Download - 11-35-1-PB

Transcript

7/21/2019 11-35-1-PB

http://slidepdf.com/reader/full/11-35-1-pb-56dbd8786bee7 1/11

MERUBAH PERILAKU MEROKOK DENGAN SUBLIMINAL

CONDITIONING : SEBUAH PENELITIAN EKSPERIMENTAL(CHANGE SMOKING BEHAVIOR BY SUBLIMINAL CONDITIONING: AN EXPERI-

MENTAL STUDY)

Whisnu Thomas dan Eunike Sri Tyas Suci

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

Subliminal messages merupakan cara mempengaruhi sikap, tindakan, dan keputusan manusia dengan memasuk-

kan informasi ke pikirannya dalam waktu yang sangat cepat sehingga tidak dapat ditangkap oleh indera manusia.

Subliminal messages berhasil dilakukan dalam bidang industri dan perdagangan, namun kurang berhasil dilakukan

di bidang klinis untuk terapi karena berbagai kelemahan. Peneliti mencoba memperbaikinya dengan mengubah

subliminal messages menjadi subliminal conditioning  dan diuji coba sebagai terapi berhenti merokok. Subliminalconditioning  tidak menyampaikan pesan, melainkan asosiasi. Metode penelitian ini adalah eksperimen laborato-

rium desain within group, dengan variabel bebas subliminal conditioning  dan variabel terikat perilaku merokok.

Partisipan penelitian adalah mahasiswa sebuah universitas swasta di Jakarta berusia 20 tahun atau lebih, merokok

minimal 5 batang seminggu dan ingin berhenti merokok. Dari 34 partisipan yang mendaftar, hanya data dari 12partisipan yang dapat digunakan. Asosiasi yang diberikan adalah merokok dengan rasa takut, dengan memberikan

gambar rokok bersamaan dengan gambar yang menakutkan berupa orang mati secara tragis, yang diselipkan

dalam sebuah lm serial. Eksperimen dilakukan dengan menonton lm tersebut selama satu jam per hari dalam

10 hari berturut-turut, kecuali hari minggu. Partisipan diminta untuk mencatat perilaku merokok mereka setiap hari

selama eksperimen berlangsung. Berdasarkan hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Rank Test , terapi subliminal

conditioning  terbukti berhasil menurunkan perilaku merokok secara signikan (Z  = 2.1, p < 0.05), namun tidak cu-kup kuat untuk membuat partisipan berhenti merokok. Penelitian ini merupakan awal pengembangan terapi bagi

perokok dan perlu dikembangkan di masa depan. Hal yang perlu diperhatikan adalah persiapan eksperimen yang

lebih terkontrol, jumlah partisipan yang lebih banyak, dan tingkat kecanduan rokok yang lebih tinggi.

Kata kunci: subliminal, conditioning , merokok, terapi, psikoterapi, adiksi.

Subliminal messages are the ways to inuence human attitude, decision and action by inserting information to

his/her mind in a so fast a fashion that it can’t be captured by human sense. Subliminal messages have been

successfully applied in the area of industry and trade, but not so in clinical area as a therapy due to a number of

weaknesses. We tried to improve it by modifying subliminal messages into subliminal conditioning, and examined it

to smokers. Subliminal conditioning does not send messages, but associations. This study was a laboratory experi-

ment with a within group design. The independent variable was Subliminal Conditioning, and the dependent vari-

able is smoking behavior. Participants were selected from students at a private university in Jakarta aged at least

20 years old, and smoked at least ve cigarettes a week. Of the 34 participants who participated in the study, only

the data of 12 of them could be used. The association was smoking with fear, in which a picture of a cigarette was

concurrently presented with a picture of a tragic death to the participants through a movie serial. The participants

were required to watch the movie serial one hour each day for 10 consecutive days, except Sunday. They were also

required to make notes on the number of cigarettes they smoked every day during the experimental week. Using theWilcoxon Signed Rank Test, the study showed that subliminal conditioning therapy was able to signicantly reduce

their smoking behavior (Z = 2.1, p < 0.05), though it failed to entirely stop their smoking behavior. This research was

a start to the development a better therapy for smokers. The use of a better control, more participants, and higher

level of smoking addiction was recommended for future research.

Keywords: subliminal, conditioning, smoking cessation, therapy, psychotherapy, addiction.

Himpunan Psikologi IndonesiaJurnal Psikologi Indonesia

2010, Vol VII, No. 1, 65-75, ISSN. 0853-3098

7/21/2019 11-35-1-PB

http://slidepdf.com/reader/full/11-35-1-pb-56dbd8786bee7 2/11

66

Perilaku merokok di Indonesia cukup

besar. Survei World Health Organization 

(WHO) pada tahun 2006 menunjukkan

ada 199 miliar rokok yang dikonsumsi di

Indonesia. Jumlah tersebut menempatkan

Indonesia pada posisi keempat konsumen

rokok terbesar di dunia. Survei dari  Asean

Tobacco Control Report   pada tahun 2007

menunjukkan ada 57,56 juta perokok di

Indonesia, dan jumlah tersebut merupakan

46,16% dari seluruh perokok di Asia Tenggara

(Susuwongi, 2008).

Ditinjau dari aspek kesehatan, merokok

menyebabkan banyak jenis penyakit seperti

kanker paru-paru, serangan jantung, stroke,

kanker mulut maupun kanker tenggorokan

(Utamadi, 2002). Penelitian menunjukkan

bahwa satu dari sepuluh perokok beratmengalami kanker paru-paru (Prihatiningsih,

2007). Penelitian lain juga menunjukkan

bahwa merokok dapat meningkatkan resiko

menglami gangguan ereksi pada pria dan

kehamilan di luar kandungan pada wanita

hingga 2–4 kali dibandingkan wanita yang

tidak merokok (Anthony, 2007). Walaupun

pada setiap iklan dan bungkus rokok telah

dituliskan peringatan bahwa merokok dapat

menyebabkan kanker, serangan jantung,

impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin, namun perilaku merokok tetap menjadi

sumber masalah kesehatan di seluruh

dunia. Organisasi WHO memperkirakan

bahwa pada tahun 2020 penyakit-penyakit

yang berkaitan dengan rokok akan menjadi

masalah kesehatan utama di banyak negara. 

Selain itu, kebiasaan merokok juga dianggap

sebagai awal mula penyalahgunaan narkotika

dan obat-obatan berbahaya lainnya (Jamal,

2006).

Resiko yang ditimbulkan oleh perilakumerokok bukan hanya menimpa perokok

yang bersangkutan, tetapi juga lingkungan

sekitarnya. Survei dari Medika Jurnal

Kedokteran Indonesia menunjukkan bahwa

lebih dari 90% perokok aktif mengaku

merokok di dalam rumah ketika bersama

anggota keluarga, sehingga sekitar 70%

penduduk Indonesia berumur 0-14 tahun

telah terpapar asap rokok sejak lahir atau

dapat dikatakan menjadi perokok pasif

(Jamal, 2006). Penelitian juga menunjukkan

bahwa anak-anak yang ayah dan ibunya

merokok beresiko lebih tinggi mengalami

masalah pernapasan. Persidangan Antar

Bangsa Persatuan Rongga Dada Amerika

Serikat 2007 menyatakan bahwa meskipun

anak-anak tersebut tidak menunjukkan tanda

masalah pernapasan, mereka mungkin

mengalami perubahan membahayakan dalam

proses pernapasan yang dapat menyebabkan

penyakit paru-paru di kemudian hari (Hazira,

2007).

Melihat besarnya resiko perilaku

merokok sedangkan Indonesia merupakan

negara dengan konsumsi rokok yang

cukup besar, maka perlu ada penanganan

terhadap masalah rokok di Indonesia. Cara

menurunkan prevalensi perilaku merokok

dengan memberikan informasi mengenai

bahaya rokok seperti banyak dilakukan dalam

kampanye-kampanye anti merokok dapatdikatakan kurang efektif. Penelitian Gibson,

Eggleston, dan Benthin (1997) menunjukkan

gejala pembenaran diri di kalangan perokok,

sehingga sulit untuk berhenti merokok.

Pembenaran diri yang dimaksud dilakukan

dengan cara mengubah pola pikir dan

percaya bahwa sebenarnya merokok tidak

menyebabkan kanker atau percaya bahwa

informasi yang disampaikan itu dibesar-

besarkan padahal sebenarnya tidak separah

itu, atau dengan memasukkan informasi baruke dalam kognisi misal bahwa merokok dapat

membuat rileks atau menjernihkan pikiran.

Untuk melawan pembenaran diri tersebut,

peneliti mencoba mencari cara terapi yang

tidak dipengaruhi oleh pikiran agar orang

yang bersangkutan tidak dapat melakukan

pembenaran diri.

Salah satu alternatif cara terapi adalah

subliminal messages, yaitu tulisan, gambar,

ataupun suara yang tidak dapat ditangkap oleh

alat indera seseorang namun mempengaruhikeputusan, sikap, dan perilaku orang tersebut

(Aronson et al., 2006). Subliminal messages 

visual dapat dilakukan dengan cara

memberikan potongan-potongan gambar

atau tulisan yang berisi pesan tertentu yang

tidak dapat ditangkap oleh mata orang yang

melihatnya karena potongan tersebut berlalu

dalam waktu yang sangat cepat, lebih cepat

dari kemampuan mata menangkap stimulus,

yaitu 1/25 detik. Subliminal messages auditori

dapat dilakukan dengan memberikan suara-

suara dalam frekuensi yang berlainan dalam

musik yang sedang didengarkan oleh orang

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

7/21/2019 11-35-1-PB

http://slidepdf.com/reader/full/11-35-1-pb-56dbd8786bee7 3/11

67

yang bersangkutan. Gambar ataupun suara

yang tidak tertangkap oleh kesadaran orang

ini tetap dapat mempengaruhi keputusan,

sikap, dan perilakunya. Saunders (1999)

menggambarkan subliminal messages seperti

gelombang ultrasonik, gelombang infrasonik,

gelombang mikro, atau radar yang dapat

memicu reaksi tubuh tanpa adanya stimulus

yang dapat ditangkap oleh kesadaran.

Keefektivan subliminal messages

masih dipertanyakan. Dalam penelitiannya,

Greenwald (1992) melibatkan 237 peserta

suka rela untuk mendengarkan kaset

berisi subliminal messages  dengan tujuan

meningkatkan memori ataupun harga

diri (self-esteem). Subliminal messages 

disembunyikan dalam bentuk suara ombak

lautan. Label kaset tersebut ditukar-tukarantara yang meningkatkan memori dan yang

meningkatkan harga diri, sehingga ada 4

 jenis kaset, pertama, kaset dengan pesan

tersembunyi untuk meningkatkan memori

dan dituliskan untuk meningkatkan memori.

Kedua, kaset dengan pesan tersembunyi

untuk meningkatkan memori dan dituliskan

untuk meningkatkan harga diri. Ketiga,

kaset dengan pesan tersembunyi untuk

meningkatkan harga diri dan dituliskan untuk

meningkatkan memori. Keempat, kaset untukmeningkatkan harga diri dan dituliskan untuk

menigkatkan harga diri. Pada penelitian

ini, baik peneliti maupun partisipan tidak

mengetahui siapa yang mendapatkan kaset

untuk meningkatkan memori dan siapa yang

mendapatkan kaset untuk meningkatkan

harga diri. Hasil dari penelitian ini menunjukkan

tidak ada perbedaan peningkatan memori

ataupun self esteem  yang signikan antara

keempat kelompok yang mendapatkan kaset

berbeda-beda tersebut (dalam Saunders,1999).

Selain banyaknya penelitian yang

menunjukkan kegagalan subliminal

messages dalam memanipulasi tingkah laku

orang, ada juga beberapa penelitian yang

menunjukkan bahwa subliminal messages 

dapat berhasil dengan baik. Contohnya

adalah penelitian Murphy dan Zajonk (1993)

dalam mengasosiasikan ideograf Cina dengan

gambar wajah tersenyum, balok, ataupun

wajah marah. Kelompok yang diberi pesan

tersembunyi berupa wajah tersenyum lebih

menyukai bentuk ideograf tersebut dibanding

kelompok yang diberi pesan tersembunyi

berupa gambar balok ataupun wajah marah

(dalam Aronson, 2006). Demikian juga

halnya dengan penelitian Epley, Savitisky,

dan Kochelski. Mereka membuat sebuah

penelitian dengan meminta mahasiswa

yang baru lulus menuliskan sebuah ide

penelitian. Setelah menuliskan ide tersebut

mereka diminta menilai seberapa baik ide

penelitian yang mereka buat tersebut. Tanpa

disadari sebenarnya mereka telah diberikan

subliminal messages  berupa gambar wajah

mahasiswa doktoral yang familiar atau wajah

cemberut dari pengurus fakultas. Ternyata

mereka yang diberi subliminal messages 

berupa gambar mahasiswa doktoral menilai

idenya lebih baik dibanding mereka yang

diberi subliminal messages  berupa gambarcemberut dari pengurus fakultas (“Examines

the Efcacy,” 1999).

Pada intinya, subliminal messages dapat

bekerja dengan syarat-syarat tertentu.

Layne Wallace menunjukkan bahwa

subliminal messages  tidak dapat efektif jika

menggunakan informasi yang sama sekali

baru (Wallace, 1991). Subliminal messages 

ini hanya menjadi efektif jika digunakan dalam

situasi yang terkontrol dalam laboratorium,

yaitu jarak pandang yang terkontrol, dan tidakadanya distraksi dari stimulus lain di sekitar

lingkungan (Holender, dalam Moore 1995).

Selain situasinya yang harus terkontrol,

subliminal messages  tidak dapat digunakan

untuk membuat seseorang melakukan

sesuatu yang tidak ingin dilakukannya

(Murphy & Zajonk, dalam Aronson et al,

2006). Hal ini terjadi karena dalam pikiran

manusia ada skema yang sulit berubah.

Secara tidak disadari, informasi-inrmasi

yang tidak sesuai dengan pikiran yang adadalam skema seseorang akan terbuang

sehingga akan cenderung terlupakan.

Karena kedua hal tersebut, maka subliminal

messages  akan sulit digunakan sebagai

terapi jika dibuat dalam bentuk kaset yang

dapat dibawa pulang, karena situasi rumah

yang tanpa kontrol ketat akan membuat efek

subliminal messages menjadi tidak efektif.

Selain itu jika isinya berupa hal yang tidak

ingin dilakukan orang.yang bersangkutan

seperti harus berhenti merokok, subliminal

messages akan sulit bekerja secara efektif.

Berdasarkan semua karakteristik dari

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

7/21/2019 11-35-1-PB

http://slidepdf.com/reader/full/11-35-1-pb-56dbd8786bee7 4/11

68

subliminal messages, khususnya karena

subliminal messages  ternyata tidak dapat

efektif jika isinya merupakan sesuatu yang

tidak ingin dilakukan seseorang, maka peneliti

memilih untuk memberikan subliminal yang

tidak berisi perintah, melainkan asosiasi.

Dalam bentuk asosiasi, subliminal message 

tersebut tidak dapat disaring oleh skema

dalam pikiran seseorang karena yang

dapat disaring oleh skema adalah hal-hal

yang bersifat informasi, bukan hal-hal yang

berkaitan dengan emosi. Karena itu, intervensi

yang diberikan sebaiknya berupa hal-hal yang

berhubungan dengan emosi. Dari bentuk-

bentuk emosi, peneliti memilih emosi takut

sebagai bentuk emosi yang paling cocok untuk

diasosiasikan untuk menghasilkan perilaku

berupa penurunan perilaku merokok. Rasatakut adalah salah satu teknik yang sering

digunakan untuk melakukan perubahan

sikap. Karena itu, organisasi-organisasi sosial

sering menggunakan cara menakut-nakuti

untuk mengarahkan masyarakat melakukan

perilaku sehat yang diharapkan, misalnya

seks yang aman, menggunakan sabuk

pengaman, dan menghindari penggunan

obat-obatan terlarang (Aronson, 2006).

Dengan diberi asosiasi rokok dengan rasa

takut, diharapkan rasa takut tersebut akanmuncul setiap kali orang yang bersangkutan

merokok, sehingga perilaku merokok

menjadi tidak nyaman dan akan menurunkan

dorongan untuk merokok pada kesempatan

berikutnya.

Proses asosiasi yang akan dilakukan

merupakan classical conditioning,  yaitu ”an

acquisition procedure in which a previously

neutral stimulus is paired with a response-

 producing stimulus until the neutral stimulus

elicits the same type of response” (Wittig,1998, h. 37). Pada intinya, classical

conditioning   adalah proses pemberian

asosiasi tertentu pada suatu objek. Dalam

penelitian ini, asosiasi tidak lagi dilakukan

pada respon tingkah laku, melainkan pada

dimensi emosi seseorang tanpa melalui

proses kesadaran, yaitu asosiasi suatu

emosi tertentu pada suatu objek dengan

proses pengkondisian yang tidak ditangkap

oleh alat indera seseorang. Emosi yang akan

diasosiasikan adalah rasa takut, objek dari

perasaan takut tersebut adalah rokok, dan

dilakukan dengan cara subliminal  yang tidak

dapat ditangkap oleh alat indera.

Dalam melakukan classical conditioning,

ada empat komponen utama yang harus

muncul, yaitu unconditioned stimulus

(UCS),  yaitu stimulus yang direspon oleh

organisme secara reeks (tidak disengaja);

unconditioned response (UCR), yaitu respon

alamiah terhadap UCS; conditioned stimulus

(CS), yaitu stimulus yang awalnya tidak berarti

bagi organisme tetapi menjadi berarti setelah

melalui proses conditioning ; dan conditioned

response (CR), yaitu respon yang diharapkan

terjadi jika organisme diberikan CS setelah

proses conditioning  (Wortman, 1999).

Dalam penelitian mengenai perilaku

merokok ini, UCS adalah gambar yang

menakutkan (gambar orang mati), UCR

adalah rasa takut, CS adalah rokok, dan CRadalah rasa takut karena rokok. UCS berupa

gambar orang mati menakutkan bukan

merupakan asosiasi bahwa rokok akan

menyebabkan kematian, melainkan dua hal

yang sama sekali tidak berhubungan namun

dengan munculnya stimulus yang satu

(rokok), respon tertentu akan muncul (rasa

takut). Proses yang terjadi adalah seperti

berikut:

1. UCS (gambar menakutkan) UCR (rasa

takut)Saat diberikan gambar yang menakutkan,

seharusnya orang akan merasa takut.

2. CS( rokok) + UCS(gambar yang menakut-

kan) UCR (rasa takut)

  Gambar menakutkan yang dapat mem-

buat orang merasa takut diasosiasikan

dengan rokok. Setiap diberikan gambar

rokok, diberikan gambar yang menakut-

kan, sehingga orang merasa takut.

3. CS (rokok) CR (rasa takut)

  Setelah proses conditioning tersebut, set-iap kali orang tersebut melihat rokok akan

muncul rasa takut.

Jadi, secara umum dinamika proses

subliminal   dan classical conditioning pada

perilaku merokok kurang lebih adalah seperti

berikut. Saat diberikan informasi berupa

subliminal , seseorang tidak dapat mengolah

kembali informasi tersebut dari kognisi atau

pikirannya. Hal ini terjadi karena subliminal  

bekerja di kognisi tingkat tinggi sehingga

tidak dipersepsikan secara sadar oleh

orang yang menerima subliminal tersebut.

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

7/21/2019 11-35-1-PB

http://slidepdf.com/reader/full/11-35-1-pb-56dbd8786bee7 5/11

69

Walaupun begitu, subliminal messages sulit

untuk berhasil karena dalam pikiran manusia

ada skema yang sulit berubah. Secara tidak

disadari, informasi-informasi yang tidak

sesuai dengan pikiran yang ada dalam skema

seseorang akan terbuang sehingga akan

cenderung terlupakan oleh orang tersebut.

Karena ada skema dalam pikiran manusia

tersebut, informasi yang bertentangan

dengan skema seseorang mungkin sulitditerima walaupun dalam bentuk subliminal .

Untuk mengatasi masalah tersebut, maka

subliminal   yang diberikan tidak berupa

informasi melainkan dalam bentuk asosiasi,

yaitu dengan menerapkan prinsip classical

conditioning   dalam subliminal   tersembunyi

tersebut. Classical Conditioning   yang

diterapkan dalam bentuk subliminal   tidak

berusaha mengubah informasi yang ada pada

skema, melainkan berusaha menghubungkan

suatu informasi dalam skema dengan sesuatuhal, dalam hal ini menghubungkan suatu

benda dengan suatu emosi tertentu. Hal yang

berusaha dihubungkan atau diasosiasikan

pada penelitian ini adalah rokok dengan rasa

takut. Dengan seringkali memberikan gambar

rokok dengan gambar yang membuat orang

yang melihatnya merasa takut, maka perasaan

takut tersebut akan tersimpan secara implisit

dalam memori. Jika asosiasi berhasil, maka

rokok akan menjadi cues terhadap rasa takut

sehingga setiap kali melihat rokok, orangyang bersangkutan akan kembali teringat

akan rasa takut yang muncul saat melihat

gambar yang menakutkan.

Dengan perasaan takut yang seringkali

muncul bersamaan dengan saat seseorang

melihat rokok, maka kualitas merokok orang

tersebut akan menurun dan menurunnya

kualitas tersebut diharapkan akan disertai

dengan penurunan kwatitas jumlah rokok yang

dikonsumsi karena rokok tidak lagi diasakan

sebagai sesuatu yang nikmat melainkan

sebagai sesuatu yang menakutkan.

 

Metode

Partisipan Penelitian

Partisipan penelitian ini adalah mahasiswa

salah satu kampus di sebuah universitas

swasta di Jakarta yang merokok setidaknya 5

batang seminggu dalam tiga bulan terakhir.

Secara keseluruhan, ada 34 orang yang

mendaftar untuk menjadi partisipan yang

berasal dari Fakultas yang beragam seperti

FE, FIA, FP, FH, FT. Namun seperti yang

terlihat pada Tabel 1 di atas, dari 34 orang

tersebut, hanya 21 orang yang pada akhirnya

mengisi informed consent  dan 17 orang yang

hadir pada pelaksanaan penelitian subliminal

conditioning . Dari 17 orang tersebut ada

13 orang yang hadir hingga akhir, namun

satu partisipan menyatakan bahwa gambar

yang diberikan tidak menakutkan sehingga

datanya dibuang. Akhirnya, secara total ada

12 partisipan yang datanya dapat dianalisis.Pada Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa

Tabel 1

Partisipan Penelitian

Partisipan Penelitian n %

Total 34 100 

Fakultas Fakultas Psikologi 10 29Fakultas Ilmu Admistrasi 11 32

Faklutas Ekonomi 8 24

Fakultas Teknik 2 6

Fakultas Hukum 3 9

Status Partisipan Mendaftarkan diri 34 100

Mengisi Informed Consent 21

Hadir 17

Hadir hingga akhir 13

Lolos manipulation check  12 35

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

7/21/2019 11-35-1-PB

http://slidepdf.com/reader/full/11-35-1-pb-56dbd8786bee7 6/11

70

Tabel 2.

Data Partisipan yang Memiliki Data Valid 

Partisipan Penelitian dengan data valid n %

Total 12 100  

Fakultas Fakultas Psikologi 6 50Fakultas Ilmu Admistrasi 5 42

Faklutas Ekonomi 1 8

 Angkatan Angkatan 2004 2 17

 Angkatan 2005 6 50

 Angkatan 2006 3 25

 Angkatan 2007 1 8

Usia 20 tahun 3 25

21 tahun 3 25

22 tahun 5 42

23 tahun 1 8

Usia Inisiasi

Merokok

5-9 tahun 1 8

10 - 19 tahun 9 75

> 19 tahun 1 8

tidak menjawab 1 8

12 partisipan yang datanya dianggap validberasal hanya dari tiga Fakultas namun dari

angkatan yang beragam, yaitu 2004 hingga

hingga 2007. Usia partisipan beragam dari

20 tahun hingga 23 tahun dengan mayoritas

berusia 22 tahun (42%). Jika dilihat dari usia

inisiasi merokok, 75% partisipan merokok

pada usia belasan tahun (10-19 tahun).

 Apparatus

 Aparatus pada penelitian ini adalah

sebuah ruang eksperimen dengan satu

komputer yang dilengkapi dengan DVD room 

yang disambungkan dengan VGA Splitter ke

enam monitor dan lm seri yang telah diselipi

subliminal conditioning , yaitu dorama atau

drama Jepang yang sebelumnya telah disisipi

gambar rokok dan gambar orang yang mati

secara menakutkan berkecepatan 1/30 detik

sebanyak 100 kali di setiap episode. Film

tersebut diedit menjadi 10 episode dimana

pada episode terakhir tidak diselipkan

subliminal conditioning .

Film seri yang ditampilkan adalahdorama atau drama Jepang dengan tujuan

agar partisipan penelitian belum menontonlm yang ditayangkan karena dorama

Jepang adalah salah satu genre yang jarang

ditayangkan di Indonesia. Dorama jepang

yang digunakan adalah Liar Game. Dorama

ini juga dipilih karena ceritanya cukup rumit

sehingga menuntut atensi yang tinggi dari

para partisipan dalam menontonnya dan

diharapkan dapat membuat partisipan datang

secara berturut-turut dalam 10 hari penelitian.

Dorama ini juga dipilih karena target pasar

lm ini adalah anak muda, dengan para

pemain yang cukup terkenal di kalangan anak

muda, dan juga memiliki rating   yang cukup

tinggi, yaitu rata-rata 11.4 bahkan episode

terakhirnya mencapai angka rating 13.6.

 Alat ukur pada penelitian ini berupa sebuah

tabel self report yang harus diisi partisipan

setiap pertemuan. Tabel tersebut harus

diisi dengan jumlah rokok yang dikonsumsi

partisipan hari sebelumnya serta dilengkapi

data tambahan berupa manipulation check  

yang harus diisi hanya pada hari terakhir.

Manipulation check tersebut berupapertanyaan apakah gambar menakutkan yang

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

7/21/2019 11-35-1-PB

http://slidepdf.com/reader/full/11-35-1-pb-56dbd8786bee7 7/11

71

ditunjukkan memang merupakan sesuatu yang

menakutkan bagi partisipan. Jika partisipan

menyatakan bahwa gambar tersebut tidak

menakutkan, maka skor partisipan tersebut

tidak digunakan pada analisis utama

penelitian ini karena berdasarkan asumsi

latar belakang penelitian ini, jika gambar

yang diberikan tidak menimbulkan rasa takut,

maka rokok tidak dapat terasosiasi dengan

rasa takut dan tidak ada rasa takut yang

tersimpan di dalam memori implisit berkaitan

dengan rokok. Manipulation check  ini penting

digunakan untuk meningkatkan validitas

internal penelitian.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan design

Within Group. Dari setiap partisipan diambil

data lebih dari sekali, yang kemudian

dibandingkan ketika awal mereka mengikuti

penelitian ini dan setelah selesai menjalankan

penelitian ini.Penelitian ini tidak melibatkan deception.

Sejak awal peneliti menjelaskan bahwa

penelitian ini bertujuan menurunkan perilaku

merokok. Semua partisipan diharapkan hadir

selama sepuluh hari berturut-turut (kecuali

Minggu). Setiap hari semua partisipan

diminta menonton lm yang telah diselipi

subliminal conditioning   kemudian diminta

untuk mencatat jumlah rokok yang dikonsumsi

pada hari sebelumnya. Untuk tidak mengikat

waktu partisipan, maka setiap selesai sesi

terapi, partisipan diminta membuat janji

waktu datang keesokan harinya. Waktu

eksperimen dapat ditentukan sendiri oleh

partisipan sepanjang sesuai ketentuan, yaitu

antara pukul 08.00 hingga pukul 16.00. Di

luar waktu tersebut ruangan ditutup sehingga

tidak dapat dilakukan terapi.

Hasil

Hasil Utama

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan

menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test  

pada data perilaku merokok dari 12 partisipanyang datanya dapat digunakan, ditemukan

bahwa perilaku merokok partisipan setelah

Tabel 3

Data Jumlah Konsumsi Rokok Partisipan per Hari 

Nama

(Inisial)

Jumlah

kehadiran

Jumlah Konsumsi Rokok (per hari)

Pre 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Post*

RS 10 7 6 8 4 2 2 3 2 2 3 6 4

BAW 10 12 10 12 9 9 10 10 5 14 6 6 10

HP 10 8 15 18 13 13 15 16 3 12 10 9 10

YW 10 15 12 12 10 10* 8** 8 6 8 8 8 8

 APB 9 10 6 4 6 7 4* 2** 0 3 - 4 2

R 9 27 13 8 15* 12** 10 12 6 - 14 9 9

K 9 5 3 9 17 19 7* 12** 11 9 7* 8 5

RP 8 12 17 16 14 11 11 12 14 13* 10* 8 9

NOB 8 5 5 3 3* 3 4 3 4 3* 2 3 3

RDP 8 2 0 6 7 6* 6** 5* 3 4 8* 5 5

RA 8 10 8 12 9 - 7 7 12 11* 9 5 5

CAS 7 2 - 5 5 8* 5** 2 1 3* 9* 7 2

H 10*** 3 6 5 8 4 3 7 8 2 3 2 5

 AA 9 10 12 7 6 8 9 8 10 5 6

J 5 12 12 10 11 10 7

EW 4 0 10 7 7

S 1 6

Keterangan:* tidak datang pada hari tersebut 

** datang dua kali pada hari tersebut 

*** tidak lolos manipulation check 

Catt: beberapa data tidak terisi karena partisipan tidak hadir dan lupa jumlah rokok yang dikonsumsi 

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

7/21/2019 11-35-1-PB

http://slidepdf.com/reader/full/11-35-1-pb-56dbd8786bee7 8/11

72

menjalankan terapi subliminal conditioning  

lebih rendah secara signikan dibandingkan

perilaku merokok mereka sebelum melakukan

terapi subliminal conditioning . Ho ditolak pada

taraf signikansi 0.05 (r = .018, p < 0.05).

Pada Tabel 3 di atas dapat dilihat

perubahan perilaku merokok para partisipan

penelitian secara deskriptif. Jika dibandingkan

di saat pre dan post, 8 orang mengalamipenurunan perilaku merokok, 2 orang

tidak mengalami perubahan, dan 2 orang

mengalami peningkatan perilaku merokok.

Secara rata-rata, penurunan perilaku merokok

partisipan dapat terlihat pada grak yang

ditampilkan. Dapat dilihat bahwa penurunan

perilaku merokok partisipan mulai terlihat

signikan pada hari kelima. Hal yang menarik

adalah bahwa partisipan sempat mangalami

peningkatan perilaku merokok sebelum

akhirnya kembali menurun. Sebagian besarpartisipan mengalami peningkatan tersebut

pada hari kedua dan menurun pada hari

yang berbeda-beda. Pada dua hari terakhir,

semua perilaku merokok berkumpul pada

range  yang kurang lebih sama, yaitu antara

0-5 dan 5-10. Tidak ada satu pun partisipan

yang merokok lebih dari 10 batang pada dua

hari terakhir tersebut.

Hasil Tambahan

Salah satu variabel sekunder yang

dikhawatirkan muncul adalah latent inhibition,

yaitu asosiasi lain yang terbentuk pada rokok

selain asosiasi dengan rasa takut. Hal ini

dikhawatirkan terjadi karena pada hari minggu

tidak ada sesi terapi, sehingga mungkin

terjadi asosiasi lain pada hari tersebut yang

dapat menurunkan efektitas subliminal

conditioning   yang diberikan. Berdasarkan

statistik deskriptif, dapat dilihat bahwa rata-

rata jumlah konsumsi rokok partisipan pada

hari Sabtu (7.69) lebih besar dibandingkanrata-rata rokok yang dikonsumsi hari Minggu

(5.92) sehingga disimpulkan latent inhibition

tidak terjadi pada partisipan.

Untuk melihat pengaruh latent inhibition 

secara lebih seksama, peneliti ingin melihat

apakah ada perbedaan perubahan perilaku

merokok antara mereka yang sempat tidak

hadir dalam 10 pertemuan tersebut, baik

yang ditebus dengan menonton dua kali di

hari berikutnya maupun tidak. Kelompok

dibagi menjadi mereka yang selalu hadir,sekali tidak hadir, dua kali tidak hadir, tiga

kali tidak hadir, dan juga empat kali tidak

hadir. Setelah dibandingkan dengan analisis

statistik Kruskal Wallis, peneliti menemukan

tidak ada perbedaan yang signikan ( p =

0.223, p > 0.05). Dari hasil analisis tersebut,

dapat disimpulkan bahwa latent inhibition 

tidak mempengaruhi hasil penelitian ini

secara signikan.

Hasil lain yang peneliti temukan adalah

beberapa partisipan mengaku bahwa

dorongannya untuk merokok menjadi

berkurang sejak melakukan terapi subliminal

Rata-rata Perilaku Merokok Partisipan per Hari

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

12,00

pre 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 post

Hari

     R

    a     t    a   -    r    a     t    a

     P    e    r     i     l    a     k    u

     M

    e    r    o     k    o     k

Gambar 1. Rata-rata perilaku merokok partisipan setiap hari

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

7/21/2019 11-35-1-PB

http://slidepdf.com/reader/full/11-35-1-pb-56dbd8786bee7 9/11

73

conditioning   dan beberapa mengaku saat

merokok ada perasaan tidak enak sehingga

ketika merokok tidak menghabiskan satu

batang. Walaupun terbukti subliminal

conditioning   dapat menurunkan perilaku

merokok, namun tidak ada satupun diantara

partisipan yang berhasil berhenti merokok

secara total.

Peneliti juga menemukan bahwa salah

satu hal yang mempengaruhi penelitian ini

adalah jumlah awal merokok partisipan.

Partisipan yang sejak awal merokok dalam

 jumlah banyak cenderung mengalami

penurunan merokok, sedangkan partisipan

yang sejak awal merokok dalam jumlah

kecil cenderung tidak mengalami perbahan

perilaku merokok. Hal ini menjelaskan

kenapa ada dua partisipan yang mengalamipeningkatan perilaku merokok dalam jumlah

kecil dan ada dua partisipan yang tidak

berubah sama sekali. Keempat partisipan

tersebut merupakan partisipan yang sejak

awal merokok dalam jumlah yang tidak

banyak, sehingga tidak mengalami banyak

perubahan.

Dari 12 partisipan yang menjalani terapi

hingga akhir, 11 orang menyatakan bahwa lm

yang diputar saat terapi merupakan lm yang

seru dan hanya 1 orang yang menyatakanlm tersebut tidak seru. Satu partisipan yang

 juga menjalani terapi hingga akhir namun

datanya tidak digunakan karena tidak lolos

manipulation check  juga menyatakan bahwa

lm yang ditayangkan seru. Karena itu, secara

total ada 12 orang yang menyatakan lm

tersebut seru dan 1 orang yang menyatakan

lm tersebut kurang seru. Semua partisipan

mengaku belum pernah menonton lm yang

ditayangkan tersebut. Hal ini menunjukkan

pemilihan lm dapat dikatakan cukup tepat.

Diskusi

Sesuai dengan asumsi pada latar belakang

masalah, terapi Subliminal Conditioning

terbukti dapat mempengaruhi perilaku

merokok, yaitu secara signikan menurunkan

 jumlah rokok yang dikonsumsi. Hal ini dapat

terjadi karena subliminal conditioning tidak

berupa pemberian informasi yang dapat

dijustikasi oleh pikiran, melainkan melalui

kognisi tingkat tinggi yang merekam emosi

yang disampaikan oleh gambar menakutkan

dalam memori implisit dimana emosi berupa

rasa takut tersebut muncul kembali saat

partisipan melihat rokok. Dengan munculnya

rasa takut yang menyertai rokok tersebut

perokok akan merasa tidak nyaman dengan

rokok sehingga kualitas merokok mereka

menurun dan dengan sendirinya diikuti

dengan menurunnya perilaku merokok

sehingga konsumsi rokok setelah terapi lebih

sedikit dibandingkan sebelum mengikuti

terapi. Asumsi peneliti tersebut didukung

oleh pernyataan para partisipan bahwa saat

mengikuti terapi dorongan merokok mereka

menurun dan ada perasaan tidak nyaman

yang muncul saat mereka merokok.

Walaupun terapi subliminal conditioning  

terbukti menurunkan perilaku merokok,

tidak ada satu pun partisipan yang berhasil

berhenti merokok secara total. Hal ini mungkindisebabkan oleh salah satu kelemahan

penelitian, yaitu gambar yang diselipkan di

dalam lm seringkali terlihat oleh partisipan

penelitian. Hal ini dapat terjadi karena terjadi

after image, yaitu partisipan masih dapat

melihat gambar yang diselipkan tersebut

di monitor walaupun sebenarnya gambar

tersebut sudah tidak ada di layar monitor.

Hal ini mungkin terjadi karena warna pesan

tersembunyi tersebut adalah warna terang

di atas warna hitam, sehingga pesan yangdisampaikan dengan durasi selama 1/30

detik menjadi bertahan lebih lama di mata

partisipan sehingga pada akhirnya dapat

dilihat. Jika partisipan dapat melihat gambar

tersebut, maka terapi subliminal conditioning  

ini dapat dikatakan kurang berhasil karena

informasi masih dapat diolah pikiran sadar

sehingga masih dapat dijustikasi.

Walau hampir seluruh partisipan mengaku

dapat melihat gambar yang diselipkan

tersebut, tidak satu pun partisipan menyadaribahwa gambar yang diselipkan berjumlah 100

gambar. Dalam kata lain, walau partisipan

dapat melihat gambar yang diselipkan, namun

partisipan seringkali tidak menyadari ketika

gambar tersebut muncul sehingga informasi

tersebut memiliki peluang besar untuk diolah

oleh kognisi tingkat tinggi. Partisipan seringkali

tidak menyadari kemunculan gambar

yang diselipkan tersebut mungkin karena

setting   cerita berwarna cerah gambar yang

diselipkan tersebut tidak terlihat (tidak terjadi

after image). Selain itu beberapa partisipan

 juga mengaku tidak menyadari kemunculan

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

7/21/2019 11-35-1-PB

http://slidepdf.com/reader/full/11-35-1-pb-56dbd8786bee7 10/11

74

gambar yang diselipkan tersebut jika adegan

cerita dalam lm tersebut sedang seru. Dalam

kata lain ada kemungkinan atensi partisipan

mempengaruhi kemampuan mereka dalam

melihat gambar yang diselipkan.

Beberapa partisipan mengaku bahwa

berkat menurunnya dorongan merokok,

maka walaupun di tabel mereka menuliskan

 jumlah rokok yang banyak, namun seringkali

mereka sudah membuang rokok mereka

sebelum rokok tersebut habis. Dalam kata

lain, ketika pengukuran dilakukan dengan

cara menuliskan jumlah rokok, maka

hasil tidak terlalu akurat. Jika pengukuran

diperhitungkan berdasarkan jumlah hisap

atau sentimeter panjang batang rokok yang

dihabiskan setiap harinya maka pengukuran

akan lebih akurat. Namun kiranya sulitmemperhitungkan hal-hal tersebut jika

dilakukan dengan self report .

Penelitian ini belum berhasil sepenuhnya

membuktikan bahwa perilaku merokok

partisipan menurun karena efek subliminal

conditioning . Ada kemungkinan perilaku

merokok menurun karena sugesti,

yaitu karena percaya bahwa subliminal

conditioning memang diolah oleh kognisi

tingkat tinggi dan mempengaruhi perilaku

mereka sehingga mereka menurunkanperilaku mereka sendiri. Hal ini seharusnya

dikontrol dengan cara membuat kelompok

kontrol dimana ada kelompok partisipan

lain yang juga diberikan perlakuan yang

sama, yaitu diminta untuk menonton selama

10 hari namun pada lm yang mereka

tonton tidak diberi pesan tersembunyi.

Jika perilaku mereka juga menurun dan

penurunan perilaku merokok mereka tidak

berbeda secara signikan dari penurunan

perilaku merokok kelompok eksperimenyang diberikan pesan tersembunyi, maka

penurunan perilaku merokok tersebut dapat

disimpulkan sebagai hasil dari sugesti, bukan

dari pesan tersembunyi yang diberikan.

Saran yang dapat diberikan peneliti untuk

penelitian berikutnya yang mengangkat

tema yang serupa adalah untuk memberikan

subliminal conditioning yang lebih cepat dari

1/30 detik. Dengan begitu akan lebih terjamin

bahwa partisipan tidak dapat melihat gambar

tersembunyi tersebut. Selain itu pesan

tersembunyi jangan diberikan dengan warna

terang di atas gelap, tetapi sebaiknya

diletakkan pada latar belakang gambar yang

sama persis dengan latar pada adegan yang

sedang berjalan dalam lm, sehingga tidak

akan disadari oleh partisipan penelitian.

Dengan begitu maka pesan tersembunyi

yang diberikan akan semakin tepat ditujukan

pada kognisi tingkat tinggi.Secara teoretis, penelitian ini dapat

mengkritisi penelitian Greenwald yang

menunjukkan bahwa subliminal tidak dapat

digunakan untuk tujuan klinis (Saunders

1999). Penelitian ini membuktikan bahwa

subliminal mungkin masih dapat digunakan

 jika diberikan dalam bentuk asosiasi.

Penelitian ini juga dapat menjadi masukan

untuk teori Subliminal Messages. Peneliti

yang berniat menggunakan Subliminal

Messages  perlu mengingat untuk berhati-hati terhadap after image, sebab ingatan

sensoris manusia dapat merekam dan

menangkap stimulus dan memperlama

sensasi atas stimulus tersebut (Wittig, 1998).

Jika hal tersebut terjadi, maka gambar yang

diberikan bukan lagi merupakan subliminal .

Peneliti harus memperhatikan warna dan

gambar yang ditampilkan di layar. Semakin

mirip warna pesan subliminal dengan warna

latar belakang di dalam lm yang sedang

diputar, semakin kecil kemungkinan terjadiafter image.

 Anthony (2007). Rokok dan kesehatan re-

 produksi. Diakses pada 25 Agustus 2007

dari www.waspada.co.id/Serba-Serbi/

Kesehatan/Rokok-Dan-Kesehatan-Re-

produksi.html

 Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M.

(2006). Social psychology   (6th ed.). New

Jersey: Prentice Hall.

Examines the efcacy of subliminal persua-

tion (1999, 3 September). Skeptical In-

quirer The Magazine for Science and

Reason, 30.

Daftar Pustaka

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI

7/21/2019 11-35-1-PB

http://slidepdf.com/reader/full/11-35-1-pb-56dbd8786bee7 11/11

75

Hazira (2007, 24 Mei). Ibu bapa perokok,

 Anak derita.  Diakses pada 25 Agustus

2007 dari www.idesa.net.my/modules/

news/article.php?storyid=1712

Jamal, S. (2006, 14 Maret). Pria desa ber-

 pendidikan rendah, perokok terbanyak. Diakses pada 25 Agustus 2007 dari www.

pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=9

57&tbl=artikel

Moore, T. E. (1995, Januari). Subliminal self-

help auditory tapes: An empirical test of

perceptual consequences. Canadian

Journal of Behavioural Science, 27 , 9.

Prihatiningsih, P. (2007). Dampak merokok

bagi kesehatan dan lingkungan. Jurnal

Lingkungan Keluarga, 2.

Saunders, M.D. (1999). Are we already learn-

ing in a subliminal way? Diakses pada 13

September 2007 dari www.braincourse.

com/subliminala.html

Susuwongi (2008). Remaja tereksploitasi

industri rokok . Diakses pada 21 Septem-

ber 2008 dari niasonline.net/2008/01/06/

remaja-terekploitasi-industri-rokok/

Utamadi, G. (2002, 1 Februari). Rokok bagi

remaja, gaya atau bahaya? Diakses pada25 Agustus 2007 dari kompas.com/kom-

pas cetak/0202/01/dikbud/roko27.htm

Wallace, F. L., Flanery, J. M., & Knezek, G. A.

(1991, 3 Februari). The effect of sublimi-

nal help presentations on learning a text

editor.  Information Processing and Man-

agement, 27.

Wittig, A.F. (1998). Theory and problems

of psychology of learning.  New York:

McGraw-Hill.

Wortman, C. B., Loftus, E. F., & Weaver, C.

(1999). Psychology   (5th  ed.). New York:

McGraw-Hill.

 ___________________________ e-mail: [email protected]

WHISNU THOMAS DAN EUNIKE SRI TYAS SUCI