PERBEDAAN KEMANDIRIAN ANTARA ANAK SULUNG DENGAN
ANAK BUNGSU PADA SISWA KELAS II SMA NEGERI 11
SEMARANG TAHUN PELAJARAN 2004/2005
SKRIPSI
Diajukan dalam Rangka Penyelesaian Studi Strata 1
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
HINDUN SRI RAHMAWATI
NIM. 1314000038
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG2005
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini telah disetujui pembimbing dipertahankan di hadapan Sidang Panitia
Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang pada:
Hari : Rabu
Tanggal : 27 Juli 2005
Panitia Ujian
Ketua Sekretaris
D r s . S i s wa n t o , M M D r a . N in i k S e t y o wa ni NIP. 130515769 NIP. 130788543
Pembimbing I Angggota Penguji
Drs. Suharso, M.Pd 1. Drs. SoeparwotoNIP. 131754158 NIP. 130368009
Pembimbing II
Drs. Eddy Purwanto, M.Si 2. Drs. Suharso, M.PdNIP. 131699302 NIP. 131754158
3. Drs. Eddy Purwanto, M.SiNIP. 131699302
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
Individu yang sehat adalah individu yang bertangungjawab dan mempunyai keyakinan akan kemampuan dirinya dalam mengatasi masalah-masalah yang ada.
Ngelmu iku pangekesing angkara, agama ageming arti.
Saat jiwa meredup dan kegelapan menyelimuti sisakan satu ruang untuk bercermin dan dengarkan suara bening dalam hati
Persembahan
Skripsi ini ku persembahkan untuk:
1. Ibu dan Bapak yang selalu penuh cinta
(Semoga bisa menjadi pengobat luka.)
2. Mas Ali, Mas Win, Rifai, Krisna dan
Sifa.
3. Geminiku dan keluarga besar.
4. Penghuni Perdana Palace (yang telah
bereinkarnasi).
5.
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberi
karunia, rahmat, taufik dan hidayah-Nya hingga Penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul Perbedaan kemandirian antara Anak Sulung dengan
Anak Bungsu pada Siswa Kalas II SMA Negeri 11 Semarang Tahun Pelajaran
2004/2005.
Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa tersusunnya skripsi ini bukan
hanya atas kemampuan dan usaha penulis semata, melainkan juga berkat bantuan
berbagai pihak, oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada yang terhormat :
1. Dr. H. A.T Soegito, SH., MM, Rektor Universitas Negeri Semarang yang
telah memberikan kemudahan administrasi dalam penyusunan skripsi.
2. Drs. Siswanto, MM, Dekan Fakulitas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Semarang yang telah memberikan izin penelitian.
3. Drs. Suharso, M.Pd., Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakulitas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang dan Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan kemudahan administrasi serta arahan dalam penyusunan skripsi.
4. Drs. Eddy Purwanto, M.Si., Dosen Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, motivasi dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Drs. Soedjono, Kepala SMA Negeri 11 Semarang yang telah berkenan
memberi ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
6. Para Guru dan karyawan SMA Negeri 11 Semarang yang telah berkenan
memberi bantuan informasi, dan kesempatan untuk melakukan penelitian.
7. Seluruh siswa kelas II SMA Negeri 11 Semarang yang telah bersedia menjadi
responden dalam penelitian ini.
8. Teman-teman seperjuangan ”Pasukan Konselor 2000” (Ingat, Problem never
die”).
9. Jiwa-jiwa penghuni Perdana Palace dengan berbagai varietas yang
mengesankan.
10. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan dan dorongan baik materiil maupun spiritual sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca semua.
Semarang, Juli 2005
Penulis
ABSTRAK
Hindun Sri Rahmawati, 2005. Perbedaan kemandirian antara Anak Sulung dengan Anak Bungsu pada Siswa Kelas II SMA Negeri 11 Semarang Tahun Pelajaran 2004/2005. Skripsi. Jurusan Bimbingan dan Konseling. FIP. UNNES.
Tujuan penelitian ini adalah : 1) Untuk mengetahui secara diskriptif kemandirian anak sulung, 2) Untuk mengetahui secara diskriptif kemandirian anak bungsu, dan 3) Untuk mengetahui perbedaan kemandirian antara anak sulung dan anak bungsu. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat menambah khasanah pengetahuan dalam dunia pendidikan, khususnya bimbingan dan konseling tentang kemandirian anak sulung dan anak bungsu dan secara praktis dapat memberikan informasi tentang kemandirian anak sulung dan anak bungsu di SMU Negeri 11 Semarang pada tahun pelajaran 2004/2005 kepada siswa sebagai anak, orang tua atau wali murid dan guru pembimbing sebagai bahan pertimbangan dalam pembentukan kemandirian anak atau siswa asuh melalui kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah maupun pengembangan kemandirian mahasiswa oleh para dosen.
Populasi penelitian ini siswa kelas II SMA Negeri 11 Semarang tahun pelajaran 2004/2005 yang berkedudukan sebagai anak sulung dan yang berkedudukan sebagai anak bungsu berjumlah 234 siswa. Teknik pengambilan sampel dengan purposive proporsional random sampling. Jumlah sampel yang diteliti yaitu 58 siswa yang terbagai atas 30 siswa adalah anak sulung dan 28 siswa adalah anak bungsu. Variabel dalam penelitian ini ada dua yaitu urutan kelahiran (anak sulung dan anak bungsu) sebagai variabel bebas dan kemandirian sebagai bariabel terikat. Data diambil dengan skala kemandirian. Data yang diperoleh dianalisis dengan statistik deskriptif dan uji t.
Hasil deskriptif diperoleh informasi bahwa kemandirian anak sulung telah masuk dalam kriteria tinggi sedangkan kemandirian anak bungsu masuk dalamkriteria sedang. Ditinjau dari tiap-tiap sub variabel kemandirian menunjukkanbahwa anak sulung pada aspek intelektual berada pada kategori sedang,sedangkan pada aspek ekonomi, emosi dan sosial berada pada kriteria tinggisedangkan pada anak bungsu pada aspek intelektual, ekonomi, emosi dan sosial seluruhnya berada dalam kriteria sedang. Hasil uji beda mean dengan uji t test antara kemandirian anak sulung dan anak bungsu diperoleh harga thitung = 3,45 > ttabel = 2,00. Hal ini berarti terdapat perbedaan kemandirian yang signifikan antara anak sulung dengan anak bungsu.
Berkaitan dengan hasil penelitian ini penulis dapat mengajukan saran yang dapat disampaikan melalui Guru Pembimbing antara lain: 1) Bagi para siswa yang menjadi anak bungsu hendaknya menyadari bahwa tidak selamanya mereka dapat menggantungkan diri pada orang lain baik orang tua maupun kakaknya. Oleh karena itu hendaknya mulai dari sekarang mereka belajar meningkatkan kemandirian baik dalam hal ekonomi, emosi sosialnya agar dapat melepaskan diri dari ketergantungannya pada orang lain, 2) Bagi orang tua hendaknya tidak hanya membebankan seluruh tanggungjawab kepada anak sulung. Mereka seharusnya juga memberikan tanggung jawab kepada anak bungsu dalam upaya mengembangkan kemandiriannya, 3) Guru pembimbing di sekolah hendaknya memberikan perhatian khusus kepada anak didiknya dengan status kelahiran bungsu saat memberikan layanan pembentukan kemandirian agar mereka dapat memiliki tingkat kemandirian yang sama dengan anak sulung dan 4) Bagi peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian dengan topik yang sama dapat menekankan pada aspek kemandirian belajar siswa.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
ABSTRAK ................................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah......................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................. 4
C. Penegasan Istilah ................................................................... 5
D. Tujuan Penelitian ................................................................... 6
E. Manfaat Penelitian ................................................................. 6
F. Sistematika Skripsi ................................................................ 7
BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS ..................................... 9
A. Kemandirian .......................................................................... 9
1. Pengertian Kemandirian ................................................... 10
2. Aspek-aspek Kemandirian ............................................... 11
3. Ciri-ciri Kemandirian ....................................................... 13
4. Terbentuknya Kemandirian dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Terbentuknya Kemandirian ..................... 16
B. Urutan Kelahiran ................................................................... 26
1. Anak Sulung .................................................................... 30
2. Anak Bungsu ................................................................... 32
C. Kerangka Berpikir Tentang Perbedaan Kemandirian Anak
Sulung dan Anak Bungsu....................................................... 34
D. Hipotesis................................................................................ 39
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 40
A. Jenis dan Desain Penelitian .................................................... 40
B. Variabel Penelitian................................................................. 40
C. Populasi dan Sampel .............................................................. 42
D. Metode dan Alat Pengumpulan Data ...................................... 45
E. Validitas dan Reliabilitas Instrumen....................................... 48
F. Teknik Analisis Data ............................................................. 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 54
A. Hasil Penelitian...................................................................... 54
1. Hasil Uji Coba Instrumen.................................................
2. Deskripsi Data Kemandirian Anak Sulung dan Anak
54
Bungsu............................................................................. 55
3. Hasil Analisis Data .......................................................... 62
E. Pembahasan ........................................................................... 64
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 68
A. Simpulan ............................................................................... 68
B. Saran ...................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 70
LAMPIRAN ................................................................................................. 72
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Ciri Kepribadian Menurut Urutan Kelahiran ........................................... 29
2. Kecenderungan perbedaan kemandirian anak sulung dan anak bungsu .... 38
3. Anak Sulung dan Anak Bungsu SMA Negeri 11 Semarang ..................... 43
4. Persentase Pada Kelompok Sampel ......................................................... 44
5. Pengambilan Sampel ............................................................................... 45
6. Penskoran item berdasar jenis pernyataan................................................ 47
7. Penentian Kriteria Kemandirian .............................................................. 50
8. Distribusi Frekuensi Kemandirian Anak Sulung ...................................... 56
9. Distribusi Frekuensi Kemandirian Anak Bungsu ..................................... 56
10. Rata-rata Skor Subvariabel Kemandirian Anak Sulung dan Bungsu
Siswa Kelas II SMA Negeri 11 Semarang Tahun Pelajaran 2004/2005... 58
11. Distribusi Frekuensi Tiap Subvariabel Kemandirian Anak Sulung dan
Anak Bungsu Siswa Kelas II SMA Negeri 11 Semarang Tahun
Pelajaran 2004/2005................................................................................ 58
12. Ringkasan Hasil Uji Normalitas Data ...................................................... 64
13. Ringkasan Hasil Uji t .............................................................................. 65
14. Ringkasan Hasil Uji t dari Setiap Subvariabel Kemandirian .................... 66
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Tiga Aspek Pembentuk Kemandirian ...................................................... 14
2. Perkembangan Kemandirian Pada Tiap Masa Perkembangan .................. 19
3. Kemandirian Sebagai Hasil Interaksi Individu Dengan Lingkungan ........ 22
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kemandirian................. 27
5. Bagan Distribusi Bergolong Kemandirian Anak Sulung dan Anak
6.
7.
Bungsu....................................................................................................
Bagan Distribusi Bergolong Kemandirian Anak Sulung dan Anak
Bungsu pada Aspek Intelektual ...............................................................
Bagan Distribusi Bergolong Kemandiriana Anak Sulung dan Anak
59
61
8.
Bungsu pada Aspek ekonomi ..................................................................
Bagan Distribusi Bergolong Kemandirian Anak Sulung dan Anak
62
9.
Bungsu pada Aspek emosi ......................................................................
Bagan Distribusi Bergolong Kemandirian Anak Sulung dan Anak
Bungsu pada Aspek Sosial ......................................................................
62
63
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Data Anak Sulung Anak Bungsu Kelas II SMA Negeri 11 Semarang
tahun Pelajaran 2004/2005 ................................................................... 74
2. Kisi-Kisi Instrumen Uji Coba .............................................................. 78
3. Instrumen Uji Coba.............................................................................. 79
4. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian ............................................................. 84
5. Instrumen Penelitian ............................................................................ 85
6. Data Hasil Uji Coba Instrumen ............................................................ 90
7. Contoh Perhitungan Validitas Skala Kemandirian ................................ 94
8. Contoh Perhitungan Reliabilitas........................................................... 95
9. Data Hasil Penskoran Skala Kemandirian Anak Sulung ....................... 96
10. Data Hasil Penskoran Skala Kemandirian Anak Bungsu ...................... 98
11. Penentuan Kriteria Pada Analisis Deskriptif......................................... 100
12. Deskripsi Frekuensi Kemandirian Anak Sulung ................................... 102
13. Uji Normalitas Data Kemandirian Anak Sulung................................... 103
14. Deskripsi Frekuensi Kemandirian Anak Bungsu .................................. 104
15. Uji Normalitas Data Kemandirian Anak Bungsu .................................. 105
16. Tabel Persiapan Uji Perbedaan Kemandirian antara Anak Sulung
dengan Anak Bungsu ........................................................................... 106
17. Uji Perbedaan Kemandirian Anak sulung dengan Anak Bungsu........... 107
18. Uji Perbedaan Kemandirian Anak sulung dengan Anak Bungsu Pada
Indikator Intelektual............................................................................. 108
19. Uji Perbedaan Kemandirian Anak sulung dengan Anak Bungsu Pada
Indikator Ekonomi ............................................................................... 109
20. Uji Perbedaan Kemandirian Anak sulung dengan Anak Bungsu Pada
Indikator Emosi ................................................................................... 110
21. Uji Perbedaan Kemandirian Anak sulung dengan Anak Bungsu Pada
Indikator Sosial.................................................................................... 111
22. Permohonan Ijin Penelitian .................................................................. 112
23. Surat Ijin Penelitian dari Diknas Semarang .......................................... 113
24. Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian ......................... 114
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketika terlahir manusia berada dalam keadaan lemah. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sangat tergantung pada bantuan orang-orang disekitarnya.
Berlanjutnya perkembangan mengantarkan seorang anak pada masa remaja. Pada
masa ini kebutuhan hidup lebih beragam dengan tingkat kesulitan yang lebih
tinggi. Pada masa sekolah tingkat menengah atas, anak sedang mempersiapkan
diri menuju proses pendewasaan diri. Anak melalui tahun-tahun terakhir masa
pendidikan dasar dan menengahnya untuk kemudian melangkah menuju dunia
peguruan tinggi atau meniti karier.
Ada banyak pilihan bagi mereka dan hendaknya seorang remaja dapat
secara mandiri menentukan pilihan tanpa menggantungkan diri pada orang-orang
di sekitarnya untuk menentukan pilihan yang akan diambilnya, termasuk dalam
memenuhi kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhannya diperlukan
kemampuan yang lebih berkembang. Dengan kemampuannya, seorang remaja
berkesempatan melakukan banyak hal tanpa harus selalu tergantung pada orang-
orang di sekitarnya, termasuk orang tua maupun teman sebaya.
Mencapai kemandirian merupakan salah satu tugas perkembangan pada
masa remaja. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Mappiare (1982:99) bahwa
remaja dituntut untuk tidak selalu tergantung pada orang tua atau orang dewasa
lainnya secara emosional, mampu mengatur keuangannya sendiri dan dapat
memilih serta mempersiapkan dirinya ke arah pekerjaan atau jabatan.
Pencapaian kemandirian tersebut sangat penting bagi remaja, karena hal
itu sebagai tanda kesiapannya untuk memasuki fase berikutnya dengan berbagai
tuntutan yang lebih beragam sebagai orang dewasa. Kegagalan dalam pencapaian
kemandirian dapat berdampak negatif pada diri remaja. Ketergantungan pada
orang lain menyebabkan seorang remaja selalu ragu-ragu dalam mengambil
keputusan sendiri, tidak percaya diri, mudah terpengaruh oleh orang lain hingga
akhirnya mengalami kesulitan untuk menemukan identitas diri. Dalam usaha
pencapaian kemandirian remaja sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang
di sekitarnya, terutama dari lingkungan keluarga sebagai lingkungan terdekatnya.
Diharapkan para remaja mampu mewujudkan kemandirian sebagai bekal
menghadapi tantangan dan tugas perkembangan di masa berikutnya, yaitu masa
dewasa. Akan tetapi sering kita jumpai banyak remaja yang duduk di bangku
SMA masih menunjukkan perilaku sebaliknya. Bimbang memutuskan kegiatan
ekstra yang akan diikuti, nyontek karena tidak percaya diri dalam mengerjakan
tugas dan ulangan, ikut-ikutan teman dalam memilih program studi/jurusan, ragu-
ragu dalam menyampaikan pendapat, bingung dan bimbang dalam memilih cita-
cita atau pun studi lanjutan, dan sebagainya. Hal-hal tersebut merupakan tanda-
tanda kurangnya kemandirian para remaja.
Walaupun sebagian remaja yang lain mampu menunjukkan kemandirian
yang diharapkan, namun fenomena tersebut perlu diwaspadai dan diupayakan
pengubahannya karena dapat menyebabkan para remaja cenderung bergantung
pada orang lain dan enggan memikul tanggung jawab.
Alfred Adler, salah seorang tokoh psikologi individu memunculkan teori
tentang perbedaaan individu yang dilatar belakangi oleh gaya hidup yang muncul
berdasarkan urutan kelahiran seseorang. Menurut Corey (1995:200-201) urutan
kelahiran dan interpretasi terhadap posisi seseorang dalam keluarga berpengaruh
terhadap cara seseorang berinteraksi akibat situasi psikologis yang berbeda pada
urutan kelahiran tersebut. Adapun urutan kelahiran yang diidentifikasikan oleh
Adler adalah anak tunggal, anak sulung, anak tengah dan anak bungsu. Dengan
memahami konsep teori Adler tersebut, dimungkinkan bahwa perbedaan
kemandirian seseorang muncul karena adanya perbedaan gaya hidup yang
dikembangkan tiap anak berdasarkan interpretasinya terhadap kedudukan/urutan
kelahirannya.
Selain membentuk karakter tertentu, urutan kelahiran juga memunculkan
sindrom tetentu. Hurlock (1978:64) mengemukakan sindrom tiap urutan
kelahiran. Yang menarik adalah bahwa ternyata terdapat beberapa persamaan
sindrom antara anak sulung dan anak bungsu. Dinyatakan bahwa anak sulung itu
bergantung, mudah dipengaruhi dan manja sedangkan anak bungsu mempunyai
sindrom manja, merasa tidak mampu dan rendah diri, dan tidak bertanggung
jawab.
Harapan masyarakat terhadap anak sulung cenderung lebih besar bila
dibandingkan dengan urutan kelahiran berikutnya. Secara umum terdapat
kecenderungan dalam masyarakat untuk berpendapat bahwa anak sulung tentu
lebih mandiri dari anak bungsu. Pendapat tersebut tidak terlepas dari pengaruh
budaya yang ada. Anak pertama dipandang sebagai pewaris kebudayaan,
kekuasaan dan kekayaan, selain itu anak pertama biasanya diharapkan untuk
untuk menjadi contoh bagi adik-adiknya, seperti halnya yang diungkapkan oleh
Hurlock (1978:63).
Namun bila diperhatikan pernyataan Hurlock tentang sindrom antara anak
sulung dan anak bungsu terdapat indikasi munculnya ketidakmandirian pada anak
sulung sepertihalnya pada anak bungsu. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang
kemandirian anak sulung dan anak bungsu. Benarkah terdapat perbedaan
kemandirian antara anak sulung dan anak bungsu ? Benarkah anak sulung lebih
mandiri dari anak bungsu atau justru sebaliknya?
Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tersebut diperlukan adanya
penelitian terlebih dahulu. Dengan berdasar pada uraian tersebut skripsi ini
disusun dengan judul “Perbedaan Kemandirian Antara Anak Sulung dan Anak
Bungsu Pada Siswa Kelas II SMA Negeri 11 Semarang Tahun Pelajaran
2003/2004”.
SMA Negeri 11 Semarang dipilih sebagai lokasi penelitian dengan alasan
selain dekat, peristiwa atau gejala yang disampaikan pada uraian di atas terjadi di
sana berdasar pengamatan sementara pada kegiatan PLBK Di Sekolah yang
sepengetahuan peneliti topik tersebut belum dikaji atau diteliti. Siswa kelas II
dipilih sebagai sasaran penelitian mengingat kelas ini merupakan masa menjelang
berakhirnya masa remaja dengan berbagai permasalahan remaja yang kompleks
dan para remaja dihadapkan pada berbagai pilihan dalam hidupnya antara lain
pemilihan jurusan dan pemilihan studi lanjut. Dengan demikian penelitian ini
diharapkan dapat digunakan mengungkap kemandirian anak sulung dan anak
bungsu yang duduk di bangku kelas II SMA.
B. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan uraian latar belakang masalah tersebut, permasalahan dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana kemandirian anak sulung ?
2. Bagaimana kemandirian anak bungsu ?
3. Adakah perbedaan kemandirian antara anak sulung dan anak bungsu ?
C. Penegasan Judul
Beberapa istilah dalam penelitian dimungkinkan dapat menimbulkan perbedaan
pemahaman. Istilah yang mungkin menimbulkan perbedaan persepsi yang dimaksud antara lain
adalah perbedaan, kemandirian, dan urutan kelahiran, anak sulung dan anak bungsu. Untuk
menghindari perbedaan pemahaman tentang istilah-istilah dalam tersebut berikut ini disajikan
penegasan tentang istilah yang dimaksud :
1. Kemandirian
Menurut Gea (2002:146) mandiri adalah kemampuan seseorang untuk mewujudkan
keinginan dan kebutuhan hidupnya dengan kekuatan sendiri. Menurut Basri (2000:53) yang
kemandirian keadaan seseorang yang mampu memutuskan atau mengerjakan sesuatu tanpa
bantuan orang lain. Havighurst (dalam Mu’tadin, 2002:2) menyatakan kemandirian seseorang
meliputi kemandirian intelektual, ekonomi, emosi, dan sosial.
Berdasarkan pendapat tersebut yang dimaksud dengan kemandirian dalam penelitian
ini adalah kemampuan seseorang untuk mewujudkan keinginan dan memenuhi kebutuhannya
dalam hal intelekual, ekonomi, emosi, dan sosial tanpa tergantung pada bantuan orang lain
2. Urutan Kelahiran
Yang dimaksud dengan urutan kelahiran dalam penelitian ini adalah posisi anak
dalam keluarga didasarkan urutan kelahirannya, urutan kelahiran yang diidentifikasikan Adler
adalah anak sulung, anak tengah, anak bungsu, dan anak tunggal.
3. Anak Sulung
Yang dimaksud dengan anak sulung dalam penelitian ini adalah anak yang lahir
pertama kali dalam keluarganya.
4. Anak Bungsu
Yang dimaksud dengan anak bungsu pada penelitian ini adalah anak yang lahir
terakhir dalam keluarganya.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui secara deskriptif kemandirian anak sulung.
2. Untuk mengetahui secara deskriptif kemandirian anak bungsu.
3. Untuk mengetahui perbedaan kemandirian antara anak sulung dan anak bungsu.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis.
Dapat menambah khasanah pengetahuan dalam dunia pendidikan, khususnya
bimbingan dan konseling tentang kemandirian anak sulung dan anak bungsu.
2. Manfaat praktis.
Dapat memberikan informasi tentang kemandirian anak sulung dan anak bungsu di
SMA Negeri 11 Semarang pada tahun pelajaran 2004/2005 kepada siswa sebagai anak, orang
tua atau wali murid dan guru pembimbing sebagai bahan pertimbangan dalam pembentukan
kemandirian anak atau siswa asuh melalui kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah
maupun pengembangan kemandirian mahasiswa oleh para dosen .
F. Sistematika Skripsi
Bagian awal skripsi terdiri atas halaman judul, abstrak, halaman pengesahan, motto dan
persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel dan daftar lampiran.
Pada bagian isi skripsi terdapat pada lima bab yang terdiri dari pendahuluan, landasan
teori, metode penelitian, hasil penelitian, dan pembahasannya serta penutup.
Bab I, Bab Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika skripsi.
Bab II, yaitu Landasan Teori dan Pengajuan Hipotesis terdiri dari pengertian
kemandirian, aspek-aspek kemandirian, ciri-ciri kemandirian, terbentuknya kemandirian dan
faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kemandirian. Pada bab ini juga terdapat uraian
tentang urutan kelahiran, anak sulung, anak bungsu, kerangka berpikir tentang perbedaan
kemandirian antara anak sulung dan anak bungsu, serta hipotesis yang diajukan.
Bab III, yaitu Metode Penelitian meliputi jenis penelitian, variabel penelitian, populasi
dan sampel penelitian, metode dan alat pengumpul data, validitas dan realibilitas instrumen, dan
teknik analisis data yang digunakan.
Bab IV, Hasil Penelitian dan Pembahasanya, berisi hasil penelitian yang diperoleh dan
pembahasannya.
Bab V, Penutup terdiri dari simpulan dan saran hasil penelitian.
Bagian akhir skripsi meliputi daftar pustaka yang berkaitan dengan penelitian dan
lampiran yang memuat kelengkapan data dan perhitungan analisisnya.
tan ter
BAB II
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Kemandirian
Masa remaja atau masa adolensi menurut Mahmud (1990:42) berlangsung antara umur 12
sampai umur 18 tahun, masa remaja merupakan masa transisi menuju masa dewasa termasuk pula
transisi dalam hal biologis, psikologis, sosial maupun ekonomis
Hurlock (1980:220) menyatakan minat pada kemandirian berkembang
pada masa awal remaja dan mencapai puncaknya menjelang periode ini berakhir.
Mappiare (1982:107) menyebut kemandirian dengan istilah kebebasan dan
menyatakannya sebagai salah satu tugas perkembangan yang penting bagi remaja
awal, mereka diharapkan melepaskan diri dari ketergantungan pada orag tua atau
orang dewasa lainnya dalam banyak hal secara berangsur-angsur.
Maslow dan Murray (Alwilsol, 2004:260-261) bahkan menyatakan
kemandirian sebagai salah satu kebutuhan psikologis manusia. Dalam susunan
hirarki kebutuhannya Maslow menyatakan kemandirian sebagai salah satu cara
untuk memperoleh harga diri, kemandirian akan menjadikan seseorang
menghargai dirinya sendiri. Maslow juga mencantumkan kemandirian sebagai
salah satu kebutuhan meta yaitu kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri yang
ditandai dengan karakter otonom, menetukan diri sendiri dan tidak tergantung.
Maslow (dalam Ali & Asrori, 2004:111) membedakan kemandirian menjadi dua macam yaitu kemandirian aman dan kemandirian tidak aman. Kemandirian aman adalah kekuatan untuk menumbuhkan cinta kasih pada dunia, kehidupan dan orang lain, sadar akan tanggung jawab bersama dan tumbuh rasa percaya terhadap kehidupan. Kekua sebut kemudian digunakan untuk
9
membantu orang lain. Sementara yang dimaksud dengan kemandirian tidak aman adalah kekuatan pribadi yang dinyatakan dalam perilaku menentang dunia.
Dari pernyataan Maslow tersebut dapat diketahui bahwa kemandirian yang diharapkan dimiliki para remaja adalah kemandirian yang aman, di mana para remaja percaya pada kemampuan dirinya dan tidak selalu berada dalam ketergantungan pada bantuan yang akan diberikan orang lain. Namun dalam kemandiriannya para remaja tetap memiliki keinginan untuk membantu sesama.1. Pengertian Kemandirian
Kemandirian merupakan aspek kepribadian yang disinggung oleh para ahli psikologi dengan istilah yang berbeda-beda. Istilah yang biasa digunakan untuk menyebut kemandirian antara lain adalah kebebasan, otonomi, independen atau pun berdikari.
Menurut Basri (2000:53) kemandirian berasal dari kata mandiri yang dalam bahasa
Jawa berarti berdiri sendiri. Dia menyatakan kemandirian dalam arti psikologis dan mentalis
adalah keadaan seseorang yang mampu memutuskan atau mengerjakan sesuatu tanpa bantuan
orang lain. Menurutnya kemampuan tersebut hanya mungkin dimiliki jika seseorang
berkemampuan untuk memikirkan dengan seksama tentang apa yang akan dikerjakan atau
diputuskannya, baik dari segi manfaat atau keuntungannya dan dari segi negatif atau kerugian
yang akan diakibatkannya.
Lie dan Prasasti (2004:2) menyatakan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya. Sementara menurut Gea (2002:146) mandiri adalah kemampuan seseorang untuk mewujudkan keinginan dan kebutuhan hidupnya dengan kekuatan sendiri. Havighurst (dalam Mu’tadin, 2002:2) menyatakan bahwa kemandirian seseorang meliputi aspek emosi, ekonomi, intelektual dan sosial.
Berdasarkan definisi-definisi para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
kemandirian adalah kemampuan seseorang dalam bertindak untuk memenuhi berbagai
kebutuhan hidupnya ataupun keinginannya tanpa bergantung pada bantuan orang lain, baik
dalam aspek emosi, ekonomi, intelektual, dan sosial.
2. Aspek - aspek Kemandirian
Definisi para ahli tentang mandiri dan kemandirian tersebut di atas memberikan
gambaran tentang aspek-aspek yang menyusun kemandirian. Pernyataan Basri menekankan
aspek kognitif dan aspek psikomotor, sedangkan pernyataan Lie & Prasasti menekankan aspek
psikomotor.
Berbeda dengan kedua pendapat tersebut Gea (2002:146) menggambarkan adanya
ketiga aspek tersebut dalam kemandirian sekaligus melalui definisinya dan hal tersebut
ditegaskan dalam pernyataannya berikut :
Manusia mandiri biasanya mempunyai pengetahuan, menguasai keterampilan dan mempunyai kehendak yang kuat. Pengetahuan sebagai paradigma teoritis untuk memahami apa yang harus dilakukan dan mengapa harus melakukannya; keterampilan adalah bagaimana melakukannya dan kehendak yang kuat merupakan dorongan atau motivasi untuk melakukannya.Dengan berdasar pada pernyataan Gea di atas disimpulkan bahwa kemandirian
mengandung tiga aspek berikut :
a. aspek kognitif; yaitu aspek yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan dan
keyakinan seseorang tentang sesuatu, misalnya pemahaman seorang siswa tentang
prestasi akademik.
b. aspek afektif; yaitu aspek yang berkaitan dengan perasaan seseorang terhadap sesuatu
seperti halnya hasrat, keinginan atau pun kehendak yang kuat terhadap suatu kebutuhan,
misalnya keinginan seorang siswa untuk berhasil atau berprestasi dalam hal akademik.
c. aspek psikomotor; yaitu aspek yang berkaitan dengan tindakan yang dilakukan seseorang
untuk memenuhi kebutuhannya, misalnya tindakan siswa yang berinisiatif belajar giat
karena dia ingin memperoleh prestasi akademik.
Terbentuknya kemandirian dalam diri seseorang terkait dengan tiga aspek
kemandirian pada diri seseorang yaitu aspek kognitif, aspek afektif dan psikomotor. Hal
tersebut dapat dijelaskan melalui gambar berikut :
Kebutuhan
Kognitif : Mengorganisir informasi tentang kebutuhan dan memutuskan cara memenuhi kebutuhan.
Psikomotor :Bertindak
sesuai hasil
pemikiran
Afektif :Mengevaluasi
cara yang
sesuai untuk
Gambar 1.
Tiga aspek pembentuk kemandirian
3. Ciri-ciri Kemandirian
Tentang ciri kemandirian Gea (2002:145) menyebutkan beberapa hal yaitu percaya
diri, mampu bekerja sendiri, menguasai keahlian dan keterampilan, menghargai waktu dan
bertanggung jawab. Sedangkan Barnadib (dalam Mu’tadin, 2002:1) menyatakan kemandirian
seseorang meliputi mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau masalah,
mempunyai rasa percaya diri, dan dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain.
Havighurst (dalam Mu’tadin, 2002:2) menyatakan kemandirian seseorang meliputi
aspek emosi, ekonomi, intelektual dan sosial. Kemandirian emosi ditunjukkan dengan
kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada orang tua atau
orang dewasa lainnya. Kemandirian ekonomi ditunjukkan dengan kemampuan mengatur
sendiri perekonomiannya. Kemandirian intelektual ditunjukkan dengan kemampuan dalam
mengatasi masalah, dan kemandirian sosial ditunjukkan dengan kemampuan berinteraksi
dengan orang lain tanpa tergantung dan menunggu aksi dari orang lain.
Hampir sama dengan pernyataan Havighurst tersebut, namun dengan istilah otonomi
Mahmud (2000:68-73) menyatakan bahwa perkembangan otonomi remaja terjadi pada: aspek
emosi; perilaku; dan nilai. Didiskripsikannya otonomi emosi berkaitan dengan perubahan
dalam hubungan-hubungan yang akrab, ditandai dengan seorang remaja tidak lagi tergesa-
gesa menumpahkan perasaannya kepada orang tuanya dan meminta nasihat. Sedangkan
otonomi perilaku merupakan kemampuan untuk mengambil keputusan-keputusan sendiri dan
melaksanakannya. Dan otonomi nilai menyangkut dimilikinya prinsip-prinsip tentang apa
yang benar dan apa yang salah, tentang apa yang penting dan apa yang tidak penting.
Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kemandirian pada
remaja adalah percaya diri, mampu berinisiatif, mampu mengatasi masalah, mampu
mengerjakan tugas pribadi, mampu mempertahankan prinsip mampu mengambil keputusan,
hemat, mampu melaksanakan transaksi ekonomi, mempunyai perencanaan karier di masa
depan, mampu mengontrol emosi, bebas secara emosi dari orang tua, mempunyai kehendak
yang kuat, puas dengan keputusan sendiri, menghargai waktu, bertanggung jawab, mampu
menghindari pengaruh negatif pergaulan, mampu menerima kritik, mampu menerima
perbedaan pendapat, mempunyai hubungan baik dengan orang lain. Ciri-ciri tersebut dapat
dirinci sebagai berikut :
a. Percaya diri; ini berarti dia percaya bahwa dia mampu mewujudkan keinginannya dengan
usaha dan kekuatan yang dimilikinya. Percaya diri inilah yang menjadi sumber
kemandirian
b. Mampu berinisiatif; orang yang mandiri mampu berinisiatif yaitu bertindak dengan
keinginannya sendiri tanpa harus menunggu instruksi orang lain.
c. Mampu mengatasi masalah atau hambatan; sebagai orang yang mampu berinisiatif orang
yang mandiri mampu mengatasi masalah yang dihadapinya dengan kekuatan dan
kemampuan yang dimilikinya
d. Mampu mengerjakan tugas pribadi; berarti dia dapat mengerjakan tugas-tuigas pribadinya
tanpa bantuan orang lain.
e. Mampu mempertahankan prinsip yang dimiliki dan diyakini
f. Mampu mengambil keputusan; ketika dihadapkan pada bergagai pilihan dia dapat
menentukan pilihan yang sesuai bagi dirinya sendiri tanpa tergantung pada orang lain.
g. Hemat; dia dapat menggunakan uang yang dimiliki sesuai dengan kebutuhannya.
h. Mampu melaksanakan transaksi ekonomi; orang yang mandiri mengetahui cara
melakukan transaksi ekonomi dan dapat melakukannya.
i. Mempunyai perencanaan karier di masa depan, termasuk mempunyai cita-cita profesi;
yaitu mempunyai pilihan profesi/cita-cita yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.
j. Bebas secara emosi dari orang tua; tidak tergantung pada orang tua atau orang dewasa
lainnya dalam hal pemenuhan kebutuhan emosi.
k. Mempunyai kehendak yang kuat; orang yang mandiri mempunyai tekad yang kuat dan
tidak mudah berputus asa dalam upaya mewujudkan keinginannya.
l. Puas dengan keputusan sendiri; orang yang mandiri mempertimbangkan manfaat maupun
kerugian setiap keputusan yang diambilnya dan dia merasa puas dengan keputusannya
sendiri.
m. Menghargai waktu; orang yang mandiri akan selalu memanfaatkan waktu dengan baik,
mengisi waktunya dengan kegiatan yang berguna
n. Bertanggung jawab; orang yang mandiri akan bertanggung jawab dengan apa yang
dikerjakannya
o. Mampu menghindari pengaruh negatif pergaulan
p. Mampu menerima kritik
q. Mampu menerima perbedaan pendapat
r. Mempunyai hubungan baik dengan orang lain.
4. Terbentuknya Kemandirian dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya
Kemandirian
a. Terbentuknya Kemandirian
Kemandirian bukanlah kemampuan yang dibawa anak sejak lahir, melainkan
hasil dari proses belajar. Basri (2000:53) menyatakan bahwa kemandirian merupakan
hasil dari pendidikan. Kartawijaya dan Kuswanto (2000:1) mengemukakan bahwa
kemandirian anak harus dibina sejak anak masih bayi dengan penanaman disiplin yang
konsisten sehingga kemandirian yang dimiliki dapat berkembang secara utuh.
Secara singkat dikatakan bahwa kemandirian merupakan hasil dari proses
belajar. Sebagai hasil belajar, kemandirian pada diri seseorang tidak terlepas dari faktor
bawaan dan faktor lingkungan. Tentang hal tersebut Ali dan Asrori (2004:118)
menyatakan perkembangan kemandirian juga dipengaruhi oleh stimulus lingkungannya
selain oleh potensi yang telah dimiliki sejak lahir sebagai keturunan dari orang tuanya.
Kemandirian terbentuk oleh interaksi antara faktor bawaan dan lingkungan.
Kemandirian dapat berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk
mengembangkan potensi bawaan melalui latihan terus menerus dan dilakukan sejak dini.
2 6 12 15 18
Proses belajar tersebut diawali dari lingkungan terdekat yaitu keluarga, dan
pengalaman yang diperoleh dari berbagai lingkungan di luar rumah. Jika lingkungan
mendukung tumbuhnya kemandirian pada masa kanak-kanak dan mengembangkannya
pada masa remaja akan terbentuk pribadi mandiri yang utuh pada masa dewasa. Dan bila
sebaliknya remaja tumbuh menjadi pribadi yang selalu menggantungkan diri pada orang
lain, selalu ragu-ragu dalam mengambil keputusan dan bahkan tidak berani memikul
tanggung jawabnya sendiri.
Kemandirian semakin berkembang pada setiap masa perkembangan seiring
pertambahan usia dan pertambahan kemampuan. Lie & Prasasti (2004:8-103)
memberikan gambaran perkembangan kemandirian dalam beberapa tahapan usia.
Perkembangan kemandirian tersebut diidentifikasikan pada usia 0 – 2 tahun; usia 2 – 6
tahun; usia 6 – 12 tahun; usia 12 – 15 tahun dan pada usia 15 – 18 tahun. Perkembangan
kemandirian tersebut dapat dilihat pada gambar berikut :
SMA
SMP
PraSekolah
SekolahDasar
Bayi
USIA 0
Gambar 2.Perkembangan kemandirian pada tiap masa perkembangan
Tahap perkembangan kemandirian pada gambar tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut (Lie & Prasasti, 2004:8-104):
1) Usia 0 sampai 2 tahun :
Sampai usia dua tahun, anak masih dalam tahap mengenal lingkungannya,
mengembangkan gerak-gerik fisik dan memulai proses berbicara. Pada tahap ini anak
masih sangat bergantung pada orang tua atau orang dewasa lainnya dalam
memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
2) Usia 2 sampai 6 tahun :
Pada masa ini anak mulai belajar untuk menajdi manusia sosial dan belajar bergaul.
Mereka mengembangkan otonominya seiring dengan bertambahnya berbagai
kemampuan dan keterampilan seperti keterampilan berlari, memegang, melompat,
memasang dan berkata-kata. Pada masa ini pula anak mulai dikenalkan pada toilet
training, yaitu melatih anak dalam buang air kecil atau air besar.
3) Usia 6 sampai 12 tahun :
Menurut Erikson (dalam Lie & Prasasti, 2004:52) pada masa ini anak belajar untuk
menjalankan kehidupan sehari-harinya secara mandiri dan bertanggung jawab. Pada
masa ini anak belajar di jenjang sekolah dasar. Beban pelajaran merupakan tuntutan
agar anak belajar bertanggung jawab dan mandiri.
4) Usia 12 sampai 15 tahun :
Pada usia ini anak menempuh pendidikan di tingkat menengah pertama (SMP). Masa
ini merupakan masa remaja awal di mana mereka sedang mengembangkan jati diri
dan melalui proses pencarian identitas diri. Sehubungan dengan itu pula rasa
tanggung jawab dan kemandirian mengalami proses pertumbuhan.
5) Usia 15 sampai 18 tahun
Pada usia ini anak sekolah di tingkat SMA. Mereka sedang mempersiapkan diri
menuju proses pendewasaan diri. Setelah melewati masa pendidikan dasar dan
menengahnya mereka akan melangkah menuju dunia Perguruan Tinggi atau meniti
karier, atau justru menikah. Banyak sekali pilihan bagi mereka. Dan pada masa ini
mereka diharapkan dapat membuat sendiri pilihan yang sesuai baginya tanpa
tergantung pada orangtuanya. Pada masa ini orangtua hanya perlu mengarahkan dan
membimbing anak untuk mempersiapkan diri dalam meniti perjalanan menuju masa
depan.
Kemandirian pada masa remaja lebih bersifat psikologis, seperti berani membuat
keputusan sendiri dan memperoleh kebebasan perilaku sesuai dengan keinginannya
(Mu’tadin, 2000:3), tentunya dengan disertai tanggung jawab. Kemandirian seorang
Kemandiri asil interaksi in
lingkungan.
remaja diperkuat melalui proses sosialisasi yang terjadi dengan teman sebaya, seperti
pernyataan Hurlock (dalam Mu’tadin, 2002:3) bahwa melalui hubungan dengan teman
sebaya remaja belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri menerima
atau pun menolak pandangan dan nilai yang berasal dari keluarga dan mempelajari
perilaku yang diterima dalam kelompoknya.
Menurut Haryadi dkk (2003:84-110) lambat laun remaja melepaskan diri dari
ikatan orang tua dan bergabung dengan kelompok teman sebayanya untuk menemukan
dirinya. Pada masa ini orang tua perlu memberikan kebebasan secara bertahap dan
menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk kehidupan remaja sendiri, sebab remaja
membutuhkan kebebasan untuk mencapai kemandirian.
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa sebenarnya sejak usia dini anak telah
memiliki dorongan untuk mandiri. Mereka lebih senang bila bisa mengurus diri sendiri
tanpa dilayani. Namun seringkali pengasuh dan orangtua sering menghambat keinginan
dan dorongan mereka untuk mandiri dengan pengungkapan kasih sayang yang tidak tepat.
Misalnya terlalu membatasi atau pun mengambil alih tanggung jawab dengan melakukan
hal-hal yang sebenarnya anak-anak dapat melakukannya sendiri.
Kemandirian merupakan hasil dari interaksi individu dengan lingkungan selama
bertahun-tahun. Terbentuknya kemandirian sebagai hasil interaksi individu dengan
lingkungan digambarkan pada skema berikut :
Lingkungan :- keluarga- sekolah- masyarakat
Individu :- fisik- psikis
an sebagai h
Gambar 3.Pengalaman
belajardividu dengan Pola perilaku
“mandiri”
Dalam kehidupan seseorang terjadi interaksi dengan lingkungan. Melalui proses
interaksi dengan lingkungannya individu memperoleh pengalaman yang dihayati melalui
proses belajar. Pengalaman-pengalaman tersebut membentuk pola-pola perilaku tertentu.
Kebiasaan-kebiasaan perilaku mandiri membentuk pola mandiri yang menetap pada diri
seseorang.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kemandirian
Sebagai hasil dari proses belajar pencapaian kemandirian dipengaruhi oleh
banyak faktor, secara umum dapat digolongkan dalam dua kelompok yaitu faktor internal
dan eksternal.
Faktor internal meliputi segala sesuatu yang dibawa anak sejak lahir yang
merupakan bekal dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya meliputi
bakat, potensi intelektual dan potensi pertumbuhan tubuhnya. Faktor eksternal adalah
semua keadaan atau pengaruh yang berasal dari luar dirinya, sering disebut dengan faktor
lingkungan (Basri, 2000:53-54).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian kemandirian remaja dapat
diuraikan sebagai berikut :
1) Faktor Internal
a) Kondisi fisiologis
Kondisi fisiologis yang berpengaruh antara lain keadaan tubuh,
kesehatan jasmani dan jenis kelamin. Pada umumnya anak yang
sakit lebih bersikap tergantung daripada orang yang tidak sakit
(Walgito, 2000:112). Selain itu sering dan lamanya anak sakit pada
masa bayi menjadikan orang tua sangat memperhatikannya, anak
yang menderita sakit atau lemah otak mengundang kasihan yang
berlebihan dibanding yang lain sehingga dia mendapatkan
pemeliharaan yang lebih (Prasetyo dan Sutoyo, 1989:63).
Jenis kelamin juga berpengaruh terhadap kemandirian remaja.
Simandjuntak dan Pasaribu (1984:112) mengemukakan bahwa
pada anak perempuan terdapat dorongan untuk melepaskan diri
dari ketergantungan pada orang tua, tetapi dengan statusnya
sebagai gadis mereka dituntut untuk bersikap pasif, berbeda dengan
anak lelaki yang agresif dan ekspansif, akibatnya anak perempuan
berada lebih lama dalam ketergantungan daripada anak laki-laki.
b) Kondisi psikologis
Walaupun kecerdasan atau kemampuan berpikir seseorang dapat
diubah atau dikembangkan melalui lingkungan, sebagian ahli
berpendapat bahwa faktor bawaan juga berpengaruh terhadap
keberhasilan lingkungan dalam mengembangkan kecerdasan
seseorang. Kecerdasan atau kemampuan kognitif berpengaruh
terhadap pencapaian kemandirian seseorang. Kemampuan
bertindak dan mengambil keputusan tanpa bantuan orang lain
hanya mungkin dimiliki oleh orang yang mampu berpikir dengan
seksama tentang tindakannya (Basri, 2000), demikian halnya
dalam pemecahan masalah. Hal tersebut menunjukkan kemampuan
kognitif yang dimiliki berpengaruh terhadap pencapaian
kemandirian remaja.
2) Pola Asuh Orang Tua dalam Keluarga
Lingkungan keluarga berperan penting dalam penanaman
nilai-nilai pada diri seorang remaja, termasuk nilai kemandirian.
Penanaman nilai kemandirian tersebut tidak lepas dari peran orang tua
dan pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anak.
Bila seorang anak sejak kecil sudah dilatih untuk mandiri
maka ketika ia harus keluar dari asuhan orang tuanya untuk hidup
mandiri ia tidak akan merasa kesulitan (Prawironoto, 1994:59-74).
Pengaruh keluarga terhadap kemandirian remaja terkait dengan
peranan orang tua. Dalam hal ini ayah dan ibu mempunyai peran nyata
seperti yang dinyatakan Partowisasto (1983:96-97) berikut :
Bila karena rasa kasih sayang dan rasa kuatirnya seorang ibu tidak berani melepaskan anaknya untuk berdiri sendiri menjadikan anak tersebut harus selalu ditolong, terlalu terikat pada ibu karena dimanjakan, tidak dapat menyesuaikan diri dan perkembangan wataknya mengarah pada keragu-raguan. Sikap ayah yang keras menjadikan anak kehilangan rasa percaya diri sementara pemanjaan dari ayah menjadikan anak kurang berani menghadapi masyarakat luas.
Pengasuhan yang diberikan orang tua juga turut membentuk
kemandirian seseorang. Toleransi yang berlebihan, pemeliharaan
berlebihan dan orang tua yang terlalu keras kepada anak menghambat
pencapaian kemandiriannya (Prasetyo dan Sutoyo, 1989:61-67).
Sementara Alwisol (2004:105-106) menyatakan bahwa pemanjaan
yang berlebihan dan pengabaian orang tua terhadap anak
mengakibatkan terhambatnya kemandirian anak.
Terkait dengan pola asuh tersebut anak sulung dan anak
bungsu cenderung mendapat curahan waktu dan perhatian lebih dari
orang tua dibandingkan anak-anak di antara keduanya (Hurlock,
1978:63). Menurut Prasetyo dan Sutoyo (1989:63), pemeliharaan dan
penjagaan yang berlebihan diberikan kepada anak sulung dan anak
bungsu.
Terhadap anak sulung pemeliharaan berlebihan diberikan
karena anak sulung merupakan pengalaman pertama bagi orang tua
sehingga orang tua yang pada saaat itu belum berpengalaman
cenderung khawatir dan selalu was-was kepadanya sehingga terlelu
berlebihan memperhatikannya. Anak bungsu juga mendapatkan
pemeliharaan berlebihan karena orang tua merasa bahwa kemampuan
mendapat anak sudah atau hampir berakhir sehingga perhatian
dicurahkan sepenuhnya kepada anak bungsu. Telah dikemukakan
bahwa pemeliharaan berlebihan dapat menghambat pencapaian
kemandirian. Dengan demikian dimungkinkan baik anak sulung
maupun anak bungsu mempunyai posisi yang rentan untuk mengalami
hambatan dalam pencapaian kemandirian.
3) Faktor Pengalaman dalam Kehidupan Selanjutnya
Pengalaman dalam kehidupan anak selanjutnya meliputi
pengalaman di lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
Lingkungan sekolah berpengaruh terhadap pembentukan kemandirian
seorang anak, baik melalui hubungan dengan teman maupun dengan
guru. Interaksi dengan teman sebaya di lingkungan sekitar juga
berpengaruh terhadap kemandirian seseorang, seperti halnya pengaruh
teman sebaya di sekolah. Dalam perkembangan sosialnya remaja mulai
memisahkan diri dari orang tua dan menuju ke arah teman sebaya dan
pada saat itu remaja telah memulai perjuangan memperoleh kebebasan
(Haryadi, 2003: 84). Dan menurut Hurlock (dalam Mu’tadin 2002: 3)
melalui hubungan dengan teman sebaya remaja belajar berpikir
mandiri.
Demikian halnya dengan lingkungan masyarakat, terkait
dengan faktor budaya dan kelas sosial. Dalam tempat tinggalnya
seorang anak mengalami tekanan untuk mengembangkan suatu pola
kepribadian yang sesuai dengan standard yang ditentukan budayanya
(Hurlock, 1978:249). Pengaruh budaya terhadap kemandirian terlihat
pada masyarakat Jawa dan Sunda. Masyarakat Jawa pada umumnya
menanamkan nilai kemandirian melalui keluarga sebagai nilai budaya
di samping nilai tata krama, disiplin, tanggung jawab, keagamaan dan
kerukunan (Praworonoto, 1994:59). Sedangkan keluarga Sunda tidak
bermaksud menghasilkan individu yang mandiri sebab dianggap
cenderung bertindak individual sehingga akan menghambat
tercapainya masyarakat yang selaras dan seimbang (Widjaja, 1986:3).
Mencapai kebebasan dengan mengurangi ketergantungan
pada orang tua dan orang dewasa sangat dipengaruhi oleh kelas
sosialnya termasuk kelas ekonomi, maupun kelas pendidikan
(Mappiare, 1982:120). Pengaruh kelas sosial terhaadap pembentukan
kemandirian terlihat dari golongan priyayi dan non priyayi pada
masyarakat Jawa. Anak-anak dalam keluarga non priyayi sejak berusia
12 tahun lebih mandiri dari anak-anak dalam keluarga priyayi
(Prawironoto, 1994:76).
Dengan memperhatikan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa faktor-faktor yang turut mempengaruhi terbentuknya
kemandirian meliputi kesehatan jasmani, jenis kelamin, kondisi
psikologis pola asuh orang tua, peran guru, pengaruh teman sebaya di
sekolah dan di lingkungan sekitar tempat tinggal serta budaya dan
kelas sosial. Pengaruh yang diberikan oleh faktor-faktor tersebut dalam
pembentukan kemandirian remaja dapat dilihat pada gambar berikut :
Kesehatan Jasmani
PengasuhanOrang Tua Kondisi Psikis
Kelas SosialKemandirian Remaja Jenis Kelamin
Budaya Peran guru di sekolah
Teman sebaya
Gambar 4.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kemandirian.
B. Urutan KelahiranAlfred Adler sebagai tokoh Psikologi Individual yakin bahwa faktor
penting yang berpengaruh terhadap gaya hidup seseorang adalah posisi atau
urutan kelahiran dalam keluarga (Balson, 1999: 33). Menurut Adler kepribadian
seseorang dipengaruhi oleh gaya hidup yang telah terbentuk pada usia 4 – 5 tahun.
Gaya hidup menurut Adler adalah cara unik dari tiap orang dalam berjuang
mencapai tujuan khusus yang telah ditentukan orang tersebut dalam
kehidupannya. Terbentuknya gaya hidup tersebut tidak hanya ditentukan oleh
faktor hereditas dan lingkungan, melainkan dibentuk pula oleh anak melalui
pengamatannya dan interpretasinya terhadap kedua hal tersebut. Berdasarkan
keyakinannya bahwa keturunan, lingkungan dan kreatifitas individual bergabung
membentuk kepribadian seseorang, Adler mengembangkan teori urutan kelahiran.
Menurutnya dalam tiap keluarga, setiap anak lahir dengan unsur genetis yang
berbeda, masuk dalam seting sosial yang berbeda dan menginterpretasi situasi
dengan cara yang berbeda sehingga berkembanglah gaya hidup yang berbeda-
beda pula (Alwilsol, 2004:97-105).
Tentang gaya hidup, Forer (Hurlock, 1980:33) mengemukakannya sebagai
berikut:
“Kedudukan Anda dalam keluarga sangat mempengaruhi bagaimana Anda menghadapi masyarakat dan dunia … Sebagian besar perkembangan anak bergantung pada interaksi dengan saudara-saudaranya. Semua anggota keluarga memaksakan pola-pola perilaku tertentu kepada anggota keluarga yang lain dan pada saat mereka berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan mereka …. Dengan cara inilah posisi dalam keluarga memberi cap yang tidak dapat dihapuskan pada gaya hidup seseorang”.
Teori Adler tentang urutan kelahiran tersebut kemudian dikenal dengan
istilah “Birth Order”, yaitu posisi seseorang dalam keluarga menurut urutan dia
dilahirkan. Birth Order atau Konsep Urutan Kelahiran bukan didasarkan semata-
mata pada nomor urutan kelahiran menurut diagram keluarga, melainkan
berdasarkan persepsi psikologis yang terbentuk dari pengalaman seseorang di
masa kecilnya, terutama sejak ia berusia dua sampai lima tahun (Hadibroto,
2002:16).
Dalam posisinya masing-masing setiap anak mempunyai tangggung jawab
dan konsekuensi yang berbeda, hal tersebut dapat disebabkan oleh kebudayaan
maupun sikap orang tua (Handayani dalam Aji, 2003:2). Dalam tiap budaya
seorang anak mengalami tekanan untuk mengembangkan suatu pola kepribadian
yang sesuai dengan standard yang ditentukan budayanya (Hurlock, 1978:249).
Dalam sebuah keluarga tidak ada anak yang mempunyai sifat sama persis bahkan
anak kembar sekalipun, hal ini disebabkan sifat yang terbentuk dari pengalaman
psikologis masing-masing dengan penafsiran terhadap posisinya dalam keluarga
dan caranya membiasakan diri berperilaku dalam perannya (Hadibroto dkk,
2002:12). Menurut Corey (1995:202) gaya hidup yang diperoleh pada masa anak-
anak sehubungan dengan urutan kelahirannya akan dibawa dalam proses interaksi
pada masa dewasa.
Dengan posisi/urutan kelahiran yang berbeda dalam keluarganya setiap
anak mengembangkan gaya hidup yang berbeda pula. Gaya hidup tersebut
membentuk kepribadian dan pola perilaku yang berbeda pada masa berikutnya
baik pada masa remaja maupun masa dewasa. Hadibroto dkk (2000:16)
menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan kepribadian yang terbentuk menurut
urutan kelahiran tidak akan berubah lagi dan berdampak pada setiap bidang
kehidupannya kelak.
Adapun posisi menurut urutan kelahiran yang telah diidentifikasikan Alfred
Adler (Corey, 1995:200) adalah anak tunggal, anak sulung, anak kedua, anak
tengah dan anak bungsu. Ciri kepribadian menurut urutan kelahiran tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut (Alwilsol, 2004:107):
TABEL 1.Ciri Kepribadian Menurut Urutan Kelahiran
ANAK SULUNG ANAK KEDUA/ ANAK BUNGSU ANAK TUNGGAL TENGAH
SITUASI DASAR- Menerima
perhatian tidak terpecah dari orang tua.
- Turun tahta akibatkelahiran adik dan harus berbagi perhatian
- Memiliki modelatau perintis, yakni kakaknya.
- Harus berbagi perhatian sejak awal
- Memilikibanyak model, menerima banyak perhatian, walaupun berbagi, tidak berubah sejak awal.
- Sering dimanja
- Menerimaperhatian tidak terpecah dari orang tua
- Cenderungcukup dengan orang tuanya
- Sering dimanja
DAMPAK POSITIF- Bertanggung
jawab,melindungi dan memperhatikan orang lain
- Organisator yangbaik
- Motivasi tinggi- Memiliki interres
sosial- Lebih mudah
menyesuaikan diri dibanding kakaknya
- Kompetisi yang sehat
- Seringmengungguli semua saudaranya
- Ambisius yang realistik
- Masak sosial
DAMPAK NEGATIF- Merasa tidak
aman, takut tiba- tiba kehilangan nasib baik
- Pemarah, pesimistik, konservatif, perhatian pada aturan dan hukum
- Berjuang untukditerima
- Tidak kooperatif, senangmengkritik orang lain
- Pemberontak danpengiri permanen, cenderung berusaha mengalahkan orang lain
- Kompetitifberlebihan
- Mudah kecil hati- Sukar berperan
sebagai pengikut
- MerasaInferiordengan siapa saja
- Tergantung pada orang lain
- Ambisius yangtidak realistik
- Gaya hidup manja
- Ingin menjadipusat perhatian
- Takut bersaing dengan orang lain
- Merasa dirinya benar & setiap tantangan harus disalahkan
- Perasaan bekerjasama rendah
- Gaya hidup manja
Di antara urutan kelahiran tersebut, anak sulung dan anak bungsu
cenderung mendapat curahan waktu dan perhatian lebih dari orang tua
dibandingkan anak-anak di antara keduanya (Hurlock, 1978:63). Tentang hal
tersebut Prasetyo dan Sutoyo menyatakan pemeliharaan dan penjagaan yang
berlebihan diberikan kepada anak sulung dan anak bungsu (1989:63).
Pemeliharaan dan penjagaan yang berlebihan inilah yang kemudian memunculkan
gaya hidup manja. Sementara pemanjaan merupakan kesalahan yang mempunyai
dampak sama dengan pengabaian pada anak, yaitu dapat menghambat
kemandirian (Alwilsol, 2004:94).
Sekalipun anak sulung dan anak bungsu cenderung sama-sama memperoleh
perhatian yang lebih dari orang tua namun masing-masing mereka tetap
menunjukkan karakteristik yang khas. Karakteristik tersebut muncul karena
adanya pengalaman psikologis yang berbeda di antara mereka karena perlakuan
yang berbeda. Berikut ini adalah uraian tentang anak sulung dan anak bungsu.
1. Anak Sulung
Anak sulung menurut Simandjuntak dan Pasaribu (1984:277) adalah anak yang
pertama kali dilahirkan dalam suatu keluarga. Handayani dalam Aji (2003:2) memberikan
pengertian yang sama, yang dimaksud dengan anak sulung adalah anak yang paling tua atau
anak yang lahir pertama dari suatu keluarga. Hadibroto dkk (2002:19) mendefinisikan anak
sulung adalah anak tunggal yang beralih posisi karena munculnya anak kedua. Dari definisi-
definisi tersebut terdapat kesamaan pandangan bahwa anak sulung adalah anak yang pertama
kali dilahirkan dalam suatu keluarga. Sebelum kelahiran adiknya dia menjadi anak tunggal
dan karena dia terlahir pertama kali dia mempunyai usia yang paling tua di antara anak-anak
yang lain dalam keluarganya.
Anak sulung mempunyai posisi yang khas, selama satu atau dua tahun ia merupakan
satu-satunya anak (anak tunggal ) (Balson, 1999:34). Biasanya anak sulung mendapat
perhatian besar, sedikit dimanjakan dan menjadi pusat perhatian (Corey, 1995:201). Sebelum
kelahiran anak kedua dia hidup dengan penuh fitalitas karena orang tua selalu bersikap terlalu
menyayangi dan melindunginya (Simandjuntak & Pasaribu, 1984:277). Orang tua cenderung
terlalu cemas dan melindungi secara berlebihan kepada anak sulung (Aji, 2003:2). Mereka
mendapat perhatian yang utuh dari orang tuanya, sampai perhatian itu terbagi saat ia mendapat
adik. Perhatian dari orang tua itu cenderung membuat anak memiliki perasaan mendalam
untuk menjadi superior/kuat, kecemasannya tinggi dan terlalu dilindungi (Alwilsol,
2004:105).
Selain menjadi pusat perhatian orang tuanya dia juga mengalami penderitaan akibat
kurangnya pengalaman orang tua, menjadi sasaran dari banyak tekanan dan diawasi lebih teliti
dari oleh anggota keluarga yang lain (Balson, 1999:34). Selain itu orang tua juga bersikap
perfek dan membebani anak sulung dengan tanggung jawab yang berlebihan (Simandjuntak &
Pasaribu, 1984:278).
Berbagai perlakuan dan harapan yang diberikan pada anak sulung memunculkan
karakteristik tertentu pada seseorang yang berposisi anak sulung. Beberapa ciri umum anak
sulung menurut Hurlock (1980:84-86):
a. Berperilaku matang karena berhubungan dengan orang-orang dewasa dan diharapkan
memikul tanggung jawab
b. Benci terhadap fungsinya sebagai teladan bagi adik-adiknya dan sebagai pengasuh
mereka
c. Cenderung mengikuti kehendak dan tekanan kelompok, mudah dipengaruhi untuk
mengikuti kehendak orang tua.
d. Mempunyai perasaan kurang aman dan perasaan benci sebagai akibat lahirnya adik yang
sekarang menjadi pusat perhatian
e. Kurang agresif dan kurang berani karena perlindungan orang tua yang berlebihan.
f. Mengembangkan kemampuan memimpin sebagai akibat dari harus memikul tanggung
jawab di rumah.
g. Biasanya berprestasi tinggi atau sangat tinggi karena tekanan dan harapan orang tua dan
keinginannya untuk memperoleh kembali perhatian orang tua.
h. Sering tidak bahagia karena adanya perasaan kurang aman.
2. Anak Bungsu
Anak bungsu menurut Hadibroto dan kawan-kawan (2002:19) adalah anak kedua
atau anak ketiga dan seterusnya yang tidak mempunyai adik lagi. Balson (1999:36)
mendefinisikan secara singkat bahwa anak bungsu adalah anak yang lahir terakhir. Status
bungsu pada seseorang sukar diramalkan, kecuali kedua orang tua telah bersepakat (Sujanto,
1982:53), dan sering juga anak bungsu lahir di luar perencanaan (Aji, 2003:2).
Anak bungsu selalu menjadi buah hati keluarga dan cenderung menjadi anak yang
paling dimanja (Corey, 1995:201). Pemanjaan tersebut bukan hanya oleh orang tuanya tetapi
juga orang-orang di sekitarnya termasuk kakak-kakaknya dan juga kakeknya (Simandjuntak
& Pasaribu, 1984:279). Dari saudara-saudaranya yang lebih besar si bungsu merasakan
adanya perlakuan yang hampir sama dengan yang dilakukan orang tuanya, yaitu selalu
menyayangi dan memanjakannya (Sujanto, 1982:54).
Anak bungsu terbiasa dengan pemanjaan tersebut hingga ia tumbuh remaja dan
akhirnya dewasa. Dalam kehidupannya dia menginginkan semua orang di sekitarnya bersikap
seperti orang tua dan kakak-kakaknya yang selalu melindungi, menyayangi dan siap
melakukan apa saja untuknya.
Menurut Aji (2003:3) perhatian yang terus menerus dari saudara dan orang tuanya
mengakibatkan sifat-sifat anak bungsu seperti terlihat kekanak-kanakan, cepat putus asa dan
mudah emosi, selain pemanjaan banyak juga orang tua yang tetap menginginkan anak bungsu
tetap tinggal bersama dan membuat si bungsu menjadi tidak independent. Dengan
pengalaman yang diperoleh dalam keluarga dapat dimaklumi bila seseorang dengan posisi
anak bungsu sulit melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tua dan mewujudkan
kemandirian. Seperti yang dinyatakan Balson (1999:37), anak bungsu cenderung mengalami
problem perkembangan dalam kebebasan.
Seperti halnya pada anak sulung, anak bungsu memiliki ciri-ciri umum sebagai
berikut (Hurlock, 1980:35) :
a. Cenderung keras dan banyak menuntut sebagai akibat kurang ketatnya
disiplin dan dimanjakan oleh anggota keluarga.
b. Tidak banyak memiliki rasa benci dan rasa aman yang lebih besar karena tidak pernah
disaingi oleh saudara-saudaranya yang lebih muda.
c. Biasanya dilindungi oleh orang tua dari serangan fisik atau verbal kakak-kakaknya, hal
ini mendorong ketergantungan dan kurangnya rasa tanggung jawab.
d. Cenderung tidak berprestasi tinggi karena kurangnya harapan dan tuntutan orang tua
e. Mengalami hubungan sosial yang baik di luar rumah dan biasanya populer tetapi jarang
menjadi pemimpin karena kurangnya kemauan memikul tanggung jawab.
f. Cenderung merasa bahagia karena memperoleh perhatian dan dimanjakan anggota-
anggota keluarga selama masa kanak-kanak.
Secara ringkas Alwisol (2004:106) menyatakan bahwa anak bungsu, adalah anak
yang sering dimanja karena pemanjaan tersebut mereka beresiko tinggi menjadi anak
bermasalah. Mereka mudah terdorong memiliki perasaan inferior yang kuat dan tidak mampu
berdiri sendiri. Namun mereka sering termotivasi untuk melampaui kakak-kakaknya dan
menjadi anak yang ambisius.
C. Kerangka Berpikir tentang Perbedaan Kemandirian Anak Sulung dengan AnakBungsu.
Berdasarkan uraian urutan kelahiran tersebut diketahui bahwa posisi sebagai anak
sulung atau pun anak bungsu merupakan posisi yang istimewa dalam keluarga. Dalam beberapa
pendapat telah disajikan bahwa anak sulung dan anak bungsu sama-sama mendapatkan curahan
perhatian dan kasih sayang yang berlebih dari orangtua bila dibandingkan dengan anak-anak di
antara keduanya, yaitu anak tengah.
Orang tua juga berharap agar kelak anak pertamanya dapat menggantikan peran orang
tua bagi adik-adiknya Sementara itu anak bungsu cenderung dianggap lebih beruntung dengan
posisinya, karena sebagian tanggung jawabnya telah dipikul oleh orang-orang dewasa atau orang
yang lebih tua darinya (Sujanto, 1982:52).
Anak sulung mendapat curahan kasih sayang karena dia adalah anak yang sangat
diharapkan kelahirannya. Kelahirannya adalah suatu hal yang istimewa bagi orang tua dan orang-
orang di sekitarnya. Sebagai orang tua yang baru mempunyai seorang anak ayah dan ibunya sangat
menghawatirkan keadaannya, perhatian dan kasih sayang dicurahkan kepadanya sebagai anggota
baru keluarga yang mempesona.
Adapun anak bungsu menjadi pusat perhatian dan tempat curahan kasih sayang orang
tua dan anggota keluarga yang lain karena dia adalah anggota keluarga yang paling kecil, semua
anggota keluarga ingin memikat dan menarik perhatiannya. Selain itu orang tua juga merasa
bahwa kemampuan atau kemungkinan untuk mempunyai anak lagi sudah atau hampir berakhir
sehingga anak bungsu menjadi tempat curahan kasih sayang yang selalu diperhatikan.
Hal yang membedakan antara anak sulung dan anak bungsu adalah lebih lamanya waktu
anak bungsu untuk menikmati curahan kasih sayang orang tua dari pada anak sulung. Masa-masa
menyenangkan anak sulung akan segera berakhir dengan hadirnya anak kedua sebagai anggota
baru dalam keluarga. Terlebih lagi ditambah dengan kelahiran anak ketiga dan keempat. Dan
biasanya anak sulung diberi tanggung jawab oleh orang tuanya untuk turut membantu mengurus
dan mengawasi adik-adiknya. Selain itu anak sulung dituntut untuk mampu memberi contoh yang
baik kepada adiknya, akibatnya anak sulung cenderung patuh terhadap peraturan yang ada di
sekelilingnya.
Dalam hal ini si bungsu sebagai anggota keluarga termuda dan terkecil mendapatkan
perhatian, kasih sayang dan bantuan dari banyak orang disekitarnya. Bahkan tidak jarang orang-
orang disekitarnya menyelesaikan atau mengambil alih tugas dan tanggung jawabnya, selalu
membantunya dalam setiap persoalan.
Pemberian tanggung jawab juga menjadi faktor penting yang membedakan kemandirian
anak sulung dan anak bungsu. Anak sulung dituntut bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-
adiknya, anak sulung harus bisa melakukan bebagai hal bagi adik-adiknya karena kelak dialah
yang akan menggantikan peran orang tua bagi adiknya. Anak sulung juga seringkali diminta utuk
melakukan sendiri apa-apa yang perlu dilakukannya karena orang tuanya mulai disibukkan oleh
adik-adiknya. Kondisi tersebut memberi kesempatan pada anak sulung untuk melakukan banyak
hal yang mungkin tidak pernah dilakukan anak bungsu.
Pengkondisian seperti itu akhirnya menjadikan anak sulung terbiasa lebih banyak
bekerja dan bertanggung jawab atas sesuatu hal bila dibandingkan dengan anak bungsu. Bila anak
sulung terbiasa melakukan banyak hal, sebaliknya dengan anak bungsu. Dia selalu mendapat
bantuan dari orang-orang yang lebih besar dan lebih tua darinya. Dengan sering mendapat bantuan
tersebut anak bungsu menjadi kurang mengetahui tentang kemampuan yang sebenarnya dia miliki,
dan kalaupun dia mampu melakukan sesuatu dia lebih senang bila ada orang lain yang mau
melakukan itu untuknya. Karena dia terbiasa ditolong dan meminta tolong kepada orang-orang di
rumah, dia terbiasa melakukan hal tersebut di luar rumah. Misalnya saja dia akan meminta
temannya untuk menyelesaikan tugasnya atau meminta orang lain mengambilkan barang yang
diperlukannya walaupun mungkin sebenarnya dia bisa melakukannya sendiri. Akibatnya dia
jarang menyelesaikan suatu pekerjaan sendiri dan mengambil penuh tanggung jawabnya
Dengan demikian terjadi pengkondisian yang berbeda antara anak sulung dan anak
bungsu. Anak sulung terbiasa bertanggung jawab dan dituntut untuk bisa melakukan sendiri apa
yang diperlukannya, sementara anak bungsu terbiasa mendapatkan bantuan orang lain untuk
menyelesaikan tugasnya dan memenuhi kebutuhannya. Anak bungsu selalu dimanjakan oleh
orang-orang di sekitarnya. Pemanjaan inilah yang kemudian menjadi faktor penghambat
terbentuknya kemandirian anak bungsu.
Hal tersebut pada akhirnya memunculkan pola perilaku yang berbeda antara anak sulung
dan anak bungsu. Anak sulung tumbuh menjadi orang yang mandiri sementara anak bungsu
tumbuh menjadi orang yang manja dan terbiasa menggantungkan diri pada orang lain. Seperti
halnya yang dinyatakan Aji (2000:3) bahwa perhatian yang terus menerus dari saudara dan orang
tuanya mengakibatkan sifat-sifat anak bungsu seperti terlihat kekanak-kanakan, cepat putus asa
dan mudah emosi, selain pemanjaan banyak juga orang tua yang tetap menginginkan anak bungsu
tetap tinggal bersama orang tua sehingga cenderung membuat si bungsu menjadi tidak mandiri.
Sementara itu pada masyarakat tertentu anak sulung dianggap mempunyai kelebihan atau
superioritas dalam beberapa hal sehingga dipercaya untuk mengurusi berbagai hal seperti
pembagian warisan atau pernikahan adik dan keponakannya.
Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui perbedaan perlakuan yang diberikan pada
anak sulung dan anak bungsu sehingga memunculkan karakter yang berbeda. Selain itu dapat
diketahui juga kecenderungan perbedaan kemandirian antara anak sulung dan anak bungsu seperti
yang dapat dilihat pada tabel berikut :
TABEL 2.
Kecenderungan perbedaan kemandirian anak sulung dengan anak bungsu.
Anak Sulung Anak Bungsu1. Pada tahun-tahun pertama mendapat
curahan kasih sayang yang berlebih.
2. Cenderung lebih matang dalam interaksi sosial karena sering berinteraksidengan orang-orang dewasa.
3. Cenderung mengikuti kehendak dan tekanan kelompok, mudah dipengaruhi untuk mengikuti kehendak orang tua.
4. Cenderung lebih matang secara emosi dan mau mengalah karena terkondisi untuk mengalah pada adik-adiknya.
5. Cenderung lebih mampu bertanggungjawab; terbiasa bertanggung jawab atas adik-adiknya (dalam menggantikan peran orang tuanya).
6. Cenderung lebih mandiri; terbiasa melakukan sendiri kegiatannya.
7. Merasa tidak aman, takut tiba-tiba kehilangan nasib baik, dan pemarah
1. Lebih lama mendapat curahan kasihsayang secara berlebih tidak hanya pada tahun pertama bahkan sampai ia dewasa.
2. Cenderung kekanak-kanakan karena selaludimanjakan oleh orangtua dan orang- orang di sekitar.
3. Cenderung keras dan banyak menuntutsebagai akibat kurang ketatnya disiplin dan dimanjakan oleh anggota keluarga.
4. Cenderung mudah emosi (menuntut dan memaksa untuk mendapatkan sesuatu) dan cepat putus asa.
5. Cenderung kurang bertanggung jawab; biasanya melimpahkan tanggungjawab pada orang-orang disekitarnya atau diambil alih tanggung jawabnya.
6. Cenderung kurang mandiri; karena sering dibantu orang lain dalam melakukan suatu kegiatan
7. Merasa inferior dengan siapa saja, tergantung pada orang lain, dan mengembangkan gaya hidup manja
Dari tabel tersebut dapat diketahui beberapa perbedaan khas antara anak sulung dan anak bungsu yang mendorong pembentukan kemandirian anak sulung dan anak bungsu. Anak bungsu memperoleh curahan perhatian dari orang tua dan orang-orang di sekitarnya jauh lebih lama dari anak sulung. Namun anak sulung cenderung lebih matang ketika berinteraksi dengan orang lain, cenderung lebih matang secara emosi, cenderung lebih bertanggung jawab bila dibandingkan dengan anak bungsu. Dalam hal kemandirian, nampak anak sulung cenderung lebih mandiridari anak bungsu walaupun anak sulung mempunyai kecenderungan untuk mudah dipengaruhi kelompok atau orangtuanya.
D. HipotesisBerdasar pendapat para ahli dalam landasan teori di atas, diperoleh jawaban sementara
tentang perbedaan kemandirian anak sulung dan anak bungsu sebagai berikut :
“Terdapat perbedaan kemandirian yang signifikan antara anak sulung dengan anak bungsu. Anak
sulung cenderung lebih mandiri dibandingkan anak bungsu”.
BAB III
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian komparasi. Penelitian komparasi
adalah penelitian yang berusaha untuk menemukan persamaan dan perbedaan
tentang benda, orang, prosedur kerja, ide, dan kritik terhadap orang atau
kelompok. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penelitian komparasi
adalah penelitian yang ingin membandingkan dua atau tiga kejadian dengan
melihat penyebabnya (Sudijono, 2000:260).
Ada pun dalam penelitian ini yang dicari adalah perbedaan kemandirian
antara anak sulung dengan anak bungsu.
Variabel Penelitian
1. Identifikasi Variabel
Variabel penelitian, adalah apa yang menjadi titik perhatian suatu
penelitian (Arikunto, 1996:99). Variabel dapat pula didefinisikan sebagai
gejala yang bervariasi, seperti yang dinyatakan Sutrsisno Hadi (dalam
Arikunto, 1996:97); gejala adalah objek penelitian yang bervariasi. Secara
singkat Arikunto (1998:27) menyatakan bahwa variabel adalah gejala yang
menunjukkan variasi baik dalam jenis maupun tingkatannya.
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas dan
variabel terikat.
40
Variabel terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemandirian.
Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah urutan kelahiran yaitu anak
sulung dan anak bungsu.
Dalam penelitian ini ingin diketahui tingkat kemandirian anak sulung
dan anak bungsu pada aspek-aspek yang telah ditentukan yaitu intelektual,
ekonomi, emosi dan sosial. Dengan demikian kemandirian termasuk dalam
kategori sebagai variabel ordinal, yaitu variabel yang menunjukkan adanya
tingkatan (Arikunto, 1996:98).
2. Definisi Operasional Variabel
a. Kemandirian
Menurut Gea (2002:146) mandiri adalah kemampuan seseorang untuk mewujudkan
keinginan dan kebutuhan hidupnya dengan kekuatan sendiri. Menurut Basri (2000:53)
yang dimaksud dengan kemandirian adalah keadaan seseorang yang mampu
memutuskan atau mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Menurut Havighurst
(dalam Mu’tadin, 2002:2), kemandirian meliputi kemandirian dalam hal intelektual,
ekonomi, emosi, dan sosial. Kemandirian intelektual ditunjukkan dengan kemampuan
dalam mengatasi masalah. Kemandirian ekonomi ditunjukkan dengan kemampuan
mengatur sendiri perekonomiannya. Kemandirian emosi ditunjukkan dengan
kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada orang tua
atau orang dewasa lainnya., dan kemandirian sosial ditunjukkan dengan kemampuan
berinteraksi dengan orang lain tanpa tergantung dan menunggu aksi dari orang lain.
Berdasarkan pendapat tersebut yang dimaksud dengan kemandirian dalam penelitian ini
adalah kemampuan seseorang untuk mewujudkan keinginan dan memenuhi
kebutuhannya dalam hal intelekual, ekonomi, emosi, dan sosial tanpa tergantung pada
bantuan orang lain.
b. Urutan kelahiran adalah posisi seorang anak dalam keluarga berdasarkan urutan dia
dilahirkan.
1) Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan anak sulung adalah anak yang pertama
kali lahir dalam keluarganya.
2) Ada pun yang dimaksud anak bungsu adalah anak yang lahir terakhir kali dalam
keluarganya.
Populasi dan Sampel1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 1996:115). Dengandemikian populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas II SMA Negeri 11 Semarang tahun pelajaran 2004/2005 yang berkedudukan sebagai anak sulung dan yang berkedudukan sebagai anak bungsu.
Siswa kelas II dipilih sebagai sasaran penelitian mengingat kelas inimerupakan masa di mana para remaja mulai merasa benar-benar sebagai remaja dengan dapat diperolehnya berbagai hak istimewa sebagai remaja karena pada umumnya pada saat duduk di kelas II SMA remaja berusia 17 tahun.
SMA Negeri 11 Semarang dipilih sebagai lokasi penelitian dengan
alasan peristiwa atau gejala yang disampaikan pada pendahuluan terjadi di
sana berdasar pengamatan sementara pada kegiatan PLBK Di Sekolah. Lokasi
SMA Negeri 11 yang dekat dengan tempat tinggal peneliti juga menjadi
alasan SMA tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian, dengan letaknya yang
dekat dengan tempat tinggal peneliti diharapkan biaya yang dikeluarkan untuk
penelitian ini tidak terlalu besar.
Berdasarkan studi dokumentasi yang dilakukan diketahui jumlah
anggota populasi dalam penelitian ini sebanyak 234 siswa yang terdiri dari
121 anak sulung dan 113 anak bungsu. Dengan rincian sebagai berikut :
TABEL 3.Anak Sulung dan Anak Bungsu SMA Negeri 11 Semarang
KELAS ANAK SULUNG ANAK BUNGSU2-1 19 112-2 12 12
2-3 17 152-4 15 142-5 13 172-6 11 202-7 15 92-8 19 9
JUMLAH 121 113
Pada umumnya anggota populasi dalam penelitian ini mempunyai
beberapa persamaan karakter antara lain adalah :
a. usia kurang lebih 17 tahun
b. tingkat pendidikan kelas II SMA dan
c. tempat menempuh pendidikan SMA Negeri 11 Semarang
2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
a. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 1996:117).
Ada pun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas II yang berposisi
sebagai anak sulung atau anak bungsu. Untuk mengetahui posisi anak dalam keluarganya
apakah sebagai anak sulung atau anak bungsu dilaksanakan studi dokumentasi terhadap
data pribadi siswa kelas II SMA Negeri 11 Semarang tahun pelajaran 2004/2005.
Kemudian siswa-siswa tersebut dikelompokkan menurut posisinya dalam keluarga.
Dengan demikian dalam penelitian ini terdapat dua kelompok sampel. Jumlah sampel
dari masing-masing kelompok sampel tersebut lebih dari 100 orang, tiap kelompok
sampel diambil 25% (Arikunto,1996:120). Perhitungan sampel tersebut dapat dapat
dilihat pada tabel berikut :
TABEL 4Persentase Pada Kelompok Sampel
KELOMPOK SAMPEL JUMLAH 25% n
Sulung 121 30,25 30Bungsu 113 28,25 28
JUMLAH 234 58,50 58
b. Teknik pengambilan sampel
Untuk memperoleh sampel yang representatif diperlukan teknik pengambilan
sampel yang sesuai. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive
proporsional random sampling, karena dalam pengambilan sampel dipilih siswa-siswa
dengan kedudukan anak sulung dan anak bungsu (melalui studi dokumentasi berupa data
pribadi siswa), di mana masing-masing kelompok sampel diambil dengan proporsi yang
sama yaitu 25 % dan penentuan sebagai sampel dilakukan dengan mengacak kelas yang
akan dijadikan sebagai subyek penelitian. Adapun kelas yang terpilih adalah kelas 2-1
dan 2-5. Kelas 2-1 terdiri 19 anak sulung dan 11 anak bungsu dan di kelas 2-5 terdiri dari
13 anak sulung dan 17 anak bungsu.
TABEL 5Pengambilan Sampel
KELAS SULUNG BUNGSU2-1 19 112-5 13 17
JUMLAH 32 28
Dari 32 anak sulung dari kedua kelas tersebut hanya diambil 30 anak sulung
sedangkan anak bungsu dari kedua kelas tersebut sebanyak 28 anak, semuanya dijadikan
sebagai sampel penelitian. Dengan demikian jumlah sampel dalam penelitian ini adalah
58 siswa.
Metode Pengumpulan Data
1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemandirian anak sulung dan
anak bungsu. Kemandirian sebagai variabel terikat dalam penelitian ini merupakan salah satu
aspek psikologis yang kondisinya dapat diketahui setelah diadakan suatu pengukuran sehingga
diperoleh data statistik tentang kemandirian tersebut. Dengan demikian data yang diperoleh
melalui penelitian ini adalah data kontinum. Data kontinum adalah data hasil pengukuran
(Sudjana, 2002:4).
Karena yang diukur adalah aspek psikologis maka metode pengumpulan data yang
digunakan adalah skala psikologi tentang kemandirian yang digunakan untuk mengungkap
kemandirian siswa.
2. Alat Pengumpul Data
Adapun alat yang digunakan untuk mengukur kemandirian adalah skala
kemandirian. Seperti yang telah disampaikan bahwa kemandirian sebagai variabel bebas
dalam penelitian ini merupakan varibel ordinal. Skala Likert sesuai untuk penelitian ini karena
skala Likert juga menggunakan ukuran ordinal dalam penskalaannya. Skala Likert dipilih
sebagai acuan karena mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan skala yang lain, yaitu
(Nazir, 1985:398) :
a. lebih mudah penyusunannya
b. skala Likert mempunyai reliabilitas yang relatif tinggi karena setiap item mempunyai
lima responsi alternatif (alternatif jawaban)
c. karena rentang pilihan yang lebih besar sehingga skala Likert dapat memberikan
keterangan yang lebih nyata dan jelas tentang kondisi atau jawaban responden
Namun demikian pengukuran skala Likert ini juga mempunyai kelemahan yaitu
karena pengukurannya menggunakan ukuran ordinal, skala Likert hanya dapat mengurutkan
individu dalam skala tetapi tidak dapat membandingkan berapa kali individu atau kelompok
lebih baik dari yang lain (Nazir, 1985:398), namun kelemahan tersebut tidak terlalu menjadi
permasalahan karena dalam penelitian ini hanya terdapat dua kelompok yang diperbandingkan
dan untuk mengetahui perbandingannya dapat digunakan hitungan statistik yang sesuai.
3. Penyusunan Alat Pengumpul Data
Dalam instrumen penelitian ini hanya digunakan empat opsi atau alternatif jawaban
yaitu Selalu, Sering, Jarang dan Tidak Pernah untuk mengurangi kecenderungan responden
untuk memberikan jawaban yang netral. Keempat opsi tersebut mempunyai skor masing-
masing adalah; Selalu = 4, Sering = 3; Jarang = 2; dan Tidak Pernah = 1 untuk pernyataan
positif dan sebaliknya untuk pernyataan negatif. Ada pun total skor dari masing-masing
responden adalah hasil penjumlahan skor dari seluruh item yang tersedia.
Penskoran untuk tiap jawaban dengan pernyataan positif dan negatif tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut :
TABEL 6.
Penskoran item berdasar jenis pernyataan
Pernyataan Skor
Positif 4 3 2 1
Negatif 1 2 3 4
Pada bagian sebelumnya telah dikutip pendapat Havighurst (dalam Mu’tadin 2002:2)
yang menyatakan bahwa kemandirian seseorang meliputi segi emosi, ekonomi, intelektual dan
sosial. Kemandirian emosi ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak
tergantungnya kebutuhan emosi pada orang tua atau orang dewasa lainnya. Kemandirian
ekonomi ditunjukkan dengan kemampuan mengatur sendiri perekonomiannya. Kemandirian
intelektual ditunjukkan dengan kemampuan dalam mengatasi masalah, dan kemandirian sosial
ditunjukkan dengan kemampuan berinteraksi dengan orang lain tanpa tergantung dan
menunggu aksi dari orang lain Mu’tadin (2002:2).
Pendapat Havighurst tersebut dipilih sebagai acuan dalam pembuatan instrumen
karena memberikan gambaran tentang kemandirian seseorang dari beberapa aspek.
Kemandirian seseorang akan nampak melalui tindakannya sehari-hari dalam bidang-bidang
tersebut.
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
1. Validitas instrumen
1)
σ
− σ
t
Validitas adalah ukuran yang menunjukkan tingkat kesahihan suatu instrumen.
Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan (Arikunto,
1996:158). Tipe validitas instrumen dalam penelitian ini adalah validitas konstruk, yaitu
kesesuaian instrumen dengan teori yang mendasari (Suryabrata, 2000:42). Untuk mengetahui
validitas empirik instrumen tersebut maka diukur validitas butirnya dengan rumus korelasi
product moment berikut:
NΣXY - (ΣX)(ΣY)rxy =
{NΣX 2 − (ΣX) 2 }{NΣY 2 − (ΣY) 2
}
(Arikunto, 1996:160)
Penghitungan validitas instrumen tersebut menggunakan bantuan komputer dengan
program SPSS.
2. Reliabilitas Instrumen
Selain validitasnya, instrumen juga diukur reliabilitasnya. Reliabilitas adalah
kepercayaan suatu instrumen dalam mengumpulkan data. Instrumen dikatakan reliabel bila
data yang dikumpulkan instrumen memang sesuai dengan kenyataannya (1996:168). Karena
rentang skor instrument dalam penelitian ini berjenjang antara 1 sampai 4 (bukan 0 dan 1),
reliabilitas instrumen dalam penelitian ini diukur dengan rumus alpha berikut:
k 1
Σσ 2 − b (Arikunto, 1996:160)r11 = 2
(k t
Dengan keterangan:
r11 = reliabilitas instrumen
k = banyaknya butir pertanyaan
Σσb2 = jumlah varians butir
2 = varians total
Teknik Analisis DataData yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kontinu yang berupa data kuantitatif,
teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis komparasional.
Teknik tersebut adalah salah satu teknik analisis kuantitatif atau salah satu teknik analisis
statistik yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis mengenai ada tidaknya perbedaan antar
variabel yang sedang diteliti (Sudijono, 2000:261).
Dalam penelitian ini, data yang terkumpul dianalisis dengan dua metode analisis, yaitu
teknik statistik deskriptif dan t-test untuk uji beda mean.
1. Statistik Deskriptif
Teknik analisis ini digunakan untuk memperoleh gambaran tentang kemandirian
masing-masing kelompok sampel. Setelah dilakukan penghitungan skor pada tiap sub variabel
disusun tabel distribusi frekuensi untuk mengetahui mean yang diperoleh tiap kelompok
sampel. Kemudian dilakukan penghitungan standar deviasi antara mean teoritis dan mean
hipotetis untuk mengetahui tingkat kemandirian masing-masing kelompok sampel.
Mh =
Menentukan mean hipotetik dan standar deviasi dengan menggunakan rumus :
Skor Maksimal + Skor Minimal2
SD =Skor Maksimal - Skor Minimal
6
Keterangan :
Mh = Mean hipotetik
SD = Standar deviasi
Interpretasi kategori kemandirian berdasarkan tabel kriteria yang disusun sebagai
berikut :
TABEL 7.Penentuan Kriteria Kemandirian
Rumus Interval skor Kriteria
(M + 1.5 Sd) - (M + 3.0 Sd)
(M + 0.5 Sd) - (M + 1.5 Sd)
(M - 0.5 Sd) - (M + 0.5 Sd)
(M - 1.5 Sd) - (M - 0.5 Sd)
(M - 3.0 Sd) - (M - 1.5 Sd)
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
2. Rumus t-test
Digunakan untuk menguji signifikansi perbedaan mean setelah dilakukan
penghitungan mean pada masing-masing kelompok sampel; yaitu kelompok anak sulung dan
X Y
1
2
kelompok anak bungsu untuk kemudian diuji signifikansinya. Penggunaan rumus t-test dalam
suatu penelitian harus memenuhi beberapa syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut :
a Distribusi atau kurva yang dihasilkan adalah normal
b t-test merupakan teknik statistik yang digunakan untuk menguji perbedaan mean dengan
skala pengukuran variabel setidaknya interval, termasuk di dalamnya adalah skala
pengukuran diskrit dan skala pengukuran kontinum.
c t-test hanya dapat digunakan bila jumlah anggota kedua kelompok sampel sama besar
atau dengan selisih jumlah kedua kelompok maksimal 2.
Pengujian hipotesis dengan rumus t-test dipilih karena persyaratan no 1 dan 2 untuk
penggunaan rumus tersebut sangat mungkin dipenuhi dalam penelitian ini. Syarat no 3 sudah
terpenuhi, karena skala pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah ordinal yaitu
skala Likert dan dengan data yang dihasilkan berupa data kontinum. Alasan lain menggunakan
rumus t- test adalah penghitungan yang dilakukan cukup sederhana. Kelebihan yang dimiliki
rumus t-test adalah dapat digunakan pada kelompok sampel yang besar atau kecil, kelompok
sampel besar beranggota ≥ 60 dan kelompok sampel kecil bila beranggota < 60.
Adapun rumus t-test yang dimaksud adalah sebagai berikut :
M X − M Yt =SDbm dengan SDbm = SD2 M + SD2 M
(Hadi, 2000:268)
Keterangan:t = uji kesamaan dua rata-rata
M X = rerata skor kelompok sampel 1
M Y = rerata skor kelompok sampel 2
SDbm = standar kesalahan perbedaan mean
SD 2 M = kwadrad standar kesalahan mean kelompok sampel 1
SD 2 M = kwadrad standar kesalahan mean kelompok sampel 2
2
X
2
YX
Langkah-langkah dalam pengoperasian rumus tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
1) Mencari nilai median kedua kelompok sampel; rumus yang digunakan :
∑ fXM =N
2) Mencari nilai standar deviasi (SD) masing-masing kelompok sampel, dapat dicari dengan
rumus :
SD ²M X =
SD M X =
SD2 xN − 1
∑ fx2
dengan SDX =
N − M 2
∑ f x 2
N
− M X , jadi
N − 13) Mencari nilai SD gabungan kedua kelompok (SDbm) dengan rumus :
SDbm = SD M X + SD M Y2 2
4) Setelah menemukan nilai SDbm dilanjutkan dengan mencari nilai t, dengan rumus :
M X − M Yt = , jadi t =M X − M Y
SDbm SD2 M + SD2 M
Setelah nilai t diketahui dilakukan uji signifikansi t. Uji signifikansi
untuk sampel besar dengan menggunakan tabel 3 dan untuk sampel kecil
menggunakan tabel 4 pada buku Statistik Jilid 2 Sutrisno Hadi (2000). Setelah
melihat tabel dengan taraf kepercayaan 5% jika ternyata t hitung lebih besar
dari t tabel, berarti t signifikan dan hipotesis kerja (Ha) diterima dan hipotesis
nol (Ho) ditolak. Jika t hitung lebih kecil dari t tabel berarti t tidak signifikan
sehingga Ha ditolak dan Ho diterima. Kemudian dibuat simpulan tentang
penelitian berdasarkan uji signifikansi t tersebut.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab IV ini dipaparkan tentang hasil penelitian, yang telah dilaksanakan,
analisis data beserta pembahasannya. Hasil penelitian ini diperoleh dari penelitian
yang dilaksanakan pada siswa kelas II SMA Negeri 11 Semarang tahun pelajaran
2004/2005.
A. Hasil Penelitian
1. Hasil Uji Coba Instrumen
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala psikologis yaitu skala kemandirian. Sebelum instrumen digunakan untuk pengambilan data, terlebih dahulu dilakukan ujicoba di lapangan untuk mengetahui apakah instrumen tersebut layak digunakan yaitu valid dan reliabel atau tidak.a. Hasil Uji Validitas
Skala kemandirian yang terdiri dari 80 item, setelah diujicobakan pada 30 siswa dan dianalisis menggunakan rumus product moment ditemukan ada 12 item yang tidak valid, yakni nomor 6, 7, 8, 18, 37, 40, 43, 49, 57, 67, 68 dan 79 karena koefisien korelasi dari keduabelas item tersebut dengan totalnya lebih kecil dari rtabel = 0,361 untuk α =5% dengan n = 30. Selanjutnya item-itemyang tidak valid dibuang dan penomorannya diurutkan kembali gunapengambilan data penelitian. Alternatif pembuangan butir yang tidak valid dipilih karena masih ada item lain yang mewakili indikator, disamping keterbatasan waktu bila harus memperbaiki instrumendan diadakan pengulangan uji coba instrumen. Dengan demikianskala kemandirian dalam penelitian ini terdiri dari 68 item soal yang
terdiri dari 33 item favourable dan 35 item unfavourable. Kisi-kisi pengmbangan instrumen sebelum dan sesudah uji coba beserta skala kemandirian yang digunakan sebagai alat pengambil data dapat dilihat pada lampiran.
b. Hasil Uji Reliabilitas
Berdasarkan hasil uji reliabilitas menggunakan rumus alpha
diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0.944. Pada taraf kesalahan
5% dengan n = 30 diperoleh harga rtabel = 0,361. Karena koefisien
reliabilitas lebih besar dari nilai rtabel, dapat dinyataan bahwa skala
psikologi kemandirian tersebut reliabel.
2. Deskripsi Data Kemandirian Anak Sulung dan Anak Bungsu
Berdasar perhitungan statistik diketahui mean hipotetik dalam
penelitian ini adalah 170 dengan standar deviasi sebesar 34. Kemudian mean
hipotetik tersebut digunakan sebagai pembanding antara mean empirik anak
sulung dan mean empirik anak bungsu.
a. Kemandirian Anak Sulung
Gambaran tentang kemandirian anak sulung siswa kelas II SMA Negeri 11
Semarang tahun pelajaran 2004/2005 berdasarkan jawaban skala
kemandirian diperoleh data seperti pada tabel distribusi berikut :
TABEL 8.Distribusi Frekuensi Kemandirian Anak Sulung
Kelas Interval Kriteria Frekuensi Persentase
222 – 272
188 – 221
154 – 187
120 – 153
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
3
20
7
0
10.00
66.67
23.33
0.00
68 – 119 Sangat rendah 0 0.00
Σ 30 5970
Berdasarkan data penelitian diketahui bahwa mean kelompok anak sulung
adalah 199,2 dan berada pada rentang skor antara 167 sampai dengan 230
menyimpang sebesar 0,86 SD dari mean hipotetik yang berarti tingkat
kemandirian anak sulung berada pada kriteria tinggi.
b. Kemandirian Anak Bungsu
Sedangkan untuk kemandirian anak bungsu siswa kelas II SMA
Negeri 11 Semarang tahun pelajaran 2004/2005 berdasarkan jawaban
skala kemandirian diperoleh data seperti pada tabel distribusi berikut :
TABEL 9.Distribusi Frekuensi Kemandirian Anak Bungsu
Kelas Interval Kriteria Frekuensi Persentase
222 – 272
188 – 221
154 – 187
120 – 153
68 – 119
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
0
13
14
1
0
0.00
46.43
50.00
3.57
0.00
Σ 28 5970
Dari data hasil penelitian diketahui bahwa skor rata-rata anak
bungsu adalah 182,2 dengan rentang skor antara 144 sampai dengan 215.
Dengan mean sebesar 182,2 berarti kemandirian anak bungsu menyimpang
dari mean hippotetik sebesar 0,36 SD. Dengan penyimpangan sebesar 0,36
SD berarti kemandirian anak bungsu berada pada kriteria sedang.
Lebih jelasnya hasil deskripsi data kemandirian anak sulung dan anak
bungsu pada Tabel 8 dan 9 di atas dapat disajikan secara grafis berikut ini :
Gambar 5.Bagan Distribusi Bergolong Kemandirian Anak Sulung dan Anak Bungsu
Berdasarkan Gambar 5. tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar
anak sulung memiliki kemandirian yang masuk dalam kategori tinggi
(66,67%) dan selebihnya masuk dalam kategori sedang (23,33%) serta sangat
tinggi (10,00%) sedangkan anak bungsu sebagian besar memiliki kemandirian
yang masuk dalam kategori sedang (50,00%) dan selebihnya masuk dalam
kategori tinggi (46,43%) dan rendah (3,57%).
Secara lebih rinci deskripsi tentang kemandirian anak sulung dan anak
bungsu siswa kelas II SMA Negeri 11 Semarang tahun pelajaran 2004/2005
dapat disajikan dari tiap-tiap subvariabel atau indikator kemandirian pada
Tabel 10. dan 11. berikut ini.
TABEL 10.Rata-rata Skor Subvariabel Kemandirian Anak Sulung dan Anak
Bungsu Siswa Kelas II SMA Negeri 11 Semarang Tahun Pelajaran2004/2005
SubvariabelAnak Sulung Anak Bungsu
Rata-rata Kriteria Rata-rata KriteriaIntelektual Ekonomi Emosi Sosial
53,749,053,643,7
Sedang Tinggi Tinggi Tinggi
52,842,248,138,9
Sedang Sedang Sedang Sedang
TABEL 11.Distribusi Frekuensi Tiap Subvariabel Kemandirian Anak Sulung dan
Anak Bungsu Siswa Kelas II SMA Negeri 11 Semarang Tahun Pelajaran2004/2005
Subvariabel Kriteria Frekuensi
Anak Sulung Anak Bungsu
F % f %
Intelektual Sangat tinggiTinggi Sedang RendahSangat rendah
0131340
0.0043.3343.3313.330.00
19
1350
3.5732.1446.4317.860.00
Ekonomi Sangat tinggiTinggi Sedang RendahSangat rendah
815700
26.6750.0023.330.000.00
29
1241
7.1432.1442.8614.293.57
Emosi Sangat tinggiTinggi Sedang RendahSangat rendah
418800
13.3360.0026.670.000.00
0121150
0.0042.8639.2917.860.00
Subvariabel Kriteria Frekuensi
Anak Sulung Anak Bungsu
F % f %
Sosial Sangat tinggiTinggi Sedang Rendah
Sangat rendah
521400
16.6770.0013.330.000.00
0141040
0.0050.0035.7114.290.00
Lebih jelasnya gambaran tentang kemandirian anak sulung dan anak
bungsu pada tiap-tiap indikator seperti pada Tabel 8. tersebut di atas dapat
disajikan secara grafis sebagai berikut :
Gambar 6.Bagan Distribusi Bergolong Kemandirian Anak Sulung dan
Anak Bungsu pada Aspek Intelektual
Berdasarkan Gambar 6. tersebut menunjukkan bahwa kemandirian
anak sulung pada aspek intelektual sebagian besar masuk kategori tinggi dan
sedang (43,33% dan 43,33%) dan pada anak bungsu juga masuk dalam
kategori sedang (46,43%).
Gambar 7.Bagan Distribusi Bergolong Kemandiriana Anak Sulung dan
Anak Bungsu pada Aspek ekonomi
Berdasarkan Gambar 7. tersebut menunjukkan bahwa kemandirian
anak sulung pada aspek ekonomi sebagian besar masuk kategori tinggi
(66,66%), sedangkan pada anak bungsu sebagian besar masuk dalam kategori
sedang (42,86%). Dengan demikian menunjukkan bahwa kemandirian anak
sulung pada aspek ekonomi lebih tinggi dari anak bungsu.
Gambar 8.Bagan Distribusi Bergolong Kemandirian Anak Sulung dan
Anak Bungsu pada Aspek emosi
Berdasarkan Gambar 8. tersebut menunjukkan bahwa kemandirian
anak sulung pada aspek emosi sebagian besar masuk kategori tinggi
(60,00%), sedangkan pada anak bungsu sebagian besar masuk dalam kategori
tinggi (42,86%). Dengan demikian menunjukkan bahwa kemandirian anak
sulung pada aspek emosi juga lebih tinggi dari pada kemandirian anak
bungsu.
Gambar 9.Bagan Distribusi Bergolong Kemandirian Anak Sulung dan Anak
Bungsu pada Aspek Sosial
Berdasarkan Gambar 9. tersebut menunjukkan bahwa kemandirian
anak sulung pada aspek sosial sebagian besar masuk kategori tinggi
(70,00%), sedangkan pada anak bungsu sebagian besar masuk dalam kategori
tinggi (50,00%). Dengan demikian menunjukkan bahwa kemandirian anak
sulung pada aspek sosial juga lebih tinggi dari pada anak bungsu.
Secara umum dapat dijelaskan bahwa kemandirian anak sulung
lebih baik dibandingkan dengan kemandirian anak bungsu.
Kemandirian anak sulung siswa kelas II SMA Negeri 11 Semarang tahun
pelajaran 2004/2005 ditinjau dari aspek intelektual sebagian berada
pada kategori sedang, aspek ekonomi berada pada kategori tinggi, aspek
emosi berada pada kategori tinggi dan aspek sosial juga berada pada
kategori tinggi, sedangkan kemandirian dari anak bungsu untuk seluruh
aspek (intelektual, ekonomi, emosi dan sosial) berada pada kategori
sedang. Dengan demikian menunjukkan bahwa kemandirian anak
sulung rata-rata berada satu tingkat di atas anak bungsu. Secara
statistik, perbedaan ini dapat diuji melalui analisis data berikut ini.
3. Hasil Analisis Data
a. Uji normalitas data
Hasil uji normalitas data kemandirian anak sulung dan anak busung
siswa kelas II SMA Negeri 11 tahun pelajaran 2004/2005 dapat dilihat
pada lampiran dan terangkum pada Tabel 12. berikut.
Tabel 12. Ringkasan Hasil Uji Normalitas Data
Sumber variasi Chi kuadrat
Chi kuadrattabel
Kriteria
Kemandirian anak sulung
Kemandirian anak bungsu
2,9101
1,72635,99
Normal
Normal
Pada taraf kesalahan 5%, dengan derajat kebebasan = 5-3 = 2
diperoleh nilai kritik chi kuadrat sebesar 5,99. Pada tabel 4.4 terlihat
bahwa nilai chi kuadrat hitungnya lebih kecil dari 5,99, sehingga dapat
disimpulkan bahwa kedua data tersebut berdistribusi normal. Berdasarkan
hasil analisis ini, maka pengujian hipotesis yang berbunyi “Terdapat
perbedaan kemandirian antara anak sulung dengan anak bungsu dan anak
sulung cenderung lebih mandiri dibandingkan anak bungsu” dapat
digunakan statistik parametrik yaitu uji t.
b. Hasil uji t
Hasil uji perbedaan tingkat kemandirian anak sulung dengan anak
bungsu pada siswa kelas II SMA Negeri 11 Semarang tahun pelajaran
2004/2005 dapat dilihat pada lampiran terangkum pada Tabel 13. berikut
ini.
TABEL 13.
Ringkasan Hasil Uji t
Sumber vasiasi Rata-rata t ttabel Kriteria
Kemandirian anak sulung 199,203,45 2.00 Berbeda
Kemandirian anak bungsu 182,18
Pada taraf kesalahan 5% dengan dk = 30 + 28 – 2 = 56 diperoleh t
tabel sebesar 2.00, sehingga Ho diterima yang berarti tidak ada perbedaan
rata-rata kemandirian antara anak sulung dengan anak bungsu, apabila
thitung < 2.00.
Dari tabel di atas, terlihat bahwa t hitung = 3,45 > t tabel = 2,00,
sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini berarti bahwa terdapat
perbedaan mean kemandirian antara anak sulung dengan anak bungsu.
Ditinjau dari rata-rata skornya, terlihat bahwa tingkat kemandirian anak
sulung (199,20) lebih tinggi daripada tingkat kemandirian anak bungsu
(182,18). Kondisi ini menunjukkan bahwa anak sulung cenderung lebih
mandiri dibandingkan anak bungsu.
Untuk melihat ada tidaknya perbedaan kemandirian antara anak
sulung dengan anak bungsu ditinjau dari setiap subvariabel dapat
ditunjukkan dari Tabel 14. berikut ini.
TABEL 14.
Ringkasan Hasil Uji t dari Setiap Subvariabel Kemandirian
Subvariabel t t tabel Kriteria
Intelektual
Ekonomi
Emosi
Sosial
0,50
3,47
3,68
4,28
2,00
Tidak berbeda
Berbeda
Berbeda
Berbeda
Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan
tingkat kemandirian antara anak sulung dengan anak bungsu ditinjau dari
aspek ekonomi, emosi dan sosial. Sedangkan pada aspek intelektual secara
statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat kemandirian antara anak sulung dengan anak bungsu. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa anak sulung rata-rata lebih mandiri dibandingkan dengan anak bungsu. Ditinjau dari kriteria kemandiriannya menunjukkan bahwa anak sulung memiliki kemandirian yang tinggi sedangkan anak bungsu memiliki tingkat kemandirian yang masuk dalam kategori sedang. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa kemandirian anak sulung berada satu tingkat di atas anak bungsu.
Sedangkan jika ditinjau dari tiap-tiap subvariabel kemandirian dapat diketahui bahwa
perbedaan kemandirian antara anak sulung dengan anak bungsu tersebut terletak
pada aspek ekonomi yaitu kemampuan mereka dalam menerapkan hidup hemat,
kemampuan melakukan tranksaksi ekonomi dan kemampuan merencanakan
karier, selain aspek ekonomi terdapat pula perbedaan pada aspek emosi dan sosial.
Pada aspek emosi anak sulung cenderung tidak ingin selalu menggantungkan diri
pada orang tua, memiliki kehendak yang kuat dalam meraih tujuan hidupnya,
selalu puas dengan keputusan yang telah diambilnya karena telah melalui
petimbangan yang matang, selalu menghargai waktu dengan selalu berusaha
mengisi waktu tersebut untuk hal-hal yang positif dan selalu bertanggung jawab
atas segala sesuai yang telah dilakukannya. Pada aspek sosial anak sulung
cenderung lebih mampu dalam menghindari pengaruh negatif pergaulan, mampu
merespon setiap kritik secara positif, mampu menerima perbedaan pendapat
dengan siapa saja, dan lebih luwes dalam menjalin hubungan dengan orang lain.
Yang tidak membedakan kemandirian antara anak sulung dengan anak busung adalah pada
aspek intelektual. Secara umum baik anak sulung maupun anak bungsu memiliki
kepercayaan pada kemampuan yang dimiliki yang setara, sama-sama mampu
berinisiatif, sama-sama mengatasi masalah yang muncul dalam dirinya, sama-
sama mampu menyelesaikan tugas pribadinya, mampu mempertahankan prinsip
dan mengambil keputusan yang setara.
Kenyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa perbedaan urutan kelahiran dalam keluarga hanya berpengaruh pada aspek psikologis, seperti aspek emosi; sosial; dan ekonomi sedangkan pada aspek intelektual tidak berpengaruh. Hal ini sejalan dengan pendapat Corey (1995, 200:201) yang menyatakan bahwa urutan dan interpretasi terhadap posisi seseorang dalam keluarga berpengaruh terhadap cara seseorang berinteraksi akibat situasi psikologis yang berada pada urutan kelahiran tersebut.
Keunggulan tingkat kemandirian anak sulung dibandingkan dengan
bungsu disebabkan secara umum anak sulung relatif mendapatkan perhatian yang
besar dari kedua orang tuanya, sedikit dimanja dan menjadi pusat perhatian.
Sebagian besar orang tua sejak awal telah berharap anak sulungnya dapat
menggantikan peran orang tua bagi adik-adiknya. Sedangkan kenyataan yang
terjadi pada anak bungsu mereka cenderung lebih beruntung dibandingkan kakak-
kakaknya sebab sebagian tanggung jawabnya telah dipikul oleh orang-orang
dewasa atau orang yang lebih tua darinya. Hurlock (1978:64) menegaskan bahwa
anak bungsu memiliki sindrom manja, merasa tidak mampu dan rendah diri serta
tidak bertanggung jawab. Hal itu disebabkan para orang tua relatif lebih sering
memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada anak sulung dibandingkan
dengan anak bungsu. Mereka lebih mempercayai bahwa anak sulungnya yang
paling mampu menyelesaikan segala sesuatu dibandingkan anak bungsunya. Hal
ini juga diungkapkan oleh Simandjuntak & Pasaribu (1984: 278), yaitu orang tua
cenderung bersikap perfek dan membebani anak sulung dengan tanggung jawab
yang berlebihan.
Anak sulung biasanya mendapat perhatian yang utuh dari orang tuanya,
sampai perhatian itu terbagi saat ia mendapat adik. Perhatian dari orang tua itu
cenderung membuat anak memiliki perasaan mendalam untuk menjadi superior /
kuat. Berbagai perlakuan dan harapan yang diberikan pada anak sulung
memunculkan karakteristik tertentu pada seseorang yang berposisi anak sulung,
diantranya yaitu : 1) berperilaku matang karena berhubungan dengan orang-orang
dewasa dan diharapkan memikul tanggung jawab, 2) cenderung mengikuti
kehendak dan tekanan kelompok, mudah dipengaruhi untuk mengikuti kehendak
orang tua, 3) Kurang agresif dan kurang berani karena perlindungan orang tua
yang berlebihan, 4) mengembangkan kemampuan memimpin sebagai akibat dari
harus memikul tanggung jawab di rumah dan 5) biasanya berprestasi tinggi atau
sangat tinggi karena tekanan dan harapan orang tua dan keinginannya untuk
memperoleh kembali perhatian orang tua.
Hal tersebut berlawan dengan apa yang terjadi pada anak bungsu, mereka selalu menjadi buah
hati keluarga dan cenderung menjadi anak yang paling dimanja. Pemanjaan
tersebut bukan hanya oleh orang tuanya tetapi juga orang-orang di sekitarnya
termasuk kakak-kakaknya dan juga kakeknya. Sehingga dalam kehidupannya dia
menginginkan semua orang di sekitarnya bersikap seperti orang tua dan kakak-
kakaknya yang selalu melindungi, menyayangi dan siap melakukan apa saja
untuknya. Dengan pengalaman yang diperoleh dalam keluarga dapat dimaklumi
bila seseorang dengan posisi anak bungsu sulit melepaskan diri dari
ketergantungan pada orang tua dan mewujudkan kemandirian. Seperti yang
dinyatakan Balson (1999: 37), anak bungsu cenderung mengalami problem
perkembangan dalam kebebasan.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan seperti pada Bab IV, dapat
diambil suatu simpulan sebagai berikut :
1. Ditinjau dari tiap-tiap subvariabel kemandirian menunjukkan bahwa anak
sulung pada aspek intelektual berada pada kategori sedang, sedangkan pada
aspek ekonomi, emosi dan sosial berada pada kriteria tinggi.
2. Ditinjau dari tiap-tiap subvariabel kemandirian menunjukkan bahwa pada
aspek intelektual, ekonomi, emosi dan sosial berada dalam kriteria sedang.
3. Ada perbedaan kemandirian yang signifikan antara anak sulung dengan anak
bungsu pada siswa kelas II SMA Negeri 11 Semarang tahun pelajaran
2004/2005. anak sulung cenderung memiliki kemandirian yang lebih tinggi
dibandingkan dengan anak bungsu khususnya pada aspek ekonomi, emosi dan
sosial.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diajukan beberapa saran bagi
siswa, orang tua dan guru pembimbing di sekolah antara lain:
1. Melalui Guru Pembimbing di sekolah dapat disampaikan kepada para siswa
yang menjadi anak bungsu hendaknya mereka menyadari bahwa tidak
selamanya mereka dapat menggantungkan diri pada orang lain baik orang tua
maupun kakaknya. Oleh karena itu hendaknya mulai dari sekarang mereka
belajar mengelola ekonomi, mengendalikan emosi, dan meningkatkan jiwa
sosialnya agar dapat melepaskan diri dari ketergantungannya pada orang lain
sebagai upaya pendewasaan diri.
2. Melalui Guru Pembimbing di sekolah dapat disampaikan kepada orang tua
/wali murid hendaknya tidak hanya membebankan seluruh tanggungjawab
kepada anak sulung. Mereka seharusnya juga memberikan tanggung jawab
kepada anak bungsu dalam hal pengaturan ekonomi, peningkatan emosi serta
sikap sosial sesuai dengan kemampuanyan dalam upaya mengembangkan
kemandirian anak busunnya.
3. Guru pembimbing di sekolah hendanya memberikan perhatian khusus kepada
anak didiknya dengan status kelahiran bungsu saat memberikan layanan
pembentukan kemandirian pada aspek ekonomi, emosi dan sosial agar mereka
dapat memiliki tingkat kemandirian yang sama dengan anak sulung.
4. Bagi peneliti lain dapat mengadakan penelitian yang lebih mendalam tentang
topik yang sama dengan pendalaman pada aspek kemandirian siswa dalam
belajar, karena dalam penelitian ini kemandirian belajar siswa belum diteliti
secara mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press
Arikunto,Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Azwar, Saefudin. 2000. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
B Simandjuntak & L Pasaribu. 1984. Pengantar Psikologi Perkembangan. Bandung: Tarsito
Basri, Hasan. 2000. Remaja Berkualitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Corey, Gerald. 1995. Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi.Semarang: IKIP Semarang Press
Friel, John C & Friel, Linda D. 2000. Teens On 7 : 7 Hal Teerbaik yangDilakukan Remaja Top. Bandung: Kaifa
Gea, Antonius Atosokhi dkk. 2002. Relasi dengan Diri Sendiri. Jakarta: Elex MediaKomputindo
Hadi, Sutrisno. 2000. Statistik Jilid 1. Yogyakarta: ANDI
Hadi, Sutrisno. 2000. Statistik Jilid 2. Yogyakarta: ANDI
Hadibroto, Iwan dkk. 2002. Misteri Perilaku Anak Sulung, Tengah, Bungsu, dan Tunggal
Lie, Anita & Prasasti, Sarah. 2004. 101 Cara Membina Kemandirian dan Tanggung JawabAnak. Jakarta: Elex Media Komputindo
Prawironoto, Hartati dkk. 1994. Pembentukan Budaya dalam Lingkungan Keluarga diDaerah Jawa Tengah. Jateng: Depdikbud Dirjen Kebudayaan
Partowisastro, Koestoer. 1983. Dinamika Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga
Schiller, Pam & Bryant, Tamera. 2002. 16 Moral Dasar Bagi Anak. Jakarta: Elex MediaKomputindo
Sudijono, Anas. 2000. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Grafindo Persada
Sujanto, Agus dkk. 1982. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Aksara Baru
Top Related