Asma Persisten Serangan Berat dalam Eksaserbasi Akut
Agrippina Perdiani
102010264
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Pendahuluan
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada anak.
Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara sedang
berkembang. Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tatalaksana pada saat serangan
asma (eksaserbasi akut) atau aspek akut dan tatalaksana jangka panjang (aspek kronis). Pada
asma episodik sering dan asma persisten, selain penanganan pada saat serangan, diperlukan obat
pengendali (controller) yang diberikan sebagai pencegahan terhadap serangan asma.
Pada makalah ini akan dijelaskan klasifikasi asma, tatalaksana asma akut, pemberian
terapi jangka panjang dan pencegahan pada asma anak.
Anamnesis1
Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara. Anamnesis terbagi
menjadi dua tipe, yang pertama autoanamnesis yaitu wawancara yang ditujukan langsung kepada
pasien, yang kedua alloanamnesis yaitu wawancara yang ditujukan kepada pihak keluarga, orang
tua, atau kerabat selain pasien. Yang termasuk didalam alloanamnesis adalah semua keterangan
dokter yang merujuk, catatan rekam medik, dan semua keterangan yang diperoleh selain dari
pasiennya sendiri.Yang perlu dilakukan pada anamnesis adalah sebagai berikut:
a. Identitas :
Nama lengkap
Umur
Jenis kelamin
Alamat
b. Riwayat penyakit / keluhan :
Keluhan/ gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat
Tidak harus sejalan dengan diagnosis utama
c. Riwayat perjalanan penyakit :
Cerita kronologis, rinci, jelas tentang keadaan pasien sebelum ada keluhan sampai
dibawa berobat
Pengobatan yang pernah dipakai sebelumnya
Reaksi alergi
Riwayat penyakit pada anggota keluarga
Perkembangan penyakit
d. Hal – hal yang perlu ditanyakan tentang keluhan / gejala :
Lama keluhan
Intensitas keluhan
Keluhan lokal: lokasi, menetap, pindah-pindah, menyebar
Bertambah berat/ berkurang
Upaya yang dilakukan dan hasilnya
Pemeriksaan Fisik1,2
Inspeksi
Inspeksi dilakukan untuk mengetahui adanya lesi pada dinding dada, kelainan bentuk dada,
menilai frekuensi, sifat dan pola pernafasan.
1. Kelainan dinding dada
Kelainan-kelainan yang bisa didapatkan pada dinding dada yaitu parut bekas operasi,
pelebaran vena-vena superfisial akibat bendungan vena, spider nevi, ginekomastia tumor,
luka operasi, retraksi otot-otot interkostal dan lain-lain.
2. Kelainan bentuk dada.
Dada yang normal mempunyai diameter latero-lateral yang lebih besar dari diameter
anteroposterior. Kelainan bentuk dada yang bisa didapatkan yaitu:
- Dada paralitikum dengan ciri-ciri dada kecil, diameter sagital pendek; sela iga sempit,
iga lebih miring, angulus costae <900, terdapat pasien dengan malnutrisi.
- Dada emfisema (barrel shape) yaitu dada menggembung, diameter anteroposterior
lebih besar dari diameter latero-lateral; tulang punggung melengkung (kifosis),
angulus costae >900, terdapat pada pasien dengan bronkitis kronis, PPOK.
- Kifosis dengan ciri-cirinya kurvatura vertebra melengkung secara berlebihan ke arah
anterior. Kelainan ini akan terlihat jelas bila pemeriksaan dilakukan dari arah lateral
pasien.
- Skoliosis cirinya kurvatura vertebra melengkung secara berlebihan ke arah lateral.
Kelainan ini terlihat jelas pada pemeriksaan dari posterior.
- Pectus excavatum cirinya dada dengan tulang sternum yang mencekung.
- Pectus carinatum (pigeon chest atau dada burung) cirinya dada dengan tulang sternum
menonjol ke depan.
3. Frekuensi pernapasan
Frekuensi pernapasan normal 14-20 kali per menit. Pernapasan kurang dari 14 kali per
menit disebut bradipneu, misalnya akibat pemakaian obat-obat narkotik, kelainan
serebral. Pernapasan lebih dari 20 kali per menit disebut takipneu, misalnya pada
pneumonia, anksietas, asidosis.
4. Jenis pernapasan
- Torakal misalnya pada pasien sakit tumor abdomen, peritonitis umum.
- Abdominal misalnya pasien PPOK lanjut.
- Kombinasi (jenis pernapasan ini terbanyak). Pada perempuan sehat umumnya
pernapasan torakal lebih dominan dan disebut torako-abdominal. Sedangkan pada
laki-laki sehat, pernapasan abdominal lebih dominan dan disebut abdomino-torakal.
Keadaan ini disebabkan bentuk anatomi dada dan perut perempuan berbeda dari laki-
laki. Perhatikan juga apakah terdapat pemakaian otot-otot bantu pernapasan misalnya
pada pasien tuberkulosis paru lanjut atau PPOK. Di samping itu adakah terlihat
bagian dada yang tertinggal dalam pernapasan dan bila ada, keadaan ini menunjukan
adanya gangguan pada daerah tersebut.
- Jenis pernapasan lain yaitu pursed lips breathing (pernapasan seperti menghembus
sesuatu melalui mulut, didapatkan pada pasien PPOK) dan pernapasan cuping hidung,
misalnya pada pasien pneumonia.
5. Pola pernapasan
- Pernapasan normal: irama pernapasan yang berlangsung secara teratur ditandai
dengan adanya fase-fase inspirasi dan ekspirasi yang silih berganti.
- Takipnea: napas cepat dan dangkal.
- Hiperpnea/hiperventilasi: napas cepat dan dalam.
- Pernapasan cheyne stokes: irama pernapasan yang ditandai dengan adanya periode
apnea (berhentinya gerakan pernapasan) kemudian disusul periode hiperpnea
(pernafasan mula-mula kecil amplitudonya kemudian cepat membesar dan kemudian
mengecil lagi). Siklus ini terjadi berulang-ulang. Terdapat pada pasien dengan
kerusakan otak, hipoksia kronik. Hal ini terjadi karena terlambatnya reseptor klinis
medula otak terhadap pertukaran gas.
- Pernapasan biot (ataxic breathing): jenis pernapasan yang tidak teratur baik dalam hal
frekuensi maupun amplitudonya. Terdapat pada cedera otak. Bentuk kelainan irama
pernapasan tersebut, kadang-kadang dapat ditemukan pada orang normal tapi gemuk
(obesitas) atau pada waktu tidur. Keadaan ini basanya merupakan pertanda yang
kurang baik.
- Sighing respiration: pola pernapasan normal yang diselingi oleh tarikan napas yang
dalam.
Palpasi
Palpasi dinding dada dapat dilakukan pada keadaan statis dan dinamis.
1. Palpasi dalam keadaan statis.
Pemeriksaan palpasi yang dilakukan pada keadaan ini adalah:
- Pemeriksaan kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening yang membesar di daerah
supraklavikula dapat memberikan petunjuk adanya proses di daerah paru seperti
kanker paru. Pemeriksaan kelenjar getah bening ini dapat diteruskan ke daerah
submandibula dan kedua aksila.
- Pemeriksaan untuk menentukan posisi mediastinum. Posisi mediastinum dapat
ditentukan dengan melakukan pemeriksaan trakea dan apeks jantung.
- Pemeriksaan palpasi selanjutnya diteruskan ke daerah dada depan dengan jari tangan
untuk mengetahui adanya kelainan dinding dada misalnya tremor, nyeri tekan pada
dinding dada, krepitasi akibat emfisema subkutis, dan lain-lain.
2. Palpasi dalam keadaan dinamis.
Pada keadaan ini dapat dilakukan pemeriksaan unutk menilai ekspansi paru serta
pemeriksaan vokal fremitus.
- Pemeriksaan ekspansi paru. Dalam keadaan normal kedua sisi dada harus sama-sama
mengembang selama inspirasi biasa maupun dengan inspirasi maksimal.
Berkurangnya gerakan pada salah satu sisi menunjukan adanya kelainan pada sisi
tersebut. untuk menilai pengembangan paru bagian bawah dilakukan pemeriksaan
dengan meletakkan kedua telapak tangan dan ibu jari secara simetris pada masing-
masing tepi iga, sedangkan jari-jari lain menjulur sepanjang sisi lateral lengkung iga.
Kedua ibu jari harus saling berdekatan/hampir bertemu di garis tengah dan sedikit
diangkat ke atas sehingga bergerak bebas saat bernafas. Pada saat pasien menarik
napas dalam keadaan kedua ibu jari menjadi tidak simetris dan ini memberikan
petunjuk adanya kelainan pada sisi tersebut.
- Pemeriksaan vokal fremitus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meletakkan
kedua telapak tangan pada permukaan dinding dada, kemudian pasien diminta
menyebut angka 77 atau 99, sehingga getaran suara yang ditimbulkan akan lebih
jelas. Pemeriksaan ini disebut tactile fremitus. Bandingkan secara bertahap tactile
fremitus secara bertahap dari atas ke tengah dan seterusnya ke bawah baik pada paru
bagian depan maupun belakang. Pada saat pemeriksaan kedua telapak tangan harus
disilang secara bergantian. Hasil pemeriksaan fremitus ini dilaporkan ebagai normal,
melemah, atau mengeras. Fremitus yang melemah didapatkan pada penyakit
empiema, hidrotoraks, atelektasis. Fremitus yang mengeras terjadi karena adanya
infiltrat pada parenkim paru (misalnya pada pneumonia, tuberkulosis paru aktif).
Perkusi
Berdasarkan patogenesisnya, bunyi ketokan yang terdengar dapat bermacam-macam yaitu:
- Sonor (resonant): terjadi bila udara dalam paru (alveoli) cukup banyak, terdapat pada
paru yang normal
- Hipersonor (hiperresonant): terjadi bila udara dalam paru /dada menjadi jauh lebih
banyak, misalnya pada emfisema paru, kavitas besar yang letaknya superfisial,
pneumotoraks, dan bula yang besar
- Redup (dull): bila bagian yang padat lebih banyak daripada udara misalnya adanya
infiltrat/konsolidasi
Dalam keadaan normal didapatkan hasil perkusi yang sonor pada kedua paru.
Auskultasi
Auskultasi merupakan pemeriksaan yang paling penting dalam menilai aliran udara melalui
sitem trakeobronkial.
Suara napas pokok yang normal terdiri dari:
- Vesikular: suara napas pokok yang lembut dengan frekuensi rendah di mana fase
inspirasi langsung diikuti dengan fase ekspirasi tanpa diselingi jeda, dengan
perbandingan 3:1. Dapat didengarkan pada hampir kedua lapangan paru.
- Bronkovesikular: suara napas pokok dengan intensitas dan frekuensi yang sedang di
mana fase ekspirasi menjadi lebih panjang sehingga hampir menyamai fase inspirasi dan
diantaranya kadang-kadang dapat diselingi jeda. Dalam keadaan normal bisa didaptkan
pada dinding anterior setinggi sela iga 1 dan 2 serta daerah interskapula.
- Bronkial: suara napas pokok yang keras dan berfrekuensi tinggi, di mana fase ekspirasi
menjadi lebih panjang dari fase inspirasi dan diantaranya diselingi jeda. Terjadi
perubahan kualitas suara sehingga terdengar seperti tiupan dalam tabung. Dalam keadaan
normal dapat didengar pada daerah manubrium sterni.
- Trakeal: suara napas yang sangat keras dan kasar, dapat didengarkan pada daerah trakea.
- Amforik: suara napas yang didapatkan bila terdapat kavitas besar yang letaknya perifer
dan berhubungan dengan bronkus, terdengar seperti tiupan dalam botol kosong.
Dalam keadaan normal suara napas vesikular yang berasal dari alveoli dapat didengar pada
hampir seluruh lapangan paru. Sebaliknya suara napas bronkial tidak akan terdengar karena
getaran suara yang berasal dari bronkus tersebut tidak dapat dihantarkan ke dinding dada
karena dihambat oleh udara yang terdapat dalam alveoli. Dalam keadaan abnormal misalnya
pneumonia di mana alveoli terisi infiltrat maka udara di dalamnya akan berkurang atau
menghilang. Infiltrat yang merupakan penghantar getaran suara yang baik akan
menghantarkan suara bronkial sampai ke dinding dada sehinggadapat terdengar sebagai suara
napas bronkovesikular (bila hanya sebagian alveoli yang terisi infiltrat) atau bronkial (bila
seluruh alveoli terisi infiltrat).
Suara nafas tambahan terdiri dari:
- Ronki basah (crakels atau rales): suara nafas yang terputus-putus, bersifat nonmusical,
dan biasanya terdengar pada saat inspirasi akibat udara yang melewati cairan dalam
saluran napas. Ronki basah lebih lanjut dibagi menjadi ronki basah halus dan kasar
tergantung besarnya bronkus yang terkena. Ronki basah halus terjadi karena adanya
cairan pada bronkiolus, sedangkann yang halus lagi berasal dari alveoli yang disebut
krepitasi, akibat terbukanya alveoli pada akhir inspirasi. Krepitasi terutama dapat
didengar fibrosis paru. Sifat ronki basah ini dapat bersifat nyaring (bila ada infiltrat
misalnya pada pneumonia) ataupun tidak nyaring (pada edema paru).
- Rongki kering: suara napas kontinyu, yang bersifat musical, dengan frekuensi yang relatif
rendah, terjadi karena udara mengalir melalui saluran napas yang menyempit, misalnya
akibat adanya sekret yang kental. Wheezing adalah ronki kering yang frekuensinya tinggi
dan panjang yang biasanya terdengar pada serangan asma.
- Bunyi gesekan pleura (pleural friction rub): terjadi karena pleura parietal dan viseral yang
meradang saling bergesekan satu dengan yang lainnya. Pleura yang meradang akan
menebal atau menjadi kasar. Bunyi gesekan ini terdengar pada akhir inspirasi dan awal
ekspirasi.
- Hippocrates succussion: suara cairan pada rongga dada yang terdengar bila pasien
digoyang-goyangkan. Biasanya didaptkan pada pasien dengan hidropneumotoraks.
- Pneumothorax click: bunyi yang bersifat ritmik dan sinkron dengan saat kontraksi
jantung, terjadi bila didapatkan adanya udara di antara kedua lapisan pleura yang
menyelimuti jantung.5
Pemeriksaan Penunjang1,2
1. Pemeriksaan radiologi
- Foto toraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan
garis-garis paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
- Pada emfisema paru, foto toraks menunjukan adanya overinflasi dengan gambaran
diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan
corakan ke distal.
2. Pemeriksaan fungsi paru
Menunjukan obstruksi aliran napas dan menurunnya pertukaran udara akibat destruksi
jaringan paru. Kapasitas total paru bisa normal atau meningkat akibat udara yang
terperangkap. Dilakukan pemeriksaan reversibilitas karena 20% pasien negalami perbaikan
dengan pemberian bronkodilator.
3. Pemeriksaan gas darah
Analisa gas darah harus dilakukan jika ada kecurigaan gagal napas. Pada hipoksemia kronis
kadar hemoglobin bisa meningkat.
Definisi Asma
GINA (Global Initiative for Asthma) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi
kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.
Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas,
rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak
sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut
juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.3
Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma untuk kepentingan
klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) menggunakan batasan
operasional asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai
berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman,
adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan
maupun denganpengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.4
Diagnosis Asma
Pada anak dengan gejala dan tanda asma yang jelas, serta respons terhadap pemberian
obat bronkodilator baik sekali, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Bila
respons terhadap obat asma tidak baik, sebelum memikirkan diagnosis lain, maka perlu dinilai
dahulu beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah penghindaran terhadap pencetus
sudah dilakukan, apakah dosis obat sudah adekuat, cara dan waktu pemberiannya sudah benar,
serta ketaatan pasien baik. Bila semua aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar.
Maka perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis bukan asma.4
Pada pasien dengan batuk produktif, infeksi respiratorik berulang, gejala respiratorik
sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan fokal paru dan
diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yangperlu dilakukan adalah foto Rontgen
paru, uji fungsi paru, dan uji provokasi. Selain itu mungkin juga perlu diperiksa foto Rontgen
sinus paranasalis, ujikeringat, uji imunologis, uji defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji
mukosilier, bahkan tindakan bronkoskopi.
Gambar 1. Alur diagnosis asma anak
Klasifikasi3,4
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma pada Anak Menurut PNAA
Tabel 2. Klasifikasi Derajat Asma pada Anak Menurut GINA
Tabel 3. Penilaian derajat serangan asma
Working Diagnosis
Asma persisten eksaserbasi akut (serangan berat)
Etiologi5
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
asma bronkhial.
1. Faktor predisposisi
a. Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alerg biasanya mempunyai
keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita
sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus.
Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
a. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan ex: debu, bulu binatang, serbuk
bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
Ingestan, yang masuk melalui mulut ex: makanan dan obat-obatan
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit ex: perhiasan, logam dan jam
tangan
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir
yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-
kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
c. Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka
gejala asmanya belum bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium
hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu
libur atau cuti.
e. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani
atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
Epidemiologi
Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi asma pada
anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar,3 dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah
pertama.4 Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada
anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di Negara berkembang
dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada
anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan
laporan National Center for Health Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia
0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah
38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3
kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir sama dan
pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding wanita.6
Manifestasi Klinis
Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada anak yang
lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas dada terasaberat gejala biasanya
akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi pernapasan dan inhalasi alergen.
Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak spesifik seperti keterbatasan aktivitas dan cepat
lelah. Riwayat penggunaan bronkodilator dan atopi pada pasien atau keluarganya dapat
menunjang penegakan diagnosis. GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan
diagnosis asma didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme
kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi yang
berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi
pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atautanda yang patut diduga suatu asma.
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil.,khususnya anak di bawah 3
tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan
penyingkiran penyakit lain diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah besar
(>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan
peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan
histamin,metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl hipertonis,
sangat menunjang diagnosis.
Patofisiologis
Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang
mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada mukosa saluran napas pasien asma
ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang merupakan tanda utama asma. Pada saat terjadi
hiperreaktivitas saluran napas sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi
respon hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk sari yang
tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi virus, dan aktivitas
fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas akan menyebabkan obstruksi saluran napas
menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan.
Proses patologis utama yang mendukung obstruksi saluran napas adalah edema mukosa,
kontraksi otot polos dan produksi mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas
mengalami volume penutupan dan menyebabkan gas di saluran napas terperangkap. Bahkan,
pada asma yang berat dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah
karakteristik anatomi dan fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap
peningkatan risiko obstruksi saluran napas antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil,
recoil elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil,
hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar
alveolus.6
Gambar 2. Patofisiologi asma
Penatalaksanaan
1. Tatalaksana serangan6
a. Tatalaksana dirumah
Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis atau teofilin.
Bila tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena onsetnya lebih cepat dan efek
samping sistemiknya minimal. Obat golongan beta 2 agonis inhalasi yang dapat
digunakan yaitu MDI dengan atau tanpa spacer atau nebulizer. Bila dalam waktu 30
menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau bahkan terjadi perburukan harus segera
dibawa ke rumah sakit.
b. Tatalaksana emergensi
Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat serangannya.
Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara nebulisasi. Garam fisiologis dapat
ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20
menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal
ini sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena
penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.
Berikut ini pentalaksanaan serangan asma sesuai derajat serangan:
Serangan asma ringan
Pada serangan asma ringan dengan sekali nebulisasi pasien dapat menunjukkan
respon yang baik. Pasien dengan derajat serangan asma ringan diobservasi 1-2 jam,
jika respon tersebut bertahan pasien dapat dipulangkan dan jika setelah observasi
selama 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan
asma derajat sedang. Sebelum pulang pasien dibekali obat ß2-agonis (hirupan atau
oral) yang harus diberikan tiap 4-6 jam dan jika pencetus serangannya adalah infeksi
virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek selama 3-5 hari. Pasien juga
dianjurkan kontrol ulang ke klinik rawat jalan dalam waktu 24-48 jam untuk evaluasi
ulang tatalaksana dan jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali,
obat tersebut diteruskan hingga evaluasi ulang yang dilakukan di klinik rawat jalan.
Serangan asma sedang
Pada serangan asma sedang dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien
hanya menunjukkan respon parsial (incomplete response) dan pasien perlu
diobservasi di ruang rawat sehari (One day care) dan walaupun belum tentu
diperlukan, untuk persiapan keadaan darurat, pasien yang akan diobservasi di ruang
rawat sehari langsung dipasang jalur parenteral sejak di unit gawat darurat (UGD).
Pada serangan asma sedang diberikan kortikosteroid sistemik oral metilprednisolon
dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari.
Serangan asma berat
Pada serangan asma berat dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak
menunjukkan respon yait gejala dan tanda serangan masih ada. Pada keadaan ini
pasien harus dirawat inap dan jika pasien menunjukkan gejala dan ancaman henti
napas pasien harus langsung dirawat diruang intensif. Pasien diberikan oksigen 2-4
L/menit sejak awal termasuk saat dilakukan nebulisasi, dipasang jalur parenteral dan
dilakukan foto toraks. Jika ada dehidrasi dan asidosis, diatasi dengan pemberian
cairan intravena dan koreksi terhadap asidosis dan pada pasien dengan serangan berat
dan ancaman henti napas, foto toraks harus langsung dibuat untuk mendeteksi
kemungkinan pneumotoraks dan pneumomediastinum. Pada ancaman henti napas
hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen (kadarPaO2<60 mmHg dan
atau PaCO2>45 mmHg). Pada ancaman henti napas diperlukan ventilasi mekanik.
Nebulisasi dengan β-agonis+antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam,
jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis jarak pemberian dapat
diperlebar menjadi 4-6 jam. Pasien juga diberikan kortikosteroid intravena 0,5-1
mg/kg/BB/hari perbolus setiap 6-8 jam dan aminofilin intravena dengan beberapa
ketentuan sebagai berikut: Jika pasien belum mendapat minofilin sebelumnya,
diberikan aminofilindosis awal sebesr 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstros 5%
atau garam fisiologis sebanyak 20 ml diberikan dalm 20-30 menit. Jika pasien telah
mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam), dosis yang diberikan adalah
setengah dari dosis inisial. Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan
dipertahankan sebesar10-20μ/ml. Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan
sebesar 0,5-1mg/kgBB/jam. Jika terjadi perbaikan klinis nebulisasi diteruskan tiap 6
jam hingga 24 jamdan pemberian aminofilin dan kortikosteroid diganti oral, jika
dalam 24 jam stabil pasien dapat dipulangkan dengan dibekali β2-agonis (hirupan
atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 1-2 hari. Selain itu, steroid oral
dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 1-2 hari untuk evalasi
ulang tatalaksana.
Gambar 3. Alur tatalaksana emergensi serangan asma
2. Tatalaksana jangka panjang asma persisten3,7,8
Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu dengan menggunakan
steroid hirupan dosis medium dengan memberikan budenoside 200-400ug/hari budesonide
(100-200ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, 400-600ug/hari
budesonid (200-300ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Selain itu, dapat
digunakan alternatif pengganti dengan menggunakan steroid hirupan dosis rendah ditambah
dengan LABA (Long Acting β-2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow Release
(TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriane Receptor (ALTR.)
Apabila dengan pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma, maka
dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai
dengan dosis tinggi pada pemberian >400ug/haribudesonid (>200ug/hari flutikason) untuk
anak berusia kurang dari 12 tahun, dan>600ug/hari budesonid (>300ug/hari flutikason) untuk
anak berusia di atas 12tahun atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR,
atau ALTR. Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan
keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan
memperbaiki kualitas hidupnya.
Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800ug/hari namun tetap tidak mempunyai
respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan kortikosteroid oral
sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir setelah penggunaan steroid hirupan atau
alternatif di atas telah dijalankan. Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih
besar daripada bahaya efek samping obat.
Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2mg/kgBB/hari. Dosis kemudian
diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari. Penggunaan
steroid secara sistemik harus berhati-hati karena mempunyai efek samping yang cukup berat.
Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya peningkatan enzim
hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi. Mengenai pemantauan uji fungsi
hati pada pemberian antileukotrien belum ada rekomendasi. Mengenai obat antihistamin
generasi baru non-sedatif (misalnya ketotifen dansetirizin), penggunaannya dapat
dipertimbangkan pada anak dengan asma tiperinitis, hanya untuk menanggulangi rinitisnya.
Pada saat ini penggunaan kototifen sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak
lagi digunakan karena tidak mempunyai manfaat yang berarti.
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau
perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat dikurangi
bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya. Sementara
itu penggunaan β-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.
Gambar 4. Alur tatalaksana jangka panjang asma
Pencegahan
Tujuan utama pengobatan asma pada anak adalah:
1. Mencegah anak mengalami gejala yang lebih berat dan berkepanjangan.
2. Memelihara fungsi paru-paru senormal mungkin
3. Agar anak dapat beraktifitas normal.
4. Mencegah serangan asma berulang
5. Mengurangi jumlah kunjungan darurat ke rumah sakit, dan
6. Memberikan pengobatan dengan hasil terbaik dan efek samping seminimal mungkin.7
Pengobatan terbagi menjadi dua kategori. Kategori pertama bertujuan untuk mengontrol
asma dalam jangka panjang dan biasanya digunakan setiap hari untuk mencegah timbulnya
serangan asma. Obat dalam kategori ini meliputi kortikosteroid inhaler, kromolin atau
nedokromil inhaler, bronkhodilator kerja panjang, teofilin, dan antagonis leukotrin.
Kategori kedua adalah obat-obat yang berguna untuk menyembuhkan secara cepat gejala
asma yang timbul. Obat tersebut adalah bronkhodilator kerja singkat dan kortikosteroid sistemik.
Ipratropium dapat digunakan bersama dengan bronkhodilator inhaler jika terjadi serangan asma
atau gejala asma memburuk.
Umumnya, dokter akan memulai terapi tingkat tinggi lebih dahulu, kemudian
menurunkannya ke tingkat yang lebih rendah yang masih efektif mencegah serangan asma dan
membuat anak dapat hidup normal.9
Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
Status asmatikus
Atelektasis
Hipoksemia
Pneumothoraks
Emfisema
Deformitas thoraks
Gagal nafas10
Prognosis
Jika didiagnosis secara tepat, penyakit asma dapat sembuh total. Prognosis buruk jika pasien
datang ke dokter sudah dalam kondisi asma berat.6
Penutup
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang ditandai adanya proses inflamasi
yang disertai proses remodeling. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu yang
berhubungan dengan pola hidup dan polusi. Klasifikasi asma adalah asma episodik jarang, asma
episodik sering, dan asma persisten. Pada asma episodik jarang hanya diberikan obat reliever
saja tanpa controller, sedangkan pada asma episodik sering dan persisten diperlukan terapi
jangka panjang (controller). Pada terapi jangka panjang setelah diberikan kortikosteroid dosis
rendah kurang memuaskan dapat diberikan terapi kombinasi kortiksteroid dosis rendah dan
LABA, atau TSR, atau antileukotrien. Terapi kombinasi tersebut dapat memperbaiki uji fungsi
paru, gejala asma, dan aktivitas sehari-hari yang pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup
anak asma. Dengan kombinasi di atas, dosis kortikosteroid dapat diturunkan sehingga efek
samping terhadap tumbuh kembang anak dapat dikurangi. Terapi kombinasi tersebut merupakan
suatu harapan baru dalam tatalaksana asma.
Daftar Pustaka
1. Gleadle J.Pengambilan anamnesis. At a glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Penerbit
Erlangga. 2005. Jakarta.
2. Subekti I, Setiyohadi B. Pemeriksaan fisis umum. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna
Publishing. 2009. Jakarta.
3. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/ WHO Workshop Report 2002.
4. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi 2004.
5. Ward J, Leach R, Wiener C. Asma. Et A Glance system respirasi. ED II. Erlangga.
Jakarta.2008
6. TePas E, Umetsu D. imunologi dan alergi. Nelson esensi pediatric.ED IV.EGC. 2002.
Jakarta. hal 341-350
7. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian IlmuKesehatan Anak FKUI-
RSCM, Jakarta.
8. Gunardi, S. Anatomi system pernapasan. Balai Penerbit FKUI.
9. Riyanto B, Hisyam B. Obstruksi saluran pernapasan akut. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Ed. V. Jakarta. 2009.
10. Dacre Jane, Kopelman Peter. Buku saku keterampilan klinis. Jakarta: EGC; 2004
Top Related