BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mata sebagai indra penglihatan dapat terkena berbagai kondisi yang salah
satunya disebabkan oleh infeksi ataupun peradangan. Bila terjadi infeksi pada
mata dan tidak segera ditangani ataupun diobati maka akan menyebabkan
gangguan mata dan menimbulkan berbagai macam komplikasi. Salah satu infeksi
pada mata adalah endoftalmitis1.
Endoftalmitis adalah peradangan berat pada rongga intraokular yaitu humor
aqueus dan humor vitreus akibat infeksi setelah trauma ataupun pembedahan, atau
endogen akibat sepsis. Peradangan supuratif di dalam rongga intraokular akan
memberikan abses di dalam badan kaca. Penyebab endoftalmitis supuratif adalah
bakteri dan jamur yang masuk bersama trauma tembus (eksogen) atau sistemik
melalui peredaran darah (endogen)2. Diagnosis endoftalmitis selalu berdasarkan
kondisi klinis. Biasanya ditandai dengan kehilangan penglihatan secara akut, nyeri
hebat pada mata, periorbital edema, hipopian, proptosis dan adanya eksudat di
camera oculi anterior (COA) dan vitreous3.
Di Amerika Serikat kasus endoftalmitis endogen jarang terjadi, hanya
terjadi pada 2-15% dari semua kasus endoftalmitis. Sekitar 60% kasus disebabkan
oleh endoftalmitis eksogen. Penyebab paling umum adalah endoftalmitis post
katarak. Endoftalmitis post traumatik terjadi pada 4-13% dari semua cidera
penetrasi okular. Kejadian endoftalmitis yang disebabkan oleh benda asing
intraokular didapatkan 7-13%. Keterlambatan dalam perbaikan luka tembus pada
bola mata berkolerasi dengan peningkatan resiko berkembangnya endoftalmitis4.
Etiologi dari endoftalmitis dapat diketahui dengan kultur humor aqueus dan
humor vitreus. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat bermanfaat adalah
ultrasonografi dan polymerase chain reaction (PCR). Hasil kultur menentukan
jenis penyebab dan antibiotika yang tepat untuk mengatasinya. Pada kasus
endoftalmitis pasca operatif dapat dilakukan tanpa tindakan vitrektomi. Toksin
yang dihasilkan organisme penyebab dapat merusak jaringan dan menimbulkan
reaksi radang dan berahir pada hilangnya penglihatan5.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Mata
Gambar 1. Anatomi Mata
Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu1 :
1. Sklera, merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberi bentuk pada
bola mata dan bagian terluar yang melindungi bola mata.
2. Jaringan uvea, merupakan jaringan vaskular yang terdiri atas iris, badan
siliar dan koroid. Pada iris terdapat pupil yang berfungsi mengatur
jumlah sinar masuk ke dalam bola mata oleh otot dilator, sfingter iris
dan otot siliar. Badan siliar yang terletak dibelakang iris menghasilkan
humor aqueus yang dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak pada
pangkal iris.
3. Retina, terletak paling dalam dan memiliki 10 lapisan yang merupakan
membrane neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan
pada saraf optik dan diteruskan ke otak.
2
Corpus vitreus atau badan kaca yang menempati daerah belakang lensa
merupakan bagian terbesar dari isi bola mata yaitu sebesar 4/5 dari isi bola mata.
Corpus vitreus merupakan masa glatinosa dengan volume 4,3 cc, bersifat
transparan, tak berwarna dengan konsistensi seperti gelatin dan avaskular. Corpus
vitreus berfungsi membentuk bola mata dan merupakan salah satu media refraksi6.
2.2. Definisi
Endoftalmitis adalah peradangan pada seluruh jaringan intraokular, yang
mengenai dua dinding bola mata yaitu retina dan koroid tanpa melibatkan sklera
dan kapsula tenon, yang terjadi akibat adanya infeksi2.
2.3. Klasifikasi
Endoftalmitis infeksi diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis dan
waktu awitan. Klasifikasi endoftalmitis secara luas yaitu endoftalmitis pasca
operasi, endoftalmitis pasca trauma dan endoftalmitis endogen. Endoftalmitis
pasca operasi diklasifikasikan menjadi: 1) endoftalmitis akut pasca operasi, 2)
endoftalmitis kronik pasca operasi dan 3) endoftalmitis yang berhubungan dengan
filter bleb konjungtiva7.
2.3.1.Endoftalmitis Pasca Operasi
Endoftalmitis akut pasca bedah katarak adalah bentuk paling sering dari
endoftalmitis, dan hampir selalu disebabkan oleh infeksi bakteri8. Endoftalmitis
akut pasca operasi katarak merupakan endoftalmitis yang terjadi dalam waktu
enam minggu setelah operasi katarak7. Namun, dalam 75-80% kasus muncul di
minggu pertama pasca operasi. sekitar 56-90% dari bakteri yang menyebabkan
akut endoftalmitis adalah gram positif, dimana yang paling sering adalah
Staphylococcus epidermis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus. Pada
pasien dengan endoftalmitis akut pasca operasi ditemui injeksi silier, hilangnya
refleks fundus, hipopion, pembengkakan kelopak mata, fotofobia, penurunan
visus dan kekeruhan vitreus8.
Endoftalmitis pseudofaki kronik biasanya berkembang empat hingga enam
minggu. Biasanya, keluhan pasien ringan hingga sedang dengan tanda-tanda mata
3
merah, penurunan ketajaman visus dan adanya fotofobia. Sedangkan tanda-tanda
khas adanya kapsul putih dan kekeruhan di badan vitreus lebih kurang
dibandingkan endoftalmitis akut. Penyebab endoftalmitis pseudofaki kronik
adalah beberapa bakteri dengan virulensi rendah. Mikroorganisme yang sering
ditemukan sebagai penyebab diantaranya Propionibacterium acnes,
Staphylococcus koagulase negatif dan jamur7.
Endoftalmitis terkait bleb filter konjungtiva. Pembentukan fistula filtrasi
mengarahkan cairan ruang bawah konjungtiva. Akumulasi cairan ini dapat
menjadi situs peradangan yang dapat disebabkan adanya inokulasi bakteri selama
operasi, atau bisa terjadi selama periode pasca operasi. Mikroorganisme
penyebabnya yaitu Hemophilus influenza dan Staphylococcus sp7.
2.3.2.Endoftalmitis Pasca Trauma
Setelah terjadi cedera mata, endoftalmitis terjadi dalam persentase tinggi
(20%), terutama jika terkait dengan adanya benda asing intraokular. Manifestasi
klinis endoftalmitis pasca trauma adalah rasa sakit, injeksi siliaris, hipopion dan
kekeruhan di vitreus. Agen bakteri yang paling sering menyebabkan endoftalmitis
post trauma adalah dari kelompok Bacillus dan Streptococcus9.
Jamur yang sering mengakibatkan endoftalmitis supuratif adalah
aktinomises, aspergillus, phitomikosis sporothrix dan kokidioides. Endoftalmitis
yang disebabkan oleh jamur, masa inkubasinya lambat kadang-kadang 14 hari
setelah infeksi dengan gejala mata merah dan sakit14.
Dalam endoftalmitis post traumatik, khususnya dengan masuknya benda
asing, sangatlah penting untuk dilakukan vitrektomi segera, dengan membuang
benda asing intraokular dan aplikasi terapi antibiotik yang kuat9.
2.3.3.Endoftalmitis Endogen
Bentuk endoftalmitis ini tidak berhubungan dengan operasi atau pun
trauma. Endoftalmitis endogen biasanya disebabkan oleh yakit sistemik, baik
melalui mekanisme penurunan pertahanan host atau adanya fokus popentensial
infeksi. Penyebab tersering adalah sepsis, pasien dengan penurunan kekebalan
tubuh kronis, penggunaan kateter dan kanula intravena. Agen bakteri yang
4
biasanya menyebabkan endoftalmitis endogen adalah Staphylococcus aureus,
Escherichia coli, dan spesies Streptococcus. Namun agen yang paling sering
menyebabkan endoftalmitis endogen adalah jamur (62%), bakteri gram positif
(33%), dan bakteri gram negatif (5%) kasus9.
2.4. Etiopatogenesis
Endoftalmitis terjadi akibat infiltrasi mikroorganisme patogen ke dalam
intraokuler. Perjalanan penyakit dan tingkat keparahan dipengaruhi oleh virulensi
dan jumlah inokulasi mikroorganisme patogen, keadaan imunologis pasien dan
waktu dilakukannya pemeriksaan8.
Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal mata, bersifat relative
tidak virulen, namun dilaporkan dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan
yang bermakna. Staphylococcus epidermidis memiliki protein adhesive di
permukaannya yang dapat melindunginya dari respon imun tubuh dan antibiotik.
Dilaporkan menyebabkan tajam penglihatan akhir 20/400 atau lebih buruk.
Staphylococcus aureus menghasilkan beberapa faktor virulen, yaitu adhesin,
toksin sitolitik dan enzim proteolitik yang diatur oleh regulator transkripsi
staphylococcal accessory regulator (sar) dan accessory gene regulator (agr).
Adhesin yang diproduksi memudahkan perlekatan dengan matriks ekstraselular
dan protein plasma. Staphylococcus aureus menghasilkan toksin alfa, beta,
gamma, delta dan Panton-Valentine leukocidin (PVL) yang berperan dalam
perusakan sel dan pelepasan mediator inflamasi. Beberapa penelitian
menyebutkan toksin alfa merupakan faktor virulen Staphylococcus aureus yang
terpenting9.
Pseudomonas aeruginosa mampu menginvasi sel epitel dan hidup serta
bermultiplikasi di dalamnya. Bakteri ini menghasilkan eksotoksin yang
menghambat sintesis protein dan merusak membran sel. Enzim protease yang
dihasilkan menghancurkan matriks ekstraselular stroma kornea dan sel-sel imun8.
Terdapat tiga fase infeksi pada endoftalmitis, yaitu fase inkubasi, fase akselerasi
dan fase destruksi. Fase inkubasi awal berlangsung selama 16-18 jam, dimana
belum terdapat gejala klinis. Selanjutnya, inokulasi mikroorganisme patogen
intraokuler diatas batas kritis akan diikuti dengan kerusakan barier akuos, ditandai
5
dengan eksudasi fibrin dan infiltrasi neutrofil ke bilik mata depan. Fase inkubasi
ini ditentukan oleh waktu regenerasi mikroorganisme patogen dan karakteristik
spesifik mikroorgansime patogen seperti produksi toksin. Infiltasi tertinggi
terdapat pada Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis, yang
terjadihanya dalam 3 hari setelah infeksi10.
Reaksi imun yang terjadi juga mengakibatkan edema kornea, infiltrasi sel
inflamasi ke badan vitreus dan periflebitis retina. Reaksi inflamasi pada segmen
anterior diikuti dengan reaksi imun spesifik infiltrasi makrofag dan limfosit di
vitreus. Hanya dalam 3 hari setelah infeksi intraokuler, akan dihasilkan antibodi
spesifik terhadap mikroorganisme patogen. Antibodi ini berkontribusi membasmi
mikroorganisme patogen dengan opsonisasi dan fagositosis dalam waktu 10 hari.
Pada saat ini pemeriksaan kultur cairan akuos atau vitreus dapat negatif
disebabkan reaksi inflamasi yang berat sedang berlangsung. Fase ini merupakan
fase detruksi, dimana mediator dan sel inflamasi akan menimbulkan efek
destruktif pada retina dan proliferasi vitreoretina10.
2.5. Manifestasi Klinis
Pengenalan dini terhadap kecurigaan endoftalmitis memegang peranan
penting dalam penegakan diagnosis. Berdasarkan anamnesis, didapatkan riwayat
operasi intraokuler dalam waktu 6 minggu terakhir atau trauma tembus.
Manifestasi klinis yang paling sering dikeluhkan menurut studi EVS diantaranya
penurunan tajam penglihatan pada 94% pasien, mata merah pada 82% pasien,
nyeri pada 74% pasien dan edem palpebra pada 35% pasien. Gejala lain yang
dapat ditemukan diantaranya fotofobia dan lesi putih pada kornea10.
6
Gambar 2. Gambaran Klinis Endoftalmitis
Temuan klinis endoftalmitis akut pada pemeriksaan diantaranya defek pupil
aferen, konjungtiva kemosis dan hiperemis, edema dan infiltrasi kornea, sel dan
dan flare pada bilik mata depan, hipopion. EVS melaporkan hipopion ditemukan
pada 86% pasien. Kelainan segmen posterior dapat ditemukan berupa penurunan
atau bahkan hilangnya reflex fundus, vitritis, retinitis, ablasi retina dan periflebitis
retina8.
2.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendiagnosa endoftalmitis selain melihat gejala klinis, dibutuhkan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang penting dilakukan
diantaranya adalah pewarnaan gram, kultur dan sensitivitas antimikroba dengan
sampel cairan akuos dan vitreus8. Pemeriksaan kultur mikrobiologi tidak dapat
mengidentifikasi seluruh kasus infeksi. Pada studi yang dilakukan di Inggris,
dilaporkan kultur positif hanya didapatkan sebesar 55%. Kultur cairan akuos saja
tidak cukup menunjang diagnosis, karena terdapat 57% kultur akuos negatif pada
endoftalmitis pasca operasi katarak dengan kultur vitreus positif8. Berlainan
dengan hal tersebut, dilaporkan oleh Mollan et al dan survey British
Ophthalmological Surveillance Unit (BOSU) terdapat 60% kasus kultur akuos
positif, dengan kultur vitreus negatif12.
Pemeriksaan biologi molekuler, teknik Polymerase Chain Reaction (PCR)
memiliki beberapa kelebihan dibandingkan pemeriksaan kultur. Diantaranya dapat
mendeteksi bakteri dalam jumlah kecil dari sampel yang sedikit, dapat
7
memberikan informasi kuantitatif dan bahkan dapat mendeteksi bakteri pada
pasien yang telah diberikan antibiotik intravitreal12.
Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan adalah ultrasonografi
(USG). Pemeriksaan ultrasonografi dapat bermanfaat terutama bila sulit menilai
segmen posterior karena kekeruhan segmen anterior. Ultrasonografi dapat
mendeteksikekeruhan vitreus, membran vitreus, penebalan korioretina, ablasi
retina, choroidal detachment dan sisa masa lensa12.
Gambar 3. Ultrasonografi Mata
2.7. Penatalaksanaan
Endoftalmitis akut merupakan kasus emergensi, memerlukan tatalaksana
yang cepat dan tepat untuk dapat mempertahankan fungsi penglihatan.
Tatalaksana dapat berupa pemberian medikamentosa maupun operasi11.
Tujuan utama tatalaksana endoftalmitis adalah eradikasi mikroorganisme
patogen, mengatasi komplikasi dan mengembalikan atau mempertahankan fungsi
penglihatan terbaik. Tujuan tambahan dari tatalaksana endoftalmitis diantaranya
menghilangkan keluhan, mencegah panoftalmitis dan mempertahankan integritas
bola mata11.
Terapi medikamentosa terdiri dari antibiotik dan anti inflamasi sebagai
terapi definitif. Cara pemberian obat ini dapat dengan injeksi intravitreal, injeksi
8
subkonjungtiva, topikal ataupun sistemik. Terapi medikamentosa lainnya seperti
obat anti glaukoma dan sikloplegik dapat diberikan sebagai terapi suportif11.
2.7.1.Injeksi Antibiotik Intravitreal
Injeksi antibiotik intravitreal merupakan terapi utama endoftalmitis akut.
Konsentrasi antibiotik intraokuler setelah injeksi intravitreal lebih tinggi
dibandingkan cara pemberian lain. Injeksi antibiotik subkonjungtiva dan
antibiotik topikal tidak mencapai konsentrasi obat intravitreal yang cukup8.
Gambar 4. Injeksi Intravitreal
Tatalaksana awal yang cepat sangat penting dalam keberhasilan tatalaksana
endoftalmitis akut pasca operasi katarak sehingga antibiotik harus diberikan tanpa
menunggu hasil kultur. Vankomisin memiliki spektrum luas terhadap bakteri
gram positif termasuk MRSA dan B.aureus. Vankomisin tidak bersifat toksik
pada dosis terapi 1mg/0,1 mL dan memiliki waktu paruh yang panjang. Studi EVS
melaporkan 100% bakteri gram positif sensitif terhadap vankomisin8.
Pilihan terbaik antibiotik terhadap bakteri gram negatif masih kontroversial.
Aminoglikosida (gentamisin 0,1 mg/0,1 mL atau amikasin, 0,4 mg/0,1mL)
sebelumnya penggunaannya direkomendasikan untuk bakteri gram negatif.
Beberapa studi melaporkan bahwa aminoglikosida bersifat toksik terhadap retina
dan RPE pada dosis tidak jauh dari dosis terapi. Amikasin dilaporkan kurang
toksik dibandingkan gentamisin. Ceftazidim direkomendasikan terhadap bakteri
gram negatif karena memiliki spektrum luas, toksisitas terhadap retina lebih
9
rendah 2,36 dan 100% bakteri gram negatif sensitif terhadap ceftazidim.
Kelebihan ceftazidim lainnya yaitu ceftazidim lebih efektif dibandingkan
amikasin dalam suasana asam dan hipoksik yang ditemukan pada vitreus dengan
endoftalmitis. Pemberian antibiotik vankomisin dan ceftazidim intravitreal
kombinasi harus dengan spuit terpisah karena jika digabungkan akan mengalami
presipitasi8.
Vitreous tap dan injeksi antibiotik ulang dapat diberikan bila tidak ada
perbaikan atau terjadi perburukan dalam 48-72 jam. EVS melaporkan kasus
dengan vitreous tap dan injeksi antibiotik ulang maupun prosedur tambahan
lainnya memiliki derajat penyakit yang lebih berat sehingga memiliki prognosis
yang lebih buruk8.
Gambar 5. Alur Follow Up Intervitrreal Antibiotik
10
Injeksi intravitreal
Ulangi injeksi intravitreal
Bertambah buruk
Refleks fundus (+) Reaksi COA,
Lanjutkan terapi
Bertambah buruk (-)
Konsul Spesialis Lanjutkan terapi oral / topikal
Pars plana vitrectomy (PPV)
MembaikTidak ada perubahan signifikan
24-36 jam pertama setelah injeksi
2.7.2. Injeksi Antibiotik Subkonjungtiva dan Antibiotik Topikal
Injeksi antibiotik subkonjungtiva dan antibiotik topikal sering diberikan
sebagai tambahan injeksi antibiotik intravitreal pada kasus endoftalmitis pasca
operasi katarak. Rasionalisasi pendekatan ini adalah untuk mendapatkan
konsentrasi antibiotik intraokuler yang lebih tinggi dan mencapai konsentrasi
antibiotik yang lebih tinggi pada segmen anterior dibandingkan dengan injeksi
intravitreal saja. Pemberian antibiotik topikal memiliki daya penetrasi vitreus
yang sangat buruk walaupun pada mata afakik. Regimen antibiotik yang diberikan
disesuaikan hasil kultur dan sensitifitas, diantaranya 1) vankomisin
subkonjungtiva (25mg dalam 0,5 mL) dan ceftazidim subkonjungtiva (100mg
dalam 0,5 mL) dan 2) vankomisin topikal (50mg/mL) dan ceftazidim (100
mg/mL) tiap setengah hingga 1 jam12.
2.7.3.Antibiotik Sistemik
Pemberian antibiotik intravena masih kontroversi mengenai manfaatnya.
Sawar darah okuler tidak intak pada keadaan inflamasi, namun tidak jelas apakah
konsentrasi antibiotik intravitreal cukup setelah pemberian antibiotik intravena.
EVS melaporkan pemberian antibiotik intravena tidak bermanfaat sebagai
tambahan injeksi antibiotik intravitreal pada kasus endoftalmitis akut pasca
operasi katarak, tidak terdapat perbedaan tajam penglihatan akhir dan kejernihan
media8.
Penggunaan antibiotik intravena berdasarkan pertimbangan temuan klinis,
misalnya pada pasien dengan 1 mata fungsional yang mengalami infeksi hebat
atau pada pasien dengan immunocompromised, dapat diberikan vankomisin atau
cefazolin untuk bakteri gram positif dan ceftazidim untuk bakteri gram negativ2.
Vankomisin memberikan spektrum luas terhadap bakteri gram positif.
Konsentrasi intraokuler setelah pemberian intravena dapat mencapai dosis terapi
pada mata yang mengalami inflamasi. Dosis vankomisin yang dapat diberikan
yaitu 1 g intravena setiap 12 jam dan kombinasi dengan ceftazidim 1-2g intravena
setiap 8 jam, selama 7 hari. Vankomisin dan ceftazidim diekskresikan oleh ginjal
sehingga diperlukan dosis yang disesuaikan pada pasien dengan kelainan ginjal
dan sebaiknya dilakukan evaluasi fungsi ginjal selama pemberian obat8.
11
Ciprofloksasin oral dapat diberikan pada pasien rawat jalan terutama
terhadap Staphylococcus koagulase negatif. Obat ini memiliki spektrum luas dan
penetrasi vitreus yang baik, namun dikatakan saat ini efektivitasnya telah
berkurang. Gatifloksasin, florokuinolon generasi keempat dilaporkan memiliki
potensi yang lebih baik terhadap bakteri gram positif dan memiliki daya penetrasi
mata yang baik.
2.7.4.Kortikosteroid
Tujuan pemberian kortikosteroid pada endoftalmitis akut adalah untuk
mengurangi efek perusakan dari inflamasi yang berat. Kortikosteroid dapat
diberikan secara sistemik, topikal, injeksi intravitreal maupun injeksi
subkonjungtiva kombinasi dengan pemberian antibiotik8.
Studi yang dilakukan oleh Das dkk, ditemukan injeksi deksametason
intravitreal bermanfaat dalam mengurangi inflamasi, namun tidak mempengaruhi
tajam penglihatan akhir. Sebaliknya, studi yang dilakukan oleh Shah dkk
melaporkan tajam penglihatan akhir setelah injeksi intravitreal steroid justru
menurun. Beberapa studi merekomendasikan pemberian prednison 1 mg/kg berat
badan secara oral tiap pagi selama 3-5 hari. Selain itu dapat juga diberikan
deksametason intravitreal (400μg/0,1mL) pada saat biopsi vitreus atau vitrektomi.
Prednison asetat 1 % topikal tiap 1-2 jam juga dapat diberikan. Pemberian injeksi
kortikosteroid subkonjungtiva yang dapat diberikan diantaranya deksametason 4-
8mg8.
2.7.5.Vitrektomi
Sebagai salah satu pilihan tatalaksana endoftalmitis, vitrektomi pars plana
memiliki beberapa keuntungan yaitu dapat mengeluarkan organisme penyebab
dan toksinnya, materi inflamasi dan kekeruhan, menghilangkan membran vitreus
yang dapat menyebabkan ablasi retina, pengambilan sampel untuk kultur serta
perbaikan distribusi antibiotik intravitreal13. Dibalik keuntungan tersebut, tidak
adanya vitreus menyebabkan peningkatan toksisitas obat dan terdapat komplikasi
setelah vitrektomi pars plana, yaitu perdarahan, katarak, glaukoma dan ablasi
retina12.
12
Gambar 6. Vitrektomi Pars Plana
Studi EVS menunjukkan bahwa vitrektomi awal pada endoftalmitis akut
pasca operasi katarak tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
biopsy vitreus sederhana dan injeksi antibiotik intravitreal apabila tajam
penglihatan awal ≥ 1/300. Pasien dengan tajam penglihatan awal persepsi cahaya,
vitrektomi segera memiliki prognosis tajam penglihatan akhir yang lebih baik8.
Berdasarkan ESCRS guidelines vitrektomi dini merupakan gold standard
untuk endoftalmitis akut. Vitrektomi bermanfaat dalam diagnosis dini dan
mengurangi kebutuhan operasi ulang. Keadaan dimana vitrektomi dini tidak dapat
dilakukan, misalnya jika operator vitreoretina atau ruangan operasi vitreoretina
tidak tersedia, maka tatalaksana dini adalah dengan injeksi antibiotik intravitreal10.
Apabila pengobatan gagal, maka dilakukan eviserasi. Enukleasi dilakukan
apabila mata telah tenang dan ftisis bulbi14.
2.8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi jika proses peradangan mengenai ketiga
lapisan mata (retina, koroid dan sklera) dan badan kaca maka akan mengakibatkan
panoftalmitis. Panoftalmitis merupakan peradangan pada seluruh bola mata
termasuk sklera dan kapsula tenon2.
13
Tabel 1. Perbedaan Endoftalmitis dan Panoftalmitis
Gejala Klinis Endoftalmitis Panoftalmitis
Radang Intraokular Intraocular, intraorbota
Demam Tidak nyata Nyata
Sakit bola mata Ada Berat
Pergerakan bola mata Masi dapat Sakit, tidak bergerak
Eksoftalmos Tidak ada Mata menonjol
Bedah Eviserasi Enukleasi
2.9. Prognosis
Penelitian yang dilakukan EVS mengungkapkan terdapat beberapa faktor
resiko yang dihubungkan dengan prognosis tajam penglihatan buruk. Faktor
resiko paling kuat adalah tajam penglihatan awal persepsi cahaya. Faktor resiko
lainnya diantaranya usia tua, diabetes mellitus, robekan pada kapsul posterior,
tekanan intraokuler yang rendah atau tinggi, defek pupil aferen, rubeosis dan tidak
adanya refleks fundus15.
Dilaporkan tajam penglihatan akhir mencapai 20/100 pada endoftalmitis
dengan bakteri penyebab kokus gram positif koagulase negatif sebanyak 84%,
Staphylococcus aureus 50%, Streptococcus 30%, Enterococcus 14% dan
organisme gram negatif 56%. Dilaporkan terdapat beberapa mikroorganisme
dapat steril secara spontan selama proses respon inflamasi okuler15.
Tatalaksana dini endoftalmitis penting terhadap hasil tajam penglihatan
akhir. Aziza melaporkan kasus endoftalmitis pasca operasi di RSCM periode
Januari 2007-Juli 2010 dengan tajam penglihatan akhir 6/12 atau lebih baik
didapatkan pada tindakan vitrektomi dengan injeksi antibiotik intravitreal sebesar
30% dan injeksi antibiotik intravitreal saja sebesar 26,2%. Faktor yang
mempengaruhi tajam penglihatan akhir lebih buruk dari 6/12 adalah riwayat
diabetes mellitus, komplikasi intra operasi (prolaps vitreus), awitan terjadinya
endoftalmitis dan rentang waktu diangnosis hingga mendapatkan terapi15.
14
BAB III
KESIMPULAN
Endoftalmitis adalah peradangan pada seluruh jaringan intraokular yang
disebabkan oleh bakteri, jamur ataupun keduanya. Tanda dan gejala yang
ditunjukam antara lain adanya penurunan visus, nyeri, hiperemi konjungtiva,
pembengkakan, hipopion, konjungtiva kimosis dan edema kornea. Jenis dari
endoftalmitis terdiri dari endoftalmitis pasca operasi, endoftalmitis pasca trauma
dan endoftalmitis endogen. Penatalaksanaan endoftalmitis adalah pemberian
antibiotik ataupun antifungi baik secara sistemik ataupun injeksi, pemberian
kortikosteroid dan pembedahan. Prognosis endoftalmitis bergantung pada durasi,
jangka waktu sampai penatalaksanaannya, virulensi bakteri, pertahanan dari tubuh
dan keparahan dari trauma. Diagnosis yang tepat dan cepat dengan tatalaksana
yang sesuai dapat meningkatkan angka kesembuhan endoftalmitis.
15
Top Related