5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Kondisi Lingkungan Kawasan Dadap-Kamal Muara, pemanfaatan dan ketergantungan daerah perikanan dari TPI Dadap dan TPI Kamal Muara
5.1.1 Kondisi lingkungan kawasan Dadap-Kamal Muara
Bertambah buruknya kualitas perairan di sekitar kawasan pantai Dadap-
Kamal Muara menyebabkan aktivitas perikanan berada dalam kondisi yang
kurang baik jika dilihat dari rantai sanitasi dan higienis lingkungan dalam
kaitannya dengan proses produksi hasil perikanan. Beberapa aspek yang
dipengaruhi adalah sumberdaya ikan, habitat atau ekosistem dimana sumberdaya
ikan tersebut hidup, proses tataproduksi hasil perikanan, serta proses penanganan
dan pengolahannya.
Perairan yang tercemar akan mengakibatkan semakin tidak sesuainya
kondisi lingkungan tersebut dengan makhluk hidup yang biasanya tinggal di sana.
Pencemaran yang melampaui batas akan menyebabkan terganggunya pematangan
telur dan larva ikan; pertumbuhan larva yang tidak normal, serta mempengaruhi
proses perkembangbiakan generasi makhluk tersebut selanjutnya. Lingkungan
yang buruk ini juga akan mencegah mendekatnya induk untuk melakukan
pemijahan.
Ekosistem perairan yang tercemar akan mengganggu kesehatan makhluk
hidup yang ada di sekitarnya. Makhluk hidup yang dapat bergerak bebas seperti
ikan akan segera mencari perairan yang lebih baik dan subur, sementara yang
tidak dapat bergerak akan mencoba beradaptasi dengan lingkungannya yang
secara nyata sudah tercemar tersebut. Kerang hijau yang banyak dibudidayakan di
kawasan pantai Dadap-Kamal Muara adalah sejenis makhluk hidup yang
mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan perairan tercemar.
Menurut Setyobudiandi (2004), kandungan Pb yang tinggi di perairan Teluk
Jakarta tidak mengganggu proses metabolisme kerang hijau, meskipun kadar Pb
yang tinggi pada daging kerang hijau ini (mencapai 0,9 ppm) sudah jauh di atas
169
ambang batas aman yang ditetapkan oleh FAO sebesar 0,05 ppm sehingga tidak
dianjurkan untuk dikonsumsi.
Menjauhnya sumberdaya ikan dari perairan di sekitar pantai Dadap-Kamal
Muara mengharuskan nelayan tradisional untuk mencari ikan lebih jauh ke tengah
ke perairan sekitar Kepulauan Seribu. Sebagaimana juga yang dirasakan oleh
nelayan yang tinggal di Kepulauan Seribu, mencari ikan dari hari ke hari semakin
sulit didapat. Nelayan sudah cukup mengetahui juga mengapa beberapa jenis ikan
banyak yang menghilang dari perairan mereka, namun upaya untuk ikut berusaha
memperbaiki kualitas lingkungan masih belum maksimal dilakukan. Tekanan
hidup yang berat telah menyebabkan upaya pelestarian ekosistem perairan bukan
merupakan prioritas utama para nelayan.
Aktivitas perikanan yang dilakukan di sekitar TPI Dadap dan TPI Kamal
Muara sedikit banyak berhubungan dengan kondisi perairan yang tercemar
tersebut. Untuk aktivitas pencucian perahu, alat tangkap, tempat pelelangan, dan
alat bantu lainnya selalu berkaitan dengan penggunaan air, baik air laut maupun
air sungai. Kontaminasi dari media air ini akhirnya akan sampai juga pada ikan
dan akhirnya ke konsumen.
Sebagaimana diidentifikasi oleh Suryaningrum (2003, lihat Bab 4),
peningkatan pencemaran perairan pantai Dadap juga disebabkan oleh kandungan
B3 dalam tanah urukan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk proses pengurukan
suatu perairan, belum dilakukan seleksi yang cermat terhadap material urukan
tersebut berkaitan dengan kelestarian lingkungan.
Dilihat dari aspek oseanografi (khususnya pasang surut), keberadaan TPI
Dadap dan Kamal Muara tidaklah dalam kondisi yang membahayakan. Hal ini
dilihat dari tidak terjadinya abrasi di wilayah pantai disekitarnya, tetapi malah
sedimentasi yang terus menerus dan memerlukan penanganan yang rutin agar alur
lalu lintas kapal ikan tetap terbuka dari dan ke pelabuhan.
Sebagaimana telah disampaikan dalam Bab 4, proses gerakan massa air
suatu perairan sangat dipengaruhi oleh keadaan geografis dari wilayah
170
perairannya. Dengan memperhatikan keadaan geografis kawasan Muara Dadap,
kita dapat menduga bahwa pola arus di perairan ini sangat dipengaruhi oleh
pasang surut. Pola pasut di perairan ini ditentukan oleh pola pasut dari perairan
yang lebih besar yaitu Laut Jawa. Pasut dari Laut Jawa itu sendiri pun bukan
disebabkan oleh gaya pembangkit pasang astronomis (bulan dan matahari)
melainkan oleh rambatan pasut dari Lautan Pasifik yang memasuki Laut Jawa
melalui Laut Cina Selatan dan Selat Makasar (Pariwono 1985).
Pergerakan massa air secara mendatar (arus) di suatu perairan terbentuk
karena beberapa faktor, seperti oleh seretan angin, pasang surut, dan perbedaan
densitas air laut. Di wilayah perairan Banten, termasuk juga Teluk Dadap dan
Kamal Muara, arus laut utamanya terjadi karena pengaruh angin Muson dan
pasang surut. Mengingat wilayah utara Banten berada dalam sumbu utama angin
Muson, arus musim yang terbentuk mengalir kearah timur selama periode musim
Barat (Desember-Februari). Sebaliknya, dalam periode musim Timur (Juni-
Agustus) arus musim mengalir secara dominan ke arah barat. Kecepatan arus
Musim berkisar antara 20 sampai 40 cm/detik (PKSPL IPB 2004). Pasang surut
yang terjadi ini berasal dari Samudera Hindia yang merambat masuk melalui
perairan Selat Sunda. Sehingga secara umum arus yang ditimbulkan oleh pasang
surut diperkirakan bergerak ke arah utara dalam kondisi pasang, dan sebaliknya
kearah selatan dalam kondisi surut. Pengaruh kedalaman perairan lokal dan
morfologi pantai dapat memodifikasi arus tersebut.
Dengan asumsi bahwa kondisi pasut di Muara Dadap dan Kamal Muara
mirip dengan kondisi pasut di Tanjung Priok, maka perubahan yang terjadi di
Tanjung Priok akan dialami pula oleh daerah Muara Dadap. Hasil pengukuran
menunjukan bahwa kisaran pasut di Tanjung Priok adalah sekitar 1,0 m pada
waktu pasang purnama, dan sekitar 0,3 m pada waktu pasang perbani. Pasang
purnama adalah pasang tertinggi (dan surut terandah) yang dialami oleh suatu
perairan, terjadi pada bulan purnama atau bulan mati. Kebalikan pasang purnama
adalah pasang perbani, dimana kisaran pasutnya paling rendah, yang terjadi pada
waktu bulan sabit (perempat pertama dan perempat ke tiga). Pada kondisi pasang
purnama dan pasang perbani pada saat matahari berada dibelahan bumi utara
171
(bulan Juni), dan dibelahan bumi selatan (bulan Desember). Membandingkan
kedua pasut pada kedua bulan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kisaran pasut
terbesar di Tanjung Priok terjadi pada saat kedudukan matahari berada dibelahan
bumi selatan, yaitu antara bulan Oktober hingga Februari. Keadaan ini baik
berlaku pada waktu pasang purnama maupun ketika pasang perbani. Pengaruh
utama yang ditimbulkannya pada kecepatan arus di Perairan Teluk Jakarta. Arus
pasut di perairan ini akan relatif lebih deras ketika matahari berada pada belahan
bumi selatan dibanding ketika berada dibelahan bumi utara.
Proses reklamasi yang dilakukan di Pantai Dadap dan akan dilakukan juga di
pesisir Jakarta Utara dipastikan akan menimbulkan beberapa dampak positif dan
negatif. Dampak positifnya, sebagaimana direncanakan oleh para pengembang
dan juga pemerintah, untuk Pemda Tangerang dan masyarakat Dadap antara lain:
(1) Pembangunan fasilitas umum, seperti prasarana dan sarana transportasi dan
komunikasi;
(2) Penciptaan kegiatan ekonomi dan lapangan kerja;
(3) Pendapatan pemerintah
Untuk Pemkot dan masyarakat Jakarta Utara dampak positif dari kegiatan
reklamasi yang akan dilakukan adalah:
(1) pembangunan kegiatan industri;
(2) fasilitas kegiatan pariwisata;
(3) perkantoran
(4) pusat bisnis;
(5) sarana transportasi; dan
(6) perumahan penduduk untuk 750. 000 – 1,9 juta jiwa.
Dalam setiap kegiatan pembangunan, para perencana hampir selalu lebih
menonjolkan berbagai target positif yang akan dapat dicapai dibandingkan dengan
kemungkinan terjadinya dampak negatif. Meskipun dampak positif yang akan
dicapai tersebut ternyata tidak atau hanya sedikit dinikmati oleh masyarakat di
sekitar proyek tersebut. Hal ini masuk akal karena tanpa dampak positif, mustahil
suatu program pembangunan dapat dibiayai. Hanya saja, cukup banyak program
pembangunan yang sekarang dilakukan lebih mengarah pada keuntungan ekonomi
semata, artinya dampak positif hanya bagi segelintir orang dan untuk jangka
172
pendek, tanpa memperhitungkan dampak negatif yang akan datang dalam jangka
panjang.
Reklamasi Pantai Dadap sudah menunjukkan beberapa dampak negatifnya
sebelum dampak positifnya diperoleh. Sebagaimana dapat diikuti dari berbagai
media massa (lihat Bab 4), dampak negatif yang sudah dirasakan penduduk sekitar
lokasi reklamasi adalah:
(1) terjadinya pendangkalan saluran Kali Perancis sehingga mengganggu
lalulintas perahu nelayan;
(2) kematian beberapa ekosistem mangrove
(3) peningkatan kontaminasi logam berat di perairan
(4) kerusakan prasarana transportasi selama proses pengurukan berlangsung
(kerusakan jalan karena kendaraan-kendaraan berat.
Dampak positif memang sudah diperoleh Pemda dari retribusi pengurukan
yang sudah dilakukan, meskipun tidak sebanding jika dibandingkan dengan
kerugian yang ditimbulkannya. Reklamasi yang sudah dilakukan sejak tahun
2002 dan kemudian menjadi masalah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu:
(1) Perencanaan tidak dilakukan secara terbuka kepada semua stakeholders;
(2) Kurang sosialisasi sehingga banyak stakeholders yang mendapat informasi
yang kurang tepat;
(3) Tidak dilakukan kajian analisis dampak lingkungan terlebih dahulu;
(4) Kurang melibatkan tenaga kerja lokal sejak awal pelaksanaan proyek.
(5) Aktivitas proyek..tidak diintegrasikan dengan kepentingan penduduk lokal.
Menurut Koordinator Himpunan Nelayan Dadap Mbing, warga Desa Dadap,
Kosambi, Kabupaten Tangerang, belum mengetahui ada proyek pengurukan laut
besa-besaran di Pantai Mutiara Dadap. Mereka bahkan tak peduli aktivitas
reklamasi kawasan untuk wisata bertaraf internasional tersebut. Menurut warga,
proyek reklamasi silakan saja. Asal, warga disediakan infrastruktur seperti tempat
pelelangan ikan, pengerukan Kali Perancis, serta perbaikan jalan. "Kami tak
peduli. yang penting bagi kami para nelayan bisa tetap melaut. Kampung Giri
Baru merupakan perkampungan nelayan yang dibangun 1975. Umar Bahrudin,
Ketua RW O2, Kampung Gili Baru, Desa Dadap, mengatakan, warga dari dulu
173
hanya ingin bekerja dengan didukung sarana prasarana yang memadai. Kepala
Desa Dadap Dames Taufik mengklaim, tidak ada masalah dengan warganya
terhadap reklamasi pantai itu. Menurut Dames, informasi kerusakan lingkungan
dan penolakan warga yang berkembang selama ini dikendalikan orang luar Dadap.
(Tempo Interaktif 2005b).
Menurut Charles (1992), bidang perikanan merupakan suatu sistem yang
sangat komplek dan dinamik, dimana terjadi interaksi diantara sumberdaya-
sumberdaya alam, manusia, dan kelembagaan; dan terdapat kecenderungan yang
mengherankan bahwa konflik yang seringkali terjadi sudah dianggap sebagai
sesuatu hal yang lumrah. Konflik yang terjadi umumnya disebabkan oleh
kelangkaan sumberdaya ikan, sistem bagi hasil diantara nelayan dengan pengolah,
serta konflik pengelolaan diantara nelayan dengan pemerintah. Konflik juga
umum terjadi dengan bidang diluar perikanan, seperti kehutanan, turisme, dan
pertambangan di lautan.
Setiap permasalahan tentu ada solusinya. Menurut Widjajanto (2004),
resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan
untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses
penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik.
Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama,
konflik tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer,
namun harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki
suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang
spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula.
Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel
tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial
harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat
berbagai faktor. Terakhir, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal
jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang
relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif
jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian yang
langgeng. Dirangkum dari berbagai sumber, Widjajanto (2004) menuliskan
bahwa terdapat 4 tahap resolusi konflik, yaitu: 1) Tahap I: de-eskalasi konflik; 2)
174
Tahap II: intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik; 3) Tahap III: problem-
solving approach; dan 4) Tahap IV: peace-building.
Dalam kasus konflik yang terjadi di kawasan Dadap, skala yang terjadi
masih sangatlah kecil karena tidak sampai melibatkan intervensi militer.
Sehingga, tampaknya resolusi yang dapat dilakukan adalah dengan komunikasi
yang baik, transparansi di antara kedua belah pihak, dan berbasis saling
menguntungkan. Widjajanto (2001) dalam Widjajanto (2004) mengusulkan
perlunya dikembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal yang
melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor non militer di berbagai tingkat eskalasi
konflik Widjajanto (2004) mengutip beberapa referensi menyebutkan bahwa
aktor-aktor resolusi konflik tersebut dapat saja melibatkan Non-Governmental
Organisations (NGOs) (Aall 1996), mediator internasional (Zartman dan Touval
1996), atau institusi keagamaan (Sampson 1997 dan Lederach 1997).
Keempat tahap resolusi konflik tersebut harus dilihat sebagai suatu kesatuan
yang tidak dapat dijalankan secara terpisah. Kegagalan untuk mencapai tujuan
disatu tahap akan berakibat tidak sempurnanya proses pengelolaan konflik di
tahap lain. Tahap-tahap tersebut juga menunjukkan bahwa resolusi konflik
menempatkan perdamaian sebagai suatu proses terbuka yang tidak pernah
berakhir. Perdamaian memerlukan upaya terus menerus untuk melakukan
identifikasi dan eliminasi terhadap potensi kemunculan kekerasan struktural di
suatu komunitas (Widjajanto 2004).
Beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk menengahi konflik
kepentingan diantara Pemerintah, pengembang, dan penduduk ini adalah:
(1) Jika untuk menghasilkan satu meter persegi luasan tanah siap pakai hasil
reklamasi diperlukan rata-rata 12,3 meter kubik, maka untuk melakukan
reklamasi sekitar 1.000 hektar sebagaimana direncanakan dalam PerDa No 5
Tahun 2002 tentang Perubahan Tata Ruang Daerah, dimana berdasarkan
peraturan itu, sekitar 20 km dari 50 km total panjang pantai di Kabupaten
Tangerang atau dari Dadap Kosambi hingga pantai Tanjung Kait,
Kecamatan Pakuhaji untuk kawasan wisata. Luas pantai yang akan
direklamasi dan dijadikan kawasan wisata terpadu seluas 10 km dari laut dan
satu km dari garis pantai atau sekitar 1.000 hektar. Untuk menimbun seluas
175
200 hektar saja, material yang dibutuhkan adalah 12,3 x 200 x 10.000 =
24.600.000 meter kubik. Sebagian dari kebutuhan material ini dapat diambil
dari dasar perairan Kali Perancis maupun Kali Kamal Muara, yang
merupakan jalur lalu lintas perahu nelayan.
(2) Pengerukan jalur lalulintas perahu nelayan di Kali Perancis sampai ke laut
yang berkedalaman sekitar 4 m, yaitu sampai sejauh 1.750 m dari garis
pantai. Jika diasumsikan kedalaman rata-rata Kali Perancis saat ini hanya
sekitar 50 cm, maka dengan lebar sungai sebesar 45 m dan panjang sungai
sampai ke laut yang berkedalam 4 m ada sekitar 2.000 m, maka jumlah
lumpur yang harus dikeruk adalah sebanyak 3,50 x 2.000 x 45 m3 = 315.000
m3. Artinya, hanya dengan memenuhi 1,28 % dari kebutuhan material
urukan maka masalah pendangkalan jalur lalu lintas perahu nelayan di Kali
Perancis sudah dapat ditanggulangi.
(3) Setelah proses pengerukan dilakukan, perlu dibangun suatu tanggul
disepanjang jalur lalu lintas kapal penangkap ikan tersebut agar terjadinya
pendangkalan dapat dihindarkan sedapat mungkin.
Konflik yang terjadi sebagai akibat dari rencana pembangunan Kota Air
Kamal Muara tidaklah seramai yang terjadi di Dadap, karena masih dalam fase
awal dimana hasil studi amdal dan masalah legal aspek dipertanyakan oleh
berbagai pihak. Mengacu pada pendapat Chua (2006) yang menyatakan bahwa
aktivitas manusia adalah faktor ke tiga yang mempengaruhi keterpaduan dan
kesehatan wilayah pesisir, dimana faktor pertama dan keduanya adalah daratan
dan perairan, maka untuk memecahkan konflik pengelolaan sumberdaya pesisir di
kawasan Dadap-Kamal Muara, faktor manusia harus berperan secara aktif untuk
mencari solusi pemecahannya. Chua (2006) menambahkan bahwa di suatu
kawasan pesisir yang tidak terdapat komunitas manusia, proses alami dapat
menjaga kondisi wilayah tersebut tetap pristine. Untuk menanggulangi konflik di
kawasan Dadap pada tahap ini, beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk
mencari solusi masalah tersebut antara lain:
176
(1) Semua diskusi dan perdebatan tentang aktivitas reklamasi Pantura harus
diwakili oleh semua stakeholders, tidak hanya dilakukan diantara para
pemerhati lingkungan, Pemda, dan Pemerintah Pusat;
(2) Perhatian dan pertimbangan terhadap pelestarian sumberdaya lingkungan
(plasma nutfah atau biodiversiti) harus juga memperhatikan keuntungan
yang perlu digali dan diperoleh untuk kepentingan masyarakat lokal yang
akan terkena dampaknya;
(3) Setiap perencanaan dan aktivitas yang akan dilakukan di lokasi proyek
(untuk setiap tahapan pelaksanaan proyek, mulai dari land clearing sampai
berjalannya aktivitas di lokasi tersebut setelah proyek fisik selesai), harus
dijelaskan kepada semua stakeholders, sehingga mereka akan menyadari
peran apa yang akan diambilnya.
Skenario solusi konflik reklamasi pesisir Dadap diantara para stakeholders
dicantumkan dalam Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Skenario solusi konflik reklamasi pesisir Dadap dan peran antar para stakeholders
STAKEHOLDERS PERAN
PEMDA
TANGERANG
(1) Melaksanakan pertemuan diantara stakeholders untuk mencari solusi masalah pengurukan pesisir Dadap
(2) Memandu diskusi diantara wakil-wakil stakeholders tentang manfaat proyek pembangunan kawasan Wisata Mutiara Dadap serta kaitannya dengan kegiatan reklamasi yang sedang dilakukan dan untung ruginya jika proyek diteruskan atau dihentikan
(3) Mengumumkan secara terbuka rencana pembangunan kawasan wisata Pantai Mutiara Dadap, dan melaksanakan sosialisasi dengan masyarakat, khususnya masyarakat lokal
(4) Menetapkan kepada pengembang untuk mengambil bahan urukan dari Kali Perancis dan sepanjang jalur pelayaran perahu nelayan
(5) Menetapkan kepada pengembang untuk menggunakan tenaga lokal dalam berbagai bidang
PENGEMBANG (1) Menjelaskan kepada Pemda, nelayan, dan penduduk setempat tentang proyek reklamasi yang sedang dilaksanakan serta beberapa peran dan keuntungan yang dapat diambil oleh penduduk setempat, baik saat persiapan dan pelaksanaan proyek maupun setelah berjalannya aktivitas
(2) Mendahulukan penggunaan tenaga kerja lokal dalam proses reklamasi kawasan pesisir Dadap
177
Lanjutan Tabel 5.1 STAKEHOLDERS PERAN
(3) Melakukan pengerukan Kali Perancis dan jalur pelayaran perahu nelayan sebagai material urukan pesisir Dadap
(4) Membangun dinding penahan longsor di sepanjang Kali Perancis yang berfungsi sebagai jalur lalu lintas perahu dan tempat bersandarnya perahu nelayan
NELAYAN (1) Membantu pemda dan pengembang untuk melakukan
pengerukan dasar Kali Perancis dan jalur pelayaran perahu nelayan dimana lumpur hasil kerukan digunakan untuk mereklamasi perairan pesisir.
(2) Dengan bertambah dalamnya Kali Perancis maka aktivititas perikanan dapat dilakukan tanpa terganggu lagi
(3) Mempersiapkan diri untuk ikut berperan dalam aktivitas wisata bahari yang telah direncanakan pemerintah dan pengembang di Pantai Mutiara Dadap
PENDUDUK LAIN (1) Melakukan koordinasi dan identifikasi kapasitas sumberdaya manusia lokal yang dapat berperan-serta, baik dalam kegiatan proyek reklamasi pantai Dadap maupun setelah kawasan Wisata Pantai Mutiara Dadap tersebut berjalan.
(2) Mempersiapkan diri untuk ikut berperan dalam aktivitas wisata bahari yang telah direncanakan pemerintah dan pengembang di Pantai Mutiara Dadap
Beberapa peran yang dapat ditawarkan kepada masyarakat setempat antara
lain:
1) berperan aktif primer (ikut terlibat secara langsung baik sebagai tenaga kerja
di tahap awal aktivitas pembangunan, maupun sebagai karyawan setelah
proyek fisik selesai);
2) berperan aktif sekunder (bergerak dalam bidang sarana pendukung
kegiatan);
3) tidak berperan, artinya sudah jelas berapa rupiah nilai uang yang akan
diperoleh dari proses pembebasan lahan, dan lain-lainnya yang akan
dilakukan.
Menurut informasi Nurhayati (2003), material urukan yang akan dipakai
untuk reklamasi pantura adalah berasal dari Tanjung Burung, Pulau Tidung,
Tanjung Kait, Tanjung Pontang, Pantai Cemara, Pasir Putih, serta bekas
pertambangan timah di Pulau Bangka, dan Belitung. Jumlah material yang
dibutuhkan untuk kegiatan reklamasi tersebut mencapai 335 juta meter kubik,
178
yang akan digunakan untuk mereklamasi pantai utara (Pantura) seluas 2.700
hektar sepanjang 32 km yang membentang dari Tangerang hingga Bekasi. Selain
memerlukan biaya transportasi yang sangat besar, pengambilan material urukan
tersebut tentu saja akan mempengaruhi ekosistim tempat material tersebut diambil.
Contoh paling nyata adalah Pulau Nipah di Batam, yang nyaris tenggelam akibat
pengerukan pasir laut oleh pengusaha untuk mereklamasi kawasan pesisir
Singapura. Reklamasi bandara Sukarno Hatta yang menggunakan pasir laut dari
perairan Indramayu, dampaknya berupa abrasi yang tidak terelakkan di pesisir
sepanjang Eretan, bahkan kini telah mendekati jalan raya Pantura. Lainnya, kasus
reklamasi Pantai Indah Kapuk, Jakarta, yang telah terbukti mendatangkan banjir
bagi penduduk setempat, apalagi jika pengurukan tersebut berskala besar.
Solusi yang disarankan untuk memecahkan masalah reklamasi ini dapat
dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Skenario solusi konflik rencana reklamasi pantura STAKEHOLDERS PERAN
PEMKOT JAKARTA UTARA
(1) Melaksanakan pertemuan diantara stakeholders untuk mencari solusi masalah rencana reklamasi pantura yang dikaitkan dengan program pembangunan DKI sebagai ibu kota negara;
(2) Memandu diskusi diantara wakil-wakil stakeholders tentang
manfaat proyek reklamasi pantura serta kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta, pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, dan pembenahan berbagai aktivitas ekonomi masyarakat yang dilakukan di lokasi umum;
(3) Mengumumkan secara terbuka rencana pembangunan kawasan kota air, dan melaksanakan sosialisasi dengan masyarakat, khususnya masyarakat lokal
(4) Membuat kesepakatan diantara pengembang dengan masyarakat pesisir yang terkena dampak pembangunan kota air tersebut dan memberikan gambaran secara jelas kepada setiap stakeholders apa yang akan terjadi pada saat proyek ini sudah jadi dan berkembang, serta peran aktif apa yang dapat dipegang oleh setiap stakeholders. Konsekuensi apa yang akan diterima oleh penduduk lokal jika mereka aktif/tidak aktif terlibat dalam aktivitas proyek, baik pada massa konstruksi maupun saat kegiatan sudah berlangsung.
(5) Menetapkan kepada pengembang untuk menggunakan tenaga lokal dalam berbagai bidang
179
Lanjutan Tabel 5.2 STAKEHOLDERS PERAN
PENGEMBANG (1) Menjelaskan kepada Pemda, nelayan, dan penduduk setempat tentang proyek reklamasi yang sedang dilaksanakan serta beberapa peran dan keuntungan yang dapat diambil oleh penduduk setempat, baik saat persiapan dan pelaksanaan proyek maupun setelah berjalannya aktivitas
(2) Mendahulukan penggunaan tenaga kerja lokal dalam proses reklamasi kawasan pesisir Kamal Muara
(3) Melakukan pengerukan Kali Kamal dan jalur pelayaran perahu nelayan sebagai material urukan pesisir pantura
(4) Membangun dinding penahan longsor di sepanjang Kali Kamal yang berfungsi sebagai jalur lalu lintas perahu dan tempat bersandarnya perahu nelayan
NELAYAN (1) Membantu pemda dan pengembang untuk melakukan pengerukan dasar Kali Kamal dan jalur pelayaran perahu nelayan dimana lumpur hasil kerukan digunakan untuk mereklamasi perairan pesisir.
(2) Dengan bertambah dalamnya Kali Kamal maka aktivititas perikanan dapat dilakukan tanpa terganggu lagi
(3) Mempersiapkan diri untuk ikut berperan dalam program pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah reklamasi
PENDUDUK LAIN (1) Melakukan koordinasi dan identifikasi kapasitas sumberdaya manusia lokal yang dapat berperan-serta, baik dalam kegiatan proyek reklamasi pantura maupun setelah program pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah reklamasi tersebut berjalan.
(2) Mempersiapkan diri untuk ikut berperan dalam aktivitas program pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah reklamasi
Menurut analisis Nurhayati (2003), Pemda DKI Jakarta tidak pernah menilai
ongkos kerusakan ekosistem, seperti mangrove, padang lamun, terumbu karang,
ikan, dan ekosistem laut yang akan hilang dan terusir dari kawasan ini. Selain itu,
hilangnya mata pencarian ribuan pembudidaya ikan yang memanfaatkan Teluk
Jakarta selama ini, tidak pernah menjadi bahan pertimbangan. Pemda DKI tidak
pernah mengkaji secara mendalam aspek sosial dari penggusuran secara besar-
besaran terhadap penduduk setempat yang selama ini menjadi bagian dari sebuah
lingkungan dan turut menjaga dan melestarikannya, tetapi diusir yang belum jelas
mau dikemanakan dan akan bekerja apa nantinya. Sedangkan keahlian mayoritas
di kawasan itu adalah budidaya dan menangkap ikan.
180
Chua (2006) menjelaskan bahwa solusi untuk permasalahan yang komplek
di kawasan pesisir memerlukan suatu paradigma yang bergeser dari pendekatan
konvensional yang sekarang dilakukan ke suatu perencanaan yang cukup matang,
berorientasi ke masa depan, didasarkan pada paradigma pengelolaan yang objektif
yang mengintegrasikan antara kebijakan, peraturan perundang-undangan,
mekanisme implementasi, didukung pengetahuan ilmiah, pendanaan, dan
kapasitas pemberdayaan. Namun demikian, terdapat juga beberapa faktor
penghambat yang terus menerus yang menahan laju keberhasilan. Pertama,
terlalu banyak pihak yang terlibat dalam memperebutkan sumberdaya yang
terbatas sehingga memunculkan konflik multidimensi. Kedua, adanya
ketidakpastian (uncertainty) karena adanya kapasitas daya dukung lingkungan.
Sampai saat ini para ahli ilmu pengetahuan belum dapat menyediakan metoda
yang dapat diandalkan untuk menghitung atau memperkirakan daya dukung
lingkungan suatu ekosistem. Ketiga, pengelolaan sumberdaya alam gagal untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan populasi dan ekonomi yang cepat di wilayah
pesisir. Seringkali, pengelolaan sumberdaya alam cenderung terbatas untuk
menanggulangi krisis pengelolaan secara khusus. Keempat, tidak terdapat institusi
yang dapat dijadikan home-base untuk ICZM, artinya tidak ada lembaga yang
khusus dibentuk untuk menjalankan program ICZM. Kelima, banyak bantuan
dana luar negeri tidak digunakan secara efektif karena buruknya koordinasi
diantara lembaga-lembaga terkait.
Kebijakan pembangunan pemerintah daerah di Indonesia rata-rata lebih
didominasi oleh kepentingan politik jika dibandingkan dengan pertimbangan
ilmiah atau untuk kepentingan umum. Sebagai contoh, landasan hukum dari
proyek reklamasi Pantura sangat kontroversial, proyek ini tidak ada dalam
peraturan daerah tentang RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) 1960 - 1985
maupun RUTR 1985 - 2005. Tetapi tiba-tiba saja lahir Keppres No. 52 tahun
1995 tentang Reklamasi Pantura. Hal yang janggal ini justru dijadikan dalih oleh
Pemprov DKI untuk melakukan pelanggaran. Dalam Peraturan Daerah No. 6
tahun 1999 tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) 2010 muncul ketentuan
tentang reklamasi pantura. Selain itu, Keppres No. 52 sangat tidak visibel dan
tidak mengakomodir kepentingan ekologi dan sosial. Oleh karena itu, maka
181
dalam rangka konsolidasi di tingkatan LSM peduli lingkungan termasuk WALHI
Jakarta dan LP3ES pada 3 April 2003 lalu, forum sepakat untuk mengadakan
gugatan judicial review terhadap Keppres tersebut, bila diperlukan (Nurhayati
2003).
Ketidaksetujuan terhadap proyek reklamasi pantura juga ada di kalangan
birokrasi. Ali Sadikin mantan Gubernur DKI Jakarta, Emil Salim mantan Menteri
Lingkungan Hidup menentang keras proyek ini. Bahkan, terakhir Menteri LH
Nabiel Makarim, mengecam proyek ini dengan mengeluarkan SK Menteri No. 14
tahun 2003 untuk mencabut Keppres tentang Reklamasi Pantai Pantura Jakarta
dan diganti dengan Keppres pembatalan Reklamasi Pantai Pantura; dan yang
paling hangat pada tanggal 5 Mei 2003 lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan
Rokhmin Dahuri baru-baru ini, Rokhmin Dahuri mendukung Nabiel Makarim soal
reklamasi (Nurhayati 2003).
Dipandang dari aspek konservasi sumberdaya perairan yang berbentuk flora
atau fauna bawah air, upaya reklamasi yang dilakukan oleh para pengembang
(juga di kawasan pesisir lainnya) sangat merugikan karena apa yang hidup di dasar
perairan belum seluruhnya sudah teridentifikasi. Dengan demikian, sumberdaya
plasma nutfah yang sangat berragam tersebut akan menjadi punah karena
dilakukannya penimbunan dasar perairan.
Kenyataan menunjukkan bahwa aktivitas eksplorasi yang bertujuan untuk
mengidentifikasi keragaman spesies yang terdapat di kawasan pesisir Indonesia
sebagian besar belum dilakukan. Kalaupun sudah, hanya dilakukan di sebagian
kecil kawasan yang mendapat kajian amdal pesisir yang sangat lengkap, sehingga
kekayaan spesies yang terdapat di dasar perairan pesisir dapat teridentifikasi.
Peningkatan polusi lingkungan perairan di beberapa kawasan pesisir
Indonesia (termasuk di lokasi penelitian) sudah sangat parah. Hal ini ditunjukkan
dengan warna air laut yang sudah kehitam-hitaman dengan bau yang lumpur yang
menusuk. Dalam kondisi perairan seperti ini, keberadaan berbagai spesies flora
dan fauna dikhawatirkan sudah mengalami kepunahan sehingga upaya reklamasi
yang dilakukan merupakan aktivitas yang dinilai lebih menguntungkan sepanjang
untuk tujuan menciptakan lingkungan yang lebih baik.
182
5.1.2 Analisis tingkat ketergantungan kawasan Dadap dan Kamal Muara terhadap perikanan
Untuk melihat seberapa jauh ketergantungan kawasan Dadap-Kamal Muara
terhadap aktivitas perikanan, maka analisis data perikanan antara tahun 1999
sampai 2003, menunjukkan hasil sebagaimana tercantum pada Tabel 5.3 sampai
dengan Tabel 5.10. Hasil analisis ketergantungan daerah perikanan dengan
menggunakan WSA program dicantumkan dalam Lampiran 1.
Tabel 5.3 Rasio jumlah nelayan terhadap total penduduk (RNt) t
ti
PN
tRN ∑=
TAHUN RNt –Dadap/Tangerang RNt –Kamal Muara/Jakarta Utara
1999 1.330/2.508.826 = 0,0005301 723/1.105.270 = 0,0006541
2000 1.330/2.632.460 = 0,0005052 717/1.115.189 = 0,0006429
2001 1.345/2.873.256 = 0,0004681 717/1.134.253 = 0,0006321
2002 1.351/3.056.423 = 0,0004420 715/1.149.732 = 0,0006219
2003 1.351/3.185.994 = 0,0004240 715/1.169.785 = 0,0006112
RNt 0,0004739 0,0006324
Tabel 5.4 Rasio jumlah nelayan terhadap total tenaga kerja (RMt) t
ti
TKN
tRM ∑=
TAHUN RMt –Dadap/Tangerang RMt –Kamal Muara/Jakarta Utara
1999 1.330/1.254.413 = 0,00106026 723/662.635 = 0,001091098
2000 1.330/1.316.230 = 0,00101046 717/557.595 = 0,001285879
2001 1.345/1.436.628 = 0,00093622 717/567.127 = 0,001264267
2002 1.351/1.528.212 = 0,00088404 715/574.866 = 0,001243768
2003 1.351/1.592.997 = 0,00084809 715/584.893 = 0,001222445
RMt 0,0009478 0,001221489
Tabel 5.5 Rasio jumlah hasil tangkapan ikan ∑∑=
tj
ti
PI
PItRPI
TAHUN RPIt –Dadap/Tangerang RPIt –Kamal Muara/Jakarta Utara
1999 3.407.844/11.619.400 = 0,293289154 256.080/95.508.195 = 0,002681
2000 3.634.528/16.896.000 = 0,215111742 285.200/57.809.547 = 0,004933
2001 4.266.704/17.725.900 = 0,240704505 548.060/48.698.102 = 0,011250
2002 3.983.649/16.854.250 = 0,236358722 539.500/56.473.208 = 0,009553
2003 3.309.000/16.834.000 = 0,196566531 529.550/58.665.878 = 0,009063
RPIt 0,236406086 0,007496
183
Tabel 5.6 Rasio jumlah kapal ikan (RKt)
TAHUN RKt –Dadap/Tangerang RKt –Kamal Muara/Jakarta Utara
1999 289/910 = 0,317582 1.091/3.442 = 0,316967
2000 289/900 = 0,321111 1.091/3.445 = 0,316691
2001 288/908 = 0,317181 1.094/3.450 = 0,317101
2002 288/909 = 0,316832 1.096/3.453 = 0,317505
2003 288/1.903 = 0,151340 1.097/3.456 = 0,317419
RKt 0,284092 0,3171366
Tabel 5.7. Rasio jumlah tenaga kerja sektor pengolahan hasil perikanan (RTKPt)
∑∑=
tm
ti
TK
TKPtRTKP
TAHUN RTKPt –Dadap/Tangerang RTKPt –Kamal Muara/Jakarta Utara
1999 22/1.254431 = 0,0000175378 30/552.635 = 0,0000542854
2000 19/1.316.230 = 0,0000145322 30/557.595 = 0,0000538025
2001 18/1.426.628 = 0,0000126172 27/567127 = 0,0000476084
2002 16/1.528.212 = 0,0000469752 27/574.866 = 0,0000469675
2003 16/1.592.997 = 0,0000439112 25/584.893 = 0,0000427429
RTKP 0,00027114 0,000050319
Tabel 5.8 Rasio kontribusi sektor perikanan wilayah desa terhadap wilayah
kabupaten/kota (KPIti) nPDBTPDBP
tiitKPI ∑∑=)/(
TAHUN KPIt –Dadap/Tangerang KPIt –Kamal Muara/Jakarta Utara
1999 19/4.872.871 = 0,00000389914 12,800/12.687.807 = 0,00000100884
2000 16/4.143.805 = 0,00000386119 39,091/13.121.547 = 0,00000297915
2001 13/4.354.487 = 0,00000298543 71,193/14.646.409 = 0,00000486078
2002 11/4.533.161 = 0,00000242656 62,099/15.192.265 = 0,00000408754
2003 9,9/4.761.955 = 0,00000207898 73,897/16.759.956 = 0,00000440914
KPIti 0,000003049 0,000003468
∑∑=
ti
ti
KI
JKtRK
184
Tabel 5.9 Rasio kesempatan kerja sektor perikanan wilayah desa terhadap total
jumlah penduduk wilayah kabupaten/kota (KPIti) t
ti
PKK
tRKK ∑= TAHUN RKKIt –Dadap/Tangerang RKKIt –Kamal Muara/Jakarta Utara
1999 3/2.508.826 = 11,9578e-7 3/1.105.270 = 2,7143e-6
2000 2/2.632.460 = 7,5975e-7 3/1.115.189 = 2,6901e-6
2001 2/2.873.256 = 6,9607e-7 3/1.134.253 = 2,6449e-6
2002 2/3.056.423 = 6,5436e-7 3/1.149.732 = 2,6093e-6
2003 2/3.185.994 = 6,2775e-7 3/1.169.785 = 2,5646e-6
RKKti 7,8674e-7 2,6446e-6
Tabel 5.10 Rasio industri sektor perikanan wilayah desa terhadap jumlah penduduk wilayah kabupaten/kota (RIti)
t
ti
PKK
tiRI ∑=
TAHUN RIt –Dadap/Tangerang RIt –Kamal Muara/Jakarta Utara
1999 1/2.508.826 = 3,9859e-7 1/1.105.270 = 9,0476e-7
2000 1/2.632.460 = 3,7987e-7 1/1.115.189 = 8,9671e-7
2001 1/2.873.256 = 3,4804e-7 1/1.134.253 = 8,8164e-7
2002 1/3.056.423 = 3,2718e-7 1/1.149.732 = 8,6977e-7
2003 1/3.185.994 = 3,1384e-7 1/1.169.785 = 8,5486e-7
RIti 3,53504e-7 8,81548e-7
Jika nilai-nilai variabel ketergantungan ekonomi tersebut dirata-ratakan
untuk jangka waktu 5 tahun tersebut, maka diperoleh data input sebagaimana
tercantum dalam Tabel 5.11.
Tabel 5.11 Hasil rataan variabel ketergantungan daerah penangkapan.
Input data set VARIABEL DADAP KAMAL MUARA BOBOT
RN 0,0004739 0,0006324 8 RM 0,0009478 0,001221489 8 RPI 0,236406086 0,007496 8 RK 0,284092 0,3171366 8 RTKP 0,00027114 0,000050319 8 KPI 0,000003049 0,000003468 8 RKK 7,87E-07 2,64E-06 2 RI 3,54E-07 8,82E-07 2
185
Dengan menggunakan multicriteria evaluation of alternatives maka
dihasilkan perhitungan sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.12.
Tabel 5.12 Hasil modifikasi dari input data rataan variabel ketergantungan daerah penangkapan.
VARIABEL DADAP KAMAL MUARA
BOBOT IDEAL BASAL
MAX RN 0,0004739 0,0006324 0,15385 0,0006324 0,0004739
MAX RM 0,0009478 0,001221489 0,15385 0,001221489 0,0009478
MAX RPI 0,236406086 0,007496 0,15385 0,236406086 0,007496
MAX RK 0,284092 0,3171366 0,15385 0,3171366 0,284092
MAX RTKP 0,00027114 0,000050319 0,15385 0,00027114 0,000050319
MAX KPI 0,000003049 0,000003468 0,15385 0,000003468 0,000003049
MAX RKK 7,87E-07 2,64E-06 0,03846 2,6446E-06 7,8674E-07
MAX RI 3,54E-07 8,82E-07 0,03846 8,81548E-07 3,53504E-07
Setelah dilakukan pengolahan standarisasi data dengan normalisasi,
diperoleh hasil sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.13.
Tabel 5.13 Hasil normalisasi data berbagai variable ketergantungan perikanan daerah Dadap dan Kamal Muara dari tahun 1999-2003.
VARIABEL DADAP KAMAL MUARA BOBOT IDEAL BASAL
MAX RN 0,00000 1,00000 0,15385 0,0006324 0,0004739
MAX RM 0,00000 1,00000 0,15385 0,001221489 0,0009478
MAX RPI 1,00000 0,00000 0,15385 0,236406086 0,007496
MAX RK 0,00000 1,00000 0,15385 0,3171366 0,284092
MAX RTKP 1,00000 0,00000 0,15385 0,00027114 0,000050319
MAX KPI 0,00000 1,00000 0,15385 0,000003468 0,000003049
MAX RKK 0,00000 1,00000 0,03846 2,6446E-06 7,8674E-07
MAX RI 0,00000 1,00000 0,03846 8,81548E-07 3,53504E-07
Analisis multi kriteria dengan pemberian bobot antara 0-1 terhadap setiap
variabel tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan daerah perikanan dari Desa
Dadap lebih kecil dari pada Kelurahan Kamal Muara dengan nilai 0,30769 dan
0,69231. Sementara itu, lebih banyak variabel yang berpengaruh terhadap Kamal
186
Muara (yaitu RN, RM, RK, RKK, dan RI) jika dibandingkan dengan Dadap (RPI
dan RTKP).
Dengan cara yang sama dilakukan analisis data per tahun. Hasil analisis
data menunjukkan bahwa dari tahun 1999 sampai 2003, nilai ketergantungan
kedua daerah tersebut menunjukkan adanya perubahan, sebagaimana dapat dilihat
pada Tabel 5.14.
Tabel 5.14 Hasil analisis data tahunan berbagai variable ketergantungan perikanan daerah Dadap dan Kamal Muara dari tahun 1999-2003.
TAHUN LOKASI Dadap Kamal Muara
1999 0,46154 0,53846 2000 0,46154 0,53846 2001 0,34615 0,65385 2002 0,30769 0,69231 2003 0,19231 0,80769
Dari Tabel 5.14 terlihat bahwa nilai ketergantungan perikanan dari Desa
Dadap berubah semakin kecil jika dibandingkan dengan Kelurahan Kamal Muara.
Pada tahun 1999 dan 2000, nilai ketergantungan perikanan Desa Dadap sebesar
0,46154 sedangkan Kelurahan Kamal Muara sebesar 0,53846. Menurut Briguglio
(1995) dalam Symes (2000), besaran nilai ini termasuk tipe ketergantungan
sedang. Pada tahun 2001 dan 2002, status ketergantungan perikanan Desa Dadap
bertambah kecil sedangkan sebaliknya Kelurahan Kamal Muara semakin besar
(dengan tipe ketergantungan sedang). Baru pada tahun 2003, sementara
ketergantungan Desa Dadap terhadap perikanan semakin kecil, maka
ketergantungan perikanan Kelurahan Kamal Muara semakin besar dan termasuk
kelompok besar.
Menurut Phillipson (2000), analisis ketergantungan perikanan dapat
dilakukan secara lengkap dengan menghitung juga indeks sosial-demografis.
Indeks sosial-demografis ini termasuk demografi {pertumbuhan dan struktur
penduduk (tingkat kenaikan/penurunan jumlah penduduk tahunan); rasio
ketergantungan (rasio penduduk dibawah usia kerja/manula terhadap populasi
tenaga kerja); rasio gender; tingkat kelahiran dan kematian kasar; tingkat migrasi
187
bersih; densitas populasi, tingkat perceraian dan perkawinan}, perumahan {indeks
pembangunan rumah baru; tingkat penghunian (jumlah rata-rata orang yang
tinggal dalam setiap ruangan); indeks keramah-tamahan (amenity) (rata-rata
jumlah mobil, jumlah rumah tangga tanpa kebutuan dasar); indeks kepemilikan
(proporsi antara rumah milik yang ditempati, disewakan, dll); kesehatan {harapan
hidup, tingkat kematian bayi, indeks pemeliharaan kesehatan (rata-rata jumlah
rumahsakit, dokter gigi, dokter, dan jumlah tempat tidur di rumah sakit per
populasi penduduk); serta pendidikan {tingkat pendidikan (jumlah dan katagori
pendidikan pada berbagai kualifikasi). Meskipun indeks ketergantungan
perikanan dan indeks ketergantungan ekonomi diberi bobot yang lebih besar
karena mempunyai relevansi langsung terhadap ketergantungan regional,
meskipun masih dapat menjadi bahan perdebatan. Sulitnya mendapatkan data
yang akurat menyebabkan indeks sosial-demografis ini tidak dapat dilakukan.
Realita di lapangan menunjukkan bahwa perkembangan pembangunan
fisik infrastruktur di Desa Dadap (antara lain bertambahnya areal pergudangan)
tampaknya juga berpengaruh terhadap status ketergantungan terhadap kegiatan
perikanan. Dengan demikian maka dapat diambil kesimpulan bahwa TPI Dadap
sudah tidak layak lagi sebagai tempat pendarat kapal ikan, jadi perlu dikonversi
menjadi tempat lain yang sesuai dengan perkembangan program pembangunan di
sekitarnya.
5.2 Analisis Struktur Komposisi Pertumbuhan Ekonomi Wilayah, Pemusatan Aktivitas serta Distribusi dan Hierarki Pelayanan Fasilitas Sosial
Aspek pengembangan wilayah di kawasan Dadap-Kamal Muara
menunjukkan gambaran terjadinya pergeseran kemajuan dari arah Dadap ke
Kamal Muara da n terus ke arah pusat Kota Jakarta Utara. Pergeseran ini tampak
dari hasil analisis skalogram dan shift share. Pengembangan wilayah di kawasan
penelitian berlangsung relatif cepat, khususnya di wilayah timur yang termasuk
DKI Jakarta. Meskipun lebih lambat, gerak pembangunan fisik di wilayah Dadap
juga lebih besar jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah di sebelah baratnya.
188
5.2.1 Komposisi pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah
Shift share (pergeseran pertumbuhan) adalah analisis yang digunakan untuk
mengetahui dinamika perubahan penggunaan lahan yang dapat diidentifikasi
dengan menggunakan data yang sama dengan data untuk identifikasi pusat
pertumbuhan, yaitu data penduduk menurut aktivitas perekonomian yang
dilakukan serta Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) setiap kabupaten/kota.
Data PDRB Provinsi Banten dicantumkan dalam Lampiran 2, sedangkan PDRB
Kota Jakarta Utara pada Lampiran 3. Kabupaten Serang dan Analisis shift share
juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi sektor atau aktivitas apa yang paling
kompetitif dikembangkan di setiap unit analisis. Nilai koefisien shift share yang
negatif menunjukkan terjadinya penurunan laju aktivitas, dan sebaliknya nilai
koefisien yang posisif menunjukkan terjadinya peningkatan laju aktivitas.
Dalam penelitian ini, analisis shift share digunakan untuk memahami pola
perkembangan aktivitas perekonomian yang paling kompetitif sekaligus paling
dinamis di wilayah penelitian. Informasi ini diperlukan untuk kebutuhan
membangun Model Pengembangan Kawasan Pelabuhan Perikanan Kamal Muara
dan Dadap dalam Konteks Pengelolaan Wilayah Pesisir.
Nilai setiap komponen tersebut berkisar dari negatif hingga tak hingga
sampai dengan positif tak hingga. Nilai differential share yang positif di suatu
unit analisis pada aktivitas tertentu menunjukkan bahwa aktivitas tersebut
kompetitif untuk di unit tersebut. Sebaliknya, jika negatif berarti aktivitas tersebut
tidak kompetitif jika dijadikan sebagai pilihan aktivitas. Profil pertumbuhan
PDRB Kabupaten Tangerang periode 2000 -2002 dicantumkan pada Gambar 5.1.
Berdasarkan hasil analisis shift share, untuk Kabupaten Tangerang nilai
pertumbuhannya adalah sebesar 22,25 %, dengan komponen pertumbuhan
proporsional (PP.j) sebesar 0,4 dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah
(PPW.j) sebesar 0,7. Dengan mengekspresikan persen perubahan komponen
pertumbuhan proporsional (PP.j) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPW.j) pada
sumbu PP (sebagai absis) dan PPW (sebagai ordinat), tampak bahwa PDRB
189
Kabupaten Tangerang terletak pada Kwadran I, yang berarti sektor-sektor tersebut
pertumbuhannya cepat (PP.j=0). Demikian juga daya saing wilayah untuk sektor-
sektor tersebut cukup baik apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya
(PPW.j=0). Hal ini juga menunjukkan bahwa pergeseran bersih bernilai positif
(PB.j=0) yang berarti Kab. Tangerang merupakan wilayah progresif.
Gambar 5.1. Profil pertumbuhan PDRB Kabupaten Tangerang 2000 -2002
Hasil analisis shift share untuk Kota Jakarta Utara menunjukkan bahwa nilai
pertumbuhannya adalah sebesar -9,93 %, dengan komponen pertumbuhan
proporsional (PP.j) sebesar -0,51 dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah
(PPW.j) sebesar -0,38. Dengan mengekspresikan persen perubahan komponen
pertumbuhan proporsional (PP.j) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPW.j) pada
sumbu PP (sebagai absis) dan PPW (sebagai ordinat) sebagaimana dapat dilihat
pada Gambar 5.2.
Dari Gambar 5.2 tampak ternyata Kota Jakarta Utara terletak pada Kwadran
III, yang berarti sektor-sektor tersebut pertumbuhannya lambat (PP.j=0) dan juga
-1.00
-0.50
0.00
0.50
1.00
-1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00
PPW
PP
PB.j=0
IV I
IIIII
190
daya saing wilayah untuk sektor-sektor pertumbuhannya lambat apabila
dibandingkan dengan wilayah lainnya (PPW.j=0). Hal ini juga menunjukkan
bahwa pergeseran bersih bernilai negatif (PB.j=0) yang berarti Kota Jakarta Utara
merupakan wilayah lamban.
Gambar 5.2. Profil pertumbuhan PDRB Kota Jakarta Utara 2000-2003
5.2.2 Pemusatan aktivitas ekonomi wilayah
Sebagaimana telah dinyatakan dalam Bab 3, analisis LQ (Location Quotient)
digunakan untuk menganalisis pergeseran pemusatan pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi di lokasi penelitian (Kecamatan Penjaringan-Jakarta Utara dan
Kecamatan Kosambi-Kabupaten Tangerang), untuk kurun waktu antara 2000 –
2002. Berdasarkan ketentuan dalam analisis LQ, dapat dijelaskan bahwa apabila
LQ kurang dari 1, maka di daerah tersebut tidak terjadi pusat aktivitas. Disamping
itu, dapat pula diartikan bahwa wilayah dengan koefisien LQ kurang dari 1
merupakan wilayah yang aktivitas di sektor yang dikaji memiliki intensitas yang
lebih rendah dibandingkan dengan rataan aktivitas di seluruh wilayah yang dikaji.
Sebagian dari penduduk wilayah yang bersangkutan harus memanfaatkan fasilitas
atau melakukan aktivitas tersebut di wilayah luar administrasinya. Sedangkan
-1.00
-0.50
0.00
0.50
1.00
1.00 -0.50 0.00 0.50 1.00
PPW
P
PB.j=0
IV I
IIIII
191
apabila nilai LQ lebih besar dari 1, maka berdasarkan hasil analisis ditentukan
bahwa daerah tersebut menjadi pusat aktivitas. Indeks LQ yang lebih besar dari 1
juga mengindikasikan terjadinya aktivitas yang sangat intensif dan melebihi rata-
rata wilayah lain. Banyak penduduk dari wilayah lain yang memanfaatkan
fasilitas penunjang aktivitas ataupun melakukan aktivitas sektor tersebut di
wilayah yang bersangkutan.. Sementara apabila nilai LQ sama dengan 1, maka
diartikan bahwa sub wilayah tersebut mempunyai pangsa aktivitas setara atau
sama dengan pangsa lokal.
Hasil analisis LQ menunjukkan bahwa untuk Kabupaten Tangerang
lapangan usaha (komoditi unggulan) yang perlu dikembangkan adalah listrik, gas
dan air (nilai LQ 1,47); keuangan, persewaan dan jasa (nilai LQ 1,38); industri
pengolahan (nilai LQ 1,09); dan pertanian termasuk perikanan (nilai LQ 1,07).
Dengan demikian, komoditi perikanan, sebagai sektor yang dikaji dalam
penelitian ini masih merupakan sektor unggulan karena nilai LQ > 1 dan sudah
terspesialisasi dengan baik. Hasil analisis LQ sesaat dan LQ dari tahun 2000 –
2002 untuk Kabupaten Tangerang dapat dilihat pada Gambar 5.3 dan Gambar 5.4.
Keterangan:1. Pertanian; 2. Pertambangan dan Galian; 3. Industri Pengolahan; 4. Listrik, Gas dan Air; 5. Bangunan; 6. Perdagangan, Hotel dan Restauran; 7. Pengangkutan dan Komunikasi; 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; 9. Jasa-jasa.
Gambar 5.3. Grafik LQ sesaat untuk komoditi unggulan di Kabupaten Tangerang pada Tahun 2003
Nilai LQ
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1 2 3 4 5 6 7 8 9
192
Keterangan: 1. Pertanian; 2. Pertambangan dan Galian; 3. Industri Pengolahan; 4. Listrik, Gas dan Air; 5. Bangunan; 6. Perdagangan, Hotel dan Restauran; 7. Pengangkutan dan Komunikasi; 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; 9. Jasa-jasa.
Gambar 5.4. Grafik LQ untuk komoditi unggulan di Kabupaten Tangerang pada Tahun 2000 - 2002
Perhitungan nilai LQ secara berturut dari tahun 2000 hingga tahun 2002
terhadap lapangan usaha (komoditi) unggulan di Kabupaten Tangerang
menunjukkan adanya kecenderungan tidak terjadi perubahan yang berarti (relatif
stabil), baik untuk sektor listrik, gas dan air; keuangan, persewaan dan jasa;
industri pengolahan; maupun untuk sektor pertanian, termasuk perikanan. Dapat
dikatakan bahwa peningkatan sektor unggulan untuk meningkatkan nilai LQ
nampaknya harus ada input dari luar daerah untuk merangsang pertumbuhan
masing-masing sektor di daerah ini.
Untuk analisis LQ Jakarta Utara, lapangan usaha (komoditi unggulan) yang
perlu dikembangkan adalah industri pengolahan (nilai LQ 2,44) dan pertanian
(nilai LQ 1,69), dan sektor pengangkutan dan komunikasi (nilai LQ 1,42).
Dengan demikian, komoditi pertanian yang didalamnya termasuk perikanan,
sebagai sektor yang dikaji dalam penelitian ini masih merupakan sektor unggulan
karena nilai LQ > 1 dan sudah terspesialisasi dengan baik, sebagaimana
dicantumkan dalam Gambar 5.5 dan Gambar 5.6.
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
Nilai LQ 2000 Nilai LQ 2001 Nilai LQ 2002
1
2
3
4
5
6
7
8
9
193
Keterangan: 1. Pertanian; 2. Industri Pengolahan; 3. Listrik, Gas dan Air; 4. Bangunan; 5. Perdagangan, Hotel dan Restauran; 6. Pengangkutan dan Komunikasi; 7. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; 8. Jasa-jasa.
Gambar 5.5. Grafik LQ sesaat untuk komoditi unggulan di Kota Jakarta Utara pada Tahun 2003
Keterangan: 1. Pertanian; 2. Industri Pengolahan; 3. Listrik/Gas/Air; 4. Bangunan; 5. Perdagangan/Hotel dan Restauran; 6. Pengangkutan/Komunikasi; 7. Keuangan/PersewaanJasa Perusahaan; 8. Jasa-jasa.
Gambar 5.6. Grafik LQ untuk komoditi unggulan di Kota Jakarta Utara pada Tahun 2000 – 2003
-
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
Nilai LQ 2000 Nilai LQ 2001 Nilai LQ 2002 Nilai LQ 2003
1
2
3
4
5
6
7
8
LQ 2003
1.69
2.44
0.76 0.71 0.66
1.42
0.220.40
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
1 2 3 4 5 6 7 8
LQ 2003
194
5.2.3 Distribusi dan hierarki pelayanan fasilitas sosial
Dari hasil analisis skalogram dapat disimpulkan bahwa untuk wilayah
Kecamatan Penjaringan yang menjadi pusat pelayanan atau pusat pengembangan
wilayah utama adalah Kelurahan Pejagalan dan Kelurahan Pluit. Di Kamal
Muara, masih banyak kekurangan fasilitas sosial antara lain pelayanan kesehatan
(rumah bersalin dan bidan), pelayanan pendidikan (SMA dan perpustakaan), dan
sarana penunjang perekonomian (pasar inpres, mall, swalayan, restaurant, hotel,
dll.). Meskipun demikian, untuk Kecamatan Kosambi, Dadap merupakan pusat
pelayanan atau pusat pengembangan, dengan total jumlah fasilitas mencapai 18
tipe fasilitas. Kondisi ini berbeda dengan Kamal Muara dimana jumlah total
fasilitasnya mencapai 19 tipe namun termasuk wilayah yang masih kekurangan
fasilitas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terjadi pergerakan penduduk
dalam pemenuhan kebutuhan fasilitas pelayanan, dimana diperkirakan penduduk
yang bermukim di wilayah Dadap atau Kamal Muara bergerak ke wilayah sekitar
Kecamatan Penjaringan seperti Pejagalan dan Pluit, karena di wilayah ini fasilitas
pelayanannya cukup lengkap. Data selengkapnya mengenai hasil analisis
skalogram untuk wilayah Kecamatan Penjaringan dan Kecamatan Kosambi dapat
dilihat pada Tabel 5.15 dan Lampiran 4 dan Lampiran 5.
Jumlah tipe fasilitas yang terdapat di Desa Dadap adalah 18, hal ini
menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan desa-desa lainnya di Kecamatan
Kosambi (yang jumlah total tipe fasilitasnya sebanyak 111 buah), maka Desa
Dadap merupakan desa yang paling maju. Namun demikian, untuk Kelurahan
Kamal Muara (dengan jumlah tipe fasilitas 19 buah) jika dibandingkan dengan
kelurahan-kelurahan lainnya di Kecamatan Penjaringan (yang jumlah total tipe
fasilitasnya sebanyak 148 buah), maka Kelurahan Kamal Muara merupakan
kawasan yang paling kurang maju. Dari keseluruhan gambaran tersebut dapat
diamati bahwa pergerakan kemajuan pembangunan di tingkat desa dan kelurahan
di kawasan Dadap-Kamal Muara bergerak mengarah ke pusat aktivitas di Ibu Kota
Jakarta. Kondisi ini memang akan memicu terjadinya migrasi tenaga kerja dari
tempat yang kurang ke tempat yang banyak fasilitasnya.
195
Tabel 5.15 Hierarki wilayah Kecamatan Kosambi dan Penjaringan berdasarkan analisis skalogram
Jumlah Tipe Fasilitas
Jumlah Unit Fasilitas
Peringkat
Kosambi Dadap 18 64 1 Kosambi Timur 15 32 2 Salembaran Jaya 12 39 3 Rawa Burung 11 42 4 Rawa Rengas 10 45 5 Cengklong 10 32 6 Belimbing 10 26 7 Jati Mulya 9 28 8 Kosambi Barat 8 17 9 Salembaran Jati 8 17 10
Jumlah Tipe 111 Jumlah Unit 342 Penjaringan
Pejagalan 37 339 1 Pluit 34 164 2 Penjaringan 31 205 3 Kapuk Muara 27 92 4 Kamal Muara 19 45 5
Jumlah Tipe 148 Jumlah Unit 845
Untuk mengurangi tekanan dari kemungkinan terjadinya migrasi penduduk
dari daerah sekitar Dadap ke ke arah wilayah DKI Jakarta (yang berarti pula
terjadinya pergesaran kegiatan ekonomi), maka Pemerintah Kabupaten Tangerang
harus menciptakan berbagai kegiatan yang dapat memancing terjadinya
pergerakan orang dan barang (aktivitas ekonomi) dari daerah disekitar kawasan
Dadap ke wilayah Tangerang sendiri. Rencana pembangunan kawasan wisata
Pantai Pasir Putih Mutiara Dadap merupakan salah satu peluang untuk terjadinya
hal tersebut. Namun demikian, suatu studi kelayakan yang menyeluruh perlu
dilakukan mengingat keberadaan pusat-pusat kegiatan wisata yang ada di wilayah
Jakarta Utara akan sangat sulit untuk ditandingi. Pengembangan objek wisata
yang terjangkau oleh masyarakat luas (lebih murah), baik harga tiket masuk dan
maupun harga-harga produk yang dijajakan, sarana dan prasarana transportasi
yang memadai, serta objek wisata dan atraksi yang disajikan tetap menarik para
wisatawan.
196
5.3 Analisis pemanfaatan lahan dan daya tampung pelabuhan perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara Pengembangan suatu pelabuhan perikanan harus mempertimbangkan
kondisi lahan yang tersedia di kawasan tersebut. Sebagai daerah yang terletak di
perbatasan kabupaten/kota dan provinsi, kawasan Dadap-Kamal Muara
mempunyai tingkat perubahan pemanfaatan lahan yang sangat pesat.
5.3.1 Pemanfaatan lahan di kawasan Dadap-Kamal Muara
Sebagai kawasan yang terletak di perbatasan antara Pemkot Jakarta Utara
dan Kabupaten Tangerang, dinamika perencanaan pembangunan di kawasan ini
sangat tinggi. Hal ini dapat diamati dari berbagai berita di media massa, mulai
dari aktivitas perencanaan pembangunan Pelabuhan Kapal Riset Baruna Jaya,
Pelabuhan Peti Kemas atau Kapal Barang, dan kawasan Wisata Mutiara Dadap.
Dinamika perencanaan yang tinggi ini sangat dipengaruhi oleh munculnya Orde
Otonomi Daerah yang telah terjadi dan melahirkan konsep desentralisasi sistem
pemerintahan. Berdasarkan perjanjian kerjasama antara BPP Teknologi dan
Perum Angkasa Pura II yang tertuang dalam surat No SWT 07/HK.90/APH-1993
dan No. 345/DB- PKA/BPPT/XII/93, BBP Teknologi telah menyewa sebidang
tanah seluas 6,5 hektar di pantai Muara Dadap, Desa Dadap, Kecamatan Kosambi
Kabupaten Tangerang. Tanah tersebut diperuntukkan sebagai Dermaga Sandar
Kapal Riset BPPT Baruna Jaya, yang awalnya berupa tanah kosong dan tidak
berpenduduk. Menurut berita Media Indonesia, sejak tahun anggaran 1994/95,
BPPT sudah mengaspal dan mengembangkan site plan dan pemagaran di lokasi
tanah kosong tadi. Atas dasar itu, BPPT meminta agar pihak yang berkepentingan
di kawasan itu mengetahui bahwa pembangunan dermaga sandar Armada Kapal
Riset BPPT Baruna Jaya akan dilaksanakan pada tanah kosong yang sudah
dipagar sejak 1994 (IN/EKON: MI - N-250 Kejar Sertifikasi,
[email protected], Rabu 29 Mei 1996 - 17:15:00).
Tahun 1996, BPPT menjadi Panitia Indonesia Air Show (IAS) yang sempat
menimbulkan issu akan menggusur tanah rakyat di Desa Gili-Dadap, Kecamatan
Kosambi, Kabupaten Tangerang, yang terdiri dari 800 KK nelayan (Republika
Online 1996). Issu ini ternyata tidak benar karena pelaksanaan pergelaran
197
dirgantara IAS ’96 itu terletak di lokasi pelabuhan udara Soekarno-Hatta pada
kuadran II (sebelah terminal II-internasional).
Konflik pemanfaatan ruang di kawasan Dadap terus berlanjut dengan
dilakukannya reklamasi (pengurukan) kawasan pesisir dimana awalnya Pelabuhan
Kapal Riset Baruna Jaya akan dibangun. Menurut juru bicara pengembang
(Tubagus Dudy Chumaidi) yang dikutip media massa menyebutkan bahwa
kawasan Dadap dipilih karena wilayah itu berpotensi untuk dikembangkan sebagai
kawasan wisata terpadu (Suara Pembaharuan Daily 2004).
Dari berbagai berita di media massa dapat disimak bahwa proses reklamasi
yang sedang dilakukan ternyata menuai berbagai protes dari beberapa kelompok
masyarakat dan LSM {antara lain Banten Environmental Watch (BEW), dan
(PIELS)}, yang akhirnya direspon oleh anggota DPR dan DPRD setempat.
Polemik terus berlanjut dan menyangkut Pemda DKI Jakarta yang tampaknya juga
mempunyai kepentingan dengan kegiatan pembangunan. Salah satu berita yang
dimuat berbunyi “Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang tidak akan pernah
dapat melakukan penutupan lokasi reklamasi Pantai Dadap, Desa Dadap,
Kecamatan Kosambi, yang kini dilakukan. Pasalnya, lembaga ini diduga telah
menerima retribusi pengurukan pantai yang jumlahnya mencapai ratusan juta
rupiah. Menurut sumber di Tangerang, dugaaan telah dibayarkan retribusi
pengurukan pantai oleh para pengembang reklamasi Pantai Dadap tersebut
tertuang jelas dengan adanya Fatwa Rencana Pengarahan Lokasi dengan nomor
655.2/330-DTRB/IX/2001 tertanggal 26 September 2001 yang ditandatangani
oleh Bupati Tangerang yang kala itu masih dijabat oleh Agus Djunara. Dengan
keluarnya fatwa Bupati tersebut secara otomatis si pengembang berani untuk
melakukan reklamasi Pantai Dadap karena sudah ada lampu hijau. Apalagi pada
saat yang bersamaan Dinas Tata Ruang dan Bangunan juga mengeluarkan surat
penetapan retribusi fatwa rencana pengarahan lokasi bernomor 974/330-
DTRB/IX/2001 yang ditandatangani Kepala Dinas Tata Ruang dan Bangunan,
Nanang Komara yang kini menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Tangerang
(Sinar Harapan 2004b).
198
Kepala Sub Dinas Tata Ruang pada Dinas Tata Ruang dan Bangunan
Pemda Tangerang Didin Samsudin menyatakan, kawasan pantai yang akan
direklamasi setelah Dadap adalah Mauk, menyusul revisi Rencana Umum Tata
Ruang (RUTR). Dalam perubahan tata ruang tersebut pemerintah berencana
menjadikan pesisir pantai utara sebagai kawasan wisata terpadu (SUARA
PEMBARUAN DAILY 2004b). Perubahan RUTR tersebut tertuang dalam
Peraturan Daerah No 5 Tahun 2002 tentang Perubahan Tata Ruang Daerah, yang
merupakan implementasi Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang
Perubahan Tata Ruang Nasional. Berdasarkan peraturan itu, sekitar 20 km dari 50
km total panjang pantai di Kabupaten Tangerang atau dari Dadap Kosambi hingga
pantai Tanjung Kait, Kecamatan Pakuhaji untuk kawasan wisata. Luas pantai
yang akan direklamasi dan dijadikan kawasan wisata terpadu sepanjang 10 km
garis pantai dari laut dan satu km dari garis pantai atau sekitar 1.000 hektare.
Kemelut pemanfaatan lahan yang terjadi di Desa Dadap tidak seluruhnya
dimengerti oleh penduduk desa, yang terkena dampak hanyalah sebagian kecil
penduduk yang memang tinggal disekitar kawasan pengembangan. Menurut
informasi berbagai harian ibukota, . warga Desa Dadap, Kosambi, Kabupaten
Tangerang, belum mengatahui ada proyek pengurukan laut besa-besaran di Pantai
Mutiara Dadap. Mereka bahkan tak peduli aktivitas reklamasi kawasan untuk
wisata bertaraf internasional tersebut. Menurut warga, proyek reklamasi silakan
saja, asal warga disediakan infrastruktur sepeti tempat pelelangan ikan,
pengurukan Kali Perancis, serta perbaikan jalan. "Kami tak peduli. Yang penting
bagi kami para nelayan bisa tetap melaut.(Tempo Interaktif 2005b).
Berbagai kepentingan ternyata banyak yang bermain dalam masalah
proyek tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Desa Dadap Dames Taufik
yang mengklaim bahwa tidak ada masalah dengan warganya terhadap reklamasi
pantai itu. Menurut Dames, informasi kerusakan lingkungan dan penolakan warga
yang berkembang selama ini dikendalikan orang luar Dadap (SUARA
PEMBARUAN DAILY 2004a)..
Kasus pemanfaatan lahan yang juga mencuat di kawasan Dadap-Kamal
Muara adalah untuk pembangunan kawasan pergudangan. Mantan para pemilik
199
tanah merasa bahwa dulu mereka terbujuk menjual lahannya kepada para investor
untuk dibuat gudang, dengan harapan bahwa kelak ia dan anak-anaknya dapat ikut
bekerja di kawasan pergudangan itu. Namun demikian kenyataannya pemilik
gudang lebih memilih tenaga kerja dari luar Dadap yang dinilai lebih mempunyai
kompetensi daripada tenaga kerja setempat (Tempo interaktif 2005c). Saat ini,
ratusan gudang kini sudah berdiri memenuhi 40 persen lahan di desa seluas 401
hektar itu. Sisa lahan masih akan terus berkurang karena sampai saat ini
pembangunan gudang baru masih terus berlangsung.
Dalam rangka mewujudkan pembangunan Kota Air Kamal Muara, Pemda
DKI melakukan reklamasi pantai di daerah Kamal Muara. Aktivitas reklamasi
yang telah dilakukan pengembang di wilayah DKI Jakarta akan menciptakan
sebuah daerah baru seluas 2.700 hektar. Secara legal, Keputusan Presiden No 52
Tahun 1995 menetapkan, kawasan Pantai Utara Jakarta itu akan direklamasi.
Reklamasi meliputi bagian perairan laut Jakarta yang diukur dari garis pantai utara
Jakarta secara tegak lurus ke arah laut, sampai garis yang menghubungkan titik-
titik terluar yang menunjukkan kedalaman laut delapan meter. Itu artinya, garis
pantai akan maju sekitar 1,5 kilometer ke utara (Anonimous 1997).
Selama kurun waktu 10 tahun (dari tahun 1992 sampai 2002), telah terjadi
perubahan pemanfaatan lahan di kawasan Dadap-Kamal Muara, sebagai mana
ditunjukkan citra satelit pada Gambar 5.7. Hal ini menunjukkan bahwa
penggunaan lahan di kawasan Dadap – Kamal Muara mengalami perubahan yang
cukup drastis. Di wilayah Desa Dadap, perubahan terjadi pada luasan sawah yang
menyusut sampai hanya tersisa 18,52 %, tubuh air tinggal 42,85 %, lahan terbuka
tinggal 66,67 %, dan kebun campuran tersisa 32,34 %. Sementara itu, untuk
wilayah urban mengalami perubahan mencolok sebesar 200 %, dari 120,59 ha
menjadi 242,80 ha, sedangkan di Kamal Muara hanya terjadi peningkatan sedikit
dari 442,31 ha menjadi 479,95 ha dalam jangka waktu yang sama yaitu 10 tahun.
Secara rinci perubahan pemanfaatan lahan dapat dilihat pada Tabel 5.16.
200
Gambar 5.7 Citra satelit landsat di lokasi penelitian, tahun 1992-2002.
Citra satelit Landsat 92 Citra satelit Landsat 2002
Hasil klasifikasi Land Use Thn 1992 (Sumber : Landsat 1992)
Hasil klasifikasi Land Use Thn 2002 (Sumber : Landsat 2002)
201
Tabel 5.16 Data penggunaan lahan di kawasan Dadap dan Kamal Muara dari antara tahun 1992-2002 (m2)
No VARIABEL DADAP KAMAL MUARA 1992 2002 1992 2002 1. Tambak 357.611,3 376.432,9 5.665.316,3 5.175.953,5
Perubahan + 5,30 % - 8,64 % 2. Sawah 621.114,4 37.643,3 658.757,7 301.146,4
Perubahan - 94,00 % - 54,29 % 3. Tubuh air 131.751,5 56.464,9 150.573,2 357.611,3
Perubahan - 57,00 % + 137,50 % 4. Lahan terbuka 282.324,7 188.216,5 18.821,6 37.643,3
Perubahan - 33 % + 100, 00 % 5. Urban 1.204.585,5 2.427.992,7 4.423.087,5 4.799.520,5
Perubahan + 101,56 % + 8,5 % 6. Kebun campuran 508.184,5 18.821,7 508.184,5 150.573,2
Perubahan - 96 % - 70,37 % 7. Rumput/semak 0 0 18.821,6 621.114,4
Perubahan 0 % + 3.200 % 8. Hutan 0 0 0 18.821,6
Perubahan 0 % > + 18.821,6 % Keterangan: tubuh air adalah perairan di wilayah daratan (danau, sungai, rawa, genangan, dll.
Khusus untuk rawa, jika berasosiasi dengan yang lain dapat dipisah, seperti rawa gambut, rawa bakau, dll.).
Dari Tabel 5.16 tersebut menunjukkan bahwa selain terjadinya perubahan
wilayah urban selama kurun waktu sepuluh tahun, perubahan lainnya adalah
pertambahan luasan rumput/semak hanya terjadi di wilayah Kamal Muara, yaitu
dari 1,88 ha menjadi 62,11 ha. Konversi lahan yang juga signifikan adalah
terbentuknya kawasan hutan yang merupakan ekses dari dibangunnya perumahan
real estate Pondok Indah Kapuk, yang pengembangannya dilanjutkan sampai ke
kawasan Kamal Muara. Pada saat pembangunan kawasan real estate ini,
dilakukan reklamasi (penimbunan kawasan pantai).
Awalnya, luas tanah daratnya sebesar 105 ha sedang sisanya berupa sawah
seluas 453 ha dan rawa/empang seluas 495 ha. Kelurahan Kamal Muara memiliki
lahan dengan status milik negara, lahan milik adat, dan sebagian dari lahan
tersebut dikuasai oleh swasta (PT Mandara Permai) dan BPL Pluit.
Perubahan status hak kepemilikan lahan di Kelurahan Kamal Muara terjadi
antar tahun 1999 sampai dengan 2000 (BPS Jakut 2000). Status hak milik tahun
1998 tercatat seluas 547,60 ha dan turun drastis menjadi 287 ha tahun 1999. Hal
ini disebabkan belum adanya sertifikat pada tanah seluas 584 ha, seluas 9,90 ha
202
(tahun 1998 mencapai 505,40 ha), dan yang berstatus hak pakai (HP) seluas 8 ha
(sebelumnya tidak tercatat. Data selengkapnya tentang status lahan di Kelurahan
Kamal Muara dicantumkan dalam Tabel 5.17.
Tabel 5.17 Status lahan di Kelurahan Kamal Muara antara tahun 1997-2000
STATUS LAHAN TAHUN SENSUS
1997 1998 1999 2000
Hak milik 547,60 547,60 287,00 287,00
HGB 505,40 505,40 9,90 9,90
HP 0,00 0,00 8,00 8,00
Belum bersertifikat 0,00 0,00 584,00 584,00
Jumlah 1.053,00 1.053,00 1.053,00 1.053,00
Sumber: BPS Jakut (2001)
Peruntukan lahan di Kelurahan Kamal Muara secara garis besar terdiri dari
pruntukan perumahan, industri, kantor dan gudang, taman, pertanian, lahan tidur,
dan lain-lain. Data selengkapnya tercantum dalam Tabel 5.18.
Tabel 5.18. Data peruntukan lahan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan dari tahun 1995-2000 (ha)
PERUNTUKAN TAHUN SENSUS
1995 1996 1997 1998 1999 2000
Perumahan 84,70 84,70 244,93 263,25 84,25 96,03
Industri 195,00 195,00 290,94 421,20 142,16 142,16
Kantor/gudang 0,76 0,76 91,93 105,30 55,81 55,81
Taman 0,76 0,76 249,98 52,65 10,53 10,53
Pertanian 769,49 769,49 0,00 0,00 0,00 73,71
Lainnya - - 175,22 210,60 760,27 221,13
Jumlah 1.053,00 1.053,00 1.053,00 1.053,00 1.053,00 1.053,00Sumber: BPS Jakut (2001)
Dari Tabel 5.18 tampak bahwa perubahan yang cukup mencolok adalah
pada lahan pertanian yang turun sangat drastis pada tahun 1997 sampai tercatat
tidak ada sisanya selama tiga tahun berturut-turut. Tahun 2000 lahan pertanian
baru tercatat lagti seluas 73,71 ha. Perubahan lahan pertanian ini dapat
diidentifikasi sebagian digunakan untuk lahan perumahan, industri, kantor/gudang,
203
dan peruntukan lainnya. Data perubahan jumlah bangunan di Kelurahan Kamal
Muara tercantum dalam Tabel 5.19.
Tabel 5.19. Data perubahan jumlah bangunan di Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan dari tahun 1993-2001 (unit)
JENIS BANGUNAN
TAHUN SENSUS 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Permanen 137 137 140 - 254 263 425 425 425
Semi permanen 207 207 211 - 286 481 593 593 593
Darurat, dll 305 305 280 - 141 180 237 237 237
Jumlah 649 649 631 - 681 924 1.255 1.255 1.255 Sumber: BPS Jakut (2001)
Dari Tabel 5.19 tampak bahwa pertambahan bangunan permanen dan semi
permanen terjadi secara nyata dari tahun 1997, dari 140 unit tahun 1995 menjadi
254, kemudian menjadi 425 tahun 1999. Untuk bangunan semi permanen,
perubahan terbesar terjadi dari tahun 1997 (286 unit) menjadi 481 unit pada tahun
1998, dan menjadi 593 tahun 1999 serta tidak mengalami perubahan sampai tahun
2001. Untuk bangunan darurat, dari tahun 1994 mengalami penurunan dari 305
unit menjadi 280 unit tahun 1995, dan tinggal 141 unit tahun 1997. Kemudian
naik lagi tahun 1999 sampai mencapai 237 unit. Ada dua kemungkinan yang
dapat ditafsirkan dari perubahan jumlah bangunan darurat tersebut, yang pertama
berkaitan dengan kegiatan pembangunan yang harus mendirikan bangunan darurat
untuk para buruh dan peralatan; yang kedua adanya komunitas gelandangan dan
pengemis yang membangunan tempat tinggal darurat.
Menurut Situs Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta, hutan
mangrove di Jakarta diantaranya terdapat dalam kawasan hutan dan pulau-pulau di
Kepulauan Seribu dan kawasan hutan di DKI Jakarta sebagaimana tercantum
dalam Tabel 5.20. Kawasan hutan mangrove yang terluas terdapat di Hutan
Wisata Kamal Muara seluas 99,80 ha, yang kedua di pesisir Pulau Rambut yang
merupakan Suaka Margasatwa seluas 45,00 ha, sedangkan di Hutan Lindung
Angke Muara Kapuk terdapat ekosistem mangrove seluas 44,76 ha.
204
Tabel 5.20. Distribusi hutan mangrove di wilayah Jakarta
No NAMA LUAS (ha) 1. Hutan Lindung Angke Muara Kapuk 44,76 2. Hutan Wisata Kamal Muara 99,80 3. Suaka Marga Satwa Muara Angke 25,02 4. Suaka Margasatwa Pulau Rambut 45,00 5. Cagar AlamPulau Bokor 18,00 6. Cagar Alam Pulau Penjaliran Barat 19,85 7. Cagar Alam Pulau Penjaliran Timur 19,65 8. Hutan dengan tujuan istimewa:
Pembibitan Jalan Tol dan Jalur Hijau Transmisi PLN Cengkareng Drain
10,51 95,50 23,70 28,39
Jumlah 430,18 Sumber: Diperhut (2005)
Untuk Kecamatan Penjaringan, persentase distribusi pemanfaatan lahan di
setiap kelurahan pada tahun 2003 menunjukkan cukup besarnya lahan tidur di
Kelurahan Kamal Muara, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5.21.
Tabel 5.21 Persentase penggunaan tanah di Kecamatan Penjaringan tahun 2003
No. Kelurahan Persentase Luas Tanah Yang Digunakan (%)
1 2 3 4 5 6 7 8
1. Kamal Muara 8,00 17,40 6,90 1,00 0,00 58,70 8,00 100
2. Kapuk Muara 36,18 21,65 9,23 0,00 0,00 28,14 4,80 100
3. Pejagalan 74,83 17,64 3,40 0,20 0,00 0,00 3,93 100
4. Pluit 50,12 0,00 29,73 0,00 0,00 0,00 20,15 100
5. Penjaringan 56,00 28,00 5,00 0,00 0,00 0,00 11,00 100
Kec. Penjaringan 45,02 16,94 10,85 0,24 0,00 17,37 9,58 100 Sumber: BPS Jakut (2004) Keterangan: (1) Perumahan; (2) Industri; (3) Kantor dan Gudang; (4) Taman; (5) Pertanian; (6)
Lahan Tidur; (7) Lainnya; (8) Jumlah
Dari Tabel 5.21 tampak bahwa persentase luas tanah yang digunakan
untuk sektor pertanian di Kelurahan Kamal Muara adalah yang paling tinggi.
Namun demikian, lahan ini sebenarnya sebagian besar digunakan untuk aktivitas
perikanan, baik untuk aktivitas pra dan pasca penangkapan ikan maupun budidaya
ikan air tawar, karena sektor pertanian masih mencakup perikanan.
205
Sebagaimana tampak dari hasil citra satelit yang diambil tahun 1992 dan
2002 dan tercantum pada Gambar 5.7, telah terjadi perubahan yang sangat
siginifikan dari tataguna lahan di kawasan penelitian. Hal ini juga ditunjukkan
oleh hasil analisis terhadap citra satelit ini yang memperlihatkan bahwa selama
jangka waktu sepuluh tahun (dari 1992-2002) terjadi peningkatan mencolok dari
luasan wilayah urban pemukiman (lihat Tabel 5.16). Hal tersebut menunjukkan
bahwa selama kurun waktu sepuluh tahun, perubahan yang paling signifikan
terjadi di kawasan Dadap-Kamal Muara adalah peningkatan wilayah urban di
Dadap sebesar 101,56 %, pertambahan luasan semak dan tanah terlantar sebesar
3.200 %. Konversi lahan yang juga signifikan adalah terbentuknya kawasan hutan
yang merupakan ekses dari dibangunnya perumahan real estate Pondok Indah
Kapuk, yang pengembangannya dilanjutkan sampai ke kawasan Muara Kamal.
Aktivitas reklamasi (penimbunan kawasan pantai) yang dilakukan pada saat
pembangunan kawasan real estate ini kemudian dihijaukan dengan tanaman
mangrove yang sekaligus juga membuat fasilitas marina, tempat mendaratnya
kapal-kapal pesiar (yacht).
Sebagaimana dinyatakan oleh Kepala Sub Dinas Tata Ruang pada Dinas
Tata Ruang dan Bangunan Pemda Tangerang Didin Samsudin, kawasan pantai
yang akan direklamasi setelah Dadap adalah Mauk, menyusul revisi Rencana
Umum Tata Ruang (RUTR) tersebut yang tertuang dalam Peraturan Daerah No 5
Tahun 2002 tentang Perubahan Tata Ruang Daerah (Suara Pembaharuan Daily
2004a). Sehingga sudah jelas bahwa penetapan kawasan pesisir sepanjang 20 km
dari 50 km total panjang pantai di Kabupaten Tangerang atau dari Dadap Kosambi
hingga pantai Tanjung Kait, Kecamatan Pakuhaji adalah untuk kawasan wisata
dengan aktivitas reklamasi yang akan dilakukan sepanjang 10 km dan satu km dari
garis pantai atau sekitar 1.000 hektare. Alasan dilakukannya revisi RUTR tersebut
karena terjadinya perubahan fungsi lahan secara besar-besaran di kawasan tersebut
akibat eksploitasi lahan untuk tambak dan abrasi pantai, hal ini didasarkan foto
udara tahun 2002, dimana kawasan tersebut sudah rusak dan sulit untuk
dipulihkan kembali karena kerusakannya sudah sejauh 600 meter dari bibir pantai.
Akibat abrasinya, lahan di kawasan tersebut tidak lagi produktif dan penataan
ulang lahan dalam bentuk penanggulangan abrasi sia-sia. "Lahan di sana sudah
206
tidak bisa diperbaiki lagi kecuali dengan reklamasi karena lahan yang terkena
abrasi sudah mencapai puluhan ribu hektar," katanya.
Pemanfaatan lahan di Kelurahan Kamal Muara relatif lebih tenang dan
teratur dan tidak lagi terdengar ada gejolak. Hal ini dimungkinkan karena telah
mapannya RUTR melalui Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 6 Tahun
1999. Dalam Pola Peruntukan Lahan, pemanfaatan ruang kawasan Pantura
Jakarta Ditetapkan dalam 3 sub-kawasan:
(1) Sub-kawasan barat
Sub-kawasan barat terdiri dari Kecamatan Penjaringan dan Pademangan
direncanakan akan menampung penduduk sebesar 737.300 jiwa dengan
kepadatan sekitar 112 jiwa/Ha pada tahun 2010.
(2) Sub-kawasan tengah
Sub-kawasan tengah terdiri dari Kecamatan Tanjung Priok direncanakan
akan menampung penduduk sebesar 452.600 jiwa dengan kepadatan
sekitar 128/ha pada tahun 2010.
(3) Sub-kawasan timur
Sub-kawasan timur terdiri dari Kecamatan Koja dan Cilincing
direncanakan akan menampung penduduk sebesar 670.000 jiwa dengan
kepadatan sekitar 204 jiwa/ha pada tahun 2010.
Konflik rencana reklamasi yang akan dilakukan Penda DKI belum terlalu
parah terjadi di tingkat grassroot, tetapi masih ditataran para politisi dan
pemerhati lingkungan, sebagaimana disampaikan dalam Sub-bab 5.1 di atas.
Langkah yang sama perlu juga dilakukan oleh Pemkot Jakarta Utara, yaitu
membuka rencana reklamasi Pantura tersebut secara luas, untuk dilakukan kajian
secara ilmiah oleh berbagai fihak yang bersifat netral. Cukup banyak kebijakan
yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta yang semula dianggap kontroversial dan
mendapat tentangan dari berbagai pihak tetapi kemudian dianggap suatu
keberhasilan setelah hasil positif dicapainya; sebagai contoh adalah Program
Pemagaran Kawasan Monumen Nasional. Setelah menunjukkan hasil yang baik,
maka banyak pihak secara tidak langsung mengucapkan terimakasih kepada
207
Pemda DKI, karena Monas yang ada sekarang tampak lebih rindang, lebih bersih,
indah dan menyenangkan untuk dikunjungi.
Menurut Beatley et al. (1999), dalam perancangan perkotaan dan
perlindungan pusat kegiatan masyarakat upaya untuk melindungi karakter dan
nuansa masyarakat pesisir merupakan isu yang penting di banyak tempat. Banyak
wilayah pesisir memiliki bangunan bersejarah dan sumberdaya lain yang berharga
untuk dilindungi. Perlindungan ini dilaksanakan antara lain dengan
melembagakan evaluasi ulang dari proses perencanaan tata kota. Dalam kegiatan
pembangunan kini, terdapat kecenderungan baru yaitu timbulnya semangat
tradisionalisme, antara lain dengan membuat bangunan publik serta ruang umum
(taman) menjadi pusat ruang kota, memperjelas orientasi bagi pejalan kaki, dan
berbagai kepentingan umum lainnya.
Mengacu pada Perda Khusus Ibukota Jakarta No. 6 Tahun 1999, dalam Pola
Peruntukan Lahan, pemanfaatan ruang kawasan Pantura Jakarta, Kamal Muara
termasuk Sub-kawasan barat yang terdiri dari Kecamatan Penjaringan dan
Pademangan yang direncanakan akan menampung penduduk sebesar 737.300 jiwa
dengan kepadatan sekitar 112 jiwa/ha pada tahun 2010. Jika dilihat jumlah
penduduk Kecamatan Penjaringan tahun 2003 yang tingkat kepadatannya
mencapai 7.974 orang per km2 (atau sebesar 79,74 orang per ha), maka dapat
diduga sebelum tahun 2010 target 112 jiwa tersebut sudah akan tercapai.
Untuk kawasan Kamal Muara yang merupakan bagian wilayah Jakarta
Utara, berdasarkan Perda No. 6 tahun 1999 tentang RUTR Pasal 8, sesuai dengan
karakteristik fisik dan perkembangannya, termasuk WP (Wilayah Pengembangan)
Pantai Utara (WP-PU), dengan kebijakan meliputi:
(1) Pantai Lama:
1) Meningkatkan dan melestarikan kualitas lingkungan Jakarta Utara;
2) Mempertahankan permukiman nelayan;
3) Mengembangkan fungsi pelabuhan dan perniagaan.
(2) Pantai Baru: melalui pengembangan reklamasi yang terpisah secara fisik
dari pantai lama dengan kegiatan utama jasa dan perdagangan berskala
internasional, perumahan, pelabuhan serta pariwisata.
208
Mengingat sudah jelas tertera dalam RUTR dan revisinya, maka setiap
aktivitas pembangunan yang akan dilaksanakan di kawasan Pantura DKI Jakarta,
sudah saatnya dilakukan secara terbuka dan transparan serta dengan jangka waktu
sosialisasi yang cukup. Sehingga keberhasilan setiap program pembangunan di
DKI Jakarta dengan semua kendala yang dihadapinya dapat menjadi contoh bagi
daerah lain.
Menurut informasi dari Urban Poor Consortium (UPC, 2005), Mega
Proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta 2003-2020 dilatar belakangi oleh letak
Indonesia di persimpangan antara Asia dan Australia. Jakarta sebagai ibukota
negara merupakan salah satu kota yang perkembangannya cukup pesat di Asia
Tenggara. Oleh karena itu, Pemerintah DKI Jakarta memutuskan untuk
membentuk satu rencana khusus yang terfokus pada pembangunan daerah pantai
utara kota yang disebut: the Jakarta Waterfront Development Program.
Pembangunan Kota Pantai Jakarta direncanakan berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 52 Tahun 1995.
Program ini meliputi:
(1) Reklamasi 2.700 Ha di sebelah utara Kota Jakarta, 2.500 ha untuk
penataan kembali kawasan pantai/revitalisasi
(2) Reklamasi meliputi bagian perairan laut yang diukur dari garis pantai
Utara Jakarta secara tegak lurus ke arah laut sehingga mencakup garis
yang menghubungkan titik titik terluar dengan kedalaman laut 8 meter.
Panjang garis pantai Utara Jakarta adalah 32 km.
Tujuan dari pembangunan the Jakarta Waterfront ini adalah:
(1) Merevitalisasi kota tua
(2) Mengembangkan jantung kota yang baru di Jakarta
(3) Menyediakan standar pengembangan kelas dunia
(4) Membuka kesempatan terhadap pembangunan berskala besar
(5) Menciptakan level baru untuk efisiensi yang terorganisasi
(6) Membentuk kondisi kehidupan masyarakat yang lebih baik
209
(7) Mengembangkan lahan baru untuk kegiatan bisnis, industri, pemukiman
dan rekreasi.
Rencana yang cukup ambisius tersebut sebenarnya masuk akal jika
dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Pemerintah Singapura yang telah
mereklamasi sebagian kawasan pesisirnya dengan menggunakan material urukan
yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Hanya saja, keterbukaan dan
keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan akan sangat menentukan
keberhasilan program ini serta seberapa besar dampak yang akan ditimbulkannya,
baik bagi pemerintah DKI Jakarta maupun masyarakat disekitarnya.
Pengelolaan wilayah pelabuhan di Dadap dan Kamal Muara secara resmi
masih ditangani oleh Dinas Perikanan masing-masing kabupaten/kota khusus
untuk kawasan sekitar pelabuhannya. Pengelolaan kawasan di luar wilayah
pelabuhan tentu saja tergantung pada siapa pemilik lahan tersebut yang juga harus
berdasarkan pada peraturan yang tersedia, baik yang berkaitan dengan tata
ruangnya maupun aturan pengembangannya.
5.3.2 Analisis daya tampung pelabuhan perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara
Untuk mengkaji daya tampung pelabuhan perikanan yang terdapat di
kawasan Dadap-Kamal Muara, diperlukan data yang menyangkut keduan PPI/TPI
tersebut. Sebagian besar data sudah disampaikan dalam Bab 4.
(1) Prasarana dan sarana
Prasarana yang diperlukan dalam suatu pelabuhan perikanan antara lain
mencakup: alur masuk kapal, kolam pelabuhan, pelindung gelombang,
darmaga tempat bersandar, tempat bongkar muat barang, sumber energi
listrik, bahan bakar minyak, jalur komunikasi dan transportasi, dan sumber
air bersih. Sedangkan sarana pelabuhan dapat berupa: tempat menambat
kapal, bengkel mesin, unit perbaikan bodi kapal dan alat tangkap, tempat
sampah dan unit pengolahan limbah, tempat lelang ikan, perumahan
nelayan, dll.
210
Kondisi PPI/TPI Kamal Muara jauh lebih baik jika dibandingkan dengan
TPI Dadap. Bagaimanapun, di PPI/TPI Kamal Muara sudah terdapat
darmaga dan kolam pelabuhan, serta tempat bongkar muat ikan yang akan
dilelang, sementara di TPI Dadap belum ada, meskipun bangunan koperasi
masih berdiri dan bagian depan yang diperuntukan bagi kegiatan lelang
masih tetap tidak digunakan karena perahu yang berlabuh jauh jaraknya.
(2) Pasokan ikan
Pasokan ikan yang datang ke kawasan Dadap-Kamal Muara berasal dari
kapal yang berlabuh di sepanjang Kali Perancis dan di PPI/TPI Kamal
Muara. Meskipun TPI Dadap sudah tidak berfungsi, tetapi pendaratan ikan
dari kapal/perahu nelayan yang berukuran kecil (dibawah 5 GT) tetap
dilakukan. Tidak ada proses lelang, pedagang yang akan membeli langsung
berhubungan dengan nakhoda kapal.
Di TPI Kamal Muara, lelang tetap berlangsung mulai jam 04 pagi sampai
jam tujuh atau delapan, tergantung jumlah ikan yang didaratkan. Sebagian
besar ikan diborong oleh para pedagang besar yang membawa mobil sebagai
alat angkut, sementara pedagang kecil mengangkut ikan dengan
menggunakan beca, sepeda, atau gerobak dorong. Pedagang besar memasok
kebutuhan supermarket atau untuk dikirim ke Muara Angke.
Kegiatan pemasaran ikan di TPI Kamal Muara tidak hanya berupa
pelelangan ikan hasil tangkapan nelayan, tetapi juga pasar eceran, baik
untuk ikan yang didaratkan nelayan lokal, dibawa oleh pedagang dari Muara
Angke, atau dijajakan oleh para pedagang ikan yang menampung hasil
tambak atau hasil tangkapan dari perairan umum. Sehingga tidak
mengherankan jika di pasar ini dapat ditemui udang sungai yang masih
hidup. Pola distribusi ikan yang berasal dari kawasan Dadap-Kamal Muara
dapat dilihat pada Gambar 5.8. Dari Gambar 5.8 di atas dapat dilihat bahwa
distribusi ikan yang didaratkan di kawasan Dadap sebagian besar
didistribusikan ke pasar lokal (70 %), sementara ikan yang dilelang di TPI
Kamal Muara hanya 15 % untuk pasar lokal, sisanya (70 %) masuk ke pasar
211
elit (mal) di Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa potensi pasar Jakarta
selalu terbuka untuk ikan-ikan yang didaratkan di kawasan tersebut. Dari
keseluruhan ikan yang didaratkan di kawasan Dadap-Kamal Muara, hanya
sekitar 20 % yang masuk ke Pasar Kabupaten Tangerang.
Gambar 5.8 Pola distribusi ikan yang berasal dari kawasan Dadap-Kamal Muara
(3) Dukungan logistik pelabuhan perikanan
Perkembangan suatu pelabuhan perikanan sangat dipengaruhi oleh
ketersediaan fasilitas pendukung yang diperlukan untuk kegiatan
penangkapan, bongkar muat hasil tangkapan dan bekal operasi
penangkapan, serta penyediaan bahan dan fasilitas perbaikan kapal dan alat
penangkapan. Secara garis besar, kondisi logistik yang ada di sekitar TPI
Dadap dan Kamal Muara dicantumkan dalam Tabel 5.22.
Sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.22, ketersediaan fasilitas logistik
yang berkaitan dengan kegiatan perikanan relatif tersedia. Meskipun
demikian, permasalahan tidak selalu terletak di sana, tetapi pada
kemampuan (daya beli) nelayan untuk mendapatkan fasilitas tersebut.
Sebagai contoh, fasilitas BBM tersedia cukup, meskipun jarak SPBU relatif
jauh (sekitar 2 km). Karena tidak tersedianya SPBU khusus di TPI, maka
Pasar lokal Dadap
Pasar lokal Kamal Muara
Pasar Kabupaten Tangerang
Pasar elit Jakarta
TPI Dadap TPI Kamal Muara
5 % 5 %
15 %
70 %
10 % 10 %
65 %
212
nelayan harus membeli lewat tangan kedua (baik eceran maupun pemasok)
dengan harga yang lebih mahal dari harga resmi di SPBU (berbeda antara
Rp 400 – Rp 600 per liter solar). Dengan demikian, beban operasional
nelayan menjadi lebih besar. Jalan keluar yang dilakukan sebagian nelayan
adalah melakukan pengoplosan bahan bakar minyak tanah dengan oli,
dengan perbandingan satu liter oli mesin untuk 70 liter minyak tanah.
Penggunaan bahan bakar yang tidak sesuai dengan kebutuhannya ini tentu
saja akan berakibat negatif pada daya tahan mesin; serta juga pada
keselamatan operasional penangkapan secara keseluruhan.
Tabel 5.22 Daftar fasilitas logistik kegiatan perikanan disekitar TPI Dadap dan Kamal Muara
No FASILITAS TINGKAT
KETERSEDIAAN JARAK DARI (m)
TPI DADAP
TPI KAMAL MUARA
1 Air bersih Cukup 1 1 2 BBM Cukup 1 1 3 Toko peralatan
penangkapan ikan Cukup 50 25
4 Depo es Cukup 50 25 5 Toko bahan makanan Cukup 10 10 6 Bengkel mesin kapal Tidak ada - - 7 Montir mesin kapal Cukup 1 1 8 Dok kapal/perahu Cukup 9 Pasar umum Cukup 1.000 2.500 10 Penjual ikan Cukup 25 10
Dari Tabel 5.22 tersebut diperoleh kenyataan bahwa setiap faktor input yang
berpengaruh pada kegiatan penangkapan ikan di sekitar perairan Pulau Jawa
tersedia dengan cukup dan mudah diupayakan pada saat diperlukan. Namun
demikian, masalah sebenarnya adalah kurangnya hasil tangkapan yang
diperoleh jika dibandingkan dengan modal yang dikeluarkan untuk operasi
penangkapan. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa hal:
• kawasan perairan pantai utara sudah mengalami keadaan tangkap lebih
(overfishing), sehingga kelompok ikan sudah ditemukan;
213
• kondisi perairan tepi di pantai utara Pulau Jawa umumnya sudah
tercemar, sehingga kelompok ikan akan menjauh untuk mencari
habitat yang baru yang sesuai dengan persyaratan hidupnya;
• semakin menjauhnya gerombolan ikan dari kawasan pesisir
mengakibatkan diperlukannya biaya operasional penangkapan yang
lebih besar, karena harus mencari sumberdaya ikan ke tempat yang
lebih jauh dan dalam jangka waktu yang l.ebih lama
(4) Akses transportasi
Lokasi TPI Dadap dan TPI Kamal Muara relatif dekat dengan jalan TOL
Jakarta Bandara Sukarno Hatta, masuk simpang Rawa Bokor atau simpang
Kamal Muara-Dadap dan Kapuk-Pluit-Kota. Melalui Jalan Kamal, TPI
Dadap berjarak hanya 6,8 km km dari jalan TOL Pintu Cengkareng,
sementara jarak TPI Kamal Muara ke simpang Kamal Muara-Dadap hanya
berjarak 1 km. Jarak tersebut dapat ditempuh dalam waktu 10 mnt.
Jalan masuk beraspal mempunyai lebar 6 m, sedangkan kepadatan
kendaraan rata-rata 628 mobil per jam. Kemacetan kadang-kadang juga
terjadi pada pagi dan sore hari, yang sebagian besar disebabkan oleh tidak
teraturnya kendaran umum berhenti di tengah jalan saat menaikan dan
menurunkan penumpang, kondisi jalan yang rusak, dan saat jam kerja pabrik
selesai.
Dari kondisi jalan (termasuk kualitas jalan, lebar, tingkat kemacetan) dan
sarana transportasi dapat disimpulkan bahwa akses transportasi tidak ada
masalah dari dan ke TPI Dadap dan TPI Kamal Muara. Jika ada barang dan
permintaan, maka dukungan transportasi mudah disediakan. Meskipun
demikian, banyaknya kendaraan truk yang berukuran besar dengan muatan
yang berat serta kualitas jalan yang kurang baik telah menyebabkan kondisi
menjadi cepat mengalami kerusakan.
Salah satu isu yang sekarang sedang berkembang di lokasi adalah dirasa
perlu adanya trotoir di ruas Jalan Perancis dan ruas Jalan Dadap-Kamal ke
arah Kosambi, agar orang dapat berjalan dengan tenang. Trotoir sudah
214
dibangun di ruas Jalan Dadap-Kamal ke arah timur, meskipun cukup banyak
dipenuhi oleh para pedagang kaki lima.
5.3.3 Analisis model kelimpahan kapal ikan yang dapat dipindahkan dari PPI/TPI Dadap dan PPI/TPI Muara Angke ke PPI/TPI Kamal Muara
Salah satu parameter yang dijadikan ukuran pada suatu pelabuhan perikanan
adalah kapasitasnya, baik menyangkut berapa jumlah kapal yang dapat berlabuh,
jumlah kapal yang dapat ditangani untuk dibongkar muatannya per satuan waktu
(per jam, per hari, atau per minggu), dan juga jumlah kapal yang dapat dipasok
dengan kebutuhan bahan dan alat yang diperlukan untuk kegiatan penangkapan.
(1) Kapasitas PPI/TPI Kamal Muara dan PPI/TPI Dadap
Di PPI/TPI Dadap, kapal ikan tidak dapat berlabuh di tepi sungai dekat TPI.
Selain karena TPI sudah tidak beroperasi lagi, juga pendangkalan sungai
telah menyebabkan kapal tidak dapat mendekati daratan tempat TPI Dadap
berada.
Kapal ikan dapat berlabuh di sepanjang tepi sungai dengan syarat kedalaman
alurnya dapat dilalui kapal tersebut. Namun demikian, pada saat sekarang
ini, sedimentasi di muara sungai telah menyebabkan terjadinya
pendangkalan sehingga kapal yang dapat memasuki alur sungai menjadi
terbatas, kecuali jika sedang terjadi pasang naikair laut. Hal ini juga
menyebabkan kapal ikan lebih suka untuk berlabuh di tepi pantai, untuk
mencegahnya terjebak dan terdampar di dalam sungai sehingga tidak dapat
keluar.
Kondisi di PPI/TPI Kamal Muara jauh lebih baik. Jalur masuk ke kolam
pelabuhan secara rutin (1 kali per tahun sampai tahun 2005) dikeruk untuk
mengangkat lumpur yang mengendap di dasarnya. Namun demikian, kolam
pelabuhan juga banyak digunakan oleh kapal ikan untuk docking, baik
karena kerusakan mesin maupun perbaikan body, sehingga kapasitas
tampung kolam pelabuhannya berkurang.
Faktor lain yang juga berkaitan dengan kapasitas pelabuhan adalah jalan
masuknya. Untuk PPI/TPI Dadap, dua jalur jalan mengapit Kali Perancis,
215
sehingga pada dasarnya bongkar muat barang dapat dilakukan dari kedua
tepi sungai. Kapal-kapal ikan yang mendaratkan hasil tangkapannya di Kali
Perancis sebagian besar merupakan kapal pengangkut kerang hijau.
Di PPI/TPI Kamal Muara, hanya satu sisi tepi sungai yang dapat dilalui
kendaraan. Jadi pada waktu ada kendaraan yang sedang melakukan bongkar
muat barang, maka arus lalulintas sedikit terganggu karena lebar jalan hanya
sebesar 6 meter. Panjang jalan di tepi kolam pelabuhan yang dapat
digunakan untuk melakukan bongkar muat sepanjang 250 meter. Dengan
demikian, pada saat proses bongkar muat hasil tangkap atau bekal operasi
penangkapan ikan, hanya satu sisi jalan juga yang dapat digunakan. Untuk
meningkatkan kapasitas bongkar muat barang dari dan ke kapal ikan,
diperlukan pengadaan fasilitas yang lebih banyak dan baik. Fasilitas-
fasilitas tersebut antara lain:
• pipa air bersih dengan banyak kran sehingga satu waktu yang sama
dapat memenuhi kebutuhan kapal sekaligus;
• es balok dengan kualitas yang cukup;
• SPBU (sistempenyaluran bahan bakar umum) tersedia khusus untuk
kapal ikan, sehingga harga bahan bakar tidak lebih tinggi dari patokan
harga eceran;
• Unit perbaikan body dan mesin kapal serta alat tangkap, diperlukan
khusus di areal tertentu agar tidak sembarang kapal dapat melakukan
perbaikan di kolam pelabuhan;
• Fasilitas pengerukan alur masuk dan kolam pelabuhan, dengan
tersedianya prasarana ini kondisi kedalaman pelabuhan dapat dijaga
secara rutin;
• Fasilitas istirahat bagi awak kapal yang memadai, sehingga setiap
operasi penangkapan dapat dipersiapkan sebaik mungkin untuk
menjamin keberhasilan penangkapan secara optimum.
(2) Peluang pemanfaatan kapasitas TPI Muara Angke
Sebagaimana dijelaskan dalam Bab 4, saat ini terjadi kelebihan kapasitas
TPI Muara Angke yang mencapai 63 %, atau sebanyak 315 kapal ikan yang
216
harus ditata ulang. Tanpa memperhitungkan jumlah kapal yang tidak dapat
beroperasi karena kenaikan harga bahan bakar, maka untuk mencapai
efisiensi penanganan kapal oleh TPI Muara Angke, dengan asumsi deviasi
sebesar 5 %, maka jumlah kapal yang harus dialihkan adalah {315 – (5 % x
315)} = 299 unit (angka dibulatkan). Untuk mengalihkan kapal tersebut ke
TPI Kamal Muara, maka harus dilakukan rehabilitasi fasilitas pelabuhan,
sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.23.
Tabel 5.23 Daftar fasilitas yang perlu dikembangkan di TPI Kamal Muara untuk menampung kelebihan kapasitas TPI Muara Angke
KEBUTUHAN
PRASARANA JUMLAH KAPASITAS
A Pabrik es 1 unit 7.000-8.000 balok
B Cool room/chill room 5 unit 750 ton
C Cold storage 1 unit 1.000 ton
D Cool box 2.000 200 ton
E Air bersih 3.395 m3/bln 5.000 m3/bln
F Sentra pengolahan tradisional (UKM) 250 unit 50 ton
G Sarana/peralatan pengolahan 7 unit 5 ton
H Gudang garam 5 unit 15 ton/hari
I Kontainer 18 unit 432 ton
Sumber: Disnakanlut (2005)
Untuk melakukan analisis terhadap pengelolaan kelebihan kapasitas (daya
tampung) kapal di TPI Muara Angke, beberapa asumsi harus ditentukan, yaitu:
(1) kelebihan kapal yang mendarat sebanyak 299 unit per bulan
(2) semua kapal merupakan kapal ikan jenis purse seine
(3) semua kapal aktif beroperasi pada waktunya
Untuk membuat model pergerakan kapal ikan dari TPI Muara Angke dan
TPI Dadap ke TPI Kamal Muara, dibuat suatu matrik pergerakan atribut dari ke
tiga TPI yang terlibat dalam sistem dicantumkan pada Tabel 5.24. Dari Tabel 5.24
tampak bahwa jika kelebihan kapasitas kapal ikan dari TPI Muara Angke dapat
217
dialihkan ke TPI Kamal Muara, maka bilamana pengalihan itu dilaksanakan,
diperlukan pembangunan TPI Kamal Muara dan TPI Dadap untuk pengadaan
fasilitas-fasilitas tersebut. Penurunan jumlah kapal yang berlabuh di TPI Muara
Angke diduga akan membawa dampak sebagai berikut:
(1) Penurunan jumlah hasil retribusi lelang;
(2) Penurunan jumlah pendapatan dari ongkos sandar kapal di kolam
pelabuhan;
(3) Penurunan volume perdagangan sarana dan prasarana penangkapan ikan,
seperti bahan bakar, es, air PAM, dan perbekalan ransum.
Tabel 5.24. Pergerakan atribut TPI Dadap, TPI Kamal Muara, dan TPI Muara Angke
ATRIBUT TPI MUARA ANGKE
TPI KAMAL MUARA
TPI DADAP
(1) Tersedia 1) Kapal ikan 2) Nelayan 3) Bahan bakar 4) Es 5) Cold storage 6) Komplek pengolahan 7) Bengkel/dok 8) toko peralatan tangkap 9) kebersihan lingkungan 10) keamanan/ketertiban 11) Retribusi 12) Land rent 13) Lowongan kerja 14) Pengerukan Kolam
pelabuhan dan alurnya
15) Restoran seafood (2) Perencanaan
1) Taman Wisata Pasir Putih Mutiara Dadap
2) Kapal Baruna Jaya 3) GOR Kamal Muara 4) Water front city 5) Pelabuhan peti kemas
Keterangan: = keluar/pindah = dibangun = mengalami kenaikan
218
Untuk membandingkan kondisi awal dan kondisi prediksi TPI Kamal
Muara setelah terjadinya pemindahan kapal ikan yang berlebihan, maka dibuat
suatu nilai konversi dari variabel-variabel yang terkait dengan pengembangan
suatu pelabuhan perikanan. Nilai konversi dari variabel tersebut dapat dilihat pada
Tabel 5.25.
Tabel 5.25 Nilai konversi variabel sarana dan prasarana pelabuhan perikanan di Kamal Muara (kapasitas pelabuhan untuk sebanyak 500 unit kapal berukuran 50 GT (perubahan dari total bobot kapal 2.310 GT ke 25.000 GT)1)
No PRASARANA/ SARANA PPI
UKURAN IDEAL
k-IDEAL
FAKTA k-FAKTA
realitas ideal
1. Lebar alur masuk3) (m) 60 0,0024 35 0,015 0,0014
2. Panjang darmaga sandar4) (m)
400 0,016 50 0,022 0,002
3. Luas kolam pelabuhan/ darmaga2) (m2)
24.000 0,896 1.750 0,76 0,07
4. Kedalaman kolam5) (m) 5 0,0002 1 0,00043 0,00004
5. Volume kolam (m3) 120.000 4,8 1.312,5 0,57 0,053
6. Frekuensi keruk (perth) 2 1 1
7. Volume keruk (m3) 96.000 3,84 0 0 0
8. Air bersih6)/bulan (m3) 3.250 0,13 1.000 0,433 0,04
9. BBM7) per bulan(ton) 1.000 0,004 300 0,13 0,012
10. Oli per bulan8) (ton) 8,75 0,0038 0,8 0,00035 0,000032
11. R. pelelangan9) (m2) 1.375 0,055 75 0,032 0,003
12. Ruang perbaikan alat tangkap ikan10) (m2)
1.375 0,055 60 0,026 0,0024
13. Dok/bengkelan11) (m2) 5.400 0,216 100 0,043 0,004
14. Es balok)12) /bulan) 125.000 5 15.000 6,49 0,6
15. Cold storage13) (ton) 1.250 0,05 - - -
16. R.penanganan14)(m2) 1.375 0,055 75 0,032 0,003
17. R pengolahan14) (m2) 1.375 0,055 75 0,032 0,003
Keterangan: k = faktor konversi per GT kapal ikan
Beberapa asumsi yang diambil adalah: 1) kapal yang akan ditampung sebanyak 500 unit yang masing-masing berukuran 50 GT,
sebagaimana kapasitas awal TPI Muara Angke. Dimensi lebar kapal maksimal 6 m, panjang kapal maksimal 30 m, dan tinggi 2 m (Mahdi, 2005). Kapasitas awal TPI Kamal Muara adalah 15 unit kapal ukuran 10 GT (lihat Tabel 4.16), kenyataannya jumlah
219
kapal yang berlabuh di TPI Kamal Muara sebanyak 1.076 buah dengan ukuran > 10 GT dan 21 unit dengan ukuran 5-10 GT. Diasumsikan bahwa ke 1.076 kapal mempunyai GT rata-rata sebesar 20 GT dan yang 21 unit sebesar 7,5 GT, maka GT total semua kapal yang berlabuh di TPI Kamal Muara adalah sebesar 2.310 GT (angka dibulatkan).
2) panjang darmaga = d = {n.L + (n-1) 15,0 + 50,0} m; lebar = 2 B + (30,0 ~ 40,0) m; dimana n = jumlah kapal yang akan ditampung di darmaga, L = panjang kapal, dan B = lebar (Murdiyanto, 2002); panjang Kali Kamal yang dapat dimanfaatkan untuk darmaga sepanjang 400 m, jadi lebar kolam pelabuhan sebesar {(2 x 6) + 40} m = 52 m, atau jika menghitung panjang kapal maka lebar kolam pelabuhan minimal dua kali panjang kapal, yaitu sebesar 56 m.
3) = 8-10 kali lebar kapal (Murdiyanto, 2002) 4) = panjang Kali Kamal yang diasumsikan dapat dikembangkan menjadi tempat darmaga
bongkar 5) = menurut Murdiyanto (2002) kedalaman kolam pelabuhan sebesar {jarak lunas kapal dari
dasar kolam (0,8 ~ 1,0) + tinggi draft kapal (2 m) + beda pasang tertinggi dan terendah (1,16-0,4)+ jarak antara dek kapal dengan lantai darmaga (0,5 ~ 1,5)} m = (1,0 + 2 + 1,12 + 1,5) m = 4,62 m, dibulatkan 5 m
6) = kebutuhan air bersih setiap kapal dengan 30 orang ABK untuk beroperasi selama 20 hari per trip adalah (20 x 30 x 5 liter) = 3 m3, untuk kebutuhan penanganan ikan di tempat pelelangan 100 liter per ton ikan.
Jumlah kapal yang pergi melaut sebanyak 50 %, dengan volume hasil tangkap per kapal sebanyak 10 ton ikan. Jadi kebutuhan air per bulan = (50 % x 500 x 13) m3= 3.250 m3
7) = jumlah BBM per trip 4.000 liter per kapal, jadi untuk 250 kapal per bulan = 1 jt liter 8) = kebutuhan oli rata-rata per kapal per trip = 35 liter, jadi untuk 250 kapal per bulan =
8.750 liter 9) = menurut Murdiyanto (2002), luas gedung pelelangan diperhitungkan berdasarkan rumus
S = NP/Rα; dimana S = luas gedung pelelangan; N = jumlah produksi per hari {(250 x 10) ton/25 hari} = 100 ton; P = faktor daya tampung ruang terhadap produksi, rata-rata sebesar (11 ton/m2); α = rasio antara ruang lelang dan gedung pelelangan (0,4); R = frekuensi pelangan per hari (2 kali per hari). Sehingga luas gedung pelelangan yang diperlukan seluas 1.375 m2
10) = ruang perbaikan alat penangkapan ikan, diasumsikan sebesar ruang pelelangan, yaitu 1.375 m2
11) = ruang bengkel (workshop) dan dockyard diperhitungkan berdasarkan pada laporan Kurniawati (2005) bahwa kapal purse seine rata-rata melakukan docking sebanyak 2,28 kali setahun selama masing-masing 5,82 hari. Dengan jumlah kapal yang ditampung sebanyak 500 kapal, maka jumlah dock yang diperlukan mengikuti rumus Nnl/t, dimana N = jumlah kapal; n = frekuensi perbaikan per hari; l = lama hari docking; dan t = lama hari kerja per tahun, diasumsikan 300 hari kerja. Jadi jumlah dock yang perlu dibangun harus mempunyai kapasitas untuk 22,12 unit kapal, dibulatkan sebanyak 22. Dengan asumsi dimensi kapal sebagaimana tercantum dalam point 1) di atas, ditambah jarak antara kapal yang didocking sebesar 2 m, maka luas keseluruhan dock sekitar 5.400 m2.
12) = jumlah es balok yang digunakan dalam satu trip diasumsikan sebanyak 500 balok (@ 40 kg)
220
13) = diasumsikan 50 % dari ikan hasil tangkap bermutu baik dan perlu disimpan di cold storage, sehingga kapasitas cold storage yang tersedia harus sebesar = 50 % x 250 kapal x 10 ton = 1.250 ton.
Rumus perhitungan GT kapal berdasarkan Kepmen DKP No 10/2003 GT = (a + b)0,353; dimana a = volume ruang tertutup di bawah dek; b = volume ruang tertutup di atas dek).
Model matematika dari hubungan antara jumlah kapal yang dipindah dari
TPI Muara Angke ke TPI Kamal Muara dengan pembangunan (ketersediaan)
fasilitas pelabuhan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
Yi = ki .X
Dimana:
X = bobot kapal dalam GT, untuk kapal ukuran < 50 GT
Y = fasilitas pelabuhan di TPI Kamal Muara
i = 1, 2, 3, ...., n, faktor fasilitas pelabuhan yang berubah oleh
bobot kapal.
Dengan menggunakan program visual basic, maka model perubahan
fasilitas pelabuhan dikaitkan dengan jumlah kapal yang dipindah dapat dilihat
pada Tabel 5.26.
Tabel 5.26 Model perubahan jumlah kapal yang pindah dan fasilitas pelabuhan yang perlu ditingkatkan
No PRASARANA/ SARANA PPI
NILAI IDEAL DARI PRASARANA/SARANA PPI KAMAL MUARA BERDASARKAN TOTAL BOBOT KAPAL YANG HARUS DIPINDAH
2.500 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000
1. Lebar alur masuk3) (m)
35,21 37,96 43,47 48,98 54,49 60
2. Panjang darmaga sandar4) (m)
92,60 126,75
195,06
263,376
331,69
400
3. Luas kolam pelabuhan/ darmaga2) (m2)
1.936,32
4.387,84
9.290,88
14.193,92
19.096,96
24.000
4. Kedalaman kolam5) (m)
1,03 1,47 2,26 3,24 4,12 5
5. Volume kolam (m3)
2.306,36
15.383,43
41.537,57
67.691,71
93.845,86
120.000
221
Lanjutan Tabel 5.26 2.500 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000
6. Frekuensi keruk (perth)
1,01 1,12 1,34 1,56 1,78 2
7. Volume keruk (m3)
803,88
11.381,23
32.535,92
53.690,61
74.845,31
96.000
8. Air bersih6)/bulan (m3)
1.018,841
1.266,75
1.762,56
2.258,37
2.754,19
3.250
9. BBM7) per bulan(ton)
305,86
382,99
537,24
691,49 845,75 1.000
10. Oli per bulan8) (ton)
0,87 1,74 3,49 5,25 7,00 8,75
11. R. pelelangan9) (m2)
85,89 229,12
515,59
882,06
1.088,53
1.375
12. Ruang perbaikan alat tangkap ikan10) (m2)
71,01 215,90
505,67
795,45
1.085,23
1.375
13. Dok/bengkelan11) (m2)
144,38
728,34
1.896,25
3.064,17
4.232,09
5.400
14. Es balok)12)
/bulan) 15.92
1,11 28.04
0,99 52.280,74
76.520,49
100.760,24
125.000
15. Cold storage13) (ton)
10,47 148,19
423,65
699,10
974,55
1.250
16. R.penanganan14)(m2)
85,89 229,12
515,59
802,06
1.088,53
1.375
17. R pengolahan14) (m2)
85,89 229,12
515,59
802,06
1.088,53
1.375
Besarnya nilai penurunan akibat dialihkannya ke 299 unit kapal ikan
tersebut dapat dihitung sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.27.
Tabel 5.27 Besaran jumlah ikan dan nilai retribusi yang diperkirakan dapat diperoleh dari operasional 299 unit kapal ikan di TPI Muara Angke (data diolah dari Tabel 4.10, Tabel 4..11 dan Tabel 4.12).
PARAMETER 2002 2003 2004 1 Total produksi ikan lokal 8.472.920 8.162.744 8.109.187 2. Nilai retribusi lelang dari total
produksi ikan lokal (x Rp 1.000) 1.235.685,14 1.615.307,18 1.693.584,92
3. Jumlah kapal ikan yang tambat labuh
3.262 3.081 3.527
4. Nilai rata-rata retribusi per kapal ikan
378.812 524.280 480.177
5. Perkiraan nilai retribusi dari 299 kapal ikan
108.340.232 149.944.080 137.330.622
222
Dari Tabel 5.27 di atas dapat dilihat bahwa untuk jumlah kapal ikan
sebanyak 286 unit, diperkirakan akan dihasilkan nilai retribusi sebesar Rp 137,33
juta rupiah per tahun untuk tahun 2004. Nilai retribusi bulanannya berarti sebesar
Rp 11,44 juta. Secara teoritis, nilai retribusi ini tidak akan hilang dari kas
keuangan daerah Kota Jakarta Utara, karena perpindahan tempat pendaratan kapal
dari TPI Muara Angke ke TPI Kamal Muara masih ada dalam suatu wilayah
administrasi. Tetapi dampak ikutan dari proses pembangunan TPI Kamal Muara
dan pemindahan kelebihan kapasitas tampung TPI Muara Angke tersebut dapat
memancing kegiatan ekonomi yang lebih besar.
Prediksi perubahan jumlah kapal di TPI Muara Angke, TPI Kamal Muara,
dan TPI Dadap menggunakan Stella dapat dilihat pada Gambar 5.9.
10:19 AM Sat, Apr 29, 2006Page 12006.00 2007.00 2008.00 2009.00 2010.00 2011.00
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
5:
5:
5:
15000
30000
45000
454
1204
1954
0
15000
30000
0
10000
20000
100
250
400
1: kplTPI Muara AÉ 2: TPI Dadap 3: TPI Kamal Muara 4: kplpindahdrMA 5: jmlkpl pindahDdÉ
1
1
1
1
1
2
2
2
2
23
3
3
3
3
4
4 4 4 4
5
5
5
5
5
Gambar 5.9 Kurva laju perubahan keseimbangan jumlah kapal di TPI Muara Angke, TPI Kamal Muara, dan TPI Dadap dalam skenario optimasi TPI Kamal Muara
Dari Gambar 5.9 tampak bahwa perubahan jumlah kapal di TPI Muara
Angke akan terjadi secara drastis dalam kurun waktu satu tahun pertama, dari
jumlah 815 sekarang ini sampai kembali ke kapasitas awal yang direncanakan
sebanyak 500 kapal. Jika dijadwalkan pemindahan kelebihan kapal ikan tersebut
berlangsung selama lima tahun, maka pada tahun pertama dapat dipindah
sebanyak 2942 GT, dan secara tetap dapat dipindah sebanyak ini pada tahun-tahun
223
berikutnya. Bentuk kurva pindah kapal dan kapal yang tersisa mempunyai bentuk
yang relatif sama. Hanya saja pada tahun pertama tersebut, pemindahan kapal
sebenarnya dapat dilakukan tuntas, hanya saja tergantung pada peningkatan
prasarana dan sarana pelabuhan sesuai dengan yang direncanakan. Sementara itu,
pola perubahan jumlah kapal yang dipindahkan dari TPI Dadap dan jumlah yang
tersisa bentuknya sama.
Model Stella yang dapat dibuat untuk menggambarkan sistem tersebut
dapat dilihat pada Gambar 5.10, sedangkan persamaannya dicantumkan dalam
Lampiran 6.
Gambar 5.10 Model kualitatif perpindahan sebagian armada penangkapan ikan ke TPI Kamal Muara
224
Salah satu causal loop dari model ini yang diprediksikan dapat terbentuk
dicantumkan dalam Gambar 5.11.
Gambar 5.11 Causal loop yang diasumsikan dapat terjadi pada proses pindah kapal ikan dan investasi fasilitas pelabuhan
Dari Gambar 5.11 tampak bahwa bilamana dilakukan pemindahan
sebagian kapal ikan dari PPI Muara Angke dan PPI Dadap ke PPI Kamal Muara,
maka yang akan terjadi adalah:
1) Pemda DKI Jakarta harus meningkatkan fasilitas fisik yang berkaitan
dengan operasional PPI Kamal Muara;
2) Peningkatan jumlah kapal ikan yang disertai oleh terpenuhinya prasarana
dan sarana serta fasilitas operasional penangkapan ikan dan penanganan
hasil tangkapnya akan menghasilkan peningkatan produksi hasil tangkap;
selain itu, fasilitas pelelangan dan pemasaran ikan akan meningkatkan
volume ikan yang diperjualbelikan;
3) Dampak langsung dari peningkatan volume produksi dan pemasaran ikan
akan secara otomatis meningkatkan nilai retribusi ke PEMDA DKI Jakarta;
4) Berbarengan dengan hal tersebut, perkembangan kegiatan wisata bahari
yang direncanakan di PPI Dadap juga akan menyerap hasil tangkapan ikan
dari PPI/TPI Kamal Muara, baik oleh restoran seafood, para pengolah
produk diversifikasi ikan, maupun pedagang eceran ikan;
+
+ +
+
+
+
+
+
PPI/TPI KAMAL MUARA
PPI/TPI MUARA ANGKE
PPI/TPI DADAP
PEMDA DKI
PEMBANGUNAN FASILITAS PPI/TPI
PRODUKSI IKAN PEMDA TANGERANG
PROGRAM WISATA BAHARI
+ +
225
5) Peningkatan aktivitas wisata bahari di Dadap yang melibatkan nelayan
pemandu, secara otomatis akan menyebabkan timbulnya efek ganda, baik
yang berkaitan langsung dengan kegiatan wisata bahari tersebut, seperti:
penyediaan umpan, peralatan pancing, maupun yang tidak langsung seperti
souvenir, sarana parkir, keamanan, rumah makan, dll.
6) Berkembangnya kegiatan ekonomi di Dadap secara otomatis harus juga
dapat meningkatkan PAD Kabupaten Tangerang.
Jumlah kapal ikan di TPI Kamal Muara meningkat secara tajam setelah
tahun pertama. Hal ini terjadi karena adanya kapal yang masuk dari TPI Muara
Angke dan TPI Dadap. Bentuk kurva yang menaiki tajam sampai akhir tahun
kedua diduga karena jumlah unit kapal sebenarnya lebih banyak dari yang tercatat.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya proses penyesuaian diri antara jumlah kala
dengan ketersediaan fasilitas yang tersedia. Artinya persiapan pengembangan
fasilitas di TPI Kamal Muara memang memerlukan waktu yang cukup lama
sebelum siap untuk menampung kapal-kapal pindahan tersebut.
Pertambahan jumlah kapal di TPI Kamal Muara sebagaimana tampak
dalam Gambar 5.9 terjadi secara gradual dalam jangka waktu 5 tahun tersebut,
dimana total jumlahnya adalah sebanyak 25.000 GT. Namun demikian,
mengingat saat ini jumlah kapal sebenarnya 2.000 kapal dengan ukuran berat
berbeda, maka beberapa strategi pengelolaan kapal penangkap ikan yang dapat
dilakukan antara lain sebagai berikut:
(1) Berkurangnya sumberdaya ikan di perairan pantai mengharuskan
dilakukannya kerjasama kelompok nelayan untuk membentuk suatu unit
armada penangkapan ikan yang lebih besar, baik dari ukuran kapal dan alat
penangkapnya maupun daya jangkaunya ke fishing ground.
(2) Relokasi dan kapal-kapal ikan yang berukuran kecil, baik ke daerah-daerah
lain yang memiliki sumberdaya ikan di perairan pantai yang masih baik,
maupu dialih-fungsikan untuk aktivitas lain yang masih berkaitan dengan
keahlian nelayan, antara lain: kapal pemandu wisata pesisir, untuk layaran,
untuk sport fishing, dan juga untuk transportasi antar pulau.
226
(3) Melakukan peremajaan kapal ikan yang sudah tidak layak lagi untuk
digunakan, dengan berlakunya persyaratan ukuran kapal sebesar 50 GT.
(4) Mengembangan fasilitas pelabuhan TPI Kamal Muara sesuai dengan
kapasitas yang direncanakan.
(5) Membentuk suatu lembaga pengelolaan terpadu diantara Dinas Teknis
terkait di Kabupaten Tangerang dan di Kota Jakarta Utara.
Data perubahan keseimbangan jumlah kapal di TPI Muara Angke, TPI
Kamal Muara, dan TPI Dadap dalam skenario optimasi TPI Kamal Muara
selengkapnya dicantumkan dalam Tabel 5.28.
Tabel 5.28. Data pola perubahan keseimbangan jumlah kapal (dalam GT) di TPI Muara Angke, TPI Kamal Muara, dan TPI Dadap dalam skenario optimasi TPI Kamal Muara dari tahun 2006-2011
Tahun Jml kapal di TPI Dadap
Jml kapal di TPI Kamal Muara
Jml Kpl TPI Muara Angke
Jml kpl pindah dari TPI Dadap
Kplp indah dr TPI MA
2006 1.954 50 40.750 391 2.492
2007 1.563 15.391 25.800 313 2.492
2008 1.251 18.195 23.308 250 2.492
2009 1.000 20.938 20.816 200 2.492
2010 800 23.630 18.324 160 2.492
2011 640 26.282 15.832 Catatan: nilai dibulatkan.
Dari Tabel 5.28 tampak bahwa meskipun direncanakan untuk
memindahkan jumlah kapal dari TPI Muara Angke dan TPI Dadap dalam
persentase yang sama untuk tiap tahun selama jangka waktu lima tahun, namun
hasil analisis Stella menunjukkan bahwa perubahan jumlah kapal yang terjadi
pada tahun 2011 tidak sebesar yang direncanakan. Pada tahun 2006 menunjukkan
data awal yang ada di setiap TPI, kemudian sudah mulau terjadi proses pindah
sebagian kapal dari Muara Angke dan Dadap. Pada akhir tahun 2007, TPI Dadap
akan menisakan jumlah kapal sebanyak 640 GT, dari yang direncanakan sampai
jumlah 500 GT, sementara di TPI Kamal Muara jumlahnya mencapai 26.282 GT.
227
Hal ini mungkin terjadi karena adanya perkembangan yang tidak linier dari
pembangunan fasilitas, baik yang diperlukan oleh TPI Kamal Muara, maupun
fasilitas pengembangan yang dilakukan di TPI Dadap.
5.4 Skenario pengembangan dan pengelolaan pelabuhan perikanan di kawasan TPI Dadap dan TPI Kamal Muara
5.4.1 Penentuan lokasi pelabuhan perikanan
Menurut Kramadibrata (2002), pelabuhan adalah tempat berlabuhnya kapal-
kapal yang diharapkan merupakan suatu tempat yang terlindung dari gangguan
laut, sehingga bongkar muat dapat dilaksakan untuk menjamin keamanan barang.
Suatu lokasi di pantai dapat memenuhi persyaratan ini dengan kedalaman air dan
besaran kolam yang cukup untuk ukuran tertentu, sehingga hanya dibutuhkan
adanya suatu dermaga (wharf) tempat ditambatkannya suatu perahu. Pelabuhan
seperti ini disebut pelabuhan alam. Tipe tempat lain yang dibentuk dan
diperuntukan bagi berlabuhnya kapal adalah pelabuhan buatan, dimana alur masuh
dan kolam pelabuhan, dan pemecah gelombang harus dibangun secara penuh.
Diantara kedua tipe pelabuhan ini ada juga yang termasuk pelabuhan semi alam.
Mengacu pada definisi yang tercantum dalam International Maritime
Dictionary, Murdiyanto (2004) membuat padanan untuk istilah harbour dengan
bandar, yaitu suatu pelabuhan alam yang tidak selalu memiliki fasilitas buatan.
Istilah port dipadankan dengan pelabuhan, dalam arti pelabuhan buatan.
Dubrocard dan Thoron (1998) menyatakan bahwa suatu pelabuhan dapat
digambarkan sebagai suatu tempat dimana berlangsung mekanisme transportasi
barang-barang yang berasal dari daratan menjadi barang-barang yang berasal dari
laut, dan sebaliknya. Pelabuhan menawarkan dua macam pelayanan, yaitu
pelayanan kapalnya dan pelayanan muatannya. Pelayanan yang diberikan oleh
pelabuhan didasarkan pada hasil dari pengalaman dalam jangka waktu yang lama.
Dalam kaitannya dengan kapal ikan, terjadinya antrian akan sangat
mempengaruhi nilai dari muatannya tersebut, terkait dengan proses lelang
(Dubrocard dan Thoron 1998). Hal ini tidak hanya waktu tunggu yang penting
tetapi lebih pada harga ikan yang dapat dicapai saat lelang. Artinya, jika ikan
228
yang dibongkar tersebut menambah jumlah ikan yang sudah ada di pelelangan,
dikhawatirkan akan terjadi penurunan harga karena kelebihan pasokan di pasar.
Pelabuhan Perikanan Dadap dan Kamal Muara, jika dilihat dari bentuk fisik
dan tataletaknya bukanlah suatu pelabuhan yang ideal yang sejak awal secara
resmi direncanakan untuk dibuka oleh pemerintah (meskipun kemudian beberapa
fasilitas pendukung dibangun di sekitarnya). Karena kondisi muara sungai di
kedua daerah tersebut relatif dangkal dan laju sedimentasi cukup besar. Fungsi
pelabuhan ini berkembang lebih disebabkan oleh kebutuhan terhadap suatu tempat
bersandarnya kapal-kapal ikan yang memerlukan tempat berlindung dari ombak
dan angin.
Menurut Guckian (1974), suatu lokasi akan memerlukan pembangunan
fasilitas pelabuhan jika:
1) Ada kegiatan peluncuran kapal/perahu ke suatu perairan;
2) Ada proses gerakan kapal melalui suatu alur yang dangkal yang berbahaya,
seperti pantai berkarang, arus kencang, bars, surf, dll;
3) Diperlukan suatu prasarana penambatan (berthage) dan berlabuh
(anchorage) kapal/perahu yang aman untuk terapung (afloat);
4) Diperlukan suatu penanganan ikan hasil tangkap, baik dari perahu ke darat
maupun ke kapal/perahu lainnya.
5) Ada kegiatan perbaikan perahu dan suplai kebutuhan awak kapal, seperti
peralatan tangkap, bahan bakar, air, es, dan bahan lainnya;
6) Ada kegiatan penanganan dan pengolahan ikan di pantai;
7) Ada kegiatan pemeliharaan dan perbaikan kapal/perahu di dermaga/
pelabuhan, atau di pantai.
Guckian (1974) menambahkan bahwa pembangunan fasilitas di suatu
pelabuhan harus ditentukan pada dua faktor, yaitu: ukuran dan tipe kapal yang
akan digunakan; dan aktivitas khusus yang memerlukan pelayanan khusus pula.
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam suatu pembangunan
pelabuhan, keterlibatan arsitek kelautan, teknik sipil, master penangkapan,
spesialis industri perikanan, ahli ekonomi, dan sosiologi.
Menurut Dubrocard dan Thoron (1998), suatu kapal ikan yang berlabuh di
sebuah pelabuhan sudah harus mempunyai pertimbangan tentang adanya biaya
229
tunggu. Mereka mempertimbangkan waktu pelayanan bongkar muat menjadi
penentu utama kualitas pelayanan pelabuhan yang disediakan. Kualitas pelayanan
ini diukur dengan keterlambatannya (the delay), yang ditentukan oleh kapasitas
pelabuhan dan permintaan untuk mendapatkan pelayanan pelabuhan tersebut.
Untuk kasus TPI Dadap dan TPI Kamal Muara, pelayanan yang dilakukan
oleh pelabuhan sebenarnya hampir tidak ada. Hal ini tampak karena setiap kapal
ikan melakukan bongkar muat sendiri, baik untuk ikan hasil penangkapannya,
maupun untuk pemuatan ransum dan keperluan operasi penangkapan. Untuk
kegiatan servis mesin dan kapal juga dilakukan oleh awak kapal sendiri, tidak
mengandalkan bengkel khusus, kecuali jika terjadi kerusakan mesin yang relatif
parah sehingga memerlukan montir yang lebih akhli. Oleh karena itu, belum
diperlukan sistem analisis khusus untuk membahas teori antrian di TPI Kamal
Muara.
Menurut Kramadibrata (2002) dan Murdiyanto (2002), kelengkapan
fasilitas dalam suatu pelabuhan perikanan haruslah mencakup dua unsur utama,
yaitu:
(1) Fasilitas pokok (basic facilities), yang mencakup:
a. fasilitas perlindungan (protective facilities), berfungsi untuk
melindungi kapal dari pengaruh buruk yang diakibatkan oleh
kondisi oseanografis seperti gelombang, arus, pasang, aliran pasir,
erosi, luapan air di muara sungai, dsb. Fasilitas ini dapat berupa
breakwater, groin, tembok laut, atau bangunan maritim lainnya;
b. fasilitas tambat (mooring facilities), digunakan untuk kapal
bertambat, bongkar muat ikan, berlabuh, dan saat menganggur (idle
berthing). Fasilitas ini dapat berupa dermaga pendaratan, mooring
quays, bollards piers, dan slipways;
c. fasilitas perairan pelabuhan (water side facilities), berguna untuk
pintu masuk pelabuhan dan manuver kapal di areal pelabuhan dan
untuk kapal berlabuh (anchorage). Fasilitas dapat berbentuk alur
atau kanal pelayaran atau kolam pelabuhan.
(2) Fasilitas fungsional terdiri dari berbagai fasilitas yang berfungsi untuk
melayani berbagai kebutuhan lainnya di areal pelabuhan tersebut, seperti
230
bantuan navigasi, layanan transportasi, layanan suplai kebutuhan bahan
bakar minyak dan pelumas, tempat penanganan dan pengolahan ikan,
fisilitas darat untuk perbaikan jaring, perbengkelan untuk perbaikan dan
pemeliharaan kapal, layanan kebutuhan air bersih dan perbekalan melaut
(makanan, sarana penangkapan, dsb), instalasi pengolahan limbah dan
saluran pembuangannya, layanan komunikasi, layanan kesejahteraan sosial
bagi nelayan dan umum, dlsb.
5.4.2 Kelayakan teknis pelabuhan perikanan
Untuk membangun suatu pelabuhan diperlukan suatu proses perencanaan
yang komprehensif (menyeluruh), baik dari aspek teknis-biofisik, ekonomi,
maupun sosial. Keseluruhan proses tersebut tercakup dalam studi kelayakan dan
kajian amdalnya. Proses pembangunan fisik pelabuhannya sendiri dapat
dilakukan dengan cepat asalkan dananya tersedia. Namun demikian, hal ini belum
menjamin suatu pelabuhan akan dapat berkembang dengan baik, jika faktor-faktor
lain yang berkaitan dengan kegiatan perikanan tidak diteliti dengan cermat.
Banyak kasus program pembangunan pelabuhan yang dilakukan oleh
pemerintah tidak dapat dimanfaatkan sama sekali, atau dapat dimanfaatkan tetapi
jauh dibawah kapasitas optimal. Temuan lapangan dari Program Pembangunan
dan Peningkatan Sarana Pelabuhan Perikanan di Indonesia tahun 1998-2000
diperoleh data ternyata beberapa pelabuhan perikanan tersebut ada yang sudah
rusak sebelum difungsikan, baik hancur karena arealnya tergerus abrasi atau tidak
dapat difungsikan karena sudah cukup jauh dari tepi pantai. Kasus lain lagi ada
pelabuhan yang tidak dipakai karena nelayan tidak ada yang mau mendaratkan
kapalnya, baik karena tidak ada pembeli, tidak dilengkapi fasilitas kegiatan
perikanan yang memadai, maupun karena faktor keamanan berlabuh yang kurang
sempurna. Penyebab terjadinya semua kegagalan tersebut adalah faktor
perencanaan yang tidak baik dan tidak terpadu, serta faktor pengawasan
pelaksanaan pembangunan pelabuhan tersebut yang sangat lemah.
Secara teknis, PPI/TPI Dadap sudah kurang layak lagi untuk dijadikan
pangkalan pendaratan ikan, mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri Kelautan
231
dan Perikanan No. PER.16/MEN/2006 tanggal 23 Juni 2006 tentang Pelabuhan
Perikanan (DKP 2006) dan Lubis (2002) tentang fungsi pelabuhan perikanan,
yaitu dalam hal berikut:
1) Tidak lengkapnya fasilitas-fasilitas yang ada di PPI/TPI Dadap, baik fasilitas
pokok, yang meliputi: (1) pelindung seperti breakwater, revetment, dan
groin; (2) tempat tambat seperti dermaga dan jetty; (3) perairan seperti
kolam, dan alur pelayaran; (4) penghubung seperti jalan, drainase, gorong-
gorong, jembatan; dan (5) lahan pelabuhan perikanan.; fasilitas fungsional
yang terdiri dari: (1) tempat pelelangan ikan sebagai tempat pemasaran hasil
perikanan (tidak difungsikan lagi); (2) tidak ada sistem navigasi pelayaran
dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-rambu, lampu suar,
dan menara pengawas; (3) kurangnya suplai air bersih, es, listrik; (4)
pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan seperti dock/slipway, bengkel
dan tempat perbaikan jaring dilakukan oleh dan ditempat nelayan sendiri;
(5) tempat penanganan dan pengolahan hasil perikanan tidak tersedia,
demikian juga laboratorium pembinaan mutu; (6) tidak berfungsinya
perkantoran untuk administrasi pelabuhan; (7) belum tersedianya alat
transportasi ikan dan bahan perbekalan penangkapan; serta (8) belum adanya
TPA (tempat pengolahan limbah) seperti instalasi pengolah air limbah
(IPAL).
2) Tidak tersedianya fasilitas penunjang, seperti: (1) balai pertemuan nelayan;
(2) tempat pengelolaan pelabuhan, seperti mess operator, pos jaga, dan pos
pelayanan terpadu; (3) fasilitas sosial dan umum, seperti tempat peribadatan,
dan MCK; (4) kios IPTEK; serta (5) tempat penyelenggaraan tugas
pemerintahan seperti keselamatan pelayaran, K3, bea dan cukai,
keimigrasian, pengawas perikanan, kesehatan masyarakat, dan karantina
ikan.
Ketiadaan fasilitas yang tersedia menyebabkan fungsi pelabuhan perikanan
sebagaimana yang dinyatakan oleh Lubis (2002), tidak dapat dijalankan semua,
baik yang berdasarkan pendekatan kepentingan maupun pendekatan aktivitas.
Fungsi yang dapat berjalan hanya fungsi pemasaran yang juga tidak dilakukan di
TPI.
232
Untuk kasus PPI/TPI Kamal Muara, kondisinya jauh lebih baik. Di sini
hampir semua fungsi pelabuhan dan tempat pelelangan ikan masih berfungsi
meskipun belum sempurna. Sebagai contoh:
1) Fasilitas pokok belum lengkap, seperti tidak tersedia breakwater sebagai
pelindung dari gelombang dan arus;
2) Fasilitas fungsional belum lengkap dan belum difungsikan optimal, seperti:
(1) TPI tidak lagi digunakan sebagai tempat pelelangan; pelelangan ikan
malah dilakukan di jalan di depan TPI; (2) belum lengkapnya sistem
navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, SSB, rambu-
rambu, lampu suar, dan menara pengawas; (3) kurangnya suplai air bersih,
es, listrik; (4) tempat pemeliharaan kapal dan alat penangkap ikan dilakukan
di sekitar kolam pelabuhan oleh dan ditempat nelayan sendiri; (5) tempat
penanganan dan pengolahan hasil perikanan tidak tersedia, dan hanya
dilakukan di tempat/rumah masing-masing pedagang/pengolah; (6) tidak
tersedia laboratorium pembinaan mutu; serta (7) belum adanya TPA (tempat
pengolahan limbah) seperti instalasi pengolah air limbah (IPAL).
3) Fasilitas penunjang belum lengkap, seperti: (1) kios IPTEK; serta (2) tempat
penyelenggaraan tugas pemerintahan seperti keselamatan pelayaran,
keimigrasian, pengawas perikanan, kesehatan masyarakat, dan karantina
ikan.
Ketiadaan fasilitas yang tersedia tersebut memang tampaknya belum
diperlukan untuk pelabuhan perikanan yang berukuran kecil dan skala usahanya
hanya tingkat lokal saja. Jadi di PPI/TPI Kamal Muara fungsi pelabuhan
perikanan yang dapat dijalankan jika mengacu kepada Lubis (2002), meliputi: (1)
fungsi jasa; (2) fungsi pendaratan dan pembongkaran; serta (3) fungsi pemasaran.
5.4.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan
Keberhasilan suatu aktivitas pembangunan, sangat dipengaruhi oleh aspek
kelembagaan yang merupakan sebuah kerangka pengelolaan yang efektif.
Analisis kelembagaan mencakup aspek peran dan tanggungjawab dari berbagai
233
badan. Bilamana perlu dapat dilakukan revisi, sehingga pada suatu sisi yurisdiksi
yang tumpang tindih atau yang berselisih dapat diminimumkan, dan pada sisi lain
tidak ada isu penting yang tidak ditangani oleh suatu badan yang
bertanggungjawab. Oleh karena itu, sebagaimana dicantumkan dalam
Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab (Code of Conduct for
Responsible Fisheries, CCRF), sebuah mekanisme kelembagaan bagi
pengelolaan pesisir terpadu akan menjamin hal berikut: pertama, ditetapkan
tanggungjawab secara sektoral yang tepat; kedua, ditetapkan tatanan-tatanan
pengkoordinasian/pengintegrasian yang tepat; dan ketiga, badan-badan pada
semua tingkat tetap terus diberi informasi menyangkut kebijakan kawasan pesisir
untuk menjamin pertalian dalam pelaksanaan kebijakan (FAO 1996).
Mengamati perkembangunan kegiatan pembangunan di wilayah DKI
Jakarta melalui hasil evaluasi pilot proyek Teluk Jakarta setelah tiga tahun
pelaksanaan, UNESCO-CSI berkesimpulan bahwa perlu peningkatan dan
pengembangan pilot proyek tersebut (Nur et al 1999). Menurut Nur et al (1999),
pada saat itu sebuah proyek sedang dirumuskan, yaitu "Environmental governance
and wise practices for tropical coastal mega-cities: Sustainable human
development of the Jakarta Metropolitan Area". Proyek ini akan berfungsi sebagi
sebuah forum koordinasi dari proyek-proyek yang berkaitan dengan peningkatan
kualitas lingkungan hidup di Kawasan Metropolitan Jakarta, garis begar kegiatan
adalah sebagai berikut: (1) Menggalakkan partisipasi masyarakat dalam
peningkatan kualitas lingkungan hidup dengan mendorong partisipasi masyarakat
dan LSM dalam pembangunan masyarakat berkelanjutan; (2) Mengintegrasikan
kegiatan peningkatan kualitas kawasan pesisir sebagai salah satu bagian dari
program permbangunan pemerintah (pusat dan daerah), merumuskan
kebijaksanaan lingkungan hidup dan system pemantauan, analisis and desiminasi
hasil lapangan; dan (3) Meningkatkan kesadaran sektor swasta (para pengelola
kawasan pariwisata dan kawasan industri) akan pentingnya arti dari pelertarian
lingkungan hidup. Program kegiatan disusun berdasarkan analisa ruang dari
permasalahan, misalnya : untuk mengurangi tekanan masyarakat terhadap
sumberdaya pesisir yang disebabkan oleh tata cara penangkapan ikan yang tidak
berwawasan lingkungan (pemakaian bom ataupun racun) maka kita akan cari
234
alternatif kegiatan ekonomi baru bagi masyarakat setempat yang sifatnya tidak
merusak lingkungan; dan untuk menurunkan polusi perairan Teluk Jakarta oleh
pestisida dan pupuk maka kita akan memperkenalkan dan membimbing petani
yang berada di hulu (di Kabupaten Bogor dan Purwakarta, terletak sekitar 70
hingga 90 km dari pantai) untuk melakukan praktek pertanian berwawasan
lingkungan.
Adanya Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur,
merupakan suatu titik awal yang baik untuk melakukan pengelolaan suatu wilayah
yang terletak diperbatasan, sebagaimana Dadap dan Kamal Muara. Informasi dari
Sekretarian BKSP Jabodetabekjur menyebutkan bahwa koordinasi sudah berjalan
baik, meskipun ternyata diperlukan waktu yang lebih banyak untuk sampai pada
tingkat implementasi di lapangan. Nur et al (1999) menyatakan bahwa
permasalahan lingkungan hidup di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu tidak
dapat dipecahkan hanya pada tingkat lokal, melainkan dibutuhkan pemecahan
persoalan yang skalanya regional, yaitu Kawasan Metropolitan Jakarta. Hingga
saat ini belum ada satu pun Badan Pemerintah yang berhasil menangani
pembangunan dan pengelolaan Kawasan Jakarta Metropolitan (DKI Jakarta dan
beberapa Dati II di Jawa Barat) secara keseluruhan. Pada prinsipnya, Badan
Kerjasama Pembangunan Jabotabek (BKSP) adalah satu-satunya badan yang
bertanggung jawab atas koordinasi inter-regional dan inter-sectoral baik antara
pemerintah pusat dan instansi-instansi lain yang terlibat dalam pembangunan
Jabotabek. Pada saat ini, BKSP menghadapi beberapa persolan untuk
melaksanakan tugas ini, persoalan yang dihadapi antara lain: (1) tidak ada dana
khusus yang diperuntukkan bagi kegiatan BKSP; (2) kegiatan BKSP bertumpang
tindih dengan beberapa lembaga pemerintah lainnya, teurama Bappeda Tkt. I DKI
Jakarta dan Jawa Barat; (3) peran BKSP dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengelolaan dan penyususnan anggaran pembangunan Jabotabek tidak begitu
jelas; dan (4) tidak ada petunjuk pelaksanaan pembangunan di Jabotabek.
Singkatnya BKSP tidak memiliki alat untuk mengkoordinaksikan dan
mengintegrasikan program pembangunan di Jabotabek. Setelah mengidentifikasi
permasalahan yang dihadapi BKSP, ditarik kesimpulan bahwa Pemerintah Pusat
dan Daerah perlu memberikan dukungan kepada lembaga ini (berupa penjelesan
235
statusnya, dukungan politik dan pendanaan) agar dapat menjalankan tugas dan
fungsi dengan baik.
Selain persoalan-persoalan di atas, beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya keterlambatan fungsi BKSP Jabodetabekjur adalah:
1) Hasil rapat koordinasi diantara anggota di dalam BKSP Jabodetabekjur
masih memerlukan waktu pembahasan di daerah masing-masing, kecepatan
proses pembahasan tersebut juga tidak sama.
2) Setelah adanya era otonomi daerah ini, birokrasi pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan pemerintah daerah lain harus melalui proses
pembahasan di kalangan DPRD.
3) Masih adanya perbedaan persepsi dikalangan tokoh-tokoh masyarakat
tentang konsep “Jakarta Megapolitan”.
Khusus untuk poin 3 di atas, beberapa tokoh masyarakat Jawa Barat berbeda
pendapat tentang konsep pembentukan Jakarta Megapolitan. Sengketa dan
rencana "pencaplokan" wilayah Jawa Barat oleh DKI Jakarta ternyata bukan
terjadi saat ini saja. Menurut Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H {mantan
Sekretaris Eksekutif Badan Kerja Sama Pembangunan Jakarta Bogor Tangerang
Bekasi (Jabotabek)}, wacana seperti itu sudah pernah dilontarkan DKI Jakarta
sejak 1974, saat Gubernur DKI dipegang Ali Sadikin. Namun ide tersebut
ditentang keras Gubernur Jawa Barat saat itu, Solihin G.P. (Anonimous 2006b).
Sejalan dengan perkembangan jaman, ternyata ide serupa yang kembali
dilontarkan oleh Gubernur DKI Jakarta sekarang, Sutiyoso, justru mendapat
sambutan positif dari beberapa tokoh Jawa Barat. Sesepuh Jawa Barat, Tjetje
Hidayat Padmadinata, berpendapat bahwa tidak seharusnya warga Jawa Barat
bereaksi secara berlebihan (over reaction) dalam menanggapi konsep Jakarta
Megapolitan. Pemikiran secara tenang dan cerdas adalah yang seharusnya
dilakukan. Konsep Megapolitan baru dikemukakan secara sepihak oleh Sutiyoso
hingga perlu lebih dicermati untuk melihat permasalahan secara menyeluruh.
Tjetje mengemukakan, konsep kawasan Megapolitan sebagai upaya membangun
ibu kota, dilakukan dengan merevisi UU No. 34 Tahun 1999 tentang pemerintahan
Provinsi DKI Jakarta. "Kalau saja konsep Megapolitan hanya untuk daerah ibu
236
kota, maka sebenarnya Jakarta tidak cocok sebagai ibu kota RI. Siapa bilang ibu
kota negara harus besar? Menurut Tjetje sebagaimana dikutif dari PIKIRAN
RAKYAT, beberapa negara besar lain seperti Amerika Serikat dan Australia, yang
menunjukkan bahwa tak selamanya ibu kota negara adalah kota besar. "Ibu kota
negara seharusnya berada di tempat yang tenang sebagai tempat berpikir untuk
para negarawan. Bukan penuh hiruk pikuk. Konsep ibu kota yang seharusnya
tenang dan hening itu, bahkan telah dikemukakan Presiden RI Soekarno tahun
1950-1960. Menurut Tjetje, saat itu Soekarno pernah mengusulkan kota
Palangkaraya Kalimantan Tengah sebagai ibu kota RI, bukan Jakarta (Anonimous
2006b).
Terhambatnya kinerja BKSP Jabodetabekjur mungkin pula ada kesan
negatif terhadapnya. Sebagaimana disampaikan oleh Atje, pembentukan BKPS
Jabotabek (saat itu) telah menarik banyak pejabat yang melamar untuk masuk di
dalamnya. Tapi, sayang dalam perkembangannya, lembaga itu malah dijadikan
"tempat pembuangan" pejabat-pejabat bermasalah. Ateng menyayangkan,
lembaga yang dirintisnya itu hanya jadi tempat pembuangan. Dia ingin lembaga
itu memiliki posisi yang penting karena kinerjanya. Satu hal lagi yang menjadi
penghambat kinerja tersebut adalah karena pemerintah pusat, ternyata tidak mau
mengakui lembaga itu sebagai lembaga struktural, sehingga para pejabatnya tidak
bisa naik pangkat. BKP Jabotabek hanya menjadi lembaga temporer, sehingga
para pegawai tidak bisa naik pangkat. Prof. Ateng Syafrudin berpendapat,
penanganan persoalan di perbatasan wilayah DKI Jakarta dengan Jawa Barat dan
Banten, tidak akan berjalan jika konsepnya perluasan wilayah. Persoalan hanya
bisa diatasi jika konsepnya adalah kerja sama antara tiga pemerintah provinsi,
dengan keterlibatan pemerintah pusat. "Pusat harus memberikan atensi tinggi,"
(Anonimous 2006b).
Selama ini, lembaga resmi yang ditunjuk oleh Dinas Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Tangerang untuk mengelola kegiatan perikanan di PPI/TPI
Dadap adalah KUD Mina Bahari. Namun demikian, setelah meninggalnya ketua
KUD tersebut tahun 1997, informasi dari nelayan menyebutkan bahwa TPI Dadap
tidak lagi berfungsi sebagai tempat pelelangan ikan. Sama sekali tidak ada
237
aktivitas yang berkaitan dengan perikanan, gedung TPI juga menunjukkan sebagai
tempat yang sudah lama tidak dihuni.
Untuk mengaktifkan kembali pengelolaan PPI/TPI Dadap sesuai dengan
aktivitas yang direkomendasikan, maka lembaga pengelolanya haruslah berupa
kantor bersama, dimana terdapat wakil-wakil dari instansi-instansi yang berkaitan
dengan aktivitas tersebut. Aktivitas-aktivitas tersebut meliputi:perikanan yang
mengarah pada wisata (sport fishing), perhubungan, penelitian, perdagangan, dan
pariwisata. Untuk PPI/TPI Kamal Muara, setelah dilakukan rehabilitasi sesuai
dengan kapasitas yang akan diembannya, maka pengelolaannya diharapan
dipegang oleh UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan
Pendaratan Ikan, sebagaimana yang sekarang berlaku di TPI Muara Baru dan TPI
Muara Angke. Hal ini perlu dilakukan semata-mata untuk meningkatkan efisiensi
dan koordinasi secara profesional diantara pelabuhan-pelabuhan perikanan besar
yang ada di DKI Jakarta. Rekomendasi kelembagaan pengelola TPI di Dadap dan
Kamal Muara dicantumkan dalam Tabel 5.29.
Tabel 5.29 Aspek kelembagaan pengelola TPI Dadap dan Kamal Muara
No AKTIVITAS INSTANSI PPI/TPI DADAP
PPI/TPI KAMAL MUARA
1 Koordinasi pembangunan
BKSP Jabodetaberkjur √ √
2 Perikanan tangkap Dinas Perikanan-Kelautan - √
3 Perikanan wisata Dinas Pariwisata √ -
4 Wisata pantai Dinas Pariwisata √ -
5 Kapal penelitian LIPI/BPPT √ -
6 Kapal pesiar Dinas Pariwisata √ -
7 Seafood restorant Dinas Perindag √ √
8 Kapal petikemas Dinas Perindag √ -
9 Kepelabuhanan Syahbandar √ -
10 Pindah barang/hewan
Dinas Karantina √ -
11 Migrasi Dinas Imigrasi √ -
12. Pajak Dinas Bea cukai √ -
238
Dalam bentuk diagram, kelembagaan yang diusulkan untuk dibentuk dalam
rangka pengelolaan kawasan Dadap dan Kamal Muara dicantumkan dalam
Gambar 5.12.
Catatan: 1 = Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten 2 = Bupati/Walikota 3 = Sekretaris 4 = Sekretariat 5 = SUB BAGIAN TATA RUANG & PERTANAHAN 6 = BAGIAN PEREKONOMIAN 7 = BAGIAN PEMERINTAHAN DAN KESRA 8 = BAGIAN UMUM 9 = SUB BAGIAN PERMUKIMAN, SARANA & PRASARANA 10 = SUB BAGIAN SUMBER DAYA AIR, KEBERSIHAN & LINGKUNGAN HIDUP 11 = SUB BAGIAN TRANSPORTASI & PERHUBUNGAN 12 = SUB BAGIAN AGRIBISNIS, KOPERASI & USAHA KECIL MENENGAH 13 = SUB BAGIAN INDUSTRI, PERDAGANGAN, PERTAMBANGAN & INVESTASI 14 = SUB BAGIAN KEPENDUDUKAN, KETENTRAMAN & KETERTIBAN 15 = SUB BAGIAN KESEHATAN & PENDIDIKAN 16 = SUB BAGIAN SOSIAL & TENAGA KERJA 17 = SUB BAGIAN 18 = PROGRAM DAN KEUANGAN 19 = SUB BAGIAN RUMAH TANGGA & PERLENGKAPAN 20 = SUB BAGIAN TATA USAHA & KEPEGAWAIAN
Gambar 5.12 Diagram hierarki pengelolaan kawasan Dadap-Kamal Muara.
Gambar 5.12 menunjukkan suatu skenario perlu dibentuknya lembaga
pengelola PPI/TPI Dadap-PPI/TPI Kamal Muara, khususnya pada masa proses
pemindahan kapal dan pembangunan fasilitas di kedua PPI/TPI tersebut.
KANTOR BERSAMA
LIPI/BPPT
PENGELOLA PPI/TPI DADAP
PENGELOLA PPI/TPI KAMAL MUARA
239
Lembaga khusus ini (disebut Kantor Bersama) berfungsi untuk
mengakomodasikan dan mengkoordinasikan semua kepentingan dari setiap
institusi yang berkaitan dengan kedua PPI/TPI tersebut. Keberadaan BKSP
Jabodetabekjur dapat lebih mempercepat terlaksananya pengelolaan wilayah
Dadap-Kamal Muara secara terpadu, mengingat sudah lengkapnya bagian-bagian
dalam BKSP yang dapat mengakomodasi setiap kegiatan yang akan direncanakan
dan yang sudah dilakukan di kawasan tersebut.
Tugas Kantor bersama ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
(1) Menterjemahkan semua kebijakan yang ditetapkan oleh Pemda Kabupaten
Tangerang dan Pemkot Jakarta Utara melalui dinas-dinas teknis terkait;
(2) Menjalankan program kerja di kedua PPI/TPI tersebut;
(3) Melaporkan semua perkembangan yang terjadi selama tahun anggaran
yang sudah lewat kepada atasan-atasannya, dengan tembusan kepada
Bupati Tangeran dan Walikota Jakarta Utara;
(4) Ikut secara aktif dalam diskusi pleno yang diselenggarakan oleh semua
instansi terkait dari kedua pemerintah daerah tersebut, untuk
mengklarifikasikan semua perencanaan dan pelaksanaan program yang
sudah berjalan serta untuk penyusunan dan perbaikan program selanjutnya;
Dalam Tatalaksana Perikanan yang Bertanggungjawab (Code of
Conduct for Responsible Fisheries, CCRF) sudah dinyatakan bahwa diperlukan
sebuah kerangka legislatif yang mengesahkan lembaga pengelolaan pesisir serta
kegiatan yang dilakukannya. Sifat yang tepat dari peraturan dan perundangan di
setiap negara tergantung pada ruang lingkup dan kesenjangan dalam peraturan dan
perundangan yang ada. Tambahan pula, pengalaman suatu negara tidak mesti
secara langsung bisa dipindahkan ke lain negara, sekalipun negara itu memiliki
kesamaan latar belakang sosial, politik, ekonomi dan budaya (FAO 1996).
Dalam pengelolaan kawasan pesisir, salah satu dari fungsi kelembagaan dan
hukum yang paling penting adalah memastikan adanya suatu mekanisme untuk
penyelesaian sengketa. Berhubung sumber daya pesisir semakin langka. Perlu di
pertimbangkan bagaimana menyelesaikan tuntutan yang bersaing diantara sektor-
sektor, baik yang ada di masa kini maupun masa depan (FAO 1996).
240
5.5 Analisis Opini Masyarakat tentang Kondisi Perikanan di Kawasan Dadap-Kamal Muara
Hasil identifikasi aktivitas perikanan yang berasal dari responden
menunjukkan bahwa kondisi unit penangkapan di kawasan Dadap-Kamal Muara
adalah sebagaimana dicantumkan dalam Tabel 5.30. Hasil pengolahan data
komunitas lokal dengan survey pro dicantumkan pada Lampiran 7.
Tabel 5.30. Rangkuman kondisi sarana perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara berdasarkan responden nelayan
SARANA
PERIKANAN JENIS ALAT SPESIFIKASI
Alat tangkap Jaring rampus Mesh size 2”, 10 pis, bahan snar, lebar 4 m.
Waring: mesh size 0,1”, 10 ral, bahan plastik
Jaring kampung Mesh size 2”, 10 pis, bahan snar keras, dengan lebar 4 m
Waring: mesh size 0,1”, 10 ral, bahan plastik
Jaring klitik mesh size 4’, 5 pis, snar Perbaikan
jaring: 2 kali per tahun, 1 kali per minggu, 4 kali per minggu
Tenaga perbaikan jaring
ABK, tenaga khusus
Kapal/perahu Dimensi (6 x 1,5
x 0,5) m3 Bobot, 100-200 kg; bahan kayu
Mesin & Kecepatan
Dongfeng 11 hp, 2 knot Honda 5 hp, 1 knot
Bahan Kayu Dimensi (10 x
1,7 x 0,8) m3 Bobot 400 kg
Pemeliharaan 6 bulan sekali Mesin penggerak
Merk Dongfeng 21 hp,kecepatan sekitar 2 knot per jam
Perbaikan mesin 6 kali per tahun 4 kali per tahun 2 kali per tahun 1 kali per tahun Montir sendiri beserta ABK, Bengkel khusus
Dari Tabel 5.30 tampak bahwa sebagian besar responden adalah berstatus
nelayan jaring rampus dan jaring kampung dengan rata-rata panjang 10 m per pis
241
dan jumlah jaring per unit sebanyak 10 pis (lembar). Bahan jaring adalah snar
nilon, dimana frekuensi perbaikan yang dilakukan bervariasi antara harian sampai
per enam bulanan, tergantung pada tingkat kerusakan dan frekuensi
penggunaannya. Tenaga kerja yang memperbaiki jaring umumnya dilakukan oleh
ABK sendiri, atau tenaga khusus yang diupah untuk pekerjaan tersebut. Upah
perbaikan jaring juga bervariasi tergantung tingkat kerusakan yang dialami.
Kapal yang digunakan nelayan untuk pergi melaut semuanya terbuat dari
kayu, dengan dimensi antara 6-10 m, lebar antara 1,6-1,7 m, dan tinggi antara 0,5-
0,8 m. Bobot ditaksir antara 100-200 kg. Pemeliharaan dan perbaikan kapal
dilakukan rata-rata setiap tahun dua kali.
Mesin penggerak yang digunakan umumnya buatan Cina merek Dongfeng
yang berbahan bakar solar dan bensin serta buatan Jepang merek Honda, dengan
tenaga berkekuatan antara 5-21 hp dan berbahan bakar bensin. Perbaikan mesin
dilakukan antara setiap dua bulan sampai satu tahun sekali, tergantung pada merek
mesin kapal yang digunakan. Secara umum, mesin buatan cina memerlukan
perawatan mesin yang lebih sering dibandingkan dengan mesin buatan Jepang.
Operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan yang menjadi
responden penelitian ini umumnya hanya di sekitar perairan Kepulauan Seribu,
khususnya di sekitar Pulau Bidadari, Pulau Rambut, Pulau Untung Jawa, dan
Pulau Bokor, atau ke areal dimana perjalanan antara 2 sampai 8 jam dari TPI,
tergantung kekuatan motor penggerak perahunya. Biaya yang dikeluarkan oleh
nelayan setiap kali melakukan penangkapan ikan dapat dilihat dari Tabel 5.31.
Tabel 5.31. Rangkuman biaya operasi penangkapan ikan per trip di kawasan Dadap-Kamal Muara berdasarkan responden nelayan tahun 2004
LOKASI PENANGKAPAN
JENIS & VOLUME BIAYA
(Rp)
Perairan Kep. Seribu BBM-solar 5-90 liter per trip 25.000-450.000
BBM-bensin 5-20 liter per trip 25.000-100.000
Es balok: ¼ - 2 balok 3.500-14.000
Makanan 30.000-125.000
Kisaran biaya operasional per kapal ikan 83.500-689.000
242
Rata-rata biaya operasional per kapal ikan 386.250
Nelayan yang beroperasi pulang hari tersebut ada yang berangkat mulai
jam 02 dini hari, kemudian ada yang berangkat jam 04 subuh (63,3 %), kemudian
ada juga yang berangkat jam 07 atau jam 08 pagi. Sebagian besar nelayan
tersebut pulang melaut sekitar jam 17 (73,3 %), sebagian lagi ada yang sudah
pulang jam 11 pagi. Kegiatan penangkapan ikan umunya dilakukan sebanyak 20
kali per bulan. Sebagian besar nelayan berpendapat bahwa musim ikan puncaknya
terjadi antara bulan Juli sampai Oktober, musim biasa dari Februari sampai Juni,
dan bulan-bulan sisanya merupakan musim paceklik.
Selama aktivitas penangkapan, nelayan Dadap-Kamal Muara seringkali
bertemu dengan nelayan lain yang umumnya berasal dari Indramayu. Alat
tangkap yang digunakan para nelayan Indramayu tersebut juga berupa (baik jaring
cincing, gill-net, maupun jaering udang) dan pancing.
Sebagian besar nelayan responden melakukan pendaratan perahunya di
Muara Angke (66,7 %) dan Kamal Muara (63,3 %). Hanya dua responden yang
kadang-kadang mendaratkan ikannya di Muara Baru. Alasan nelayan untuk
mendaratkan ikannya di Muara Angke dan muara Baru disebabkan oleh layaknya
TPI Dadap untuk tempat pendaratan ikan, karena selain fasilitas yang kurang
memadai juga karena pendangkalan alur sungai.
Nelayan ternyata juga kadang-kadang menjual ikannya di tengah laut (73,3
%). Ada beberapa alasan yang dikemukakan nelayan, antara lain: pemilik kapal
tidak mengetahui (70,0 %), harga jual lebih baik (66,7 %). Selain menjual sendiri,
nelayan kadang-kadang juga mnitipkannya pada sesama nelayan di tengah laut
untuk dijualkan (66,7 %).
Kebijakan Pemda Kabupaten Tangerang melalui RTRW Kabupaten
Tangerang tahun 2000 menetapkan bahwa areal pertambakan yang ada di
Kecamatan Kosambi, Teluk Naga, dan Paku Haji akan direlokasi ke Kecamatan
Mauk dan Kecamatan Kronjo. Namun demikian, tahun 2000 tersebut dalam
perencanaannya juga menyatakan bahwa di muara Kali Perancis akan dibangun
TPI. Namun demikian dengan keluarnya Peraturan Daerah No 5 Tahun 2002
tentang Perubahan Tata Ruang Daerah, maka prioritas pembangunan kawasan
Dadap tidak lagi ditujukan untuk mengembangkan perikanan tetapi sudah pada
243
persiapan pengembangan kawasan wisata. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah
program yang direncanakan dan dilaksanakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan
yang hanya sedikit sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5.32.
Tabel 5.32. Kegiatan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang Tahun Anggaran 2003.
No. NAMA KEGIATAN BIAYA
(x Rp 1.000)
SUMBER DANA
1. Optimalisasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lontar di Kecamatan Kemiri
125.000 DAU
2. Rehabilitasi Saluran Tambak 485.000 DAU
3. Peningkatan Sarana Pelelangan Ikan (TPI) 300.000 DAU
4. Master Plan Pelabuhan Cituis 750.000 PAD
5. Optimalisasi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan 300.000 DAU
6. Pembangunan Pasar Ikan Higienis (PPHLT) 450.000 DAU
7. Penerapan Teknologi Perikanan dan Pengembangan Perikanan Darat
475.000 DAU
8. Peningkatan Kinerja Penyuluh Perikanan dan Kelautan Melalui Peningkatan Operasional Penyuluh
75.000 DAU
9. Peningkatan Produksi Perikanan Tangkap dan Budidaya
400.000 DAU
10. Pengembangan Perikanan Tangkap Melalui Armada Penangkapan Skala Kecil
600.000 DAU
11. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)
965.238 APBN
12. Dana Pendamping PEMP 100.000 DDL/PBB
Sebagaimana juga dengan aspek lingkungan, semua penduduk yang menjadi
responden penelitian ini menganggap bahwa aktivitas perikanan TPI Dadap dan
TPI Kamal Muara berhubungan erat dengan kondisi lingkungan tempat mereka
tinggal. Penduduk secara bulat (100 %) berpendapat bahwa kondisi lingkungan
di sekitar TPI tersebut menyebabkan timbulnya aspek sosial yang berdampak
buruk bagi anak-anak (kenakalan remaja, prostitusi, perjudian, perkelahian, dll.
Dampak lainnya yang dirasakan oleh penduduk adalah masalah keamanan
lingkungan yang rawan (sebanyak 35,7 %); dan gangguan transportasi (14,3 %).
244
Penduduk berpendapat bahwa pemecahan masalah lingkungan dapat
dilakukan dengan cara pengerukan sungai (92,9 %) dan pembenahan lingkungan
(14,3 %). Pembenahan lingkungan dilaksanakan secara konkrit dengan perbaikan
lingkungan (50,0 %), penataan lingkungan perumahan (28,6 %), dan beberapa
aktivitas lainnya (21,4 %) seperti penyuluhan, penataan lingkungan oleh Pemda,
serta kerja sama pemerintah dan masyarakat. Sementara itu, untuk mengatasi
masalah kerawanan sosial, penduduk mengusulkan untuk menghilangkan
minuman keras (40,0 %), menghilangkan WTS (40,0 %), keamanan terpadu (40,0
%); dan melaksanakan siskamling terpadu (20,0 %). Cara mengatasi
permasalahan keamanan lingkungan yang rawan diusulkan dengan cara tindakan
pemberantasan pelacuran dan perjudian (57,1 %), alih profesi (50,0 %), serta
tindakan lainnya seperti pendekatan sosial dan keagamaan, serta memberantas
perdagangan minuman keras (21,4 %). Untuk mengatasi permasalahan
transportasi hasil perikanan yang terganggu penduduk mengusulkan secara bulat
bahwa alat angkutan harus merapat ke TPI (100,0 %).
Nelayan yang tinggal di sekitar TPI Dadap dan Kamal Muara tidak hanya
apatis menghadapi kesulitan hidup sehari-hari yang dihadapinya, tetapi juga
berharap adanya peningkatan taraf hidup nelayan (60 %). Sebagian kecil dari
mereka (6,7 %) menginginkan adanya upaya untuk meningkatkan taraf hidupnya,
tanpa merinci apa bagaimana peningkatan taraf hidup itu dapat terjadi. Namun
demikian, beberapa upaya perbaikan yang diduga dapat meningkatkan taraf hidup
nelayan dan keluarganya menurut mereka adalah:
(1) TPI/PPI tidak jauh dari AUP, ada harapan bahwa mahasiswa dapat lebih
berperan aktif dalam menanggulangi permasalahan dalam kehidupan
nelayan sehari-hari;
(2) TPI/PPI diatur sesuai dengan kondisi wilayahnya masing-masing, untuk
kawasan Dadap dan Kamal Muara diharapkan adanya koordinasi dari
Dinas Perikanan setempat untuk melakukan distribusi bongkar muat kapal
dari TPI yang padat ke yang kosong, sehingga kegiatan ekonomi primer
dan sekunder dapat tetap berjalan; .
(3) Adanya kesinambungan generasi nelayan, masih terdapat keinginan
sebagian besar nelayan untuk menjadikan anak yang mereka miliki ikut
245
menjadi nelayan dan membantu menopang kehidupan sehari-hari yang
semakin sulit ini;
(4) Pemusnahan alat tangkap trawl, kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa para nelayan tradisional masih harus berebut ikan dengan lawan
yang tidak sepadan, sehingga semakin terpuruk karena lingkungan
perairan yang buruk menyebabkan kelompok ikan semakin jauh dari
pantai ditambah kemampuan armada perikanan dan modal yang terbatas;
(5) Menindaklanjuti aspirasi nelayan, dari pengalaman ternyata banyak sekali
aspirasi nelayan yang tidak ditindaklanjuti tanpa alasan yang jelas;
(6) Pengerukan Kali Perancis dan Kali Kamal sudah diajukan nelayan
beberapa tahun yang lalu, dan sejak itu sudah menjadi aspirasi nelayan
namun tidak ada program pengerukan yang tuntas.
Keberadaan TPI Dadap dan Kamal Muara yang relatif berdekatan tersebut
juga mengundang komentar responden. Sebanyak 71,4 % tetap menginginkan
adanya pemisahan kedua TPI/PPI sesuai UU. Hanya sebanyak 14,3 %
menyatakan bahwa hal tersebut tergantung masing-masing wilayah, mau digabung
atau mau tetap dipisah. Sebanyak 14,3 % lainnya memberikan beberapa pendapat
yaitu: 1) setiap keputusan yang berkaitan dengan TPI sebaiknya melibatkan
nelayan dan penduduk lokal; 2) prospek TPI masih bagus tetapi perlu
menggunakan tenaga profesional; 3) sungai sudah tidak layak, sering banjir saat
pasang atau hujan, sehingga perahu tidak bisa mendarat.
Responden juga berpendapat bahwa kedua TPI yang berdekatan tersebut
sangat merugikan (100 %), dengan alasan tidak sesuai UU OTDA (78,6 %);
menimbukan dampak sosial (71,4 %); dan menyatakan perlu adanya otonomi
masing-masing wilayah. 14,3 %. Sementara itu berkaitan dengan isu bahwa di
kawasan Dadap akan dibangun pelabuhan peti kemas, maka seluruh responden
(100 %) berpendapat bahwa lebih baik menggabungkan kedua TPI (Dadap dan
Kamal Muara menjadi satu Pelabuhan Perikanan Terpadu (PPI) untuk wilayah
Jakarta-Tangerang, sehingga limpahan kepadatan antrian kapal untuk bongkar
muat yang terjadi di TPI Muara Angke dapat dipindahkan ke Kamal Muara.
Sebagian dari responden juga ada yang tetap bersikukuh untuk menggunakan TPI
Dadap sebagai tempat berlabuh. Responden juga berpendapat bahwa ada
246
kemungkinan terjadinya kecemburuan sosial diantara kedua komunitas nelayan
yang bertetangga tersebut (85,7 %).
Sebagai upaya untuk ikut urun rembuk dalam rangka memperbaiki taraf
hidupnya, nelayan dan penduduk lainnya memberikan beberapa saran,
sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.33.
Tabel 5.33. Rangkuman saran penduduk responden nelayan berkaitan dengan aktivitas perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara.
KELOMPOK PENDUDUK
TARGET SARAN SARAN %
(1) (2) (3) (4)
Nelayan tangkap
Pedagang BBM Pemerintah/Pertamina
Fasilitas BBM di sekitar TPI 66,7
Ada kerjasama antara Pertamina dengan KUD
56,7
BBM langsung dari Pertamina supaya murah
13,3
Pengusaha bahan/alat penangkapan ikan
harga terjangkau nelayan 66,7
tersedia sesuai kebutuhan 56,7
bisa beli ke DKP 46,7
di lokasi berdekatan dengan muara & TPI
10,0
Pemerintah pengerukan alur kapal 63,3
hentikan penggunaan trawl (sejenisnya) 60,0
TPI pindah ke barat sungai 40,0
lainnya (TPI/PPI layak pakai, mudah merapat, ada lelang, dekat TPI
6,7
Nelayan budidaya
Pemerintah harga kerang memadai 63,3
lainnya (pemasaran dekat TPI); 6,7
Pengolah ikan Pemerintah bantuan peralatan pengasinan, bak fiberglass
56,7
lokasi penjemuran 56,7
bantuan permodalan dan peralatan 53,3
bantuan peralatan 6,7
Fasilitas pengolahan dekat dengan TPI 6,7
247
Lanjutan Tabel 5.33 (1) (2) (3) (4) Pedagang ikan
Pemerintah kurangnya pedagang karena tak adanya TPI yang memadai
60,0
Permodalan 6,7 lainnya (pasar ikan yang higienis di
masing-masing wilayah, harga bersaing dengan pedagang luar, dekat TPI
10,0
Penduduk (komunitas lokal)
Pemerintah pembenahan pemukiman nelayan 60,0
lainnya (setuju pembangunan PPI/TPI dekat dengan pemukiman nelayan, dekat TPI)
10,0
Pengelola pelabuhan DKP 63,3 instansi terkait 63,3 KUD 63,3 Syahbandar 63,3 lainnya (peningkatan kondisi pelabuhan
agar mudah didarati nelayan dekat TPI);
6,7
Pengusaha dok atau bengkel
lokasi di bantaran muara Kali Perancis dekat TPI
70,0
Pengusaha pabrik es Tersedia cold storage/pabrik es di muara Kali Perancis
70,0
lainnya (perlu pedagang es eceran agar harga murah)
3,3
Saran untuk Pemda Tangerang/Pemkot Jakarta Utara
peningkatan taraf hidup nelayan 60,0
Lainnya: (TPI/PPI tidak jauh dari AUP kesinambungan generasi nelayan pemusnahan trawl (sejenisnya) menindaklanjuti aspirasi nelayan
6,7
Pemda Provinsi Banten/DKI Jakarta
PPI/TPI diatur sesuai masing-masing wilayah
60,0
lainnya (tingkatkan taraf hidup nelayan sejajar dengan profesi lainnya di Banten; pengerukan Kali Perancis; DKI: Kamal Muara, TPI tetap di Muara Angke
6,7
248
Dari Tabel 5.33 tampak bahwa sebagian besar nelayan (66,7-70,0 % %)
berkeinginan agar Pemerintah membangun fasilitas pengadaan BBM, perbaikan
kapal (dock), pabrik es dan cold storage di sekitar TPI, tentu saja dengan harga
yang terjangkau., selain itu ada aktivitas rutin pengerukan alur Kali Kamal dan
Kali Perancis. Hal lain yang menjadi perhatian masyarakat adalah adanya
keterpaduan pengelolaan TPI Dadap dan Kamal Muara, antara Dinas Perikanan,
KUD, dan syahbandar.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan masyarakat nelayan di kawasan
tempat tinggalnya tersebut, masyarakat menyatakan berbagai pendapatnya yang
ditujukan kepada Pemda Kabupaten Tangerang dan Pemkot Jakarta Utara serta
Pemda Provinsi Banten dan DKI Jakarta, sebagaimana tercantum dalam Tabel
5.34.
Tabel 5.34 Pendapat Masyarakat Lokal tentang Masalah Perikanan
No. Pendapat Persentase
1. Peningkatan taraf hidup nelayan 60 %
2. TPI/PPI tidak jauh dari AUP
Adanya kesinambungan generasi nelayan
Pemusnahan alat tangkap trawl
Menindaklanjuti aspirasi nelayan
Pengerukan Kali Dadap dan Kamal Muara
TPI tetap di Muara Angke
6,7 %
3. Tidak menjawab 33,3 % Hasil analisis data respon penduduk terhadap kondisi lingkungan disekitar
kawasan Dadap dan Kamal Muara menunjukkan bahwa permasalahan yang
dihadapi masyarakat adalah: 1) polusi lingkungan (semua reponden); 2)
kekumuhan lingkungan pemukiman (semua reponden); 3) dampak sosial dari
kekumuhan (kenakalan remaja, prostitusi, perjudian, perkelahian, dll.) (semua
reponden); 4) keamanan lingkungan (35,7 % dari responden); 5) terganggunya
transportasi darat (14,3 % dari responden); serta masalah-masalah lainnya (50 %
dari responden), antara lain adanya debu pada musim kemarau dan lumpur pada
musim hujan.
249
Hasil observasi tersebut menunjukkan bahwa semua responden setuju
masalah paling besar yang mereka hadapi di kawasan Dadap – Kamal Muara
adalah: polusi lingkungan, kekumuhan lingkungan pemukiman, dan dampak sosial
dari kekumuhan (kenakalan remaja, prostitusi, perjudian, perkelahian, dll.).
Timbulnya masalah tersebut diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
(1) Tidak jalannya fungsi pemerintah dalam pelayanan kepada masyarakat
yang berkaitan dengan pemeliharaan lingkungan fisik dan sosial
(2) Belum sempurnanya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan dan
ketertiban lingkungan fisik dan sosial
(3) Kurangnya prasarana dan sarana pembersihan dan ketertiban lingkungan
(4) Adanya aktivitas proyek yang mempersulit upaya pembersihan dan
ketertiban lingkungan
Bilamana ditelusuri, hal ini tampaknya merupakan dampak negatif dari
aktivitas pembangunan yang kurang matang direncanakan dan disosialisasikan
sudah mulai dirasakan oleh masyarakat. Sosialisasi program pembangunan yang
dilakukan secara terbuka dan waktu yang cukup akan memberikan beberapa
keuntungan, yaitu:
(1) Masyarakat lebih cepat mengetahui secara langsung tentang akan adanya
suatu aktivitas pembangunan;
(2) Setiap individu dalam masyarakat dapat melakukan analisis tentang
posisinya, apakah aktivitas proyek tersebut akan berpengaruh secara
langsung atau tidak pada kehidupannya, baik secara pribadi atau
kelompok;
(3) Masyarakat dapat melakukan konsultasi kepada berbagai pihak yang
bersikap netral apakah proyek tersebut akan memberikan dampak positif
atau negatif pada mereka, baik dalam jangka pendek maupun panjang;
(4) Karena keputusan yang diambil masyarakat (baik secara individu maupun
kelompok) adalah didasarkan pada keputusan yang matang sehingga dapat
dijadikan dasar yang kuat bagi Pemda dan pengembang bilamana terjadi
sengketa dikemudian hari.
Responden yang dimintai pendapatnya tentang beberapa hal yang
berkaitan dengan sejarah rencana berbagai kegiatan di kawasan Dadap
250
menyatakan bahwa seluruhnya (100 %) pernah mendengar tentang rencana
pembangunan Pelabuhan Kapal Riset Baruna Jaya. Namun demikian, ternyata
informasi tersebut tidak ada kelanjutannya
Berkaitan dengan rencana Pemda Kabupaten Tangerang untuk
pembangunan Pelabuhan Peti Kemas di bekas TPI Dadap, sebagian besar
responden menyatakan tidak setuju (92,9 %), dan hanya 7,1 % yang menyatakan
setuju. Alasan penolakan yang dismpaikan responden adalah: 1) masih adanya
nelayan yang tinggal di areal TPI (92,9 %); 2) kalau TPI sudah tidak layak
dipindahkan ke sebelah barat sungai (71,4 %). Pendapat yang lainnya menyatakan
setuju (14,3 %) adalah menyetujuinya dengan alasan dapat memajukan Desa
Dadap, meskipun kalauTPI dipindah harus dengan kesepakatan KUD dan
nelayan). Jika seandainya Pelabuhan Peti Kemas Dadap itu tetap dibangun, maka
pendapat responden adalah: 1) seluruhnya (100,0 %) bersepakat untuk tetap
tinggal di tempat sekarang, baik tetap pada pekerjaan sekarang atau akan mencari
kerja lain. Namun demikian, sebagian kecil (38,5 %) dari responden tersebut juga
menyatakan akan pindah ke tempat lain agar tetap dapat menekuni pekerjaan yang
sekarang, yaitu di lokasi tempat akan dibangun TPI.
Contoh kasus yang menarik dikemukakan oleh Ellsworth et al. (1997)
yang melakukan penelitian di Pantai Timur Kanada untuk Program Aksi Pesisir
Atlantik (ACAP, the Atlantic Coastal Action Program). Karena Pemerintah
Kanada merasa tidak akan mampu untuk melakukan semua kegiatan yang
ditujukan untuk mencapai kondisi ekosistem yang berkelanjutan, maka penduduk
yang tinggal di kawasan pesisir perlu berperan serta. Penduduk diberdayakan
untuk mengambil tanggungjawab sebagai bagian dari pemeliharaan lingkungan.
Agar tujuan ini tercapai, diperlukan adanya informasi yang akurat dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk mengemban peran tersebut. Ellsworth et al.
(1997) menyebutkan adanya beberapa persyaratan untuk mencapai keberhasilan
dalam suatu program yang melibatkan masyarakat pesisir, yaitu:
(1) Adanya dukungan publik
(2) Memiliki kelayakan secara ekonomi
(3) Secara ilmiah dapat dipertahankan berdasarkan rencana pengelolaan
lingkungan yang komprehensif
251
(4) Didasarkan pada informasi yang akurat dan dapat diakses serta informasi
ekosistem yang dapat dimengerti.
Untuk itu Pemerintah Kanada (melalui Departemen Lingkungannya)
menyediakan beberapa perangkat (tools) yang dapat digunakan oleh penduduk
untuk berperan serta (Ellsworth et al. 1997), yaitu:
(1) Panduan perencanaan pesisir berbasis masyarakat
(2) Profil lingkungan penduduk
(3) Aplikasi GIS berbasis komunitas
(4) Hasil identifikasi dan evaluasi opsi-opsi remedial
(5) Buku pegangan tentang ekonomi lingkungan
(6) Electronic network-linking initiatives
(7) Akses pada pertukaran limbah dan network lainnya.
Jika diperhitungkan sejak mulai dikenalnya program pengelolaan wilayah
pesisir secara terpadu (ICZM = integrated coastal zone management) sekitar tahun
1992, maka di Indonesia (minimal di beberapa daerah yang sudah lama melakukan
kajian potensi sumberdaya peisisir dan lautan) seharusnya sudah mampu untuk
melaksanakannya secara penuh. Daerah-daerah tersebut antara lain: DKI Jakarta,
Bali, Pulau Lombok, Batam, dll. Hambatan utama sulitnya implementasi ICZM di
Indonesia adalah lemahnya koordinasi perencanaan dan pelaksanaan program
pembangunan, ego sektoral, serta penegakan hukum yang belum sempurna.
Selain itu, pola pikir aparat pemerintah dan masyarakat yang terpaku pada sistem
keproyekan juga menyebabkan kurang berhasilnya aspek keberlanjutan suatu
program pembangunan; padahal sebagaimana dinyatakan oleh Pickave et al.
(2004), ICZM secara umum dikenal sebagai perangkat yang paling efektif untuk
menggabungkan suatu upaya konservasi dengan pemanfaatan berkelanjutan suatu
sumberdaya pesisir dan lautan dalam suatu perencanaan wilayah pesisir.
Belajar dari berbagai pengalaman yang terjadi selama ini, maka
keterpaduan pengelolaan kegiatan perikanan sangat perlu dilakukan di Indonesia.
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari pengelolaan perikanan terpadu ini
antara lain:
252
(1) Tercapainya efisiensi waktu pengadaan bahan baku (baik berupa peralatan
untuk kegiatan penangkapan dan budidaya ikan, maupun untuk kegiatan
pasca panen);
(2) Tercapainya efisiensi pemasaran bahan baku dan produk yang dihasilkan
oleh kegiatan industri pasca panen;
(3) Pengelolaan limbah yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan perikanan
tersebut lebih mudah karena keterbatasan kawasan yang dikelola serta
pengelolaan limbah dapat dilakukan secara terpadu;
(4) Kemudahan memperoleh tanaga kerja yang berpengetahuan dalam bidang
perikanan;
(5) Karena kawasan industri perikanan terpadu ini dapat dibangun terpisah
dari kawasan pemukiman penduduk sekitarnya, maka keamanan
lingkungan lebih mudah untuk ditanggulangi, baik secara swakarsa
maupun dengan memanfaatkan tenaga keamanan resmi (pihak kepolisian).
Selain dari berbagai keuntungan yang dapat diperoleh, beberapa kerugian
juga mungkin timbul dengan dilakukannya keterpaduan pengelolaan perikanan ini,
seperti:
(1) Jika terjadi malapetaka di suatu bagian/kawasan, kemungkinan bagian
yang lain pun akan terkena dampaknya (seperti polusi lingkungan, banjir,
kebakaran, dll.);
(2) Aspek sosial politik akan cepat menjalar dari satu bagian ke bagian lainnya
(seperti pemogokan karyawan, dll.);
Dalam suatu kawasan pesisir, keterpaduan kegiatan perikanan terdiri dari
berbagai komponen, seperti:
(1) Sumberdaya alam, yang mencakup sumberdaya perairan (ketersediaan
berbagai jenis ikan dalam jarak yang terjangkau secara fisik dan ekonomi)
dan sumberdaya lahan (untuk lokasi kegiatan perikanan terpadu dan lokasi
budidaya ikan);
(2) Perikanan tangkap, yang mencakup unit-unit pelabuhan perikanan,
perbekalan (alat tangkap, bahan bakar, bahan makanan, berbagai peralatan
pembantu, dll.), perbengkelan (galangan kapal dan bengkel mesin), , dll.;
253
(3) Pasca panen, yang mencakup unit-unit penanganan dan pengolahan ikan,
pabrik es, cold storage, perbekalan {alat penanganan dan pengolahan,
bahan bakar, bahan tambahan makanan, perbengkelan (bengkel mesin
pengolahan), berbagai peralatan pembantu, dll.}, laboratorium analisis
mutu bahan baku dan produk yang dihasilkan;
(4) Budidaya, yang mencakup unit-unit pembenihan (hatchery), pembesaran,
pakan, instalasi pengatur air (kelimpahan dan kualitas), laboratorium
analisis penyakit ikan dan baku mutu air, dll.;
(5) Perkantoran, yang mencakup unit-unit pemasaran, promosi, keamanan,
kesyahbandaran, dll.
(6) Prasarana dan sarana transportasi;
(7) Prasarana dan sarana tenaga listrik dan air serta BBM;
(8) Masyarakat sekitar, sebagai sumber tenaga kerja baik bagi kegiatan
penangkapan, budidaya, dan pasca panen serta pemasaran.
254
Sebagaimana tercantum dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata
Kabupaten Tangerang (Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2001), penetapan Dadap
sebagai daerah wisata yang mencakup aktivitas:
(1) wisata keluarga:
1) waterfront, meliputi dermaga nelayan, tempat pelelangan ikan, pasar
ikan, dan pasar sayur
2) daerah komersial, meliputi restoran, penginapan, play ground dan
tempat olah raga terbuka, taman-taman, serta tempat parkir.
(2) Wisata lahan pertanian dan tambak
(3) Pembenahan kegiatan-kegiatan hiburan
(4) Pembukaan gerbang tol Jakarta-Cengkareng ke arah Dadap
(5) Perbaikan jalur jalan
(6) Pengadaan air bersih
(7) Pengadaan jaringan infrastruktur
Disamping rencana-rencana sektor pariwisata tersebut di atas, kebijakan
sektor perhubungan (Dinas Tata Ruang dan Bangunan 2001) adalah:
(1) Pembangunan fasilitas pergudangan di Kecamatan Kosambi dan pelabuhan
peti kemas di sekitar muara Kali Perancis;
(2) Membangun Dermaga Wisata Bahari di kawasan Wisata Tanjung Pasir.
Sektor perikanan dan kelautan juga mempunyai beberapa rencana di kawasan
pantura tersebut, yakni:
(1) Relokasi kawasan pertambakan dari Kecamatan Kosambi, Teluk Naga, dan
Paku Haji, ke Kecamatan Mauk dan Kronjo;
(2) Membangun TPI dan pelabuhan nelayan di muara Kali Perancis.
Sesuai dengan hasil analisis ketergantungan daerah perikanan dan
kenyataan di lapangan sejak tahun 1997 sampai saat ini, maka diusulkan untuk
dilakukan revisi terhadap Rencana-rencana Induk Dinas Pariwisata, Dinas
Perhubungan, dan Dinas Perikanan, dengan alasan untuk meningkatkan efisiensi
aktivitas perikanan di kawasan Dadap-Kamal Muara, maka semua aktivitas
255
perikanan yang berlangsung di TPI Dadap perlu dipindahkan ke TPI Kamal
Muara. Alasan utama pemindahan aktivitas perikanan ini adalah:
(1) Jarak kedua TPI ini terlalu dekat, yaitu hanya 700 m lewat laut;
(2) TPI Dadap sudah tidak aktif lagi sejak Ketua KUD Mina Bahari meninggal
tahun 1997;
(3) Kali Perancis sudah sangat dangkal sehingga kapal ikan hanya dapat
masuk pada saat laut pasang;
(4) Adanya rencana pembangunan kawasan wisata Pantai Mutiara, darmaga
Kapal Riset Baruna Jaya, kapal pesiar (yacht), dan kapal peti kemas;
(5) Alih fungsi TPI Dadap menjadi pelabuhan yang mengkoordinasikan kapal
penelitian Baruna Jaya, kapal peti kemas, kapal pesiar, kapal angkutan ke
dan dari Kepulauan Seribu, serta perahu-perahu nelayan yang berubah
fungsi menjadi perahu untuk wisata air.
Pembangunan kembali TPI Kamal Muara harus mencakup berbagai fasilitas
prasarana dan sarana pelabuhan perikanan. Secara lengkap fasilitas yang pelu
dibangun dapat dilihat pada Tabel 5.27. Dari Tabel 5.27 tersebut tampak bahwa
untuk mencapai kondisi ideal yang diinginkan, kegiatan pembangunan di kedua
TPI tersebut juga perlu dikoordinasikan dengan baik oleh para perencana
pembangunan dari kedua Pemda terkait (Pemkot Jakarta Utara dengan Pemda
Kabupaten Tangerang). Hal ini untuk mencegah terjadinya pemborosan
sumberdaya akibat pembangunan prasarana dan sarana yang tumpang tindih dan
tidak perlu dilakukan di areal yang secara fungsional kurang diperlukan. Selain
itu, suatu kerjasama yang saling melengkapi dalam hal penyediaan prasarana dan
sarana pembangunan di kawasan tersebut akan memberikan keuntungan optimal
bagi kedua belah pihak.
Konsep pembangunan kawasan pesisir terpadu benar-benar harus diterapkan
di kawasan perbatasan ini, dengan mengedepankan prinsip saling mendapat
keuntungan (win-win solution). Tidak perlu dikembangkan suatu kegiatan yang
sama di kedua kawasan perbatasan tersebut tetapi yang lebih baik adalah kegiatan
yang saling mendukung dan saling mengisi.
Tabel 5.27. Daftar fasilitas pelabuhan yang perlu dibangun di TPI Dadap dan TPI Kamal Muara setelah rencana penataan.
256
No FASILITAS & DIMENSI TPI Dadap TPI Kamal Muara 1 Kapasitas awal - 15 motor tempel2. Beban sekarang (jumlah
unit kapal) < 5 GT = 55 unit
5-7 GT = 227 unit7-20 = 6 unit
> 10 GT = 1.0975-10 GT= 21 unit
3. Kapasitas yang direncanakan
Dapat menampung Kapal Riset Baruna Jaya (300 GT), kapal peti kemas, dan kapal pesiar
500 kapal ikan dengan rata-rata
bobot 50 GT.
4. Pengerukan kolam pelabuhan dan jalur pelayaran
kedalaman minimal 7 m kedalaman minimal 5 m
5. Pembangunan darmaga sandar
176 m2 176 m2
Pembangunan kolam pelabuhan
24.000 m2 24.000 m2
6. Tempat pelelangan ikan - 1.375 m2
7. Tempat penanganan ikan - 1.375 m2
8. Tempat pengecer/pengolah ikan
- 340 m2
9. Pembangunan pabrik es - 1 unit, kap, 4.000 balok per 24 jam
10. Pembangunan cold storage - 1 unit, kap. 1.250 ton
11. Pembangunan SPBU 1 unit, kap. 40 ton per hari
1 unit, kap. 40 ton per hari
12. Bengkel/dok 1 unit 5.400 m2
13. Gudang alat perikanan 1 unit 5 unit14. Pujaseri 24 unit 24 unit15. Pos jaga 2 unit 1 unit
Dalam dunia nyata, koordinasi pembangunan tidaklah semudah apa yang
ditulis para ahli. Ego sektoral, tambahan penghasilan, kebanggaan diri dan
kelompok berkaitan dengan prestasi kerja sangat mempengaruhi mulus tidaknya
suatu koordinasi. Di Indonesia, agak sulit untuk mendapatkan suatu perencanaan
terpadu yang benar-benar mulus. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya hal tersebut:
1) Setiap kegiatan di unit kerja pemerintah (baik pusat maupun daerah) selalu
diharapkan akan mendapatkan tambahan penghasilan bagi orang-orang yang
terlibat didalamnya. Oleh karena itu, KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme,
termasuk juga gratifikasi) sulit diberantas;
257
2) Moral pegawai yang lebih mengedapankan kepentingan pribadi dan
kelompoknya dibandingkan dengan hasil akhir yang harus dicapai dari
kegiatan tersebut. Hal ini mengakibatkan kualitas pekerjaan yang dilakukan
sangat rendah, karena mengharapkan kegiatan yang sama diwaktu yang akan
datang;
3) Sanksi hukum yang belum benar-benar ditegakkan secara adil dan merata
(tidak melakukan tebang pilih). Hal ini terjadi karena juga aparat hukum
dan aparat keamanan belum benar-benar bekerja bersih;
4) Keteladanan pimpinan yang berkaitan dengan hidup jujur, sederhana, dan
bersih, masih belum umum dan kurang diekspose oleh media massa.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, beberapa hal dapat
dilakukan antara lain:
1) Menaikan gaji pegawai sampai pada tingkat dimana pegawai pada semua
tingkatan tidak lagi memikirkan untuk mencari tambahan penghasilan untuk
mencukupi kebutuhan primer (termasuk biaya pemeliharaan kesehatan dan
pendidikan anak);
2) Setiap pekerjaan dan tugas yang dilakukan di kantor adalah suatu kewajiban
bagi pegawai tersebut dan tidak akan mendapatkan tambahan penghasilan.
Dia bertanggungjawab terhadap aspek adminstrasi dan kualitas pekerjaan
tersebut.
3) Penghargaan pemerintah kepada pegawai harus didasarkan pada kejujuran
dan prestasi kerja yang berlandaskan kelestarian lingkungan, tidak hanya
didasarkan pada nilai uang semata;
4) Pemerintah harus menerapkan sanksi hukum secara adil dan merata.
Beberapa kegiatan pembangunan yang dapat dikerjasamakan diantara
Pemkot Jakarta Utara dengan Pemda Kabupaten Tangerang antara lain dapat
dilihat pada Tabel 5.28.
Tabel 5.28 Beberapa kegiatan pembangunan yang berkaitan dengan perikanan yang dapat dikerjasamakan diantara Pemkot Jakarta Utara dengan Pemda Kabupaten Tangerang di kawasan Dadap-Kamal Muara
No AKTIVITAS PEMDA KAB. TANGERANG
PEMKOT JAKARTA UTARA
258
1. Perikanan • Instalasi air bersih • pabrik es • mesin penghancur es • coldstorage • memfungsikan gudang untuk
produk-produk perikanan • mengganti fungsi TPI Dadap
menjadi pelabuhan wisata pantai dan laut
• pengerukan dasar Kali Perancis secara reguler
• Melakukan penataan lokasi budidaya kerang hijau
• Pembangunan fasilitas PPI Kamal Muara
• perumahan nelayan • bengkel mesin dan
dock • tempat perbaikan alat
tangkap • rumah sakit • pengerukan dasar
Kali Kamal secara reguler
259
Lanjutan Tabel 5.28
No AKTIVITAS PEMDA KAB. TANGERANG
PEMKOT JAKARTA UTARA
2. Wisata laut • Pendidikan pemandu wisata • menyediakan perahu untuk
kegiatan wisata • rumah makan & restoran
seafood • wisma/hotel untuk wisatawan • toko peralatan wisata laut
• Penyiapan objek wisata laut
• sarana keselamatan wisata laut
• menyiapkan objek wisata mangrove,
3. Prasarana dan Sarana penangkapan
Galangan kapal kayu dan fiber glass,
Toko peralatan tangkap, SPBU khusus
4. Kawasan konservasi
• melakukan koordinasi dengan kecamatan lain yang memiliki kawasan konservasi yang memungkinkan untuk menjadi objek wisata alam: Pulau Cangkir (Kec. Kronjo), Tanjung Kait Kec. Sukajadi, Tanjung Burung dan Tanjung Pasir (Kec. Teluk Naga), Arukan/Muara dan Salembaran Jati (Kec. Kosambi).
• Menyiapkan kawasan mangrove sebagai daerah konservasi
• memelihara areal-areal konservasi laut
5.4 Manajemen kawasan sekitar
5.1 Analisis Permasalahan Umum 5.2 Penentuan Lokasi Pelabuhan Perikanan
5.2.1 aspek pengembangan wilayah: 5.2.1.1 LQ 5.2.1.2 shift share 5.2.1.3 skalogram
5.2.2 kelayakan teknis pelabuhan di Kawasan Dadap-Kamal Muara 5.2.2.1 biofisik (hidrooseanografi) 5.2.2.2 Opini masyarakat tentang kondisi perikanan di Kawasan Dadap-Kamal Muara 5.2.2.3 Pasokan Ikan 5.2.2.4 Ketergantungan daerah perikanan 5.2.2.5 Dukungan logistik untuk pelabuhan perikanan 5.2.2.6 akses transportasi
5.2.3 Kapasitas pelabuhan perikanan 5.2.3.1 Kapasitas PPI Kamal Muara dan TPI Dadap 5.2.3.2 Peluang pemanfaatan kapasitas TPI Muara Angke
5.3 Manajemen kawasan pelabuhan 5.3.1 tata ruang 5.3.2 prasarana dan sarana 5.3.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan 5.3.4 Aspek Ekonomi-Sosial Kawasan Pesisir Dadap-Kamal Muara
260
5.3.4 Aspek ekonomi-sosial kawasan pesisir Dadap-Kamal Muara
Sebagai pusat kegiatan ekonomi yang dibangkitkan oleh sektor perikanan,
TPI Muara Angke telah menghasilkan suatu input yang bernilai lebih dari
Rp 758 juta per harinya. Potensi ekonomi TPI Muara Angke ini dihitung
sebelum terjadinya kenaikan bahan bakar minyak. Data selengkapnya dari
potensi ekonomi TPI Muara Angke dicantumkan dalam Tabel 4.22.
Tabel 4.22 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di lingkungan TPI Muara Angke tahun 2005 sebelum kenaikan harga BBM (Disnakkanlut 2005).
No JENIS KEGIATAN/
PELAYANAN
JUMLAH BURUH/
UNIT
NILAI TRANSAKSI
HARIAN
JUMLAH TRANSAKSI
HARIAN
KET.
(1) (2) (3) (4) (5) (6) 1 Transaksi TPI 70 orang - 250.000.000 Anak buah
peserta lelang 60 35.000 2.100.000
2 Bahan bakar 112 ton 198.000.000 1.650/lt Buruh 31 56.989 1.766.667 3 Es balok 8.000 balok 96.000.000 12.000/blk 4 Kegiatan tambat
labuh 18 100.000 Perda No
3/99 5 Tryas (tryaze,
penyortiran)) 600 unit 300.000
6 Buruh dilingkungan TPI
Buruh kuning 34 25.000 850.000 Buruh biru 32 25.000 800.000
261
Lanjutan Tabel 4.22
(1) (2) (3) (4) (5) (6) Buruh merah 10 20.000 200.000 Buruh jijau 9 15.000 135.000 7 Kuli gerobak
pengasin 40 15.000 600.000
8 Kuli gerobak lelang
83 30.000 2.490.000
9 Puja seri 24 unit Buruh 144 10.000 1.440.000 10 Pedagang K5
produk perikanan 85 pedagang
Buruh 79 15.000 1.185.000 11 Pedagang grosir 276 pedagang Buruh 828 25.000 20.700.000 12 Unit pengepakan 30 unit Buruh 90 25.000 2.250.000 13 Workshop 10 unit Buruh 109 22.500 2.452.500 14 Kios alat
perikanan 38 unit
Buruh 15 Kios
gudang/kantor 16 unit
Buruh 16 Mirasih 1 unit Buruh 20 16.667 333.333 17 Pedagang otak-2 22 unit Buruh 20 15.000 1.080.000 18 Cold storage I unit Kisaran
gaji: 0,8-1,5 jt/bl
Buruh 53 38.333 2.031.667
19 Pabrik es 1 unit Kisaran gaji: 0,8-4 jt/bl
Buruh 44 40.000 1.760.000
20 PHPT 203 unit Buruh 1.000 30.000 30.000 21 Koperasi putri
salju
Agen depot es 30 unit Buruh depot es 240 40.000 9.600.000 Buruh pikul pjg 60 50.000 3.000.000 Buruh pikul pdk 85 50.000 4.250.000 Buruh kantor 20 83.333 1.666.667
262
Lanjutan Tabel 4.22
(1) (2) (3) (4) (5) (6) Jml buruh pikul
angkutan 55 25.000 1.375.000
Mobil putri salju 12 unit Buruh 24 40.000 960.000 10 Upah ABK Jaring cumi 369 32.000 11.808.000 Bouke ami 1.039 32.000 33.248.000 Bubu 822 35.000 28.770.000 Angkutan 844 35.000 29.540.000 Gillnet 1.024 35.000 35.840.000 Purse seine 2.525 27.000 68.175.000 Jaring cantrang 411 30.000 12.330.000 Jaring rampus 35 30.000 1.050.000 Jaring nilon 18 30.000 540.000 Jaring tangsi 96 30.000 2.880.000 Lampara 53 30.000 1.590.000 Payang 174 35.000 6.090.000 Pancing 48 30.000 1.440.000 Muro ami 58 40.000 2.320.000 Jumlah 904.975.258 Ket: Buruh kuning = bertugas untuk mengangkut ikan dari kapal sampai darmaga
Buruh biru = bertugas untuk mengangkut ikan dari darmaga sampai ke lantai pelelangan Buruh merah = bertugas untuk mengangkut ikan setelah pelelangan sampai ke truk
pengangkut ikan Buruh hijau = bertugas untuk mengangkut ikan setelah pelelangan sampai ke PHPT
Dari Tabel 4.22 tersebut tampak bahwa total nilai transaksi harian di TPI
Muara Angke dapat mencapai Rp 904.975.258. Jumlah transaksi ini
menjadi jauh mengecil pada saat terjadinya kenaikan bahan bakar sampai
dua kali dalam tahun 2005 ini, yaitu harga solar dari Rp 1.650 naik
menjadi Rp 2.300 pada bulan April, kemudian pada bulan Oktober naik
kembali menjadi Rp 4.300.
Kenaikan harga BBM telah mendorong terjadinya kenaikan harga barang
lain, termasuk untuk kebutuhan operasional penangkapan ikan. Namun
demikian, kenaikan biaya operasional ini tidak menjamin terjadinya
kenaikan hasil tangkap ikan yang dapat digunakan untuk menutup biaya
operasional. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya kapal yang
tidak dapat beroperasi.
263
Data potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di
lingkungan TPI Dadap tahun 2005 sebelum kenaikan harga BBM dicantumkan
dalam Tabel 4.33
Tabel 4.33 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di
lingkungan TPI Dadap tahun 2005 sebelum kenaikan harga BBM. No JENIS
KEGIATAN/ PELAYANAN
JUMLAH BURUH/
UNIT
NILAI TRANSAKSI
PER HARI
JUMLAH TRANSAKSI
PER HARI
KET.
1 Transaksi TPI - - - 2 Bahan bakar 5 ton 8.250.000 1.650/lt Buruh 10 25.000 250.000 3 Es balok 200 balok 2.400.000 12.000/blk7 Kuli gerobak
pengasin 4 15.000 600.000
10 Pedagang K5 produk perikanan
2 15.000 30.000
16 Mirasih 3 unit Buruh 18 15.000 270.000 10 Upah ABK Gillnet (142) 852 35.000 29.820.000 Purse seine (39) 390 27.000 10.530.000 Pancing (88) 264 20.000 5.280.000 Bubu (20) 80 20.000 1.600.000
Kerang Hijau (50)
150 17.000 2.550.000
Jumlah 61.580.000 Sumber: UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (2005)
Ditinjau dari aspek land rent, nilai lahan di daerah penelitian berubah dari
tahun ke tahun, sesuai dengan perkembangan. Data perubahan harga lahan di
sekitar Kawasan Dadap dan Kamal Muara dicantumkan dalam Tabel 5.2.1.2.1.
Tabel …Perubahan harga lahan di Kawasan Dadap dan Kamal Muara
JARAK DARI PUSAT
KEGIATAN
Harga lahan per meter di sekitar TPI Dadap dan TPI Kamal Muara
97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07
1.
264
2
3
4
5
6
JARAK DARI PUSAT
KEGIATAN
Harga kontrakan rumah/toko per meter di sekitar TPI Dadap dan TPI Kamal Muara
97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07
1.
2
3
4
5
6
Perubahan harga lahan dan juga kontrakan rumah/tempat usaha
menunjukkan kecenderungan yang meningkat meskipun pada skala yang berbeda.
Perubahan harga lahan di lokasi penelitian dianalisis menggunakan regresi linier
menghasilkan gambaran sebagai berikut:
VMPi = Po x MPi
dimana:
VMPi = nilai produk marjinal dari unit lahan ke-I
Po = net price dari output (setelah dikurangi biaya transportasi), dan
MPi = produk marjinal dari unit lahan ke-I As the rent - bid curve represents the willingness for the urban inhabitant to con
265
Cross sectional land value data along the corridor were collected for each 100 meters resulting 107 x 5 set data to create three-dimensional equation as formulated in the equation (3) above. The research collected market price data from respective land use since the current tax-object sales value (NJOP: Nilai Jual Obyek Pajak), can hardly be used to represent land value. The data collection has a specific challenge, particularly in Padang, for identifying market price for land belong to the ethnic clan, instead of individual (Ulayat Land: indigenous land ownership belong to the traditional clan/family - often not transferable and saleable). The data were collected and categorized into two groups, namely: (1) land located at developed corridors, and (2) land located at the proposed (under-developed) corridor. When the data were plotted graphically, they were sparsely distributed. For both aggregate and disaggregate analysis, a rent-bid curve can be obtained. Figure 5 below demonstrates the aggregate rent - bid curve for developed and underdeveloped land along corridor. Similar graph was produced for cross sectional land value. The equations for the land value are as follows: The aggregate analysis shows that the equation for both under-developed and developed corridor yield satisfactory R2. Figure 5 Rent - bid Curve for the City of Padang along the Corridor possible to estimate the change in the land value. Assuming the influence with is 500 meters, and the road corridor is calculated between 3+000 and 20+000, the calculation of land benefit along proposed road corridor yields a total benefit of Rp 526,454,333,231 for the whole corridor. Three-dimensional graphs for with and without project case are shown in Figure 6. It is important to note that the above land development benefit is "one-off" benefit. It means that the benefit could only be exploited only at one time, or spread over the period of analysis. Estimating the rent - bid curve and utilizing equations (4) and (5) above, it is now Figure 6 Three-dimensional Representation of With and Without Project Situations The information obtained from the development benefit estimation can now be used and internalized in the feasibility and project appraisal process. The increased land benefit alone can be used as a foundation for the government to initiate negotiation with private developer for the investment sharing. What is currently seen to be a "taken-for-granted" investment for promoting property development can be captured and calculated. The current regulatory framework however, is still to be developed to incorporate non-discrimination issue for affected land along the development corridor. CONCLUSIONS AND RECOMMENDATION FOR FUTURE RESEARCH
The proposed methodology for estimating land benefit of road investment scheme above has demonstrated the applicability of microeconomic theory of land use and trans port - land use interaction theory. It shows that the change in the rent-bid curve can be used as a proxy for estimating land development benefit.
266
Internalization of land benefit into project appraisal will further enrich the current road investment externalities besides environment and safety.
Using the proposed method, the development benefit in the case of Padang urban road project produces Rp 526.454 billion worth of land value change. Significant increase in the land value from road investment as shown in the case of Padang shows that this renewed and replicable methodology encourages creative public - private partnership for urban road infrastructure for many other Indonesian cities.
Future research should be directed to integrate the diminishing impacts of road investment along corridor width using discrete parcel instead of a continuous function. The integration will pave a new way for dynamic modelling of measuring development benefit to be share in more equal manner by private land developers.
de la Barra, Tomas. 1989. Integrated Land Use and Transport Modelling: Decision Chains and Hierarchies. Great Britain: Cambridge University Press
Banister, David. 1995. Private Sector Investment in Roads: The Rhetoric and the Reality, in David Banister (ed) Transport and Urban Development. London: Spon
Heggie, Ian and J. Vickers.1998. Commercial Management and Financing of Roads. WB Technical Paper 409. Washington
Parikesit, D. 1996. Interdependence between Accessibility of Transport Infrastructures and Location Choice and Its Effects on Energy Consumption, Unpublished Doctoral Dissertation.Vienna: TU Wien _________ 1998a. Development of Land Use Transport Model Using Constant Travel Time Budget Principles. Hong Kong: Conference Proceeding: 3rd inter- national Conference of Hong Kong Society for Transportation Studies
__________ 1998b. Urban Facilities And Transportation Interaction: A Case Study Of Vienna, Austria, Teknisia Journal, Vol. II No. 6. pp. 26-34 __________ 2000, Development of Algorithm for Tri-proportional Approach in Urban Location Choice, FSTPT Journal Vol 2 No 1 June 2000 pp. 2332
Ditinjau dari aspek ekonomi, pengaturan bersama terhadap aktivitas yang
berkaitan dengan fungsi TPI Dadap dan TPI Kamal Muara dalam bidang
perikanan khususnya dan bidang-bidang lainnya yang terkait dengan pengelolaan
kawasan pesisir dan lautan (yaitu wisata bahari dan pelabuhan), akan memberikan
keuntungan optimal dari banyak aspek ekonomi di sekitar kawasan tersebut.
Ditinjau dari potensi ekonomi yang dapat berkembang di ke tiga TPI tersebut,
267
maka kondisi awal dapat dilihat dari hasil penggabungan data Tabel 4.27, Tabel
4.31 dan Tabel 4.39. sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.27 dan Tabel 5.28.
Dari Tabel 5.27 tampak bahwa secara deskriptif sekalipun aktivitas
ekonomi yang terjadi di TPI Muara Angke menghasilkan transaksi harian hampir
sebesar Rp 905 juta dari 22 variabel aktivitas, dibandingkan dengan yang terjadi di
TPI Kamal Muara (Rp 168,4 juta dari 11 aktivitas), dan di TPI Dadap hanya (Rp
61,6 juta dari 6 aktivitas saja). Hanya saja, berbagai jenis aktivitas yang berkaitan
dengan kegiatan perikanan tersebut, di TPI Muara Angke menghasilkan persentase
dana untuk kas daerah yang lebih besar jika dibandingkan dengan kedua TPI
lainnya. Hal ini terutama disebabkan oleh kondisi komplek TPI yang lebih
terkonsentrasi jika dibandingkan dengan di kedua TPI lainnya.
Tabel 5.27 Potensi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja rata-rata per hari di lingkungan TPI Muara Angke, Kamal Muara, dan Dadap tahun 2005 sebelum kenaikan harga BBM.
No JENIS KEGIATAN/ PELAYANAN
JUMLAH BURUH/ UNIT NILAI SATUAN TRANSAKSI PER HARI
JUMLAH TRANSAKSI PER HARI (x Rp 1.000)
KET.
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) MA KM D MA KM D MA KM D 1 Transaksi TPI 70
orang 0 - 35 - 250.000 6.750 -
Anak buah peserta lelang
60 20 0 35.000 30.000 - 2.100 700 -
2 Bahan bakar 112 ton 10 ton 5 ton 198.000 16.500 8.250 Rp 1.650/lt Buruh 31 10 2 56.989 35.000 25.000 1.766,67 350 50
3 Es balok (balok) - - - 8.000 500 200 96.000 600 240 Rp 12.000/blk
4 Kegiatan tambat labuh
- - - 18 25 - 100 50 - Perda No 3/99
5 Tryas (tryaze, penyortiran))
- - - 600 unit 300 - -
6 Buruh dilingkungan TPI
15 - 25.000 375 -
Buruh kuning 34 - 25.000 850 - - Buruh biru 32 - 25.000 800 - - Buruh merah 10 - 20.000 200 - - Buruh hijau 9 - 15.000 135 - - - - -
7 Kuli gerobak pengasin
40 10 15.000 15.000 600 150 -
8 Kuli gerobak lelang 83 10 30.000 20.000 2.490 200 - 9 Puja seri 24 unit - 3 - -
Buruh 144 - 12 10.000 10.000 1.440 - 120
269
Lanjutan Tabel 5.27 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) 10 Pedagang K5
produk perikanan 85 25 pedagang - -
Buruh 79 25 2 15.000 15.000 15.000 1.185 375 30 11 Pedagang grosir 276 - - - - -
Buruh 828 - 25.000 - 20.700 - - 12 Unit pengepakan 30 unit 6 unit - - - - -
Buruh 90 12 - 25.000 20.000 - 2.250 240 - 13 Workshop 10 unit 2 - - -
Buruh 109 4 - 22.500 15.000 - 2.452,5 60 - 14 Kios alat perikanan 38 unit 2 - - -
Buruh 38 2 - 20.000 15.000 - 760 30 - 15 Kios gudang/kantor 16 unit - - - -
Buruh - - - - 16 Mirasih 1 unit - - - -
Buruh 20 - - 16.667 333,33 - - 17 Pedagang otak-otak 22 unit 5 - - -
Buruh 20 5 - 15.000 15.000 - 1.080 75 - 18 Cold storage I unit - - - - Kisaran gaji:
0,8-1,5 juta/bl
Buruh 53 - - 38.333 2.031,67 - -
19 Pabrik es 1 unit - - - Kisaran gaji: 0,8-4 juta/bl Buruh 44 - - 40.000 1.760 -
20 PHPT 203 unit - - - - Buruh 1.000 - - 30.000 30.000 -
21 Koperasi putri salju - - - - Agen depot es 30 unit - - - - Buruh depot es 240 3 2 40.000 20.000 15.000 9.600 60 30
270
Lanjutan Tabel 5.27 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
Buruh pikul pjg 60 - 50.000 - 3.000 - - Buruh pikul pdk 85 - 50.000 - 4.250 - - Buruh kantor 20 - 83.333 - 1.666,67 - - Jml buruh pikul
angkutan 55 - 25.000 - 1.375 - -
Mobil putri salju 12 unit - - - - Buruh 24 - 40.000 - 960 - -
22 Upah ABK - - - Jaring cumi 369 - - 32.000 - 11.808 - - Bouke ami 1.039 - - 32.000 - 33.248 - - Bubu 822 - 80 35.000 - 20.000 28.770 - - Angkutan 844 - - 35.000 - 29.540 - - Gillnet 1.024 336 142 35.000 35.000 35.000 35.840 11.760 - Purse seine 2.525 270 390 27.000 27.000 27.000 68.175 7.290 - Jaring cantrang 411 - - 30.000 - - 12.330 - - Jaring rampus 35 210 - 30.000 30.000 - 1.050. 6.300 - Jaring nilon 18 105 - 30.000 30.000 - 540 4.150 - Jaring tangsi 96 - - 30.000 - - 2.880 - -
Lampara 53 - - 30.000 - - 1.590 - -
Payang 174 132 - 35.000 35.000 - 6.090 4.620 -
Pancing 48 84 264 30.000 30.000 20.000 1.440 2.520 5.280
Muro ami 58 - - 40.000 - - 2.320 - -
Bagan - 1.590 - - 20.000 - - 31.800 -
Kerang hijau - 3.000 150 - 17.000 17.000 - 51.000 2.550
Jumlah transaksi harian
904.975,26 168.425 61.580
Tabel 5.28 Potensi ekonomi investasi alat tangkap di lingkungan TPI Muara Angke, Kamal Muara, dan Dadap tahun 2005
No JENIS INVESTASI JUMLAH UNIT TOTAL INVESTASI
(x Rp 1.000.000) MA KM D MA KM D A Alat tangkap 1 Jaring cumi 456 - - 114.000 - - 2 Bouke ami 768 - - 192.000 - -3 Bubu 377 - 20 75.400 - -4 Angkutan 1292 - - 193.800 - - 5 Gillnet 358 56 142 132.460 20.720 52.540 6 Purse seine 543 313 39 468.385 15.255 21.918 7 Jaring cantrang 284 - - 56.800 - - 8 Jaring rampus - 42 - - 8.400 - 9 Jaring nilon 5 35 - 750 5.250 - 10 Jaring tangsi 39 - - 5.850 - - 11 Lampara 61 - - 10.675 - - 12 Payang 13 11 - 3.900 3.300 - 13 Pancing* 6 28 88 240 2.100 6.600 14 Muro ami 12 - - 2.100 - - 15 Bagan - 530 - - 66.250 - 16 Kerang hijau - 1.000 50 - 20.000 1.000 Jumlah Investasi 4.500 1.729 339 1.256.360 141.275 82.058 Sumber: Disnakkanlut (2005); data primer Catatan: MA = Muara Angke; KM = Kamal Muara; D = Dadap Nilai investasi unit alat tangkap diasumsikan : (1) pukat cincin (purse seine) 40 GT = Rp 565 jt (Mahdi, 2005) (2) gill net 27-30 GT = 370 jt (Muhartono, 2004) (3) jaring cumi (30 GT) = 250 jt (4) Bouke ami (30 GT) = 250 jt (5) bubu (25 GT) = 200 jt (6) angkutan (35 GT) = 150 jt (7) jaring cantrang (25 GT) = 200 jt (8) jaring rampus (25 GT) = 200 jt (9) jaring nilon (20 GT) = 150 jt (10) jaring tangsi (20 GT) = 150 jt] (11) lampara (20 GT) = 175 jt (12) payang (35 GT) = 300 jt (13) pancing) (40 GT) = 250 jt (14) pancing (10 GT) = 75 jt (15) muro ami (20 GT) = 175 jt. (16) bagan (15 GT) = 125 jt (17) kerang hijau (5 GT) = 20 jt
Hasil analisis pada Tabel 5.28 menunjukan tingginya transaksi yang
terjadi di TPI Muara Angke, dimana jumlah investasi untuk unit armada perikanan
diperkirakan mempunyai nilai sebesar Rp 1,256 trilyun rupiah dari sekitar 4.500
272
unit, sedangkan untuk TPI Kamal Muara sebesar Rp 141,28 milyar (dari 1.729
unit), dan untuk TPI Dadap hanya Rp 82,06 milyar (dari 339 unit). Jika skenario
pengalihan sebagian kapal dari TPI Muara Angke dan TPI Dadap ke TPI Kamal
Muara dapat berjalan, maka perubahan pola investasi yang kemungkinan dapat
dicapai di ketiga TPI tersebut diperkirakan adalah sebagaimana tercantum dalam
Tabel 5.29.
Tabel 5.29 Prediksi pola investasi yang dapat berkembang di lingkungan TPI Muara Angke, Kamal Muara, dan Dadap
No BIDANG INVESTASI POLA PERUBAHAN INVESTASI MA KM D
1 Penangkapan ikan 2 Kapal angkutan ikan - 3 Sentra pengolahan ikan - 4. Pabrik es - 5. Cold storage/cool room/cool box - 6. Dock/perbengkelan 7. BBM/pelumas 8. Grosir alat penangkapan - 9. Pujaseri/rumah makan 10. Pembangunan pelabuhan 11. Air bersih 12. Objek wisata pantai - - 13. Pemandu wisata air - 14. Pemandu wisata ilmiah - - 15. Kapal angkutan penumpang - - 16. Operator kendaraan wisata air - - 17. Klinik kesehatan 18. Souvenir - - 19 Jasa telekomunikasi 20. Jasa penginapan/perhotelan - - 21. Jasa kebersihan lingkungan 22. Jasa keamanan 22. Kontainer 23. Gudang garam 24. Gedung perkantoran/bisnis - Jumlah variabel 12 ;
6 18
17 1
Keterangan: MA = Muara Angke; KM = Kamal Muara; D = Dadap = perlu dibangun = dikurangi = kondisi tetap
273
Dari Tabel 5.29 tampak bahwa terdapat 12 variabel investasi yang
diduga tidak akan berubah keberadaannya di TPI Muara Angke meskipun
dilakukannya pemindahan sejumlah kapal ikan dari sini ke TPI Kamal Muara.
Sesuai dengan data dari Disnakanlut (2005), terdapat enam variabel investasi yang
masih perlu ditingkatkan kapasiatasnya di Muara Angke, yaitu: sentra pengolahan,
pabrik es, cold storage/cool room/cool box, kontainer dan gudang garam. Untuk
TPI Kamal Muara, terdapat 18 variabel investasi yang perlu dibangun, sedangkan
di TPI Dadap terdapat satu variabel yang harus dikurangi, yaitu unit armada
perikanan yang sebagian besar perlu dipindahkan ke TPI Kamal Muara. Di TPI
Dadap juga tersedia kesempatan untuk melakukan investasi di 17 bidang, baik
yang berkaitan dengan operasional kapal yang terdiri dari kapal peti kemas, kapal
riset Baruna Jaya, kapal pesiar, dan kapal nelayan untuk pemandu wisata, maupun
yang berkaitan dengan aktivitas wisata pantai yang berpusat di Pantai Pasir Putih
Mutiara Dadap.
5.1 Analisis Permasalahan Umum 5.2 Penentuan Lokasi Pelabuhan Perikanan
5.2.1 aspek pengembangan wilayah: 5.2.1.1 LQ 5.2.1.2 shift share 5.2.1.3 skalogram
5.2.2 kelayakan teknis pelabuhan di Kawasan Dadap-Kamal Muara 5.2.2.1 biofisik (hidrooseanografi) 5.2.2.2 Opini masyarakat tentang kondisi perikanan di Kawasan Dadap-Kamal Muara 5.2.2.3 Pasokan Ikan 5.2.2.4 Ketergantungan daerah perikanan 5.2.2.5 Dukungan logistik untuk pelabuhan perikanan 5.2.2.6 akses transportasi
5.2.3 Kapasitas pelabuhan perikanan 5.2.3.1 Kapasitas PPI Kamal Muara dan TPI Dadap 5.2.3.2 Peluang pemanfaatan kapasitas TPI Muara Angke
5.3 Manajemen kawasan pelabuhan 5.3.1 tata ruang 5.3.2 prasarana dan sarana 5.3.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan 5.3.4 Aspek Ekonomi-Sosial Kawasan Pesisir Dadap-Kamal Muara
Responsible fisheries
LATAR BELAKANG
1. Sejak dahulu kala. Penangkapan ikan menjadi sumber utama pangan untuk manusia dan penyedia kesempatan kerja serta memberi manfaat ekonomi bagi mereka yang terlibat dalam kegiatan ini. Akan tetapi, dengan meningkatnya pengetahuan dan dinamisnya pembangunan
274
perikanan , didasari bahwa sumber daya akuatik, meskipun bisa diperbarui, bukanlah tidak terbatas dan karena itu perlu dikelola secara baik, bila kontribusinya terhadap gizi, ekonomi dan kesejahtraan masyarakat dari penduduk dunia yang terus bertambah ingin di pertahankan. 2. Adopsi konvensi PBB mengenai Hukum Laut tahun 1982 memberikan kerangka baru bagi pengelolaan sumber daya laut yang lebih baik. Rezim hukum baru menyangkut samudra telah memberi Negara-Negara hak dan tanggungjawab bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan di dalam ZEE mereka yang meliputi sekitar 90% dari perikanan laut dunia. 3. Dalam tahun-tahun belakang ini, perikanan dunia telah menjadi sebuah sektor industri pangan yang berkembang secara dinamis, dan Negara-Negara pantai sudah berusaha keras mengambil keuntungan dari peluang baru yang mereka peroleh dengan menanamkan modal dalam armada penangkapan dan pabrik pengolahan modern sebagai tanggapan atas permintaan internasional yang meningkat akan ikan dan produk perikanan. Bagaimanapun, tampak jelas bahwa banyak sumber daya perikanan tidak dapat menopang peningkatan pengusahaan yang sering tidak terkendali. 4. Tanda-tanda jelas mengenai pengusahaan-lebih stok ikan penting, modifikasi ekosistem, kerugian ekonomi yang berarti, dan sengketa internasional menyangkut pengelolaan dan perdagangan ikan telah mengancam kelestarian jangka panjang perikanan dan kontribusi perikanan pada pasok pangan. Oleh karena itu, Sesi ke 19 Komite FAO tentang Perikanan, yang diadakan pada Maret 1991, merekomondasikan bahwa sudah mendesak diperlukan pendekatan-pendekatan baru pada pengelolaan perikanan yang meliputi konservasi dan lingkungan, demikian pula pertimbangan sosial dan ekonomi. FAO telah diminta untuk mengembangkan konsep perikanan yang bertanggungjawab dan menguraikansebuah tatalaksana untuk membantu dalam perkembangan penerapannya. 5. Kemudian Pemerintah Meksiko, bekrjasama dengan FAO, mengorganisasikan sebuah Konperensi Internasional mengenai Penangkapan Ikan yang Bertanggungjawab di Cancun. Mei 1992. Deklarasi Cancun yang disahkan pada Konperensi tersebut telah dibawakan untuk menjadi perhatian Pertemuan Tingkat Tinggi UNCED di Rio de Janeiro. Brazilia, Juni 1992, yang mendukung penyiapan sebuah Tatalaksana untuk Perikanan yang Bertanggungjawab (TPB). Konsultasi Teknis FAO mengenai penangkapan Ikan di Laut lepas, yang diadakan September 1992, lebih lanjut merekomondasikan perluasan uraian draft dari Tatalaksana untuk menangani isu eperikanan laut lepas.
275
6. Sesi ke 102 FAO Council, diadakan November 1992, telah membahas perluasan uraian dari Tatalaksana tsb, merekomondasikan agar memberikan prioritas pada isu laut lepas dan meminta agar usulan untuk Tatalaksana itu disajikan pada 1993 dari Komite FAO tentang Perikanan. 7. Sesi ke 20 COFI, yang diadakan pada Maret 1993, telah menguji secara umum kerangka dan isi yang diusulkan untuk Tatalaksana tsb, termasuk perluasan uraian petunjuk, dan mengesahkan sebuah kerangka waktu untuk penguraian lebih lanjut Tatalaksana tsb. COFI juga meminta FAO untuk menyiapkan, atas dasar “pelacakan cepat”, sebagai bagian dari Tatalaksana, usulan untuk mencegah pembendaraan-ulang kapal penangkapan ikan yang mempengaruhi langkah konservasi dan pengelolaan di laut lepas. Upaya ini telah membuahkan hasil dalam Konperensi FAO, pada Sesi ke 27 bulan November 1993, mengadopsi Perjanjian untuk Memajukan kepatuhan dengan Langkah-langkah konservasi dari Pengelolaan Internasional oleh Kapal Penangkapan Ikan di Laut Lepas, yang menurut revolusi Konperensi FAO 15/93, merupakan bagian integral dari Iatalaksana.
8. Tatalaksana telah dirumuskan sedemikian rupa untuk ditafsirkan dan diterapkan sesuai dengan hukum dan peraturan internasional yang relevan, sebagaimana
tercermin dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut, 1982, demikian pula dengan Perjanjian bagi
Pelaksanaan dari Ketentuan Konvensi PBB tentang, Hukum Laut10 Desember 1982 yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan stok ikan Pengembara dan Stok Ikan Beruaya jauh, 1995, mengingat antara lain. Deklarasi Cancun 1992, Deklarasi Rio 1992 mengenai Lingkungan dan Pembangunan khususnya Bab dari
Agendda 21. 9. Pengembangan Tatalaksana ini dilakukan oleh FAO dengan berkonsultasi dan bekerjasama dengan Badan-badan PBB relevan dan organisasi internasional lainnya termasuk organisasi non-pemerintah. 10. Tatalaksana terdiri atas lima artikel pengantar; Sikap dan Ruang Lingkup; Sasaran-sasaran; Hubungan dengan perangkat Internasional Lainnya; Pelaksanaan, Pemantauan dan Pemutakhiran; serta Kebutuhan Khusus Negara Berkembang. Artikel pendahuluan ini diikuti oleh sebuah artikel tetang asa Hukum yang mendahului enam artikel tematik mengenai; Pengelolaan Perikanan, Operasi Penangkapan Ikan, Pembangunan Akuakultur, Integrasi Perikanan ke dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir, Praktek Pasca-panen dan Perdagangan, serta Penelitian Perikanan. Seperti sudah dikemukakan. Perjanjian untuk Memajukan kepatuhan dengan Langkah-langkah Pengelolaan dan konservasi Internasional oleh Kapal Penangkapan Ikan di Laut Lepas merupakan bagian integral dari Tatalaksana.
276
11. Tatalaksana ini bersifat sukarela. Akan tetapi, bagian tertentu dari Tatalaksana didasarkan pada aturan yang relevan dari hukum internasional, seperti yang tercermin tercermin dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut 10 Desember 1982. Tatalaksana juga memuat ketentuan yang mungkin atau sudah diberi efek mengikat dengan memakai perangkat hukum dan perundangan lainnya antara Pihak-pihak, seperti Perjanjian untuk Memajukan kepatuhan dengan langkah konservasi dan Pengelolaan oleh Kapal Penangkapan Ikan di Laut Lepas. 12. Sesi ke 28 dari Konperensi dalam Resolusi 4/95 telah mengadopsi Tatalaksana untuk Periakan yang Bertanggungjawab, pada 31 Oktober 1995. Resolusi yang sama meminta FAO antara lain untuk menguraikan petunjuk teknis yang tepat untuk mendukung pelaksanaan dari Tatalaksana bekerjasama bekerjasama dengan para anggota dan organisasi relevan yang berkepentingan. 1. Kerangka Kelembagaan (Artikel 10.1) “Negara-negara harus menjamin bahwa suatu kerangka kebijakan, hukum dan kelembagaan‘ yang yang tepat diadopsi untuk mencapai pemanfaatan sumber daya pesisir yang lestari dan terpadu, dengan memperhatikan kerentanan ekositem pesisir dan sifat terbatasnya sumber daya alamnya, serta keperluan komunitas pesisir.” (pasal 10.1.1) 13. Dalam mempertimbangkan keterpaduan perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir yang lebih luas sifatnya, syarat yang pertama adalah agar Negara menetapkan kerangka kebijakan, hukum dan kelembagaan bagi pengelolaan kawasan pesisir yang terpadu. 14. Kerangka kebijakan dasar yang di dalamnya dibahas pengelolaan kawasan pesisir adalah satu kebijakan dasar mengenai pembangunan yang secara ekologi lestari. Kerangka ini menetapkan kisaraan kebijakan yang akan dipertimbangkan secara ekologi lestari; masalah pengelolaan adalah bagaimana mengambil keputusan diantara kebijakan-kebijakan itu, dengan memperhatikan kondisi lokal, termasuk pertimbangan sosial ekonomi. 15. Masalah mendasar pengelolaan kawasan pesisir adalah salah satunya pengalokasian sumberdaya. Sumberdaya pesisir menjadi semakin langka disebabkan oleh gabungan pembangunan ekonomi dan meningkatnya penduduk dikawasan pesisir. Seperti lazimnya dengan sumber daya lainnya, kelangkaan sumber daya pesisir menuntut agar dibuat pilihan-pilihan diantara pemanfaatan yang berlainan. Pengelolaan kawasan pesisir meliputi penetapan suatu kerangka yang di dalamnya dibuat pilihan-pilihan dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan agar dilaksanakan. 16 Bagaimanapun, kawasan pesisir memiliki sejumlah ciri istimewa yang merumitkan pilihan tersebut. Pertama, kawasan pesisir merupakan suatu sistem yang dinamis tempat berinteraksi proses fisik, ekologi, sosial dan ekonomi; perencanaan pengelolaan pesisir perlu memperhatikan berbagai proses dinamis tsb. Kedua. Sifat alir dari sejumlah sumber daya pesisir merumitkan pengalokasian sumber daya tersebut. Ketiga. karakter lokal dan regional dari sumber daya pesisir merumitkan pengalokasian sumber daya tersebut. Ketiga, karakter lokal dan regional dari sumber daya tsb bisa merumitkan koordinasi kebijakan di antara berbagai badan yang berlainan. 17. Jika mungkin, valuasi terhadap pilihan pembangunan yang beragam dan atau konservasi (isu dari valuasi ditunjuk lebih lanjut dalam 10.2.2 di bawah) memberikan suatu dasar yang kuat bagi perumusan kebijakan. 18. Dalam pengelolaan pesisir terpadu (PPT) perlu suatu pendekatan holistik. Dalam pengelolaan sumber daya pesisir, harus dilakukan kehati-hatian untuk menghindari pendekatan sektoral sempit yang tidak sesuai. Misalnya, perikanan artisanal mungkin sangat sulit mengelolanya kecuali jika ada pembangunan ekonomi di darat yang menciptakan alternatif
277
kesempatan kerja. Banyak bidang lainnya yang membutuhkan suatu pendekatan terrkoordinasi pada pengambilan keputusan. 19. Untruk mendapatkan jenis pendekatan ini, dibutuhkan sebuah kerangka kelembagaan’ yang menyediakan pertalian yang tepat di antara otoritas nasional, regional dan lokal. Sebuah spektrum pendekatan telah diadopsi oleh negara-negara untuk menyediakan kerangka tsb. Pada awal dari spektrum, sebuah badan yang ada mungkin diberi mandat untuk mengawali perencanaan pesisir lintas sektor akan tetapi tanpa tambahan tanggungjawab atau kekuasaan. Walaupun pendekatan ini bisa menghasilkan suatu permulaan dari perencanaan pesisir lintas sektor, kelihatannya cenderung jarang yang efektif dalam jangka panjang. Lebih lanjut sepanjang spektrum, beberapa negara dapat mengadopsi suatu pendekatan dimana berbagai badan-badan berlainan yang terlibat dalam pengelolaan pesisir tetap memiliki semua tanggungjawab mereka akan tetapi mengkoordinasikan perencanaan dan kegiatan mereka melalui suatu badan pusat; mandat-mandat dari badan-badan tsb bervariasi sangat luas. Akhirnya,negara-negara dapat mengadopsi sebuah pendekatan yang benar-benar tepadu yang di dalamnya banyak tanggungjawab atas perencanaan dan pengalokasian sumberdaya dilakukan oleh sebuah lembaga terpadu; lembaga yang demikian bisa berupa sebuah organisasi yang ada yang dilengkapi dengan kekuasaan yang ditinggalkan untuk menengahi ataupun secara alternatif sebuah lembaga yang baru sama sekali.
20. Dalam menyusun sebuah kerangkapengelolaan yang efektif, perlu suatu analisis kelembagaan, yang antara lain, harus dianalisis peran dan tanggungjawab dari berbagai badan dan, jika perlu, direvisi, sehingga pada sutu sisi, yurisdiksiyang tumpang tindih atau yang berselisih diminimumkan, dan pada sisi lain, tidak ada isu penting yang tidak ditangani oleh suatu badan yang bertnggungjawab. Oleh karena itu, sebuah mekanisme kelembagaan bagi pengelolaan pesisir terpadu akan menjamin hal berikut: pertama, ditetapkan tanggungjawab secara sektoral yang tepat; kedua, ditetapkan tatanan-tatanan pengkoordinasian/pengintegrasian yang tepat; dan ketiga, badan-badan pada semua tingkat tetap terus diberi informasi menyangkut kebijakan kawasan pesisir untuk menjamin pertalian dalam pelaksanaan kebijakan. 21. Diperlukan sebuah kerangka legislatif yang mengesahkan lembaga pengelolaan pesisir serta kegiatan yang dilakukannya. Sifat yang tepat dari peraturan dan perundangan di setiap negara tergantung pada ruang lingkup dan kesenjangan dalam peraturan dan perundangan yang ada. Tambahan pula, pengalaman suatu negara tidak mesti secara langsung bisa dipindahkan ke lain negara, sekalipun negara
278
itu memiliki kesamaan latar belakang sosial, politik, ekonomi dan budaya. “Mengingat sifat multiguna kawasan pesisir, Negara harus memastikan bahwa wakil sektor perikanan dan komunitas penangkapan dimintakan pendapat dalam proses pengambilan keputusan dan dilibatkan dalam kegiatan lainnya yang berkaitan dengan perencanaan pengelolaan dan pembangunan kawasan pesisir.” (Pasal 10.1.2)
22. Sangat sering, sektor perikanan bersaing di kawasan pesisir dengansektor lain untuk kebutuhan akan ruan, baik di darat maupun di perairan, baik
secara langsung bagi kegiatanproduktif-penangkapan ikan dan akuakultur pantai-maupun untuk penanganan,
pengolahan serta distribusi dari produksi. Konsekwensinya, otoritas yang berwenang mengenai
perikanan dan sektor perikanan harus ikut serta dalam keputusan-keputusan yang menyangkut pembangunan di kawasan tersebut. Dalam hubungan ini, suatu aspek dari ketergantungan sektor tersebut pada lingkungan pesisir, adalah berupa peran yang nyata para nelayan
dan pembudidaya ikan sebagai pengamat dari lingkungan pesisir; para nelayan dan pembudidaya ikan
di pantai biasanya adalah yang pertama merasakan dampak dari banyak perubahan yang mungkin terjadi
dalam lingkungan akuatik sebagai akibat dari pencemaran atau penyebab lainnya.
23. Sebuah ringkasan dari dampak utama terhadap perikanan yang diakibatkan oleh kegiatan sektor lain diperhatikan dalam Kotak 1.
24. Suatu cara yang menjamin terwakilinya
kepentingan perikanan secara tepat adalah menunjuk sebuah otoritas atau otoritas-otoritas untuk perikanan, yang mempunyai tanggungjawab sektor maupun antar-
sektor; semakin kuat struktur kelembagaan yang
279
diadopsi bagi sektor perikanan akan semakin efektif mewakili kepentinganperikanan.
25. Sifat dari sektor yang membuatnya sangat rentan terhadap perubahan yang diakibatkan oleh kegiatan di pantai bisa mengakibatkan kepentingan yang berbeda
yang saling bertentangan dengan sektor berbasis daratan seperti misalnya sektor pertanian. Lebih lanjut, isu yang dihadapi perikanan tangkap, juga pada tingkat yang lebih rendah dihadapi akuakultur, tidaklah sama
dengan isu yang dihadapi oleh sektor pertanian. Khususnya, model produksi pertanian-dengan
meningkatnya masukan menghasilkan produksi yang lebih tinggi-tidak dapat diterapkan untuk sektor
perikanan. Oleh karena itu, mungkin terdapat alasan persuatif kenapa suatu badan perikanan seharusnya
tidak merupakan bagian dari kementrian atau Departemen lain di mana mungkin bisa timbul
pertentangan kepentingan.
280
Kotak 1 : Beberapa dampak terhadap perikanan yang diakibatkan oleh kegiatan sektor lai Pencemaran: Hal ini dapat berasal dari sumber berbasiskan lahan daratan, contohnya limbah industri dan pertanian yang di buang ke sungai dan di hanyutkan ke kawasan pesisir, larian pestisida dan pupuk ke dalam sungai, dan pembuangan kotoran melalui air, atau sumber yang berbasiskan lautan, misalnya tumpahan minyak dan buangan samudera limbah beracun ke laut. Beberapa pencemaran dapat meningkatkan produktivitas kawasan pesisir akan tetapi sangat sering berakibat pada penurunan produktivitas. Dalam kasus yang gawat bisa bisa terjadi risiko terhadap kesehatan manusia, misalnya melalui konsentrasi limbah beracun pada keterangan. Menurunnya produktivitas akan merugikan kesehatan keuangan sektor perikanan. Sektor perikanan sendiri bisa memberikan kontribusi terhadap pencemaran pesisir, misalnya melalui pencemaran minyak dari kapal penangkapan ikan, limbah cair dari pabrik pengolahan ikan dan oleh sistem akuakultur inetnsif yang berakibat pada pengkayaan bahan organik dan hara di dasar laut dan dalam kolam air. Betapapun, umumnya sektor perikanan lebih sebagai penderita dibandingkan penyebab pencemaran. Penurunan kualitas habitat: Hal ini dapat terjadi secara langsung, misalnya, sebagai akibat dari pembabatanhutan mangrove untuk berbagai kegiatan, pengambilan karang, atau secara tidak langsung, umpamanya, oleh pengendapan sedimentasi di dasar pdang lamun dan tumbu yang disebabkan larian tanah yang berkaitan dengan misalnya, penggundulan hutan atau praktek tataguna lahan yang buruk. Seperti halnya pencemaran, penurunan kualitas habitat akan mempengaruhi sektor perikanan itu sendiri, misalnya, penangkapan dengan bahan peledak atau bahan kimia beracun, serta pembabatan hutan mangrove dan pemakaian bahan kimia pengembangan akuakultur. Sengketa Tataruang: Hal ini bisa terjadi jika perikanan dan akuakultur pantai mempunyai hak properti yang tidak terjamin secara berangsur-angsur terdesak dari kawasan tradisionalnya oleh pengembangan wilayah oesisir lainnya (khususnya perluasan perkotaan dan pengembangan pariwisata).
26. Mengingat arti penting kawasan pesisir bagi sektor perikanan sangat peting dimasukkan ke dalam proses perencanaan pengelolaan pesisir. Misalnya, otoritas perikanan harus diikutkan dalamproses pengkajian
dampak lingkungan dari proyek mempunyai dampak penting terhadap perairan pantai: otoritas perikanan
harus dilibatkan dalam penyiapan draf undang-undang dan peraturan sehubungan dengan kawasan pesisir;
dan harus dilibatkan dalam proses perencanaan tataruang jika hal ini mempengaruhi kepentingan
perikanan, misalnya, pembangunan pelabuhan; dan
281
yang paling penting, otoritas perikanan harus dimasukkan ke dalam proses perencanaan pengelolaan
terpadu kawasan pesisir.
27. Dalam banyak hal, perikanan pantai mungkin paling mudah dikelola pada tingkat lokal di dalam kerangka menyeluruh yang dibentuk pada tingkat
nasional atau regional. Di banyak negara, oleh karena itu, otoritas perikanan akan paling efektif dalam
negosiasi antar-badan jika dibentuk suatu kerangka otoritas yang tepat ditingkat nasional, regional dan lokal
guna menjamin bahwa pengelolaan perikanan dapat dilaksanakan pada tingkat yang sesuai.
28. Seperti halnya pengelolaan pesisir pada umumnya, fungsi penting dari otoritas perikanan adalah menjamin
bahwa semua tingkatan administrsi memperoleh informasi yang cukup dan dimotivasi sehingga tujuan bersama dapat tercapai. B rbagai tingkat pengelolaan
tsb merupakan bentuk yang diistilahkan di sini “otoritas perikanan”. Otoritas yang diadakan pada tiap tingkat
akan ditentukan atas dasar kasus-per-kasus.
29. Juga penting agar otoritas perikanan harus menetapkan mekanisme untuk bekerja dengan seluruh pihak terkait di dalam sektor perikanan sehingga sektor
tersebut bisa terwakili secara memadai dalam pembahasan antar-badan yang mempertimbangkan dampak lintas-sektor. Yang dimaksud pihak terkait di
sini adalah mereka yang diakui oleh pemerintah sebagai yang mempunyai kepentingan di dalam sektor
perikanan bersangkutan.
“Negara harus seperlunya mengembangkan, kerangka kelembagaan dan hukum dalam
282
menetapkan pemanfaatan yang mungkin menyangkut sumber daya pesisir dan mengatur
akses ke sumber daya tersebut dengan memperhatikan hak nelayan pesisir dan praktek
turun temurun sejauh serasi dengan pembangunan yang berkelanjutan.” (pasal
10.1.3)
30. Satu penyebab utama dari permasalahan dalam pengelolaan kawasan pesisir adalah akses ke sumber daya pesisir yang bisa diperbarui. Hal ini sudah lama
dikenal sebagai sebuah masalah di dalam sektor perikanan akan tetapi juga mempengaruhi banyak
sumber daya pesisir lainnya. Khususnya air. Ruang. dan produktivitas primer.
31. Merupakan hal penting bahwa jika terdapat akses bebas dan terbuka ke sumber daya perikanan pesisir
agar rezim ini digantikan sesegera mungkin oleh rezim yang didasarkan pada hak pemanfaatan ekslusif. Ada sejumlah alasan yang memperhitungkan tidak hanya
ketidak-efisiensian yang ditimbulkan dalam sektor oleh akses bebas dan terbuka akan tetapi juga disebabkan oleh interaksi dengan sektor lain di kawasan pesisir.
Jika sektor perikanan tetap terus bersifat akses terbuka maka mungkin sukar mendesak dan meyakinkan badan-badan dan para pemanfaat sumber daya lainnya untuk membatasi kegiatan mereka demi kebaikan perikanan
karena setiap manfaat tambahan meningkat akan dengan cara yang sama sebagai rente sumberdaya. Sebaliknya, jika perikanan bergerak ke arah rezim berbasis hak ekslusif. Merupakan suatu hal penting perikanan itu dapat beroperasi dalam suatu sistem
283
berbasis hak menyeluruh menyangkut pengembangan sumber daya pesisir.
32. Perikanan bukanlah satu-satunya sumber daya
akses terbuka di kawasan pesisisr. Sering akses terus tetap bebas dan terbuka ke sumber daya kunci seperti halnya sumber daya hutan mangrove. terumbu karang
dan ke perairan lautan pantai sebagai suatu wadah bagi limbah. Sebagai akibatnya para pemanfaat lainnya kawasan pesisir bisa merasakan efek negatif yang
berarti. tidak saja terhadap sektor perikanan. misalnya dalam bentuk kerusakan habitat dan pencemaran akuatik. dan seterusnya akan tetapi juga terhadap
fungsi-fungsi lain bernilai dari ekosistem.
33. Ada dua pendekatan luas untuk menangani hal yang berkenaan dengan sengketa antar sektor. yaitu
pendekatan – pengaturan dan ekonomi. Kedua pendekatan itu bisa mempunyai sasaran yang sama.
Bedanya terletak pada cara sasaran itu mencapai tujuannya. Peraturan membatasi secara hukum apa
yang boleh dilakukan. Sedangkan pendekatan ekonomi berupaya untuk menyediakan insentif guna mendorong
tingkah l;aku yang layak. Metode ekonomi memiliki sejumlah kelebihan. khususnya bahwa pendekatan ini mengalokasikan sumber daya langka secara efisien di
dalam suatu kerangka pasar. Akan tetapi. metode ekonomi sering sukar diterapkan dan dalam banyak situasi sering perlu mengadopsi suatu pendekatan
pengaturan. terkadang ditambah dengan perangkat kebijakan ekonomi. Suatu tinjauan menyeluruh yang
singkat tentang metode pengaturan dan ekonomi dicantumkan dalam Kotak 2
Kotak 2: Perangkat pengaturan dan kebijakan ekonomi
Langkah pengaturan mengendalikan pemanfaatan sumber daya dengan cara pelararangan atau pembatasan. Ke
dalam langkah itu termasuk. Misalnya, terhadap pengelolaan atau hasilnya. Pelarangan atau pembatasan
kegiatan yang mencemari. dan pembatasan kegiatan
284
34. Solusi yang sama bagi penghapusan akses terbuka tidaklah bisa diterapkan dimana saja. walaupun masih
285
dalam satu negara sekalipun. Solusi terbaik akan tergantung seluruhnya pada keadaan – sifat alami dari
sumber daya, tatanan kelembagaan. kini maupun historis. sasaran. dan seterusnya. Lebih lanjut. solusi
terbaik bisa berubah sepanjang waktu. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperjelas mengenai apa yang
sedang diupayakan untuk dicapai dan menguji suatu kemungkinan solusi sebelum memutuskan mengenai pilihan yang terbaik: juga perlu agar tetap fleksibel.
Sehingga sanggup menanggapi keadaan yang berubah.
35. Satu aspek dari akses terbuka adalah bahwa para pemanfaat sumber daya tidak sanggup mendapatkan pengakuan dari Negara menyangkut hak-hak mereka atas sumber daya. Sering kali. hal ini mengakibatkan para nelayan dan pembudidaya ikan tradisional dan
para nelayan serta pembudidaya ikan berhak adat tidak diuntungkan ketika para pemanfaat sumber daya
lainnya menjadi dominan. Sebuah gambaran diperlihatkan dalam Kotak 3. Jika rezim hukum cukup fleksibel menyadari dan memadukan persepsi hak adat lokal mengenai hak dan kewajiban. Negara mungkin
merasa adalah diperlukan memberi suatu pengakuan de facto menyangkut hak-hak sumber daya. Jika rezim hukum tidak mengizinkan pendekatan ini. Negara-
negara bisa berharap mengubah legislasi mereka sesuai dengan itu. Pada waktu yang bersamaan. otoritas perikanan harus menetapkan syarat-syarat yang
mensyaratkan bahwa para nelayan dan pembudidaya ikan menyadari dan menghormati kendala ekologi yang
dibebankan oleh lingkungan pesisir.
Kotak 3: Hak-hak menyangkut para nelayan dan pembudidaya ikan tradisional dan hak adat terhadap mutu lingkungan yang bisa diterima Jika pasar bagi barang-barang lingkungan di dalam kawasan pesisir. misalnya. Produktivitas alami terumbu karang. tidak ada. maka para nelayan yang memanfaatkan terumbu tersebut tidak akan mampu mengamankan hak-hak yang perlu bagi kesejahteraan masa depan mereka dan rentan terhadap produktivitas yang terancam oleh para pemanfaat lainnya. contohnya. pariwisata dan penambangan koral. Akuakultur pantai berskala kecil juga sudah sejak lama merupakan praktek tradisional dan berkelanjutan di banyak negara yang mungkin digusur oleh operasi perindustrian.
286
36. Langkah tersebut akan melindungi lingkungan dan memberi para pemanfaat sumber daya tradisional dan
berhak adat akan hak sampai suatu tingkat mutu lingkungan tertentu sebagai bagian dari mata
pencaharian mereka.
37. Para pemanfaat sumber daya tradisional atau berhak adat mungkin sudah mengembangkan tatanan-
tatanan akses dalam menanggapi perubahan-perubahan musiman yang mempengaruhi ketersediaan ikan atau menentukan pewaktuan dari operasi-operasi
pertanian utama. seperti musim tanam waktu dan waktu panen. Rencana-rencana pengelolaan yang
dirumuskan oleh para perencana untuk masing-masing sumber daya yang belum memperhitungkan strategi-strategi tersebut mungkin menghadapi konsekuensi-
konsekuensi ekonomi dan sosial yang serius.
“Negara harus memberi kemudahan pengadopsian praktek penangkapan guna
menghindari sengketa di antara para pemanfaat sumber daya perikanan yang berlainan dan
287
dengan para pemanfaat lainnya dari lingkungan marin.” (Artikel
10.1.4)
38. Sengketa mungkin terjadi di antara para nelayan dari berbagai tempat berlainan yang ingin menangkap
ikan di kawasan yang sama. di antara para nelayan yang menggunakan alat tangkap yang berbeda. di
antara para penangkap ikan komersial dan penangkap iakn olahraga. di antara para nelayan artisanal dan nelayan industri. Di antara para nelayan dan para
pembudidaya ikan. dan diantara para pemanfaat ini terhadap para operator pariwisata: semuanya mereka
bersaing atau ruang dan sumber daya. dan dalam banyak lagi situasi.
39. Sengketa di dalam sektor perikanan sendiri bisa
dihadapi dengan alokasi-alokasi menurut kawasan yang menghasilkan alokasi sumber daya yang jelas (di mana sebuah sumber daya mendiami suatu kawasan tertentu)
atau dengan pengurangan sengketa di antara kelompok-kelompok (bila mana sebuah sumber daya
bergerak pindah di antara kawasan-kawasan). umpamanya. zona pemukatan. kawasan bubu. dan
seterusnya. dengan cara pengendalian terhadap masukan. seperti pembatasan alat tangkap atau
pengendalian menurut waktu. atau cara pengendalian luaran. seperti kuota. Otoritas-otoritas harus juga mempertimbangkan pembentukan panitia/komite
nelayan dan pembudidaya. menurut kawasan perikanan atau menurut perikanan. sekiranya layak. jika
permasalahan tersebut harus dibahas dan andaikata mungkin. diselesaikan.
288
40. Sengketa antar-sektor secara khas lebih sulit menyelesaikannya dibandingkan dengan perselisihan
intra-sektor. sekalipun solusinya mungkin serupa. Otoritas-otoritas perikanan harus mewakili kepentingan dari sektor perikanan dalam negosiasi-negosiasi dengan lain-lain badan-badan untuk memastikan bahwa sektor-sektor lainnya menghormati kepentingan para nelayan
dan pembudi daya ikan. Jika diperlukan. otoritas perikanan dan nelayan harus mempunyai kemungkinan
untuk memiliki sumber daya yang diatur dengan peraturan perundang-undangan untuk melindungi
kepentingan mereka.
41. Penzonaan merupakan pendekatan yang lazim dalam penyelesaian perbedaan-perbedaan antar sektor yang melibatkan perikanan. teristimewa dengan menggunakan campuran perbatasan waktudan kawasan . Langkah-langkah ekonomi bisa pula berperan.
“Negara harus mengingatkan penetapan prosedur dan mekanisme pada tingkat
administratif yang tepat untuk menyelesaikan sengketa yang timbul didalam lingkup sektor
perikanan dan diantara para pemanfaatan sumber daya perikanan dan para pemanfaat
kawasan pesisir lainnya. (Artikel 10.1.5)
42. Sengketa potensial harus diantisipasi dan dicegah
lebih dulu bila mungkin . Rencana-rencana pembangunan dan pengelolaan sektor perikanan sering kali disusun dari perspektif hanya dari sekor perikanan
atau malahan hanya untuk satu stok ikan. Otoritas
289
pengelolaan perikanan harus mempertimbangkan secara tegas seberapa jauh kecenderungan terjadi
interaksi dengan kegiatan perikanan atau sektor lain. Jika hal itu dipandang potensial atau aktual penting.
Maka interaksi tersebut harus dipertimbangkan di dalam rencana. dan harus diambil tindakan untuk menangani
sengketa potensial.
43. Dalam pengelolaan kawasan pesisir, salah satu dari fungsi kelembagaan dan hukum yagn paling
penting adalah memastikan adanya suatu mekanisme untuk penyelesaian sengketa. Berhubung sumber daya
pesisir semakin langka. Perlu di pertimbangkan bagaimana menylesaikan tuntutan yang bersaing diantara sektor-sektor. bbaik yang ada masa kini
maupun masa depan. Sekalipun andaikata otoritas perikanan dimintai pendapat mengenai isu
perencanaan. Sengketa-sengketa masih mungkin timbul , dan memerlukan suatu mekanisme untuk
pemecahannya.
44. Dipandang perlu agar otoritas perikanan berperan aktif dalam pengindetifikasian skala dari setiap masalah
yang mempengaruhi lingkungan akuatik dan sumbernya. Untuk tugas ini menjadi sangat penting adanya suatu sistem pemantauan yang tepat. Hal ini
dipertimbangkan lebih lanjut dalam seksi 10.24 berikut ini . Tambahan pula, jika otoritas perikanan erat bekerja sama dengan para nelayan dan pembudidaya. Mereka
segera mampu dengan cepat mengindentifikasi perubahan kondisi ekologis bahkan mungkin terbukti
lebuh sulit mengindentifikasikan mereka yang bertanggungjawab.
290
2. Langkah-langkah Kebijakan (Pasal 10.2)
“Negara harus meningkatkan kesadaran publik akan perlunya perlindungan dan pengelolaan
sumber daya pesisir dan keikutsertaan mereka yang terkena pengaruh dalam proses
pengelolaan.” (Pasal 10.2.1)
45. Suatu pendapat publik yang memadai untuk proses pengambilan keputusan (misalnya:keputusan
pemanfaatansumberdaya) menjamin adanya dukungan luas bagi rencana yang diajukan dapat diberikan
kemudahan melalui proses kelembagaan dan kerangka hukum. Para pembuat undang-undang serta peraturan dan para perencana harus menyadari bahwa langkah
yang menjauhkan mereka yang paling terkena pengaruh. cenderung tidak akan berhasil dalam jangka
panjang.
PEMBAHASAN UMUM
Salah satu pelabuhan perikanan yang telah dikembangkan secara maju dan
termasuk pelabuhan yang mencakup aspek eko
With so many places to stay on offer in Port Douglas, the selection process can become a daunting process. Below we have hand picked a few reputable accommodation places to recommend during your stay.
Below are a few suggestions to suit varying budgets from motel style accommodation to boutique apartments. These properties are situated in the hub of Port Douglas close to shopping, the beach, restaurants and the marina. They also have brilliant on-site management who provide excellent service and will ensure your stay is a memorable one. They also love their outdoors and fishing!
Please contact us for the best available rates.
291
5.1 Analisis Permasalahan Umum 5.2 Penentuan Lokasi Pelabuhan Perikanan
5.2.1 aspek pengembangan wilayah: 5.2.1.1 LQ 5.2.1.2 shift share 5.2.1.3 skalogram
5.2.2 kelayakan teknis pelabuhan di Kawasan Dadap-Kamal Muara 5.2.2.1 biofisik (hidrooseanografi) 5.2.2.2 Opini masyarakat tentang kondisi perikanan di Kawasan Dadap-Kamal Muara 5.2.2.3 Pasokan Ikan 5.2.2.4 Ketergantungan daerah perikanan 5.2.2.5 Dukungan logistik untuk pelabuhan perikanan 5.2.2.6 akses transportasi
5.2.3 Kapasitas pelabuhan perikanan 5.2.3.1 Kapasitas PPI Kamal Muara dan TPI Dadap 5.2.3.2 Peluang pemanfaatan kapasitas TPI Muara Angke
5.3 Manajemen kawasan pelabuhan 5.3.1 tata ruang 5.3.2 prasarana dan sarana 5.3.3 Aspek kelembagaan pelabuhan perikanan 5.3.4 Aspek Ekonomi-Sosial Kawasan Pesisir Dadap-Kamal Muara
Beberapa sasaran yang hendak dicapai dari implementasi kebijakan revitalisasi perikanan, setidaknya meliputi beberapa aspek, diantaranya : Terjadinya peningkatan investasi yang signifikan dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan Tercapainya peningkatan pendapatan nelayan melalui kegiatan industri terpadu dan penciptaan pasar (domestik dan pasar ekspor) Terlaksananya pemberdayaan masyarakat nelayan sehingga mampu memposisikan diri sebagai pelaku ekonomi yang unggul Terwujudnya pelestarian lingkungan (ekologi terpelihara secara berkelanjutan) sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan Terlaksananya pengembangan jasa kelautan dan non pariwisata untuk menunjang pembangunan sektor kelautan Hadirin sekalian yang saya hormati, Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, perlu didukung komponen-komponen kegiatan, yang meliputi : Pengembangan industri perikanan berbasis armada nasional menunjang Permen 17 tahun 2006, tentang usaha perikanan tangkap Revitalisasi budidaya rumput laut Pengembangan cluster industry perikanan Pengembangan jasa kelautan Peningkatan Akses modal dan akses pasar mendukung revitalisasi perikanan
Sekretariat BKSP JABODETABEKJUR terdiri atas :
Bagian Pembangunan, membawahi ;
- Sub Bagian Tata Ruang dan Pertanahan, :
- Sub Bagian Permukiman, Sarana dan Prasarana,
292
- Sub Bagian Sumber Daya Air, Kebersihan dan Lingkungan Hidup.
Bagian Perekonomian, membawahi ;
- Sub Bagian Transportasi dan Perhubungan,
- Sub Bagian Agribisnis, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah,
- Sub Bagian Industri, Perdagangan, Pertambangan dan Investasi.
Bagian Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, membawahi ;
- Sub Bagian Kependudukan, Ketentraman dan Ketertiban,
- Sub Bagian Kesehatan dan Pendidikan,
- Sub Bagian Sosial dan Tenaga Kerja.
Bagian Umum, membawahi ;
- Sub Bagian Keuangan dan Penyusunan Kegiatan,
- Sub Bagian Perlengkapan dan Rumah Tangga,
- Sub Bagian Tata Usaha dan Kepegawaian.
Penataan Ruang
♦ Koordinasi pembahasan rancangan RTRW JABODETABEKJUR,
♦ Penyeragaman nomenklatur, skala, simbol-simbol peta
perencanaan JABODETABEKJUR,
♦ Pemaduserasian dan keterpaduan RTRW / RTRK antar daerah
JABODETABEKJUR.
Permukiman, Sarana & Prasarana
♦ Pembangunan rumah-rumah di BODETABEKJUR,
♦ Pemerataan pembangunan pusat-pusat perbelanjaan.
Sumber Daya Air, Kebersihan dan LH
293
♦ Kawasan lindung, daerah resapan air, sungai, situ, galian C, hutan
dan penghijauan,
♦ Pengamanan/pelestarian/penghijauan daerah hulu, normalisasi
sungai, pembuatan bendungan/kantong air, perbaikan saluran
(drainase) air,
♦ Pengelolaan sampah, usaha penanggulangan pencemaran sungai
dan udara.
Transportasi, Perhubungan dan Pariwisata
♦ Jaringan jalan, terminal, pengaturan trayek, wilayah operasi, tarif,
moda angkutan dan manajemen lalu lintas,
♦ Peningkatan jalan-jalan terobosan dan penataan ruas-ruas jalan,
♦ Penataan dan pelestarian daerah-daerah wisata, infrastruktur, sarana
dan prasarana daerah wisata.
Agribisnis, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
♦ Perencanaan pembangunan terminal agribisnis,
♦ Pemberian bantuan bagi usaha kecil dan menengah,
♦ Penyuluhan dan bantuan teknis bidang pertanian, perkebunan dan
persawahan.
Industri, Perdagangan, Pertambangan dan Investasi
♦ Relokasi industri dan pertambangan,
♦ Keterpaduan pendirian industri,
♦ Peningkatan investasi melalui Badan Koordinasi Penanaman
Modal.
294
Kependudukan, Ketentraman & Ketertiban
♦ Mobilitasi penduduk termasuk migrasi dan komuter.
♦ Tertib administrasi kependudukan yang akan diberlakukan SIAK
Offline,
♦ Ketegasan pelaksanaan hukum Indonesia.
Kesehatan dan Pendidikan
♦ Kerjasama peningkatan sarana prasarana pendidikan dan kesehatan
di wilayah JABODETABEKJUR diawali adanya pertemuan forum
untuk tahun 2005 antara Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Gubernur
Jawa Barat, Gubernur Banten dengan Bupati/Walikota Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur pada tanggal 20 Agustus
2005 bertempat di Hotel Borobudur Jakarta.
♦ Pada Pertemuan tersebut salah satu kegiatan yang perlu
direalisasikan pada tahun anggaran 2006 adalah program kerjasama
peningkatan sarana dan prasarana pendidikan dasar dan kesehatan
dasar di wilayah JABODETABEKJUR. Pada pertemuan forum ke
dua untuk tahun anggaran 2005 dilaksanakan pada tanggal 28-29
Desember 2005 bertempat di Hotel Aryaduta Karawaci Kabupaten
Tangerang Provinsi Banten, disepakatilah bahwa kerjasama
pendidikan dasar dan kesehatan dasar memperoleh bantuan dana
dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk masing-masing
Kabupaten/Kota BODETABEKJUR sebesar Rp. 3.000.000.000,-
(tiga milyar rupiah) dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp. 24
milyar (dua puluh empat milyar rupiah).
♦ Dari anggaran sebesar Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar) untuk
masing-masing Kabupaten/Kota BODETABEKJUR dialokasikan
untuk sarana prasarana pendidikan sebesar Rp. 2.000.000.000,-
295
(dua milyar rupiah) dan untuk sarana prasarana kesehatan sebesar
Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Sosial dan Tenaga Kerja
♦ Pengawasan bidang ketenagakerjaan baik lokal maupun tenaga
kerja asing,
♦ Usaha penekanan terhadap masalah PMKS di perbatasan,
♦ Adanya operasi yustisi secara berkala.
12/10/2006
SERAH TERIMA DANA BANTUAN KEUANGAN DARI PEMERINTAH
PROVINSI DKI JAKARTA KEPADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA
BODETABEKJUR
Hari ini dilaksanakan acara penyerahan dana bantuan keuangan dari Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta kepada Pemerintah Kabupaten/Kota BODETABEKJUR
sebesar Rp. 24 milyar untuk peningkatan sarana prasarana pendidikan dan
kesehatan, yang dilaksanakan di Balai Agung Balai Kota Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta. Hari ini dilaksanakan acara penyerahan dana bantuan keuangan dari
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada Pemerintah Kabupaten/Kota
BODETABEKJUR sebesar Rp. 24 milyar untuk peningkatan sarana prasarana
pendidikan dan kesehatan, yang dilaksanakan di Balai Agung Balai Kota
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.Hari ini dilaksanakan acara penyerahan dana
bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota BODETABEKJUR sebesar Rp. 24 milyar untuk peningkatan
sarana prasarana pendidikan dan kesehatan, yang dilaksanakan di Balai Agung
Balai Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hari ini dilaksanakan acara
penyerahan dana bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada
296
Pemerintah Kabupaten/Kota BODETABEKJUR sebesar Rp. 24 milyar untuk
peningkatan sarana prasarana pendidikan dan kesehatan, yang dilaksanakan di
Balai Agung Balai Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.Hari ini dilaksanakan
acara penyerahan dana bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
kepada Pemerintah Kabupaten/Kota BODETABEKJUR sebesar Rp. 24 milyar
untuk peningkatan sarana prasarana pendidikan dan kesehatan, yang dilaksanakan
di Balai Agung Balai Kota Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
http://bkspjabodetabekjur.jakarta.go.id/berita/index.php?id=1
13/09/2006
Lokakarya pengembangan wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil.
Sebagai usaha peningkatan pengembangan sumber daya laut di Selat Karimata,
Departemen Dalam Negeri bekerjasama dengan Instansi terkait mengadakan
lokakarya pengembangan wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil, yang
dilaksanakan di Jakarta yang dihadiri oleh unsur-unsur kelautan seluruh Indonesia.
Pada lokakarya ini dibahas mengenai pemanfaatan air laut yang diolah menjadi air
tawar, mengingat di Indonesia bagian timur sangat membutuhkan akan air bersih
bagi rumah tangga. Pertemuan ini juga menghadirkan Sekretariat BKSP
JABODETABEKJUR sebagai nara sumber, karena berkaitan dengan pelaksanaan
lokakarya tersebut dibutuhkan pula suatu pola kerjasama antar daerah dalam usaha
peningkatan kebutuhan daerah. Sehingga pelaksanaan koordinasi dan kerjasama
antar daerah dapat dilaksanakan dengan baik.
02/10/2006
Pelaksanaan Rapat Forum Kerja BKSP JABODETABEKJUR di Hotel Horison
Bandung, sekaligus penandatanganan Kesepakatan Bersama dan Pearturan
Bersama Gubernur, Bupati dan Walikota.
Setiap dalam 1 (satu) tahun anggaran Sekretariat BKSP JABODETABEKJUR
selalu mengadakan Rapat Kerja Forum BKSP JABODETABEKJUR yang
297
dilaksanakan 2 (dua) kali dalam setahun. Rpat forum ini suatu forum bertemuanya
Gubernur, Bupati dan Walikota dalam hal ini Gubernur Provinsi DKI Jakarta,
Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten dan Bupati/Walikota BODETABEKJUR.
Dalam forum ini dibahas mengenai evaluasi seluruh kegiatan yang sudah dan
sedang dilaksanakan sekaligus perencanaan kegiatan pada tahun anggaran
berikutnya. Pelaksanaan Rapat Forum Kerja BKSP JABODETABEKJUR di Hotel
Horison Bandung, sekaligus penandatanganan Kesepakatan Bersama dan
Peraturan Bersama Gubernur, Bupati dan Walikota JABODETABEKJUR. Secara
rinci adalah penandatangan :
Peraturan Bersama Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Gubernur
Jawa Barat, Gubernur Banten, Bupati Bogor, Walikota Bogor, Walikota Depok,
Bupati Tangerang, Walikota Tangerang, Bupati Bekasi, Walikota Bekasi Dan
Bupati Cianjur Tentang Badan Kerjasama Pembangunan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Kabupaten Bogor, Kota
Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Bekasi,
Kota Bekasi, dan Kabupaten Cianjur.
Keputusan Bersama Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Gubernur
Jawa Barat, Gubernur Banten, Bupati Bogor, Walikota Bogor, Walikota Depok,
Bupati Tangerang, Walikota Tangerang, Bupati Bekasi, Walikota Bekasi dan
Bupati Cianjur tentang Kerjasama Di Bidang Administrasi Kependudukan dan
Catatan Sipil Di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur
(JABODETABEKJUR).
Keputusan Bersama Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Gubernur
Jawa Barat Dan Gubernur Banten Tentang Perubahan Atas Keputusan Bersama
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Dan Gubernur Kepala Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 126/Sk.1884.Jabotabek/97 Dan 2169 Tahun 1997
Tentang Penetapan Titik Koordinat Tanda Batas Wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Dan Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
298
"PEMANTAPAN RANCANGAN KEPPRES PENATAAN RUANG
JABOTABEK "
http://www.pu.go.id/Ditjen_ruang/Tarunews/taru0908011.html
Jakarta, 9 Agustus 2001
Tanggal 27 Juni 2001 yang lalu telah diadakan kegiatan Ekspose Rancangan
Keppres Penataan Ruang Kawasan Jabotabek yang dipimpin oleh Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah. Tujuan diadakannya kegiatan sosialisasi ini
adalah untuk mendapatkan tanggapan, masukan dan saran terhadap
penyempurnaan RaKeppres tersebut yang melibatkan instansi pusat dan instansi
daerah (Pemda, Bappeda, DPRD), perguruan tinggi, LSM, dan asosiasi-asosiasi
profesi. Penyempurnaan oleh tim kecil dilakukan pada tanggal 3-4 Agusutus 2001
berdasarkan masukan dan tanggapan yang diperoleh dari ekspose tersebut. Tim
Kecil ini terdiri dari Sekretariat Tim Teknis BKTRN, BKSP Jabotabek, wakil-
wakil dari masing-masing pemda serta instansi-instansi pusat terkait.
Sebagai tindak lanjut kegiatan ekspose tersebut, pada tanggal 9 Agustus 2001
Direktorat Jenderal Penataan Ruang selaku Sekretariat Tim Teknis BKTRN
bekerja sama dengan BKSP Jabotabek memfasilitasi pemantapan Rancangan
Keppres Jabotabek hasil penyempurnaan tim kecil. Acara pemantapan RaKeppres
tanggal 9 Agustus tersebut dipimpin oleh Ketua Pokja 1 BKTRN dan juga
melibatkan instansi pusat, instansi daerah (Pemda, Bappeda, DPRD), perguruan
tinggi, LSM, dan asosiasi profesi.
299
Seluruh unsur yang dilibatkan menyatakan bahwa Rancangan Keppres Jabotabek
diperlukan sebagai pedoman atau wadah hukum pengaturan bersama dalam
rangka koordinasi pembangunan wilayah Jabotabek. Namun menurut floor masih
perlu penyempurnaan substansi dan peta seperti misalnya : perlunya memuat
ketentuan tentang kewenangan pemerintah pusat dan masing-masing daerah,
sharing/dukungan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam
mengimplementasikan Keppres tersebut menjadi jelas, perlunya pengaturan sistem
pariwisata dan sistem komunikasi antar daerah, pengendalian banjir, dan lain-lain.
Langkah selanjutnya tim kecil akan menyempurnakan naskah RaKeppres
Jabotabek berdasarkan masukan tanggapan maupun saran yang masuk, dan
naskah hasil penyempurnaan oleh tim kecil tersebut akan disosialisasikan kepada
pemerintah daerah.
Tata Ruang
09-08-2001
300
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/022006/22/0902.htm
GAGASAN segar dan cerdik Gubernur DKI Sutiyoso tentang kawasan
megapolitan Jakarta dengan memanfaatkan daerah di sekitarnya, Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur, Jabotabekjur - wajar-wajar saja bila "ditolak"
oleh Gubernur dan DPRD Jawa Barat. (lih. ”PR” Kamis, 8/2/2006: 1). Mungkin
karena pengalaman masa lalu, Jawa Barat sering "dikerjain" orang-orang pusat
yang banyak merugikan daerah. Selain itu ada kegamangan karena "kesepakatan
bersama" yang ditandatangani ketiga Gubernur, DKI - Jabar - Banten dan para
bupati serta Wali Kota Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, dan Cianjur, tanggal 16
Juni 2005 samasekali tidak menyingung gagasan Sutiyoso itu. Jadi ada
"kekhawatiran" pemerintah daerah Jawa Barat sebagian wilayah administratifnya
dicaplok DKI.
Isu Jakarta sebagai megapolitan bukanlah hal baru. Gubernur DKI Ali Sadikin
pertama kali melontarkan gagasan Jakarta sebagai kota metropolitan. Waktu itu
pun Ali Sadikin harus berhadapan dengan Gubernur Jawa Barat Solihin GP. Jalan
keluar pemerintah pusat pada waktu itu adalah membentuk wilayah Jabotabek
melalui kerja sama pembangunan Jabotabek antara Jabar dan DKI. Kemudian
dibentuk Badan Kerja sama Pembangunan (BKSP) Jabotabek sebagai upaya
mendukung perkembangan Jakarta ibu kota negara. Namun, sebelumnya sudah
ada apa yang disebut Sekertariat Jabar-DKI, sebagai ajang dialog dan sinkronisasi
pembangunan di kedua daerah itu. Namun badan kerja sama tersebut tidak
fungsional, bahkan keberadaannya sekarang tidak terdengar lagi.
Sudah jadi nasib
Agaknya, sudah menjadi "nasib", pada pascakepemimpinan Solihin GP Jabar
selalu "tunduk" dan menerima saja, sumuhun dawuh, atas keinginan pemerintah
301
pusat yang banyak merugikan daerah itu sendiri. Jabar harus rela dijadikan daerah
"penyangga", istilah keren-nya buffer zone, yang sesungguhnya tidak lebih dari
"keranjang sampahnya" ibu kota negara. Dari situlah awal marginalisasi daerah
Jabar, dengan terjadinya alih fungsi lahan sawah yang subur begitu cepat di daerah
utara menjadi wilayah industri. Karena tidak ditata dengan baik, maka akibatnya
terasa sekarang pada penyediaan stok pangan nasional dan kerusakan lingkungan -
padahal semangatnya adalah "Jabar sebagai lumbung padi nasional".
Di sekitar Jabotabek, alih fungsi hutan, lahan sawah dan pertanian lahan kering
terus berlangsung. Lahan ini dijadikan kawasan permukiman dari yang sederhana
hingga super modern dilengkapi sarana rekreasi, pendidikan, pembelanjaan dan
sarana sosial lainnya. Kondisi menambah risiko banjir dan kerusakan lingkungan
karena terganggunya stabilitas ekosistem baik di sekitar Jakarta maupun di seluruh
kawasan Jabotabek itu.
Namun, terlepas dari masalah sosial dan lingkungan tersebut, DKI dan Jabar kini
menghadapi dilema. Pertumbuhan kedua daerah itu demikian cepat, karena
perkembangan penduduk, meningkatnya sarana transportasi dan komunikasi
antarkota dan antardaerah serta kota-desa yang berdampak terhadap meningkatnya
intensitas migrasi antar kota dan daerah serta urbanisasi dari desa ke kota.
Celakanya daerah tujuan utama para migran dan urbanis itu tetap saja Jakarta dan
sekitarnya. Berlaku pepatah usang "ada gula ada semut."
Selain itu, konsentrasi pembangunan di DKI sebagai ibu kota negara, barangkali
masih diwarnai kuatnya pandangan tradisional masyarakat bahwa ibu kota negara
identik dengan negara itu sendiri. Kehebatan sebuah ibu kota negara adalah
manifestasi dari kehebatan negara itu sendiri. Logika awam yang terbangun adalah
bahwa Jakarta miniatur Indonesia. Maka keberadaan Jakarta sebagai ibu kota
negara tidak terelakkan lagi perlu mendapat dukungan semua pihak. Dalam
memahami logika sebab-akibat itu, diharapkan semua pihak berpikir jernih, kritis,
perspektif dan cerdas, tidak kuuleun alias memble.
302
Dilema lain, intensitas pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan
berorientasi ke Jawa. Maka tidak heran pula apabila Jawa tetap saja menjadi
daerah tujuan utama migran dan urbanis dari daerah dan desa di sekitarnya.
Berlimpah-ruahnya sebagian besar penduduk Indonesia di Jawa (70 %)
menjadikan Jawa sebuah kota pulau, megapolis. Berjubelnya manusia Indonesia di
kota-kota di Jawa memberatkan pemerintah kota, karena yang muncul adalah
kemiskinan dengan kampung kumuhnya yang berakibat terhadap degradasi
lingkungan dan munculnya budaya kekerasan.
Oleh karena itu isu megapolitan Gubernur DKI Sutiyoso sesungguhnya dapat
dijadikan momentum yang baik, sebagai peluang untuk menangani kesemrawutan
pembangunan di Jabar-DKI (karena Banten mungkin lebih senang bergabung
dengan DKI). Selama ini daerah hanya peduli kepada dirinya masing-masing, atau
egoisme daerah.
Banyak hal yang dapat dikerjakan bersama tanpa harus saling mengganggu
wilayah administratif masing-masing. Jabar dan DKI bisa memelihara aliran
Sungai Ciliwung dari hulu ke hilir antara Kabupaten Bogor - DKI untuk
menangkal "banjir kiriman" di Jakarta. Ciliwung dapat dikembangkan menjadi
alternatif angkutan barang melalui sungai Bogor - DKI. Selain itu, kedua daerah
juga bisa mengelola sampah secara terpadu untuk kesehatan penduduk dan
kebersihan lingkungan, mengupayakan suplai air bersih dari Jatiluhur atau daerah
lain di Jawa Barat ke Jakarta; pembangunan sistem transportasi murah Jabotabek -
DKI, sampai kepada urusan kartu penduduk dan pajak kendaraan sehubungan
dengan mobilitas penduduk yang begitu tinggi antara Jabotabekjur - Jakarta.
Lambat atau cepat akhirnya Jabar-DKI harus memiliki satu perencanaan
pengembangan daerah yang terkoordinasi. Ada bidang-bidang yang harus dikelola
bersama yang menyentuh kepentingan bersama yang bersifat lintas daerah. Dalam
303
mencari solusi mendesak, maka dituntut pula sikap tanggap pemerintah pusat,
presiden atau mendagri untuk tidak membiarkan masing-masing daerah mencari
upaya masing-masing yang cenderung mempertahankan kepentingannya masing-
masing.
Barangkali sudah menjadi kebutuhan mendesak sekarang adanya seorang menteri
yang bertugas bukan saja mengoordinasikan dan mengendalikan berbagai program
pembangnan yang berkelanjutan di Jawa Barat-DKI, tetapi juga untuk Indonesia
bagian barat agar khususnya Jawa bebas dari ancaman kemusnahan, karena beban
yang sudah di luar kemampuan support-system lingkungannya - analog dengan
menteri negara urusan percepatan Indonesia bagian timur. Upaya pemerintah pusat
saat ini dalam menghadapi fenomena Jabar-DKI adalah memfasilitasi
kebersamaan kedua provinsi tersebut agar ekosistem di kedua daerah tersebut
dalam jangka panjang tetap mampu menyangga kehidupan umat manusia yang
tertib, damai dan bersahabat.
Pergeseran paradigma
Konsep dan paradigma pemerintahan sekarang sudah bergeser, dari kekuasaan ke
pelayanan. Sejalan dengan itu, maka terjadi pula pergeseran konsep dari
pembangunan daerah ke pembangunan wilayah. Dalam pembangunan wilayah itu,
utamanya antara lain adalah pemanfaatan tata ruang dengan cara
mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan menuju tercapainya
kesejahteraan dan keberlanjutan umat manusia. Kendalanya adalah perilaku
birokrasi kita masih keukeuh saja mempertahankan cara-cara lama yaitu
paradigma kekuasaan.
Hal inilah yang merupakan masalah satu sumber konflik yang terjadi di berbagai
daerah sekarang. Di mana masih kentalnya kesenjangan antara gagasan perubahan
dengan praktik pemerintahan di lapangan, sebagaimana tampak dari pernyataan
304
dan tanggapan reaksi atas isu megapolitannya Gubernur DKI Sutiyoso. Hakikat
pelayanan itu yang utama adalah kesejahteraan dan keadilan bagi semua, yang
tidak lagi berorientasi pada batas-batas administratif daerah, borderless. Dalam
kasus Jabar - DKI, agaknya dialog adalah salah satu instrumen yang harus
dikedepankan. Oleh karena itu, cara terbaik untuk membangun keadilan dan
kesejahteraan bagi semua di kedua daerah tersebut adalah membina pengertian
dan kerja sama, bukan saling meniadakan, (trade off). Kedua pemerintah duduk
bersama, menyusun program dan anggaran bersama serta melaksanakan bersama-
sama dengan melibatkan seluruh stakeholders agar kedua daerah itu tetap eksis
menyangga kelangsungan hidup umat manusia.***
Penulis, dosen senior dan Ketua LPM Unpad Bandung
305
| View Thread | Return to Index | Read Prev Msg | Read Next Msg |
Wise Coastal Practices for Sustainable Human Development Forum
A regional approach to environmental quality management / Jakarta-Indonesia
(+Bahasa Indonesia)
http://www.csiwisepractices.org/?read=73
Posted By: Yoslan Nur
Date: Wednesday, 4 August 1999, at 7:01 p.m.
Bahasa Indonesia
Key words: community involvement, inter-agency coordination, public sector
awareness.
DESCRIPTION: Based on the result of an evaluation of the Jakarta Bay pilot
project, UNESCO-CSI considers that the project needs to be extended and
improved. A new project has been determined "Environmental governance and
wise management practice for tropical coastal mega-cities: sustainable human
development of Jakarta Metropolitan Area." It is a coordination forum on
sustainable human development of the Jakarta Metropolitan Area. The main aims
of the activities are to:
(1) promote greater community involvement in coastal environmental quality
development, encouraging local communities and NGOs participating in Jakarta
Metropolitan Area sustainable human development;
306
(2) integrate coastal quality improvement as one of the local government's
programmes, establishing an enabling policy environment and a system to
monitor, analyse, and disseminate the results of field activities; and
(3) develop private sector awareness (industrial zone and resort managers) in
environmental development.
The programme activities were determined as a result of the analysis of spatial
problems. For example: to reduce the pressure on coastal marine resources in
Jakarta Bay and Kepulauan Seribu, we have to find an alternative economic
activity for the local community. Similarly to reduce the pollution of Jakarta Bay
by pesticides and fertilizers and to diminish sedimentation by eroded soil, we have
to introduce an environmentally sound farming system in the upstream area (in
District of Bogor and Purwakarta, situated around 70 - 90 km from the coast).
STATUS: The project has yet to be implemented.
DISCUSSION
LONG-TERM BENEFIT: The multi-dimensional and inter-sectoral approach
should allow for long-term sustainable human development while providing
immediate benefit for the local communities.
CAPACITY BUILDING: The activities provide improved management
capabilities and education for stakeholder groups as well as knowledge and efforts
to protect the coastal marine environment. UNESCO will form partnerships with
the government, the private sector, NGOs, local communities and other donors to
demonstrate innovative approaches for managing small islands and coastal areas
307
with an emphasis on local community participation, and more efficient and
sustainable use of coastal resources.
Activities with society (local community): Training for locally-based groups on:
(1) integrated conservation and development of coastal regions and small islands
and (2) social empowerment through development of their own potentiality by
improvement of working techniques, skill development in management,
entrepreneurship to expand livelihood options; and women's participation in
economic and environmental development.
Activities with local Government: Some training activities and technical
assistance on environmental management are projected for local government staff.
Activities with the private sector: Training in industrial zones for resort area
managers on sustainable human development and the dangers of pollution for the
environment.
INSTITUTIONAL STRENGTHENING: The pilot project experience has
revealed that the environmental problems of Jakarta Bay and Kepulauan Seribu
cannot be resolved on a local level, and that a regional solution is required. There
is neither an effective management authority nor a central agency to plan for the
whole JMA or to coordinate sectoral planning in Jakarta City and West Java.
Theoretically, the Coordination Body for Jabotabek Development (Badan
Kerjasama Pembangunan or BKSP Jabotabek), should be a mechanism for inter-
regional coordination and inter-sectoral integration, as well as bottom-up and top-
down program coordination. At present, the agency has some constraints on its
ability to do so: (1) there are almost no resources nor enforcement basis available
for BKSP; (2) some agencies, notably the Jakarta and West Java Provincial
Planning Agency (Bappeda Tingkat I) overlap and duplicate the BKSP,s
responsibilities; (3) the role of BKSP in planning, programming and budgeting for
308
Jabotabek development is not specifically defined; and (4) there is a lack of
operational guidelines for Jabotabek plan implementation. BKSP has no tools to
coordinate and integrate interregional and intersectional development programmes
in the JMA. Having identified the BKSP's weaknesses, it is obvious that the
function and role of this agency needs to be strengthened by giving it a clear
status, political and financial support from central and local governments (DKI
Jakarta and West Java Provinces).
SUSTAINABILITY: The project will ensure sustainability of the ecosystem for
the future generation. 5 years after the project's termination (2000-2005) the
system installed will continue to function when the technical assistance finishes.
TRANSFERABILITY: The project of "Environmental governance and wise
management practice for tropical coastal mega-cities: sustainable human
development of Jakarta Metropolitan Area" is transferable to the others tropical
coastal mega-cities, with some adaptation (e.g. institution, development policies,
culture, etc.)
CONSENSUS BUILDING: The activity should benefit the stakeholder groups,
and provide indirect and long-term benefit for the private sector.
PARTICIPATORY PROCESS: The project will strengthen networks and
cooperation between governments, scientific institutions, universities, NGOs and
communities for policy analysis, implementation and monitoring. Indicators of
success will include the following: (1) strengthened networks for environmental
policy and law reform, as measured by the number of working groups dealing with
policy implementation including universities and NGOs established in tropical
coastal megacity management; (2) increased participation by women in coastal
management, as measured by the number of women in workshops, seminars, and
training programmes; and (3) improved information sharing on environmental
309
issues, as measured by (a) the number of environmental coastal newsletters
produced, (b) the number of coastal management seminars held annually, and
other publications and exhibitions.
EFFECTIVE AND EFFICIENT COMMUNICATION PROCESS: A
multidirectional communication process involving dialogue, consultation and
discussion is planned in this project, e.g. an annual workshop for the principle
stakeholders, community learning centre, brochures, result of development
process, etc.
STRENGTHENING LOCAL IDENTITIES-DECENTRALIZATION: The
development programmes in JMA are mostly central government oriented in
implementation, whereas the involvement of the community and local government
is very limited. An effort towards decentralization of the development plan,
programmes, and realization are needed. The project has planned to improve the
efficiency of the Coordination Body for Jabotabek Development and local
government's involvement in the improvement of the quality of life and of the
environment.
PUBLIC POLICY: In terms of public policies, technical assistance will be given
to central government and local governments in land use planning, evaluation of
environmental standards and norms of quality coastal resource management
guidelines and political instruments for the protection of the environment.
REGIONAL DIMENSION: The project design is based on the perception that the
Jakarta Bay and Kepulauan Seribu is ecologically part of the Jakarta Metropolitan
Area and on the assumption that environmental degradation in this area is caused
by environmental governance.
310
EVALUATION: The success achieved in the overall strategic objective will be
measured by: (1) improvement of environmental quality in the Jakarta
Metropolitan Area, particularly the seawater quality in Jakarta Bay; (2) the
number of local communities actively participating in environmental planning,
implementation and management; (3) the number of NGOs strengthened to
promote improved coastal Jakarta Metropolitan Area environmental quality; and
(4) the number of partnerships among the local governments, the private sector,
and communities for locals and regional environmental impact planning and
monitoring that have been strengthened.
******************************************************************
*********************************
PENDEKATAN REGIONAL DALAM PENGELOLAAN MUTU
LINGKUNGAN HIDUP/TELUK JAKARTA-INDONESIA
DESKRIPSI. Berdasarkan hasil evaluasi proyek pilot Teluk Jakarta setelah tiga
tahun pelaksanaan, UNESCO-CSI berkesimpulan bahwa perlu peningkatan dan
pengembangan pilot proyek tersebut. Dalam rangka itu sebuah proyek sedang
dirumuskan, "Environmental governance and wise practices for tropical coastal
mega-cities: Sustainable human development of the Jakarta Metropolitan Area".
Proyek ini akan berfungsebagi sebuah forum koordinasi dari proyek-proyek yang
berkaitan dengan peningkatan kualitas lingkungan hidup di Kawasan Metropolitan
Jakarta, garis begar kegiatan adalah sebagai berikut: (1) Menggalakkan partisipasi
masyarakat dalam peningkatan kualitas lingkungan hidup dengan mendorong
partisipasi masyarakat dan LSM dalam pembangunan masyarakat berkelanjutan;
(2) Mengintegrasikan kegiatan peningkatan kualitas kawasan pesisir sebagai salah
satu bagian dari program permbangunan pemerintah (pusat dan daerah),
merumuskan kebijaksanaan lingkungan hidup dan system pemantauan, analisis
and desiminasi hasil lapangan; dan (3) Meningkatkan kesadaran sektor swasta
(para pengelola kawasan pariwisata dan kawasan industri) akan pentingnya arti
dari pelertarian lingkungan hidup. Program kegiatan disusun berdasarkan analisa
311
ruang dari permasalahan, misalnya : untuk mengurangi tekanan masyarakat
terhadap sumberdaya pesisir yang disebabkan oleh tata cara penangkapan ikan
yang tidak berwawasan lingkungan (pemakaian bom ataupun racun) maka kita
akan cari alternatif kegiatan ekonomi baru bagi masyarakat setempat yang sifatnya
tidak merusak lingkungan; dan untuk menurunkan polusi perairan Teluk Jakarta
oleh pestisida dan pupuk maka kita akan memperkenalkan dan membimbing
petani yang berada di hulu (di Kabupaten Bogor dan Purwakarta, terletak sekitar
70 hingga 90 km dari pantai) untuk melakukan praktek pertanian berwawasan
lingkungan.
MANFAAT JANGKA PANJANG. Pendekatan multi-dimensi and intersectoral
akan memungkinkan terlaksanannya pembangunan masyarakat berkelanjutan
tanpa mengabaikan manfaan langsung dari proyek tersebut terhadap masyarakat
pelakunya.
PENINGKATAN KEMAMPUAN. Peningkatan kemampuan pengelolaan
kawasan pesisir bagi para pelaku yang terlibat merupakan bagain dari proyek ini.
UNESCO dengan bekerjasama dengan Pemda, sektor swasta, LSM, masayarakat
dan para donator lainnya akan memperkenalkan pendekatan baru dalam mengelola
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, melalui partisipasi masyarakat dengan cara
yang lebih efisien untuk menjaga kelestarian sumberdaya pesisir.
- Masyarakat. Pelatihan bagi masyarakat tentang: (1) konservasi dan
pembangunan terintegrasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; (2)
pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan berdasarkan potensi ekonomi
yang mereka miliki dengan bantuan peningkatan teknologi, keahlian managerial,
kewiraswastaan untuk memperbaiki perekonomian keluarga, peningkatan
partisipasi wanita dalam perekonomian dan pembangunan berkelanjutan.
312
- Pemerintah daerah. Pelatihan dan bantuan teknik dalam pengelolaan lingkungan
hidup akan diberikan kepada staf Pemda.
- Sektor swasta. Pelatihan bagi pengelola kawasan pariwisata dan kawasan
industri dalam rangka meningkatkan kepedulian mereka terhadap pentingnya arti
pemeliharaan kualitas lingkungan hidup dan membekali mereka dengan
keterampilan mengelola limbah yang di produksi kawasan pariwisata dan kawasan
industri.
PEMBANGUNAN KELEMBAGAAN. Berdasarkan pengalaman proyek pilot,
permasalahan lingkungan hidup di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu tidak
dapat dipecahkan hanya pada tingkat lokal, melainkan kita butuh pemecahan
persoalan yang skalanya regional, Kawasan Metropolitan Jakarta. Hingga saat ini
belum ada satu pun Badan Pemerintah yang berhasil menangani pembangunan dan
pengelolaan Kawasan Jakarta Metropolitan (DKI Jakarta dan beberap[a Dati II di
Jawa Barat) secara keseluruhan. Pada prinsipnya, Badan Kerjasama Pembangunan
Jabotabek (BKSP) adalah satu-satunya badan yang bertanggung jawab atas
koordinasi inter-regional dan inter-sectoral baik antara pemerintah pusat dan
instansi-instansi lain yang terlibat dalam pembangunan Jabotabek. Pada saat ini,
BKSP menghadapi beberapa persolan untuk melaksanakan tugas ini, persoalan
yang dihadapi anatara lain: (1) tidak ada dana khusus yang diperuntukkan bagi
kegiatan BKSP; (2) kegiatan BKSP bertumpang tindih dengan beberapa lembaga
pemerintah lainnya, teurama Bappeda Tkt. I DKI Jakarta dan Jawa Barat; (3)
peran BKSP dalam perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan dan penyususnan
anggaran pembangunan Jabotabek tidak begitu jelas; dan (4) tidak ada petunjuk
pelaksanaan pembangunan di Jabotabek. Singkatnya BKSP tidak memiliki alat
untuk mengkoordinaksikan dan mengintegrasikan program pembangunan di
Jabotabek. Setelah mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi BKSP, ditarik
kesimpulan bahwa Pemerintah Pusat dan Daerah perlu memberikan dukungan
kepada lembaga ini (berupa penjelesan statusnya, dukungan politik dan
pendanaan) agar dapat menjalankan tugas dan fungsi dengan baik.
313
KEBERLANJUTAN. Proyek ini bermaksud untuk berkontribusi dalam pelestarian
lingkungan hidup agar tetap dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Pada
akhir 5 tahun pelaksanaan proyek, 2000-2005, diharapkan sistem yang sudah
dibangun akan tetap berjalan secara mandiri meskipun bantuan teknik dari
UNESCO sudah dihentikan.
TRANSFERABILITAS. Proyek "Environmental governance and wise practices
for tropical coastal mega-cities: Sustainable human development of the Jakarta
Metropolitan Area" dapat dengan mudah diterakpan di mega-city tropis lainnya,
tentu sebelumnya harus dilakukan beberap adaptasi (seperti kelembagaan,
kebijaksanaan pembangunan, budaya, dsb.)
PARTISIPASI MASYARAKAT. Proyek ini akan memperkuat jaringan kerja
antara Pemerintah (Pusat dan Daerah), lembaga-lembaga penelitian, universitas,
LSM dan masyarakat dalam rang perumusan kebijasanaan, pelaksanaan dan
pemantauan. Kriteria keberhasilan dari proyek akan dinilai dari : (1) keeratan
kerjasama dalam perumusan peraturan dan kebijaksanaan lingkungan hidup dapat
diukur dari jumlah kelompok kerja yang terlibat dalam kegiatan ini;
(2)peningkatan partisipasi wanita dalam pengelolaan kawasan pesisir dapat dinilai
dari jumlah wanita yang berpartisipasi dalam rapat-rapat kerja, seminar, program
pelatihan; (3) peningkatan penyebaran informasi di bidang lingkungan hidup dapat
dinilai dari (a) jumlah newsletter yang diterbitkan, (b) jumlah seminar, rapat kerja
ataupun pertemuan-pertemuan tentang lingkungan hidup; dan publikasi lainnya
seperti pameran, dsb.
EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PROSES KOMUNIKASI. Komunikasi multi
arah yang mencakup dialog, konsultasi dan diskusi akan digalakkan dalam proyek
ini melalui : Rapat Kerja tahunan antara para pelaku pembangunan, pusat
penduidikan masyarakat, publikasi, brosur, laporan etc.
314
DESENTRALISASI. Program-program pembangunan di Jabotabek sebagian
besar adalah proyek Pemerintah Pusat, dimana peranan masyarakat dan Pemda
sangat terbatas. Proyek ini menggalakan usaha desentralisasi perencanaan,
penyusunan program, dan realisasi pembangunan. Peranan BKSP dan Pemda
perlu diperkuat unutuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan tingkat hidup
dari masyarakat setempat.
KEBIJASANAAN PEMERINTAH. Akan diberikan bantuan teknik terhadap
beberapa instansi Pemerintah Pusat dan daerah dalam hal: penataan ruang,
evaluasi standar dan norma-norma lingkungan hidup di kawasan pesisir dan
mempersiapkan kebijakaan pemerintaha (pusat dan daerah) dalam pelestarian
lingkungan hidup.
DIMENSI REGIONAL. Rancangan proyek didasarkan atas persepsi bahwa Teluk
Jakarta dan Kepulauan Seribu secara ekologis merupakan bagain yang tak
terpisahkan dara Kawasan Metropolitan Jakarta; dan didasarkan juga atas asumsi
bahwa perusakan lingkungfan hidup di kawasan ini berasal dari permasalahan
pengelolaan.
EVALUASI. Keberhasilan proyek akan diukur dengan kriteria sebagai berikut :
(1) peningkatan kualitas lingkungan hidup di Kawasan Metropolitan Jakarta,
khususnya kualitas air di Teluk Jakarta; (2) jumlah masyarakat yang secara aktif
berpartisipasi dalam perencaan, pelaksanaan dan pengelolaan lingkungan hidup;
(3) jumlah LSM yang terlibat dalam usaha peningkatan kualitas lingkungan hidup
di Kawasan Metropolitan Jakarta; dan (4) jumlah kerjasama antara pemda dengan
pihak swasta dan masyarakat dalam perencanaan dan pemantauan lingkungan
hidup.
Messages in This Thread
315
A regional approach to environmental quality management / Jakarta-Indonesia
(+Bahasa Indonesia)
Yoslan Nur
Bay Management
Ian Dutton
How societal thinking shapes attitudes to resource exploitation /
Indonesia.(+Bahasa Indonesia)
Boedhihartono and Nurlini Kasri
Assessing the way society views natural resources / Indonesia and Russia
Ian Dutton and Michael Shilin
SEND YOUR REACTION/RESPONSES TO THE MODERATOR.
| View Thread | Return to Index | Read Prev Msg | Read Next Msg |
Top Related