111
7 ANALISIS KONDISI SOSIAL EKONOMI NELAYAN
DAN PERAN KELEMBAGAAN
7.1 Pendahuluan
Secara umum masyarakat dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari
bersosialisasi antar sesama penghuni suatu wilayah atau tempat tinggal terkecil
yaitu desa. Dalam kehidupan bersosial, tidak tertutup kemungkinan terjadi
konflik. Sebuah konflik atau pertentangan yang terjadi dalam masyarakat
dianggap sebuah atau sebagai suatu yang tidak fungsional.
Sejak manusia mengenal adanya suatu bentuk kehidupan bersama dalam
bentuk organisasi sosial, lapisan-lapisan masyarakat mulai timbul. Pada
masyarakat dengan kehidupan yang masih sederhana, pelapisan itu dimulai atas
dasar perbedaan gender dan usia, perbedaan antara pemimpin atau yang dianggap
sebagai pemimpin dengan yang dipimpin, dan perbedaan berdasarkan kekayaan
(Moeis, 2008). Selanjutnya dikatakan bahwa, stratifikasi sosial berasal dari
istilah Social Stratification yang berarti sistem berlapis-lapis dalam masyarakat.
Stratification berasal dari stratum (strata) yang berarti lapisan. Stratifikasi
sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara
bertingkat (hierarki). Selama ada sesuatu yang dihargai dalam masyarakat, maka
barang sesuatu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem yang
berlapis-lapis dalam masyarakat. Penghargaan terhadap suatu bentuk barang,
dapat berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, bisa berupa tanah,
kekuasaan, ilmu pengetahuan atau berupa keturunan dari orang terhormat.
Nelayan, yang hidup di pesisir pantai, mempunyai ciri khas atau pola
kehidupan tersendiri. Ini terjadi dikarenakan kondisi alam pesisir dan kehidupan
laut yang keras, juga disebabkan oleh ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
sumberdaya yang terdapat di perairan laut. Berkaitan dengan hal tersebut, nelayan
harus bisa dan mampu dalam menyesuaikan diri dan beradaptasi sebagaimana
halnya sifat ikan yang beruaya, laut yang tidak ada batas-batas kepemilikan dalam
pemanfaatan sumberdaya perikanan.
Persoalan yang membelit nelayan adalah terkait dengan aspek ekologi,
yaitu minim teknologi dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan,
112
aspek sosial yaitu masih tergolong miskin, dan aspek ekonomi yaitu pendapatan
yang masih minim/rendah. Menurut Hanson (1984) vide Amanah (2006),
pendapatan nelayan bervariasi sesuai dengan daerah dimana nelayan itu berada.
Pendapatan nelayan yang hidup di Jawa Timur tidak sama dengan nelayan yang
hidup di Bali, walaupun mereka sama-sama memanfaatkan Selat Bali sebagai
sumber mata pencaharian.
Pengembangan dan peningkatan sebuah kelembagaan tidak terlepas dari
kebijakan yang dibuat untuk melaksanakan dan menjalankan kelembagaan. Dunn
(1998) menyatakan bahwa kebijakan dan analisis yang dilakukan, merupakan satu
disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan
argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya
dengan kebijakan. Argumen dan informasi tersebut bermanfaat ditingkat politik
untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan. Bunch (1991) vide Anantanyu
(2009) mengemukakan pembangunan kelembagaan tidak sekedar memindahkan
kerangka organisasi, akan tetapi harus bisa memberikan “perasaan” tertentu.
Dalam rangka upaya pemberdayaan nelayan, seharusnya ada instrumen
kebijakan yang efektif dan mampu mengurangi sistem sosial yang tidak
memungkinkan nelayan kecil keluar dari lingkaran kemiskinan (Kusumastanto,
2012). Lebih lanjut disampaikan perlu diciptakan skenario baru berupa model-
model pembiayaan untuk pemberdayaan nelayan melalui penguatan kelembagaan
dan kemampuan berbisnis bagi masyarakat pesisir beserta dengan implikasinya di
lapangan, hendaknya hal inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian
pemerintah.
Modal utama untuk membentuk sebuah organisasi atau kelompok nelayan
adalah modal sosial. Secara sederhana modal sosial dapat diartikan sebagai suatu
rangkaian nilai-nilai atau norma informal yang dimiliki secara bersama diantara
para kelompok yang memungkinkan terjadinya kerja sama diantara mereka
(Fukuyama, 2000) vide (Anantanyu, 2009). Inti dari modal sosial adalah adanya
kepercayaan dan kerjasama.
Kelembagaan atau sering juga disebut dengan institusi, sangat berkaitan
dengan perilaku atau tingkah laku seseorang atau organisasi dalam mengambil
113
suatu keputusan dalam menetapkan sebuah kebijakan. Menurut North (1990) vide
Hero (2012), bahwa dalam sebuah institusi terdapat aturan main, norma-norma,
larangan, kontrak yang sifatnya mengatur dan mengendalikan perilaku individu
yang terdapat dalam sebuah organisasi atau masyarakat. Sebuah kelembagaan
terbentuk atau dibentuk bertujuan untuk mengurangi adanya semacam
ketidakpastian pemanfaatan sumberdaya tertentu.
Kelembagaan berkembang dari pemikiran secara ekonomi dan merupakan
sandaran dalam pengambilan atau pembuatan suatu kebijakan dalam merancang
mekanisme peraturan yang akan diterapkan dan sangat erat kaitannya dengan
kebijakan secara ekonomi (Yustika, 2006) vide (Hero, 2012). Secara ekonomi,
kelembagaan nelayan yang terdapat di Selat Bali belum meenunjukkan peran yang
berarti. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, kelembagaan yang ada berjalan
secara sendiri-sendiri dan belum terkoordinasi dengan baik, terutama dalam
penglolaan sumberdaya perikanan lemuru.
Masyarakat yang berada disekitar Selat Bali, yaitu Kabupaten Banyuwangi
Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Jembrana Provinsi Bali, memanfaatkan Selat
Bali sebagai sumber kehidupan mereka. Kabupaten Banyuwangi, dengan jumlah
penduduk sebesar 1.610.909 jiwa (BPS, 2011), sebanyak 22.955 orang dari
masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan (DKP Kabupaten Banyuwangi, 2011).
Kecamatan Muncar, merupakan sentra produksi perikanan terbesar di Provinsi
Jawa Timur. Jumlah penduduknya adalah sebesar 128.924 jiwa dan merupakan
jumlah terbesar dari jumlah penduduk yang ada di kecamatan seluruh Kabupaten
banyuwangi (BPS Kabupaten Banyuwangi, 2011). Namun yang menjadi nelayan
adalah sebanyak 14.624 orang.
Kabupaten Jembrana, dengan jumlah penduduk hasil registrasi yang
dilakukan tahun 2010 berjumlah 261.638 jiwa. 130.062 jiwa adalah laki-laki,
131.576 jiwa adalah perempuan. Penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Negara
sebesar 77.818 jiwa atau sebesar 29.74% (BPS Kabupaten Jembrana, 2010).
Menurut data dari Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Kabupaten
Jembrana (2010), jumlah nelayan yang terdata untuk tahun 2010 di Kabupaten
114
Jembrana sebanyak 10.053 orang. Jika dibandingkan dengan Kabupaten
Banyuwangi, maka jumlah nelayan yang ada di Kabupaten Jembrana lebih sedikit.
7.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran kehidupan
sehari-hari nelayan perikanan lemuru di Kabupaten Jembana dan Kabupaten
Banyuwangi, menyangkut stratifikasi sosial ditinjau dari aspek tingkat
kesejahteraan. Secara ekonomi melihat kemampuan masyarakat nelayan dalam
meningkatkan kesejahteraannya dari hasil usaha penangkapan yang dilakukan.
Peran kelembagaan yang ada, dan secara organisasi mempunyai kapasitas dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali.
7.3 Kebutuhan dan Metode Analisis Data
7.3.1 Kebutuhan data
Kebutuhan data untuk mengetahui kondisi sosial masyarakat nelayan
setempat dilakukan wawancara langsung dengan responden yaitu berupa
pertanyaan dalam bentuk kuisioner kepada nelayan. Pertanyaan yang diajukan
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari nelayan dan hubungan sosial dalam
masyarakat, pendapatan yang diperoleh. Data kelembagaan, berkaitan dengan
kelembagaan yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya baik kelembagaan
pemerintah yang berkompeten dalam mendukung pengelolaan sumberdaya
perikanan lemuru di Selat Bali dan organisasi kenelayanan yang ada di Kabupaten
Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Peraturan tentang pemanfaatan
sumberdaya lemuru yang ada, untuk mewujudkan strategi kebijakan dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali.
7.3.2 Metode analisis data
Analisis kondisi sosial nelayan lemuru yang ada di Provinsi Jawa Timur
dan di Povinsi Bali, dilakukan secara deskriptif, yaitu dengan melihat apakah ada
perbedaan tingkat sosial pada masing-masing provinsi dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. Disamping itu juga dilihat bagaimana
sistem bagi hasil antara ABK dan pemilik kapal, tingkat kekerabatan, penanganan
konflik serta melihat peran kelembagaan atau organisasi nelayan yang ada di dua
115
Provinsi. Secara ekonomi, dilihat perbandingan kebutuhan biaya untuk melaut,
harga ikan hasil tangkapan serta keuntungan yang diperoleh, serta tingkat
pendapatan nelayan.
Model yang digunakan untuk analisis secara ekonomi dilakukan dengan
pendugaan berdasarkan model biologi Schaefer (1957) dan model ekonomi
Gordon (1954), yang lebih dikenal dengan model Gordon-Schaefer (Wiyono,
2001).
Jika total penerimaan dari usaha penangkapan yang dilakukan (TR), dan
jika harga rata-rata ikan berdasarkan hasil survei adalah (p), fungsi produksi ikan
hasil tangkapan yang diperoleh berdasarkan perhitungan adalah Y(t), maka:
( ) ...............................................................................................(7)
Untuk mengetahui total biaya penangkapan (TC) digunakan model pendugaan
dengan persamaan:
.....................................................................................................(8)
dimana:
c : total pengeluaran (cost) rata-rata unit penangkapan ikan
f : jumlah upaya penangkapan standar
sehingga dengan demikian dapat diketahui penerimaan bersih (keuntungan) dari
usaha penangkapan yang dilakukan (π), dengan formula sebagai berikut:
( ) ...................................................................(9)
Berdasarkan analisis dan perhitungan yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh
ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.
Peran kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di
Selat Bali, ditinjau dari segi peran dari masing-masing kelembagaan yang ada di
Kabupaten Banyuwangi dan Kebupaten Jembrana. Peran masing-masing
kelembagaan tersebut baik pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan
dijabarkan secara deskriptif kualitatif.
116
7.4 Hasil Penelitian
7.4.1 Kelayakan hidup nelayan perikanan lemuru di Selat Bali ditinjau
secara ekonomi
Alat tangkap yang digunakan nelayan di Selat Bali, yaitu oleh nelayan di
Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana terdiri dari purse seine, payang,
gillnet, pukat pantai dan bagan. Secara ekonomi, masing-masing alat tangkap
dapat memberikan keuntungan bagi pemiliknya. Berdasarkan keuntungan yang
diperoleh, maka akan meningkatkan strata mereka dalam kehidupan
bermasyarakat. Perhitungan secara ekonomi terhadap masing-masing alat tangkap
dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Purse seine
Kapal purse seine yang dioperasikan oleh nelayan baik di Kabupaten
Banyuwangi dan Jembrana lebih banyak menggunakan kapal motor tempel.
Bahan dasar kapal/perahu adalah kayu dengan panjang rata-rata 18 – 21 meter,
tenaga penggerak yang digunakan adalah motor tempel sebanyak 9 buah untuk
sistem 2 perahu dan 5 buah untuk sistem 1 perahu. Umumnya nelayan
menggunakan tenaga penggerak dengan merek yanmar berkekuatan 50 – 150 PK.
Jumlah nelayan yang terlibat dalam operasi penangkapan sebanyak 45 – 55
orang. Lama operasi untuk satu trip adalah 12 jam sampai dengan 1 hari, namun
dalam satu bulan purse seine beroperasi sebanyak 18-21 kali (trip).
Berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh dari wawancara dengan
nelayan yang ada di Kabupaten Banyuwangi, pendapatan kotor yang mereka
terima dalam satu tahun adalah Rp. 5.429.790.072,-. Setelah dikurangi biaya-
biaya sebesar Rp. 479.723.261,- dan juga setelah dikurangi biaya penyusutan
sebesar Rp. 22.333.333,-, maka keuntungan bersih yang diperoleh dalam waktu
satu tahun adalah sebesar Rp. 4.927.733.477,-. Pendapatan nelayan purse seine
Kabupaten Jembrana rata-rata dalam satu tahun adalah Rp. 20.275.920.000,-,
setelah dikurangi biaya – biaya sebesar Rp. 685.435.680,- dan setelah dikurangi
biaya penyusutan per tahun sebesar Rp. 47.116.667,-, maka keuntungan bersih
yang diperoleh adalah sebesar Rp. 19.543.367.653,- (Tabel 23 dan 24).
117
2) Payang
Alat tangkap payang dioperasikan oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi
untuk menangkap ikan lemuru. Perahu yang digunakan adalah perahu kayu,
berukuran panjang 6 – 8 meter. Motor penggerak menggunakan mesin tempel
(dom feng) berkekuatan 10 – 15 PK. Jumlah ABK yang mengoperasikan alat
tangkap payang ini sebanyak 4 – 6 orang. Lama waktu operasi dalam satu hari
atau satu trip adalah 12 jam. Jumlah operasi penangkapan yang dilakukan selama
satu bulan adalah 27 – 28 hari.
Pendapatan payang, sebelum pengurangan biaya-biaya selama satu tahun
adalah sebesar Rp. 226.200.000,-. Biaya-biaya yang digunakan untuk operasi
selama satu tahun adalah sebesar Rp. 51.195.896,-, setelah dikurangi biaya
penyusutan sebesar Rp. 1.666.667,- maka pendapatan bersih untuk satu tahun
adalah Rp. 173.337.437,- (Tabel 23).
Tabel 23 Analisis secara ekonomi kegiatan perikanan lemuru di Kabupaten
Banyuwangi tahun 2011
No Jenis Alat
Tangkap
Pendapatan
(Rp/tahun)
Pengeluaran
(Rp/tahun)
Penyusutan
(Rp/tahun)
Keuntungan
bersih
(Rp/tahun)
1 Purse seine 5.429.790.072 479.723.261 22.333.333 4.927.733.477
2 Gillnet 174.000.000 27.566.667 1.245.000 145.188.333
3 Payang 226.200.000 51.195.896 1.666.667 173.337.437
4 Bagan 47.839.896 14.907.067 1.008.333 31.924.496
3) Gillnet
Alat tangkap gillnet yang digunakan oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi
berbeda dengan yang digunakan oleh nelayan Kabupaten Jembrana. Namun alat
tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan lemuru. Perahu gillnet yang
dioperasikan oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi, terbuat dari kayu dengan
panjang 6-7 meter. Tenaga penggerak menggunakan mesin tempel merek dom
feng dengan kekuatan 10-15 PK. Jumlah tenaga kerja adalah sebanyak 4-6 orang,
dengan lama operasi penangkapan untuk satu trip adalah 12 jam atau sering
mereka menyebutnya selama satu hari (one day fishing), sehingga dalam satu
bulan jumlah hari operasi biasanya dilakukan selama 27-28 hari.
118
Gillnet yang dioperasikan oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi,
menggunakan perahu jukung dengan panjang 6,5-7 meter. Tenaga penggerak
menggunakan mesin tempel dengan kekuatan 10 PK. Jumlah anak buah kapal
atau perahu sebanyak 2 orang. Lama operasi penangkapan untuk satu trip adalah
3-5 jam, dan dalam satu hari bisa melakukan operasi penangkapan 2 kali. Jumlah
hari operasi dalam satu bulan dilakukan selama 20-27 hari.
Pendapatan kotor yang diperoleh dalam satu tahun operasi adalah sebesar
Rp. 174.000.000,-. Setelah dikeluarkan biaya-biaya sebesar Rp. 27.566.667,- dan
dikurangi biaya penyusutan sebesar Rp. 1.245.000,-, maka diperoleh keuntungan
bersih selama satu tahun operasi adalah sebesar Rp. 145.188.333,- (Tabel 23).
Sedangkan pendapatan kotor yang diperoleh nelayan gillnet di Kabupaten
Jembrana dalam satu tahun adalah Rp. 256.880.076,-, setelah dikeluarkan biaya-
biaya sebesar Rp. 23698.424,- dan biaya penyusutan dalam satu tahun sebesar Rp.
766.250,-, maka keuntungan bersih yang diterima dalam satu tahun adalah sebesar
Rp. 232.415.402,- (Tabel 24).
4) Pukat pantai
Pukat pantai digunakan oleh nelayan Kabupaten Jembrana untuk
penangkapan ikan lemuru di Selat Bali. Perahu yang digunakan adalah jenis
jukung dengan ukuran panjang 7-9 meter. Tenaga penggerak yang digunakan
adalah mesin tempel berkekuatan 10 PK. Fungsi perahu adalah untuk melingkar
jaring dari pinggir sampai kepinggir kembali sebelum ditarik menggunakan tenaga
manusia. Jumlah nelayan yang menarik jaring ini adalah sebanyak 12-15 orang.
Lama operasi penangkapan untuk satu trip adalah 3-5 jam. Jumlah trip dalam satu
hari dapat dilakukan sebanyak 2 kali. Jumlah hari operasi selama satu bulan
adalah 25-30 hari.
Pendapatan kotor alat tangkap pukat pantai selama satu tahun adalah
sebesar Rp. 515.042.420,-. Setelah dikurangi biaya-biaya sebesar Rp. 3.642.500,-
dan dikurangi biaya penyusutan dalam satu tahun sebesar Rp. 1.701.250,-, maka
diperoleh keuntungan bersih sebesar Rp. 509.698.670,-.
119
5) Bagan
Bagan digunakan oleh nelayan Kabupaten Banyuwangi dalam
penangkapan ikan lemuru di Selat Bali. Ikan lemuru yang tertangkap umumnya
berukuran panjang 10-13 cm. Nelayan bagan yang berhasil kami wawancara
adalah nelayan yang menggoperasikan bagan tancap di Teluk Pang-Pang dan
nelayan bagan apung yang dioperasikan di Senggrong. Ukuran rangka bagan
adalah 21 m2. Ukuran alat tangkap yang digunakan (waring) dengan ukuran
panjang kali lebar 21 meter dan kedalaman 11 meter. Mesin genset digunakan
untuk menghidupkan lampu agar ikan berkumpul disekitar waring. Lama operasi
untuk sekali hauling adalah 3 jam. Jumlah tenaga kerja dalam peoperasian bagan
ini sebanyak 2 orang. Biasanya bagan dioperasikan pada malam hari, sehingga
dalam satu hari hanya beroperasi satu kali. Jumlah hari operasi selama satu bulan
adalah 27 hari.
Pendapatan kotor alat tangkap bagan adalah Rp. 47.839.896,-. Setelah
dikurangi biaya-biaya sebesar Rp. 14.907.067,- dan dikeluarkan biaya penyusutan
sebesar Rp. 1.008.333,-, maka pendapatan bersih yang diperoleh selama satu
tahun adalah sebesar Rp. 31.924.496,- (Tabel 23).
Tabel 24 Analisis secara ekonomi kegiatan perikanan lemuru di Kabupaten
Jembrana tahun 2011
No Jenis Alat
Tangkap
Pendapatan
(Rp/tahun)
Pengeluaran
(Rp/tahun)
Penyusutan
(Rp/tahun)
Keuntungan
bersih (Rp/tahun)
1 Purse seine 20.275.920.000 685.435.680 47.116.667 19.543.367.653
2 Gillnet 256.880.076 23.698.424 766.250 232.415.402
3 P. Pantai 515.042.420 3.642.500 1.701.250 509.698.670
Berdasarkan perhitungan keuntungan yang diperoleh (Tabel 23 dan 24),
dapat diketahui tingkat kesejahteraan anggota keluarga nelayan melalui
pembagian hasil yang diperoleh. Sistem bagi hasil yang berlaku di Kabupaten
Banyuwangi dan kabupaten Jembrana bisa dikatakan sama. Pemilik kapal
mendapat 50% dan ABK juga mendapat 50%, setelah dikurangi biaya-biaya.
Berdasarkan hasil bersih yang diperoleh per trip oleh ABK, dapat diketahui
bagaimana tingkat kesejahteraannya dan kehidupan sosial dalam masyarakat.
120
Hasil analisis secara ekonomi merupakan salah satu parameter yang digunakan
untuk analisis model pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali (bab
9). Nilai yang dimasukkan sebagai parameter adalah harga ikan dan biaya melaut.
7.4.2 Kondisi sosial nelayan perikanan lemuru di Selat Bali
Kondisi sosial masyarakat sangat ditentukan oleh tingkat kesejahteraan
dari masyarakat itu sendiri. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan yang
menjadi responden, secara umum mereka melakukan penangkapan ikan rata-rata
berkisar antara umur 15-25 tahun. Hal ini memperlihatkan bahwa nelayan
tersebut sudah memiliki pengalaman yang sangat banyak. Pada umumnya nelayan
yang ada di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana rata-rata
menamatkan pendidikan hanya sampai sekolah dasar, selanjutnya mereka ikut
membantu orang tua mereka untuk ikut melaut, jadi boleh dikatakan bahwa
nelayan yang ada di Kabupaten Banyuwangi dan kabupaten Jembrana diwariskan
secara turun temurun.
Kecamatan Muncar, merupakan sentra produksi perikanan terbesar di
Provinsi Jawa Timur. Jumlah penduduknya adalah sebesar 128.924 jiwa dan
merupakan jumlah terbesar dari jumlah penduduk yang ada di kecamatan seluruh
Kabupaten Banyuwangi. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, lebih banyak
dihabiskan untuk menangkap ikan di laut. Kaum perempuan juga mengambil
peran penting dalam menjalankan usaha penangkapan yang dilakukan oleh kaum
Bapak terutama yang melakukan penangkapan dengan alat tangkap payang, dan
gillnet. Mereka membantu pekerjaan setelah perahu mendarat, bahkan yang
menentukan harga ikan hasil tangkapan adalah kaum wanitanya (istri pemilik
perahu).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap nelayan purse
seine, gillnet, payang, bagan dan pukat pantai di Kabupaten Jembrana dan
Kabupaten Banyuwangi sebanyak 120 orang, tingkat pendapatan yang diperoleh
setiap kali melaut sangat tergantung dari hasil tangkapan yang diperoleh. Faktor
cuaca sangat mempengaruhi keberhasilan nelayan dalam meperoleh hasil
tangkapan. Namun demikian, mereka mengatakan penghasilan yang mereka
peroleh mencukupi kehidupan sehari-hari keluarga. Jika musim paceklik datang,
121
nelayan di Kabupaten Jembrana melakukan kegiatan sampingan menjadi tukang
cetak batu bata, sedangkan nelayan di Kabupaten Banyuwangi memilih jadi buruh
bangunan.
Peluang untuk mendapatkan kesempatan kerja (terutama sebagai buruh
nelayan) menurut mereka tidak sulit, karena perahu terutama purse seine
membutuhkan tenaga kerja yang tinggi (45-55 orang) dalam satu kapal. Begitu
juga dengan kesempatan mendapatkan pelayanan kesehatan, ada puskesmas dan
rumah sakit daerah yang dapat melayani mereka dalam mendapatkan pengobatan.
Keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari
secara umum tidak mendapatkan kendala, semua berjalan sesuai dengan aturan
yang sudah disepakati bersama. Kegiatan keagamaan dan kegiatan upacara adat
seperti upacara petik laut di Banyuwangi yang dilakukan rutin setiap bulan suro
(penanggalan jawa) berlangsung dengan aman dan tertib.
Konflik, yang berujung pada kerusuhan selama kurun waktu enam tahun
terakhir tidak pernah terjadi. Perselisihan yang terjadi dikalangan nelayan adalah
perebutan daerah penangkapan, perampasan jaring yang sedang terpasang di laut,
dan konflik dengan nelayan andon dari daerah lain, namun perselisihan tersebut
dapat diselesaikan secara damai dan kekeluargaan. Dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat nelayan yang ada di Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Banyuwangi
tidak mengalami masalah yang berarti, semua berjalan sesuai aturan dan tata
krama kehidupan bermasyarakat umumnya.
7.4.3 Peran kelembagaan
Kelembagaan merupakan merupakan faktor penting yang dapat
menggerakkan kinerja dalam melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan.
Amanat yang termaktub dalam code of conduct for responsible fisheries (CCRF)
bahwa pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan, harus dilakukan
secara bertanggungjawab. Dalam sebuah kelembagaan, keselarasan peraturan
yang dibuat harus mengayomi aspirasi masyarakat yang akan melaksanakan
peraturan, agar tidak terjadinya tumpang tindih, atau benturan masing-masing
peraturan yang dibuat.
122
Kelembagaan yang ada di Kabupaten Jembrana di luar instansi pemerintah
adalah lembaga HNSI yang mewadahi aspirasi nelayan. TPI, sebagai organisasi
pelaksana pelelangan ikan di Kabupaten Banyuwangi saat ini tidak berfungsi,
karena kegiatan pelelangan ikan tidak ada dan ikan yang mendarat di dermaga
Muncar langsung dijual kepada perusahaan atau bakul yang langsung datang ke
agen/pengelola kapal. Unit Pengelola Pelabuhan Perikanan Pantai (UPPPP)
Muncar merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Jawa Timur, UPT ini secara teknis dan administrasi bertanggungjawab
kepada Dinas kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur. Selanjutnya,
Pelelangan ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan-Jembrana,
dikelola langsung oleh Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang bertanggungjawab
kepada Dinas Pertanian Kehutanan dan Kelautan Kabupaten Jembrana.
Institusi kelembagaan yang diharapkan dapat berjalan selaras untuk
mewujudkan keberlanjutan pengelolaan perikanan lemuru adalah Dinas
Lingkungan hidup di Kabupaten Jembrana dan Kantor Lingkungan Hidup di
Kabupaten Banyuwangi. Institusi ini bertanggungjawab atas pengendalian bahan
pencemar yang terjadi diwilayah kerjanya yaitu berkaitan dengan kegiatan
industri, baik industri perikanan maupun industri lainnya yang berpotensi dan
membuang limbah ke sungai dan pada akhirnya menuju perairan laut. Pengujian
yang dilakukan masih sebatas pada outlet dan inlet di pabrik pengolahan ikan,
namun belum semua pabrik pengolahan melakukan pengujian limbah yang
dihasilkan, hal ini berkaitan dengan sikap pemilik perusahaan yang tidak
kooperatif terhadap petugas yang datang. Untuk pengujian kualitas perairan laut
dilakukan dengan jarak dari pantai 25-300 meter. Pengujian yang dilakukan
berorientasi untuk memenuhi keperluan pariwasata.
Lembaga yang berkompeten dan berkaitan langsung dengan pengelolaan
sumberdaya perikanan dan pemeliharaan lingkungan perairan laut Selat Bali di
Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana seperti tertera pada Lampiran
12. Kelembagaan tersebut (Lampiran 12), sangat dibutuhkan dukungannya
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing dalam pelaksanaan tugas
sehari-hari. Dinas Kelautan dan Perikanan masing-masing provinsi sangat
berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. Masing-
123
masing provinsi, di bawah koordinasi Badan Perencana Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) melakukan penyusunan perencanaan terhadap pembangunan dan
pengelolaan sumberdaya perikanan.
7.5 Pembahasan
Pembahasan dalam bab ini berkaitan dengan kemampuan nelayan secara
ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Secara sosial membahas
tentang gambaran kehidupan sehari-hari nelayan di pesisir Selat Bali, dan konflik
yang pernah terjadi serta penyebab terjadi sebuah konflik. Selanjutnya adalah
pembahasan tentang peran serta kelembagaan yang ada di Kabupaten Banyuwangi
dan kabupaten Jembrana dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan
lemuru di Selat Bali.
Secara ekonomi, alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Selat Bali
untuk pemanfaatan sumberdaya lemuru adalah menguntungkan. Namun demikian
hal yang perlu diperhatikan adalah efisiensi alat yang digunakan terhadap hasil
yang didapatkan setiap hari. Jika kegiatan usaha yang dilakukan menguntungkan,
akan berimbas pada kondisi kehidupan sosial nelayan itu sendiri.
Meningkatnya penangkapan lemuru yang dilakukan oleh nelayan, tidak
terlepas dari tingginya permintaan pasar yang merupakan prime mover bagi
perkembangan perikanan lemuru itu sendiri (Nurhakim & Merta 2004). Hal ini
dapat dilihat semakin berkembangnya pabrik pengalengan ikan, juga secara
tradisional semakin bertambahnya usaha penggaplekan (penepungan).
Bertambahnya jumlah industri pengalengan dan penepungan, sudah barang tentu
memerlukan bahan baku yang cukup, sehingga memacu usaha penangkapan ikan
lemuru. Dengan semakin berkembangnya purse seine yang beroperasi, maka
akan semakin banyak jumlah ikan lemuru yang tertangkap sebelum mencapai
ukuran dewasa, sehingga berpengaruh terhadap harga.
Tingkat kesejahteraan sosial dapat dikatakan baik, jika antara pemasukan
dan pengeluaran berjalan seimbang. Disamping itu, jika sebagian penghasilan
yang diterima dapat disisihkan sebagai tabungan. Berdasarkan hasil wawancara
dengan Bapak Abidin yaitu pengurus tempat pelelangan ikan (TPI) Muncar, saat
ini nelayan terutama ABK sudah mulai dapat menyisihkan sebagian dari
124
penghasilan mereka untuk disimpan dan ditabung sebagai cadangan pengeluaran
untuk masa paceklik.
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi diketahui bahwa kehidupan
sosial yang berlangsung selama ini berjalan sangat baik, dan tidak pernah terjadi
perselisihan antar nelayan. Namun demikian, hal ini belum bisa dikategorikan
bahwa nelayan berada dalam keadaan yang sejahtera.
Pendapatan dan pola hubungan kerja mempunyai peran dan dianggap
penting. Berdasarkan penjelasan dan pemaparan di atas, bahwa jumlah pendapatan
juga mempengaruhi tingkat status atau kedudukan seseorang di dalam masyarakat
sehingga berpengaruh terhadap hubungan sosial yang terjadi pada nelayan di
Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Semakin kecil pendapatan
yang mereka terima maka semakin rendah pula kedudukan atau strata mereka
dalam masyarakat, seperti buruh nelayan (pandiga) mereka tidak mempunyai
kekuasaan dalam menentukan pendapatan termasuk ketika mereka menerima
bayaran yang lebih kecil. Hal ini disebabkan karena mereka hanya menguasai
keterampilan dan bermodal tenaga. Perbedaan jumlah pendapatan yang diterima,
menyebabkan terjadinya perbedaan hubungan kerja dan hubungan sosial.
Penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan menurut Kusnadi (2002),
pada dasarnya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi
penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan
lain yang dimiliki), struktur masyarakat nelayan terbagi dalam kategori nelayan
pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki
alat-alat produksi dan dalam kegiatan sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya
menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak- hak yang sangat
terbatas. Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur
masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil.
Nelayan, disebut sebagai nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan
dalam usaha perikanan relative tinggi, dan sebaliknya terjadi pada nelayan kecil.
Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi perlengkapan dan alat tangkap yang
digunakan, masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan moderen dan
125
nelayan tradisional. Nelayan moderen sudah menggunakan teknologi
penangkapan yang lebih baik dibandingkan dengan nelayan tradisional.
Susunan masyarakat nelayan menurut Masyhuri (1996), baik secara
horizontal maupun vertikal sangat dipengaruhi oleh organisasi penangkapan ikan
dan tingkat pendapatan yang dicapai. Semakin strategis posisi dalam organisasi,
dan semakin besar pendapatan, maka semakin besar pula kemungkinan
menempati posisi yang tinggi dalam stratifikasi sosial. Apabila pendapatan
semakin kecil, maka semakin tidak strategis peranannya dalam organisasi
penangkapan ikan, dengan demikian semakin rendah posisinya dalam masyarakat.
Wahyuningsih et al. (1997), menyatakan bahwa masyarakat nelayan jika
dilihat dari sudut kepemilikan modal dapat dibagi tiga: (1) Nelayan juragan,
nelayan ini merupakan nelayan pemilik perahu dan alat penangkap ikan yang
mampu mengubah para nelayan pekerja sabagai pembantu dalam usahanya
menangkap ikan di laut. Nelayan ini mempunyai mata pencaharian lain pada saat
musim paceklik. Nelayan juragan ada tiga macam yaitu nelayan juragan laut,
nelayan juragan darat yang mengendalikan usahanya dari daratan, dan orang yang
memiliki perahu, alat penangkap ikan dan uang tetapi bukan nelayan asli, yang
disebut tauke (toke) atau cukong. (2). Nelayan pekerja, yaitu nelayan yang tidak
memiliki alat produksi dan modal, tetapi memiliki tenaga yang dijual kepada
nelayan juragan untuk membantu menjalankan usaha penangkapan ikan di laut.
Nelayan ini disebut juga nelayan penggarap. Hubungan kerja antara nelayan ini
berlaku perjanjian tidak tertulis yang sudah dilakukan sejak lama dan turun
temurun. Juragan dalam hal ini berkewajiban menyediakan bahan makanan dan
bahan bakar untuk keperluan operasi penangkapan ikan, dan bahan makanan
untuk dapur keluarga yang ditinggalkan selama berlayar. Hasil tangkapan di laut
dibagi menurut peraturan tertentu yang berbeda-beda antara juragan yang satu
dengan juragan lainnya, setelah dikurangi semua biaya operasi. (3). Nelayan
perorangan, merupakan nelayan yang kurang mampu. Nelayan ini hanya
mempunyai perahu kecil untuk keperluan dirinya sendiri dan alat penangkap ikan
sederhana. Nelayan perorangan tidak memiliki tanah untuk digarap pada waktu
musim paceklik (angin barat), karena sebagian besar dari mereka tidak
mempunyai modal kerja sendiri, akan tetapi meminjam dari pelepas uang
126
(tengkulak) dengan perjanjian tertentu. Sebagian dari Nelayan umumnya memulai
usaha dari bawah, semakin lama meningkat menjadi nelayan juragan.
Kesempatan kerja, dan mendapatkan pekerjaan sebagai nelayan oleh
masyarakat di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana tidak sulit.
Sebagian besar nelayan sudah ikut menjadi nelayan sejak usia 10 tahun, artinya
begitu tamat Sekolah dasar mereka langsung menjadi nelayan. Hasil wawancara
dengan beberapa orang nelayan, mereka mengatakan bahwa menjadi nelayan
merupakan turunan dari orang tua, mereka tidak mendapatkan pendidikan secara
khusus dalam pengoperasian alat tangkap.
Haji Nuryatim, adalah salah satu pemilik kapal purse seine di
Pengambengan yang berhasil kami wawancara, menurut penuturannya bahwa
kegiatan ikut dengan kapal perikanan sudah dilakoni sejak duduk di bangku
sekolah dasar. Saat ini beliau sudah memiliki 8 kapal purse seine (sistem dua
perahu). Menurut penuturan beliau pada umumnya nelayan, memulai usahanya
sebagai anak buah kapal dan berkat usaha yang dilakukan tidak tertutup
kemungkinan dapat menjadi juragan atau pemilik kapal.
Salah satu juragan dan pemilik kapal purse seine di Kabupaten Banyuwangi
(Bapak Mursyid) memulai usahanya sebagai pengelola kapal milik orang lain, dan
saat ini sudah memiliki kapal sebanyak 2 buah kapal sleret dengan omzet yang
cukup tinggi (tidak mau memberi tahukan berapa penghasilannya dalam satu trip).
Fauzi (2011), melakukan penelitian tentang tingkat kesejahteraan nelayan
di Kabupaten Jembrana dan Buleleng. Hasil menunjukan bahwa tingkat
kesejahteraan nelayan di dua Kabupaten tersebut tergolong baik. Terbukti
nelayan berpenghasilan rata-rata Rp 750.000 – Rp 2.500.000,- per bulan, dan
mampu memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Berdasarkan wawancara
personal dengan Penyuluh Perikanan Kabupaten Jembrana (Nurhalim, 2011),
pendapatan bersih yang diperoleh ABK/nelayan purse seine di Kabupaten
Jembrana, adalah pendapatan yang diperoleh setelah dilakukan pemotongan untuk
kebutuhan melaut. Penghitungan ini dilakukan pada saat terang bulan, jadi
nelayan (ABK) tidak menerima bagi hasil pada saat pulang melaut dalam satu kali
trip.
127
Peran kelembagaan dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan
lemuru secara berkelanjutan, perlu koordinasi dan peran aktif masing-masing
kelembagaan, baik pemerintah maupun swasta, sesuai dengan tupoksinya masing,
sehingga dalam pelaksanaan dan implementasi dilapangan sesuai sasaran dan
tepat guna. Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan
masing-masing kabupaten yaitu Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten
Jembrana, bersama-sama dan dibawah koordinasi Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi, secara berkala harus melakukan evaluasi terhadap peraturan dan aturan
yang sudah dibuat apakah masih bias dipakai sesuai perkembangan keadaan di
lapangan, atau perlu diperbarui. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh
Fauzi (2011), bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan
pengusahaannya, haruslah mengakomodir dan meningkatkan kesejahteraan
nelayan, dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja, dan pertumbuhan
perikanan menjadi baik.
Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) cabang Kabupaten
Jembrana, merupakan wadah dalam menampung aspirasi dan suara anggota
nelayan yang tergabung di dalamnya. Namun tidak semua nelayan ikut
berpartisipasi aktif di dalamnya. Menurut Bapak Haji Jailani (ketua HNSI
Kabupaten Jembrana, 2011), saat ini nelayan, terutama pemilik sudah memiliki
kepedulian terhadap kesejahteraan ABK. Sama halnya dengan nelayan di
Kabupaten Banyuwangi, mereka belum optimal memanfaatkan wadah organisasi
kenelayanan dalam menyerap ilmu pengetahuan atau informasi tentang peraturan
yang ada. Menurut informasi yang kami peroleh dari Pelabuhan Perikanan
Nusantara Pengambengan, sangat sulit mengumpulkan pemilik kapal purse seine
atau pengelola dalam rangka sosialisasi peraturan yang akan diterapkan di
lapangan. Hal ini merupakan salah satu hambatan dalam pelaksanaan peraturan
yang sudah disiapkan, sehingga penerapan peraturan menjadi terhambat.
Kualitas kelembagaan masyarakat terutama yang mewadahi nelayan,
seperti Koperasi Unit Desa di Kabupaten Banyuwangi, saat ini tidak berjalan
sesuai fungsinya, penyebab pasti tidak diketahui dengan jelas. Namun demikian
retribusi serta kewajiban nelayan lainnya tetap dipenuhi sebagaimana yang sudah
diatur bersama.
128
Dukungan institusi masing-masing kelembagaan yang terdapat di daerah,
sangat menentukan kualitas dan strategi peningkatan kapasitas kelembagaan
dalam menghasilkan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru,
mengingat sumberdaya ini merupakan sumber penghasilan nelayan setempat yang
sangat potensial. Disamping itu, industri pengalengan ikan yang terdapat di
Kabupaten Banyuwangi (Muncar) dan Kabupaten Jembrana (Pengambengan)
sangat bergantung terhadap ketersediaan sumberdaya lemuru sebagai bahan baku.
Sejak dikeluarkannya Surat Keputusan No. 123/Kpts/Um/3/1975, tanggal
31 Maret 1975 oleh Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian, yaitu
pelarangan menggunakan alat tangkap pukat cincin dengan besar mata jaring pada
bagian kantong kurang dari 1 inchi (2,54 cm). Berdasarkan SK tersebut,
merupakan langkah awal dalam rangka melakukan pengelolaan terhadap
perikanan pelagis kecil secara umum termasuk di dalamnya perikanan lemuru
(Nurhakim & Merta 2004). Lebih lanjut dijelaskan bahwa, tujuan pembatasan
besaran mata jaring untuk mengendalikan ukuran ikan yang tertangkap, karena di
Selat Bali khususnya alat tangkap pukat cincin (purse seine) ukuran mata jaring
yang digunakan adalah ¾ inchi dibagian kantong.
Surat Keputusan Bersama (SKB) Gubernur Provinsi Jawa Timur dan
Provinsi Bali yang dikeluarkan pada tahun 1992, adalah mengatur tentang jumlah
kapal purse seine yang beroperasi di Selat Bali. Pengaturan tersebut berkaitan
dengan jumlah kapal yang dioperasikan oleh nelayan Provinsi Jawa Timur
sebanyak 190 unit dan yang dioperasikan oleh nelayan Provinsi Bali sebanyak 83
unit. Sampai saat ini belum ada perubahan ataupun rencana perubahan terhadap
SKB tersebut. Menurut Kepala Bidang Perikanan Dinas Pertanian Kehutanan dan
Kelautan Kabupaten jembrana, bahwa SKB tersebut perlu dievaluasi ulang,
karena sudah tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi dilapangan saat ini.
Namun keadaan yang terjadi dilapangan tidak lagi mengacu kepada SKB di atas.
Data kapal purse seine yang tercatat di UPPPP Muncar untuk tahun 2010 adalah
203 unit, sedangkan yang tertera di SKB adalah 190 unit, jadi terdapat kelebihan
sebanyak 13 unit. Untuk Kabupaten Jembrana juga demikian. Berdasarkan
SKB, kuota jumlah kapal purse seine adalah 83 unit, namun berdasarkan data dari
Dinas Pertanian Kehutanan dan Kelautan Kabupaten Jembrana untuk tahun 2010
129
jumlah kapal purse seine yang ada saat ini adalah sebanyak 107 unit, jadi terdapat
kelebihan sebanyak 30 unit. Menyikapi hal ini, peran kelembagaan yang
berkompeten sangat menentukan. Menyikapi apa yang disampaikan oleh Kepala
Bidang Perikanan Dinas Pertanian Kehutanan dan Kelautan Kabupaten Jembrana,
sebagaimana yang sudah diuraikan di atas, adalah benar perlu dilakukan evaluasi
ulang terhadap aturan dan peraturan tentang SKB dua Gubernur tersebut.
Peran Dinas Lingkungan Hidup, dalam rangka pengelolaan sumberdaya
lemuru di Selat Bali, sangat berkaitan dengan aturan tentang pengelolaan
lingkungan perairan dari bahan pencemar yang berasal dari kegiatan manusia di
darat atau pesisir pantai di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana.
Peran Dinas Lingkungan Hidup adalah memantau kegiatan industri, berkaitan
dengan penanganan limbah yang dihasilkan oleh kegiatan industri tersebut.
7.6 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dan penjabaran terhadap analisis kondisi
ekonomi dan sosial serta peran kelembagaan, dalam rangka pengelolaan
sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Secara ekonomi kegiatan penangkapan ikan lemuru yang dilakukan dengan
menggunakan alat tangkap purse seine, payang, gillnet, bagan, dan pukat
pantai adalah menguntungkan bagi nelayan di Selat Bali.
2. Kehidupan sosial masyarakat perikanan di Selat Bali, dalam pemanfaatan
sumberdaya lemuru sebagai sumber penghidupan mereka sehari-hari, selama
kurun waktu 2005-2010 tidak pernah atau belum pernah terjadi konflik besar.
3. Peran kelembagaan yang ada dan berkompeten di masing-masing wilayah
dalam pengelolaan sumberdaya lemuru di Selat Bali belum optimal.
Top Related