TUGAS MAKALAH BIOKIMIA
HUBUNGAN KANDUNGAN PROTEIN KECAP MANIS DENGAN
FERMENTASI DAN TANPA FERMENTASI
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Biokimia
Disusun oleh :
Rombel 1
Noviyanti Rahayu 6411414008
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Hubungan
Kandungan Protein Kecap Manis dengan Fermentasi dan Tanpa
Fermentasi” ini disusun untuk diajukan sebagai tugas mata kuliah
biokimia.
Karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman
penulis, maka makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak kami harapkan.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi
para pembaca.
Semarang, April 2015
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................... 1
DAFTAR ISI................................................................................ 2
BAB I. PENDAHULUAN............................................................. 3
1.1Latar Belakang...................................................................... 3
1.2Rumusan Masalah................................................................ 4
1.3Tujuan................................................................................... 4
BAB II. PEMBAHASAN.............................................................. 3
2.1 Karbohidrat .......................................................................... 5
2.1.1 Metabolisme Karbohidrat............................................. 6
2.1.2 Fungsi Karbohidrat....................................................... 16
2.2 Laktosa................................................................................. 17
2.3 Metabolisme Laktosa............................................................ 17
2.3.1 Enzim Laktase............................................................. 19
2.4 Intoleransi Laktosa……………………………………………… 21
2.4.1 Epidemiologi………………………………………………. 22
2.4.2 Patofisiologi……………………………………………….. 22
2.5 Hubungan Intoleransi Laktosa dengan Alergi protein susu sapi 23
BAB III. PENUTUP
3.1 KESIMPULAN...................................................................... 26
3.2 SARAN................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA................................................................... 27
2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Metabolisme merupakan kegiatan terpenting dalam tubuh,
Metabolisme terjadi pada saat menit pertama makanan masuk ke
perut dan pencernaan dimulai. Enzim yang dilepaskan oleh pankreas
dan kelenjar tiroid membantu dalam pemecahan makanan yang
dicerna menjadi zat lebih sederhana. Zat-zat sederhana diserap oleh
sel-sel tubuh dan membantu dalam pelepasan energi dan
melaksanakan proses lain dalam tubuh, seperti penyembuhan luka,
pengaturan suhu tubuh, pembentukan sel-sel baru, membuang racun
dari tubuh, dan sebagainya.
Kelainan metabolisme seringkali disebabkan oleh kelainan
genetik yang mengakibatkan hilangnya enzim tertentu yang diperlukan
untuk merangsang suatu proses metabolisme. Karbohidrat adalah
gula. Beberapa gula sederhana, dan lainnya lebih kompleks. Sukrose
(gula meja) dibuat dari dua gula yang lebih sederhana yaitu glukosa
dan fruktosa. Laktose (gula susu) terbuat dari glukosa dan galaktose.
Baik sucrose maupun laktose harus dipecahkan ke dalam gula
pembentuknya dengan enzim sebelum badan bias menyerap dan
memakai mereka. Karbohidrat pada roti, pasta, padi, dan makanan
lain yang berisi karbohidrat adalah rangkaian panjang molekul gula
sederhana. Molekul ini yang lebih panjang juga harus dibongkar oleh
tubuh. Jika enzim yang diperlukan untuk mengolah gula tertentu
hilang, gula bisa menumpuk di badan, menyebabkan masalah.
Susu merupakan sumber nutrisi yang penting untuk pertumbuhan
bayi mammalia, termasuk manusia, yang mengandung karbohidrat,
protein, lemak, mineral dan vitamin. Laktosa yang merupakan satu-
satunya karbohidrat dalam susu mammalia, adalah disakarida yang
terdiri dari gabungan 2 monosakrida yaitu glukosa dan galaktosa
(Heyman, 2006).
3
Laktosa yang terdapat pada susu, perlu dihidrolisa menjadi
glukosa dan galaktosa terlebih dahulu supaya bisa diserap oleh
dinding usus dan memasuki peredaran darah (Ingram et al. 2009).
Untuk proses hidrolisa tersebut diperlukan ensim laktase, yang
terdapat pada brush border mukosa usus halus. Adanya defisiensi
ensim tersebut akan menyebabkan kondisi yang disebut intoleransi
laktosa (Sinuhaji, 2006).
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud karbohidrat?
2. Apa yang dimaksud laktosa?
3. Bagaimana mekanisme metabolisme laktosa?
4. Apa yang dimaksud Intoleransi Laktosa?
5. Bagaimana hubungan Intoleransi Laktosa dengan alergi protein
susu sapi?
1.3 TUJUAN
1. Mengetahui apa yang dimaksud karbohidrat
2. Mengetahui apa yang dimaksud laktosa
3. Mengetahui mekanisme metabolisme laktosa
4. Mengetahui apa yang dimaksud Intoleransi Laktosa
5. Mengetahui hubungan Intoleransi Lakstosa dengan alergi
protein susu sapi
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Protein
Istilah protein diperkenalkan pada tahun 1830-an oleh pakar kimia
Belanda bernama Mulder, yang merupakan salah satu dari orang-orang
pertama yang mempelajari kimia dalam protein secara sistematik. Ia
secara tepat menyimpulkan peranan inti dari protein dalam sistem hidup
dengan menurunkan nama dari bahasa Yunani proteios, yang berarti
“bertingkat pertama”. Protein merupakan makromolekul yang menyusun
lebih dari separuh bagian dari sel. Protein menentukan ukuran dan
struktur sel, komponen utama dari sistem komunikasi antar sel serta
sebagai katalis berbagai reaksi biokimia di dalam sel. Karena itulah
sebagian besar aktivitas penelitian biokimia tertuju pada protein
khususnya hormon, antibodi dan enzim.
Semua jenis protein terdiri dari rangkaian dan kombinasi dari 20 asam
amino. Setiap jenis protein mempunyai jumlah dan urutan asam amino
yang khas. Di dalam sel, protein terdapat baik pada membrane plasma
maupun membran internal yang menyusun organel sel seperti
mitokondria, retikulum endoplasma, nukleus dan badan golgi dengan
fungsi yang berbeda-beda tergantung pada tempatnya. Protein-protein
yang terlibat dalam reaksi biokimia sebagian besar berupa enzim
banyak terdapat di dalam sitoplasma dan sebagian terdapat pada
kompartemen dari organel sel. Protein merupakan kelompok
biomakromolekul yang sangat heterogen. Ketika berada di luar makhluk
hidup atau sel, protein sangat tidak stabil.
Keistimewaan lain dari protein ini adalah strukturnya yangmengandung N (15,30-18%), C (52,40%), H (6,90-7,30%), O (21-23,50%), S (0,8-2%), disamping C, H, O (seperti juga karbohidrat danlemak), dan S kadang-kadang P, Fe dan Cu (sebagai senyawakompleks dengan protein). Dengan demikian maka salah satu caraterpenting yang cukup spesifik untuk menentukan jumlah proteinsecara kuantitatif adalah dengan penentuan kandungan N yang adadalam bahan makanan atau bahan lain (Sudarmaji, S, dkk. 1989.
5
Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty: Yogyakarta).
2.1.1 Metabolisme karbohidrat
Semua jenis karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida,
proses penyerapan ini terjadi di usus halus. Glukosa dan galaktosa
memasuki aliran darah dengan jalan transfer aktif, sedangkan
fruktosa dengan jalan difusi. Para ahli sepakat bahwa karbohidrat
hanya dapat diserap dalam bentuk disakarida. Hal ini dibuktikan
dengan dijumpainya maltosa, sukrosa dan laktosa dalam urine
apabila mengkonsumsi gula dalam jumlah banyak. Akhimya berbagai
jenis karbohidrat diubah menjadi glukosa sebelum diikut sertakan
dalam proses metabolisme. Proses metabolisme karbohidrat yaitu
sebagai berikut:
I. Glikolisis
Glikolisis adalah rangkaian reaksi kimia penguraian glukosa
(yang memiliki 6 atom C) menjadi asam piruvat (senyawa yang
memiliki 3 atom C), NADH, dan ATP. NADH (Nikotinamida
Adenina Dinukleotida Hidrogen) adalah koenzim yang mengikat
elektron (H), sehingga disebut sumber elektron berenergi tinggi.
ATP (adenosin trifosfat) merupakan senyawa berenergi tinggi.
Setiap pelepasan gugus fosfatnya menghasilkan energi. Pada
proses glikolisis, setiap 1 molekul glukosa diubah menjadi 2
molekul asam piruvat, 2 NADH, dan 2 ATP (Rochimah, 2009).
Glikolisis memiliki sifat-sifat, antara lain: glikolisis dapat
berlangsung secara aerob maupun anaerob, glikolisis melibatkan
enzim ATP dan ADP, serta peranan ATP dan ADP pada glikolisis
adalah memindahkan (mentransfer) fosfat dari molekul yang satu
ke molekul yang lain. Pada sel eukariotik, glikolisis terjadi di
sitoplasma (sitosol). Glikolisis terjadi melalui 10 tahapan yang
terdiri dari 5 tahapan penggunaan energi dan 5 tahapan pelepasan
energi. Berikut ini reaksi glikolisis secara lengkap: Dari skema
tahapan glikolisis menunjukkan bahwa energi yang dibutuhkan
pada tahap penggunaan energi adalah 2 ATP. Sementara itu,
6
energy yang dihasilkan pada tahap pelepasan energi adalah 4 ATP
dan 2 NADH. Dengan demikian, selisih energi atau hasil akhir
glikolisis adalah 2 ATP + 2 NADH (Rochimah, 2009).
Proses pembentukan ATP inilah yang disebut fosforilasi. Pada
tahapan glikolisis tersebut, enzim mentransfer gugus fosfat dari
substrat (molekul organic dalam glikolisis) ke ADP sehingga
prosesnya disebut fosforilasi tingkat substrat (Rochimah, 2009).
Gambar reaksi glikolisis
7
8
II. Dekarboksilasi oksidatif
Tahapan dekarboksilasi oksidatif, yaitu tahapan pembentukan
CO2 melalui reaksi oksidasi reduksi (redoks) dengan O2 sebagai
penerima elektronnya. Dekarboksilasi oksidatif ini terjadi di dalam
mitokondria sebelum masuk ke tahapan siklus Krebs. Oleh karena
itu, tahapan ini disebut sebagai tahapan sambungan (junction)
antara glikolisis dengan siklus Krebs. Pada tahapan ini, asam
piruvat (3 atom C) hasil glikolisis dari sitosol diubah menjadi asetil
koenzim A (2 atom C) di dalam mitokondria. Pada tahap 1, molekul
piruvat (3 atom C) melepaskan elektron (oksidasi) membentuk
CO2 (piruvat dipecah menjadi CO2 dan molekul berkarbon 2).
Pada tahap 2, NAD+ direduksi (menerima elektron) menjadi NADH
+ H+. Pada tahap 3, molekul berkarbon 2 dioksidasi dan mengikat
Ko-A (koenzim A) sehingga terbentuk asetil Ko-A. Hasil akhir
tahapan ini adalah asetil koenzim A, CO2, dan 2NADH (Rochimah,
2009). Berikut gambar di bawah ini reaksi dekarboksilasi oksidatif
dan reaksinya.
9
III. Siklus Krebs
Siklus Krebs terjadi di matriks mitokondria dan disebut juga
siklus asam trikarboksilat. Hal ini disebabkan siklus Krebs tersebut
menghasilkan senyawa yang mempunyai gugus karboksil, seperti
asam sitrat dan asam isositrat. Asetil koenzim A hasi dekarboksilasi
oksidatif memasuki matriks mitokondria untuk bergabung dengan
asam oksaloasetat dalam siklus Krebs, membentuk asam sitrat.
Demikian seterusnya, asam sitrat membentuk bermacam-macam
zat dan akhirnya membentuk asam oksaloasetat lagi (Rochimah,
2009).
Berikut ini tahapan-tahapan dari 1 kali siklus Krebs:
1. Asetil Ko-A (2 atom C) menambahkan atom C pada oksaloasetat
(4 atom C) sehingga dihasilkan asam sitrat (6 atom C).
2. Sitrat menjadi isositrat (6 atom C) dengan melepas H2O dan
menerima H2O kembali.
3. Isositrat melepaskan CO2 sehingga terbentuk - ketoglutarat (5
atom C).
10
4. ketoglutarat melepaskan CO2. NAD+ sebagai akseptor atau
penerima elektron) untuk membentuk NADH dan menghasilkan
suksinil Ko-A (4 atom C).
5. Terjadi fosforilasi tingkat substrat pada pembentukan GTP
(guanosin trifosfat) dan terbentuk suksinat (4 atom C).
6. Pembentukan fumarat (4 atom C) melalui pelepasan FADH2.
7. Fumarat terhidrolisis (mengikat 1 molekul H2O) sehingga
membentuk malat (4 atom C).
8. Pembentukan oksaloasetat (4 atom C) melalui pelepasan NADH.
satu siklus Krebs tersebut hanya untuk satu molekul piruvat saja.
Sementara itu, hasil glikolisis menghasilkan 2 molekul piruvat (untuk 1
molekul glukosa). Oleh karena itu, hasil akhir total dari siklus Krebs
tersebut adalah 2 kalinya. Dengan demikian, diperoleh hasil sebanyak 6
NADH, 2FADH2 dan 2ATP (ingat: jumlah ini untuk katabolisme setiap 1
molekul glukosa).
IV. Transfer electron
Sebelum masuk rantai tanspor elektron yang berada dalam
mitokondria, 8 pasang atom H yang dibebaskan selama
berlangsungnya siklus Krebs akan ditangkap oleh NAD dan FAD
menjadi NADH dan FADH. Pada saat masuk ke rantai transpor
elektron, molekul tersebut mengalami rangkaian reaksi oksidasi-
reduksi (Redoks) yang terjadi secara berantai dengan melibatkan
beberapa zat perantara untuk menghasilkan ATP dan H2O.
Beberapa zat perantara dalam reaksi redoks, antara lain
flavoprotein, koenzim A dan Q serta sitokrom yaitu sitokrom a, a3,
b, c, dan c1. Semua zat perantara itu berfungsi sebagai pembawa
hidrogen/pembawa elektron (electron carriers) untuk 1 molekul
NADH2 yang masuk ke rantai transpor elektron dapat dihasilkan 3
11
molekul ATP sedangkan dari 1 molekul FADH2 dapat dihasilkan 2
molekul ATP (Kistinnah, 2009).
Molekul pertama yang menerima elektron berupa . avoprotein,
dinamakan avin mononukleotida (FMN). Selanjutnya, elektron
dipindahkan berturut-turut melewati molekul protein besi-sulfur (Fe-
S), ubiquinon (Q atau CoQ), dan sitokrom (Cyst). Elektron
melewati sitokrom b, Fe-S, sitokrom c1, sitokrom c, sitokrom a,
sitokrom a3, dan oksigen sebagai penerima elektron terakhir.
Akhirnya terbentuklah molekul H2O (air). Pada sistem transportasi
elektron, NADH dan FADH2 masingmasing menghasilkan rata-rata
3 ATP dan 2 ATP. Sebanyak 2 NADH hasil glikolisis dan 2 NADH
hasil dekarboksilasi oksidatif masing-masing menghasilkan 6 ATP.
Sementara itu, 6 NADH dan 2 FADH2 hasil siklus Krebs masing-
masing menghasilkan 18 ATP dan 4 ATP. Jadi, sistem transportasi
elektron menghasilkan 34 ATP (Rochimah, 2009).
Setiap molekul glukosa akan menghasilkan 36 ATP dalam
respirasi. Hasil ini berbeda dengan respirasi pada organism
prokariotik. Telah diketahui bahwa oksidasi NADH atau NADPH2
dan FADH2 terjadi dalam membrane mitokondria, namun ada
NADH yang dibentuk di sitoplasma (dalam proses glikolisis). Pada
organism eukariotik, untuk memasukkan setiap 1 NADH dari
12
sitoplasma ke dalam mitokondria diperlukan 1 ATP. Dengan
demikian, 2 NADH dari glikolisis menghasilkan hasil bersih 4 ATP
setelah dikurangi 2 ATP. Sementara itu, pada organisme
prokariotik, karena tidak memiliki sistem membran dalam maka
tidak diperlukan ATP lagi untuk memasukkan NADH ke dalam
mitokondria sehingga 2 NADH menghasilkan 6 ATP. Akibatnya
total hasil bersih ATP yang dihasilkan respirasi aerob pada
organisme prokariotik, yaitu 38 ATP (Sembiring, 2009).
V. Glikogenesis
Kelebihan glukosa dalam tubuh akan disimpan dalam hati dan
otot (glikogen) ini disebut glikogenesis. Glukosa yang berlebih ini
akan mengalami
fosforilasi menjadi
glukosa-6-phospat. Di
otot reakssi ini dikatalis
oleh enzim heksokinase
sedangkan di hati
dikatalis oleh
glukokinase. Glukosa-6-
phospat diubah menjadi
glukosa-1-phospat
dengan katalis
fosfoglukomutase
13
menjadi glukosa-1,6-biphospat. Selanjutnya glukosa-1-phospat
bereaksi ddengan uridin triphospat (UTP) untuk membentuk uridin
biphospat glukosa (UDPGlc) dengan katalis UDPGlc
pirofosforilase.
Atom C1 pada glukosa yang diaktifkan oleh UDPGlc
membentuk ikantan glikosidik dengan atom C4 pada residu
glukosa terminal glikogen, sehingga membebaskan UDP. Reaksi
ini dikatalis oleh enzim glikogen sintase. Molekul glikogen yang
sudah ada sebelumnya harus ada untuk memulai reaksi ini.
Glikogen primer selanjutnya dapat terbentuk pada primer protein
yang dikenal sebagai glokogenin. Setelah rantai glikogen primer
diperpanjang dengan penambahan glukosa tersebut hingga
mencapai minimal 11 residu glukosa, maka enzim pembentuk
cabang memindahkan bagian dari rantai 1 ke 4 (panjang minimal
6 residu glukosa0 pada rantai yang berdekatan untuk
membentuk rangkaian 1 ke 6 sehingga membuat titik cabang pad
molekul tersebut. Cabang-cabang ini akan tumbuh dengan
penambahan cabang selanjutnya. Setelah jumlah residu terminal
yang non reduktif bertambaah, jumlah total tapak reaktif dalam
molekul akan meningkat sehinggaa akan mempercepat
glikogenesis maupun glikogenolisis (Mulasari dan Tri, 2013).
VI. Glikogenolisis
Proses perubahan glikogen menjadi glukosa. atau kebalikan dari
glikogenesis.
14
VII. Glikoneogenesis
Proses pembentukan glukosa dari senyawa prekursor
karbohidrat pada jaringan hewan (hati), tumbuhan (biji) dan
mikroorganisme Pada hewan prekursor penting dalam
glukoneogenesis :piruvat, gliserol dan asam Amino Reaksi
glukoneogenesis berlangsung di semua organisme dengan pola
yang sama, perbedaan terjadi pada beberapa senyawa metabolit
dan sistem pengaturannya. Perbedaan utama glikolisis dan
glukoneogenesis:
Glikolisis : glukosa menjadi piruvat
Glukoneogenesis : piruvat menjadi glukosa
Pengaturan glikolisis dan glukoneogenesis adalah secara
berlawanan. Asetil KoA akan menghambat secara allosterik
pembentukan piruvat menjadi asetil Ko A, tetapi meningkatkan
piruvat menjadi oksaloasetat.
Kelebihan glukosa pada organisme akan diubah menjadi
glikogen (pada hewan), amilum, sukrosa dan polisakarida yang lain
(pada tumbuhan) Glukosa akan diubah menjadi glukosa nukleotida
yakni glukosa-UDP (uridin difosfat) yang dikatalisis oleh glikogen
sintetase untuk pembentukan ikatan a1 menjadi 4, untuk
15
pembentukan ikatan 1 menjadi 6 oleh glikosil (1 menjadi 6)
transferase atau amilo (1 menjadi 4) menjadi (1 menjadi 6)
transglikosilase Glukosa-UDP juga merupakan substrat bagi
sintesis sukrosa sedangkan glukosa-ADP merupakan substrat bagi
sintesis amilum (Najmiatul, 2011).
2.1.2 Fungsi karbohidrat
Karbohidrat mempunyai peranan penting dalam menentukan
karakteristik bahan makanan, seperti rasa, warna dan tekstur
(Hutagalung, 2004).
Fungsi karbohidrat di dalam tubuh adalah:
1. Fungsi utamanya sebagai sumber enersi (1 gram karbohidrat
menghasilkan 4 kalori) bagi kebutuhan sel-sel jaringan tubuh.
Sebagian dari karbohidrat diubah langsung menjadi enersi
untuk aktifitas tubuh, clan sebagian lagi disimpan dalam bentuk
glikogen di hati dan di otot. Ada beberapa jaringan tubuh seperti
sistem syaraf dan eritrosit, hanya dapat menggunakan enersi
yang berasal dari karbohidrat saja.
2. Melindungi protein agar tidak dibakar sebagai penghasil enersi.
Kebutuhan tubuh akan enersi merupakan prioritas pertama; bila
karbohidrat yang di konsumsi tidak mencukupi untuk kebutuhan
enersi tubuh dan jika tidak cukup terdapat lemak di dalam
makanan atau cadangan lemak yang disimpan di dalam tubuh,
maka protein akan menggantikan fungsi karbohidrat sebagai
penghasil enersi. Dengan demikian protein akan meninggalkan
fungsi utamanya sebagai zat pembangun. Apabila keadaan ini
berlangsung terus menerus, maka keadaan kekurangan enersi
dan protein (KEP) tidak dapat dihindari lagi.
3. Membantu metabolisme lemak dan protein dengan demikian
dapat mencegah terjadinya ketosis dan pemecahan protein
yang berlebihan.
4. Di dalam hepar berfungsi untuk detoksifikasi zat-zat toksik
tertentu.
16
5. Beberapa jenis karbohidrat mempunyai fungsi khusus di dalam
tubuh. Laktosa rnisalnya berfungsi membantu penyerapan
kalsium. Ribosa merupakan merupakan komponen yang
penting dalam asam nukleat.
6. Selain itu beberapa golongan karbohidrat yang tidak dapat
dicerna, mengandung serat (dietary fiber) berguna untuk
pencernaan, memperlancar defekasi.
2.2 LAKTOSA
Laktosa, β galacotse 1,4 glukosa merupakan komposisi gula pada
susu mammalia yang unik. Laktosa merupakan disakarida yang terdiri
dari glukosa dan galaktosa (Solomons, 2002). Laktosa merupakan
sumber energi yang memasok hampir setengah dari keseluruhan kalori
yag terdapat pada susu (35-45%). Selain itu, laktosa juga diperlukan
untuk absorbsi kalsium. Hasil hidrolisa laktosa yang berupa galaktosa,
adalah senyawa yang penting untuk pembentukan sebrosida.
Serebrosida ini penting untuk perkembangan fan fungsi otak. Galaktosa
juga dapat dibentuk oleh tubuh dari glukosa di hati. Karena itu
keberadaan laktosa sebagai karbohidrat utama yang terdapat di susu
mammalia, termasuk ASI, merupakan hal yang unik dan penting
(Sinuhaji, 2006).
Laktosa hanya dibuat di sel-sel kelenjar mamma pada masa
menyusui melalui reaksi antara glukosa dan galaktosa uridin difosfat
dengan bantuan lactose synthetase. Kadar laktosa dalam susu sangat
bervariasi antara satu mammalia dengan yang lain. ASI mengandung
7% laktosa, sedangkan susu sapi hanya mengandung 4% (Sinuhaji,
2006).
2.3 METABOLISME LAKTOSA
Karbohidrat yang dimakan diserap dalam bentuk monosakarida
(glukosa, galaktosa, dan fruktosa). Karena itu laktosa harus dihidrolisa
menjadi glukosa dan galaktosa terlebih dahulu agar proses absorbsi
17
dapat berlangsung. Hidrolisa ini dilakukan oleh laktase (β-galactosidase),
suatu enzim yang terdapat pada brush border mukosa usus halus
(Mattews, 2005).
Laktosa dalam bentuk bebas dan tidak terikat dengan molekul
lainnya hanya dapat ditemukan pada susu. Laktosa disintetase dengan
menggunakan UDP-galaktose dan glukosa sebagai substrat. Sintetase
laktose terdiri dari 2 subunit: galactosyltransferase dan α-lactalbumin. α-
lactalbumin merupakan subunit yang meyebabkan galactosyltransferase
mengubah galaktosa menjadi glukosa. Subunit katalitik meningkat
selama kehamilan, dimana kadar α- lactalbumin dipengaruhi oleh
hormon dan meningkat hanya pada akhir kehamilan ketika kadar
prolaktin meningkat (Campbell et al. 2005).
18
2.3.1 Enzim Laktase
Laktase merupakan ensim yang penting untuk hidrolisa laktosa yang
terdapat pada susu. Pada brush border vili usus halus terdapat enzim
lain seperti sukrase, maltase, dan glukoamilase. Laktase ditemukan
pada bagian luar brush border dan di antara semua disakaridase,
laktase yang paling sedikit. Pada kerusakan mukosa karena
gastroenteritis, akan aktivitas ensim laktase akan terganggu (Sinuhaji,
2006).
Laktase dapat menghidrolisa berbagai macam substrat. Ensim
laktase termasuk dalam kelas ensim β-galactosidase sehingga memiliki
aktivitas glukosidase dan glikosilceramidase. Laktase memiliki 2 sisi
yang aktif, satu untuk memecah laktosa dan yang lainnya untuk hidrolasi
pholorizin dan glicolipid. Sejumlah aksi dari sisi phlorizin berguna untuk
manusia dan dapat menjelaskan mengapa masih terdapat aktivitas
ensim laktase setelah proses penyapihan (Campbell et al. 2005).
Gambar 1. Laktase terletak pada brush border vili usus halus
19
Gambar 2. Laktosa yang merupakan disakarida terdiri dari gugus
galaktose dan glukosa akan dihidrolisa dengan bantuan ensim laktase
menghasilkan monosakarida yaitu galaktosa dan glukosa.
Gen pengkode laktase terletak pada kromosom 2 (Enattah et al.
2002). Ekspresinya terutama pada enterosit usus halus mammalia dan
sangat sedikit pada kolon selama perkembangan janin. Manusia terlahir
dengan ekspresi laktase yang tinggi. Pada sebagian besar populasi di
dunia, transkiripsi laktase di down regulasi setelah penyapihan, yang
menyebabkan menghilangnya ekspresi laktase pada usus halus, dimana
hilangnya ekspresi laktase inilah yang menyebabkan suatu kondisi yang
disebut intoleransi laktosa (Sinuhaji, 2006).
Pada janin manusia, aktivitas laktase sudah nampak pada usia
kehamilan 3 bulan dan aktifitasnya akan menngkat pada minggu ke 35-
38 hingga 70% dari bayi lahir aterm. Karena itu, defisiensi laktase primer
yang dijumpai pada bayi prematur dihubungkan dengan perkembangan
usus immatur (developmental lactase deficiency). Defisiensi laktase
kongenital pada bayi baru lahir merupakan keadaan yang jarang
dijumpai dan merupakan penyakit yang diturunkan secara autosomal
resesif (Sinuhaji, 2006).
Aktivitas laktase akan mengalami penurunan secara nyata pada
usia 2-5 tahun (late onset lactase deficiency) walau laktosa terus
diberikan. Ini menandakan bahwa laktase bukan merupakan ensim
adaptif. Pada beberapa ras, terutama orang kulit putih di Eropa Utara,
20
beberapa suku nomaden di Afrika, aktivitas laktase pada manusia
dewasa tetap tinggi (persistence of lactase activity) (Sinuhaji, 2006).
2.4 Intoleransi Laktosa
Intoleransi laktosa merupakan sindroma klinis yang ditandai oleh
satu atau lebih manifestasi klinis seperti sakit perut, diare, mual,
kembung, produksi gas di usus meningkat setelah konsumsi laktosa atau
makanan yang mengandung laktosa. Jumlah laktosa yang menyebabkan
gejala bervariasi dari individu ke individu, tergantung pada jumlah
laktosa yang dikonsumsi, derajat defisiensi laktosa, dan bentuk makanan
yang dikonsumsi (Heyman, 2006).
Mekanisme Intoleransi Laktosa:
• Enzim laktase berkurang/tidak ada
• Laktosa tidak dapat dipecah menjadi glukosa dan galaktosa
• Laktosa sifat osmotik menarik air ke dalam usus kecil sakit perut,
mulas, kejang perut, keluar gas, dan diare
• Laktosa tidak diserap
Menarik air kolon Gas (H2, CO2,CH4)
Fermentasi Asam lemak rantai
pendek
Asam Laktat
Mulas, Kejang perut,Diare
Beberapa terminologi yang berkaitan dengan intoleransi laktosa
antara lain:
- Malabsorbsi laktosa
Permasalahan fisiologis yang bermanifestasi sebagai intoleransi
laktosa dan disebabkan karena ketidakseimbangan antara jumlah
laktosa yang yang dikonsumsi dengan kapasitas laktase untuk
menghidrolisa disakarida (Heyman, 2006).
- Defisiensi laktase primer
21
Tidak adanya laktase baik secara relatif maupun absolut yang
terjadi pada anak-anak pada usia yang bervariasi pada kelompok ras
tertentu dan merupakan penyebab tersering malabsorbsi laktosa dan
intoleransi laktosa. Defisiensi laktase primer juga sering disebut
hipolaktasia tipe dewasa, laktase nonpersisten, atau defisiensi laktase
herediter (Heyman, 2006).
- Defisiensi laktase sekunder
Defisiensi laktase yang diakibatkan oleh injuri usus kecil, seperti
pada gastroenteritis akut, diare persisten, kemoterapi kanker, atau
penyebab lain injuri pada mukosa usus halus, dan dapat terjadi pada
usia berapapun, namun lebih sering terjadi pada bayi (Heyman, 2006).
- Defisiensi laktase kongenital
Merupakan kelainan yang sangat jarang yang disebabkan karena
mutasi pada gen LCT. Gen LCT ini yang memberikan instruksi untuk
pembuatan ensim laktase (Madry, 2010).
2.4.1 Epidemiologi
Secara global, diperkirakan 65-75% penduduk dunia sebenarnya
mengalami defisiensi laktase primer dan sangat sering terjadi pada
orang Asia, Amerika Selatan, dan Afrika (Swallow 2003).
2.4.2 Patofisiologi
Apabila terjadi defisiensi laktase baik primer maupun sekunder,
laktosa tidak bisa dipecah menjadi bentuk yang bisa diserap, sehingga
laktosa akan menumpuk. Laktosa merupakan sumber energi yang baik
untuk mikroorganisme di kolon, dimana laktosa akan difermentasi oleh
mikroorganisme tersebut dan menghasilkan asam laktat, gas methan
(CH4) dan hidrogen (H2). Gas yang diproduksi tersebut memberikan
perasaan tidak nyaman dan distensi usus dan flatulensia. Asam laktat
yang diproduksi oleh mikroorganisme tersebut aktif secara osmotik dan
menarik air ke lumen usus, demikian juga laktosa yang tidak tercerna
juga menarik air sehingga menyebabkan diare. Bila cukup berat,
produksi gas dan adanya diare tadi akan menghambat penyerapan
nutrisi lainnya seperti protein dan lemak (Sinuhaji, 2006).
22
2.5 Hubungan Intoleransi Laktosa dengan Alergi Protein Susu Sapi
Susu dan produk susu lainnya terkandung komponen gula atau
karbohidrat yang dikenal dengan laktosa atau gula susu. Tubuh dalam
keadaan normal dapat memecah laktosa menjadi gula sederhana
dengan bantuan enzim laktase. Mamalia ada yang tidak mampu
memproduksi laktase sejak masa penyapihan.
Laktase pada manusia terus diproduksi sepanjang hidupnya karena
tanpa laktase yang cukup, manusia tidak dapat mencerna laktosa
sehingga akan mengalami gangguan pencernaan seperti sakit perut dan
diare yang dikenal sebagai intoleransi laktosa atau defisiensi laktase.
Setiap orang pernah mengkonsumsi susu atau produk susu. Sejak masa
bayi hingga dewasa dan usia lanjut, orang terbiasa mengkonsumsi susu
atau produk susu. Saat usia bayi sampai balita adalah saat memerlukan
susu karena susu mengandung gizi yang dibutuhkan oleh tubuh.
Pemberian susu formula pada bayi hanya dilakukan bila susu formula
memang benar-benar dibutuhkan untuk mengatasi keadaan dimana bayi
tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) karena berbagai sebab dan
pertimbangan. Pemberian susu formula yang berbahan dasar susu sapi
kerap menimbulkan masalah alergi (makanan). Manifestasi klinis alergi
susu sapi bervariasi, dari yang ringan hingga yang berat. Prinsip
penatalaksanaan alergi makanan menganjurkan tindakan yang paling
penting adalah melakukan eliminasi terhadap bahan yang bersifat
alergenik (Munasir 2002).
Sekalipun seringkali memiliki gejala yang mirip atau bahkan terlihat
sama, namun alergi susu sapi berbeda dengan intoleransi laktosa (yang
dikenal juga dengan intoleransi susu). Orang dengan kondisi intoleransi
laktosa tidak bisa mencerna gula kompleks, yaitu laktosa, yang
terkandung dalam susu dan produk olahan susu lainnya. Kurangnya
enzim laktase dalam usus menyebabkan orang-orang ini tidak bisa
mencerna laktosa menjadi bentuk yang lebih sederhana, yaitu galaktosa
dan glukosa. Jadi penyebab terjadinya intoleransi laktosa adalah
23
gangguan pada sistem penyerapan, sedangkan pada alergi susu sapi
disebabkan oleh reaksi alergi terhadap protein susu sapi yang dipicu
oleh sistem imun.
Susu sapi mengandung lebih dari 20 komponen protein yang dapat
menyebabkan reaksi alergi (Gjesing et al. 1986, Cavagni et al. 1994,
Docena et al. 1996). Fraksi protein susu sapi terdiri dari casein dan
whey. Casein difraksi menjadi α-, β-, dan κ-casein. Whey protein terdiri
dari α-lactalbumin (α-1a), β-lactoglobulin (β-Ig), albumin BSA dan
immunoglobulin (Ig).
Hasil penelitian menemukan bahwa β-Ig merupakan penyebab
utama alergi dalam susu sapi (Goldman et al. 1963, Proses mekanisme
pertahanan tubuh, berupa mekanisme imunologik dan non imunologik,
berperan untuk mencegah masuknya antigen asing ke dalam tubuh.
Antigen asing yang masuk dapat berupa bakteri, virus, parasit, atau
protein makanan (Sampson 2002). Mekanisme non imunologik yaitu
tubuh melakukan pertahanan dengan cara memecah antigen dengan
bantuan asam lambung dan enzim, sedangkan pencegahan penetrasi
antigen dilakukan oleh aktivitas peristaltik usus pada lapisan mukosa
usus. Mekanisme imunologik berlangsung dengan cara pencegahan
penetrasi antigen yang masuk ke dalam lumen usus oleh IgA dan
eliminasi antigen yang lolos ke dalam tubuh melalui saluran
gastrointestinal oleh IgA, IgG dan sistem retikulo endothelial (Munasir
2003). Mekanisme pertahanan saluran pencernaan bayi belum
sempurna. Faktor-faktor yang menghambat masuknya protein susu sapi
melalui lapisan epitel usus belum cukup, sehingga akan banyak bahan
alergenik yang menembusnya. Protein yang bersifat alergenik ini
kemudian masuk ke dalam sistem sirkulasi, dan selanjutnya sistem imun
akan mengenalinya sebagai benda asing dan menyerangnya, sehingga
terjadilah gejala alergi (Sears 1999).
Docena et al. 1996, Bernard et al. 1998, Busse et al. 2002, Cocco et
al. 2003). Beberapa protein whey dapat mengalami denaturasi dengan
pemanasan yang ekstensif, namun tidak cukup dengan pasteurisasi
24
rutin. Bahkan pasteurisasi rutin ini dapat meningkatkan alergenitas
beberapa jenis protein seperti beta-lakto globulin. Jumlah komponen
antigenik protein susu sapi juga akan meningkat pada proses
pencernaan. Proses hidrolisis peptik yaitu setiap fraksi protein dipecah
paling sedikit menjadi 8 peptida baru, sehingga akan didapatkan lebih
dari 100 antigen baru yang potensial sebagai alergen, walaupun lebih
rendah dari protein aslinya (Savilahti dan Kuitunen 1992).
Kasus alergi susu sapi, tubuh bereaksi membuat zat inti yang
dinamakan immunoglobulin. Jadi, ketika anak mengkonsumsi susu sapi,
tubuhnya akan membentuk antibodi, semakin lama ia mengkonsumsi,
semakin bertambah tinggi antibodinya. Ketika sudah melewati ambang
batas antibodi, maka munculah alergi. Kejadian alergi paling sering
dialami balita terutama anak-anak di bawah usia satu tahun. Pada
dewasa juga ada ditemui namun sangat jarang karena alergi susu sapi
biasanya akan hilang sendiri seiring bertambahnya usia. Anak-anak
yang menderita alergi susu sapi umumnya akan diberikan susu
pengganti dimana protein dari susu sapi tersebut sudah dihidrolisis
(protein susu sapi tersebut sudah dipecah menjadi partikel-partikel kecil
atau partial hydrolize). Susunya dikenal dengan istilah susu yang
hypollergenic. Bila pemberian susu yang sudah dihidrolisa ini tetap
memicu alergi anak, alternatifnya adalah susu extensive hydrolyzed
(susu dimana proteinnya dipecah lagi menjadi partikel yang lebih kecil
lagi). Jika masih alergi, mau tak mau anak harus mengkonsumsi susu
asam amino (protein dibuat menjadi bagian yang paling kecil yang
disebut asam amino) yang harganya relatif mahal. Biasanya setelah
anak diberi konsumsi susu amino lama-lama dia bisa tahan terhadap
susu sapi dan bias mengkonsumsinya. Langkah terakhir mengetahui
lebih pasti apakah anak memang betul-betul alergi susu sapi dapat
dilakukan tes alergi.
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Intoleransi laktosa merupakan gejala-gejala sakit perut, mulas,
kejang perut, pengeluaran gas, dan mencret. keadaan ini dapat
menyebabkan orang menjadi enggan minum susu. Hal ini disebabkan
karena laktosa karena beberapa hal menjadi tidak dapat dipecah oleh
getah pencernaan, maka laktosa yang mempunyai sifat osmotik tinggi
ini dapat menarik air dari cairan ke dalam saluran pencernaan
usus kecil. Intoleransi laktosa ini biasa diderita okleh bayi dan lansia.
Untuk mencegah kekurangan zat gizi yang terdapat pada susu, maka
penderita intoleransi laktosa dapat mengonsumsi makanan pengganti
yang memiliki zat gizi sama atau hampir sama dengan susu. Makanan
tersebut antara lain: susu kedelai, yogurt, daging, ikan laut, telur, dan
sayuran hijau.
Kasus alergi susu sapi, tubuh bereaksi membuat zat inti yang
dinamakan immunoglobulin. Jadi, ketika anak mengkonsumsi susu sapi,
tubuhnya akan membentuk antibodi, semakin lama ia mengkonsumsi,
semakin bertambah tinggi antibodinya. Ketika sudah melewati ambang
batas antibodi, maka munculah alergi. Kejadian alergi paling sering
dialami balita terutama anak-anak di bawah usia satu tahun. Pada
dewasa juga ada ditemui namun sangat jarang karena alergi susu sapi
biasanya akan hilang sendiri seiring bertambahnya usia.
3.2 Saran
Sebagai upaya penanganan Intoleransi Laktosa dan alergi pada
protein susu maka hal yang perlu dilakukan adalah konsumsi susu
rendah laktosa pada bayi yang memiliki intoleransi lakstosa permanen.
Serta membiasakan untuk minum susu dari kecil hingga dewasa (kondisi
normal)
26
DAFTAR PUSTAKA
B. Marks,PhD,Dawn,.dkk. 2000 .Biokimia Kedokteran Dasar. Jakarta:
EGC
Dr.Arisman,MB,M.Kes.2009.Keracunan Makanan: Buku Ajar Ilmu
Gizi.Jakarta: EGC
Dr.Dadan Rosana,M.Si. 2006. Biofisika . Jakarta:EGC
James,Joyce.2008.Prinsip-Prinsip Sains untuk
Keperawatan.Jakarta: Erlangga
H.Rahmat Rukmana.2001.Yoghurt dan Karamel Susu.Yogyakarta:
Kanisius
Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan.2011. Intoleransi Laktosa dan
Alergi Protein Susu Sapi.Buletin 1(4):1-19
Sumarjiana, I Ketut Laba.2011,Lactose Intolerance.Widyatech jurnal
Sains dan Teknologi 10(3):1-13
Tehuteru,Edi Setiawan.1991.Malabsorpsi Laktosa Pada Anak. Jurnal
Kedokteran Trisakti 18(3):139-144
27