa sebagian besar dari gum mengetahui bagaimana
mengatur tata ruang kelas, iklim belajar mengajar yang serasi; (7) dalam
mata pelajaran di SD diperlukan media pembelajaran misalnya contoh-
contoh perhitungan, gambar orang sedang melakukan gerakan sholat
sehingga siswa mampu menirukan mana gerakan sholat yang benar dan
mampu menilai gerakan yang salah. Dari guru-guru yang dijadikan
responden pada umumnya cukup dapat mengenal, memilih, dan
menggunakan media pembelajaran di SD. Selanjutnya juga mereka cukup
mampu membuat sendiri alat pembelajaran yang sederhana, dan cukup
mampu untuk memanfaatkan media dalam pembelajaran, dan cukup
mengetahui dalam pemanfaatan perpustakaan dalam pembelajaran.
Berdasarkan jawaban mereka melalui kuesioner bahwa mereka
memiliki keahlian dalam membuat alat peragaan, namun dalam persiapan
mengajar harian yang menjadi fokus pada tahap 2 tidak ada kolom untuk
24
itu pembuatan suatu pelajaran pada umumnya sifatnya general dan tidak
ada kolom tentang media, dan metode dalam PBM, sehingga dapat
dikatakan 100%, guru-guru di SD Kelapa Gading Barat 02 Dumai,
kemungkinan tidak menggunakan media pembelajaran atau tidak
menuliskannya dalam Persiapan Mengajar Harian.
REFERENSI
Aman. Sofyan. 1980). Perkembangan organisasi pengurusan sekolah-
sekolah di Indonesia, Jakarta: Karunia Esa.
Bailey, Robert W. Human Ferformance Engineering (ed. 2nd). (1989).
London: Prentice-Hall, Inc.
Bassi, Laurie J. (1994) Workplace education for hourly workers. Journal of
Policy Analysis and Management, 14 (2). hal 55-74.
Bloom, Benyamin. (1976). Human Characteristics and schooling learning,
New York: McGraw-hill Book Company.Bogdan, Robert C. & Sari Knop
Bilken. (1982). Qualitative research for education: an introduction to thery
and methods, London: Allyn and Bacon, Inc.
25
Top Related