1
METODE PEMBELAJARAN KACAPI
MELALUI PENERAPAN SISTEM NOTASI
Oleh Julia
Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak
Kacapi merupakan salah satu alat kesenian tradisional Sunda yang
telah banyak mendapat perhatian untuk dipelajari baik di lingkungan
sendiri maupun di luar negeri. Dalam cara pengajarannya, sejak zaman
dahulu dilakukan dengan metode oral tradisi tanpa menggunakan sistem
notasi. Karena cara tersebut dianggap telah berhasil dalam melakukan
regenerasi tabuhan kacapi dari generasi ke generasi.
Seiring perkembangan zaman, metode pengajaran kacapi pun mulai
mendapat perhatian khususnya dalam dunia pendidikan formal. Karena
waditra (instrumen) tersebut telah menjadi salah satu waditra yang wajib
dipelajari terutama dalam perguruan tinggi yang bergerak dalam bidang
seni. Sehingga, berbagai metode pun dilakukan untuk mengajarkan waditra
tersebut, salah satunya yang sekarang penulis tawarkan yakni sebuah
metode untuk pengajaran kacapi dengan menggunakan sistem notasi.
Metode yang dibuat berbeda dengan metode yang telah ada.
Karena biasanya pembelajaran kacapi menggunakan notasi Sunda tanpa
menggunakan ilustrasi kawat kacapinya yang berjumlah 18-20 kawat. Ada
juga yang menggunakan notasi barat, yakni seperti notasi untuk instrumen
piano, sehingga arah tinggi-rendahnya nada pada notasi berlawanan
dengan tinggi-rendahnya nada yang terdapat dalam kacapi. Oleh sebab itu,
penulis mencoba membuat metode dengan memperhatikan kedua hal
tersebut, yaitu dengan menggunakan notasi barat pada diagram kawat
kacapi yang berjumlah 18-20 kawat. Sehingga terdapat kesesuaian antara
arah tinggi-rendahnya nada pada notasi dan pada kacapi. Dengan
demikian, diharapkan akan mempermudah peserta didik dalam
mempelajari waditra kacapi.
Key Words: Learning Method, Instrument, Kacapi.
2
A. PENGANTAR
Metode merupakan cara sistematis dan terpikir secara baik untuk
mencapai tujuan, prinsip, dan praktik-praktik pengajaran (KLBI, 2006:380).
Dalam dunia pendidikan, metode telah menjadi sesuatu hal yang mutlak
diperlukan, terutama metode dalam aktivitas pembelajaran. Karena, dalam
aktivitas pembelajaran, menyangkut pencarian, pembentukan, dan transfer
ilmu pengetahuan, atau yang biasa disebut dengan kegiatan belajar
mengajar. Sedangkan dalam kegiatan tersebut, di dalamnya melibatkan dua
pihak utama, yaitu pihak pendidik dan peserta didik.
Para pendidik, dalam melaksanakan tugasnya disamping menguasai
bahan atau materi ajar, tentu perlu pula mengetahui bagaimana cara materi
ajar itu disampaikan, serta bagaimana karakteristik peserta didik yang
menerima pelajaran tersebut. Biasanya, kegagalan dalam pembelajaran
terjadi apabila pendidik kurang menguasai bahan, dan yang paling parah
lagi adalah pendidik tidak tahu bagaimana cara menyampaikan materi ajar
dengan baik dan tepat. Sehingga, tidak memungkinkan peserta didik dapat
belajar dengan suasana menyenangkan, serta materi ajar mudah dipahami
dan dikuasai dalam waktu yang relatif singkat. Seperti yang dikemukakan
oleh Georgi Lozanov, bahwa pemercepatan belajar dapat dilakukan
dengan metode pengajaran yang memungkinkan siswa untuk belajar
dengan kecepatan mengesankan, dengan upaya yang normal, dan
dibarengi kegembiraan (DePorter & Hernacki, 2005:14). Oleh karena itu,
3
dengan adanya metode pengajaran, diharapkan kegiatan belajar mengajar
tersebut dapat berjalan dengan lancar, serta tujuannya dapat tercapai
dengan baik.
Meskipun dalam kenyataannya, tidak sedikit berbagai macam
metode pengajaran yang diciptakan, kurang efektif bahkan dapat membuat
peserta didik tidak dapat belajar dengan baik. Karena, peserta didik tidak
merasa tertarik atau tertantang dengan pelajaran yang diberikan. Salah
satunya sebagai akibat dari kurang ampuhnya metode pengajaran yang
digunakan. Berdasarkan permasalahan tersebut, tampaknya tepat untuk
memperhatikan pandangannya Win Wenger, bahwa salah satu pemakain
metode yang lebih baik adalah pada masalah, artinya bagaimana
menciptakan metode-metode yang lebih baik untuk memecahkan masalah
(Wenger, 2000:387). Dalam hal ini, Wenger lebih menekankan pada
proses dengan sasaran membangun alat (toolbuilding). Artinya,
menggunakan suatu metode atau proses khusus, untuk menciptakan alat
atau sarana, metode atau proses yang baru dan lebih baik. Di sinilah perlu
adanya investasi ulang metode untuk metode yang lebih baik, tidak ada
batas yang jelas mengenai seberapa jauh dan seberapa tinggi batas itu.
Berkaitan dengan metode pengajaran tersebut, permasalahannya
tidak hanya terjadi pada pendidikan ilmu-ilmu alam atau pendidikan ilmu-
ilmu sosial, akan tetapi juga terjadi pada pendidikan seni, terutama seni
tradisi. Sebagai seni yang merupakan akar dan khazanah dari budaya
4
bangsa, seni tradisi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
dunia pendidikan. Namun dalam pendidikan seni tradisi, permasalahan
metode pengajaran cenderung kurang diperhatikan, karena sampai saat ini
metode yang telah ada yaitu metode oral tradisi (ngabeo), masih dianggap
metode yang paling ampuh dalam hal pengajaran. Namun hal tersebut
tidak terjadi pada semua cabang seni tradisi, terutama seni tradisi yang telah
lama diajarkan di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi. Seperti halnya
pembelajaran gamelan degung di Jawa Barat, telah menggunakan metode-
metode pengajaran yang cukup baik.
B. METODE ORAL TRADISI
Selama ini, pengajaran kacapi sebagai waditra pokok dalam
penyajian kawih dan tembang Sunda dilakukan dengan metode oral tradisi
tanpa menggunakan sistem notasi atau partitur, karena waditra tersebut
lebih berkembang di luar dunia pendidikan atau sekolah-sekolah. Sehingga,
metode oral tradisi menjadi warisan dari generasi ke generasi. Tentu saja,
metode itu pun dapat diakui berhasil dalam proses pengajaran di luar dunia
pendidikan, karena materi ajar kacapi memiliki kompleksitas tersendiri yang
sangat sulit untuk dinotasikan. Akan tetapi, lain hal dengan dunia
pendidikan, dimana diperlukan adanya suatu pengembangan pemikiran
bahwa sesulit apapun materi ajar, harus dapat diajarkan dengan
menggunakan notasi. Bahkan diharapkan, dengan pengembangan metode
5
peserta didik dapat belajar sendiri di luar proses pengajaran meskipun
akhirnya harus tetap bertatap muka demi kesempurnaan materi ajar.
Kelemahan yang ditemukan dalam metode oral tradisi, pertama,
memungkinkan terjadinya pengurangan dan menghilangnya karya-karya
yang terdahulu disebabkan tidak adanya dokumentasi yang jelas. Artinya,
dengan oral tradisi hanya mengandalkan memori manusia untuk
mengingatnya. Mengenai hal ini, kita dapat mengambil contoh dengan
karya-karya dari barat yang dibuat pada zaman renaissance, zaman barok,
zaman klasik dan zaman romantik sampai sekarang, masih ada
dokumentasinya sehingga banyak orang dapat mempelajarinya, bahkan
sampai mendunia. Meskipun memiliki perbedaan dalam hal sejarah dan
budaya, tidak ada salahnya apabila kita pun mencoba untuk
mendokumentasikan karya-karya kawih atau tembang Sunda, dengan cara
menotasikan dan sekaligus mengggunakannya untuk metode pengajaran,
demi kelestarian karya-karya dalam kesenian tersebut.
Kedua, metode oral tradisi dalam pelaksanaannya hanya dapat
dilakukan oleh beberapa kalangan saja, sehingga waditra kacapi kurang
diminati oleh banyak orang. Hal tersebut, merupakan salah satu hal yang
telah menyebabkan waditra kacapi menjadi waditra yang minoritas.
Padahal, dalam permainan kacapi terdapat keistimewaan tersendiri seperti
puspa ragam teknik yang cukup sulit dikuasai, sehingga dapat bersaing
dengan instrumen-instrumen barat. Oleh karena itu, di zaman yang telah
6
mengglobal ini, sebagai salah satu upaya pelestarian diperlukan adanya
metode lain agar waditra kacapi dapat dipelajari oleh semua kalangan.
Ketiga, metode oral tradisi juga dapat dinilai kurang efektif dan
efisien. Artinya memerlukan waktu yang cukup lama untuk sampai kepada
tahap peserta didik dapat memainkan waditra kacapi, sedangkan zaman
sekarang orang-orang cenderung berkeinginan untuk mempelajari
instrumen secara cepat dan praktis. Dalam permainan kacapi, tentu saja
terdapat tahapan-tahapan untuk mencapai kepada tingkat yang paling
tinggi, akan tetapi dalam proses pembelajaran bukan berarti harus langsung
menuju tingkatan tersebut, namun proses awalnya yang sangat perlu untuk
diperhatikan agar peserta didik dapat belajar secara cepat sehingga akhirnya
akan mempermudah untuk mencapai tingkatan tinggi.
Hal lainnya yang juga perlu diperhatikan adalah sudah saatnya
pembelajaran waditra kacapi menggunakan sistem notasi yang dapat
dipahami olah semua kalangan. Tujuannya, dengan adanya sistem notasi
diharapkan waditra kacapi dapat lebih dikenal oleh banyak orang, tidak
hanya satu daerah tapi secara nasional bahkan internasional. Seperti
pengaruh musik tradisi barat yang cukup kuat di negara Indonesia, di
antaranya dengan banyaknya partitur-partitur musik barat yang dapat
dipelajari oleh banyak kalangan.
Terakhir, dalam perkembangannya sampai sekarang, dinilai
kurangnya referensi tentang metode pembelajaran waditra kacapi. Oleh
7
karena itu, untuk menambah referensi tersebut maka diperlukan adanya
metode-metode lain yang dapat memperkaya, mempercepat, serta
membantu mempermudah pembelajaran waditra kacapi, khususnya di
kalangan dunia pendidikan dan umumnya di semua kalangan. Setelah
memperhatikan beberapa permasalahan tersebut, maka penulis mencoba
untuk menggunakan metode pengajaran dengan membuat sebuah metode
pembelajaran kacapi menggunakan sistem notasi.
C. PROSES PEMBELAJARAN
Dalam proses pembelajarannya, teori yang digunakan adalah teori
belajar konstruktivisme, khususnya konstruktivisme radikal. Dalam hal ini,
seperti yang dikemukakan oleh Von Glasersfeld, konstruktivisme radikal
berpegang bahwa kita hanya dapat mengetahui apa yang
dibentuk/dikonstruksi oleh pikiran kita (Suparno, 1997:26). Artinya,
pembelajaran lebih menitik beratkan pada keaktifan peserta didik, dengan
mengutamakan pengalaman sebagai salah satu cara untuk memperoleh atau
membentuk perkembangan pengetahuannya. Oleh karena itu, dalam cara
ini pengetahuan dapat lebih cepat dikonstruksi oleh penerima yang aktif,
dan akan berbeda apabila ditransfer kepada penerima yang pasif.
Sedangkan pendidik, merupakan mediator dalam proses
mentransmisikan pengetahuan. Dalam hal ini, Jean Piaget mengemukakan,
karena pendidikan merupakan suatu proses yang menghubungkan dua sisi,
8
“di satu sisi, individu yang sedang tumbuh, dan di sisi lain, nilai sosial,
intelektual, dan moral”. Maka, menjadi tanggung jawab pendidiklah untuk
mendorong individu pada sisi kedua tersebut (Palmer, 2006:75). Oleh
karena itu, pendidik memiliki peran yang cukup kompleks dalam proses
pembelajaran. Selain sebagai pentransmisi pengetahuan, juga berperan
sebagai pengubah perilaku (behaviour changes) peserta didik, dan
pemelihara sistem nilai atau nilai-nilai dari pengetahuan (Makmun,
2000:23).
Proses pembelajaran ini, dalam pelaksanaannya juga didasarkan
pada cara belajar cepat (accelerated learning). Artinya, dalam proses
pembelajaran tersebut peserta didik dituntut untuk lebih cepat memahami
dan menguasai materi ajar. Seperti yang dikemukakan oleh Colin Rose &
Malcolm J. Nicholl, untuk menguasai perubahan yang berlangsung cepat
dibutuhkan pula cara belajar cepat, yakni kemampuan menyerap dan
memahami informasi baru dengan cepat, serta menguasai informasi tersebut
(Rose & Nicholl, 2006:35). Dalam hal ini, pembelajaran dilakukan dengan
menggunakan teknik-teknik yang cocok dengan gaya belajar para peserta
didik, yaitu belajar dengan cara yang paling alamiah. Karena, belajar
dengan cara yang alamiah menjadi lebih mudah, dan yang lebih mudah
menjadi lebih cepat.
9
D. TAHAPAN PEMBELAJARAN
Berkaitan dengan tahapan-tahapan pembelajaran, dalam
pelaksanaannya peserta didik belajar melalui beberapa fase. Secara global,
pembelajaran terbagi ke dalam tiga fase, yaitu:
1. Fase eksplorasi.
2. Fase pengenalan konsep.
3. Fase aplikasi konsep.
Menurut Dimyati & Mudjiono, dalam fase eksplorasi siswa
mempelajari gejala dengan bimbingan. Dalam fase pengenalan konsep,
siswa mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala. Sedangkan
dalam aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala
lain lebih lanjut (Dimyanti & Mudjiono, 2006: 14). Dalam hal ini, peserta
didik dituntut untuk dapat menguasai konsep, serta memiliki kepekaan
dalam menemukan gejala-gejala yang terjadi dalam proses pembelajaran.
Sedangkan langkah-langkah pembelajarannya, penulis mencoba
untuk menggunakan langkah-langkah pembelajaran yang ditawarkan oleh
Piaget1, yaitu:
1. Menentukan topik yang dapat dipelajari oleh peserta didik.
2. Memilih atau mengembangkan aktivitas kelas dengan topik tersebut.
3. Mengetahui adanya kesempatan bagi pendidik untuk mengemukakan
pertanyaan yang menunjang proses pemecahan masalah.
1 Lihat Dimyanti & Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran (2006:14).
10
4. Menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan, dan
melakukan revisi.
Setelah melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan peserta didik
dapat membentuk pengetahuan secara cepat, efektif, dan efisien, serta
memiliki pengalaman tersendiri, yakni pengalaman estetis. Karena, pada
dasarnya dalam pendidikan seni khususnya seni musik, peserta didik
dituntut agar dapat memiliki pengalaman estetis. Seperti yang dikemukakan
oleh Keith Swanwick, bahwa pendidikan musik adalah pendidikan estetik,
dan mendengarkan musik adalah suatu bagian dari pengalaman estetik
(Ellliot, 1995:28). Oleh karena itu, pengalaman estetik merupakan suatu hal
yang mutlak didapatkan oleh para peserta didik sebagai bagian dari
pendidikan musik. Bahkan, Bennett Reimer berpandangan bahwa musik
sama dengan kumpulan objek atau kerja seni. Ikhwal rhythm, melodi,
harmoni, warna suara (termasuk dinamika), tekstur dan bentuk merupakan
estetik atau elemen ekspresi dari musik (Elliot, 1995: 28).
E. PRINSIP REAKSI
Dalam hal ini, prinsip reaksi diartikan sebagai pola kegiatan yang
memperlihatkan hubungan guru dan siswa dalam proses pembelajaran.
Oleh karena itu, pola kegiatan tersebut dapat ditinjau dari beberapa aspek,
seperti yang dikemukakan oleh Dimyanti & Mudjiono, yakni dilihat dari
perhatian dan motivasi, keaktifan, keterlibatan langsung/berpengalaman,
11
pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan, serta perbedaan
individual (2006:42).
1. Perhatian dan Motivasi
Perhatian merupakan bagian yang sangat penting dalam proses
pembelajaran. Karena, tanpa perhatian dari peserta didik proses
pembelajaran akan berjalan secara semu. Artinya, materi ajar tidak akan
tersampaikan dengan baik dan tuntas. Seperti yang dikemukakan oleh
Stern dan dikutip oleh Bigot, pertama, perhatian adalah pemusatan
tenaga/kekuatan jiwa tertuju kepada suatu objek. Kedua, perhatian adalah
pendayagunaan kesadaran untuk menyertai sesuatu aktivitas yang
dilakukan (Sagala, 2006:130). Oleh karena itu, keberhasilan pembelajaran
sangat dipengaruhi oleh perhatian peserta didik. Jika tidak ada perhatian,
jangankan mengkontruksi pengetahuan, memahami materi ajarnya saja
akan sulit.
Sedangkan motivasi lebih berkaitan dengan minat peserta didik
dalam mengikuti proses pembelajaran. Artinya, peserta didik akan lebih
cepat membentuk pengetahuan jika mereka memiliki motivasi yang besar
dalam mengikuti pembelajaran. Biasanya, dalam hal motivasi tergantung
kepada kebutuhan, suka dan tidak suka, faktor pengajar, dan faktor
lainnya yang dapat mempengaruhi psikologi peserta didik terhadap materi
yang diajarkan. Dalam hal ini, Dimyanti & Mudjiono membaginya ke
dalam dua motif, yaitu motif intrinsik dan motif ekstrinsik (2006:43).
12
Motif intrinsik adalah tenaga pendorong yang sesuai dengan perbuatan
yang dilakukan, sedangkan motif ekstrinsik adalah tenaga pendorong yang
ada di luar perbuatan yang dilakukannya tetapi menjadi penyertanya.
Sebagai cara untuk membangkitkan motivasi tersebut, maka dalam
proses pembelajarannya akan mencoba menggunakan cara seperti yang
ditawarkan oleh Sagala. Pertama, mempersiapkan untuk menggunakan
cara atau metode dan media mengajar yang bervariasi. Kedua,
merencanakan dan memilih bahan yang menarik minat dan dibutuhkan
siswa. Ketiga, memberikan sasaran antara, sasaran akhir belajar adalah
lulus ujian atau naik kelas. Keempat, memberikan kesempatan untuk
sukses, artinya materi ajar disesuaikan dengan kemampuan peserta didik
yang berbeda-beda. Kelima, diciptakan suasana belajar yang
menyenangkan, dengan suasana familiar. Keenam, adakan persaingan
sehat, atau kompetisi sehat yang dapat membangkitkan motivasi belajar
(Sagala, 2006:153).
2. Keaktifan
Sesuai dengan teori belajar konstruktivisme yang menuntut adanya
keaktifan dari peserta didik, maka dalam proses pembelajaran kacapi
peserta didik dituntut untuk lebih aktif. Karena pembelajaran kacapi
berbentuk praktek, maka keaktifan peserta didik dapat terlihat dalam
mempelajari dan mempraktekan kacapi tersebut. Dalam hal ini, meskipun
keaktifan praktek terletak pada aspek fisik, namun secara psikis juga sangat
13
diperlukan. Seperti memecahkan masalah dalam menyatukan tangan
kanan dan tangan kiri dalam bermain kacapi. Jika peserta didik kurang
aktif dalam kedua aspek tersebut, maka proses pembelajaran akan
berlangsung lebih lama.
3. Keterlibatan Langsung
Maksud dari keterlibatan langsung adalah bahwa peserta didik
langsung mengalami dalam hal proses pembelajaran. Karena
pembelajarannya kacapi, maka peserta didik harus memainkan atau
mempraktekan secara langsung bagaimana mempelajari dan memainkan
instrumen tersebut. Seperti yang telah disebutkan, dari pengalaman inilah
peserta didik mendapatkan pengalaman estetik, dan justru hal inilah yang
paling penting dan mendasar dalam pendidikan musik. Jadi, peserta didik
tidak hanya melihat, mendengarkan, atau mengamati saja, tapi langsung
ikut terlibat.
4. Pengulangan
Berdasarkan pada teorinya Thordike tentang psikologi asosiasi atau
koneksionisme, bahwa belajar adalah pembentukan hubungan antara
stimulus dan respon, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman
itu memperbesar peluang timbulnya respon yang benar. Seperti kata
pepatah “latihan menjadikan sempurna” (Dimyanti & Mudjiono,
2006:46). Maka, dalam pembelajaran kacapi peserta didik dikondisikan
untuk terus melakukan latihan dan pengulangan, agar materi yang
14
dipelajari bertambah sempurna. Namun, hal tersebut disesuaikan dengan
waktu pembelajaran yang telah direncanakan, dan yang lebih tepat untuk
banyak melakukan latihan dan pengulangan adalah di luar waktu
pembelajaran formal.
5. Tantangan
Untuk membantu menumbuhkan motif pada peserta didik, maka
diperlukan materi ajar yang menantang, namun tetap disesuaikan dengan
kemampuan para peserta didik. Karena, terlalu menantang tidak baik
terhadap psikologi peserta didik. Artinya, jika materi yang diberikan tidak
sesuai dengan kemampuannya, maka dapat menimbulkan perasaan frustasi
dalam mempelajari kacapi, yang akhirnya menimbulkan rasa malas.
Begitupun sebaliknya, jika materi yang diberikan terlalu mudah dan statis,
artinya yang diberikan hanya itu-itu saja, maka peserta didik akan merasa
bosan.
6. Balikan dan Penguatan
Dalam hal ini, balikan dan penguatan dapat menjadi dorongan bagi
peserta didik. Sebagai contoh, mendapatkan hasil yang baik dalam
mempelajari kacapi dapat menjadi balikan yang menyenangkan, dan
dapat berpengaruh baik terhadap usaha belajar selanjutnya. Sedangkan
penguatan, dapat berupa penguatan positif dapat juga berupa penguatan
negatif. Misalnya, dengan hasil belajarnya peserta didik mampu
memainkan kacapi dengan baik, sehingga mendapatkan nilai ujian yang
15
bagus. Maka, nilai bagus tersebut dapat menjadi penguatan yang positif.
Sebaliknya, jika mendapatkan hasil ujian yang tidak bagus, maka dapat
menjadi penguatan yang negatif. Oleh karena itu, seperti yang dikatakan
Dimyanti & Mudjiono, kegiatan balikan dan penguatan dapat dilakukan
dengan cara tanya jawab, diskusi, eksperimen, metode penemuan, dan
sebagainya (2006:49). Sehingga, peserta didik akan terdorong kembali
untuk lebih giat dan bersemangat.
7. Perbedaan Individual
Dalam upaya menanggulangi perbedaan kemampuan pada peserta
didik, maka guru dapat memberikan tambahan atau pengayaan pelajaran
bagi peserta didik yang pandai. Sedangkan untuk anak-anak yang kurang
pandai, dapat dilakukan dengan memberikan bimbingan belajar, dengan
demikian, mereka dapat terus terdorong untuk lebih berpikir optimis, dan
tetap bersemangat dalam mempelajari kacapi.
F. SISTEM NOTASI KACAPI
Mengingat perkembangan zaman yang begitu pesat, metode
pembelajaran kacapi dengan menggunakan sistem notasi memang sudah
saatnya diluncurkan, disosialisasikan, serta diuji coba, terutama dalam
mengantisipasi paradigma pembelajaran yang baru, yang memiliki indikasi
sifat-sifatnya yang efektif dan efisien dalam prosesnya (Herdini, 2003).
Oleh sebab itu, penulis mencoba membuat metode yang diharapkan
16
memiliki efektifitas dan efisiensi waktu dalam proses pembelajarannya,
yakni dengan membuat sebuah metode pembelajaran kacapi dengan
menggunakan sistem notasi. Panduan sistem notasinya adalah sebagai
berikut:
1. Diagram Kawat Kacapi
Sebagai pengenalan, kacapi yang akan digunakan yakni kacapi yang
memiliki jumlah kawat 18 utas (kacapi tembang Sunda). Perhatikan gambar
di bawah ini.
Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa garis yang digunakan
berjumlah 11 (sebelas) garis, terdiri dari dua bagian yaitu garis dan spasi.
Garis dan spasi tersebut dibagi menjadi empat kelompok, dengan jumlah
tiga kelompok masing-masing memiliki tiga garis dan dua spasi, satu
kelompok memiliki dua garis dan satu spasi. Di antara kelompok yang satu
dengan yang lainnya terdapat satu spasi yang difungsikan sebagai spasi
pembatas. Tanpa menghitung spasi pembatas, garis dan spasi tersebut
berjumlah 18 (delapan belas). Hal ini sesuai dengan jumlah kawat kacapi
tembang Sunda yang berjumlah 18 (delapan belas) utas. Artinya, sistem
17
pengelompokan garis dan spasi tersebut telah diselaraskan dengan sistem
bunyi pada kacapi tembang Sunda.
Cara penerapannya, setiap kelompok terdiri dari nada 1 (da), 2 (mi),
3 (na), 4 (ti) dan 5 (la), dengan dimulai dari bawah, kecuali kelompok
keempat hanya sampai nada 3 (na). Secara keseluruhan nada dimulai dari
yang paling tinggi (high) sampai yang paling rendah (low), hal ini sesuai
dengan urutan nada pada kacapi tembang Sunda. Seperti telah disebutkan
di atas, kelompok paling bawah disebut dengan rakitan petit (oktaf tinggi),
kelompok kedua disebut rakitan galindeng (oktaf sedang), kelompok ketiga
disebut rakitan gentem (oktaf rendah), dan kelompok keempat disebut
rakitan goong (oktaf paling rendah)2. Agar lebih jelas cara penerapan
struktur nada pada sistem notasi di atas, perhatikan gambar berikut.
Untuk keterangan penggunaan jari dalam sistem notasi kacapi ini
tidak menggunakan istilah Kanan (Ka) dan Kiri (Ki), tapi dengan
menggunakan perbedaan warna pada not-nya. Untuk tangan kanan
menggunakan warna hitam, dan untuk tangan kiri menggunakan warna
2 Istilah rakitan petit, rakitan galindeng, rakitan gentem, dan rakitan goong diambil dari buku
belajar nembang karangan Rd. Ace Hasan Su’eb tahun 1997.
18
merah. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam teknik membaca
notasi.
Apabila dalam partitur hanya ada not yang berwarna hitam, maka
partitur tersebut hanya dimainkan oleh tangan kanan, dan apabila dalam
partitur terdapat not yang berbeda warna, maka partitur tersebut
dimainkan oleh dua tangan. Untuk lebih jelasnya perhatikan notasi berikut
ini.
Contoh 1:
Contoh 2:
Seperti terlihat di atas, penulisan melodi pirigan menggunakan
kaidah-kaidah notasi balok, baik bentuk dan durasi not maupun bentuk dan
19
durasi tanda istirahat. Hal ini bertujuan agar notasi dapat dikenal dan
mudah dicerna oleh berbagai kalangan. Sebagai contohnya, di bawah ini
dicantumkan beberapa jenis not dan tanda istirahat berikut durasinya
seperti ditulis oleh Zinn dan Hogenson (1987:19).
Dengan memerhatikan paparan di atas, dapat diketahui bahwa
perbedaan yang cukup signifikan antara sistem notasi kacapi ini dengan
sistem notasi kacapi yang telah ada, antara lain terletak pada: (1)
penggunaan simbol. Sistem notasi sebelumnya hanya menggunakan angka-
angka dari 1 (da) sampai 5 (la) berikut harga nadanya, sedangkan sistem
notasi ini menggunakan notasi damina yang dilengkapi dengan simbol-
simbol sebagaimana notasi balok pada umumnya. Artinya, Anda tetap
membaca notasi dengan bunyi da-mi-na-ti-la, namun secara visual dibantu
dengan simbol-simbol not balok. Hal ini dimaksudkan dan diharapkan agar
lebih mudah diakses atau dipelajari oleh semua kalangan.
(2) perubahan tampilan notasi. Dalam sistem notasi terdahulu notasi
disajikan secara horizontal, sementara dalam sistem notasi ini disajikan
secara horizontal dan vertikal. Dari segi visual, hal ini dapat membantu
mempermudah dalam membaca notasi kacapi, karena terlihat jelas
persamaannya antara struktur kawat kacapi dengan sistem notasi yang
digunakan, yaitu berurutan dari bawah ke atas (vertikal). Dengan sistem
20
notasi ini, Anda dapat mengetahui mana kawat yang dimainkan dan mana
kawat yang tidak dimainkan.
(3) perubahan jumlah garis. Pada sistem notasi terdahulu, jumlah
garis not untuk kacapi tembang Sunda berjumlah 18 garis sesuai dengan
jumlah kawat kacapi, namun pada sistem notasi ini berubah menjadi 11
garis, dan sisanya yang berjumlah 7 dipindahkan ke dalam spasi.
Pengurangan jumlah garis ini setidaknya dapat mengurangi tingkat kesulitan
dalam upaya membaca notasi kacapi.
2. Contoh Bahan Pembelajaran Kacapi Melalui Penerapan Sistem Notasi
Tabuhan Bubuka
Laras Pelog
21
G. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk
pengembangan pembelajaran kacapi diperlukan upaya nyata dalam
menciptakan inovasi-inovasi dalam cara-cara pengajarannya. Oleh karena
itu, sebagai langkah awal, sistem notasi yang ditawarkan alangkah bijaknya
jika diaplikasikan setidaknya sesuai dengan tahapan-tahapan belajar yang
dianjurkan, atau lebih baik jika dikembangkan sesuai dengan situasi dan
kondisi sekolah dan peserta didik. Namun yang jelas, metode pembelajaran
kacapi dengan menggunakan sistem notasi (literasi) ini bertujuan untuk
mempermudah dan mengefisienkan waktu pembelajaran yang biasanya
menggunakan metode oral tradisi (oraliti). Dan dapat dilihat dengan jelas
pula, bahwa sistem notasi kacapi yang digunakan telah mengalami
perubahan dari sistem notasi kacapi yang terdahulu, terutama dalam
tampilan atau visualisasi sistem notasi.
22
BIBLIOGRAFI
Bakir, Suyoto & Sigit Suryanto. (2006). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Batam: Karisma Publishing Group.
DePorter, Bobbi & Mike Hernacki. (2005). Quantum Learning. Bandung:
Kaifa.
Dimyanti dan Mudjiono. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Elliot, David J. (1995). Music Matters. New York: Oxford University Press.
Herdini, Heri. (2003). Metode Pembelajaran Kacapi Indung Dalam
Tembang Sunda Cianjuran. Bandung: STSI Press.
Makmun, Abin Syamsuddin. (2000). Psikologi Kependidikan. Bandung:
Rosdakarya.
Palmer, Joy. A. (2006). Fifty Modern Thinkers On Education. Yogyakarta:
IRCiSoD.
Rose, C and Malcolm J. Nicholl. (2006). Accelerated Learning. Bandung:
Nuansa.
Sagala, Syaiful. (2006). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: CV
Alfabeta.
Wenger, Win. (2004). Beyond Teaching and Learning. Bandung: Nuansa.
Top Related