BAB I
PENDAHULUAN
Manusia dalam hidup di dunia ini mempunyai dua macam
akhlak/perilaku/tingkah laku, ada akhlak terpuji dan ada juga yang tercela.
Akhlak yang terpuji akan berdampak positif pada pelakunya begitu juga akhlak
tercela yang akan membawa dampak negatif.
Membahas dan menghilangkan sifat-sifat tercela ini bagi mahasiswa
maupun di kalangan masyarakat umum sangatlah penting, karena dengan kita
mengetahui sifat-sifat ini kita dapat menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal
tersebut. Ini termasuk usaha tahliyyah mengosongkan/membersihkan diri dan jiwa
lebih dahulu sebelum diisi dengan sifat-sifat terpuji. Sifat tercela ini adalah
terjemahan dari pada bahasa arab “sifahul mazmumah”, artinya sifat-sifat yang
tidak baik yang tidak membawa seseorang manusia kepada pekerjaan-pekerjaan
atau akibat-akibat yang membinasakan.
Imam Ghazali menyebut sifat-sifat tercela ini dengan sifat-sifat muhkilat,
yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan,
sifat-sifat yang tercela ini beliau sebut juga sebagai suatu kehinaan. Pada dasarnya
sifat-sifat yang tercela dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu maksiat lahir dan
maksiat batin.
Maksiat lahir adalah segala sifat yang tercela yang dikerjakan oleh
anggota lahir seperti mulut, tangan, mata dan lain-lain. Sedangkan maksiat batin
adalah segala sifat yang tercela yang diperbuat oleh anggota batin, yaitu hati.1
Agama Islam mengajarkan hal-hal yang baik dalam segala aspek
kehidupan manusia, Islam adalah ajaran yang benar untuk memperbaiki manusia
dalam membentuk akhlaknya demi mencapai kehidupan yang mulia baik di dunia
maupun di akhirat.
BAB II
1Asmaran AS, Pengantar Study Ahlaq, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 183
1
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akhlak Buruk/Akhlak Tercela
Akhlak Madzmumah adalah perbuatan yang tercela yang dapat merugikan
dirinya sendiri dan orang lain, atau perangai yang tercermin dari tutur kata,
tingkah laku dan sikap yang tidak baik. Akhlak yang tidak baik, itu bisa
dibaca/dilihat dari gerak-gerik yang tidak baik, tidak baik dan ujung-ujungnya
merugikan orang lain. Tiang dari akhlak tercela itu adalah ”Nafsu Jahat”.
Dengan demikian, akhlak (perilaku) tercela adalah semua sikap dan
perbuatan yang dilarang oleh Allah, karena akan mendatangkan kerugian baik
bagi pelakunya ataupun orang lain.
Adapun macam-macam akhlak yang buruk atau tercela yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
1. Buruk Sangka (Suuzhan)
Buruk sangka adalah merupakan suatu perbuatan yang timbulnya dari
lidah, tidak ada buruk sangka terhadap seseorang, jika lidah tidak
bicara/mengata-ngatai.
Sesungguhnya prasangka buruk terhadap seorang muslim disertai
fakta yang benar merupakan kendaraan melalui jalan yang kasar dan aib, serta
dapat menjadi wabah kemadlaratan bagi masyarakat Islam. Prasangka buruk
bukanlah suatu dosa bila hanya bisikan hati sesaat dalam jiwa manusia.2
Prasangka dihasilkan dari perbuatan dan perkataan seseorang atau
gerak gerik orang yang mendapat tuduhan tertentu dari orang lain. Biasanya
prasangka timbul bila seseorang berada dalam situasi yang sulit. Secara
psikologis prasangka dapat melahirkan kecenderungan hati untuk menuduh
orang lain yang menganggap jelek diri kita. Oleh karena itu Nabi bersabda :
2Al-Ghazali, Bahaya Lidah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 21.
2
الله رسول اّن عنه، الله رضي ابىهريرة حديث
: ِإ�ّن� �َف َو�الَّظ�َّن� �ي�اُك#ْم! ا قال َوسلْم عليه صلىالله
} البخارى } رَواه د�ي!ث� �ال!َح ا�ُك!َذ�ُب# الَّظ�َّن�“Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : hendaklah kamu menjauhkan dari sangkaan”, karena sesungguhnya sangkaan itu omongan yang paling berdusta”. (HR. Bukhari).3
Sering kita melihat orang yang menuduh orang lain jelek, dan
berusaha untuk mengintai orang lain tanpa hak, setelah meneliti dan
menemukan suatu kesimpulan dia berghibah (membicarakan kejelekan)
terhadap saudaranya yang muslim. Orang yang berbuat seperti itu sama saja
dengan melakukan tiga dosa, yaitu dosa karena berprasangka, dosa dari
menyelidiki kejelekan orang lain, dan dosa dari membicarakan kejelekan
orang lain. Begitulah prasangka jelek itu akan menarik manusia berbuat dosa
lebih banyak. Oleh karena itu Allah SWT melarang attjassus “mengintip-
intip” dan ghibah. Setelah melarang suudzan “buruk sangka” sebagai
peringatan terhadap orang Islam agar tidak menempatkan diri pada posisi
yang menjurus kepada suudzan terhadap orang muslim yang adil dan terjaga
dari perbuatan dosa.4
Tidak semua jenis ghibah dilarang dalam agama. Ada beberapa jenis
ghibah yang diperbolehkan yaitu yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan
yang benar dan tidak mungkin tercapai kecuali dengan ghibah. Ada enam
jenis ghibah yang diperbolehkan, yaitu:5
a. Orang yang terdzolimi mengadukan kedzoliman yang dilakukan orang
lain kepada penguasa atau hakim yang berkuasa yang memiliki kekuatan
3Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, Terj. Ahmad Sunarto, (Jakarta: Pustaka Imani, 1999), hlm. 190
4Hasan Ayyub, Etika Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1994), hlm. 124 5http://www.google.co.id/search?q=abu+huroiroh+tentang+ghibah+dan+buhtan&ie=utf-
8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-GB:official&client=firefox-a, diakses tanggal 2o Oktober 2012 jam 13.30
3
untuk mengadili perbuatan tersebut. Sehingga diperbolehkan
mengatakan,”Si Fulan telah mendzalimi diriku” atau “Dia telah berbuat
demikian kepadaku.”
b. Meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran dan
mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran. Maka seseorang
diperbolehkan mengatakan, “Fulan telah berbuat demikian maka cegahlah
dia!”
c. Meminta fatwa kepada mufti (pemberi fatwa) dengan mengatakan: ”Si
Fulan telah mendzolimi diriku, apa yang pantas ia peroleh? Dan apa yang
harus saya perbuat agar terbebas darinya dan mampu mencegah perbuatan
buruknya kepadaku?”
Atau ungkapan semisalnya, Hal ini diperbolehkan karena ada
kebutuhan. Dan yang lebih baik hendaknya pertanyaan tersebut diungkapkan
dengan ungkapan global, contohnya: “Seseorang telah berbuat demikian
kepadaku” atau “Seorang suami telah berbuat dzolim kepada istrinya” atau
“Seorang anak telah berbuat demikian” dan sebagainya. Meskipun demkian
menyebut nama seseorang tertentu diperbolehkan, sebagaimana hadits Hindun
ketika beliau mengadukan (suaminya) kepada Rasulullah saw, “Sesungguhnya
Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit.”
a. Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan, contohnya
memperingatkan kaum muslimin dari perawi-perawi cacat supaya tidak
diambil hadits ataupun persaksian darinya, memperingatkan dari para
penulis buku (yang penuh syubhat). Menyebutkan kejelekan mereka
diperbolehkan secara ijma’ bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib
demi menjaga kemurnian syari’at.
b. Ghibah terhadap orang yang melakukan kefasikan atau bid’ah secara
terang-terangan, seperti menggunjing orang yang suka minum minuman
keras, dan perbuatan maksiat lainnya. Diperbolehkan menyebutkannya
dalam rangka menghindarkan masyarakat dari kejelekannya.
4
c. Menyebut identitas seseorang yaitu ketika seseorang telah masyhur
dengan gelar tersebut. Seperti si buta, si pincang, si buta lagi pendek, si
buta sebelah, si buntung maka diperbolehkan menyebutkan nama-nama
tersebut sebagai identitas diri seseorang. Hukumnya haram jika digunakan
untuk mencela dan menyebut kekurangan orang lain. Namun lebih baik
jika tetap menggunakan kata yang baik sebagai panggilan. (Syarhun
Nawawi ‘ala Muslim, Hal.400).
2. Takabur dan Tahasud
عَّن عنه الله رضي مسعود بَّن عبدالله َوعَّن
: �ن�َة �ال!َج ُل# َال�ي�د!ُخ# قال َوسلْم عليه صلىالله النبي
{ رَواه ُك�ب!ر9 م�َّن! ة9 َذ�ر� �ال �ْث!َق م� ل!ب�ه� �َفىَق ُكاّن مَّن
مسلْم{“Dari Abdillah ibn Mas’ud r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda : tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong, walaupun hanya sebesar atom”. (HR. Muslim).6
Takabur artinya : sombong, congkak atau merasa dirinya lebih tinggi
dari orang lain, baik kedudukan, keturunan, kebagusan, petunjuk, dan lain-
lain.
Takabur itu terbagi atas 2 macam yaitu:
d. Takabur batin : yang merupakan pekerti di dalam hati
e. Takabur lahir : yang merupakan kelakuan-kelakuan yang keluar dari
anggota badan, kelakuan-kelakuan ini amat banyak sekali bentuknya dan
oleh karena itu sukar untuk dihitung dan diperinci satu persatu.
Jelasnya ialah orang yang menghinakan saudaranya sesama muslim
melihatnya dengan mata ejekan, menganggap bahwa dirinya lebih baik dari
yang lain, suka menolak kebenaran, sedangkan ia telah mengetahui bahwa
itulah yang sesungguhnya benar, maka jelaslah bahwa orang tersebut
6Imam Nawawi, Op.cit., hlm. 576
5
dihinggapi penyakit kesombongan dan mengabaikan hak-hak Allah, tidak
mentaati apa yang diperintahkan olehnya serta melawan benar-benar pada zat
yang maha kuasa.
Takabur itu hukumnya haram, kecuali pada 2 tempat:7
a. Sombong terhadap orang yang sombong
b. Sombong diwaktu peperangan terhadap orang-orang kafir.
Tahasud
: رسول قال قال عنه الله رضي هريرة ابى عَّن
: ِإ�ّن� �َف �د �س �ال!َح �َو �ي�اُك#ْم! ا َوسلْم عليه صلىالله الله
�َط�َب �ال!َح الن�ار# ُك#ُل# اَت�اْء! �ُك�َم ن�اِت� �س �الَح ُكُل ياْء �د �س � ال!َح
} ابودَود} اُخرجه
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasul bersabda takutlah kamu terhadap akibat hasud, sebab hasud itu dapat memakan (menghilangkan) semua kebaikan, seperti makannya api terhadap kayu bakar.8
Hasud adalah al-munafasah “bersaing”. Perbuatan hasud ini tidak
terjadi kecuali karena suatu nikmat yang diberikan Allah kepada seseorang,
barang siapa yang membenci nikmat dan menginginkan hilangnya nikmat dari
saudaranya Muslim maka orang itu termasuk orang yang hasud. Oleh karena
itu definisi hasud adalah membenci nikmat yang diberikan Allah kepada
orang lain dan menginginkan hilangnya nikmat itu, sekalipun dengan cara
memberi kuasa kepada orang lain untuk menghilangkan nikmat itu.9
3. Membuka aib orang lain
الله رسول اّن عنه الله رضي هريرة ابى َوعَّن
الله# : قالوا ال!ِغ�ي!ب�َة#؟ �م �َو!ّن �َت�د!ر# ا قال َوسلْم عليه صلىالله
: ��ي!َت ا �ر �ا�َف �ال �ق ه# �اي�ْك!ر �ب�َم �اَك �ا�ُخ �َك َذ�ُك!ر# قال اعلْم# ل#ه# و! س# � َو�ر
7Anwar Mas’ari, Ahlaq al-Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm. 210 8Bulughul Maram, hlm. 761 9Hasan Ayyub, Op.cit., hlm. 113
6
: و!ل# اَت�َق# �م ي!ه� َف� �ُك�اّن ا�ّن! �ال �ق ، و!ل# اا�ق# �م ىا�ُخ�ى َف� �ُك�اّن � ا�ّن
{ . رَواه َّت�ه# �ب�ه د! �َق �َف و!ل# اَت�َق# �م ي!ه� َف� ي�ْك#َّن! ل�ْم! ا�ّن! �َو د�اْغ!َّت�ب!َّت�ه#، �َق � َف
مسلْم{
Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah SAW bertanya : “Tahukah kamu sekalian, apakah menggunjing itu? Para sahabat berkata: Allah dan Rasulnya lebih mengetahui, beliau bersabda : “Yaitu bila kamu menceritakan keadaan saudaramu yang ia tidak menyenanginya. Ada seorang sahabat bertanya : bagaimana seandainya saya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada saudaramu itu maka berarti kamu telah menggunjingnya tidak terjadi pada saudaramu, maka kamu benar-benar membohongkannya” (Riwayat Muslim).10
Ghibah/menggunjing adalah merupakan suatu perbuatan tercela yang
timbulnya dari lidah. Ghibah dengan buruk sangka adalah suatu perbuatan
yang hampir-hampir sama, hanya ada perbedaannya sedikit.
Ghibah (menggunjing) membicarakan kejelekan orang dibelakang
orangnya.
Buruk sangka suatu anggapan tentang orang lain yang boleh jadi
benar/salah dengan berdasarkan data-data yang jauh sekali dari kebenaran.
Buruk sangka terhadap seseorang sangatlah dicela oleh Islam. Sebab hal ini
bisa mengakibatkan pertumpahan darah, karena itu Islam menyuruh menjauhi
sifat tersebut.
Buruk sangka dikatakan perkataan dusta karena dua hal : benarnya
belum tentu, sedang salah lebih besar dan pasti. Seperti halnya Ghibah,
keduanya mencemarkan kehormatan seseorang yang ditimpa buruk sangka.
Humazah yakni mengumpat orang yang menusuk perasaan
seseorang, melukai hati dan memburuk-burukkan orang lain.
Lumazah penggunjing yang suka daging sesama manusia
disebabkan gemar mengumpat.11
10Imam Nawawi, Op.cit., hlm 393 11Al-Ghazali, Op.cit., hlm. 64
7
4. Boros
الله رضي دMه� �ج عَّن �ب�ي!ه� ا عَّن ع�ي!َب9 ُش# َوبَّن ع�َم!ر� َوعَّن
: ُك#ُل! َوسلْم عليه صلىالله الله رسول قال قال عنهْم
. ي!ل�َة9 َح� �م �َو�َال ٍف9 �ر �س ْغ�ي!ر� َف�ى د�ْق! �َت�َص �َو ال!ب�ْس! �َو ُب! �ر َو�اُش!
} ارّي} �ل�ل!ب#خ ه# �َوعل�َق َواحَمد، ابودَود اُخرجه
Dari Amr Putra Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata : bersabda Rasulullah SAW, makan, minum, dan berpakaianlah serta bersedekahanlah dengan tidak lebih berlebihan dan bukan tujuan sombong”. (Hadits dikeluarkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ahmad). Imam Bukhari menyatakan ta’liqnya.12
Pada hakikat sesungguhnya harta benda itu adalah merupakan nikmat
yang besar dari Allah SWT. Karena itu berlaku boros dan berroyal dengan
harta itu hukumnya haram sebab ada nash yang mencegah hal itu. Demikian
juga dihukumi dengan haram kikir membelanjakan harta benda; sebaik-baik
penggunaan harta yaitu secara pertengahan dan sedang-sedang, tidak berlebih-
lebihan dan berlaku kikir.
Boros/royal terhadap benda yaitu penggunaan harta benda secara
berlebihan tanpa ada manfaatnya baik untuk kepentingan duniawi maupun
kepentingan ukhrawi, sehingga kemanfaatan harta itu menjadi sia-sia dan
tidak memberikan manfaat, misalnya membuang harta ke dalam lautan /
membakarnya ke dalam api, tidak memetik buah-buahan yang telah masak di
pohon sehingga ia menjadi busuk / rusak dan tidak bisa diambil
kemanfaatannya.13
12Bulughul Maram, hal. 13Anwar Mas’ary, Op.cit., hlm. 228
8
B. Faktor-faktor Penyebab Buruknya Akhlak
Akhlak, memiliki sebab-sebab yang dapat menjadikannya tinggi dan
mulia, dan sebaliknya juga mempunyai sebab-sebab yang dapat menjadikannya
merosot dan jatuh ke dalam keterpurukan., di antaranya yaitu :
1. Lemah Iman
Lemahnya iman merupakan petanda dari kerendahan dan rusaknya
moral, ini disebabkan kerana iman merupakan kekuatan (untuk membina
akhlak) dalam kehidupan seseorang.
Iman seseorang merupakan pedoman dan pegangan yang terbaik bagi
manusia dalam rangka mengarungi hidup dan kehidupan ini. Iman menjadi
sumber pendidikan paling luhur, mendidik akhlak karakter dapat mengatur
keseimbangan yang harmonis tersebut manusia dapat mengatur keseimbangan
yang harmonis antara rohani dan jasmani. Iman yang baik akan dpat
menimbulkan/membuahkan akhlak yang baik.14
Banyak juga orang berpendapat bahwa suasana keagamaan tergantung
pada ruang dan waktunya, artinya iman itu bisa bertambah dan berkurang
dalam menghadapi ujian dan godaan, dia tetap menjadi pedoman hidup yang
sekali-sekali tidak boleh ditinggalkan dalam ajaran Islam yaitu yang dikenal
dengan adanya Rukun Islam. Dengan adanya Rukun Islam tersebut, serta
meyakini terhadap apa-apa yang terkandung dalam Rukun Islam itu sendiri.
Dengan kata lain bahwa kita percaya kepada yang terkandung di dalamnya.
Semuanya ini akan membuahkan akhlak bagi seseorang jika ia benar-benar
mempercayainya dengan sepenuh hatinya, dan tidak ada lagi keraguan
padanya maka iman itu otomatis akan membuahkan akhlak yang terpuji,
dengan sabat dan syukur.15
2. Tabiat/ watak asli14Rusydi Hamka, Etos Iman, Ilmu dan Amal Dalam Gerakan Islam, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1986), hlm. 62. 15Ibid.,
9
Ada sebagian orang yang memang memiliki tabi'at/watak asli yang
buruk, rendah, suka iri dan dengki terhadap orang lain. Tabi'at ini lebih
mendominasi pada diri orang tersebut, sehingga terkadang pendidikan yang
diperolehnya sama sekali tidak mempengaruhi perilakunya.
Setiap kelakuan manusia lahir dari suatu kehendak yang digerakkan
oleh naluri (instink). Naluri merupakan tabiat yang di bawa manusia sejak
lahir. Jadi merupakan suatu pembawaan asli. Dalam bahasa Arab disebut
“garizah” atau fitrah” dan dalam bahasa Inggris disebut instink.16
Pada dasarnya manusia memiliki tiga dorongan nafsu pokok yang
dalam hal ini disebut juga naluri yaitu:17
a. Dorongan nafsu (naluri) mempertahankan diri.
b. Dorongan nafsu (naluri) mengembangkan diri.
c. Doronan nafsu (naluri)
mengembangkan/mempertahankan jenis.
Dengan dimilikinya ketiga naluri pokok itu, maka kebiasaan-kebiasaan
ataupun tindakan-tindakan dan tingkah laku manusia yang diperbuatnya
sehari-hari mendapat dorongan atau digerakkan oleh ketiga naluri tersebut,
oleh karena itu, menurut teori ini, untuk memotivasi seseorang harus
berdasarkan naluri mana yang akan dituju dan akan dikembangkan.
3. Lingkungan
Lingkungan memberikan dampak yang sangat kuat bagi perilaku
seseorang, karena seperti dikatakan pepatah bahwa seseorang adalah anak
lingkungannya. Kalau dia hidup dan terdidik dalam lingkungan yang tidak
mengenal makna adab dan akhlak serta tidak tahu tujuan hidup yang mulia,
maka akhlaknya akan rusak sebagai mana hasil didikan lingkungannya.
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu bersama manusia lain dan
selalu membutuhkan oang lain dan tingkah lakunya selalu berhubungan 16Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoroe, 1983), hlm 57-58.17M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm.
75.
10
dengan orang lain, dan manusia tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya (orang
lain). Adapun faktor yang berhubungan antara manusia dengan manusia
lainnya ini disebut dengan lingkungan sosial. Hubungan tersebut dapat
berbentuk hubungan antara individu dengan individu lain.
Hubungan juga dapat berlangsung dalam situasi kekeluargaan di
rumah, situasi di sekolah, lingkungan masyarakat dan lain-lain.
Perkembangan dan perilaku individu dipengaruhi oleh lingkungan
ekonomi yaitu lingkungan yang berkenaan dengan cara manusia mengatur dan
memenuhi kebutuhan hidupnya terutama kebutuhan sandang, papan dan
pangan, serta kebutuhan yang lain.18
Dengan demikian baik usaha ataupun perbuatan manusia, lingkungan
akan sangat berpengaruh sekali. Seperti halnya dengan orang-orang yang
tinggal di lingkungan yang tidak baik, sedikit banyaknya akan terpengaruh
baik itu terhadap lingkungan maupun masyarakat di sekitarnya. Begitu juga
halnya dengan cara pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, seperti orang
yang tinggal di daerah yang cuacanya baik untuk tanaman-tanaman sayur-
sayuran, maka profesinya juga akan disesuaikan dengan iklim di daerah
tersebut.
C. Dampak Akhlak Buruk
Adapun bahaya yang ditimbulkan oleh maksiat atau perbuatan dosa itu
seperti di sebutkan oleh Ibnu Qoyyim rahimullah, sebagai berikut:19
1. Terhalangnya ilmu agama karena ilmu itu cahaya yang diberikan Allah di
dalam hati, dan maksiat mematikan itu.
2. Terhalangnya rezeki, seperti dalam hadits riwayat Imam Ahmad, "Seorang
hamba bisa terhalang rezekinya karena dosa yang menimpanya."
18Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 97 – 98.
19www.dakwatuna.com
11
3. Perasaan alienasi pada diri si pendosa yang tiada tandingannya dan tiada
terasa kelezatan.
4. Kegelapan yang dialami oleh tukang maksiat di dalam hatinya seperti
perasaan di kegelapan malam.
5. Terhalangnya ketaatan.
6. Maksiat memperpendek umur dan menghapus keberkahannya.
7. Maksiat akan melahirkan maksiat lain lagi, demikian kata ulama salaf: Hukum
kejahatan adalah kejahatan lagi sebagaimana kebaikan akan melahirkan
kebaikan lagi.
8. Orang yang melakukan dosa akan terus berjalan ke dalam dosanya sampai dia
merasa dirinya hina. Itu pertanda-tanda kehancuran.
9. Kemaksiatan menyebabkan kehinaan. Dan kebaikan melahirkan kebanggaan
dan kejayaan.
10. Maksiat merusak akal, sedang kebaikan membangun akal.
D. Upaya Menanggulangi Akhlak yang Buruk
Dalam rangka menciptakan akhlak yang baik haruslah disertai dengan
iman dan ilmu karena ini adalah merupakan dasar dalam pembentukan akhlak
yang baik. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah yang menyebutkan bahwa
sebaik-baiknya, pembantu iman adalah ilmu. Maksudnya adalah ketika seseorang
berhasrat meneguhkan imannya maka jalannya adalah ilmu. Bahkan dengan sebab
ilmu pulalah sebenarnya seseorang dapat menemukan Tuhannya. Singkatnya,
ilmu merupakan modalitas utama menggapai keimanan yang sempurna atau
haqqul yakin. Karena tidak akan tercipta keyakinan dalam iman jika tidak disertai
ilmu.20
Suara hati berperan untuk memperingatkan manusia dari perbuatan buruk
dan berusaha mencegahnya. Jika seseorang terjerumus melakukan keburukan,
hatinya merasa tidak senang/menyesal dan ia memberikan isyarat untuk
20Yani http//aula hikmah wordpress.com/2007/12/16/rantai iman-ilmu-akal lemah lembut.
12
mencegah dari keburukan yang merupakan kekuatan yang mendorong manusia
melakukan perbuatan yang baik. Jika seseorang berhasil melaksanakan yang baik
dari panggilan hatinya, maka merasa gembira dan puaslah karena dia merasa
menemukan kemuliaan. Ahli etika berpendapat bahwa suara hati itu sering
mengingatkan manusia dari kehidupan yang membahayakan dirinya.
Maka hubungan antara akhlak dengan ilmu sangat erat, hal tersebut
disebabkan mempunyai titik pangkal yang sama yaitu hati nurani. Jadi keduanya
merupakan gambaran jiwa sanubari yang bersifat kejiwaan.
Manusia terdiri dari jasmani dan rohani, yang mana aspek tersebut
memiliki kebutuhannya masing-masing. Pada aspek rohani (spiritual) ada banyak
faktor yang berpengaruh dalam pembentukan akhlak, seperti suara hati, perasaan,
instink, ‘azam dan iradah. Menmurut sebagian ahli bahwa akhlak tidak perlu
dibentuk, karena akhlak adalah instink yang dibawa manusia sejak lahir. Akan
tetapi ada juga yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan,
latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh. Kelompok yang
mendukung pendapat yang ini umumnya datang dari ulama-ulama Islam yang
cenderung pada akhlak. Seperti ibnu Sina, al-Ghazali yang termasuk mengatakan
bahwa akhlak adalah hasil usaha.21
Pada kenyataannya di lapangan, usaha-usaha pembinaan akhlak melalui
berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus
dikembangkan. Ini menunjukkkan bahwa akhlak memang perlu dibina, dan
pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi
muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada
orangtua, dan sayang kepada sesama makhluk. Karena itu jugalah adanya
pengaruh aneka spiritual dalam pembentukan akhlak.
Akhlak merupakan perilaku yang tampak terlihat dengan jelas, baik dalam
kata-kata maupun perbuatan yang dimotivasi oleh dorongan karena Allah. Namun
demikian, banyak pula aspek yang berkaitan dengan sifat batin ataupun pikiran
21Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 156-158.
13
seperti akhlak diniyah yang berkaitan dengan berbagai aspek yaitu pola perilaku
kepada Allah, sesama manusia, dan pola perilaku kepada alam.22
Seperti melaksanakan ibadah, seperti puasa, kalau salah satu dari kondisi
spiritual itu tidak ada, maka ibadah puasa tersebut tidak akan terlaksana,
meskipun terlaksana tapi akan terasa tidak sempurna, tapi kalau kondisi spiritual
itu menyatu maka ibadah puasa tersebut akan terlaksana dengan baik dan
sempurna.
Jika spiritualnya seseorang itu baik, maka ia menjadi orang yang paling
cerdas dalam kehidupannya. Untuk itu yang terbaik bagi kita adalah memperbaiki
hubungan kita kepada Allah, yaitu menguatkan sandaran vertikal kita dengan cara
memperbesar taqwa dan menyempurnakan tawakkal serta memurnikan
pengabdian kepada-Nya.
Dalam pengendalian ini peran akal dan ketenangan batin termasuk hal
yang paling utama. Ada beberapa hal yang Insya Allah bermanfaat untuk
mengendalikan emosi diri seseorang, yaitu:23
1. Bersikap tenang.
Orang yang bisa mengendalikan emosi dalam jiwanya adalah orang
yang bersikap tenang. Karena orang yang tidak tenang tidak mempunyai
pikiran yang jernih. Hanya dengan sikap tenanglah seseorang akan bisa
mencari jalan ke luar dari berbagai macam permasalahan.
2. Berpikir sebelum bertindak.
Kita harus berpikir terlebih dahulu terhadap apa yang akan kita
kerjakan itu mendatangkan akibat yang baik, maka kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh dan maka tidak tinggalkan jauh-jauh.
3. Memperlakukan orang lain seperti memperlakukan diri
sendiri.
22Damanhuri Basyir, Ilmu Tasawuf, (Banda Aceh: Pena, 2005), hlm. 56. 23Danah Zohar, SC Spiritual Capital, (Bandung: Mizan Media Utama, 2005), hlm. 118-20.
14
Salah satu tanda orang yang memiliki tingkat emosi yang baik apabila
ia bisa memperlakukan orang lain sebagaimana ia memperlakukan dirinya
sendiri. Karena yang diinginkan seseorang adalah agar dirinyadiperlakukan
dengan baik.
4. Sabar.
Sabar adalah menerima apa yang datangnya dari Allah apa adanya,
yaitu tidak berlebihan dan tidak dikuranginya. Dalam artian ketika kita
diperintahkan dengan suatu perintah, maka kita harus melaksanakannya
dengan ikhlas, dan kita dilarang dengan suatu larangan maka kita tidak
melanggar apa yang dilarang-Nya dengan ikhlas. Begitu juga apabila kita diuji
dengan sesuatu ujian, maka kita harus menerimanya dengan ikhlas.
5. Menundukkan hawa nafsu.
Sesungguhnya nafsu yang ada dalam diri kita/manusia ketika belum
tunduk kepada kebenaran maka ia akan mendorong manusia berbuat jahat.
Adapun hal yang bisa menundukkan hawa nafsu, yaitu:
a. Berpegang teguh pada kebenaran.
b. Mendirikan shalat.
c. Puasa.
15
BAB III
KESIMPULAN
Akhlak tercela dalam Islam sangat membahayakan dalam pergaulan
sehari-hari. Jadi sia-sialah segala amal kebaikan apabila penyakit hati berada
dalam hati kita dan akan mengganggu pula ketenangan jiwa kita. Oleh sebab itu
apabila penyakit hati sudah mulai bersarang dan berkembang di dalam hati
segeralah diobati dengan jalan zuhud (tidak tertarik dan mementingkan kepada
keduniawian).
Manusia yang mulia bukanlah yang banyak harta bendanya, tinggi
kedudukannya, tampan rupanya ataupun keturunan bangsawan, akan tetapi yang
terpuji akhlaknya. Baik akhlak terhadap Allah swt. maupun akhlak terhadap
sesama manusia.
Kunci akhlak yang baik adalah dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih
adalah hati yang selalu mendapatkan cahaya dan sinar dari Allah SWT. Dengan
sinar itu, hati akan dapat melihat dengan jelas mana akhlak yang baik dan mana
akhlak yang buruk. Mana perbuatan terpuji dan mana perbuatan yang tercela.
Maka dari itu kita harus selalu berdoa kepada Allah SWT agar hati kita selalu
mendapatkan cahaya dari-Nya.
16
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Ghazali. Bahaya Lidah, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.
AS, Asmaran. Pengantar Study Ahlaq, Jakarta: Rajawali Pers, 1992.
Ayyub, Hasan. Etika Islam, Bandung: Trigenda Karya, 1994.
Basyir, Damanhuri. Ilmu Tasawuf, Banda Aceh: Pena, 2005.
Bulughul Maram.
Hamka, Rusydi. Etos Iman, Ilmu dan Amal Dalam Gerakan Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
http://www.google.co.id/search?q=abu+huroiroh+tentang+ghibah+dan+buhtan&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-GB:official&client=firefox-a, diakses tanggal 2o Oktober 2012 jam 13.30
Mas’ari, Anwar. Ahlaq al-Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu, 1990.
Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.
Nawawi, Imam. Riyadhus Shalihin, Terj. Ahmad Sunarto, Jakarta: Pustaka Imani, 1999.
Purwanto, M. Ngalim. Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
www.dakwatuna.com
Ya’qub, Hamzah. Etika Islam, Bandung: Diponegoroe, 1983.
Yani http//aula hikmah wordpress.com/2007/12/16/rantai iman-ilmu-akal lemah lembut.
17
Zohar, Danah. SC Spiritual Capital, Bandung: Mizan Media Utama, 2005.
18
Top Related