INDEKS GLIKEMIK
Indeks glikemik merupakan parameter yang penting diketahui untuk menapis kemungkinan makanan
yang berpotensi menyebabkan berbagai penyakit, seperti obesitas dan diabetes dan dibetes melitus.
Indeks Glikemik (IG) makanan adalah angka yang diberikan kepada makanan tertentu yang
menunjukkan seberapa tinggi makanan tersebut meningkatkan gula darah setelah di komsumsi. Angka
yang digunakan adalah 0-100. Makanan yang memiliki IG yang tinggi berarti makanan tersebut
meninggikan gula darah dalam waktu yang lebih cepat, lebih fluktuatif, lebih tinggi, dari makanan yang
memiliki IG yang rendah. Oleh karena itu pada penderita diabetes baik tipe 1 maupun tipe 2 sangat
dianjurkan untuk memilih makanan dengan IG yang rendah. Perlu anda ketahui bahwa naiknya gula
darah atau glukosa darah hanya disebabkan oleh zat karbohidrat saja sementara protein dan lemak
tidak meninggikan glukosa darah setelah konsumsi. Jadi indeks glikemik ini paling penting untuk memilih
makanan yang mengandung banyak karbohidrat sebagai sumber tenaga. Makanan yang sangat kurang
atau tidak mengandung karbohidrat tidak memiliki nilai IG seperti ikan, daging, telur, alpukat, minyak
goreng, margarine dan lain-lain.
Ada pula yang disebut Indeks Glikemik Load (IGL). IGL pada dasarnya adalah ukuran kualitatif sekaligus
quantitatif dari suatu makanan sumber karbohidrat. Angka IGL diperoleh dengan cara mengalikan IG
makanan dengan jumlah karbohidrat yang terkandung dalam makanan, biasanya di ukur berdasarkan
jumlah karbohidrat per saji (serve) kemudian di bagi seratus.
Indeks Glikemik
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Indeks Glikemik adalah angka yang menunjukkan potensi peningkatan glukosa darah dari
karbohidrat yang tersedia pada suatu pangan atau secara sederhana dapat dikatakan sebagai
tingkatan atau rangking pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan
Para ahli telah mempelajari faktor-faktor yang menjadi penyebab perbedaan IG antara pangan
yang satu dengan pangan yang lainnya.Pangan dengan jenis yang sama dapat memiliki IG yang
berbeda apabila diolah atau dimasak dengan cara yang berbeda.Hal ini dikarenakan proses
pengolahan dapat menyebabkan perubahan pada struktur dan komposisi zat gizi penyusun
pangan, sehingga akan mempengaruhi daya cerna zat gizi yang terdapat pada pangan.Varietas
yang berbeda pada jenis pangan juga akan mempengaruhi IG pangan tersebut, contohnya adalah
beras yang memiliki kisaran IG antara 50 – 70.Beberapa faktor yang mempengaruhi IG pangan
adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), rasio amilosa-amilopektin,
tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar anti-zat
gizi pangan.
Proses pengolahan
Teknik pengolahan pangan yang menjadikan pangan tersedia dalam bentuk, ukuran, dan rasa
yang berbeda menyebabkan struktur pangan tersebut menjadi halus, sehingga pangan tersebut
menjadi lebih mudah dicerna dan diserap.Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi peningkatan
glukosa darah yang menyebabkan pankreas untuk mensekresikan insulin lebih banyak.
Ukuran partikel
Ukuran partikel sangat mempengaruhi proses gelatinisasi pati, sehingga ukuran butiran pati yang
semakin kecil akan menjadikan semakin rentan terhadap proses pendegradasian oleh enzim. Hal
tersebut akan mempercepat proses pencernaan dan penyerapan karbohidrat pati, sehingga dapat
dikatakan semakin kecil ukuran partikel maka semakin tinggi nilai IG pangan tersebut.
Tingkat gelatinisasi pati
Pati dalam pangan mentah berada dalam bentuk granula yang tersusun rapat.Proses pemasakan
yang melibatkan panas dan air akan memperbesar ukuran granula pati sehingga akan mudah
dicerna oleh enzim pencerna pati di usus halus.Reaksi yang cepat dari enzim tersebut akan
meningkatkan kadar glukosa darah yang cepat, sehingga dapat dikatakan pangan yang
mengandung pati tergelatinisasi penuh memiliki nilai IG yang tinggi.
Kadar amilosa dan amilopektin
Pati di dalam pangan terdiri dari dua jenis yang berbeda, yaitu amilosa dan amilopektin.Amilosa
adalah polimer glukosa sederhana yang tidak bercabang, sehingga lebih terikat dengan kuat serta
lebih sulit tergelatinisasi dan tercerna.Sementara itu, amilopektin adalah polimer glukosa
sederhana yang bercabang serta memiliki ukuran molekul lebih besar dan lebih terbuka sehingga
lebih mudah tergelatinisasi dan dicerna oleh tubuh.Berdasarkan dari berbagai penelitian, pangan
yang memiliki proporsi amilosa lebih tinggi dibandingkan amilopektin akan memiliki nilai IG
yang lebih rendah, begitu juga sebaliknya.
Keasaman dan daya osmotik pangan
Pati di dalam pangan terdiri dari dua jenis yang berbeda, yaitu amilosa dan
amilopektin.Keasaman dan daya osmotik pangan akan mempengaruhi tinggi rendahnya IG yang
dimiliki oleh pangan.
Kadar lemak dan protein pangan
Pangan yang memiliki kadar protein dan lemak yang tinggi cenderung memperlambat laju
pengosongan lambung sehingga pencernaan yang terjadi di usus halus juga diperlambat.Oleh
karena itu, pangan yang memiliki kadar lemak yang tinggi cenderung memiliki IG yang lebih
rendah dibandingkan pangan sejenis dengan kadar lemak yang lebih rendah.Hal ini dibuktikan
oleh kentang goreng yang memiliki IG lebih rendah (IG:54) dibandingkan kentang bakar
(IG:85).Protein (asam amino) yang terdapat pada pangan dapat mempengaruhi respon glukosa
darah sehingga dapat menimbulkan peningkatan atau penurunan respon glukosa darah. Hal
tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis dari asam amino yang terkandung didalamnya.Penelitian
yang dilakukan oleh Lang et al. (1999) menunjukkan bahwa pangan yang diujicobakan dengan
kandungan kasein memberikan respon tertunda pada peningkatan glukosa darah dan insulin
dibandingkan dengan pangan yang mengandung protein kacang kedelai.
Kadar anti zat-gizi pangan
Anti zat-gizi yang terdapat di dalam pangan dapat mempengaruhi nilai IG dari pangan
tersebut.Contoh dari anti zat-gizi pangan adalah serat pangan yang dapat berperan sebagai
inhibitor alfa-glukosidase (enzim pemecah gula kompleks).
Indeks Glikemik atau Glycemic Index (GI) merupakan suatu sistem yang menggunakan
peringkat untuk menilai seberapa cepat glukosa dari suatu jenis makanan memasuki aliran darah
kita, atau dapat dikatakan seberapa cepat karbohidrat dalam makanan dapat meningkatkan kadar
gula darah.
A. INDEKS GLIKEMIK
1. Defenisi Indeks Glikemik ( IG )
Indeks Glikemik adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar gula darah.
Dengan kata lain indeks glikemik adalah respon glukosa darah terhadap makanan
dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni. Indeks glikemik
berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan
yang dikonsumsi. Indeks glikemik bahan makanan berbeda-beda tergantung pada
fisiologi, bukan pada kandungan bahan makanan. (Sarwono W, 2002).
Indeks glikemik ditemukan pada awal tahun 1981 oleh Dr David Jenkins, seorang
Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan
penanganan yang paling baik bagi penderita DM. Pada masa itu diet pada penderita DM
didasarkan pada system porsi karbohidrat. Konsep ini menganggap bahwa semua pangan
berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang sama pada kadar gula darah (Rimbawan,
2004).
Secara tradisional karbohidrat digolongkan menurut struktur kimianya (sederhana dan
kompleks). Tahun 1990-an secara luas diyakini bahwa karbohidrat kompleks diserap
dengan lambat sehingga menyebabkan sedikit peningkatan kadar gula darah. Dan
Karbohidrat sederhana dianggap dicerna dan diserap dengan cepat sehingga
menyebabkan peningkatan kadar gula darah yang cepat dan besar. Anggapan ini salah.
Pangan bergula tinggi tidak meningkatkan kadar gula darah secara drastis.
Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki
indeks glikemik tinggi. Respon gula darah terhadap jenis pangan (karbohidrat) ini cepat
dan tinggi. Sebaliknya karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki indeks
glikemik rendah sehingga melepaskan glukosa kedalam darah. Indeks glikemik murni
ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentuan IG pangan lain
(Rimbawan, 2004)
Katagori pangan menurut rentang IG yaitu :
1) IG rendah, rentang IG < 55 diantaranya : Yougort rendah lemak, kacang tanah, jeruk
besar, susu kedelai, apel, pear, macaroni, jus nenas, roti pisang, pisang, ubi jalar, dan lain
sebagainya.
2) IG sedang, rentang IG 55 – 70 diantaranya : beras merah, nasi putih, es krim, kismis,
gula meja, nenas, roti putih, dan lain-lain
3) IG tinggi, rentang IG > 70 diantaranya : wortel, semangka, madu, rice instant, corn
flakes, dan lain-lain (Eka P, 2003)
2. Jenis-Jenis Indeks Glikemik
Indeks glikemik ada 3 jenis yaitu :
a. Indeks glikemik pangan tunggal yaitu nilai indeks glikemik yang diperoleh berasal dari
pengujian makanan tunggal
b. Indeks glikemik pangan campuran yaitu nilai indeks glikemik yang diperoleh dari
perhitungan jumlah prosentase karbohidrat dikali dengan indeks glikemiks tunggal
masing-masing pangan.
c. Indeks glikemik menyeluruh yaitu nilai indeks glikemik yang diperoleh dari
perhitungan jumlah kandungan karbohidrat dikalikan frekwensi pemakaian dalam sehari
dikalikan dengan indeks glikemik tunggal dibagi dengan total kandungan karbohidrat
seluruh pangan (Rimbawan, 2004)
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik
Para ahli telah mempelajari faktor-faktor penyebab perbedaan IG antara pangan yang satu
dengan lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu cara pengolahan (tingkat
gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dan amilopektin, gizi pangan
(Sarwono W, 2002).
a. Proses Pengolahan
Dewasa ini teknik pengolahan pangan menjadikan pangan tersedia dalam bentuk, ukuran
dan rasa yang lebih enak. Proses penggilingan menyebabkan struktur pangan menjadi
halus sehingga pangan tersebut mudah dicerna dan diserap. Pangan yang mudah cerna
dan diserap menaikan kadar gula darah dengan cepat.
Penumpukan dan penggilingan biji-bijian memperkecil ukuran partikel sehingga mudah
menyerap air menurut Liljeberg dalam buku Indeks Glikemik Pangan, makin kecil
ukuran partikel maka IG pangan makin tinggi. Butiran utuh serealia, seperti gandum
menghasilkan glukosa dan insulin yang rendah. Namun ketika biji-bijian digiling
sebelum direbus, respon glokusa dan insulin mengalami peningkatan yang bermakna.
(Rimbawan, 2004).
b. Kadar Amilosa dan Amilopektin
Amilosa adalah polimer gula sederhana yang tidak bercabang. Struktur yang tidak
bercabang ini membuat amilosa terikat lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi akibatnya
mudah cerna.Sementara Amilopektin-polimer gula sederhana memiliki ukuran molekul
lebih besar dan lebih terbuka sehingga mudah tergelatinisasi akibatnya mudah cerna.
Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda
menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan respon insulin lebih rendah setelah
mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin
tinggi. Sebaliknya bila kadar amilopektin pangan lebih tinggi daripada amilosa,respon
gula darah lebih tinggi.(Rimbawan,2004).
c. Kadar Gula dan Daya Osmotik Pangan
Pengaruh gula secara alami terdapat didalam pangan dalam berbagai porsi terhadap
respon gula darah sangat sulit diprediksi. Hal ini dikarenakan pengosongan lambung
diperlambat oleh peningkatan konsumsi gula apapun strukturnya (Sarwono, 2002).
d. Kadar Serat Pangan
Menurut Miller dalam buku Indeks Glikemik Pangan, Pengaruh serat pada IG pangan
tergantung pada jenis seratnya.bila masih utuh serat dapat bertindak sebagai penghambat
fisik pada pencernaan. Akibatnya IG cenderung melebihi rendah. Hal ini menjadi salah
satu alasan mengapa kacang-kacangan atau tepung biji-bijian memiliki IG rendah ( 30 –
40 ).
Menurut Rimbawan, 2004 serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran
makanan dalam saluran pencernaan. Hal ini memperlambatnya lewatnya makanan pada
saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Dengan demikian proses
pencernaan menjadi lambat dan akhirnya respon gula darah menjadi lebih rendah.
e. Kadar Lemak dan Protein Pangan
Pangan berkadar lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan
lambung. Dengan demikian laju pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat.
Oleh karena itu pangan berkadar lemak tinggi cenderung memiliki IG lebih rendah
daripada sejenis berkadar lemak lebih rendah ( Rimbawan, 2004 ).
f. Kadar Anti Gizi Pangan
Menurut Rimbawan, 2004 beberapa pangan secara alamiah mengandung zat yang dapat
menyebabkan keracunan bila jumlahnya besar. Zat tersebut dinamakan zat anti gizi.
Beberapa zat anti gizi tetap aktif walaupun sudah melalui proses pemasakan. Zat anti gizi
pada biji-bijian dapat memperlambat pencernaan karbohidrat didalam usus halus.
Akibatnya IG pangan menurun
Karbohidrat loading
From Wikipedia, the free encyclopedia Dari Wikipedia, ensiklopedia bebas
Jump to: navigation
, search
Langsung ke: navigasi
, cari
Carbohydrate loading , commonly referred to as carbo-loading or carb-loading , is a strategy
used by endurance athletes such as marathon
runners to maximize the storage of glycogen
(or energy) in the muscles. Karbohidrat loading, biasanya disebut sebagai carbo-loading atau
karbohidrat-loading, adalah strategi yang digunakan oleh atlet ketahanan seperti maraton
pelari untuk memaksimalkan penyimpanan glikogen
(atau energi) di otot.
Carbohydrate loading is also used in healthcare to optimise the condition of patients prior to
surgery. [ 1 ]
Karbohidrat loading juga digunakan dalam perawatan kesehatan untuk mengoptimalkan kondisi pasien
sebelum operasi. [1]
Carbohydrate loading is generally recommended for endurance events lasting longer than 90
minutes. [ citation needed
] For many endurance athletes the foods of choice for carbo-loading are those of low glycemic indices
due to their minimal effect on serum glucose levels. Karbohidrat loading umumnya direkomendasikan
untuk kegiatan daya tahan berlangsung lebih lama dari 90 menit. [ rujukan?
] Untuk atlet ketahanan banyak makanan pilihan bagi carbo-loading adalah mereka yang rendah indeks
glikemik
karena efek minimal terhadap kadar glukosa serum. Low glycemic foods commonly include fruits,
vegetables, whole wheat pasta and grains. Makanan rendah glisemik umumnya termasuk buah-buahan,
sayuran, pasta gandum utuh dan biji-bijian. Because of this, many marathoners and triathlon
participants have large pasta dinners the night before the race. Karena itu, banyak marathoners dan
triathlon
peserta telah makan malam pasta besar pada malam sebelum perlombaan. Large portions the night
before a race, can, however, be detrimental to race-day performance because the digestive system may
not have time to adequately process the food. porsi besar malam sebelum perlombaan, bisa,
bagaimanapun, akan merusak kinerja ras-hari karena sistem pencernaan mungkin tidak memiliki cukup
waktu untuk memproses makanan.
Contents Isi [hide]
1 Procedure
1 Prosedur
o 1.1 Without depletion
1.1 Tanpa deplesi
o 1.2 Short workout
1,2 Pendek latihan
o 1.3 Transient hypoglycemia
1.3 Transient hipoglikemia
2 References
2 Referensi
[ edit
] Procedure [ sunting
] Prosedur
7 days before the event, perform an exhaustive exercise to all but deplete your energy stores. 7
hari sebelum acara, melakukan latihan lengkap untuk semua tapi menguras menyimpan energi
Anda. Then for the next 2-3 days cut back on carbs and do low exercise to keep the carb level
very low. Kemudian, selama 2-3 hari berikutnya memotong kembali pada karbohidrat dan
melakukan latihan rendah untuk menjaga tingkat karbohidrat yang sangat rendah. Then 3-4 days
before the event, eat a very high carb diet. Lalu 3-4 hari sebelum acara, makan carb diet sangat
tinggi. This will initiate a response from the muscles to take in as much glycogen from the carbs
as possible, over compensating for the starvation from the previous days. Ini akan memulai
tanggapan dari otot-otot untuk mengambil sebagai glikogen banyak dari karbohidrat mungkin,
atas kompensasi untuk kelaparan dari hari sebelumnya.
[ edit
] Without depletion [ sunting
] Tanpa deplesi
In the 1980s, research led to a modified carbo-loading regimen that eliminates the depletion
phase, instead calling for increased carbohydrate intake (to about 70% of total calories) and
decreased training for three days prior to the event. [ 2 ]
Most athletes now follow this modified regimen,it is recommended by many coaches, although there
are some athletes who still follow the original carbo-loading regimen Pada 1980-an, penelitian
menyebabkan rejimen carbo-loading dimodifikasi yang menghilangkan fase penipisan, bukannya
meminta asupan karbohidrat meningkat (menjadi sekitar 70% dari total kalori) dan pelatihan menurun
selama tiga hari sebelum acara. [2]
Sebagian besar atlet sekarang mengikuti rejimen diubah, dianjurkan oleh banyak pelatih, meskipun ada
beberapa atlet yang masih mengikuti rejimen carbo-loading asli
[ edit
] Short workout [ sunting
] latihan Pendek
A new carbo-loading regimen developed by scientists at the University of Western Australia
calls for a normal diet with light training until the day before the race. Sebuah rejimen carbo-loading
baru yang dikembangkan oleh para ilmuwan di University of Western Australia
panggilan untuk diet normal dengan latihan ringan sampai sehari sebelum perlombaan. On the day
before the race, the athlete performs a very short, extremely high-intensity workout (such as a few
minutes of sprinting) then consumes 12 g of carbohydrate per kilogram of lean mass over the next 24
hours. Pada hari sebelum perlombaan, atlet melakukan pendek, sangat sangat-latihan intensitas tinggi
(misalnya beberapa menit berlari) maka mengkonsumsi 12 g karbohidrat per kilogram massa bersandar
selama 24 jam ke depan. The regimen reportedly resulted in a 90% increase in glycogen storage. [ 2 ]
Hidup yang dilaporkan menghasilkan 90% peningkatan dalam penyimpanan glikogen. [2]
[ edit
] Transient hypoglycemia [ sunting
] hipoglikemia Transien
Carbohydrate ingestion less than 2 hours prior to aerobic exercise triggers elevated levels of
insulin in the blood, which may dramatically decrease serum glucose levels. konsumsi
karbohidrat kurang dari 2 jam sebelum latihan aerobik memicu peningkatan kadar insulin dalam
darah, yang secara dramatis dapat menurunkan kadar glukosa serum. This can limit aerobic
performance, especially in events lasting longer than 60 minutes. Hal ini dapat membatasi
kinerja aerobik, terutama dalam acara-acara yang berlangsung lebih dari 60 menit. is known as
transient or reactive hypoglycemia, and can be a limiting factor in elite athletes. dikenal sebagai
hipoglikemia sementara atau reaktif, dan dapat menjadi faktor pembatas dalam atlet elit.
Individuals susceptible to hypoglycemia are especially at risk for elevated insulin responses and
thus will likely suffer from performance-limiting, transient hypoglycemia. Individu rentan
terhadap hipoglikemia sangat berisiko untuk respon insulin tinggi dan dengan demikian
kemungkinan akan menderita dari kinerja-membatasi, hipoglikemia sementara.
Top Related