BAB I
LAPORAN KASUS
I.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. RS/ 47 tahun
Alamat :Jl. Rawamangun Muka, Pulogadung, Jakarta Timur
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Status Pernikahan : Sudah Menikah
No CM : 33-15-66
Tanggal Masuk : 20 Februari 2015
Tanggal Pemeriksaan : 25 Februari 2015
II.2. ANAMNESA
Pasien merupakan pasien konsultasi dari bagian penyakit dalam RSPAD
Gatot Soebroto pada tanggal 24 Februari 2015. Dilakukan auto-anamnesa pada
tanggal 25 Februari 2015.
Keluhan Utama
Pasien mengaku sulit membuka mata secara mendadak dan semakin berat
bila menjelang sore hari sejak 1 bulan yang lalu.
Keluhan Tambahan
Pasien mengeluhkan lemah pada kedua ekstramitas dan lelah bila bicara
terlalu lama.
1
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 2 bulan yang lalu pasien mengeluhkan lemah pada kedua
ekstramitas. Sejak 1 bulan yang lalu pasien merasa lelah bila bicara terlalu
lama dan kesulitan membuka mata. Pasien sulit membuka mata ketika bangun
tidur dan dirasa semakin memberat pada sore dan malam hari. Keluhan pasien
dirasakan setelah beraktifitas, dan keluhan cenderung berkurang setelah pasien
beristirahat.
Keluhan ini diakui sangat mengganggu aktivitas pasien. Nyeri kepala,
mual, muntah, demam disangkal oleh pasien. BAB dan BAK tidak ada
keluhan.
Pasien menyangkal adanya penyakit hipertensi, diabetes mellitus, penyakit
jantung. Dari riwayat keluarga tidak ditemukan keluhan serupa dengan pasien,
penyakit hipertensi, diabetes melitus, stroke ataupun gangguan jantung.
Keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan oleh pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi : Disangkal
Diabetes Mellitus : Disangkal
Sakit jantung : Disangkal
Trauma kepala : Disangkal
Sakit kepala sebelumnya : Disangkal
Kegemukan : Disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat serupa dengan pasien, hipertensi, diabetes melitus,
stroke ataupun gangguan jantung pada keluarga
Riwayat Kelahiran/Pertumbuhan/Perkembangan
Pasien dilahirkan normal. Pertumbuhan dan perkembangan selama masa
kanak-kanak dalam batas normal.
2
I.3. PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS INTERNUS
1. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
2. Gizi : BMI 17,7 (underweight)
3. Tanda Vital :
Tekanan Darah Kanan: 100/70 Mmhg
Tekanan Darah Kiri : 110/70 Mmhg
Nadi Kanan : 80 X/Menit
Nadi Kiri : 76 X/Menitt
Pernafasan : 20 X/Menit
Suhu : 36oc
4. Limfonodi : Tidak Teraba Pembesaran Kelenjar Getah Bening
5. Jantung : Bunyi Jantung I-II Regular, Murmur (-), Gallop (-)
6. Paru :Bunyi Nafas Vesikuler (+/+), Ronki (-/-),
Wheezing (-/-)
7. Hepar : Tidak Teraba Pembesaran Hepar
8. Lien : Tidak Teraba Pembesaran Lien
9. Ekstremitas : Akral hangat, Capillary Refill Time kurang dari 2
detik Edema (-), Sianosis (-)
B. STATUS PSIKIATRIS
a. Tingkah Laku : Wajar
b. Perasaan Hati : Tidak Ada Kelainan
c. Orientasi : Baik
d. Jalan Fikiran : Tidak Ada Kelainan
e. Daya Ingat : Baik
C. STATUS NEUROLOGIS
a. Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E4M6V5)
b. Sikap Tubuh : Berbaring
c. Cara Berjalan : Tidak Dilakukan
d. Gerakan Abnormal : Tidak Ditemukan
e. Kepala :
Bentuk : Normocephal
3
Simetris : Simetris
Pulsasi A.Temporalis : Teraba
Nyeri Tekan : Tidak Ada
f. Leher :
Sikap : Normal
Gerakan : Bebas
Vertebrae : Dalam Batas Normal
Nyeri Tekan : Tidak Ada
D. GEJALA RANGSANG MENINGEAL
NO GRM KANAN KIRI
1 Kaku Kuduk (-)
2 Lasegue > 70° > 70°
3 Kernig > 135° > 135°
4 Brudzinsky I (-) (-)
5 Brudzinsky II (-) (-)
E. NERVI CRANIALES
a. Nervus I (N. Olfactorius)
Daya Penghidu : Normosmia/Normosmia
b. Nervus II (N. Opticus)
Ketajaman Penglihatan: Minus 2.00/2.00
Pengenalan Warna : Baik/ Baik
Lapang Pandang : Baik/ Baik
Funduskopi : Tidak Dilakukan
c. Nervus III (N. Occulomotorius/ Trochlearis/ Abdusens)
Ptosis : (+/+)
Strabismus : (-/-)
Nistagmus : (-/-)
Eksoftalmus : (-/-)
Enoptalmus : (-/-)
Gerakan Bola Mata:
- Lateral : (+/+)
4
- Medial : (+/+)
- Atas Lateral : (+/+)
- Atas Medial : (+/+)
- Bawah Lateral : (+/+)
- Bawah Medial : (+/+)
- Atas : (+/+)
- Bawah : (+/+)
- Gaze : (-/-)
Pupil:
- Ukuran Pupil : 3 Mm/ 3mm
- Bentuk Pupil : Bulat/ Bulat
- Isokor/ Anisokor : Isokor
- Posisi : Di Tengah/ Di Tengah
- Refleks Cahaya Langsung : (+/+)
- Refleks Cahaya Tidak Langsung : (+/+)
- Refleks Akomodasi/ Konvergensi: (+/+)
d. Nervus V (N. Trigeminus)
- Menggigit : (+/+)
- Membuka Mulut : (+/+)
- Sensibilitas Atas : (+/+)
- Sensibilitas Tengah : (+/+)
- Sensibilitas Bawah : (+/+)
- Refleks Masseter : (+/+)
- Refleks Zigomatikus : (+/+)
- Refleks Kornea : Tidak Dilakukan
- Refleks Bersin : Tidak Dilakukan
e. Nervus VII (N. Fasialis)
- Pasif
- Kerutan Kulit Dahi : Simetris kanan dan kiri
- Kedipan Mata : Simetris kanan dan kiri
- Lipatan Nasolabial : Simetris kanan dan kiri
- Sudut Mulut : Simetris kanan dan kiri
5
- Aktif
- Mengerutkan Dahi : Simetris kanan dan kiri
- Mengerutkan Alis : Simetris kanan dan kiri
- Menutup Mata : Simetris kanan dan kiri
- Meringis : Simetris kanan dan kiri
- Menggembungkan Pipi : Simetris kanan dan kiri
- Gerakan Bersiul : Simetris kanan dan kiri
- Daya Pengecapan Lidah 2/3 Depan: Tidak Dilakukan
- Hiperlakrimasi : Tidak Ditemukan
- Lidah Kering : Tidak Ditemukan
f. Nervus VIII (N. Vestibulocochlearis)
Suara Gesekan Jari Tangan : (+/+)
Mendengarkan Detik Jam Arloji : (+/+)
Tes Rinne : Tidak Dilakukan
Tes Weber : Tidak Dilakukan
Tes Swabach : Tidak Dilakukan
g. Nervus IX (N. Glossopharyngeus)
Arkus Faring : Simetris
Posisi Uvula : Di tengah
Daya Pengecap Lidah 1/3 Belakang : Tidak Dilakukan
Refleks Muntah : Tidak Dilakukan
h. Nervus X (N. Vagus)
Denyut Nadi : Teraba, Reguler
Arkus Faring : Simetris kanan kiri
Bersuara : Lemah bila terlalu lama bicara
Menelan : Tidak ada kelainan
i. Nervus XI (N. Assesorius)
Memalingkan Kepala : Baik
Sikap Bahu : Simetris kanan dan kiri
Mengangkat Bahu : Simetris kanan dan kiri
j. Nervus XII (N. Hipoglosus)
6
Menjulurkan Lidah : Tidak ada deviasi
Kekuatan Lidah : Baik
Atrofi Lidah : Tidak ditemukan
Artikulasi : Jelas
Tremor Lidah : Tidak ditemukan
F. MOTORIK
Gerakan : terbatas terbatas
terbatas terbatas
Kekuatan : 4444 4444
4444 4444
Tonus otot : Normotonus Normotonus
Normotonus Normotonus
Trofi : Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofi
Reflek Fisiologis
Refleks tendon :
Refleks biseps : (+/+)
Refleks triseps : (+/+)
Refleks patella : (+/+)
Refleks archilles : (+/+)
Refleks periosteum : tidak dilakukan
Refleks permukaan:
Dinding perut : tidak dilakukan
Cremaster : tidak dilakukan
Spincter ani : tidak dilakukan
Reflek Patologis
Hoffman trimmer : (-/-)
Babinski : (-/-)
Chaddock : (-/-)
Oppenheim : (-/-)
Gordon : (-/-)
Schaefer : (-/-)
7
Rosolimo : (-/-)
Mendel bechterew : (-/-)
Klonus paha : (-/-)
Klonus kaki : (-/-)
G. SENSIBILITAS
Eksteroseptif:
Nyeri : (Normal/Normal)
Suhu : Tidak Dilakukan
Taktil : (Normal/Normal)
Propioseptif:
Posisi : (Normal/Normal)
Vibrasi : Tidak Dilakukan
Tekanan Dalam : (Normal/Normal)
H. KOORDINASI DAN KESEIMBANGAN
a. Tes Romberg : Tidak dilakukan
b. Tes Tandem : Tidak dilakukan
c. Tes Fukuda : Tidak dilakukan
d. Disdiadokinesis : Normal
e. Rebound Phenomen : Normal
f. Dismetri : Normal
g. Tes Telunjuk Hidung : Normal
h. Tes Telunjuk Telunjuk : Normal
i. Tes Tumit Lutut : Tidak dilakukan
I. FUNGSI OTONOM
a. Miksi
Inkontinensia : Tidak Ada
Retensi Urin : Tidak Ada
Anuria : Tidak Ada
b. Defekasi
Inkontinensia : Tidak Ada
Retensi : Tidak Ada
J. FUNGSI LUHUR
8
a. Fungsi Bahasa : Baik
b. Fungsi Orientasi : Baik
c. Fungsi Memori : Baik
d. Fungsi Emosi : Baik
e. Fungsi Kognisi : Baik
I.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 20 Februari 2015 menunjukkan
adanya penurunan Hb, Ht, eritrosit, leukosit, ureum, kalium. Pemeriksaan
laboratorium pada tanggal 22 Februari 2015 menunjukkan turunnya kadar
Hb, Ht, eritrosit darah dan peningkatan leukosit pada urin.
Foto Thorax
Foto rontgen thorax yang diambil pada tanggal 20 Februari 2015
menunjukkan cor dalam batas normal dan adanya infiltrat di lapangan
tengah bawah paru kanan DD/ Penumonia.
EMG (Harvey Masland Test)
Pada pemeriksaan repetitif stimulation pada M.Trapezius bilateral
didapatkan Decrement >10%
Pemeriksaan khusus:
Pemeriksaan ice pack test (+)
Pemeriksaan Wartenberg (+)
Pemeriksaan pita suara (+)
I.5. RESUME
1. Anamnesa
Pasien perempuan usia 47 tahun merupakan pasien neurologi yang
sebelumnya dikonsultasikan dari bagian penyakit dalam RSPAD Gatot
Soebroto. Anamnesa melalui Autoanamnesa. Sejak 2 bulan yang lalu
pasien mengeluhkan lemah pada kedua tungkai. Sejak 1 bulan yang
lalu pasien merasa lelah bila bicara terlalu lama dan kesulitan
membuka mata. Pasien sulit membuka mata ketika bangun tidur dan
dirasa semakin memberat pada sore dan malam hari. Keluhan pasien
9
dirasakan setelah beraktifitas, dan keluhan cenderung berkurang
setelah pasien beristirahat.
2. Pemeriksaan
Status Internus
a. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
b. Gizi : BMI 17,7 (underweight)
c. Kesadaran : Compos Mentis
d. Tanda Vital :
Tekanan Darah Kanan: 100/70 Mmhg
Tekanan Darah Kiri : 110/70 Mmhg
Nadi Kanan : 80 X/Menit
Nadi Kiri : 76 X/Menitt
Pernafasan : 20 X/Menit
Suhu : 36oC
Status Psikiatri : Tidak ada kelainan
Status Neurologis : Tidak ada kelainan
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 20 Februari 2015 menunjukkan
adanya penurunan Hb, Ht, eritrosit, leukosit, ureum, kalium. Pemeriksaan
laboratorium pada tanggal 22 Februari 2015 menunjukkan turunnya kadar
Hb, Ht, eritrosit darah dan peningkatan leukosit pada urin.
Foto Thorax
Foto rontgen thorax yang diambil pada tanggal 20 Februari 2015
menunjukkancor dalam batas normal dan adanya infiltrat di lapangan tengah
bawah paru kanan DD/ Penumonia.
10
Rontgen thorax
EMG (Harvey Masland Test)
Pada pemeriksaan repetitif stimulation pada M.Trapezius bilateral
didapatkan Decrement >10%
Pemeriksaan khusus:
Pemeriksaan ice pack test (+)
Pemeriksaan Wartenberg (+)
Pemeriksaan pita suara (+)
11
I.6. DIAGNOSIS
Diagnosa Klinis : Tetraparase, Ptosis bilateral
Diagnosa Topis : Neuromuscular junction
Dignosa Etiologis : Miastenia Gravis Grade IIA
Diagnosa Sekunder : Pneumonia, ISK, Dispepsia
I.7. TERAPI
Non Farmakologis
a. Edukasi pasien dan keluarganya dalam kaitannya dengan meminimalisir
faktor risiko
b. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat
kekuatan
Farmakologis
a. IVFD Nacl 0,9% 20tpm
b. Mestinon 3x1 60 mg PO
c. Mecobalamin 3x1 500 mg PO
d. Ceftriaxon 1x 2 gr IV
e. Ranitidin 2x1 150 mg PO
f. Ondansentron 3x1 8 mg PO
PEMERIKSAAN ANJURAN
a. Pemeriksaan Laboratorium darah lengkap dan elektrolit
b. Pemeriksaan laboratorium kadar anti-asetilkolin reseptor antibodi
I.8. PROGNOSIS
a. Ad Vitam : Bonam
b. Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
c. Ad Sanam : Dubia ad bonam
d. Ad Cosmeticum : Dubia ad bonam
12
BAB II
ANALISA KASUS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan umum,
pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan penunjang.
II.1. ANAMNESA
Pada kasus diatas berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan,
penderita mengalami gejala klinis berupa kesulitan membuka mata dan
kelemahan ekstremitas pada kedua sisi. Pada perjalanan penyakitnya, pasien
sudah merasakan keluhan ini sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan lain yang ada pada pasien yaitu kedua kelopak mata secara tiba-tiba
menutup dan semakin sulit untuk diangkat, disertai perasaan lelah bila
berbicara terlalu lama sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan semakin memberat
bila pasien sedang beraktifitas, dan keluhan hilang bila pasien beristirahat.
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus menerus dan disertai dengan kelelahan saat melakukan aktivitas.
Karakteristik miastenia gravis terutama ditunjukkan dengan adanya
kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini cenderung
meningkat apabila penderita sedang melakukan aktivitas. Penderita akan
merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan
berkurang apabila penderita beristirahat9. Penyakit ini timbul karena adanya
gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction10.
II.2. PEMERIKSAAN
Status Internus
Dari keadaan umum pasien didapatkan pasien dalam keadaan sakit
sedang. Pasien masih mampu menjawab pertanyaan yang diajukan sehingga
disimpulkan bahwa kesadaran pasien dalam keadaan compos mentis GCS
E4M6V5.
13
Dari pemeriksaan tanda vital didapatkan bahwa hasil pemeriksaan
dalam batas normal. Tidak diketemukan adanya hipertensi pada pasien saat
dilakukannya pemeriksaan.
Pada pemeriksaan kedua kelopak mata pasien dalam keadaan
ptosis atau sulit diangkat. Pada pemeriksaan motorik didapatkan kekuatan
kedua ekstremitas menurun yaitu bernilai 4. Reflek fisiologis dalam batas
normal dan tidak ditemukan adanya reflek patologis pada pasien.
Sensibilitas pada pasien dalam keadaan normal, simetris antara kanan dan
kiri. Fungsi luhur tidak ditemukan adanya kelainan. Fungsi vegetatif tidak
ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan bahwa tidak
ditemukan adanya gejala rangsang meningeal. Tidak terdapat gerakan yang
abnormal. Pemeriksaan koordinasi dan keseimbangan dalam batas normal.
Pemeriksaan Penunjang 8
Hasil pada EMG (+), pemeriksaan dilakukan dengan metode
Harvey Masland Test dimana dilakukan stimulasi repetitive dan didapatkan
gambaran hasil pemeriksaan yang ditandai dengan penurunan (decrement)
amplitude gelombang respon lebih dari 10% yang menandakan bahwa letak
kelainan berada pada post sinaps (gangguan pada reseptor asetilkolin).
Sensitifitas EMG kurang lebih 50-60%.
Pada pemeriksaan ice pack test, pemeriksaan bertujuan untuk
membedakan antara ptosis miastenia gravis dan non miastenia gravis,
didapatkan hasilnya (+) : terdapat celah pada palpebral fissure (kelopak
mata) dalam mm. Cara pemeriksaan dengan menempatkan ice pack pada
kelopak mata selama 2 menit, kemudian ukur kembali celah pada kelopak
mata. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas enzim
asetilkolinesterase (AChE) dengan dirangsangnya penurunan suhu lokal
dengan menggunakan es akan meningkatkan efek depolarisasi AcH,
sehingga terjadi peningkatan efisiensi transmisi neuromuscular. Sensitivitas
test ini 95%, spesifisitas 100%. Berakibat positif pada pasien dengan ocular
MG dan hasil negatif pada tensilon test atau ketika tensilon
dikontraindikasikan.
14
Pemeriksaan test wartenberg (+), dengan cara pemeriksaan yaitu
pasien memandang objek diatas bidang antara kedua bola mata selama > 30
detik, lama kelamaan akan terjadi ptosis.
Pemeriksaan test pita suara (+), dengan cara penderita disuruh
menghitung 1 – 100, kemudian suara akan menghilang secara bertahap.
Pemeriksaan Anjuran
Pemeriksaan anjuran yang dianjurkan untuk pasien ini ialah pemeriksaan
laboratorium.
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah dilakukan untuk
mencari faktor risiko. Elektrolit untuk mencari apakah terjadi
kekurangan atau kelebihan dari masing-masing unsur.
2. Pemeriksaan kadar anti-asetilkolin reseptor antibodi
Pemeriksaan ini untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis,
dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien, 80% dari
penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan
miastenia okular murni menunjukkan hasil test anti-asetilkolin
reseptor antibodi yang positif.
II.3. TERAPI
Non-Farmakologis:
a. Edukasi pasien dan keluarganya dalam kaitannya dengan meminimalisir
faktor risiko
b. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat
kekuatan
Farmakologis
a. IVFD Nacl 0,9% 20tpm
b. Mestinon
15
Sediaan: injeksi 5 mg/ml, tablet 60 mg & 180 mg, syrup 60 mg/5ml
Dosis dewasa: dosis awal 30-60 mg (1/2-1 tab) setiap 4-6 jam dan
ditingkatkan sampai 60-180 mg bila diperlukan. Dosis harian 300-12 mg
(5 tab-20 tab)
Indikasi: MG, ileus paralitik, retensi urin pasca operasi
- Absorpsi: bioavailabilitas pada PO sekitar 14%
- Distribusi: onset aksi sekitar 15-20 menit, konsentrasi puncak sekitar
1,5-2 jam setelah pemberian.
- Metabolisme: dimetabolisme menjadi 3-hidroksi-N-metilpiridin dan
metanolit lainnya yang tidak teridentifikasi
- Eliminasi: waktu paruh sekitar 3 jam setelah pemberian oral, 75&-81%
dieliminasi melalui ginjal
c. Mecobalamin
Sediaan: ampul 500 ug, tablet 500 ug
Dosis: Tablet 500-15 mcg/hari
Indikasi: neuropati perifer
d. Ceftriaxon
Sediaan: vial 1 gr
Dosis dewasa dan anak >12 tahun: 1-2 gram satu kali sehari, dosis dapat
dinaikkan sampai 4 gram satu kali
Indikasi: Infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, infeksi
intraabdominal, dll.
e. Ranitidin
Sediaan: injeksi 25 mg/ml, tablet 150 mg
Dosis: injeksi 50 mg(tanpa pengenceran) tiap 6-8 jam IM, 150 mg 2x1
(pagi dan malam) selama 4-8 minggu
Indikasi: pengobatan jangka pendek tukak usus 12 jari aktif, tukak
lambung aktif, mengurangi gejala refluks esofagitis
f. Ondansentron
Sediaan: tablet salut selaput 4 mg dan 8 mg, ampul 4 mg/2ml dan 8
mg/4ml
16
Dosis dewasa: dosis tunggal 4 mg secara IM/IV lambat kurang dari 30
detik (sebaiknya antara 2-5 menit), tablet 3x1 8 mg PO
Indikasi: mual dan muntah yang disebabkan oleh kemoterapi, radioterapi,
dan pascaoperasi.
II.4. FOLLOW UP
25 – 2 - 2015 26 – 2 - 2015 27 – 2 - 2015
S: Sulit membuka mata,
tungkai merasa lemah
keluhan memberat saat
siang dan sore hari, pasien
tidak dapat berjalan sendiri,
lelah bila bicara terlalu
lama, mual sehingga tidak
nafsu makan, bila batuk
dada terasa sakit
O: E4M6V5 GCS15
TD: 110/70 mmhg
N: 80x/menit
RR:16x/menit
S: 36° C
Mata menutup adanya
ptosis, kekuatan motorik
4/4, tidak ada kelainan
GRM
A: Miastenia Gravis,
dispepsia, pneumonia, isk
P: Mestinon 3x1 30 mg PO
Mecobalamin 3x1 500 mg
PO
Ceftriaxon 1x 2 gr IV
S: masih sulit membuka mata,
tungkai merasa lemah
keluhan memberat saat siang
dan sore hari, pasien masih
belum dapat berjalan sendiri,
lelah bila bicara terlalu lama
O: E4M6V5 GCS15
TD: 90/60 mmhg
N: 80x/menit
RR:19x/menit
S: 36° C
kekuatan motorik 4/4, tidak
ada kelainan GRM
A: Miastenia Gravis,
dispepsia, pneumonia, isk
P: Mestinon 3x1 60 mg PO
Mecobalamin 3x1 500 mg PO
Ceftriaxon 1x 2 gr IV
Ranitidin 2x1 150 mg PO
S: Sudah lebih sering
membuka mata, tungkai
masih lemah, pasien masih
belum dapat berjalan
sendiri, lelah bila bicara
terlalu lama
O: E4M6V5 GCS15
TD: 100/70 mmhg
N: 76x/menit
RR:10x/menit
S: 36° C
Mata sudah dapat sedikit
membuka, kekuatan
motorik 4/4, tidak ada
kelainan GRM
A: Miastenia Gravis,
dispepsia, pneumonia, isk
P: Mestinon 3x1 60 mg
PO
Mecobalamin 3x1 500 mg
PO
Ceftriaxon 1x 2 gr IV
Ranitidin 2x1 150 mg PO
Ondansentron 3x1 8 mg PO
17
Prognosis
Untuk prognosis ad vitam adalah bonam karena pemeriksaan
tanda vital, keadaan umum dan kesadaran pasien dalam keadaan
stabil dan baik tekanan darah masih terkontrol.
Prognosis ad fungsionam dubia ad bonam karena pada pasien ini
tidak ditemukan adanya penurunan secara fungsional.
Untuk ad sanam dubia ad bonam karena jika benar pada pasien
ini terdiagnosa sebagai miastenia gravis sekalipun, keluhannya
dapat dikontrol dengan pengobatan yang teratur.
Prognosis ad cosmeticum dubia ad bonam karena apabila ptosis
sudah terobati mata dapat terbuka kembali.
18
BAB III
LANDASAN TEORI
III.1. PENDAHULUAN
Miastenia Gravis (MG) adalah suatu gangguan neuromuskular yang
ditandai dengan kelemahan dan kelelahan dari otot skelet. Kelainan ini disebabkan
oleh berkurangnya jumlah reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuskular
akibat adanya antibodi autoimun.1
Foto mata ptosis
Prevalensi MG bervariasi diseluruh dunia, sekitar 50/1.000.000 populasi di
Hongkong sedangkan di USA mencapai 200/1.000.000.2 Pada tahun 2000, di
USA, diperkirakan jumlah penderita MG sekitar 280 juta.3 Di Indonesia,
dilaporkan oleh Yayasan Miastenia Gravis Indonesia, bahwa penderita MG pada
tahun 2010 sejumlah 226 pasien diseluruh Indonesia.4 Angka mortilitas MG ini
sangat rendah yaitu sekitar 1/1.000.000.2
III.2. KLASIFIKASI
1. MG onset cepat: onset <40 tahun, hiperplasia timus, biasanya wanita.
2. MG onset lambat: onset >40 tahun, atrofi timus, biasanya pria.
3. Thymoma-associated MG (10%–15%).
4. MG dengan antibodi terhadap muscle-specific tyrosine kinase (MuSK).
5. MG okular (oMG): gejala hanya mengenai otot ekstraokuler.
6. MG seronegatif (tanpa antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) dan MuSK).
19
Selain klasifikasi diatas ada pula yang membagi MG berdasarkan MG tipe umum
(seluruh tubuh) dan MG okular.1
Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberpa bentuk varian
miastenia gravis11, ialah:
1. Kelompok I: Miastenia okular
Hanya menyeran otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan,
tidak ada kasus kematian.
2. Kelompok II A: Miastenia umum ringan
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka
dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik.
Angka kematian rendah.
3. Kelompok II B: Miastenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin
berat dengan terserangnya seluruh otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan
sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum
ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang
memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
4. Kelompok III: Miastenia berat akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat
disertai mulai terserangnya otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang
maksimal dalam waktu 6 bulan. Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun
krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut
Miastenia berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala
kelompok I atau II. Miastenua gravis berkembang secara perlahan-lahan atau
secara tiba-tiba. Respon terhadap obat dan prognosis buruk.
III.3. PATOFISIOLOGI
Asetilkolin (ACh) disintesis pada ujung saraf motorik dan disimpan di vesikel.
Ketika potensial aksi menyebar hingga mencapai nervus terminal, asetilkolin dari 150-
200 vesikel dilepaskan dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR). Struktur
asetilkolin terdiri atas 5 subunit (2α,1β,1δ, dan 1 γ/ε). Ketika asetilkolin berikatan dengan
subunit α, maka kanal reseptor akan terbuka dan menyebabkan masuknya kation terutama 20
Na+, yang menyebabkan depolarisasi pada daerah end-plate serat otot. Jika depolarisasi
yang terjadi cukup kuat, maka akan menginisiasi potensial aksi disepanjang serat otot dan
terjadi kontraksi otot. Proses ini diterminasi dengan cepat melalui hidrolisis oleh enzim
asetilkolinesterase dan melalui difusi asetilkolin menjauhi reseptor.1
Gambar 1. Neuromuscular junction pada keadaan normal (A) dan
miastenik (B).1
Pada miastenia gravis, terjadi defek pada jumlah reseptor asetilkolin yang
tersedia pada membran otot postsinap. Selain itu juga lipatan postsinap mengalami
pendataran (gambar 1). Perubahan ini menyebabkan menurunnya transmisi
neuromuskular. Meskipun asetilkolin yang dilepaskan normal, namun tidak mampu
mencetuskan potensial aksi pada otot. Gagalnya transmisi pada sambungan
neuromuskular menyebabkan kelemahan pada kontraksi otot.1
Jumlah asetilkolin yang dilepaskan disetiap impuls secara normal menurun pada
aktivitas yang berulang (presynaptic rundown). Pada pasien miastenia, terjadi penurunan
efisiensi transmisi meuromuskular dikombinasi dengan presynaptic rundown
menyebabkan aktivasi serat otot yang terus berkurang akibat impuls yang terus menerus
dan mengakibatkan kelemahan yang bertambah atau myasthenic fatigue. Mekanisme ini
dapat diukur melalui pemeriksaan elektrodignostik yang menunjukkan penurunan respon
pada stimulasi saraf yang berulang.1
Respon autoimun yang mendasari terjadinya miastenia gravis adalah adanya
antibodi terhadap protein pada sambungan neuromuskular (gambar 2), diantaranya yaitu
antibodi terhadap reseptor asetilkolin, muscle-specific kinase (MuSK), dan low density
lipoprotein receptor related protein 4 (Lrp4). 3
21
Gambar 2. Elemen pada sambungan neuromuskular, dan struktur membran yang terkait.4
a. Antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR-MG)
Abnormalitas neuromuskular pada MG yang terjadi akibat respon autoimun oleh
antibodi yang spesifik terhadap reseptor asetilkolin ditemukan pada 85% pasien. Antibodi
antiAChR mengurangi jumlah reseptor ACh pada sambungan neuromuskular melalui tiga
mekanisme:1
1. Mempercepat turnover dari AChR melalui mekanisme cross-linking dan
endositosis reseptor asetilkolin dengan cepat.
2. Memblok active site AChR, tempat asetilkolin berikatan secara normal.
3. Merusak membran otot postsinaps akibat antibodi dan komplemen.
AChR-MG dapat dikategorikan berdasarkan gejala klinis dan patogenesisnya
menjadi onset cepat atau onset lambat MG dan MG dengan timoma. AchR-MG biasanya
berhubungan dengan abnormalitas timus, seperti hyperplasia dan timoma.3
AChR-MG onset cepat terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Gejala paling
sering diawali dengan kelemahan otot ocular dan kemudian berlanjut menjadi kelemahan
otot seluruh tubuh. Pasien juga biasanya memiliki hyperplasia timus. Presentase
terbanyak untuk MG tipe ini adalah dari jenis kelamin perempuan yang berhubungan
dengan ditemukannya HLA-B8DR3. Pada AChR-MG onset lambat terjadi pada usia
diatas 60 tahun, dan pasien biasanya memiliki kelenjar timus yang normal. Biasanya pada
22
jenis kelamin laki-laki dan berhubungan dengam HLA DRB1*15:01. Sekitar 10% pasien
MG timoma, dengan onset timbulnya penyakit yang bervariasi namun lebih sering pada
usia lanjut.3
b. Antibodi terhadap muscle-specific kinase (MuSK)
Antibodi terhadap MuSK ditemukan pada tahun 2001 pada 70% serum pasien
yang awalnya dianggap “seronegatif” MG. Antibodi patogenik tersebut adalah IgG dan
bersifat T cell dependent. Dengan demikian, strategi imunoterapi terhadap sel T akan
efektif pada penyakit yang diperantarai oleh antibodi ini.1,5
Sekarang diketahui bahwa terdapat perbedaan antara MusK-MG dengan AChR-
MG pada beberapa aspek penting yaitu:
1. Pada gejala klinisnya, terdapat perbedaan distribusi kelemahan otot yang
dibiasanya dominan pada leher dan otot pernafasan, sering disertai dengan krisis
pernafasan, dan sering ditemukan atrofi lidah. Insiden puncaknya pada usia
dekade keempat, dibandingkan pada AChR-MG didekade ketiga. Selain itu,
MuSK-MG sangat jarang terjadi pada usia diatas 60 tahun. Pasien MuSK-MG
juga lebih jarang mengalami kelemahan okular murni pada saat onset, namun
lebih sering mengenai okulobulbar. 6
2. Penggunaan obat antikolinesterase tidak selalu bermanfaat pada pasien MuSK-
MG. Hanya 57% pasien yang menunjukkan efek yang diharapkan. Malahan disisi
lain, efek samping antikolinesterase sering dilaporkan, termasuk fasikulasi yang
nyata, kram otot dan perburukan gejala. Mayoritas pasien ini tidak merasakan
manfaat jangka panjang dari obat ini, sebaiknya dihentikan penggunaannya pada
pasien ini. Disamping itu, hal yang menarik terlihat pada pemberian rituximab,
suatu antibodi monoklonal yang mendeplesi sel B, yaitu terjadi perbaikan jangka
panjang dan lebih efektif untuk pasien MuSK-MG daripada pasien AChR-MG.6,7
c. Antibodi terhadap low-density lipoprotein receptor related protein 4 (Lrp4)
Berbeda dengan antibodi AChR dan MuSK, antibodi terhadap Lrp4 dapat
ditemukan pada lebih dari satu bentuk miastenia, termasuk MuSK-MG, neuromielitis
optika dan Lambert Eaton myasthenic syndrome, dan pada ‘seronegatif ’ MG tanpa
antibodi AChR dan MuSK.3
23
Peran timus pada miastenia gravis
Kelenjar timus nampaknya memiliki peran yang cukup penting dalam proses penyakit ini.
Sebanyak 75% pasien MG memiliki timus yang abnormal, 65% memiliki timus yang
hiperplastik, dan 10% pasien memiliki tumor timus.1
III.4. GAMBARAN KLINIK
Gejala umum MG adalah kelemahan dan kelelahan otot. Kelemahan meningkat
selama penggunaan otot berulang dan dapat membaik ketika beristirahat atau tidur.
Perjalanan penyakit MG sering bervariasi. Pada satu tahun pertama sejak onset penyakit,
dapat terjadi beberapa kali eksarsebasi dan remisi. Jarang terjadi remisi yang komplit atau
permanen. Infeksi, penyakit sistemik lain, panas dan stres, dapat memicu peningkatan
kelemahan miastenia dan memicu krisis miastenik.1,5
Distribusi kelemahan otot memilki pola yang khas, biasanya otot okular, bulbar,
ekstrimitas proksimal, leher, dan pada sedikit pasien juga terkena otot pernafasannya.
Otot didaerah kranial, khususnya kelopak mata dan otot ekstraokular sering terlibat pada
awal onset MG, dan keluhan awalnya adalah diplopia dan ptosis. Kesulitan menelan
muncul akibat kelemahan palatum, lidah atau faring, yang menyebabkan terjadinya
regurgitasi atau aspirasi cairan dan makanan ke saluran nafas.1,5
Kelemahan bulbar menonjol pada MuSK-MG. Pada 85% pasien, kelemahan
berlanjut menjadi kelemahan umum akibat terkenanya otot ekstrimitas. Jika kelemahan
otot terbatas pada otot ekstraokuler selama 3 tahun, maka kelemahannya tidak akan
berlanjut menjadi kelemahan umum, dan pasien ini dikatakan hanya menderita MG
okular. Dan jika terjadi kelemahan pada otot respirasi, maka dapat berkembang semakin
berat dan pasien jatuh pada kondisi krisis miastenik yang membutuhkan alat bantu
pernafasan.1
Penegakan diagnosis
Anamnesis1
Riwayat diplopia, ptosis, kelemahan
Distribusi kelemahan yang khas
Fluktuasi kelemahan: memburuk saat aktivitas berulang dan membaik saat
istirahat.
Efek dari pengobatan sebelumnya.
Pemeriksaan fisik10
24
Ptosis, diplopia
Pemeriksaan kekuatan otot
Waktu abduksi lengan (5 menit)
Kapasitas vital pernafasan
Tidak terdapat kelainan neurologi lain.
Pemeriksaan laboratorium 1,9
Radioimmunoesai Anti-AChR: positif pada +85% pasien MG umum; 50% pada
pasien MG okular; hasil positif memastikan diagnosis, namum hasil negatif tidak
menyingkirkan MG, karena sekitar 40% pasien dengan antibodi AChR negatif
memiliki antibodi antiMuSK.1
Single-fiber electromyography (SFEMG) merupakan alat diagnostik yang sensitif
untuk MG. Dengan menggunakan jarum elektroda khusus yang dapat
mengidentifikasi mutensial aksi dari suatu serat otot. Namun pemeriksaan ini
tidak spesifik untuk MG, karena hasil yang positif juga bisa terjadi pada
polimiositis, neuropati perifer, Lambert-Eaton myasthenic syndrome (LEMS),
dan penyakit meuromuskular lainnya.5,6
Stimulasi saraf berulang: jika terdapat penurunan >15% pada 3 Hz: highly
probable.1
Edrofonium klorida (Tensilon test) 2 mg + 8 mg IV: highly probable jika hasil
positif. Edrofonium klorida merupakan inhibitor asetilkolinesterasi kerja singkat
yang dapat memperpanjang masa kerja asetilkolin pada NMJ. Edrofonium
diberikan secara IV pada pasien, lalu dilihat perbaikan kekuatan ototnya, seperti
berkurangnya ptosis. Tekanan darah dan jantung pasien harus dimonitor karena
dapat menyebabkan hipotensi dan aritmia. Atropin harus disiaapkan untuk
mengatasi efek samping obat ini. Tes ini memiliki sensitivitas 71,5 - 95% untuk
diagnosis MG.1,5
Pada MG okular atau kranial: singkirkan lesi intrakranial dengan CT scan / MRI.1
III.5. DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan laboratorium
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Osserman Class Mean antibody Percent positive
25
Titer
R 0,79 24
I 2,17 55
II A 49,8 80
II B 57,9 100
III 78,5 100
IV 205,3 89
Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, II A = mid generalized, II B =
moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe
Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada
penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer
tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit
miastenia gravis.
Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu test yang penting pada penderita miastenia gravis.
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita
thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma
dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil
positif.
Anti muscle-specific kinase (MuSK) antibodies
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti
AchR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif) , menunjukkan hasil yang
positif untuk anti-MuSK Ab.
2. Imaging
Foto rontgen thorax
MRI pada otak dan orbita
3. Pendekatan elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik:
Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita MG terdapat penuruna jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
26
Single Fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan jarum single fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu filter
(variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot
tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah
potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum
perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada
neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang
normal.
III.6. DIAGNOSIS BANDING
1. Sindroma Eaton Lambert
Sering terjadi bersamaan dengan small cell ca dari paru, lesi terjadi di membran
presinaptik dimana release Ach tidak berlangsung baik, EMG defek pada
transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi (2Hz) tetapi akan terjadi hambatan
stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40Hz)
2. Botulism
Penyebab : neurotoksin dari Clostridium botulinum, yang dapat masuk melalui
makanan yang terkontaminasi dengan cara menghambat atau menghalangi
pelepasan Ach dari ujung terminal akson presinaptik.
III.7. KOMPLIKASI
1. Gagal nafas
2. Disfagia
3. Krisis miastenik
4. Krisis cholinergik
27
5. Komplikasi sekunder dari terapi obat penggunaan steroid yang lama:
osteoporosis, katarak, gastritis, pneumocytis cranii
III.8. PENATALAKSANAAN
1. Non-Farmakologis:
a. Edukasi pasien dan keluarganya dalam kaitannya dengan meminimalisir
faktor risiko
b. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat
kekuatan
2. Farmakologis :
Pemilihan obat didasarkan pada pertimbangan risiko dan manfaatnya pada
individual pasien dan tujuan pengobatan. Sebaiknya direncanakan
pengobatan berdasarkan tujuan jangka pendek, menengah atau jangka
panjang.1 Prinsip penatalaksanaan MG:5
Terapi simtomatis dengan antikolinesterase.
Terapi imunomodulator jangka pendek: plasmaferesis dan IVIg.
Terapi imunomodulator jangka menengah-panjang: glukokortikoid dan
obat imunosupresan lain.
1. Antikolinesterase
Pilihan terapi simptomatik lini pertama pada MG adalah inhibitor
asetilkolinesterase. Piridostigmin merupakan antikolinesterase yang paling
banyak digunakan. Pemberian antikholinesterase memberikan perbaikan
yang parsial pada sebagian besar pasien MG, dan sedikit pasien yang
mengalami perbaikan yang komplit. Sebagian besar pasien tidak
memberikan respon yang adekuat, sehingga harus dikombinasi dengan
imunosupresan. Pada pasien MuSK-MG, 71% tidak berespon,
dibandingkan dengan pasien AChR-MG dan seronegatif yang hanya 18%
yang tidak berespon dengan pemberian antikolinesterase. 5,3
Piridostigmin (Mestinon®)
28
Piridostigmin merupakan antikolinesterase yang paling banyak
digunakan pada miastenia gravis. Absorpsi piridostigmin peroral buruk,
sehingga butuh dosis yang jauh lebih besar daripada pemberian
parenteral. Kerja piridostigmin oral terjadi mulai 15-30 menit hingga 3-
4 jam. Obat ini dirusak oleh esterase diplasma, waktu paruhnya 1-2 jam
dan eksresinya diginjal. Terapi dimulai dengan dosis sedang 30-60 mg,
3-4 x sehari. Dosis maksimal 120 mg tiap 3-6 jam pada siang hari.
Overdosis antikolinesterase dapat menyebabkan peningkatan
kelemahan dan efek samping lain. Pada beberapa pasien, timbulnya
efek samping muskarinik yaitu diare, kram perut, salivasi dan mual,
merupakan batas dosis yang dapat ditoleransi pasien. Pemberian
atropin/difenoksilat atau loperamid bermanfaat untuk terapi gejala
gastrointestinal. 5,27
2. Plasmaferesis. Tindakan ini dapat memperbaiki kondisi pasien MG dengan
cepat melalui pengeluaran antibodi antiACH dari sirkulasi secara masif.14
Biasanya pertukaran plasma dilakukan setiap hari sebanyak 4-6 kali. Efek
samping plasmaferesis diantaranya adalah hipotensi, parestesia, infeksi,
trombosis abikat akses vena, dan risiko perdarahan akibat berkurangnya
faktor koagulasi.5
3. Intravenous Immunoglobulin Therapy (IVIg). Terapi ini melibatkan
immunoglobulin yang telah diisolasi dari plasma manusia dan diberikan
selama 5 hari dengan dosis 0,4g/kgBB/hari. Mekanisme kerja IVIg ini
cukup kompleks. Diantaranya yaitu terjadinya hambatan terhadap deposisi
komplemen, hambatan kompetisi sitokin dengan autoantibodi, berikatan
dengan reseptor Fc pada makrofag, berikatan pada reseptor Ig pada sel B,
dan mengganggu pengenalan antigen oleh sel T. Saat ini telah
dikembangkan teknik yang lebih spesifik untuk mengatasi antibodi
antiAChR melalui imunoadsorpsi.5
IVIg termasuk tindakan yang cukup aman, karena komplikasi yang serius
sangat jarang terjadi kecuali pada pasien dengan penyakit jantung,atau
gagal ginjal.5
29
Suatu uji klinik pada 40 pasien MG late-onset untuk melihat efektifitas
dan penurunan titer titin antibodies (Titin-ab), acetylcholine receptor
antibodies (AChR-ab), presynaptic membrane antibody (Prsm-ab),
menunjukkan plasmaferesis dan imunoadsorpsi menunjukkan efektivitas
klinis yang lebih baik pada daripada IVIg (P < 0.05), dan secara cepat
membersihkan antibodi patogenik pada pasien MG late-onset, khususnya
pada Titin-ab.6
4. Immunosupresan
Penggunaan imunosupresan misalnya glukokortikoid, atau azatioprin,
efektif pada hampir semua pasien MG. Pada terapi jangka menengah,
glukokortikoid dan siklosporin / takrolimus secara umum dapat
memberikan perbaikan klinis dalam 1-3 bulan. Sedangkan untuk manfaat
jangka panjang dapat dicapai dengan pemberian azatioprin dan
mikofenolat. Tujuan terapi jangka panjang adalah menginduksi remisi
gejala MG dan menjaganya.1,5
Kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan imunosupresan yang
paling sering digunakan pada MG. Prednison biasanya digunakan
ketika gejala MG tidak dapat diatasi dengan antikolinesterase,
sehingga pemberiannya dikombinasi. Respon baik dapat dicapai
setelah dosis awal dan di-tapering hingga mencapai dosis terendah
untuk maintainance.5
Obat imunosupresan nonsteroid.
o Azatioprin merupakan analog purin yang dapat menurunkan
sintesis asam nukleat sehingga mengganggu proliferasi sel T
dan sel B. obat ini telah digunakan sejak tahun 1970 dan
efektivitasnya pada terapi MG sekitar 70-90%. Efektivitasnya
terlihat setelah 15 bulan penggunaan, dan jika dikombinasi
dengan prednison lebih efektif. Azatioprin peroral absorpsinya
baik, dan mencapai kadar puncak dalam 1-2 jam. Waktu
paruhnya sekitar 10 menit, namun metabolitnys 6-
merkaptopurin memiliki t ½ 1 jam. Efek sampingnya adalah
hepatotoksisitas dan leukopenia.5,7
30
o Mikofenolat mofetil merupakan suatu prodrug yang secara
cepat dihidrolisis menjadi bentuk aktifnya, yaitu mycophenolic
acid (MPA), yang dapat menghambat proliferasi sel T dengan
menghambat sintesis purin. Suatu uji klinik menunjukkan 59%
dari 32 pasien yang sebelumnya tidak responsif dengan
azatioprin, kortikosteroid dan siklosporin atau timektomi
menunjukkan perbaikan setelah terapi dengan obat ini selama
11 bulan. 5,7, 8
o Siklofosfamid diberikan secara intravena atau oral cukup
efektif untuk MG. Lebih dari setengah pasien MG menjadi
asimtomatis dalam 1 tahun terapi. Namun efek samping yang
tidak diinginkan adalah rambut rontok, mual, muntah, dan
perubahan warna kulit, sehingga penggunaan dibatasi pada
pasien yang tidak berespon terhadap imunosupresan lain.5
o Metotreksat
Metotreksat merupakan inhibitor selektif enzim
dihidrofolat reduktase dan proliferasi limfosit yang efektif
sebagai pengobatan pada penyakit autoimun. Suatu uji klinik
yang membandingkan penggunaan azatioprin (AZA)
dibanding metotreksat (MTX) untuk melihat steroid-sparring
effect pada 31 pasien MG. Pemberian MTX 17,5 mg tiap
minggu, dibandingkan dengan AZA 2,5 mg/kgBB/hari
terhadap rata-rata dosis harian prednison, dan skor kuantitatif
MG yang diukur pada bulan ke-10 dan ke-12, didapatkan hasil
bahwa MTX dan AZA sama efektifnya sebagai steroid-
sparring, bahkan pasien yang mendapatkan MTX
membutuhkan prednison dengan dosis yang lebih rendah
dibandingkan AZA (0,15 mg/kgBB vs 0,31mg/kgBB) pada 10
bulan (p = 0.047) dan 12 bulan (p = 0.039).3,6
Obat-obatan yang dapat menyebabkan eksasebasi miastenia gravis7
31
Dalam pemberian obat-obatan pada pasien miastenia gravis harus berhati-
hati. Hindari pemberian obat yang dapat mencetuskan eksarsebasi gejala
miastenia pada tabel.
Tabel obat-obatan yang dapat menyebabkan eksaserbasi MG7
Nama obat Keterangan
D-penisilamin Dapat menginduksi mistenia gravis
Toksin botulinum Hambatan penglepasan asetilkolin
Magnesium Hambatan penglepasan asetilkolin
Aminoglikosida (gentamisin,
kanamisin, neomisin,
streptomisin, tobramisin)
Mengganggu transmisi neuromuskular
Makrolida Mempengaruhi neuron presinaps
Fluorokuinolon Mengganggu transmisi neuromuskular
Kuinin, kuinidin, prokainamid Hambatan pembentukan dan penglepasan
asetilkolin
Glukokortikoid dosis besar Mempengaruhi transmisi neuromuskular
melalui penurunan penglepasan asetilkolin,
hambatan transpor kolin, hambatan MEPP.
Litium Terakumulasi pada nervus terminal presinaps
dan berkompetisi dengan kation (kalsium).
Amitriptilin, haloperidol,
imipramin, amfetamin
Mengganggu transmisi neuromuskular
III.9. PROGNOSIS
- Tanpa pengobata angka kematian MG 25 – 31%
- MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%32
- 40% hanya gejala okuler
DAFTAR PUSTAKA
1. Drachman DB. Myasthenia Gravis. In Hauser SL, ed. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. 2nd edition.New York: McGraw-Hill;2010:p.559-66.
2. Pekmezović T, Lavrnić D, Jarebinski M, Apostolski S. Epidemiology of myasthenia gravis. Srp Arh Celok Lek. 2006 Sep-Oct;134(9-10):453-6
3. Verschuuren JJ, et al. Pathophysiology of myasthenia gravis with antibodies to the acetylcholine receptor, muscle-specific kinase and low-density lipoprotein receptor-related protein 4. Autoimmun Rev. 2013 Jul;12(9):918-23.
4. Lewis RA. Myasthenia gravis: new therapeutic approaches based on pathophysiology. J Neurol Sci. 2013 Oct 15;333(1-2):93-8.
5. Hoch W, McConville J, Helms S, Newsom-Davis J, Melms A, Vincent A. Auto-antibodies to the receptor tyrosine kinase MuSK in patients with myasthenia gravis without acetylcholine receptor antibodies. Nat Med. 2001 Mar;7(3):365-8.
6. Guptill JT, Sanders DB, Evoli A. Anti-MuSK antibody myasthenia gravis: clinical findings and response to treatment in two large cohorts. Muscle Nerve 2011;44:36 –40 .
7. Diaz-Mane ra J, Martinez-Hernand ez E, Querol L, Klooster R, Rojas-Garcia R, Suarez-Ca lvet X, et al. Long-lasting treatment effect of rituximab in MuSK myasthenia. Neurology 2012;78:189–93
8. Pengenalan dan Penatalaksanaan Kasus-Kasus Neurologi. Buku ke-2. Departemen Saraf RSPAD Gatot Soebroto. Jakarta. 2009
9. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Edisi ke-2. Gadjah Mada University press. Yogyakarta. 2003.
10. Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. FK UI. Jakarta.2008.
11. Lombardo,M.C., 1995, Penyakit degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem Saraf, dalam S.A. Price, L.M. Wilson, (eds), Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit 4th ed., EGC, Jakarta
33