BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia, dan merupakan salah satu
unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai
upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan
pembangunan kesehatan yang berukualitas dan terjangkau oleh masyarakat
sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI 1945.
Pembangunan di bidang kesehatan diarahkan guna tercapainya
kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk,
agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyaraka
Indonesia.
Perbaikan kesehatan secara keseluruhan dikelola oleh Rumah Sakit.
Rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang memenuhi
standar pelayanan yang optimal. Hal tersebut sebagai akuntabilitas rumah sakit
supaya mampu bersaing dengan Rumah Sakit lainnya.
Rumah sakit adalah terjemahan dari “hospital” yang merupakan bentuk
organisasi pelayanan kesehatan yang bersifat komprehensif, mencakup aspek
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, serta sebagai pusat rujukan
kesehatan masyarakat. Kini dengan perkembangan zaman, dan teknologi yang
semakin lama semakin berkembang, dan semakin berkembang pula padat
modal, padat tenaga, padat teknologi, dan padat persoalan dalam berbagai
bidang, antara lain : hukum, ekonomi, etik, HAM, teknologi, dan lain-lain.
Pada hakekatnya Rumah Sakit adalah sebuah organisasi yang dibentuk
oleh suatu badan hukum (pemerintah, Perjan, Yayasan, Perseroan Terbatas, dan
Perkumpulan). Salah satu prinsip organisasi adalah “authority”, yang dilihat
dari sudut majemen, maka di dalam setiap organisasi termasuk juga organisasi
Rumah Sakit, harus ada pimpinan tertinggi yang memikul tanggung jawab dan
wewenang yang tinggi juga.
Tanggung jawab hukum rumah sakit dalam pelaksanaan pelayanan
kesehatan terhadap pasien dapat dilihat dari aspek etika profesi, disiplin, dan
secara khusus hukum pidana terkait dengan tindakan kedokteran yang diduga
terjadi kesalahan medis maupun pelayanan medis lainnya yang tidak
dilaksanakan oleh segenap unsur pelayanan kesehatan dengan baik.
Hakikat dasar dari Rumah Sakit merupakan pemenuhan kebutuhan dan
tuntutan pasien yang mengharapkan penyelesaian masalah kesehatannya pada
rumah sakit. Pasien memandang bahwa hanya rumah sakit yang mampu
memberikan pelayanan medis sebagai upaya penyembuhan dan pemulihan atas
rasa sakit yang dideritanya. Pasien mengharapkan pelayanan yang siap, cepat,
tanggap dan nyaman terhadap keluhan penyakit pasien.
Dewasa ini, kedudukan rumah sakit secara hukum sangat berbeda jauh
dengan kedudukan rumah sakit terdahulu. Di mana kedudukan hukum rumah
sakit terdahulu tidak bisa dimintai tanggung jawab hukum, khususnya hukum
pidana, dikarenakan rumah sakit masih dianggap sebagai lembaga sosial, rumah
sakit bersift murni untuk amal, yang apabila jika dimintai pertanggungjawaban
hukum terhadap pasien, maka akan mengurangi kemampuan menolong pasien.
Selain itu juga, perkembangan dan pertumbuhan korporasi dampaknya dapat
menimbulkan efek negatif, maka kedudukan korporasi mulai bergeser dari
subjek hukum biasa menjadi subjek hukum pidana, sehingga badan hukum
dapat dituntut pidana.
Kesadaran masyarakat semakin meningkat, masyarakat lebih kritis akan
pentingnya perlindungan hak-hak pasien sebagai pihak yang menggunakan jasa
dan pelayanan dari rumah sakit. Sehingga, pihak rumah sakit yang
menyediakan layanan kesehatan tidak bisa lagi melakukan hal-hal atau
perbuatan yang dapat melanggar hak-hak pasien. Walaupun, masih ada
beberapa pasien yang menempuh jalur damai. Berdamai memang pilihan
mudah bagi korban atau pihak rumah sakit, korban mendapatkan ganti rugi
berupa materi, sementara rumah sakit dan dokter tidak perlu risau dengan
publikasi bernada miring di media massa.
B. Rumusan Masalah
Ketidakberdayan pasien menerima pelayanan kesehatan dalam
menghadapi penyedia jasa pelayanan kesehatan ini jelas sangat merugikan
masyarakat. Oleh sebab itu, penulis hendak membahas secara sederhana, 2
(dua) rumusan masalah di bawah ini :
1. Siapa yang bertanggungjawab apabila terjadi kriminalisasi korporisasi di rumah
sakit ?
2. Perbuatan yang bagaimana yang dapat dibebankan kepada korporasi(Rumah
Sakit)?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Menganalisis pertanggungjawaban kepada rumah sakit sebagai korporasi
2. Membandingkan masalah yang diangkat penulis dengan doktrin vicarious
responsibility
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KORPORASI
Selama ini hanya manusia yang dianggap sebagai subjek
hukum pidana artinya hanya manusia yang dapat dipersalahkan dalam
suatu peristiwa tindak pidana. Apabila dalam suatu perkumpulan terjadi
suatu tindak pidana, maka dicari siapa yang bersalah terhadap terjadinya
tindak pidana tersebut, atau para pengurus/pimpinan perkumpulan itu
yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam KUHP hal ini
terlihat pada pasal 59 KUHP.
Dengan berlakunya UU No 7/ Drt/ 1955, korporasi dipandang
dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan
pidana, yang kemudian disusul dengan peraturan hukum pidana yang
tersebar di luar KUHP lainnya.
Masalah pertama dalam membahas pertanggungjawaban pidana
korporasi adalah membahas apa yang dimaksud dengan korporasi
itu?.Batasan pengertian atau defenisi korporasi tidak bisa dilepaskan
dengan bidang hukum perdata. Istilah ini digunakan oleh para ahli
hukum dan kriminologi untuk menyebutkan apa yang dalam bidang
hukum perdata disebut dengan badan hukum atau dalam Bahasa Belanda
disebut Rechts Persoon.
Secara etimologis kata korporasi (corporatie,Belanda),
corporation (Inggris), korporation (Jerman) berasal dari kata
“corporatio” dalam bahasa Latin, seperti halnya dengan kata lain yang
berakhir dengan “tio” maka “corporatio” sebagai kata benda
(substantivum), berasal dari kata kerja “corporare” yang banyak dipakai
orang pada jaman abad pertengahan atau sesudah itu . “Corporare”
sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia = badan), yang berarti
memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian maka akhirnya
“corporatio” itu berarti hasil pekerjaan membadankan, dengan lain
perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan
perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang
terjadi menurut alam1.
Menurut Chidir Ali2 30 arti badan hukum atau korporasi bisa
diketahui dari jawaban atas pertanyaan “apakah subjek hukum itu ?”.
Pengertian subjek hukum pada pokoknya adalah manusia dan segala
sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yng oleh
hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian yang
kedua inilah yang dinamakan badan hukum.
Berbicara mengenai konsep “badan hukum” sebenarnya konsep ini
bermula timbul sekedar dalam konsep hukum perdata sebagai kebutuhan
untuk menjalankan kegiatan yang diharapkan lebih berhasil. Apa yang
dinamakan dengan “badan hukum” itu sebenarnya tiada lain sekedar
suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan
yang diberi status sebagai subjek hukum, disamping subjek hukum yang
berwujud manusia alamiah (natuurlijke persoon). Diciptakan pengakuan
adanya suatu badan, yang sekalipun badan ini sekedar suatu badan,
namun badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan hukum
dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu. Dan harta
ini harus dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari
pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya. Jika dari perbuatan
1 Soetan K Malikoel Adil, Dalam Muladi, Dwidja Priyatno.1991 , Hal 12
2 Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung, Alumni 1991, Hal 18.
itu timbul kerugian maka Kerugian inipun hanya dapat
dipertanggungjawabkan semata-mata dengan harta kekayaan yang ada
dalam badan yang bersangkutan Dari uraian di atas ternyata bahwa
korporasi adalah badan yang diciptakan oleh hukum yang terdiri dari
“corpus”, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan
unsur “animus” yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh
karena badan hukum ini merupakan ciptaan hukum, maka kecuali
penciptaannya, kematiannya juga ditentukan oleh hukum3.
Menurut Loebby Loqman 4, dalam diskusi yang dilakukan oleh
para sarjana tentang korporasi berkembang 2 (dua) pendapat mengenai
apa yang dimaksud dengan korporasi itu ?. Pendapat pertama
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah kumpulan
dagang yang berbadan hukum.
Jadi dibatasi bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana adalah korporasi yang telah berbadan hukum . Alasannya
adalah bahwa dengan berbadan hukum, telah jelas susunan pengurus
serta sejauh mana hak dan kewajiban dalam korporasi tersebut.
Pendapat lain adalah yang bersifat luas, dimana dikatakan bahwa
korporasi tidak perlu harus berbadan hukum, setiap kumpulan manusia,
baik dalam hubungan suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya, dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana.
Pendapat kedua tersebut di atas dianut oleh Undang-Undang No 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 1 butir 1 yang bunyinya:“ korporasi adalah
kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum”
3 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung , PT Citra Aditya Bakti, 2000, Hal 69.4 Loebby Loqman, Kapita Selekta , Hal 32.
Rancangan KUHP tahun 1987/1988, mendefinisikan korporasi
sebagai “kumpulan terorganisasi dari orang atau kekayaan baik merupakan
badan hukum maupun bukan”. Dari beberapa pengertian di atas, sudah jelas,
bahwa korporasi adalah badan hukum yang menyandang hak dan kewajiban
berdasarkan hukum. Sebagai badan hukum pula, korporasi tidak lepas dari
tanggung jawab pidana yang dilakukannya. Namun sayangnya,
pertanggungjawaban pidana korporasi sejauh ini masih belum diterapkan
secara maksimal.
Berdasarkan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Rumah
Sakit, Pasal 1 ayat (1) memberikan definisi tentang Rumah Sakit, yang mana
dijelaskan bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Dari kata ”institusi”, sudah dapat diketahui bahwa Rumah Sakit
termasuk sebuah badan hukum yang terorganisir dalam menjalankan
kegiatan usahanya yakni memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien.
Sebagai badan usaha yang menjalankan pelayanan publik, Rumah
Sakit secara otomatis memegang hak dan kewajiban seperti yang diatur
dalam undang- undang. Dilihat dari hak dan kewajiban yang disandangnya,
Rumah Sakit juga merupakan Korporasi yang berbadan hukum. Hal ini akan
memberikan pengertian bahwa Rumah Sakit bisa saja melakukan delik yang
memenuhi rumusan dalam undang- undang.
Eksistensi Rumah sakit sebagai korporasi badan hukum tidak muncul
begitu saja. Dalam arti, harus ada yang mendirikan, yakni oleh pendiri-
pendirinya yang menurut hukum perdata diakui memiliki kewenangan secara
hukum. Menurut hukum perdata pula, yang diakui memiliki kewenangan
mendirikan korporasi adalah orang (manusia) atau natural person dan badan
hukum atau legal person.
Demikian pula halnya dengan Rumah Sakit. Dalam hal “mati/
bubarnya”, suatu korporasi dapat dikatakan “bubar/berakhirnya”
eksistensinya secara hukum, maka Korporasi sudah tidak dapat melakukan
perbuatan hukum. Ada beberapa alasan yang menyebabkan korporasi
menjadi bubar, yaitu:
a. Jangka waktu pendiriannya telah sampai, sedangkan para
pendirinya tidak memperpanjang “usia” dari korporasi tersebut;
disebut bubar demi hukum.
b. Dibubarkan oleh para pendirinya atau oleh para pemegang saham.
c. Dibubarkan oleh pengadilan berdasarkan putusan pengadilan atas
pertimbangan – pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim
atau majelis hakim yang memeriksa suatu perkara.
d. Dibubarkan oleh Undang-undang.
Rumah Sakit sebagai korporasi yang terorganisasi memiliki pimpinan
dan orang- orang di dalamnya yang melakukan perbuatan hukum, misalkan
perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan
pengurus untuk dan atas nama orang- orang dalam Rumah sakit tersebut.
Dalam melakukan perbuatan hukum, tentu saja Rumah Sakit tidak lepas dari
beban hukum yang ditanggungkan di atasnya, dimana Rumah sakit bisa
dipertanggungjawabkan dalam suatu perbuatan pidana yang melibatkan
Rumah Sakit itu sendiri.
B. SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, tidak
dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun dalam pengertian
tindak pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban. Tindak
pidana hanya menunjukkan kepada dilarangnya suatu perbuatan5.
Pandangan di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Moelyatno, yang membedakan dengan tegas “dapat dipidananya
perbuatan” (de strafbaarheid van het feit atau het verboden zjir van
het feit) dan “dapat dipidananya orang” (strafbaarheid van den
persoon), dan sejalan dengan itu beliau memisahkan antara pengertian
“perbuatan pidana” (criminal act) dan “pertanggungan jawab
pidana” (criminal responsibility atau criminal liability)6.
Oleh karena hal tersebut dipisahkan, maka pengertian
perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungjawaban pidana.
Pandangan ini disebut pandangan dualistis mengenai perbuatan
pidana. Pandangan ini merupakan penyimpangan dari pandangan
yang monistis antara lain yang dikemukakan oleh Simons yang
merumuskan “strafbaar feit” adalah : “een strafbaar gestelde,
onrechtmatige met schuld verband staande handeling van een
toerekeningsvatbaar persoon”. Jadi unsur-unsur strafbaar feit adalah :
1) Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak
berbuat atau membiarkan);
2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
3) Melawan hukum (onrechtmatig);
4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
C. SISTEM KEPENGURUSAN PERTANGGUNGJAWABAN
5 Dwidja Priyatno, op cit, Hal 30.6 Moelyatno, Seperti dikutip oleh Sudarto, Dalam Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan ke II, Semarang, Yayasan Sudarto, 1990, Hal 40.
10
KORPORASI
Sistem ini sejalan dengan perkembangan korporasi sebagai
subjek hukum pidana tahap I. Dimana para penyusun KUHP, masih
menerima asas “societas/universitas delinquere non potest” (badan
hukum tidak dapat melakukan tindak pidana). Asas ini sebetulnya
berlaku pada abad yang lalu pada seluruh Eropa kontinental. Hal ini
sejalan dengan pendapat-pendapat hukum pidana individual dari
aliran klasik yang berlaku pada waktu itu dan kemudian juga dari
aliran modern dalam hukum pidana.
Bahwasannya yang menjadi subjek tindak pidana itu sesuai
dengan penjelasan (MvT ) terhadap Pasal 59 KUHP, yang
berbunyi :”suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia”.
Von Savigny pernah mengemukakan teori fiksi (fiction theory),
dimana korporasi merupakan subjek hukum, tetapi hal ini tidak diakui
dalam hukum pidana, karena pemerintah Belanda pada waktu itu
tidak bersedia mengadopsi ajaran hukum perdata ke dalam hukum
pidana7.
Ketentuan dalam KUHP yang menggambarkan penerimaan
asas “societas/universitas delinquere non potest”adalah ketentuan
Pasal 59 KUHP. Dalam pasal ini juga diatur alasan penghapus pidana
(strafuitsluitingsgrond). yaitu pengurus, badan pengurus atau
komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran,
tidak dipidana.
BAB II
7 Hatrick, Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (strict liability dan vicarious liability), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, Hal 30.
11
PEMBAHASAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI RUMAH SAKIT
Rumah sakit sebagai sebuah korporasi menurut hukum perdata
merupakan legal person (rechtspersoon) yaitu badan hukum yang sifatnya
legal personality. Pada awalnya, pembuat undang-undang pidana
berpandangan hanya manusia yang dapat menjadi subjek tindak pidana,
namun, seiring perkembangan zaman, korporasi juga bisa menjadi subjek
tindak pidana. Di Amerika Serikat ada konsep untuk minta
pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu melalui doktrin respondent
superior atau vicarious liability. Menurut doktrin ini, apabila pekerja suatu
korporasi melakukan tindak pidana dalam lingkup pekerjaannya dengan
maksud menguntungkan korporasi, maka tanggung jawab pidananya dapat
dibebankan kepada korporasi. Prinsip ini bertujuan mencegah perusahaan
melindungi diri dan lepas tanggung jawab, dengan melimpahkan kegiatan
perusahaan yang melanggar hukum kepada pekerjanya. Ajaran vicarious
liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan
hukum (the law of tort), yang kemudian diterapkan pada hukum pidana.
Kejahatan yang ditimbulkan oleh korporasi sangat besar. Korbannya adalah
pekerja. Korporasi, dengan kekuatan finansial dan ahli-ahli yang dimiliki,
dapat menghilangkan bukti-bukti kejahatan. KUHP mengadopsi pendirian
bahwa korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana sebagaimana terdapat
pada Pasal 47 KUHP yaitu “Korporasi merupakan subjek tindak pidana”.
Pengaturan tentang tanggung jawab pidana korporasi dalam KUHP terdapat
dalam Pasal 47-53. Meskipun dalam RUU KUHP pidana pokok hanya
berupa denda, ancaman sanksi maksimum bagi korporasi dapat lebih berat
dibanding terhadap perseorangan.
Menyangkut denda dinyatakan: “Pidana denda paling banyak untuk
korporasi yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
12
penjara paling lama 7 tahun sampai dengan 15 tahun adalah denda Kategori
V, yaitu sebesar tiga ratus juta rupiah. Sedangkan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun adalah
denda Kategori VI, yaitu sebesar tiga miliar rupiah.” Selain denda
maksimum, telah pula ditetapkan denda minimum bagi korporasi, yaitu
denda Kategori IV sebesar tujuh puluh lima juta rupiah. KUHP juga telah
mengantisipasi jika korporasi tidak mampu membayar sanksi pidana denda,
maka dikenakan pidana pengganti berupa pencabutan izin usaha atau
pembubaran korporasi. Dengan diaturnya kejahatan korporasi dalam RUU
KUHP, diharapkan korporasi tidak lagi berdalih untuk melarikan diri dari
tanggung jawabnya, dalam hal ini tanggung jawab pidana. Pada awal
sejarahnya, rumah sakit tidak lebih dari sekedar institusi yang menerima
sumbangan dermawan, sehingga perannya hanya menyediakan makanan dan
tempat tidur bagi pasien yang memerlukan rawat inap.
Keadaan berubah dengan hadirnya banyak dokter yang membantu para
pasien, sehingga peran rumah sakit pun bertambah seperti menyediakan
peralatan medik, obat-obatan dan tenaga profesional guna meningkatkan
fungsi dan peran pelayanan kesehatan. Tidak cukup sampai di situ, masing-
masing rumah sakit berlomba- lomba mengembangkan diri menjadi sebuah
institusi dengan pelayanan total dan komprehensif. Konsekuensinya adalah
tidak hanya menampilkan kualitas pelayanan medik dan penunjang umum
lainnya, melainkan memunculkan lebih banyak tanggunggugat korporasi
(corporate liability) serta tanggung renteng (vicarious liability) akibat
kesalahan yang dilakukan oleh dokter yang bekerja di dalamnya.
Munculnya tanggung jawab rumah sakit awalnya diakibatkan oleh
penerapan langkah-langkah manajerial yang kurang tepat seperti:
1. Hospital equitment, supplies, medication and food.
2. Hospital environment.
13
3. Safety Procedures.
4. Selection and retention of employees and conferral of staff privileges.
5. Responsibilities for supervision of patient care.
Namun dalam perkembangan sering di akibatkan oleh cacatnya
pelaksanaan perjanjian dokter dan pasien. Cacatnya pelaksanaan perjanjian
tidak disebabkan belum sahnya hubungan terapeutik, namun pasien merasa
tidak puas terhadap hasil perawatan medik.
Tanggung jawab rumah sakit selanjutnya disebut sebagai hospital
liability. Dalam Pasal 1338 KUHPerdata disebutkan: ”Semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan
oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Jadi perjanjian dua subyek hukum antara dokter dan pasien bersifat sah lalu
mengikat para pihak. Perjanjian itu berisi hal-hal implisit yang menurut
sifatnya harus dipatuhi menurut undang-undang seperti terungkap dalam
Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi: ”Persetujuan tidak hanya mengikat
apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala
sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan,
kebiasaan atau undang-undang”.
Hospital Liability terjadi bila timbul masalah karena kesalahan health
care provider seperti kesalahan dokter (malpractice), yang dilakukan sengaja
(intensional), kecerobohan (recklessness) atau kelalaian (negligence). Jika
hal ini sungguh terjadi, maka undang-undang memungkinkan pasien untuk
menuntut ganti rugi kepada health care provider.
Malpraktik secara harafiah berarti pelaksanaan atau tindakan yang
salah dari profesional (professional misconduct, unreasonable, lack of skill).
14
Sifat Hospital Liability berupa:
1. Contractual liability, yaitu tidak dilaksanakannya kewajiban dokter
sebagai suatu prestasi akibat hubungan kontraktual. Dalam hubungan
terapeutik, kewajiban atau prestasi bukan dinilai dari hasil (result)
tetapi upaya (effort). Hospital Liability terjadi jika upaya medik tidak
memenuhi standar medik.
2. Liability in tort, yaitu perbuatan melawan hukum yang bersifat bukan
kewajiban tetapi menyangkut kesusilaan atau berlawanan dengan
ketelitian yang dilakukan dokter. Misalnya: membuka rahasia
kedokteran, kecerobohan yang mengakibatkan cacat atau meninggal
dunia.
3. Strict Liability, yaitu tanggung jawab bukan karena melakukan
kesalahan, tetapi akibat yang dihasilkan. Misalnya: limbah sampah
rumah sakit membuat warga sekitar sakit.
4. Vicarius liability, yaitu tanggung jawab akibat kesalahan yang dibuat
karyawan atau employee. Dalam hubungan dengan rumah sakit, jika
dokter sebagai karyawan melakukan kesalahan maka rumah sakit turut
bertanggung jawab.
Apabila kembali melihat aturan pokok yang terdapat dalam rumah
sakit sebagai aturan yang mengatur segala pelayanan kesehatan dan tenaga
kesehatan khususnya direktur/pimpinan rumah sakit, pemilik serta dokter
ataupun dokter gigi, maka dapat merujuk pada hospital bylaws serta Standar
Operasional Prosedur sebagai aturan pelaksana. Hospital Bylaws secara
tegas mengatur terkait hubungan antara direktur/pimpinan dan pemilik
rumah sakit dengan dokter ataupun dokter gigi terkait dengan tindakan
kedokteran, dimana hospital bylaws juga menjadi konstitusi bagi dokter
dengan direktur/pimpinan rumah sakit, pemilik, untuk menyelesaikan
konflik dan memberi perlindungan hukum khususnya bagi dokter dan dokter
gigi sebagai tenaga medis.
15
Sebagaimana diatur dalam Medical Staff Bylaws bahwa
direktur/pemilik, pimpinan rumah sakit beserta dokter dan dokter gigi
merupakan tritunggal yang bersama-sama secara fungsional memimpin
rumah sakit dan bertanggungjawab bersama terkait pelayanan medis kepada
masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan secara ringkas, terkait dengan
hospital bylaws dan medical staff bylaws, maka hukum pidana sebagai
hukum publik, bisa meminta pertanggungjawaban pidana korporasi, tidak
hanya terbatas pada dokter ataupun dokter gigi, namun juga pada rumah
sakit sebagai korporasi yang bertanggungjawab atas segala tindakan
kedokteran yang salah, yang dilakukan oleh dokter ataupun dokter gigi
kepada pasien.
Undang-undang memberikan peluang kepada pasien untuk menuntut
rumah sakit secara pidana maupun perdata. Tuntutan perkara ini
dimungkinkan sejauh tenaga medik melakukan kekeliruan fatal. Namun
tuntutan bisa diterima atau tidak tergantung pembuktian yang dilakukan
oleh masing-masing pihak dan penilaian hasil pembuktian oleh hakim.
Menurut Pasal 2 Undang- Undang No.14 Tahun 1970 tugas hakim adalah
memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan serta menyelesaikan setiap
perkara. Dalam perkara malpraktik, harus dapat dibuktikan apakah benar
ada kesalahan, kecerobohan atau kelalaian dokter, di mana dan kapan
terjadi, siapa pelaku dan saksinya. Apa ada alat-alat bukti misalnya: berupa
tulisan. Dalam kacamata hukum makna kebenaran tidak bersifat mutlak
sebagaimana kebenaran ilmiah. Kebenaran hukum dibedakan atas:
1. Kebenaran formil, yaitu kebenaran berdasarkan kehendak para pihak
dan formalitas pembuktian dan lainnya (preponderance of evidence).
2. Kebenaran materiil, yaitu kebenaran sesungguhnya yang sesuai
dengan fakta yang terjadi (beyond reasonable doubt).
Setiap hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam lingkungan
rumah sakit merupakan perikatan (Verbintenis) yang menimbulkan hak di
16
satu pihak dan kewajiban di pihak lain. Doktrin perikatan bertujuan untuk
mencapai suatu hasil atau prestasi dan ikhtiar (Inspanning) atau upaya
profesional semaksimal mungkin. Sedangkan perjanjian merupakan bagian
dari perikatan yang mengandung kesepakatan dua pihak atau lebih untuk
saling mengikatkan diri dalam hubungan hukum. Di situlah makna
hubungan terapeutik antara dokter dan pasien menjadi penting. Maka
sahnya perjanjian harus memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1320 KUHPerdata yaitu ada kesepakatan, kecakapan, obyek tertentu
dan kausa yang halal. Setiap perjanjian mengandung adanya kebebasan
(Pasal 1338 KUHPerdata) di mana isinya:
1. Perjanjian yang dibuat dengan sah itu mengikat sebagai undang-
tmdang bagi pembuatnya.
2. Dijalankan dengan itikad baik.
3. Tidak dapat diputuskan tanpa persetujuan pihak lain.
Hubungan terapeutik menimbulkan hak dan kewajiban para pihak.
Akibat lain dan hubungan terapeutik sering menimbulkan dugaan
pelanggaran yang oleh umum disebut malpraktik kedokteran. Dugaan
pelanggaran dapat berupa:
1. Pelanggaran etik yang ditangani organisasi Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) dan Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), dengan sanksi
peringatan atau pemecatan sementara yang berdampak rasa malu.
2. Pelanggaran disiplin yang ditangani Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI) dengan sanksi disiplin yang bersifat
mumi etik profesi seperti peringatan, pencabutan surat izin praktik,
pencabutan surat tanda registrasi, re-schooling, penjara dan denda;
sedangkan jika ada dugaan pelanggaran malpraktik akan ditangani
Konsil Kedokteran Indonesia.
17
3. Pelanggaran hukum yang ditangani oleh pengadilan umum perdata
atau pidana, dengan sanksi hukuman pidana atau ganti rugi materi.
4. Dalam Undang-Undang No 29 Tahun 2004 disebutkan bahwa
penyalahgunaan disiplin tidak menutup kemungkinan adanya tuntutan
melalui pengadilan.
Menjelaskan pertanggungjawaban pidana, yang mana apa yang
dilakukan sesorang dipertanggungjawabkan kepada orang lain. Misalkan A
yang melakukan perbuatan pidana dan perbuatan itu dipertanggunjawabkan
kepada si B. Hal ini hampir mirip dalam pasal 55 KUHP ayat (1) angka
1”dipidana sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang melakukan, yang
menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan”.
Bedanya, dalam KUHP ini, yang disuruh melakukan adalah orang yang
tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sementara, dalam ajaran Vicarious
Responsibility baik kedua pihak sama- sama dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ini nampak dalam tujuan teori Vicarious Responsibility yakni
memperluas wilayah pertanggungjawaban pidana, tidak hanya pelaku fisik
tetapi juga pelaku intelektual. Untuk menjelaskan teori ini, ada ajaran
doctrine of identification yang tidak hanya menjelaskan “directing mind”,
tetapi juga menjelaskan syarat- syarat perbuatan individu yang bisa
diatributkan kepada perusahaan atau korporasi.
Berdasarkan doctrine of identification,untuk dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, hal pertama yang perlu
diidentifikasikan adalah “directing mind” dalam korporasi. Jika suatu
perbuatan pidana di dalam korporasi itu dilakukan oleh “directing mind”,
maka pertanggungjawaban pidana baru dapat dibebankan kepada korporasi
itu. Dalam kejadian tertentu, identifikasi dari perilaku dan sikap kalbu dari
seseorang yang terkait dengan suatu perusahaan dapat diatributkan kepada
perusahaan agar pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada
perusahaan tersebut. Dalam arti, bahwa apa yang menjadi tindakan individu
dapat dikategorikan sebagai tindakan perusahaan.
18
Akan tetapi, tidak semua perbuatan individu dapat diatributkan kepada
perusahaan. Secara tegas, teori identifikasi menjelaskan syarat- syarat
perbuatan individu yang dipertanggungjawabkan kepada korporasi, antara
lain:
a. Perbuatan yang dimaksud adalah termasuk dari yang ditugaskan
b. Perbuatan tersebut bukan merupakan kecurangan terhadap korporasi
c. Kegiatan yang dilakukan individu tersebut mendatangkan keuntungan
bagi korporasi
Pasal 190 ayat (1) menentukan bahwa “Pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan
pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan
pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) Sedangkan dalam ayat (2)
undang- undang yang sama menyebutkan bahwa dalam hal perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat(1) mengakibatkan terjadinya kecacatan
atau kematian,pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Berdasarkan analisa penulis terhadap kasus di atas, tindak pidana yang
dilakukan oleh dokter tersebut memenuhi rumusan pada pasal 191 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Untuk mendeskripsikan
pelaku tindak pidana dala kasus ini, ada dua kemungkinan, yakni:
Tindakan dapat dibebankan kepada Rumah Sakit, alasannya:
a) Dokter hanya mengikuti prosedur yang diwajibkan dari Rumah sakit
b) Fasilitas tidak lengkap tetapi Rumah sakit yang dimaksud tidak
membuat rujukan kepada Rumah sakit lain yang lebih lengkap
19
c) Pihak Rumah sakit tidak memberikan informasi yang jelas kepada
pasien atau keluarganya
d) Tidak mengeluarkan Inform Consent terlebih dahulu sebelum
melakukan tindak medik yang beresiko bagi pasien (dalam keadaan
yang mendesak dokter berhak mengambil tindakan tanpa harus
menunggu persetujuan keluarga pasien)
Sementara Rumah sakit tidak dibebankan apa- apa dalam kasus ini. Ini
yang perlu ditinjau kembali, apakah Rumah sakit tersebut dapat
dipertanggungjawabkan atau tidak. Jika dihubungkan dengan teori agregasi,
yang menekankan pada kesalahan banyak orang, Hal ini memenuhi rumusan
definisi dari korporasi, yang mana dijelaskan bahwa korporasi merupakan
kumpulan terorganisasi dari orang atau kekayaan baik yang merupakan
badan hukum atau pun yang bukan.
Bertolak dari teori vicarious responsibility yang bertujuan memperluas
jangkauan pidana, bukan hanya pelaku fisik, tetapi juga pelaku intelektual
Untuk korporasi, pidana yang tepat menurut Undang- Undang Nomor 44
Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit pasal 27 yakni dengan pencabutan izin dan
pasal 201 Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang berbunyi: “Dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191,
Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200
dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana
denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal
197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.”Akan tetapi, pelaksanaan pidana
penjara adalah tidak mungkin. Bagaimana eksekusinya, jika korporasi
dipidana penjara. Sampai sekarang banyak produk hukum yang memuat
ketesntuan pidana untuk korporasi yakni dengan pidana penjara.
Menurut penulis, pidana penjara sangat tidak tepat untuk korporasi.
Alternatif lain yang bisa dilaksanakan adalah menurut Undang- Undang
20
Nomor 44 Tahun 2009 pasal 63 ayat 2, yakni: pencabutan ijin usaha dan/ atau
pencabutan status badan hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa;
1. Berdasarkan doctrine of identification,untuk dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, hal pertama yang
perlu diidentifikasikan adalah “directing mind” dalam korporasi.
Jika suatu perbuatan pidana di dalam korporasi itu dilakukan oleh
“directing mind”, maka pertanggungjawaban pidana baru dapat
dibebankan kepada korporasi itu. Dalam kejadian tertentu,
identifikasi dari perilaku dan sikap kalbu dari seseorang yang
terkait dengan suatu perusahaan dapat diatributkan kepada
perusahaan agar pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan
kepada perusahaan tersebut. Dalam arti, bahwa apa yang menjadi
tindakan individu dapat dikategorikan sebagai tindakan perusahaan.
Akan tetapi, tidak semua perbuatan individu dapat diatributkan
kepada perusahaan. Secara tegas, teori identifikasi menjelaskan
syarat- syarat perbuatan individu yang dipertanggungjawabkan
kepada korporasi, antara lain:
a) Perbuatan yang dimaksud adalah termasuk dari yang ditugaskan
b) Perbuatan tersebut bukan merupakan kecurangan terhadap
korporasi
c) Kegiatan yang dilakukan individu tersebut mendatangkan
keuntungan bagi korporasi
2. Tindakan dapat dibebankan kepada Rumah Sakit :
a) Dokter hanya mengikuti prosedur yang diwajibkan dari Rumah
sakit
21
b) Fasilitas tidak lengkap tetapi Rumah sakit yang dimaksud tidak
membuat rujukan kepada Rumah sakit lain yang lebih lengkap
c) Pihak Rumah sakit tidak memberikan informasi yang jelas kepada
pasien atau keluarganya.
B. Saran
Undang-undang memberikan peluang kepada pasien untuk menuntut rumah
sakit secara pidana maupun perdata. Tuntutan perkara ini dimungkinkan
sejauh tenaga medik melakukan kekeliruan fatal. Namun tuntutan bisa
diterima atau tidak tergantung pembuktian yang dilakukan oleh masing-
masing pihak dan penilaian hasil pembuktian oleh hakim.
22
DAFTAR PUSTAKA
Fahamsyah dan Suarda, 2006. Implementasi Teori Pertanggungjawaban Pidana. Mimbar Hukum Volume 18, Nomor 2, Juni 2006
Hendrojono Soewaono, 2006. Perlindungan Hak-Hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik. Penerbit Srikandi Surabaya.
Laden Merpaung, 1998. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Profesinya; Jakarta.
Setiyono, 2003. Kejahatan Korporasi. Bayumedia. Malang.
Soeraryo D, 2004. Etik, Hukum Kesehatan Kedokteran. Badan Penerbit Undip. Semarang.
Sofwan Dahlan, 2000. Hukum Kesehatan. Badan Penerbit Undip. Semarang.
Sofwan Dahlan, 2007. Malpraktek. Badan Penerbit Undip. Semarang.
Sudarto, 1990. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarta. Semarang.
Wibisono M, 2007. Doctor’s Criminal Responsibility of Medical Treatment. Unair. Surabaya.
Wila C. 2001. Hukum Kedokteran. Penerbit PT. Mandar Maju. Bandung.
i
23
Top Related