BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan
ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara cepat dan
mudah. Dan merupakan kenyataan yang tak dapat dimungkiri bahwa peradaban
manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia
seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah
kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa
merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan,
komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk
membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan
penyelamat manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya,
pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun
kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan
malapetaka bagi umat manusia itu sendiri, seperti yang terjadi di Bali dan Jakarta
baru-baru ini. Disinilah ilmu harus di letakkan proporsional dan memihak pada
nilai- nilai kebaikan dan kemanusian. Sebab, jika ilmu tidak berpihak pada nilai-
nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan
diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi
yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari si
ilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan
pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika
keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang
ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab
akademis, dan tanggung jawab moral.
Pernyataan diatas berkaitan dengan wewenang penjelajahan sains, kaitan
ilmu dengan moral, nilai yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab
sosial ilmuan telah menempatkan aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting.
Karena itu, salah satu aspek pembahasan integrasi keilmuan ialah aksiologi ilmu.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan
logos artinya teori atau ilmu. Menurut Kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah
kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai
khususnya etika. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian
yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian
yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran
dan kesucian. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata
sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang
bernilai, seperti nilainya atau nilai dia. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam
ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai. Aksiologi merupakan cabang filsafat
ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti
sesuai atau wajar. 1
Sedangkan logos yang berarti ilmu. Menurut John Sinclair, dalam lingkup
kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik,
sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang
diidamkan oleh setiap insan.
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan
utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki
manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan
estetika. Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai
dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial,
kawasan simbolik atau pun fisik material. Jadi, aksiologi adalah teori tentang
nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi :
1 Rizal Mstansyir, Filsafat Ilmu, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)., hal. 26.
2
1. Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh.2
2. Menurut Wibisono dalam Surajiyo (2009), aksiologi adalah nilai-nilai sebagai
tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan
penggalian, serta penerapan ilmu.3
3. Scheleer dan Langeveld memberikan definisi tentang aksiologi sebagai berikut.
Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori dasar
tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan deontology, yaitu
suatu teori mengenai tindakan baik secara moral.
4. Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama,
yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan penilaian
yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian filsafat
tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah
dan jelek.
5. Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang menyelediki
hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.4
B. Objek Kajian Filsafat Aksiologis
Dalam aksiologis dibicarakan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia dan juga nilai-nilai yang harus dilembagakan pada setiap
dominannya. Aksiologi pada dasarnya bersifat ide dan karena itu ia abstrak dan
tidak dapat disentuh oleh panca indra. Yang dapat ditangkap dari aspek aksiologis
adalah materi atau tingkah laku yang mengandung nilai. Karena itu nilai bukan
soal benar atau salah karena ia tidak dapat diuji . Ukurannya sangat subjektif dan
objek kajiannya adalah soal apakah suatu nilai dekehendaki atau tidak. Berbeda
dengan fakta yang juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi rasionaldapat
memaksa orang untuk menerima kebenarannya. Pengukuran benar dan salah dari
suatu fakta dapat dilakukan secara objektif dan empiris.5
Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat
manusia. Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: ”Apa manfaat (untuk 2 Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar Populer.(Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan. 1990), hal. 2343 Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. (Jakarta: Bumi Aksara.
2007), hal. 1524 Kattsoff, Unsur-Unsur Filsafat, (Yokyakarta: Tiara Wacana, 2004), hal.3195 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978 ) hal. 471-472
3
apa) ilmu bagi manusia?” (dalam psikologi, lihat juga ”The New Science of
Axiological Psychology” oleh Leon Pomeory). Dalam konteks ini, dapat
ditambahkan pertanyaan: ”Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat digunakan?”.
Dalam hal ini, persoalannya bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan. Secara
epistemologis, persoalan ini berada di luar batas pengetahuan sains. Menurut
Bertens, pertanyaan ini menyangkutetika: ”Apakah yang bisa dilakukan berkat
perkembangan ilmu pengetahuan, pada kenyataannya boleh dipraktikkan juga?”.
Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan yang dijawab oleh ilmu itu
sendiri, melainkan harus dijawab oleh manusia di balik ilmu itu. Jawabnya adalah
bahwa pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaannya, yakni sejauh ditentukan
oleh kesadaran moral manusia. Namun, jadi, sejauh mana hak kebebasan untuk
meneliti? Hal ini merupakan permasalahan yang pelik.6
Pedoman untuk menguji nilai dipengaruhi oleh psikologi maupun teori
logika. Para hedonis menemukan pedoman mengenai jumlah atu besarnya
kenikmatan yang dirasakan seseorang atau masyarakat sebagai barometer dari
sistem nilai. Kaum Idealis menjadikan sistem objektif mengenai norma-norma
rasional atau yang paling ideal sebagai kriteria. Dari berbagai corak aliran ini
maka hubungan antara nilai dan fakta dapat diselidiki melalui tiga hal. Pertama,
aliran naturalis potsitivisme yang menyatakan tidak ada kaitan antara pengalaman
manusia dengan sistem nilai. Kedua, objektifisme logis yang menyatakan bahwa
nilai merupakan esensi logis dan substnatif yang tidak ada kaitannya dengan status
atau tindakan eksistensi dalam realitas. Ketiga, aliran objektif metafisis yang
menyatakan nilai adalah norma ideal yang mengandung unsur integral objektif
dan aktif dari kenyataan metafisik.7
Dengan demikian dalam filsafat aksiologis pembicaraan utama terkait erat
dengan kaitan ilmu dan moral. Hal ini telah lama menjadi bahan pembahasan para
pemikir antara lain Merton, Popper, Russel, dan pemikira lainnya. Pertanyaan
umum yang sering muncul berkenaan dengan hal tersebut adalah : apakah itu itu
bebas dari sistem nilai ? Ataukah sebaliknya, apakah itu itu terikat pada sistem
nilai?.8
6 Magnis-Suseno, F.. Filsafat-kebudayaan-politik: Butir-butir pemikiran kritis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995).,hal.49
7 Amyo, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990).,hal. 2258 Jujun S. Suriasumantri. Op. Cit.,hal. 2
4
Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama dari
para ilmuwan. Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing punya pendirian
terhadap masalah tersebut. Kelompok pertama menghendai ilmu harus bersifat
netral terhadap sistem nilai. Menurut mereka tugas ilmuwan adalah menemukan
pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya dipergunakan untuk apa, terserah pada
yang menggunakannya, ilmuwan tidak ikut campur. Kelompok kedua sebaliknya
berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan,
sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka
kegiatan keilmuan harus berlandaskan azas-azas moral.9
Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hatihati
dengan mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S
mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut:10
1. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan
moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih
terperinci yaitu segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
2. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor
sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu
dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan.
3. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek
penelaahannya (objek ontologis / objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah
moral yang berazaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan
martabat manusia, dan tidak mencampuri masalah kehidupan.
4. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan yang
berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang
berazaskan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran,
tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi an
sich.
5. Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan
manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan /
9 Ibid., hlm. 231.10 Ibid., hlm. 15-16
5
kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan
pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal.
Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak cukup
bila hanya dibahas dari tinjauan aksilogi semata. Tinjauan ontologis dan
epistemologi diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan
dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah.
Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral.
Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bumi berputar mengelilingi matahari,
yang kemudian diperkuat oleh Galileo (1564- 1642) yang menyatakan bumi
bukan merupakan pusat tata surya yang akhirnya harus berakhir di pengadilan
inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir
di Eropa. Moral reasioning adalah proses dengan mana tingkah laku manusia,
institusi atau kebijakan dinilai apakah sesuai atau menyalahi standar moral.
Kriterianya: Logis, bukti nyata yang digunakan untuk mendukung penilaian
haruslah tepat, konsisten dengan lainnya.
Moralitas sebagai persoalan penting dalam aksiologi sering juga dipahami
sebagai etika. Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti a
system of moral principles or rules of behavior. atau suatu sistem, prinsip moral,
aturan atau cara berperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan
huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka ethics berarti the
branch of philosophy that deals with moral principles, suatu cabang filsafat yang
memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics dengan maksud plural
(jamak) berarti moral principles that govern or influence a person’s behavior.
prinsip-prinsip moral yang dipengaruhi oleh perilaku pribadi. 11
Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk
tunggal mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, adat,
akhlak, watak perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya
adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka
“etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan.12 Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah
11 Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hal. 100-101.
12 K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 4
6
“etika” yang oleh Aristoteles (384-322 SM.) sudah dipakai untuk menunjukkan
filsafat moral. Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas tentang
moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.
C. Aksiologi Nilai Kegunaan Ilmu
Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat
yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai
itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika
nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang
melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat
individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif,
apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi
tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan
berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan
mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Kenyataan yang
tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu
dan teknologi, sains dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan hidup
manusia agar lebih mudah dan nyaman.
Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan
teknologi karena itu kita tidak bisa dipungkiri peradaban manusia berhutang budi
pada sains dan teknologi. Berkat sain dan teknologi pemenuhan kebutuhan
manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Perkembangan ini baik
dibidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi telah
mempermudah kehidupan manusia.
Sejak dalam tahap-tahap pertama ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan
perang, disamping lain ilmu sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, dimana
bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan
kebutuhan manusia, namun sebaliknya manusialah yang akhirnya yang harus
menyesuaikan diri dengan teknologi.
7
Menghadapi kenyataan ini ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam
sebagai mana adanya mulai mempertanyakan hal yang bersifat seharusnya, untuk
apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan? Dimana batasnya? Kearah mana ilmu
akan berkembang? Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai
bentuk kemudahan bagi manusia.
Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari
kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang mempelajari
teknologi seperti bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai
sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga
berakibat sebaliknya, yakni membawa mausia pada penciptaan bom atom yang
menimbulkan malapetaka.
Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya
mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa
sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dihadapkan dengan masalah moral
dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para
ilmuan terbagi kedalam golongan pendapat yaitu golongan pertama yang
menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara
ontologis maupun aksiologi. Sebaliknya golongan kedua bahwa netralisasi
terhadap nilai- nilai hanyalah terbatas pada metavisis keilmuan sedangkan dalam
penggunaanya ilmu berlandaskan pada moral golongan kedua mendasarkan
pendapatnya pada beberapa hal yakni: Ilmu secara factual telah dipergunakan
secara destruktif oleh manusia yang telah dibuktikan dengan adanya dua perang
dunia yang mempergunakan teknologi- teknologi keilmuan.
Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris sehingga ilmuan telah
mengetahui apa yang mungkin terjadi apabila adanya penyalahgunaan.Ilmu dapat
mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus
revolusi genetika dan tehnik perubahan sosial. Berkenaan dengan nilai guna ilmu,
tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat
manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan
hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S. Suriasumatri
8
yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan
berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi
malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa
itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi
manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat
netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada
pemilik dalam menggunakannya.13
D. Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu
agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi
seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.
Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh
Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah
kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia.
Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita
tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu
sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi
pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk
melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk
apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat
sebagai tiga hal, yaitu:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia
pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung
suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem
kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya
mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori
filsafat ilmu.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup. Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua
teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan.
13 Masri Elmasyar Bidin, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Hukum, (Jakarta: UIN Jakarta Press) hal. 75-77
9
Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam
menjalani kehidupan.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup ini kita
menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari
pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani
lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara
menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling
rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak
terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat
mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.14
E. Kaitan Aksiologi dengan Filsafat Ilmu
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan
objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang
melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat
individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif,
apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi
tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan
berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan
mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.15
Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan
diterima oleh berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu
faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah dengan anggapan umum ialah
terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris
dengan mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis, agama dan budaya.
Seorang ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitian. Ketika
seorang ilmuan bekerja dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan
tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi
tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.16
F. Beberapa Penjelasan Aksiologi
14 Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu.( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2009), hal. 16315 Salam Burhanuddin, Logika Materil, Filsapat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka
Cipta, 1997), hal .10916 Jujun S. Suriasumantri., Op. Cit., hlm. 333.
10
1. Ilmu dan Moral
Benarkah bahwa makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan
kebenaran, makin benar maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah manusia
mempunyai penalaran tinggi, lalu makin berbudi, sebab moral mereka dilandasi
oleh anlisis yang hakiki, atau sebaliknya makin cerdas maka makin pandai pula
kita berdusta?. Masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan, maka dalam
tahap manipulasi ini masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan
pengetahuan ilmiah.
Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat realitas dari objek
yang di telaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Sokrates
minum racun, John Huss dibakar sebagai contoh betapa ilmuan memiliki landasan
moral, jika tidak ilmuan sangat mudah tergelincir dalam prostitusi intelektual.
2. Tanggung Jawab Sosial Ilmuan
Seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial di bahunya. Bukan saja
karena ia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung
dengan di masyarakat yang yang lebih penting adalah karena dia mempunyai
fungsi tertentu dalam keberlangsungan hidup manusia.
Sampai ikut bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat. Sikap sosial seorang ilmuan adalah konsisten
dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan. Sering dikatakan bahwa ilmu
itu bebas dari sistem nilai. Ilmu itu sendiri netraldan para ilmuanlah yang
memberikannya nilai.
3. Nuklir dan Pilihan Moral
Seorang ilmuan secara moral tidak akam membiarkan hasil penemuannya
dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan itu
adalah bangsanya sendiri. Seorang ilmuan tidak boleh berpangku tangan, dia
harus memilih sikap, berpihak pada kemanusiaan. Pilihan moral memang
terkadang getir sebab tidak bersifat hitam di atas putih. Seperti halnya yang terjadi
pada Albert Einstein diperintahkan untuk membuat bom atom oleh pemerintah
negaranya.
11
Seorang ilmuan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuannya, apapun
juga bentuknya dari masyarakat luas serta apapun juga konsekuensi yang akan
terjadi dari penemuannya itu. Seorang ilmuan tidak boleh memutar balikkan
temuannya jika hipotesis yang dijunjung tinggi tersusun atas kerangkan pemikiran
yang terpengaruh preferensi moral ternyata hancur berantakan karena
bertentangan dengan fakta-fakta pengujian
4. Revolusi Genetik
Revolusi Genetik merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuwan
manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek
penelaah itu sendiri. Hal ini buka berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada
penelaahan ilmiah yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu saja banyak sekali,
namun penelaahan-penelaahan itu dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan
teknologi.
Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak
lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi
yang memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang
menjadi objek penelaah yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang
memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu
sendiri. Pembahasan ini berdasarkan kepada asumsi bahwa penemuan dalam riset
genetika akan dipergunakan dengan itikad baik untuk keluhuruan manusia.17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
17 Ibid., hlm. 230-236.
12
Jika Ilmu Pengetahuan Tertentu dikaji dari ketiga aspek (ontologi,
epistemologi dan aksiologi), maka perlu mempelajari esensi atau hakikat yaitu inti
atau hal yang pokok atau intisari atau dasar atau kenyataan yang benar dari ilmu
tersebut.Contohnya :Membangun Filsafat Teknologi Pendidikan perlu menelusuri
dari aspek : Ontologi eksistensi (keberadaan) dan essensi (keberartian) ilmu-lmu
Teknologi Pendidikan.Epistemologi metode yang digunakan untuk membuktikan
kebenaran ilmu-ilmu Teknologi Pendidikan.Aksiologi manfaat dari ilmu
Teknologi Pendidikan. Ilmu menghasilkan teknologi yang akan diterapkan pada
masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi berkah dan penyelamat
bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia. Disinilah
pemanfaatan pengetahuan dan teknologi harus diperhatikan sebaik-baiknya.
Dalam filsafat penerapan teknologi meninjaunya dari segi aksiologi keilmuwan
Ilmu memiliki fungsi yang bersifat estetik, yang kalau kita konsumsikan
dengan baik, memberikan kenikmatan batiniah atau kepuasan jiwa. Jiwa kita
tergetar, terharu, tersenyum oleh komunikasi aristik, menyebabkan dunia makna
yang tak terjangkau kasat mata. Jiwa kita bertambah kaya, persepsi kita bertambah
dewasa, yang selanjutnya akan mengubah sikap dan kelakuan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2009.
13
Amyo, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990.
Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar Populer.Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. 1990.
K. Bertens, Etika Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Kattsoff, Unsur-Unsur Filsafat, Yokyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Magnis-Suseno, F.. Filsafat-kebudayaan-politik: Butir-butir pemikiran
kritis ,Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Masri Elmasyar Bidin, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Hukum, Jakarta: UIN
Jakarta Press.
Rizal Mstansyir, Filsafat Ilmu, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Salam Burhanuddin, Logika Materil, Filsapat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Reneka
Cipta, 1997.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1978
Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi
Aksara. 2007.
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
14
Top Related